Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH PENGERTIAN DAN PEMBAGIAN HUKUM SYARA’

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manahij Mufassirin

Dosen Pengampu :
Dr.Mukhrij Shidqi, MA
Oleh:
Putra Pratama
Ainul Yaqin
Muhammad Mikhdad
FAKULTAS ILMU AL-
QUR’AN DAN TAFSIR

SEKOLAH TINGGI ILMU AL-QUR’AN BAITUL QUR’AN DEPOK

TAHUN 2022/2023

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................... i
DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................... iii
A. Latar Belakang...................................................................................iii
B. Rumusan masalah...............................................................................v

i
C. Tujuan Penulisan................................................................................v
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................1
A. Pengertian Hukum Syara’..................................................................1
B. Pembagian Hukum Syara’.................................................................4
C. Pengertian hukun taklifi ....................................................................4
D. Pengertian hukum wadh’i .................................................................6
E. Pengertian Hakim .............................................................................8
F. Pengertian Mahkum Fih ...................................................................9
G. Pengertian Mahkum Alaih................................................................10
BAB III ANALISIS MASALAH.............................................................................13
BAB IV PENUTUP...................................................................................................13
A. Kesimpulan.......................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................23

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah Swt, karena atas berkat rahmat dan ridhonya
kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan tepat waktu. Makalah ini kami
ajukan guna untuk memenuhi tugas mata kuliah manahij mufassirin. Makalah ini
membahas tentang “ Pengertian Dan Pembagian Hukum Syara”.
Proses pembuatan makalah ini, tentunya kami mendapat masukan, arahan dan
bimbingan, untuk itu kami menyampaikan terima kasih kepada:

ii
1. Ust. Mirza Hasan M.ag selaku dosen pengampu mata kuliah Manahij
mufassirin yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini.
2. Seluruh pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini, terutama
kepada teman teman serta seluruh civitas academia STIQ Baitul Qur’an yang
sudah memberi semangat dan dukungan baik moril maupun materil.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak agar kedepannya kami bisa
memperbaiki makalah ini dengan lebih baik. Semoga makalah ini bisa bermanfaat
bagi kita semua.

Depok, 14 juli 2022

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Seiring berkembang dan pesatnya perubahan zaman dalam dinamika sosial
kehidupan masyarakat umat muslim banyak muncul problematika-problematika

iii
keagamaan yang berkaitan erat dengan hukum syara’,yang dimana dulu pada zaman
rasulullah Saw dan para sahabat tidak pernah dirincikan secara detail permasalahan
tersebut.Tentunya segala amal perbuatan manusia dan tutur katanya tidak akan lepas
dari ketentuan hukum syariat,baik hukum syariat yang tercantum didalam al-Qur’an
dan al-hadis secara langsung maupun hukum syariat yang yang tidak tercantum pada
keduanya,namun terdapat pada sumber hukum yang lain seperti ijma’ dan qiyas.

Islam, dengan tauhid sebagai elemen dasar, adalah inti ajaran yang diwahyukan
Allah kepada seluruh nabi-Nya. Untuk menjelaskannya, diturunkanlah pedoman
pelaksanaannya, buat Nabi Muhammad SAW dan umatnya diturunkanlah al-
Qur’an.Sebagai sebuah kitab suci yang jadi pedoman dalam segala hal dan untuk
segala zaman, al-Qur’an tidak mengajari dan menjelaskan segala persoalan secara
rinci dan mendetail. Ia hanya memberikan pedoman atau petunjuk umum. Selanjutnya
tugas manusialah untuk memahaminya agar bisa dilaksanakan dalam kehidupan
sehari-hari dan mengatasi segala persoalan yang mereka hadapi.

Selama Nabi Muhammad SAW masih hidup, semua persoalan yang berkaitan
dengan kehidupan yang secara rinci tidak diatur dalam al-Qur’an, dapat langsung
ditanyakan kepada beliau. Dengan kata lain, beliaulah yang memegang wewenang
utama dalam memahami dan menjabarkan al-Qur’an. Selama ada penjelasan (sunnah)
beliau, umat Islam tidak bisa membantahnya dan tidak dibenarkan berbuat lain.
Dalam beberapa masalah, terkadang beliau menyelesaikannya dengan cara (yang
disebut sekarang) qiyas.

Setelah beliau meninggal dunia, umat Islam masih memiliki para sahabat beliau
yang sangat paham dengan al-Qur’an dan banyak mengetahui dan menyertai
kehidupan beliau. Sehingga dalam banyak hal, persoalan yang dihadapi umat Islam
bisa diatasi, tanpa menimbulkan masalah yang terlalu mendasar.

Namun bukan berarti seluruh hal yang muncul setelah meninggalnya beliau itu bisa
terselesaikan dengan hanya melaksanakan tanpa penyesuaian dan penjabaran
pedoman yang ada. Untuk itu, para sahabat harus menggunakan pemahamannya
terhadap perbendaharaan utama Islam itu untuk menyelesaikan persoalan tersebut,
dengan tetap memelihara tujuan utama risalah Islam. Hal itu terkadang, sepintas lalu,
seperti bertentangan dengan petunjuk zahir nash (al-Qur’an dan Sunnah). Tapi
sesungguhnya tidak ada pertentangan yang fundamental di dalamnya. Hampir semua

iv
sahabat mampu melakukan ijtihad, tapi yang paling menonjo di antara mereka adalah
Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud (Ibn Mas’ud).

