Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“METODE PENDEKATAN SOSIOLOGI HUKUM ISLAM”


DI
S
U
S
U
N
OLEH:
MUZAMMIL S.H (5022022040)

DOSEN PENGAMPU : Dr. Miswari, M.A

PROGRAM PASCA SARJANA S-2


PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM (HKI)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LANGSA (IAIN)
2022/2023
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT

yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas perkuliahan.

penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari

bantuan banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik

sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari

sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang penulis

miliki. Oleh karena itu, penulis mengharapkan segala bentuk saran serta masukan

bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya penulis berharap

semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia

pendidikan.

Samalanga, 06 November 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................ii


DAFTAR ISI .............................................................................................................iii
BAB I : PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar Belakang ....................................................................................1
B. Rumusan Masalah ...............................................................................2
BAB II : PEMBAHASAN ......................................................................................3
A. Konsep Mujtahid Dalam Islam ............................................................3
B. Otoritas dan Posisi Mujtahid Dalam Penggalian Hukum Islam ..........7
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Otoritas
Seorang Mujtahid dalam Menerapkan Hukum Islam..........................10
BAB III : PENUTUP ................................................................................................13
A. Kesimpulan ..........................................................................................13
B. Saran ....................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum dalam Islam, sebagai suatu entitas normatif, memegang peranan

sentral dalam mengatur kehidupan umat Muslim. Al-Qur'an dan hadis sebagai dua

sumber utama hukum Islam memberikan kerangka dasar, namun kompleksitas

kehidupan modern memerlukan interpretasi dan aplikasi yang cermat. Dalam

keseharian umat Islam, tantangan kompleksitas modernitas dan dinamika sosial

menjadikan hukum sebagai pedoman yang perlu disesuaikan dengan realitas

kontemporer.

Sebagai respons terhadap kompleksitas tersebut, muncul peran mujtahid.

Mujtahid, dalam arti luasnya, merujuk pada para cendekiawan dan ahli hukum

Islam yang memiliki kapasitas untuk melakukan ijtihad, yaitu penafsiran hukum

Islam untuk menghadapi situasi-situasi baru. Sebagai pemegang otoritas dalam hal

penafsiran hukum, mujtahid memainkan peran penting dalam menghubungkan

nilai-nilai Islam dengan kebutuhan praktis umat Muslim.

Seiring berjalannya waktu, peran mujtahid berkembang dari sekadar

penafsir hukum menjadi pemimpin pemikiran dan intelektual dalam masyarakat

Muslim. Hal ini membuka diskusi tentang sejauh mana mujtahid dapat dan

seharusnya beradaptasi dengan perubahan-perubahan zaman. Oleh karena itu,

pemahaman mendalam tentang latar belakang historis dan kontekstual peran

mujtahid dalam menghadapi dinamika sosial dan kultural menjadi esensial.

1
Dalam latar belakang yang lebih panjang ini, kita mencermati bagaimana

evolusi sosial dan perkembangan keilmuan Islam memberikan tekanan pada peran

mujtahid. Dengan demikian, latar belakang ini menempatkan pembaca dalam

konteks yang relevan, membangun kesadaran akan kompleksitas dan dinamika

yang melibatkan otoritas mujtahid dalam penggalian hukum Islam. Kesadaran

akan dinamika ini penting untuk memberikan konteks yang diperlukan dalam

menjelajahi lebih lanjut konsep mujtahid dan perannya dalam penggalian hukum

Islam.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Konsep Mujtahid Dalam Islam?

2. Bagaimana Otoritas dan Posisi Mujtahid Dalam Penggalian Hukum Islam?

3. Bagaimaana Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Otoritas Seorang

Mujtahid Dalam Menerapkan Hukum Islam?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Mujtahid Dalam Islam

Mujtahid adalah bentuk kata fa'il (pelaku) yang berarti orang yang

bersunguh-sungguh dengan mengerahkan segala kemampuannya yang rasional,

menggali (mempelajari) ajaran Islam yang tertuang dalam al-Qur'an dan Hadits,

dengan analisanya yang tepat, memberikan pertimbangan tentang hukum-hukum

Islam.

