Anda di halaman 1dari 17

HUKUM PERADILAN DAN PERSAKSIAN

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Fiqh Jinayah

Dosen Pengampu : Mohammad Ikrom, S.H.I, M.S.i

Disusun oleh kelompok 6:

Muhammad gufron 222102040017

Safira Rahman 222102040024

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KIAI ACHMAD SIDDIQ JEMBER

PROGRAM STUDY FAKULTAS SYARIAH

HUKUM PIDANA ISLAM

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah
serta inayah-Nya kepada kami, sehinngga kami dapat menyusun serta menyelesaikan
makalah ini dengan judul “Hukum Peradilan dan Persaksian.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Mohammad Ikrom, S.H.I,M.Si selaku
Dosen Pembimbing dalam Mata Kuliah Fiqh Jinayah sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Terima kasih pula kepada pihak yang telah
membantu kami dalam proses penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan pada makalah ini, baik
dalam hal isi, penggunaan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, kami
mengharap kritik dan saran yang membangun, demi perbaikan dan penyempurnaan
makalah ini. Semoga makalah yang kami buat, dapat bermanfaat bagi pembaca,
khususnya bagi kami sebagai penyusun makalah ini, serta semoga dapat menjadi
jembatan dalam memperoleh ridho Allah SWT. Atas perhatiannya kami ucapkan
terima kasih.

Jember, 26 Oktober 2023

Penyusun

ii
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan .............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................ 3

A. Pengertian Peradilan dan Persaksian dalam hukum islam ............................... 3


B. Persyaratan Hakim Peradilan menurut Hukum Islam ....................................... 5
C. Hukum Persaksian dan Syarat di terimanya Persaksian ................................... 7

BAB III PENUTUPAN ............................................................................................ 14

A. Kesimpulan .................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Puji syukur atas Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga makalah yang berjudul Asas Legalitas Hukum Pidana Islam
ini dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat dan salam semoga tercurahkan
kepada Rasulullah SAW. yang telah menyampaikan risalah-Nya untuk umat
manusia, yang dijadikan pedoman dalam kehidupan ini, baik yang
menyangkut ibadah maupun mu’amalah,
Termasuk hukum pidana Islam. Hukum pidana tidak lain membahas
tentang hukum sebab akibat, yang memiliki efek jera bagi para pelakunya.
Hukum pidana ini termasuk kepada hukum publik, karena dalam
penyelesaiannya membutuhkan orang ketiga. Tidak bisa diselesaikan perkara
pidana ini tanpa bantuan Negara/pengadilan. Apabila diselesaikan secara
pribadi, termasuk kepada kategori main hakim sendiri.
Umat Islam dunia selaiaknya menggunakan hukum yang bersumber dari
al-Qur’an dan al-Hadis, karena keduanya merupakan pedoman hidup, dan
semua aspek hukum sudah terkandung di dalamnya. Seperti hukuman
tentang hudud, qishash, dan ta’zir. Semua hukuman ini sudah tercantum di
dalam al-Qur’an dan al-Hadis, hanya saja dari ketiga sisi tersebut ada
perbedaan teknis dalam penerapannya. Misalkan kalau hudud balasan
perbuatan sudah ditetapkan oleh Allah SWT., sedangkan ta’zir dikembalikan
kepada Negara/pihak yang berwenang. Hal ini memberikan ruang kepada
manusia untuk berfikir dan melihat lebih jauh akan pentingnya hukuman itu
sendiri.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian peradilan dan persaksian menurut hukum islam?
2. Apa saja syarat-syarat menjadi hakim menurut hukum islam?
3. Bagaimana hukum persaksian dan apa saja syarat diterimanya hukum
persaksian
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui deskripsi dari peradilan dan persaksian menurut hukum
islam
2. Untuk mengetahui syarat-syarat menjadi hakim menurut hukum islam
3. Untuk mengetahui hukum persaksian dan syarat di terimanya