Ketika periode sahabat telah habis, para tabi’in dan umat Islam sudah mulai
menghadapi berbagai persoalan. Seiring dengan semakin jauhnya jarak mereka
dengan masa Rasul dan sahabat, maka pemahaman terhadap kedua sumber ajaran
Islam itu juga semakin tidak setara dengan para pendahulunya. Ketika itu mereka
harus mengumpulkan berbagai riwayat dan pemahaman terhadap kedua sumber itu
dari para pendahulu (guru) mereka yang masih tersisa. Kemudian terhadap berbagai
riwayat itu, yang terkadang saling bertentangan, mereka harus memaksimalkan daya
pikir mereka agar tetap bisa memelihara tujuan diturunkannya Islam dan agar Islam
itu sendiri tetap bisa diaplikasikan dalam kehidupan. Ketika itulah mereka harus
menyusun sebuah kerangka acuan dalam melakukan pemahaman dan penarikan
hukum dari sumber yang ada.

Kerangka acuan tersebut, yang hakikatnya telah ada semenjak masa Rasul, di
setiap generasinya disempurnakan dan terus dikembangkan. Hasil berbagai
penyempur-naan dan pengembangan itulah sekarang yang disebut dengan ilmu Ushul
Fiqh, yang dengannya dapat dilakukan penggalian (istinbath) hukum dengan
semaksimal mungkin mendekati kebenaran yang dikehendaki oleh Syari’ (pembuat
hukum).

B. RUMUSAN MASALAH

v
Untuk memudahkan pembahasan pada makalah ini,maka akan dibahas sub
masalah sesuai dengan latar belakang di atas yaitu sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Hukum Syara’?
2. Berapa pembagian Hukum Syara’?
3. Apa yang dimaksud dengan hukum Taklifi?
4. Apa yang dimaksud dengan hukum Wad’i?
5. Apa yang dimaksud dengan al Hakim ?
6. Apayang dimaksud dengan Mahkum Fih ?
7. Apa yang dimaksud dengan mahkum alaih ?

C. TUJUAN
Makalah ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui apa itu hukum Syara’
2. Mengetahui pembagian hukum syara’
3. Mengetahui pengertian hukum Taklifi
4. Mengetahui pengertian hukum wad’i
5. Mengetahui apa yang dimaksud dengan al Hakim
6. Mengetahui apa yang dimaksud dengan mahkum fih
7. Mengetahui apa yang dimaksud dengan mahkum alaih

vi
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian hukum Syara’

Secara bahasa hukum berarti mencegah dan memutuskan.Adapun


hukum menurut terminologi ushul fiqh ialah :
َ ‫ِخطَا‬
‫ب الشارع المتعلق بأفعال المتكلفين باالقتضاء أو التخيير أوالوضع‬

Artinya: “Khitob (doktrin) syar’i (Allah) yang bersangkutan dengan perbuatan orang
yang sudah mukallaf,baik doktrin itu berupa tuntutan (perintah,larangan),anjuran
untuk melakukan,atau anjuran untuk meninggalkan.Atau berupa takhyir (kebolehan
untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan atau wad’i (menetapkan
sesuatu sebagai sebab,syarat,atau mani’/penghalang).”1
Wabah az-zuhaili memasukkan sahih,fasid/batal,azimah,dan rukhsah kedalam Hukum
Wad’i2 Dari uraian penjelasan di atas ada beberapa kata yang perlu diperjelas
maksudnya.
1. ‫خطا ب الشا رع‬, Yaitu ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah melalui
kitab sucinya yaitu Al-Qur’an dengan perbuatan mukallaf seprti hukum suatu
perbuatan itu haram,makruh,mubah,shahih,batil,syarat,sebab,atau penghalang.
Khitob Allah itu ada yang bersifat langsung yaitu ayat-ayat al-Qur’an ,yang disebut
juga dengan kalam lafzi (lawan dari kalam nafsi yang ada pada Allah yang tidak
berhurup dan tidak bersuara).Dan kalam Allah yang melaui perantara ,yaitu sunnah
dan ijma’ yang bersumber kepada al-Qur’an serta dalil-dalil syariat yang
diakui .Sunah disebut juga sebagai khitob Allah ,hal ini didasari oleh ayat al-qur’an
yang menyatakan bahwa nabi tidak berkata berdasarkan nafsu tetapi didasari oleh
wahyu :
}4{‫}ان هو اال وحي يوحى‬3{‫وما ينطق عن الهوى‬
Artinya :Dan tiadalah yang diucapkan itu (al-Qur’an )menurut kemaun hawa nafsunya
.Ucapannya itu tiadak lain hanyalah wahyu yang diwahyuka (kepadanya).(QS,An-
Najm /53;3-4)
Kedua ayat diatas menjelaskan bahwa rasulullah tidak mengucapkan sesuatu dibidang
hukum kecuali berdasarkan wahyu.Demikian pula dengan ijma’ harus mempunyai
sandaran baik al-Qur’an atau sunnah Rasulullah Saw.Sama halnya dengan itu dali-