Mujtahid juga disebut sebagai faqih atau seorang ahli fiqih. Fiqih adalah

ilmu tentang hukum syariat yang dihasilkan berdasarkan dalil-dalilnya. Sehingga

sampai pada kesimpulan hukum, misalnya: halal dan haram. Seorang ulama

belum tentu seorang faqih, dan seorang faqih juga belum tentu seorang

mujtahid. Namun seorang mujtahid dan seorang faqih sudah pasti seorang ulama.

Seseorang bisa dikatakan mujtahid apabila dia sanggup berijtihad. Namun

berijtihad bukanlah persoalan yang sederhana, seorang yang akan melakukan

ijtihad harus memiliki kemampuan khusus. Oleh karena itu para ulama

menetapkan beberapa syarat ijtihad. Al Ghazali secara umum mengemukakan dua

syarat; Pertama, seorang mujtahid harus menguasai ilmu syara’, mampu melihat

nas yang zhanni secara cermat, mendahulukan apa yang wajib didahulukan serta

mengakhirkan apa yang mesti dikemudiankan. Kedua, seorang mujtahid

hendaknya seorang yang adil, menjauhi segala yang maksiat.

3
Sementara itu Asy-Syatibi mengemukakan dua syarat bagi seorang

mujtahid, pertama, seorang mujtahid itu harus benarbenar mengetahui maqasid

asy syari’ah (tujuan syari’ah) dengan sempurna. Kedua, seorang mujtahid harus

mampu melakukan istimbal hukum berdasarkan pemahaman dan pengertiannya

terhadap tujuan syari’ah tersebut. Pada umumnya ulama ushul mensyaratkan

secara rinci mengenai seorang yang melakukan ijtihad sebagai berikut :

1. Mempunyai pengetahuan yang luas tentang Al Qur’an, Mempunyai

pengetahuan sunnah Nabi yang merupakan sumber kedua sesudah Al

Qur’an

2. Mengetahui nasikh mansukh, mengetahui masalah-masalah hukum yang

telah menjadi ijma para ulama terdahulu, Mengetahui bahasa arah dengan

baik dan sempurna, Menguasai Ushul Fiqih dan Mengetahui Maqasid Asy-

Syari’ah.

Yusuf Qardawi, secara garis besar mengemukakan syarat-syarat, yang

pada umumnya disepakati oleh para ulama, sebagai berikut: Harus mengetahui

Alquran dan ‘ Ulum Alquran, mengetahui sunnah dan ilmu hadis, mengetahui

bahasa Arab, mengetahui tema-tema yang sudah disepakati ijma, mengetahui

ushul fiqh, mengetahui maksud ٠ maksud sejarah, mengenal manusia dan alam

sekelilingnya dan bersifat adil dan takwa.

Ulama ahli ushul membagi kepada tujuh tingkatan mujtahid. Empat

tingkatan pertama tergolong mujtahid, dan tiga berikutnya masuk kedalam

kategori muqallid.

4
1. Mujtahid Mustaqil (mandiri); untuk mencapai derajat ini harus dipenuhi

seluruh persyaratan ijtihad. Ulama pada tingkatan ini mempunyai otoritas

mengkaji ketetapan hukum langsung dari Alquran dan sunnah, melakukan

qiyas, mengeluarkan fatwa, dan berwenang menggunakan seluruh metode

istidlal yang mereka ambil sebagai pedoman, tidak mengekor pada

mujtahid lain. Termasuk kategori ini adalah seluruh fuqaha sahabat, tabiin

dan fuqaha mujtahid.

2. Mujtahid Muntasid; mereka adalah mujtahid yang mengarnbil/memilih

pendapatpendapat imamnya dalam ushul dan berbeda pendapat dari

imamnya dalam cabang furu’, meskipun secara umum ijtihadnya

menghasilkan kesimpulan- kesimpulan yang hampir sama dengan hasil

ijtihad yang diperoleh imamnya.

