Anda di halaman 1dari 18

PROSES POLITIK DAN PERSPEKTIF ISLAM

MENGENAI UU NO 05 TAHUN 1997


Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Politik Hukum Pidana

Dosen pengampu: Salam Alfarisi, Lc, Ma.

H:

Rika Risky (0205202090)

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATRA UTARA

2021/2022
KATA PENGANTAR

 Alhamdullah, segala puja dan puji marilah senantiasa kita ucapkan atas limpahan rahmat
dan nikmatnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang diberikan kepada
kami.Sholawat bersamaan dengan salam juga mari hadiahkan kepada baginda nabi kita
Muhammad SAW.Adapun tujuan utama penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
mata kuliah Politik Hukum Pidana dengan judul Proses Politik Dan Perspektif Islam Mengenai
Uu No 05 Tahun 1997

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan terbatas nya
pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki.Untuk itu,saya berharap adanya kritik,saran dan
usulan demi perbaikan di masa yang akan datang.

Dan saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah ilmu serta
wawasan kita. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan.Akhir kata kami ucapkan Alhamdulillaah dan Terimakasih.

Medan, 23 Mei 2022

Penulis

Rini Nabilla Giranda

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................3
A. PENGERTIAN HUKUM DAN MACAM-MACAMNYA....................................3
B. AL-HAKIM.............................................................................................................7
C. MAHKUM FIIH......................................................................................................9
D. MAHKUM ‘ALAIH................................................................................................11
BAB III PENUTUP...........................................................................................................14
A. Kesimpulan..............................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................15

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Kehadiran usul fikih dalam khazanah intelektual muslim dirasakan oleh cendekiawan
muslim mutaqaddimin mau pun mutaakhkhirin sampai hari ini membawa arti yang sangat
penting bagi upaya pengkajian dan penggalian hukum-hukum. Hasilnya adalah hukum Islam
dapat dirumuskan berkesesuaian dengan prinsip actualable dan responsive atau salihun likulli
zaman wa makan. Dalam konteks ini, usul fikih ditempatkan pada satu sisi sebagai proses
pengkajian teks-teks Alquran dan hadis yang merupakan primary literer dan pada sisi lain dapat
berfungsi sebagai secondary literer dengan statuta qat}’iy.1Alquran sebagai sumber pertama dan
utama hukum Islam diyakini sebagai kumpulan teks-teks yang tidak akan kehilangan makna,
sebab Alquran merupakan kalam Allah. Oleh karena itu, yang paling mengetahui maksud dan
kandungan setiap ayat Alquran hanyalah Allah. Manusia hanya mampu meraba dan menemukan
makna yang kemungkinan mendekati kehendak teks.

Dalam konteks ini, hukum Islam dihadapkan pada fenomena dan persoalan kehidupan
yang lahir dari peradaban dengan laju perkembangan demikian pesat. Kemajuan ini berimplikasi
pada prilaku dan sikap umat Islam sebagai kelompok masyarakat ya patuh terhadap hukum
Islam. Perilaku dan sikap setiap individu pada komunitas umat Islam berada dalam kontrol
sistem hukum yang terbangun dari pengkajian dan penalaran terhadap teksteks Alquran dan
hadis. Problem prilaku individu dan hukum Islam tidak jarang muncul di tengah-tengah
masyarakat ketika umat Islam lambat dan cenderung latah dalam merespon setiap fenomena
yang muncul. Persoalan itu muncul sekaitan dengan penemuan makna teks untuk kepentingan
penyikapan terhadap fenomena kontemporer, terutama mengenai status hukum sesuatu. Hal
tersebut dapat dimaklumi jika dilihat bahwa terdapat sejumlah persoalan kontemporer yang tidak
dijelaskan secara eksplisit dalam teks-teks Alquran, sementara pada saat yang sama, hadis
sebagai sumber kedua cenderung ditangguhkan karena dinilai tidak memiliki signifikansi sosial
dengan situasi kontemporer.