1
Saipuddin Shidiq,Ushul Fiqh,(Jakarta:Prenada media Group,2014),cet.ke-2,hlm.121.
2
Ibid.,hlm.122.

1
dalil hukum lainnya tidak sah dijadikan sebagi dasar hukum kecuali setelah
diketaahui adanya pengakuan dari wahyu. 3
Ijma dikatakan khitob Allah karena ijma’ tidak lepas dari dalil al-Qur’an dan
sunnah,begitu juga dalil syara’ yang juga disebut khitob Allah dan menjelalskan
hukum sesuatu yang tidak ada dalilnya.
2.‫ االتضاء‬ialah tuntutan.Tuntutan disini bisa berupa tuntutan untuk mengerjakan
secara pasti(harus)yang kemudian disebut hukum wajib.Dan bisa berupa tuntutan
untuk meninggalkan secara pasti(harus) yang kemudian disebut dengan hukum haram.
3‫التخيير‬. Yaitu artinya memilih,artinya Allah memperbolehkan kepada manusia
untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan .Contohnya makan dan tidur diwaktu
tertentu.
4.‫ الوضع‬Yaitu sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai pengikat atau dua
perkara yang terkait dengan mukallaf.Ketentuan yang mengikat ini berupa tiga perkara
yaiyu sebab ,Syarat,atau mani’.Contohnya hak waris dan kematian.Dari dua perkara itu
kematian dijadikan oelh syara’ sebagai sebab pembagian waris oleh ahli
waris .Syarat,contohnya Wudhu dan sholat,dari dua perkara ini maka wudhu dijadikan
syarat shnya sholat.Contoh mani’adalah haid dan kewajiban sholat bagi wanita .Dari
dua perkara ini haid dijadikan penghalang kewajiban sholat bagi wanita.
Untuk lebih jelasnya tentang hukum syariat yang berisi tentang
tuntutan,suruhan,dan ketetapan (sebab,syarat,dan mani’),dapat kita lihat dan perhatikan
dalam contoh berikut ini :
a. Contoh hukum yang beupa Tuntutan :
1.Pertama tuntutan untuk mengerjakan,firman allah SWT.
}1{...‫يأيها الذين ءا منوا أوفوا بالعقود‬
Artinya ; Hai orng –orang yang beriman,penuhilah aqad-aqad itu (janji)...(QS.al-
Maidah/5:1)
Ayat di atas mengandung tuntutan kewajiban menepati janji jika telah menyatakan
janji kepada orang lain.
2.kedua tuntutan untuk meninggalkan .Firman allah SWT:
}11{‫يأ يها الذين ءا منوا ال يسخر قوم من قومزز‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman ,janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum
yang lain....(QS.al-hujurat/49;11)

3
Satria Efendi,Ushul fiqh,(Jakarta:Kencana Prenada Media Group,2012),cet.ke-4,hlm.37.

2
Ayat diatas mengandung tuntutan kepad agar kita menjauhi perbuatan saling
mengolok –olok satu sama lain,karena yang demikian itu akan menyakitkan perasaan
satu sama lain.
b. Contoh hukum yang berupa alternatif untuk memilih.firman Allah SWT:
}60{‫كلوا و اشربوا من رزق هللا و ال تعثوا فى اآلرض مفسدين‬
Artinya:Makan dan Minumlah dari rezki yang telah diberikan allah
kepadamu ,dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan .
(QS.al-Baqarah/2;60)

Ayat dia atas mengandung tawaran pilihan kepada kita untuk memilih makan dan
minum sesuatu yang halal selam tidak berlebihan .
c. Contoh hukum yang berupaketetapan (sebab,syarat,atau mani’),
contoh tentang sebab yang terkandung dalam sabda Nabi : ‫ث ْالقَاتِ َل‬
ُ ‫اَل يَ ِر‬
Artinya :”Tidaklah mendapatkan hak waris yang membunuh.” Hadis di atas
menetapakan hukum yang harus dipatuhi oleh ahli waris yang menjadi penyebab
kemtian (membunuh)orang yang mewariskan seperti ayahnya ,bahwa ia (ahli
waris )kehilang haknya untuk memperoleh warisan.
Nas atau ayat al-Qur’an maupun hadis yang menunjukkan perintah ,suruhan
untuk memilih atau berupa ketetapan sebagaimana dijelaskan di atas,semuanya
merupakn pengertian hukum Syari’at menurut ulama ushul fiqh. Adapun hukum
syariat menurut ulama’ fiqh adalah efek yang dikhendaki oleh allah dalam perbuatan
Mukallaf seperti Wajib,haram, dan Mubah.Maka kalu kita tampilkan ayat ‫اَوفوا بِ ْالعُقود‬
Artinya : Tepatilah janji.ayat ini menurt ulam usul fiqh berarti menghendaki keharusan
memenuhi janji .
Adapun menurut ulama fiqh adalah efek atau konsekuensi yang di khendaki
oleh nas al-Qur’an di atas adalah kewajiban untuk memenuhi janji.contoh lain pada
potongan ayat ‫التقربوالزنا‬, artinya:janganlah kamu semua mendekati zina .hukum
menurut ulam ushul fiq apa yang terkandung dalam nas tersebut yaiyu berupa larangan
mendekati zina.adapun menurut ulama fiqh adalah “haram hukum”mendekati zina.4
B. Pembagian Hukum Syara’
Sebagian besar ulama ushul fiqh membagi hukum menjadi dua bagian yaitu:
(1)Hukum Taklifi,Dan (2)Hukum Wadh’i. Berikut penjelasannya.
1. Hukum Taklifi
4
Saipuddin Shidiq,ushul Fiqh,(Jakarta:Kencana Perenamedia group,2014),cet.ke-2,hlm.124.