3. Mujtahid Mazhab; mereka yang mengikuti imamnya baik dalam ushul

maupun furu’ yang lelah jadi. Peranan mereka terbatas melakukan

istinbath hukum terhadap masalah-masalah yang belum diriwayatkan oleh

imamnya. Menurut Maliki, tidak pernah kosong suatu masa dari mujtahid

mazhab. Tugas mereka dalam ijtihad adalah menerapkan illat-iliat fiqh

yang telah digali oleh para pendahulunya terhadap masalahmasalah yang

belum dijumpai di masa lampau. Dengan melakukan istinbath hukum

didasarkan pertimbangan yang sudah tidak relevan lagi dengan tradisi dan

kondisi masyarakat dan ulama mutaakhirin.

4. Mujtahid Murajjih, Mereka tidak melakukan istinbath hukum furu’,

melainkan mentarjih (mengunggulkan) diantara pendapat-pendapat yang

5
diriwayatkan imam denganalat tarjih yang telah dirumuskan oleh mujtahid

pada tingkatan di atasnya. Mereka mentarjih sebagian pendapat atas

pendapat lain karena dipandang kuat dalilnya atau karena sesuai dengan

konteks kehidupan masyarakat pada masa itu atau karena alasan lain,

sepanjang tidak melakukan istinbath baru yang independen ataupun

mengikuti metode istinbath imamnya.

5. Mujtahid Muwazin; Mereka membanding-bandingkan beberapa pendapat

dan riwayat. Misalnya, mereka menetapkan bahwa qiyas yang dipakai

dalam pendapat ini lebih mengena dibanding penggunaan qiyas pada

pendapat lain. Atau pendapat ini lebih shahih riwayatnya atau lebih kuat

dalilnya.

6. Tingkatan Muhafizh‫ ؛‬Mereka adalah yang mampu membedakan antara

pendapat yang terkuat, dhaif. Mereka tergolong tingkatan muqallid, hanya

saja mereka mempunyai hujjah dengan mengetahui hasil tarjih ulama

terdahulu. Bisa mengeluarkan fatwa, tetapi dalam lingkup terbatas.

7. Tingkatan Muqallid\ Tingkatan ini berada di bawah semua tingkatan yang

telah diuraikan di atas. Mereka adalah ulama yang mampu memahami

kitab-kitab, tetapi tidak mampu melakukan tarjih terhadap pendapat atau

riwayat. Tingkat keilmuannya belum cukup mendukung untuk bisa

mentarjih pendapat mujtahid murajjih dan menentukan tingkatan tarjih.

Golongan muqallid, cukup besar jumlahnya pada masa-masa belakangan.

Mereka menerima ibarat yang terdapat dalam kitab-kitab sebagaimana

6
adanya dan tidakniampu mengklasifikasi dalil- dalil, pendapat-pendapat

maupun riwayat-riwayat.

B. Otoritas dan Posisi Mujtahid Dalam Penggalian Hukum Islam

Mujtahid, sebagai figur utama dalam penggalian hukum Islam, memiliki

otoritas yang besar dalam memberikan panduan hukum kepada umat Muslim.

Otoritas ini tidak hanya bersumber dari pengetahuannya tentang Al-Qur'an dan

Hadits, melainkan juga dari kemampuannya untuk melakukan ijtihad, yaitu usaha

intelektual mendalam dalam menerapkan prinsip-prinsip hukum Islam dalam

konteks kehidupan sehari-hari. Sebagai pelaku ijtihad, mujtahid memiliki

tanggung jawab monumental dalam menjaga relevansi hukum Islam terhadap

zaman modern.

Mujtahid berperan sebagai penafsir hukum yang tidak hanya menguraikan

teks-teks klasik, tetapi juga mengaplikasikannya dengan bijaksana sesuai dengan

tuntutan zaman. Otoritasnya sebagai faqih memberinya wewenang untuk

memberikan fatwa dan pandangan hukum terkini yang mencakup berbagai aspek

kehidupan, mulai dari masalah ritual hingga isu-isu kontemporer yang kompleks.