1
Al-Syat}ibiy mengakui bahwa usul fikih dalam agama adalah dalil qat}’i. Hal ini menurutnya didasarkan pada
rasionalitas dan realitas universal. Abu Ishak al-Syat}ibiy, al-Muwaffaqaat fi Us}ul alSyari’ah, jilid I (cet. III; Lebanon;
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1424H/2002M), h. 19

1
Dengan demikian, dibutuhkan suatu alat atau sarana pengkajian dan penggalian makna
teks-teks yang ada, sehingga akan ditemukan isyarat atau petunjuk mengenai hukum suatu
masalah. Penetapan hukum atas masalah yang ada tidak dapat dipisahkan dari factor determinan
berupa al-ahkam al-syar’iyah

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hukum dan macam-macamnya?
2. Apa yang dimasud dengan Al-Hakim?
3. Apa yang dimasud dengan Mahkum Fiih?
4. Apa yang dimasud dengan Mahkum ‘Alaih?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetagui pengertian hukum dan macam-macam hukum
2. Mengetahui yang dimasud dengan Al-Hakim
3. Mengetahui yang dimasud dengan Mahkum Fiih
4. Mengetahui yang dimasud dengan Mahkum ‘Alaih

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HUKUM (AL-AHKAMUSSYARI’AH) DAN MACAM-


MACAMNYA.

Penjelasan mengenai istilah atau suatu konsep tertentu selalu menggunakan dua
pendekatan, yaitu bahasa (etimologi) dan istilah (terminologi). Secara etimologi, al-hukm berarti
man’u yakni mencegah. Hukum juga dapat diartikan dengan qada’ yang memiliki arti putusan. 2
Selain itu, hukum juga berarti al-fasl (pemisah). 3Hukum sepadan dengan mencegah, karena
perintah untuk melakukan sesuatu berarti cegahan untuk melakukan hal-hal yang bersifat
sebaliknya. Hukum diartikan putusan karena hukum adalah keputusan hakim di pengadilan yang
merupakan instrument utama dalam lingkungan pengadilan.

Hukum diartikan pula sebagai pemisah karena hukum mempunyai fungsi sebagai alat
ukur yang dapat membedakan benar dan salah. Secara terminologi, para ahli hukum Islam
mengemukakan bahwa hukum syara’ adalah khitab syar’i yang bersangkutan dengan perbuatan
mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan, pilihan, atau ketetapan.4

Menurut istilah ahli fikih,hukum syara’ adalah efek yang dikehendaki oleh khitab syar’i
pada perbuatan seperti kewajiban, keharaman, dan kebolehan.Pengertian hukum menurut ahli
hukum Islam adalah akibat kandungan teks sedangkan ahli usul fikih, hukum adalah teks dari
perbuata syara’. Definisi hukum menurut istilah ahli usul fikih dapat disalahpahami sebagai
hukum syara’ khusus pada teks teks saja, karena hanya pada teks khitab syara’ yang dituju, tidak
pada dalil-dalil yang lain seperti ijma dan qiyas. Dalil lain tersebut bukanlah teks itu sendiri
ketika dibuktikan dalam teks. Namun pada hakekatnya, teks itu adalah khitab dari syar’i
meskipun tidak bersifat langsung. Dengan demikian, setiap dalil syar’i yang berkaitan dengan
perbuatan mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan, pilhan, atau penetapan adalah hukum syar’i
menurut tradisi hukum Islam.

Dari definisi hukum syara’ dalam tradisi hukum Islam, dapat disimpulkan bahwa hukum
itu tidak hanya satu macam karena hukum itu berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik dari
aspek tuntutan, pilihaan, maupun dari segi penetapannya. Ahli hukum Islam memberikan istilah
pada hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dari segi tuntutan dan pilihan sebagai
hukum taklifiy. Hukum yang berkaitaan dengan perbuatan mukallaf dari aspek penetapan disebut
sebagai hukum wad’iy.

2
Chaerul Umam dkk., Usul Fikih I (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 213
3
Mah}mud Muhammad al-Tantawiy, Us}ul Fiqh al-Islamiy (Mesir: al-Maktabah al-Wahbah, 2001), h.
4
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Usul Fiqh (cet. 1; Semarang: Dina Utama, 1994), h. 142