3
Hukum yang diturunkan oleh allah SWT kepada manusia tidak lain kecuali untuk
kemaslahatan dan keselamatan manusia baik didunia maupun diakhirat kelak.
Keselamatan ini akan dapat kita peroleh jika kita mau mentaati hukum hukum Allah.
Jika kita perhatikan secara cermat, maka hukum hukum Allah yang harus kita taati ada
yan bersifat tegas, yaitu tuntutan yang harus dierjakan oleh kita secara tegas dan pasti
yang disebut dengan hukum wajib seperti shalat dan puasa.
Ada pula sebuah hukum yang diperintahkan secara tidak tegas, yaitu tuntutan
untuk dikerjakan tetapi sifatnya tidak harus dan tidak mesti seperti shalat selain shalat
lima waktu. Adakalanya perintah itu berupa tuntutan untukmeninggalkan secata tegas.
Yang disebut dengan haram seperti berzina dan mencuri.
dan adakalanya berupa tuntutan untuk meninggalkan pekerjaan itu secara tidak
pasti artinya tidak harus ditinggalkan tetapi meninggalkannya dianggap lebih baik
sepertimakan jengkol dan petai. Dan adakalaya hukum Allah itu bersifat pilihan artinya
seseorang diberikah keleluasaan untuk memilih antara meninggalkan ataupun
mengerjakan seperti makan dan minum.
Sebagaimana yang telah kita bahas sebelumnya bahwa hukum taklif iyalah
hukum yang menghendaki dilakukannya suatu perbuatannya atau meningkalkan suatu
perbuatan dan disuruh memilih antara melakukan atau meningalkannya. Berikut ini
contoh contohnya :
- Hukum yang menghendaki untuk dikerjakan oleh mukalaf,seperti berbuat baik
kepada kedua orang tua
- Hukum yang dikehendaki untuk ditinggalkan oleh mukalaf, seperti mencuri,
membunuh dan berzina
- Hukum yang menghendaki untuk ditingkalakan atau dikerjakan (dapat
memilih) oleh mukalaf seperti mencatat transaksi utang piutang.
Hukum Taklifi ialah Khitob Allah atau sabda Nabi Muhammad saw.Yang
mengandung tuntutan ,baik perintah melakukan atau meninggalkan(larangan). Hukum
taklifi ada lima :
a. Ijab (Wajib),artinya mewajibkan atau khitab (firman Allah ) yang meminta
mengerjakannya dengan tuntutan yang pastidenagn konsekuensi bila dikerjakan
mendapat pahala dan bila ditinggalkan mendapata dosa.

4
Definisi wajib menurut syara’ ialah: ‫ب َعلَى َوجْ ِه اللُّ ُزوْ ِم فِ ْعلِ ِه‬
َ َ‫َماطَل‬
“sesuatu yang diperintah oleh Allah agar dikerjakan secara pasti”
Contoh :
“َ ُ ‫ب َعلَى“ ال َّ ِذينَ ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعل َّ ُك ْم تَتَّق‬
‫ون‬ َ ِ‫صيَا ُم َك َما ُكت‬ َ ِ‫يَا َأيُّهَا ال َّ ِذينَ آ َمنُوا ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ال‬
“ Hai orang orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan sebagaimana diwajibkan atas orang orang sebelum kamu agar kamu
bertaqwa”(QS. Al Baqaroh 2:183)
b. Nadab (sunah),artinya menganjurkan atau khitab yang mengandung perintah
yang tidak wajib dituruti dengan konsekuensi mendapat pahala jika mengerjakannya
dan tidak mendapat apa apa jika meninggalkannya. Nadeb atau mandub dalam kajian
ushul fiqh juga disebut sunah, nafilah atau tatawwu’, dan ihsan.contoh dari nadeb
seperti azan,shalat berjamaah,berkumur dalam berwhudu,membaca surat setelah
alfatihah dalam shalat,shalat wittir dll.