Inilah yang menjadikan mujtahid sebagai otoritas hukum Islam yang dinamis dan

responsif.

Dalam penggalian hukum Islam, mujtahid tidak hanya melibatkan diri

dalam pemahaman tekstual semata, melainkan juga mempertimbangkan maslahah

ummah (kemaslahatan umat) dan maqasid asy-syari'ah (tujuan-tujuan syariah).

Kemampuan mujtahid untuk memahami konteks sosial, ekonomi, dan politik

7
memungkinkan mereka menafsirkan hukum Islam dengan memperhatikan

kebutuhan dan tantangan masyarakat modern. Hal ini menunjukkan bahwa

otoritas mujtahid tidak hanya bersifat formalistik, melainkan juga bersumber dari

pemahaman mendalam terhadap prinsip-prinsip hukum Islam dan kontekstualisasi

yang bijak.

Mujtahid juga berperan sebagai pemimpin intelektual yang membimbing

umat Muslim dalam memahami esensi dan nilai-nilai Islam. Otoritasnya

menciptakan keterpercayaan di kalangan umat, sehingga fatwa dan pandangan

hukum yang dikeluarkan mujtahid memiliki dampak signifikan dalam membentuk

kebijakan masyarakat Muslim. Dalam hal ini, mujtahid tidak hanya sebagai juru

bicara hukum Islam, tetapi juga sebagai pemimpin rohaniah yang memberikan

arahan moral dan etika kepada umat.

Penggalian hukum Islam oleh mujtahid bukanlah proses yang terpisah dari

realitas sosial dan kemanusiaan. Otoritas mujtahid mengandung tanggung jawab

moral untuk menjaga keadilan, kebebasan, dan kesejahteraan masyarakat. Mereka

harus mampu menangkap esensi hukum Islam sebagai rahmatan lil 'alamin

(rahmat bagi seluruh alam) dan menerapkan prinsip-prinsip tersebut dalam

menghadapi perubahan zaman.

Dalam konteks pembaharuan hukum, mujtahid memiliki peran penting.

Otoritas mereka menciptakan ruang untuk penafsiran baru yang sesuai dengan

konteks sosial. Meskipun menjaga akar tradisi, mujtahid harus berani

menghadirkan solusi inovatif untuk menjawab tantangan zaman. Inilah yang

8
membedakan mujtahid dari seorang muqallid, yang cenderung mempertahankan

status quo tanpa melakukan ijtihad yang kreatif.

Keberagaman pendapat di kalangan mujtahid adalah cermin dari kekayaan

intelektual dalam Islam. Otoritas mujtahid tidak bersifat dogmatis, melainkan

inklusif terhadap berbagai perspektif. Dalam perbedaan pendapat, umat Muslim

dapat menemukan ruang untuk refleksi dan pemikiran kritis, sehingga otoritas

mujtahid tidak hanya menopang hukum Islam tetapi juga membina kecerdasan

kritis umat.

Penting untuk dicatat bahwa otoritas mujtahid tidak boleh disalahartikan

sebagai dominasi atau otoritarianisme. Meskipun memegang peran sentral,

mujtahid juga berada di bawah kritik dan evaluasi. Kebebasan berpendapat dan

dialog intelektual adalah prinsip-prinsip yang mendukung otoritas mujtahid tanpa

mengorbankan semangat keterbukaan dan toleransi dalam mencari kebenaran.

Dalam menghadapi kompleksitas masyarakat kontemporer, otoritas

mujtahid terus mengalami tantangan dan tuntutan. Oleh karena itu, peran

pendidikan dan penelitian dalam membangun mujtahid-mujtahid masa depan

sangat penting. Mereka perlu dilengkapi dengan pengetahuan yang mendalam,

pemahaman kontekstual yang luas, dan keterampilan ijtihad yang kreatif untuk

meneruskan warisan intelektual Islam dengan relevan dan bijaksana.