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Peradilan dan Persaksian Menurut Hukum Islam


a) Pengertian Peradilan Menurut Hukum Islam

Di Dallam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), peradilan adalah segala sesuatu
mengenai perkara pengadilan. Dalam buku Kamus Hukum dijelaskan bahwa kata
peradilan berasal dari akar kata “adil-keadilan” (just- justice) yang berarti “tidak
berat sebelah” atau tidak memihak atau dapat juga memihak kepada yang benar,
berpegang pada kebenaran, sepatutnya dan tidak sewenang-wenang. Peradilan
terkadang diartikan sama dengan pengadilan dan terkadang dikemukakan
pengertian berbeda. Sedangkan menurut istilah peradilan adalah daya upaya untk
mencari keadilan atau penyelesaian perselisihan hukum yang dilakukan menurut
peraturan-peraturan dan lembaga-lembaga tertentu dalam pengadilan. Peradilan
dalam pembahasan fikih diistilahkan dengan qadha ( ‫( ضاع َ ق‬istilah tersebut
diambil dari kata ( ‫ ق‬- ‫( ض ضى ْق‬yang memiliki arti selesai dan sempurnanya
sesuatu, atau memerintahkan memutuskan, menyempurnakan, menetapakan.
Disamping arti memutuskan, menyempurnakan, menetapakan. Arti qadha yang
dimaksud juga berarti “memutuskan hukum” atau “menetapkan seseuatu
ketetapan”. Menurut istilah ahli fikih, peradilan memiliki arti sebagai lembaga
hukum, yaitu tempat dimana seseorang mengajukan permohonan keadilan atas
dirinya. Menurut al-Fairuzabady, seperti yang dikutip oleh AshShidieqy bahwa
peradilan atau al-qadha adalah menyelesaikan perkara persengketaan untuk
melenyapkan gugat menggugat atau untuk memotong perselisihan dengan
mengambil hukum-hukum syariat yang ada dalam alQuran dan al-Sunah. Senada
dengan yang diungkapkan oleh al-Kasyani bahwa “peradilan adalah menghukumi
manusia dengan benar yang sesuai dengan hukum yang Allah turunkan”. Menurut
Wahbah Az-zuhaili, alqadha adalah memutuskan pertentangan yang terjadi dan

3
mengakhiri persengketaan dengan menetapkan hukum syara’ bagi pihak yang
bersengketa. Peradilan merupakan salah satu lembaga penting dalam negara Islam,
Khilafah, atau Imamah Raya. 1 Peradilan merupakan poros sistem hukum dan
merupakan aspek praksis yang cocok untuk mengharuskan masyarakat
menghormati hukum-hukum syara'. Dengan adanya peradilan, hukum syara’ diberi
wibawa dan dapat terimplementasi dengan efektif dalam kehidupan sosial, sebab
melalui peradilan kebenaran akan ditegakkan kebatilan akan disalahkan, keadilan
dan objektivitas hukum akan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat baik muslim
maupun nonmuslim. 2Di samping itu, juga harus memperhatikan kemaslahatan
yang berhubungan dengan jalan, bangunan, kepedulian terhadap para saksi, orang-
orang kepercayaan, dan orang-orang yang menjadi wakil mereka, serta memenuhi
kebutuhan terhadap ilmu dan keahlian di antara mereka dengan adil, dan juga yang
berkaitan dengan para medis, agar mendapatkan kepercayaan dari mereka. Ini
semua termasuk dalam cakupan tugas kehakiman dan cabang dari kewenangannya.
Orang-orang yang menjalankan peradilan disebut qadhi (hakim) karena diambil
dari wazan isim fa’il-nya yang lafadz qadha yang berarti orang yang menetapkan
hukum, sedangkan disebut hakim karena qadhi adalah orang yang menjalankan
hukum Allah terhadap orang yang berperkara.

b) Pengertian Persaksian Menurut Hukum Islam

Saksi adalah sebuah kata benda dalam Bahasa Indonesia yang berarti “ orang yang
melihat atau mngetahui”. Menurut istilah syar‟i saksi adalah orang yang
mempertanggungjawabkan kesaksian dan mengemukakan, karena dia menyaksikan
suatu peristiwa yang orang lain tidak menyaksikannya. Menurut istilah saksi atau
persaksian adalah orang jujur yang memberitakan apa yang dia ketahui untuk
menetapkan suatu hak di pengadilan dengan kata/lafaz tertentu, baik berkaitan dengan
hak Allah atau hak manusia selama saksi memberikan persaksiannya yang yakin.