Tingkatan nadab yang pertama, sunah muakkadah sunah yang kuat yaitu
sunah yang selalu ditekuni oleh Nabi tidak pernah ditinggalkan kecuali sesekali
duakali hal ini sengaja dilakukan untuk menunjukan bahwa hal itu bukan suatu
kewajiban. Sunah muakkadah bila dikatakan penyempurnaan kewajiban. Azan,
shalat berjamaah, berkumur saat whudu’. Shalat whitir, shalat fajar dua rakaat.
Salat sunah qabliyah dan ba’diyah. Yang kedua,sunah gairu muakadah
sunah yang tidak kuat, yaitu sunah yang jika tidak dilakukan tidak mendapat
dosa dan tidak juga celaan seperti puasa sunah senin dan kamis dll . kemudian
yang ketiga, sunah tambahan (ziadah). Maksudnya ialah sesuatu yang dingap
pelengkap bagi mukalaf dan sunah ini tidak sejajar dengan kedua sunah
sebelumnya. Sunah ini adalah sunah yang mengikuti rasul dalam kebiasaan
rasul sebagai manusia biasa. Dan jika ditiru merupakan hal fositif bagi mukalaf
karenamerupakan bukti dari kecintaan pada rasul.dan jika tidak dilakukan maka
tentunya tidak masalah karna hal ini bukan merupakan bagian dari syariat.
c. Tahrim ( haram ), yaitu titah / khitab yang mengandung larangan yang
harus dijauhi. Dengan konsekuensi mendapat pahala jika meninggalkannya dan
mendapat dosa jika melakukannya.
َّ ‫ع ْال َك‬
penegrtian menurut hukum syara’ ‫ف ع َْن فِ ْعلِ ِه َعلَى َوجْ ِه اللُّ ُزوْ ِم‬ َ َ‫َماطَل‬
ِ ‫ب ال َش‬
ُ ‫ار‬
" tuntutan secara tegas dari Allah untuk tidak dikerjakan secara tegas /pasti”
َ ‫اح َشةً َو َساء‬
Contoh : ً‫سبِيال‬ ِ َ‫الزنَى ِإنَّهُ َكانَ ف‬ ْ ‫َوالَ تَ ْق َرب‬
ِّ ‫ُوا‬
“dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu suatu”perbuatan yang
keji dan suatu jalan yang buruk”(QS. Al Isra 17 : 32)

5
Haram dapat dibagi menjadi dua macam yaitu haram asal, yaitu hukum
yang ditegaskan oleh Allah bahwa hukum itu haram sejak dari permulaan atau haram
secara zat, karna didalamna terkandung zat yang dapat merusak agama, jiwa, harta,
akal, dan keturunan. Contohnya makan bangkai, berzina, dan minum arak.kemudian
yang kedua haram dikarnakan sebab sesuatu yang lain maksudnya hukum asal sesuatu
ini tadinya bukan haram.tetapi hukum itu dibarengi dengan sesuatu yang lain yang
hukumnya haram misalnya seperti shalat menggunakan pakaian hasil curian jual beli
yang asal hukumnya boleh tapi ada unsur menipu dalam jual beli tersebut ,kemudian
manikah dengan segaja untuk kembali bersam wanita yang telah ditalaknya tiga
kali.dll.
d. Karahah (makruh ), yaitu titah /khitab yang mengandung larangan ,
tetapi tidak harus dijauhi atau tidak sampai kederajat haram dan dilarang karna apabila
dilakukan akan menysahakan manusia. Seperti makan dan minum sambil berdiri.
e. Ibahah ( mubah ),yaitu titah atau khitab yang membolehkan sesuatu
untuk diperbuat atau ditinggalkan misalnya berburu setelah haji , bertebaran setelah
shalat jumat.
2. Hukum wadh’i

Hukum wadh’i ialah khitab yang menjadikan sesuatu sebagai sebab


adanya yang lain (musabab), atau sebagai syarat yang lain.yaitu sebab, syarat,
mani, ruhksah dan azimah. Ulama ushul fiqh mendefinisikan hukum wadh’i
sebagi berikut : “hukum yang menghendaki sesuatu itu sebagi sebab bagi
sesuatu yang lain atau sebagai syarat atau sebagai penghalang atau sebagai
sesuatu yang memperkenankan keringanan atau rukhsah atau sebagi pengganti
hukum keretapan pertama(azimah) atau sebagai yang sahih dan tidak sahih”
Berikut penjelasan dari setiap pembagianya:

a. Sebab, ialah suatu titah yang menjadikan adanya suatu hukum dan dan
dengan tidak adanya sesuatu itu menjadi lenyapnya sesuatu hukum. Misalnya nikah
menjadi sebab adanya hak waris mewarisi \
b. antara suami dan istri sedangkan talak menjadi sebab hilangnya hak
waris antara suami istri tersebut.kemudian contoh lain
ُ “َ‫ ۖ فَ“ َم“ ْ“ن“ َش“ ِه“ َد“ ِم“ ْن“ ُك“ ُم“ ا“ل“ش“َّ ْه“ َ“ر“ فَ“ ْل“ ي‬.......
) 185) ...... “ُ‫ص“ ْم“ ه‬
“Barang siapa diantara kamu melihat bulan itu maka hendaklah ia berpuasa”
(QS. Al Baqarah 2:185)