3
 MACAM-MACAM HUKUM
a. Hukum Taklifiy

Pengertian hukum taklifiy secara istilah adalah tuntutan dari Allah kepada hamba untuk
mengerjakan sesuatu, meninggalkan sesuatu, atau pilihan antara mengerjakan dan
meninggalkannya.5Hukum taklifiy dijelaskan dari segi kualitas tuntutan (berat, sedang, dan
ringan ) untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu. Jumhur ulama menetapkan bahwa
hukum taklifiy dilihat dari segi kualitas titah atau tuntutan Allah kepada hamba dibedakan
menjadi lima, yaitu:

a. Wajib, yaitu perintah Allah kepada hamba yang disertai dengan daya paksa, berupa
ancaman bagi yang meninggalkannya.6Wajib dapat dibagi kepada:
1). Aspek tertentu dan tidak tertentunya perbuatan yang dituntut, yaitu:
a). Wajib mu’ayyan: yang telah ditentukan macam perbuatannya, misalnya
membaca Fatihah dalam Salat.
b). Wajib mukhayyar: yang boleh dipilih salah satu dari beberapa macam
perbuatan yang telah ditentukan, misalnya kifarat sumpah yan memberi tiga
alternative: memberi makan sepuluh orang miskin, memberi pakaian sepuluh
orang miskin, atau memerdekakan budak
2). Aspek waktu yang tersedia untuk menunaikannya, mencakup:
a). Wajib mudayyaq: waktu yang ditentukan untuk melaksanakan kewajiban itu
sama banyaknya dengan waktu yang dibutuhkan, misalnya puasa bulan
Ramadan.
b). Wajib muwassa’: Waktu yang tersedia lebih banyak dari waktu yang
dibutuhkan untuk menjalankan kewajiban tersebut, misalnya salat lima waktu
3). Aspek kuantitas subjek perbuatan:
a).Wajib ‘aini: wajib yang dibebankan kepada setiap individu mukallaf
b).Wajib kifayah: kewajiban yang dibebankan kepada suatu komunitas
masyarakat yang apabila satu atau sebahagian orang telah menunaikannya
maka kewajiban anggota komunitas lain pun gugur. Akan tetapi bila tidak ada
yang mengerjakannya maka seluruh anggota komunitas akan menanggung
akibatnya.
4). Dari aspek kadar atau jumlah yang ditentukan:
a).Wajib muhaddad:Kewajiban yang ditentukan kadar atau jumlahnya,
misalnya jumlah zakat dan jumlah rakaat salat.
b).Wajib ghair muhaddad: Kewajiban yang tidak ditentukan batas
bilangannya,misalnya membelanjakan harta di jalan Allah, berjihad, dan
tolong menolong.7

5
Mahmud Muhammad al-Tantawiy, op. cit., h. 46
6
Abdul Hamid Hakim, al-Bayan (Padang Panjang: Sa’adiyah Putra, t. th.), h. 7
7
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh; Suatu Pengantar (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2004), h.

4
b. Sunnah, yaitu perintah Allah kepada hamba untuk mengerjakan sesuatu yang tidak
disertai dengan daya paksa berupa ancaman bagi yang meninggalkannya. 8Sunnah
dikategorikan kepada:
1) Sunnah ‘ain: segala perbuatan yang dianjurkan kepada setiap pribadi mukallaf
untuk dikerjakan misalnya salat sunnat rawatib.
2) Sunnah kifayah: segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat oleh cukup
salah seorang saja dari satu kelompok, misalnya mengucapkan salam dan
mendoakan orang bersin.

Sunnah dapat pula dibedakan atas:

a. Sunnah muakkad: perbuatan sunnah yang senantiasa dikerjakan oleh rasulullah atau lebih
banyak dikerjakan rasulullah daripada tidak dikerjakannya, misalnya salat hari raya.
b. Sunnah gair muakkad: segala macam perbuatan sunnah yang tidak selalu dikerjakan
rasulullah, misalnya bersedekah kepada fakir miskin.9

c. Haram: yaitu perintah Allah kepada hamba untuk meninggalkan sesuatu dengan
disertai daya paksa berupa ancaman bagi yang menyalahinya. Haram dapat dibagi
kepada:
1) Haram karena perbuatan itu sendiri atau haram karena zatnya. Haram seperti ini
pada pokoknya adalah haram yang memang diharamkan sejak semula. Misalnya
membunuh, berzina, dan mencuri.
2) Haram karena berkaitan dengan perbuatan lain atau haram karena factor lain yang
datang kemudian. Misalnya jual beli yang hukum asalnya mubah berubah menjadi
haram ketika azan jum’at berkumandang.