Sebagai penutup, otoritas dan posisi mujtahid dalam penggalian hukum

Islam menciptakan dinamika intelektual yang memelihara warisan Islam sekaligus

membuka pintu untuk inovasi dan pembaruan. Keseluruhan proses ini

menegaskan bahwa hukum Islam bukanlah entitas statis, tetapi sebuah konsep

9
yang hidup dan berkembang, mampu memberikan arahan moral dan etika dalam

setiap fase peradaban manusia.

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Otoritas Seorang Mujtahid dalam

Menerapkan Hukum Islam

Diantara faktor-faktor yang mempengaruhi otoritas seorang mujtahid

dalam menerapkan hukum islam yaitu:

1. Pengetahuan dan Kualifikasi Ilmiah

Otoritas seorang mujtahid sangat terkait dengan tingkat pengetahuannya

tentang teks-teks klasik Islam, termasuk Al-Qur'an dan Hadits. Semakin tinggi

pengetahuan dan kualifikasi ilmiahnya, semakin kuat otoritasnya dalam

memberikan penafsiran dan pandangan hukum.

2. Kemampuan Ijtihad

Kemampuan ijtihad merupakan faktor krusial. Seorang mujtahid harus

memiliki keterampilan dan kemampuan intelektual untuk menjalankan ijtihad

dengan benar. Hal ini melibatkan analisis yang mendalam terhadap teks-teks serta

penerapan prinsip-prinsip hukum Islam dalam konteks yang berbeda.

3. Moralitas dan Ketaqwaan

Otoritas seorang mujtahid juga terkait dengan moralitas dan

ketaqwaannya. Seorang mujtahid yang menjauhi segala bentuk maksiat dan

mempraktikkan ajaran Islam secara konsisten akan mendapatkan kepercayaan

umat, memperkuat otoritasnya dalam memberikan pandangan hukum.

10
4. Kepemimpinan Spiritual

Seorang mujtahid bukan hanya ahli hukum, tetapi juga pemimpin spiritual.

Kemampuannya membimbing umat dalam aspek moral dan etika menciptakan

otoritas spiritual yang penting dalam masyarakat.

5. Pemahaman Terhadap Konteks Sosial

Otoritas mujtahid juga tergantung pada pemahamannya terhadap konteks

sosial. Keterlibatan dalam realitas sosial dan pemahaman terhadap perkembangan

masyarakat memungkinkan mujtahid memberikan fatwa yang lebih relevan dan

sesuai dengan kebutuhan umat.

6. Penerimaan Masyarakat

Otoritas mujtahid dipengaruhi oleh penerimaan masyarakat terhadap

pandangannya. Jika mujtahid diakui oleh masyarakat sebagai figur otoritatif, maka

pengaruhnya dalam menerapkan hukum Islam akan semakin kuat.

7. Konteks Historis dan Budaya

Faktor konteks historis dan budaya juga turut memengaruhi otoritas

mujtahid. Kemampuannya untuk merentangkan pemahaman hukum Islam

melintasi berbagai konteks historis dan budaya dapat meningkatkan

kredibilitasnya.

8. Kemampuan Berdialog dan Toleransi

Otoritas mujtahid dapat dipertahankan melalui kemampuannya untuk

berdialog dan bersikap toleran terhadap berbagai pandangan. Keterbukaan

terhadap perbedaan pendapat mencerminkan kebijaksanaan dan dapat

meningkatkan pengaruhnya dalam memandu masyarakat.

11
9. Pendidikan dan Pengajaran

Pendidikan dan pengajaran memainkan peran kunci dalam membangun

otoritas seorang mujtahid. Dukungan pendidikan formal dan informal membentuk

landasan ilmiah dan etika yang kuat, yang diperlukan untuk mempertahankan

otoritas.

10. Keberanian Berinovasi dan Membaharu

Keberanian seorang mujtahid untuk berinovasi dan membaharui

pemahaman hukum Islam dapat meningkatkan otoritasnya. Ini melibatkan

kemampuan untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan perubahan zaman tanpa

mengorbankan prinsip-prinsip pokoknya.