1 Siska Lis Sulistiani, Peradilan Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2020), Hlm. 1
2 Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam (Yogyakarta: Ma‟arif, t.th.), Hlm. 30.

4
Dalam kamus fikih saksi juga disebutkan sebagai orang yang mengemukakan
keterangan untuk menetapkan hak atas orang lain, dalam pengadilan, pembuktian
dengan saksi adalah penting sekali, apalagi bahwa ada kebiasaan di dalam masyarakat
bahwa perbuatan hukum yang dilakukan itu tidak dicatat. 3 Dalam definisi lain
menjelaskan bahwa kesaksian itu adalah memberitahukan dengan sebenarnya hak
seseorang terhadap orang lain dengan lafazh aku bersaksi. Dalam kamus fikih saksi
juga disebutkan sebagai orang yang mengemukakan keterangan untuk menetapkan hak
atas orang lain, dalam pengadilan, pembuktian dengan saksi adalah penting sekali,
apalagi bahwa ada kebiasaan di dalam masyarakat bahwa perbuatan hukum yang
dilakukan itu tidak dicatat. Dalam definisi lain menjelaskan bahwa kesaksian itu adalah
memberitahukan dengan sebenarnya hak seseorang terhadap orang lain dengan lafazh
aku bersaksi. Dari beberapa definisi yang dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa
yang dinamakan kesaksian itu haruslah memiliki unsur-unsur:

• Adanya suatu perkara / peristiwa sebagai objek


• Dalam objek tersebut terdapat hak yang harus ditegakan
• Adanya orang yang memberitahukan objek tersebut secara apa adanya tanpa
komentar
• Orang yang memberitahu itu melihat dan mengetahui benar objek tersebut

Dengan mengerti dan memahami apa yang dimaskud dengan kesaksian maka
dikemukakan pengertian saksi sebagaimana yang dikatakan oleh al-Jauhari yang
artinya “Saksi ialah orang yang mempertanggung jawabkan kesaksiannya dan
mengemukakannya, karena ia menyaksikan suatu (peristiwa) yang orang lain tidak
menyaksikannya.

B. Persyaratan Hakim Peradilan Menurut Hukum Islam

3 Mahalli, Qolyubi wa „Umairah, (Riyad: Maktabah ar-Riya li al-Hadi), juz IV, hlm.316

5
Syarat-syarat Menjadi Hakim Menurut Islam adalah sebagai berikut:

• Syarat yang pertama laki-laki


Syarat ini menghimpun dua sifat sekaligus: baligh dan tidak wanita.
• Syarat kedua, mempunyai akal untuk mengetahui perintah. Ia harus mempunyai
pengetahuan tentang dzaruri (perintah) untuk diketahui, hingga ia mampu
membedakan segala hal sesuatu dengan benar, cerdas, dan jauh dari sifat lupa.
Dengan kecerdasannya, ia mampu menjelaskan apa yang tidak jelas, dan
memutuskan urusanurusan yang pelik.
• Syarat ketiga, merdeka (tidak budak).
Kekuasaan atas dirinya sendiri tidak sempurna, oleh karena itu ia tidak bisa
berkuasa atas orang lain. Selain itu kesaksian budak dalam kasus-kasus hukum
tidak diterima, maka sangat logis kalau status budak juga menghalangi
penerapan hukum olehnya dan pengangkatan dirinya sebagai hakim. Jika
budak telah bebas, ia diperbolehkan untuk menjabat sebagai hakim, kendati
perwalian dirinya berada ditangan pemiliknya, karena nasab tidak termasuk
keriteria dalam kekuasan hukum.
• Syarat keempat, Islam.
Karena Islam menjadi syarat diterimanya kesaksian, orang kafir tidak boleh
diangkat menjadi hakim untuk kaum muslimin, bahkan untuk orang-orang
kafir.
• Syarat kelima, Adil.
Syarat adil ini berlaku dalam semua jabatan. Adil ialah berkata benar, jujur,
bersih dari hal-hal yang di haramkan, menjauhi dosa-dosa, jauh dari sifat ragu-
ragu, terkontrol ketika senang dan marah, serta menggunakan sifat muruah
(ksatria) dalam agamanya dan dunianya.
• Syarat keenam, sehat pendengaran dan pengelihatan.
Agar dengan pengelihatan dan pendengaran yang sehat, ia dapat membedakan
pendakwa dengan terdakwa, membedakan pihak yang mengaku dengan pihak