d. Makruh: yaitu perintah Allah kepada hamba untuk meninggalkan sesuatu yang tidak
disertai dengan daya paksa berupa ancaman bagi yang menyalahinya.Makruh
meliputi:
1) Makruh Tanzih: segala perbuatan yang lebih baik ditinggalkan daripada
mengerjakannya. Misalnya minum dalam keadaan berdiri, atau makan sambil
berdiri.
2) Makruh Tahrim: Segala perbuatan yang dilarang tetapi didasarkan kepada dalil
zanni, bukan qat’i. misalnya bermain catur, bermain domino, memakan kala dan
memakan daging ular. Pendapat ini sebagaimana diintrodusir oleh kalngan
mazhab Hanafiah dan Malikiyah.10

8
Abdul Hamid Hakim, loc. cit.
9
Alaiddin Koto, op. cit., h. 47
10
Alaiddin Koto, op. cit., h. 47-48

5
e. Mubah: yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh pula ditinggalkan. 11Hal ini
dapat dikategorikan kepada:
1) Perbuatan yang ditetapkan secara tegas kebolehannya oleh syara’, manusia diberi
kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan. Misalnya meminang wanita
dengan sindiran-sindiran yang baik (Qs. Al-Baqarah/2:225).
2) Perbuatan yang tidak ada dalil syara’ menyatakan kebolehan memilih tetapi ada
kata perintah untuk melakukannya. Perintah itu dipahami sebagai mubah karena
ada karinah yang menunjukkan bahwa perintah tersebut tidak memaksudkan
kewajiban. Misalnya perintah berburu ketika selesai melaksanakan ibadah haji
(Qs. al-Maidah/5:2).
3) Perbuatan yang tidak ada keterangannya sama sekali dalam teks syari’ah tentang
kebolehan atau ketidakbolehannya. Hal ini dikembalikan kepada hukum barat al-
as}liyah (bebas menurut asalanya). Oleh sebab itu, segala perbuatan di bidang
muamalah adalah boleh selama tidak ada dalil yang melarangnya. Ahli hukum
Islam membuat kaidah al-asl fi al-mu’amalah al ibahah.

Hukum taklifiy itu sendiri dikategorisasi oleh ulama hanafiah kepada tujuh macam
kategori yaitu: fardu, wajib, sunnah, haram, makruh tahrim, makruh tanzi, dan mubah. 12
Meskipun demikian, pembagian tersebut masih memiliki spirit yang tidak terlalu jauh berbeda
dengan lima kategori umum yang telah ditetapkan oleh jumhur ulama.

b. Hukum wad’iy

Hukum wad’iy adalah perintah Allah yang berkaitan dengan penetapan sesuatu sebagai
sebab, syarat, atau penghalang bagi yang lain.13Sebahagian ulama menambah cakupan hukum
wad’i dengan memasukkan tema sah, batal, dan rusak (fasad). Akan tetapi, pembahasan
mengenai sah, batal, dan rusak tidak hanya termasuk hukum wad’i, melainkan juga termasuk
hukum taklifiy.

a. Sebab: segala sesuatu yang jadi alasan syari’ah bagi keberadaan hukum. Adanya
sesuatu menyebabkan adanya hukum dan ketidakberadaannya menyebabkan
hapusnya hukum. Sebab dapat diklasifikasi kepada: pertama, sebab di luar
kemampuan mukallaf, misalnya keadaan terpaksa menjadi sebab bolehnya memakan
babi, tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya salat magrib. Kedua, sebab
yang berada dalam kesanggupan mukallaf. Kategori ini mencakup;

1) hukum taklifi seperti menyaksikan bulan menjadi sebab wajib pelaksanaan puasa;

11
Abdul Hamid Hakim, loc. cit.
12
Jaih Mubarok, Hukum Islam; Konsep, Pembaruan dan Teori Penegakan (cet. I; Bandung; Benang Merah, t. th.), h.
38
13
Ibid., h. 51

6
2) hukum wad’i, misalnya perkawinan menjadi sebab hubungan hak waris suami-istri dan
menjadi sebab haramnya mengawini mertua.

b. Syarat: segala sesuatu yang tergantung adanyan hukum dengan adanya sesuatu
tersebut, dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum. Namun,
dengan adanya suatu itu tidak mesti pula adanya hukum. Syarat hakiki (syar’i)
mencakup: pertama, segala pekerjaan yang diperintahkan sebelum mengerjakan
yang lain dan pekerjaan itu tidak diterima (sah) bila pekerjaan yang pertama belum
dilakukan. Misalnya wudhu, menjadi syarat sahnya salat, dan saksi yang menjadi
syarat sahnya nikah. kedua, yaitu segala syarat yang dibuat oleh orang yang
mengadakan transaksi dan dijadikan tempat bergantung serta terwujudnya transaksi
itu. Misalnya, seorang pembeli membuat syarat bahwa ia mau membeli sesuatu
barang dari seorang penjual dengan syarat boleh dengan mencicil. Bila syarat itu
diterima oleh penjual, maka transaksi dapat dilakukan.