Faktor-faktor ini bersifat saling terkait dan saling memperkuat,

menciptakan fondasi otoritas mujtahid dalam menerapkan hukum Islam. Sebagai

pemimpin intelektual dan spiritual, mujtahid harus senantiasa memperbarui

pengetahuannya, beradaptasi dengan perubahan zaman, dan memelihara

kepercayaan umat agar tetap menjadi sumber otoritas yang relevan dan berdaya.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan paparan pada pembahasan diatas, terdapat beberapa

kesimpulan yang dapat diambil sebagai jawaban terhadap rumusan masalah yang

yaitu:

1. Konsep mujtahid merujuk pada individu yang memiliki kemampuan

untuk melakukan ijtihad, yaitu penafsiran hukum Islam untuk

menghadapi situasi-situasi baru. Seorang mujtahid bukan hanya faqih

(ahli fiqih) tetapi juga memiliki pengetahuan mendalam tentang Al-

Qur'an, Hadits, dan ilmu-ilmu terkait.

2. Otoritas mujtahid bersumber dari kemampuannya dalam melakukan

ijtihad, mengaplikasikan prinsip-prinsip hukum Islam secara bijaksana,

dan memberikan panduan hukum yang relevan dengan tuntutan zaman.

Mujtahid juga memiliki peran sebagai pemimpin intelektual dan spiritual,

memberikan arahan moral dan etika kepada umat.

3. Otoritas seorang mujtahid dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti

pengetahuan dan kualifikasi ilmiah, kemampuan ijtihad, moralitas,

kepemimpinan spiritual, pemahaman terhadap konteks sosial, penerimaan

masyarakat, konteks historis dan budaya, kemampuan berdialog dan

toleransi, pendidikan, dan keberanian berinovasi.

13
Dalam keseluruhan, mujtahid tidak hanya berperan sebagai penafsir

hukum, tetapi juga sebagai pemimpin rohaniah yang beradaptasi dengan dinamika

masyarakat. Otoritas mereka bersifat dinamis, memerlukan keterlibatan aktif

dalam penggalian hukum Islam yang relevan dengan perubahan zaman. Oleh

karena itu, peran mujtahid tidak hanya mengikuti tradisi, tetapi juga menciptakan

ruang untuk inovasi dan pembaruan sesuai dengan semangat dan nilai-nilai Islam.

B. Saran

Sebagai saran penutup, untuk lebih memperdalam pemahaman tentang

otoritas Mujtahid dalam penggalian hukum Islam, disarankan untuk terus

mendorong penelitian mendalam, mengadopsi pendekatan interdisipliner, dan

memperluas dialog antara mujtahid, cendekiawan Islam, dan masyarakat.

Pengembangan kurikulum pendidikan, forum diskusi, dan publikasi yang dapat

diakses oleh masyarakat umum juga dapat meningkatkan pemahaman dan

apresiasi terhadap peran vital mujtahid dalam memandu umat Muslim menuju

pemahaman hukum Islam yang lebih kontekstual dan relevan dengan zaman.

14
DAFTAR PUSTAKA

A. Mustofa Bisri, "Pembaruan Pemikiran Hukum Islam di Indonesia" (Surakarta:


Muhammadiyah University Press, 2010).
Abdurrahman Wahid, "Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat
Negara Demokrasi" (Jakarta: The Wahid Institute, 2010).
Azyumardi Azra, "Pergolakan Pemikiran Islam: Dari Klasik hingga Modern"
(Jakarta: Pustaka Pelajar, 2017).
M. Quraish Shihab, "Wawasan Al-Qur'an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai
Persoalan Umat" (Jakarta: Lentera Hati, 2005).
Mohammad Fauzil Adhim, "Hukum Islam di Indonesia: Studi tentang Otoritas
dan Implementasinya" (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2019).
Quraish Shihab, "Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur'an"
(Jakarta: Lentera Hati, 2001).

15

Anda mungkin juga menyukai