6
yang tidak mengaku, membedakan kebenaran dengan kebatilan, dan mengenali
pihak yang benar dan pihak yang salah. 4

Adapun syarat lainnya adalah calon hakim harus pegawai negeri yang berasal dari
calon hakim dan berumur paling rendah 25 tahun. Jika dianalisis dan diperbandingkan
dengan persyaratan yang ada di dalam fiqh, maka ada kesamaan pandangan bahwa
hakim hendaknya berasal dari mereka yang memiliki kompetensi memadai dan juga
memiliki integritas dan kepribadian yang baik, serta ada kesesuaian antara kemampuan
intelektual dan kecerdasan emosional. Persyaratan di atas menggambarkan suatu
harapan yang ideal dari seorang hakim. Idealitas hakim ini, sebenarnya telah tercermin
dalam symbolsombol kartika (takwa), cakra (adil), candra (berwibawa), sari (berbudi
luhur), dan tirta (jujur). Sifat-sifat yang abstrak itu dituntut harus diwujudkan dalam
bentuk sikap hakim dan konkret, baik dalam kedinasan maupun diluar kedinasan.
Syarat-syarat di atas merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon hakim
untuk Peradilan Tingkat Pertama. Sebagaimana telah dijelaskan dalam UU pokok
kekuasaan kehakiman, Peradilan Agama terdiri dari Peradilan Tingkat Pertama,
Peradilan Tingkat Banding, dan Peradilan Tingkat Kasasi.

C. Hukum persaksian dan Syarat di terimanya Persaksian

a). hukum persaksian

Pentingnya sebuah kesaksian, maka para ulama mengkategorikannya sebagai


fardhu 'ain (kewajiban person atau perorangan) bagi orang-orang yang dipanggil untuk
memberikan keterangan mengenai suatu kasus dengan sebenarnya agar kebenaran
terungkap, sekalipun tidak dipanggil namun tetap wajib memberikan kesaksian untuk
menegakkan kebenaran sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’an pada surah
al-Baqarah ayat 282 dan 283 yang berbunyi sebagai berikut :

4
Imam Al-Mawardi “Al-Ahkam Sulthaniyyah Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan
Negara Islam” (Jakarta: Darul Falah, 2000), h.122