c. Mani’: segala sesuatu yang dengan adanya dapat meniadakan hukum atau dapat
membatalkan sebab hukum. Mani’ meliputi: pertama, mani’ terhadap hukum. Ini bisa
dicontohkan dengan perbedaan agama antara pewaris dan yang diwarisi adalah mani’
hukum untuk saling mewarisi sekalipun sebab saling mewarisi sudah ada, yaitu
perkawinan. Begitu juga dengan najis yang ada pada tubuh dan pakaian orang salat.
Dalam contoh ini, tidak terdapat salah satu syarat sah salat yaitu suci dari najis. Oleh
sebab itu, hukum sahnya salat tidak ada. Hal ini disebut mani’ hukum. Kedua, mani’
terhadap sebab hukum. Misalnya, sesorang yang memiliki harta senisab wajib
mengeluarkan zakat akan tetapi yang bersangkutan mempunyai hutang yang
jumlahny sampai mengurangi nisab zakat maka tidak ada kewajiban zakat padanya,
karena harta yang dimilikinya tidak lagi cukup senisab. Hal ini disebut mani’
sebab.14Pemaparan tersebut menampilkan dua hal. Pertama, hukum taklifiy
dimaksudkan untuk menuntut/melarang atau membolehkan sesuatu perbuatan,
sedangkan hukum wad’iy hanya menjelaskan sesuatu itu sebagai sebab , syarat, atau
mani’. Kedua, hukum taklifiy selalu dalam batas kemampuan mukallaf sesuai dengan
keadilan taklif, sedangkan hukum wad’iy tidak selamanya ada pada kemampuan
seorang mukallaf15.

B. AL-HAKIM

Kata “Hakima” secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”. Dalam istilah
fiqh, hakim merupakan orang yang memutuskan hukum dipengadilan yang sama maknanya
dengan qadhi. Dalam kajian ushul fiqh, hakim juga berarti pihak penentu dan pembuat hukum
syariat secara hakiki.

14
Alaiddin Koto, op. cit., h. 49-52
15
Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam (cet. 1; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), h. 19

7
Ulama ushul sepakat bahwa yang menjadi pembuat hukum hakiki dari hukum syariat adalah
Allah, sebagaimana firman-Nya:

Artinya:“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia
pemberi keputusan yang paling baik”.(QS. Al-An’am: 57).16

Dan menurut mereka juga, bahwa yang menetapkan hukum (Al-hakim) itu ialah Allah
SWT. Sedangkan yang memberitahukan hukum-hukum Allah ialah para rasulNya. Beliau-beliau
inilah yang menyampaikan hukum-hukum Tuhan kepada ummat manusia.Tidak ada perselisihan
pendapat ulama syara’ itulah yang menjadi hakim sesudah Rosul dibangkit dan sesudah sampai
seruannya kepada yang dituju.Yang diperselisihkan ialah tentang siapakah yang menjadi hakim
terhadap perbuatan mukallaf sebelum rasul dibangkit. Golongan mu’tazillah berpendapat, bahwa
sebelum rasul dibangkit, akal manusia itulah yang menjadi hakim, karena akal manusia dapat
mengetahui baik atau buruknya sesuatu perbuatan karena hakikatnya atau karena sifatnya.

Oleh kerena itu mukallaf wajib mengerjakan apa yang dipandang baik oleh akal dan
meninggalkan apa yang dipandang buruk oleh akal. Allah akan memberikan pahala kepada para
mekallaf yang berbuat baikberdasarkan kepada pendapatnya, sebagaimana Allah memberi pahala
berdasarkan apa yang diketahui mukallaf dengan perantara syara’.Golongan Asy’ariyah
berpendapat, bahwa sebelum datang syara’ tidak diberi sesuatu hukum kepada perbuatan-
perbuatan mukallaf. Golongan Mu’tazilah dan Asy’ariyah sependapat bahwa akal dapat
mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, yakni yang bersesuaian tabi’at: dipandang
baik oleh akal yang tidak bersesuaian dengan tabi’at dipandang buruk oleh akal.