6
Akibat melihat bulan hilal (1 ramadan ) dinamakan sabab sedangkan
pekerjaan yang dikenai sebab itu dinamai musbab.

c. Syarat ialah sesuatu yang menjadi syarat sah bagi yang lain atu harus
ada sesuatu tersebut untuk menjalankan sebuah hukum, misalnya whudu adalah syarat
sahnya shalat jika tidak berwhudu maka tidak sahlah shalat tersebut contoh lainnya
‫النكاح اال بولي وشاهدي عدل‬
“sahnya suatu pernikahan hanya dengan adanya seorang wali dan dua orang
saksi “
Tampa seorang wali dan dua orang saksi maka tidak sahlah pernikhn tersebut
d. Mani’ menjadi penghalang sesuatu atau mnerangkan bahwa adanya
menjadi penghalang terhadap sebuah hukum. Misalnya wanita yang sedag haid maka
tidak wajib baginya untuk menjalani shalat yang asal hukumnya wajib dan pakaian
seseorang yang sedang shalat terkena kotoran/hal yang najis mejadi penghalang bagi
shalat tersebut
e. Azimah dan ruhkshah, iyalah hukum apabila dilihat dari segi berat atau
ringannya
- Azimah iyalah hukum syara’ yang pokok dan berlaku untuk umum bagi
seluruh mukallaf dan dalam semua kedaan waktu misalnya ,shalat fardu yang lima
waktu dan puasa pada bulan ranadhan
- Rukhsah ialah peraturan tambahan yang dijalankan berhubungann
dengan hal hal yang memberatkan massyarakat sebagaipengecualian dari hukum
hukum yyang pokok. Misalnya ,boleh berbuka puasa pada bulan puasa bagi para
musafir ,dalam keadaan terpaksa bangkai boleh dimakan asal tidak bermaksud
menentang hukum syara’ da tidak berlebihan
C. Al Hakim
Al Hakim adalah zat yang mengeluarkan hukum. Dialah yang menyuruh,
melarang, mewajibkan,mengharamkan dan memberi pahala atau siksa dengan
demikian al hakim iyalah Allah SWT.para mujatahid sepakat akan hal ini dan tidak ada
perselisihan. Tidak ada hukum kecuali apa yang diputuskan-Nya, tidak ada syari’at
kecuali apa yang disyariatkan-Nya. Hal tersebut didasarkan pada alquran Allah SWT
berfirman dalam surat al Anam ayat 57 sebagai berikut :

َّ ‫اِ ِن الحُك ُم اِالَّهلِل يَقُصُّ ْال َح‬.......


57. َ‫ق و هوخيرالفا َ ِسقُون‬

7
“menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah ia menerangkan yang sebenarnya
dan ia pemberi keputusan yang baik ” (QS. Al –an’am /6:57)
Berdasarkan dalil diatas, tidak ada kekuasan kekuasaan mengeluarkan hukum
selain Allah. Tugas rasul hanya menyampaikan hukum hukum Allah.hal yang menjadi
perselisihan antara umat islam terletak pada cara bagaimana hukum Allahitu didapat.
Apkah hukum Allah dapat diketahui dengan sendirinya melalui akaltampa perlu ada
perantara rasul ataukah hukum Allah hanya akan diketahui melalui rasul dengan kata
lain akal tidak tidak dapat mengetahui hukum Allah. Hal ini menjadi perdebatan
diantara ulama berikut iniakan dibahas pendapat para imam mazhab :
1. Mazhab Asy’ariyah
Golongan asy’ariyah(Abu Hasan Al Asyhari ) dn para pengikutya berpendapat bahwa
hukum-hukum Allah tentag perbuatan mukhalaf tidk mungkin diketahui kecuali
dengan perantaraan para rasul dan kitab-kitabNya. akal akan berbeda dalam
menanggapisoal perbuatan dalam hal baik an buruk suatu perbuatan akal sering kali
dipengaruhi oleh nafsu oleh karena itu, tidak dapat dikatakan sesuatu yang dipandang
oleh akal itu baik maka baik juga menurut Allah dan sesuatu yang dipandang jelek oleh
akal jelek juga menurut Allah. Maka konsekuensinya tidaklah manusia itu dibebani
oleh Allah untuk mengerjakan sesuatu atau meningglkannya kecuali apabila dakwah
rasul dan apa yang telah disyariatkan oleh Allah telah sampai kepadanya.

2. Mazhab Muktazilah
Golongan muktazilah (washil bin Atha’) beserta para pengikutnya berpendapat
bahwa hukum-hukum Allah tentang perbuatan orang mukalaf dapat diketahui dengan
akal tanpa perantaan para rasul dan kitab-kitabNnya. Karena setiap perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang mengandung sifat danpengaruh yang dapat diukur oleh akal
apakah perbuatan ini membahayakan atau memberi manfaat. Sehingga apa yang
dipandang oleh akal itu jelek, maka sesuatu itupun jelek disisi Allah dansesuatu yang
dipandang baik oleh akal maka itu baik menurut Allah juga.
3. Mazhab Al-Maturidiyah
Yaitu parapengikut Abu Mansyur Al-Maturidi. Mazhab ini dinilailebih moderat dan
netral. Mazhab ini berusaha untk mencari titik temu antara mazhab sebelumnya.
Mazhab ini berpendapat bahwa perbuatan mukalaf mempunyai kekhususan dan
berpengaruh dan menghendaki kebaikan dan kejelekan. Berdasarkan kekhususan
pengaruh itu akal dapat memutuskan bahwa perbuatan itu baik atau jelek. Tetapi juga

8
hukum tentang perbuatan seseorang tidak mesti selalu dengan jangkauan akal manusia
berupa kebaikan dan kejelekannya, karena akal terkadang salah dan ketika akal
mengetahui hukum sesuatu, maka tidak ada jalan untuk mengetahui hukum perbuatan
itu kecuali melalui syariat yang dibawa oleh rasul.
D. Mahkum fih
Yang dimaksud oleh mahkum fih ialah perbuatan mukalaf yang berhubungan
dengan hukum syara’.atau bisa kita sebut dengan objek hukum. Contoh

)43( َ‫صلَوةَ واتُوْ اَال َّز َكوةَواَرْ َكعُوْ ا َم َع ال َّر ِك ِع ْين‬


َّ ‫َواَقِيْمواال‬
“ Danlaksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orang orang
yang rukuk” (QS. Al Baqarah 2:43)

Shalat disini sebagai mahkum fih . karana shalatlah perbuatan yang dibebankan kepada
mukalaf.