7
َْ ‫يٰٓايُّها الَّ ِذيْنَ امنُ ْٰٓوا اِذا تداي ْنت ُ َْم بِديْنَ اِلٰٓى اجلَ ُّمس ًّمى فا ْكتُبُ ْوهَُ و ْلي ْكت‬
َ‫ُب بَّيْنكُ َْم كاتِبَ بِا ْلع ْد ِلَ ولَ يأْبَ كاتِبَ انَْ يَّ ْكت ُب‬
َُّ‫ِي عل ْي َِه ا ْلحق‬
َْ ‫س مِ ْنهَُ شيْـًٔاَ فاِنَْ كانَ ا َّلذ‬
َْ ‫ّللا ربَّهَ ولَ يبْخ‬ َٰ ‫َّق‬ َِ ‫ق و ْليت‬
َُّ ‫ِي عل ْي َِه ا ْلح‬
َْ ‫ُب و ْليُ ْم ِل َِل الَّذ‬
َْ ‫ّللا ف ْلي ْكت‬
َُٰ َُ‫كما علَّمه‬
َ‫ْن مِ نَْ ِ ِّرجا ِلكُ َْم فاِنَْ لَّ َْم يك ُْونا‬
َِ ‫ش ِهد ُْوا ش ِهيْدي‬ْ ‫س ِف ْيهًا ا َْو ض ِع ْيفًا ا َْو لَ يسْتطِ ْي َُع انَْ يُّمِ ََّل هُوَ ف ْليُ ْم ِل َْل و ِليُّهَ ِبا ْلع ْد َِل واسْت‬
َ‫ال ْخرىَ ولَ يأْبَ الشُّه َۤدا ُء‬ ُ ْ َ‫ن مِ َّمنَْ ت ْرض ْونَ مِ نَ الشُّه َۤداءَِ انَْ ت ِض ََّل اِحْدىهُما فت ُذ ِّكِرَ اِحْدىهُما‬ َِ ‫امرات‬ْ ‫ْن فرجُلَ َّو‬ َِ ‫رجُلي‬
َ‫ّللا وا ْقو َُم لِلشَّهاد َِة وادْن ٰٓى‬
َِٰ َ‫طُ ِع ْند‬ َ ‫اِذا ما ُدع ُْواَ ولَ تسْـَٔ ُم ْٰٓوا انَْ ت ْكتُبُ ْوهَُ ص ِغي ًْرا ا َْو كبِي ًْرا اِلٰٓى اجلِهَ ذ ِلكُ َْم ا ْقس‬
ْ ‫اضر َةً ت ُ ِدي ُْر ْونها بيْنكُ َْم فليْسَ عل ْيكُ ْمَ جُناحَ ا ََّل ت ْكتُبُ ْوهاَ وا‬
‫ش ِهد ُْٰٓوا اِذا تباي ْعت ُ َْم‬ ِ ‫َا ََّل ت ْرتابُ ْٰٓوا ا َّ ِٰٓل انَْ تك ُْونَ تِجار َةً ح‬
َ‫ّللا بِكُ ِ َِّل ش ْيءَ ع ِليْم‬
َُٰ ‫ّللاََ و‬ ٰ ‫ولَ يُض َۤا ََّر كاتِبَ َّولَ ش ِهيْدَ ە واِنَْ ت ْفعلُ ْوا ف ِانَّهَ فُسُ ْوقَ بِكُ ْمََ واتَّقُوا‬
ُ ٰ ‫ّللاََ ويُع ِلِّ ُمكُ َُم‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis
enggan menuliskannya sebagaimana Allah SWT mengajarkannya, meka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis
itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah SWT Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah
akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika
seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan
(memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis
hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian
itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu´amalahmu itu), kecuali jika
mu´amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada
dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu
lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada

8
dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah SWT; Allah SWT mengajarmu; dan Allah SWT
Maha Mengetahui segala sesuatu”. {Qs. al-Baqarah/2:282}

َ‫ّللا‬ َِ ‫ضكُ َْم ب ْعضًا ف ْليُؤ ِ َِّد الَّذِى اؤْ تُمِ نَ امانتهَ و ْليت‬
ٰ ‫َّق‬ ُ ‫واِنَْ كُ ْنت ُ َْم على سفرَ َّول َْم ت ِجد ُْوا كاتِبًا ف ِرهنَ َّم ْقبُ ْوضةَََفاِنَْ امِ نَ ب ْع‬
َُٰ ‫َࣖربَّهََ ولَ ت ْكت ُ ُموا الشَّهادةَ ومنَْ يَّ ْكت ُْمها ف ِا َّن ٰٓهَ اثِمَ ق ْلبُهََ و‬
َ‫ّللا ِبما تعْم ُل ْونَ ع ِليْم‬

Artinya: “ Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah SWT Tuhannya; dan janganlah
kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah SWT Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. {Qs. al-Baqarah/2:283}

Selain ayat di atas, Rasulullah SAW juga pernah bersabda :

Artinya: “Dari Zayd bin Khalid al-Juhani, bahwasanya Nabi Muhammad SAW
bersabda : ”Apakah tidak ku kabarkan kepada kamu tentang sebaik-baik saksi? Ialah
orang yang memberikan kesaksiannya sebelum ia diminta untuk mengemukakannya”.
{HR. Muslim}