Titik perselisihan antara golongan Mu’tazilah dengan golongan Asy’ariyah ialah tentang
apakah perbuatan itu menjadi tempat adanya pahala atau siksa, tergantung pada perbuatan,
walaupun syara’ belum menerangkannya, sedang golongan jumhur berpendapat, bahwa tidak
disiksa dan tidak diberi pahala manusia sebelum datang syara’, kendati akal bisa mengetahui
baik buruknya sesuatu perbuatan.Meskipun ulama ushul sepakat bahwa pembuat hukum hanya
Allah SWT, namaun mereka berbeda pendapat dalam masalah apakah hukum-hukum yang
dibuat Allah hanya dapat diketahui dengan turunnya wahyu, atau akal dapat mengetahui hukum

16
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh (metode istinbath dan istidlal), (Bandung: Remaja Rosdakarya,2014), cet. 2, hal.
40-41.

8
itu dengan baik. Dalam hal ini, Abu Husen al-Bashri (w. 436 H) membagi amal perbuatan
manusia kedalam dua kategori:

a. Perbuatan aqliyah, yaitu perbuatan yang hukumnya dapat diketahui dengan akal
pikiran.
b. Perbuatan syar’iyah, yaitu berbuatan dimana syara’ ikut menentukan hukum dan
bentuknya.

Perbuatan kategori ini terdiri dari dua macam, yaitu:

1. Perbuatan dimana hanya dengan syariat dapat diketahui hukum, bentuk, dan
kedudukannya sebagai ibadah bagi pelakunya, seperti ibadah shalat’
2. Perbuatan dengan syariat berperan mengubah, menambah, atau mengurangi
persyaratan-persyaratan yang talah diketahui akal pikiran. Dalam hal ini, syariat
memodifikasi sesuatu perbuatan, sehingga disebut sebagai perbuatan yang bersifat
syar’i.

C. MAHKUM FIIH
Mahkum Fiih adalah perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang dibebani suatu hukum
(perbuatan hukum).17Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum
fih) ‫ فِ ْي ِها َ ْل َم ْح ُك ْو ُم‬adalah objek hukum, yaitu perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan titah
syari’ (Allah dan Rasul-Nya), yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntunan meninggalkan suatu
pekerjaan, memilih suatu pekerjaan, dan bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhshah, sah,
serta batal.
Jadi, mahkum fih itu merupakan hasil perbuatan manusia yang mukallaf erat
hubungannya atau bersangkutan dengan hukum syara’ agama Islam. Misalnya perbuatan
manusia yang mukallaf berhubungan dan berkaitan dengan aturan agama Islam, antara lain:
a. Masalah menyempurnakan janji bagi mukallaf, adalah mahkum fih, sebab
bertalian dengan ijab, maka hukumnya adalah wajib.
b. Menyangkut masalah tidak dilaksanakan terhadap manusia, adalah mahkum fih,
dan bertalian dengan ketentuan Allah

17
Hasbiyallah, hal. 41.

9
c. Menyangkut perbuatan manusia, mengenai mengerjakan puasa atau tidak
melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan bagi orang yang sakit atau orang
musafir/dalam prerjalanan jauh, maka masalah itu adalah mahkum fih, bertalian
dengan masalah ibadah.

Para kalangan madzab Hanafi yang berpendapat tidak akan terjadi takhlif sebelum
tercapai syarat sahnya takhlif mengemukakan alasan :

a. Kalau terjadi takhlif sebelum tercapai syarat sah takhlif berarti takhlif tidak dapat
dilaksanakan, sedangkan takhlif yang tidak dilaksanakan adalah batal.
b. Dalam ucapan Rasulullah ketika mengangkat Muadz bin Jabal menjadi Gubernur
Yaman beliau berkata:“Ajaklah mereka (menuturkan) syahadat bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan aku adalah rasul Allah. Jika mereka telah menerimanya
beri tahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat
lima waktu sehari semalam. Kalau mereka telah mnerimanya beri tahukan Allah
mewajibkan zakat atas harta kekayaan dari orang yang kaya untuk diserahkan
kepada yang miskin dari mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas)
c. Semua ibadah orang yang kafir tidk diterima karena ibadah memerlukan niat,
sedangkan niat dari orang yang kafir tidak sah kecuali terlebih dahulu beriman.
d. Perintah melaksanakan ibadah untuk memperoleh pahala, sedangkan orang kafir
tidak berhak menerima pahala.
e. Kalau orang yang kafir dibebankan melaksanakan shalat tentunya mereka
dikenakan hukuman di dunia sebagaimana seorang muslim yang meninggalkan
sholat.