Syarat syarat perbuatan yang ditaklifkan agar bisa ditaklifkan /


dibebankan agar bisa dilaksanakan dengan sempurna oleh mukallaf :

- Mukalaf harus menegtahui perbuatan yang akan dilkukan sehingatujuannya


dapat ditangkap dengan jelas dan dan dapat dilaksanakan.
- Mukalaf harus mengetahui sumber taklif atau mengetahui bahwa tuntutan
tersebut jelas dari Allah.
- Perbuatan tersebut harus munkin untuk dilaksanakan atau dutinggalkan.
E. Mahkum Alaih
Yang dimaksud oleh mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai
khitab Allah. Atau mukalaf yan dikenal sebagai mukalaf ini ialah orang muslim yang
sudah dianggap mampu mengerjakan tindakan hukum. Dikatakan bahwa seseorang
dapat dibebani hukum apabila ia berakal dan mampu memahami hukum syara’.
Berikut dasar hukumnya :

َ ِ‫الصبِ ِّي َحتّى يَحتَلِ َم َو َع ِن ْال َم ْخنُوْ ِن َحتَّى يَف‬


‫ق‬ َ ‫ َع ِن النَاِئم َحتَى يَ ْستَ ْيقِظَ و َع ِن‬:‫ث‬
ٍ َ‫ُرفِ َع القلَ ُم ع َْن ثَال‬
“Diankat pembebanan hukum dari tiga jenis orang : orang tidur sampai ia bangun,
anak kecil sampai ia balig, dan orang gila sampai ia sembuh” (H.R al Bukhori.
Tirmizi, Nasai, Ibnu Majah, ad Daruqutni, dari Aisyah dan Ali bin Abi Thalib)

Seorang dikatan mukalaf bila telah memenuhi syarat syrat berikut :

9
- Mukalaf dapat memahami dalil taklif baik itu berupa nas nas al Qur’an dan
sunah baik secara langsung maupun melalui perantara. Orangyang tidak mengerti
hukum taklif, maka ia tidak dapat melaksanakan dengan benar apa yang diperintahkan
kepadanya. Dan alat untuk memahami ayat itu ialah akal. Maka orang yang tidak
berakal (gila) tidaklah dikatakan mukalaf.
- Mukalaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya.
Yang dimaksud dengan ahli disini ialah pantas ,layak atau wajar untuk menerima
perintah.

Keadaan manusia dihubungkan dengan kelayakan untuk menerima atau menjalankan


hak dan kewajiban dapat dikelompokan menjadi dua :

1. Tidak sempurna. Artinya dapat menerima hak tapi tidak wajib baginya
kewajiban. Contoh janin yang ada dalam perut ibu. Baginya ada beberapa hak. I berhak
menerima harta pusaka dan berhak menerima wasiat tetapi tidak mampu melaksanakan
kewajiban.
2. Secara sempurna, rtinya apabila sudah layak baginya beberapa hak dan layak
melakukan kewajiban yaitu orang orang yang sudah dewasa (mukalaf).

para ulama ushul membagi ahli (kelayakan) menjadi dua :

1. Ahliyatul Wujub (Ahli wajib)

Iyalah kecakapan seseorang untuk ditetapkan kepadanya hak dan


kewajiban. Kelayakan inilah yang membedakan manusia dengan binatang.
Ahliyatul wujub cakupanya bersifat menyeluruh untuk semua jenis manusia
tampa memandan laki-laki atau perempuan, anak anak atau sudah baligh,punya
akal atau gila, sehat atau sakit. Jadi, setiap setiap manusia yang mana saja
tampa terkecuali mempunyai kelayakan untuk menerima hak dan kewajiban.
Tidak ada manusia yag terlepas dari kelayakan itu. Karena ahliyah alwujub
dipandan sebagai sifat kemanusiaan. Dengan kata yang lebih jelas Wahab
Zuhaili mengatakan bahwa ahliyatul alwujub adlah sebuah ketetapan yang
diperuntukan untuk manusia dari mulai penciptaannya sampai kepada
kematian.5

Abdul Wahab Khalaf membagi ahliyatul wujub menjadi dua macam :