Hadis ini menunjukkan, bahwa untuk memberikan kesaksian tidak mesti


dipanggil baru memberikan kesaksian namun harus aktif dalam rangka memberikan
kesaksian terhadap suatu kasus hukum. Bahkan lebih dari itu 5, memberikan kesaksian
tidak hanya sebatas kewajiban tetapi untuk menegakkan kebenaran dan menolak
kezaliman serta secara tidak langsung dengan kesaksian yang telah disampaikan sudah

5
Al-Anshari, Lisan al-‘Arab, JUZ VII, (Kairo : DAr al-Mishri, t.th ), hlm. 222.

9
termasuk menolong orang-orang yang terlibat dalam persoalan hukum tersebut
sehingga jelas siapa yang dirugikan dari peristiwa tersebut sehingga hakim dapat
memberikan putusan sesuai dengan yang seharusnya. Karena memberikan kesaksian
adalah merupakan kebaikkan maka sudah sepatutnya diungkapkan dengan sebenar-
benarnya dan diucapkan dengan niat semata-mata karena Allah SWT sebagaimana
ditegaskan Allah SWT dalam surah an-Nisa ayat 135 dan surah ath-Talak ayat 2 yang
berbunyi sebagai berikut :

َ ْ ‫علٰٓى اَ ْنفُسِ كُ ْم اَ ِو ْال َوا ِلدَي ِْن َو‬


‫اْل ْق َربِيْنَ ۚ ا ِْن يَّكُ ْن‬ ِ ٰ ِ ‫ش َهد َۤا َء‬
َ ‫لِل َولَ ْو‬ ُ ِ‫يٰٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ا َمن ُْوا كُ ْون ُْوا قَ َّوامِ يْنَ بِ ْال ِقسْط‬
َ ٰ َّ‫َالِل اَ ْولى ِب ِه َما ف ََل تَتَّ ِبعُوا ْال َه ٰٓوى اَ ْن تَ ْع ِدلُ ْوا ۚ َوا ِْن ت َْل ٰٓوا اَ ْو ت ُ ْع ِرض ُْوا فَاِن‬
‫ّللا كَانَ ِب َما تَ ْع َملُ ْونَ َخ ِبي ًْرا‬ ُ ٰ ‫غنِيًّا اَ ْو فَ ِقي ًْرا ف‬ َ

Artinya: “ Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah SWT biarpun terhadap dirimu sendiri
atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah SWT
lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. Dan apabila kamu memutar balikkan (kata-kata) atau
enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah SWT adalah Maha Mengetahui
segala apa yang kamu kerjakan”. {Qs. an-Nisa/4:135}

َ‫عدْل ِم ْنكُ ْم َواَ ِق ْي ُموا ال َّش َها َدة‬ ْ ‫َارقُ ْوهُنَّ ِب َم ْع ُر ْوف َّواَ ْش ِهد ُْوا ذَ َو‬
َ ‫ي‬ ِ ‫فَ ِاذَا َب َل ْغنَ اَ َجلَ ُهنَّ فَا َ ْمسِ كُ ْوهُنَّ ِب َم ْع ُر ْوف اَ ْو ف‬
‫ّللا َيجْ َعلْ لَّه َم ْخ َرجًا‬
َٰ ‫ق‬ ِ َّ‫الِل َو ْاليَ ْو ِم ْاْلخِ ِر ە َو َم ْن يَّت‬
ِ ٰ ِ‫عظُ بِه َم ْن كَانَ يُؤْ مِ نُ ب‬
َ ‫لِل ذ ِلكُ ْم ي ُْو‬
ِِٰ

Artinya: “ Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka
dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu
karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada
Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan
mengadakan baginya jalan keluar”. {Qs. AthThalak/65: 2}

Kewajiban untuk memberikan kesaksian disini, menurut para ulama apabila


tidak ada bahaya yang mengahadangnya untuk memberikan kesaksian baik dari

10
ancaman terhadap badannya, kehormatannya, hartanya, ataupun keluarganya.
Terutama ancaman yang menuntut supaya memberikan kesaksian palsu dengan
memutar balikkan fakta sehingga membuat seorang terzolimi. Memberikan kesaksian
palsu sama saja dengan menipu,8 maka dalam pandangan Islam tindakan bersaksi palsu
ini sangat dikecam Rasulullah SAW sebab prilaku ini merupakan bagaian dari dosa
besar, karena membuat seseorang yang tidak bersalah menjadi bersalah dan yang
bersalah menajdi bebas tidak bersalah.