Perbuatan yang dibebankan (mahkum bih) kepada orang mukallaf itu mempunyai tiga
syarat sebagai berikut:

a. Perbutan itu diketahui oleh orang mukallaf secara sempurna, sehingga ia dapat
mengerjakannya sesuai dengan tuntutan,
b. Hendaklah diketahui bahwa pembebanan itu berasal dari yang mempunyai
kekuasaan memberi beban dan dari pihak yang wajib diikuti segala hukum-
hukum yang dibuatnya,

10
c. Perbuatan itu adalah perbuatan yang mampu dikerjakan atau ditinggalkan,
sehingga tidak dibenarkan memberi beban yang mustahil untuk dilaksanakan.

Manusia tidak diperintahkan mengerjakan perbuatan yang tidak muungkin (mustahil) dapat
dilakukan,sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupanya”.
(QS.Al-Baqarah: 286).

Namun demikian, didalam al-Qur’an dan al-Hadits terdapat keterangan yang menuntut
suatu perbuatan diluar kemampuan manusia, seperti berjihat dengan jiwa dan harta, atau bersabar
dan tidak suka marah.Bahkan seluruh ibadah yang diperintahkan oleh Allah akan teras berat dan
beban bagi manusia yang tidak mengenal hakikat hidup ini. Sebagaimana Rasullullah bersabda:

Artinya:
“surga diliputi oleh hal-hal yang dibenci, sedang neraka diliputi oleh hal-hal yang
menyenangkan.”18

D. MAHKUM ‘ALAIH

Mahkum ‘alaih ialah orang-orang mukallaf yang dibebani hukum. Adapun syarat-syarat
sahnya seorang mukallaf menerima beban hukum itu ada dua macam, yakni:

a. Sanggup memahami khitab-khitab pembebanan atau tuntutan syara’ yang


terkandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, baik secara langsung maupun melalui
orang lain. Oleh karena itu, orang yang tidak memiliki kemampuan untuk
memahami khitab syar’i tidak mungkin untuk melaksanakan suatu taklif
(pembebanan),
b. Mempunyai kemampuan menerima beban. Dasar pembebanan hukum bagi
seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman.

Kemampuan seseorang untuk menerima kwajiban dan mnerima hak oleh para ulama
ushuliyyun dibagi kepada dua macam, yaitu:
18
Hasbiyallah, Hal. 41-42.

11
a. Ahliyatul wujub, yaitu kepantasan seseorang untuk memberi hak dan kewajiban.
Kepantasan ini ada pada setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan,
kanak-kanan maupun dewasa, sehat maupun sakit.
Semua orang mempunyai kepantasan diberi hak dan kewajiban, sebab dasar dari
kepantasan ini adalah kemanusiaan. Artinya, selama manusia itu masih hidup,
kepantasan tersebut tetap dimiliknya,
b. Ahliyatul ada’ (kemampuan berbuat)ialah kepantasan seseorang untuk dippandang
sah segala perkataan dan perbuatannya. Misalnya, bila mengadakan suatu
perjanjian atau perikatan, tindakan itu adalah sah dan dapat menimbulkan akibat
hukum, sehingga masa datangnya aliyatul ada’ menurut syara’ adalah bersamaan
dengan tibanya usia taqlif yang dibatasi dengan aqil dan baligh.
 Ahliyatul ada’ terbagi atas dua macam, yaitu:
1. Ahliyatul ada’ sempurna (tam) adalah ketika seorang yang telah berakal mencapai
umur dewasa (baligh) dinisbahkan untuk hukum syara’, dan balighnya orang
yang cakap dinisbahkan untuk muamallah harta (perdata),
2. Ahliyatul ada’ tidak sempurna (naqish) yaitu anak yang cakap atau semisalnya
dinisbahkan untuk muamallah dan perikatan. Adapun taklif syara’ bagi anak yang
cakap sama dengan anak yang tidak cakap. Seperti shalatnya anak kecil dianggap
seperti orang yang tidak cakap (gila). Sedangkan dalam masalah muamallah
dianggap sah jual belinya.
Ahwaridh ahliyah ada dua macam, yakni samawiyah dan kasabiyah.Samawiyah adalah
hal-hal yang berada diluar usaha dan ikhtiar manusia. Halangan samawiyah ada sepuluh macam,
yaitu:
a. Keadaan belum dewasa;
b. Sakit gila
c. Kurang akal
d. Keadaan tidur
e. Pingsan
f. Lupa
g. Sakit
h. Menstruasi