5
Wahab Zuhaili,Al Wjiiz fi ushul alfiqh ,(damaskus Daar al Fikr, 1999), cet. Ke2 hlm.157

10
a. Ahliyah wujub an Naqisah, yaitu orang yang diaangap layak untuk
mendapatkan hak tetapi tidak layakuntuk dibebankan kewajiban atau sebaliknya.
Contohnya janin yang berada dalam perut ibu. Dan mayat yang meningalkan utang
b. Ahliyah wujub al kamilah. Yaitu orang yang layak mendapat hak dam
menjalnkan kewajiban. Kelayakan ini didapat oleh seseorang dimulai sejak lahir, pada
masa kanak kanaknya , tamyiz dan setelah baligh.
2. Ahliyah al Ada’ (ahli melaksanakan)
Iyalah kelayakan mukalaf untuk dapat diangap baik ucapan maupun
perbuatannya menurut hukum syara’. Contoh apabila mukalaf mendirikan shalat ,puasa
atau haji maka semua itudapat diperhitungkan dan bisa menggugurkan kewajiban. Dan
jika mukalaf melakukan tindak piana, maka ia harus dihukum sesuai dengan
pelangaranya itu. Keadaan manusia jika dihubungkan pada ahliyatul ada’mak dapat
dikelompokan menjadi tiga kelompok :
a. tidak memiliki kealiayan sama sekali. Maksudnya iyalah orang yang
sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan hukum. Seperti anak anak
yang belum dewasa atau kehilangan kehilangan kemampuan seperti orang gila. Maka
perkataan dan perbuatannya tiak dianggap secara hukum. Tetapi jika anak dan orang
gila itu berbuat pidana terhada jiwa atau harta, maka ia harus diberikan hukuman
secara harta tidak secara fisik, maka jika orang gila membunuh hukumannya
membayar denda tidak wajib qishas.
b. Tidak sempurna keahliannya yaitu anak yang masih remaja sbelum dia
baligh. Termasuk dalam kelompok ini pula orang yang kurang akal. Karna karena
orang kurang akal itu tidak cacat akalnya dan tidak kehilangan akal. Tetapi dia lenah
akalnya. Maka orang orang semacam ini dianggap sah perbuatannya dan dipandan
berguna baginya seperti menerima hibah dan sedekah.
c. Sempurna keahliannya. Yaitu orang yang sudah sampai usia dewasa.
Maka keahlian melaksanakan hak dan kewajiban dianggap sempurna dengan
kedewasaan dan kematangan berpikir.6

3. Penghalang (Awarid) dan pembagiannya.

6
Abdul Wahab Khallaf. Iilmu ushul fiqh,(mesir:maktaah addakwah alislamiyah , tt) hlm 137-
138

11
Yang dimaksud dengan penghalang keahlian ialah keadaan yang
membuat mukalaf tidak dapat melak sanakan hak dan kewajiban yang telah
ditetapkan kepadanya. Para ulama ushul menggolongkan penghalang keahlian
ini menjadi dua kelompok :

a. Penghalang samawi, yaitu penghalang yang tidak dapat diusahakan


oleh manusia.ia hadir dengan sendirinya tampadikehendaki oleh manusia itu sendiri
seperti:gila,hilang akal ,lupa, ketiduran dan pingsan. orang orang yang terkena
penghalang seperti tersebut maka ia dihukumi dengan orang yang tidak memiliki
kemampuan sama sekali untuk melakukan kewajiban-kewajiban.
b. Awarid kasby/mukatasabah,yaitu penghalang yang terjadi lantaran
perbuatan manusia itusendiri seperti:mabuk,bodoh banyak uatang, dan boros.

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum syara’ berati khitab Allah SWT, yang bersangkutan dengan perbuatan mukalaf
baik berupa tuntutan (perintah maupun larangan ),ataupun anjuran unutk meninggalkan
dan melakuan, dan juga berupa kebebasan memilih takhyir
Hukum syara’ dibagi menjadi dua yaitu Taklifi dan Wadh’i, hukum taklif iyalah
hukum yang menghendaki dilakukannya suatu perbuatannya atau meningkalkan suatu
perbuatan dan disuruh memilih antara melakukan atau meningalkannya pembagian
hukum taklifi yaitu wajib,sunah, mubah, makruh, haram.
Yang kedua Hukum wadh’i ialah khitab yang menjadikan sesuatu sebagai sebab
adanya yang lain (musabab), atau sebagai syarat yang lain.Kemudian pembagian
hukum wadh’i yaitu sebab, syarat,mani, rukhsah, dan azimah.
Hakim adalah pembuat hukum jelas bahwa hakim disini ialah Allah SWT.kemudian
mahkum fih, mahkum fih ialah objek hukum atau sesuatu yang dierintahkan oleh Allah
untuk dikerjakan maupun ditinggalkan, kemudian mahkum alaih, mahkum alaih adalah
mukalaf yang dikenai khitab namun ada sesuatu yang menjadi penghalang yaitu
(awarid ), awarid adlah keadaan dimana dimana mukalaf tidak dapat melaksanakan hak
dan kewajiban yang ditetapkan.
Awarid dibagi menjadi dua yaitu awarid samawi, penghalang yang tidak dapat
diusahakan oleh manusia atau diluat kuasa manusia seperti gila kurang akal
dll.penghalang kasby yaitu penghalang yang disebabkan lantaran manusia itu sendiri
seperti mabuk, bodoh, boros, banyak utang.

13
DAFTAR PUSTAKA

Drs. Beni Ahmad Saibani, M.Sidan Drs. H. Januri M.Ag, Fiqh dan Ushul Fiqh,
Pustaka Setia Bandung ;2009
Drs. Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih,PT. Al Ma’arif Bandung 1973
Drs. Sapiudin Shidiq, M.A.,Ushul Fiqh, Kencana Jakarta 2014
Prof. Dr. H. Satyria Efendi. M. Zein, MA.,Ushul Fiqh , kencana Jakarta 2012
Suratno dan Anang Zamori. Mendalami Ushul Fiqih ,Aqila Solo 2015

14

Anda mungkin juga menyukai