b). Syarat di terimanya Persaksian

Saksi memiliki peranan penting dalam menetapkan seseorang bersalah atau


tidak pada suatu peristiwa hukum, maka dalam Islam untuk memilih seorang saksi
dipilih secara selektif guna mendapatkan informasi yang akurat. Menurut para ulama
ada beberapa persyaratan bagi seorang saksi yang antara lain sebagai berikut 6:

1. Beragama Islam, menurut Mahalli bahwa seharusnya para saksi terdiri dari kaum
Muslimin bukan dari kalangan non Muslim terutama terhadap suatu pristiwa hukum
yang terjadi antara sesama umat Islam.

2. Bersifat adil, termasuk memberitahukan secara apa adanya dengan apa yang
dilihatnya terhadap objek pristiwa hukum tersebut tanpa menambahi dan
menguranginya, maka menurut Ibnu Hazm bahwa tidak boleh diterima kesaksian
seorang laki-laki maupun perempuan yang tidak adil.

3. Balig dan berakal, para ulama fikih berpendapat bahwa salah satu dari orang-orang
yang bebas dari hukum adalah anak-anak dan orang gila termasuk kesaksian mereka
ditolak sebab menurut al-Jauhari dikarenakan tentang kesaksian berkaitan herat dengan
tanggungjawab.

4. Memiliki kecakapan, seorang saksi seharusnya dari orang-orang yang dapat


berbicara untuk menyampaikan dan menerangkan apa yang telah disaksikannya kepada

6
Mahalli, Qalyubi wa ‘Umairah, juz IV, ( Riyad : Maktabah ar-Riyaḍ li al-Hadiṭṣah, th ), hlm. 323.

11
hakim maka menurut Louis Ma’luf bahwa seorang saksi hendaknya memiliki
kecakapan.

12
A. Kesimpulan
Hukum Islam memiliki kekhususan mengenai kesaksian, yangmana
dalam hukum Islam mensyarakat seorang saksi harus bersifat adil berbeda
dengan hukum positif yang tidak mensyaratkan adil terhadap para saksi. Dalam
hukum Islam memberikan kesaksian dengan adil atau benar adalah suatu
kewajiban bagi setiap kaum Muslim yang dibutuhkan untuk mengemukakan
suatu pristiwa hukum guna menegakkan keadilan dan menutup pintu
kezaliman. Banyak sekali kasus-kasus kejahatan yang tidak terungkap dan tidak
terselesaikan disebabkan saksi yang takut memberikan keterangan karena
mendapatkan ancaman, maka kedepan yang perlu ditekankan adalah bagaimana
jaminan perlindungan terhadap saksi dalam perspektif hukum Islam.

B. SARAN
Pastinya dalam penulisan ini tentunya banyak sekali kekurangan
penjelasan terkait kelembagaan adat. Kami sebagai penulis mengaharapkan
kritik dan saran kepada para pembaca agar kami bisa menulis dengan maksimal
dan mengunakan refrensi yang lebih baik kedepannya

13
DAFTAR PUSTAKA

Imam Al-Mawardi “Al-Ahkam Sulthaniyyah Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan


Negara Islam” (Jakarta: Darul Falah, 2000)
Siska Lis Sulistiani, Peradilan Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2020), Hlm. 1
Hasbi Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam (Yogyakarta: Ma‟arif,
t.th.)
Mahalli, Qolyubi wa „Umairah, (Riyad: Maktabah ar-Riya li al-Hadi), juz IV,
hlm.316
Madzkur, Muhammad Salam,. al-Qadha’ fi al-Islam, Kairo: Dar an-Naḥḍah al-
‘Arabiyah, 1964.
Al-Anshari, Lisan al-‘Arab, JUZ VII, (Kairo : DAr al-Mishri, t.th ), hlm. 222.

14

Anda mungkin juga menyukai