12
i. Nifas
j. Meninggal dunia.
Kasabiyah adalah perbuatan-perbuatann yang diusahakan manusia yang menghilangkan
atau mengurangi kemampuan bertindak. Halangan kasabiyah itu ada tujuh macam, yaitu:
a. Boros,
b. Mabuk
c. Bepergian
d. Lalai
e. Bergurau (main-main)
f. Bodoh (tidak mengetahui)
g. Terpaksa (ikrah).19

Memperhatikan akibat ahliyatul ada’. Maka gangguan-gangguan itu terbagi kepada beberapa
jenis antara lain:

a. Gugur ahliyatul ada’, khusus bagi manusia gila dan sedang tidur.
b. Kurang ahliyatul ada’ (tidak gugur seluruhnya), seperti manusia makhluk (orang
yang lemah pikirannya) dan juga anak-anak yang mumayiz.
c. Tidak menghilangkan dan tidak pula mengurangi ahliyatul ada’, tatpi hanya
mengubah sebagian hukum untuk kemaslahatan.

19
Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), cet. 2, hal. 136.

13
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Al-ahkam al syar’iyah mencakup konsep penilaian terhadap perbuatan mukallaf yang


meliputi hukum tentang pembebanan (taklif) dan yang menyangkut penetapan sesuatu perbuatan
(wad’i) seperti sebab, syarat, mani’, rusa, dan azimah.Hukum taklifi mencakup wajib, sunnah,
haram, mubah dan makruh. Dalam upaya menarik kesimpulan hukum dari teks teks syariah
dibutuhkan metode istidlaliyah (deduksi) dan metode istiqra’iyah (induksi).

 Kata “Hakima” secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”. Dalam
istilah fiqh, hakim merupakan orang yang memutuskan hukum dipengadilan yang sama
maknanya dengan qadhi. Dalam kajian ushul fiqh, hakim juga berarti pihak penentu dan pembuat
hukum syariat secara hakiki.

 Abu Husen al-Bashri (w. 436 H) membagi amal perbuatan manusia kedalam dua
kategori:

a) Perbuatan aqliyah, yaitu perbuatan yang hukumnya dapat diketahui dengan akal


pikiran.
b) Perbuatan syar’iyah, yaitu berbuatan dimana syara’ ikut menentukan hukum dan
bentuknya.

Mahkum Fiih adalah perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang dibebani suatu hukum


(perbuatan hukum).

Mahkum ‘alaih ialah orang-orang mukallaf yang dibebani hukum. Adapun syarat-syarat


sahnya seorang mukallaf menerima beban hukum itu ada dua macam, yakni:

1) Sanggup memahami khitab-khitab pembebanan atau tuntutan syara’ yang terkandung


dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain.
Oleh karena itu, orang yang tidak memiliki kemampuan untuk memahami khitab
syar’i tidak mungkin untuk melaksanakan suatu taklif (pembebanan),
2) Mempunyai kemampuan menerima beban. Dasar pembebanan hukum bagi
seorang mukallaf adalah akal dan pemahaman.

14
DAFTAR PUSTAKA

Djazuli, dan Nurol Aen. Ushul Fiqh: Metodologi Hukum Islam. cet. 1; Jakarta:

RajaGrafindo Persada. 2000

Hakim, Abdul Hamid. al-Baya>n. Padang Panjang: Sa’adiyah Putra. t. th.

Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Usul Fiqh. cet. 1; Semarang: Dina Utama. 1994

Koto, Alaiddin. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh; Suatu Pengantar. Jakarta:RajaGrafindo

Persada. 2004

Hasbiyallah. 2014. Fiqh dan Ushul Fiqh (metode istinbath dan istidlal). Bandung:

Remaja Rosdakarya. Cet. Kedua.

Umar Muin. Dkk. 1986. ushul fiqh 1. Jakarta: proyek Pembinaan dan Sarana Perguruan

Tinggi Agama/IAIN.

Umam Khairul. dkk. 2000. Ushul Fiqih 1. Bandung: Pustaka Setia. Cet. Kedua.

Karim Syafi’i. 2001. Fiqih-Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia. cet. Kedua.

15

Anda mungkin juga menyukai