Anda di halaman 1dari 11

MUJTAHID

D
I
S
U
S
U
N
OLEH :

NAMA : RIA ZULMUNA


NIM : 201600255

DOSEN PENGAMPU : CUT JANIATI, S.SY, M.HI.

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


JAMIATUT TARBIYAH
LHOKSUKON ACEH UTARA
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb. Alhamdulillah.. Puji syukur kehadirat Allah


SWT. atas segala rahmat dan hidayah-Nya. Segala pujian hanya layak kita aturkan
kepada Allah SWT. Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta
petunjuk-Nya yang sungguh tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang penulis beri judul ”Mujtahid”.
Dalam penyusuna makalah ini, penulis mendapat banyak bantuan dari
berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan rasa berterimakasih yang
sebesar-besarnya kepada mereka, kedua orang tua dan segenap keluarga besar
penulis (Tuliskan namanya) yang telah memberikan dukungan, moril, dan
kepercayaan yang sangat berarti bagi penulis.
Berkat dukungan mereka semua kesuksesan ini dimulai, dan semoga semua
ini bisa memberikan sebuah nilai kebahagiaan dan menjadi bahan tuntunan kearah
yang lebih baik lagi. Penulis tentunya berharap isi makalah ini tidak meninggalkan
celah, berupa kekurangan atau kesalahan, namun kemungkinan akan selalu tersisa
kekurangan yang tidak disadari oleh penulis.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
agar makalah ini dapat menjadi lebih baik lagi. Akhir kata, penulis mengharapkan
agar makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Lhoksukon, Oktober 2021


Penulis

Ria Zulmuna

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah.................................................................. 1
B.     Rumusan masalah............................................................................ 2
C. Tujuan masalah .............................................................................. 2
BAB II  PEMBAHASAN
A. Pengertian Mujtahid......................................................................... 2
B. Pembagian Syarat dan Ketingkatan Mujtahid................................ 3
C. Ijtihad Hukum Bisnis Syariah.......................................................... 5

BAB III PENUTUP.............................................................................................. 8


Kesimpulan............................................................................................. 8

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 9

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mujtahid adalah istilah yang perlu dipahami sebelum mencoba
melakukannya. Sekarang ini kita banyak mendengar istilah Mujtahid.
Sebagian fuqaha’ pada era ini pun seakan-akan tidak keberatan denga
ditutupnya pintu ijtihad dan seolah-olah mereka mensetujui hal tersebut.
Menyerahkan kegiatan ijtihad kepada orang-orang yang bukan ahlinya,
menurut pertimbangan mereka, tidak lebih baik dari tindakan menutup pintu
ijtihad. Sehingga kemampuan ijtihad mutlaq seseorang saat itu tidak diakui,
karena yang diperoleh hanyalah ijtihad relatif (nisbi). 1Artinya Mujtahid hanya
diperbolehka melakukan penafsiran kembali terhadap hukum-hukum fiqih
Islam dalam batas- batas yang telah ditentukan oleh madzhab yang dianutnya.
Atau paling jauh dan sekaligus merupakan poin tertinggi dalam legislasi
orisinal masa itu, mujtahid hanya dibenarkan melakukan studi campuran dan
perbandingan tentang hokum islam dari aliran-aliran fiqih yang berbeda. 2
Penerus Nabi SAW tidak hanya berhenti pada masa
khulafaurrosyidin, namun masih diteruskan oleh para tabiin dan ulama
sholihin hingga sampai pada zaman kita sekarang ini. Perkembangan ilmu
fiqh bisa klasifikasikan secara periodik menurut masanya,yaitu masa
Rosululloh SAW, masa para sahabat, masa tabiin, masa imam mujtahid (masa
pembukuan fiqh),masa kemunduran dan masa kebangkitan kembali.3

1 Abd al-Wahhab Khallaf, ‘I/mu Ushul al-Fiqh, Qakarta: Maktabat ad-D’awat al-Islamiyyat Syabab al-
Azhar, 1968), h. 32-33
2 Sayyid Muhammad Musa, Al-ljtihad wa Madza Hqjatina fl Hadza al-‘Ashr, (Mesir: Dar Al-Kutub, tth.),
h. 180.
3 Moh Rifa’i, Ushul Fiqih, (Bandung : PT. Alma’arif, 1979), hal. 125

1
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat ditarik beberapa rumusan masalah di
antaranya, yaitu:
1. Jelaskan pengertian mujtahid ?
2. Jelaskan bagaimana syarat mujtahid dan tingkatkan nya?
3. Bagaimana ijtuhad hukum bisnis syariah?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan mujtahid!
2. Untuk mengatahui syarat syarat mujtahid dan tingkatannya?
3. Untuk mengetahui bagaimana ijtihad hukum bisnis Syariah!

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian mujtahid
Mujtahid (bahasa Arab: ‫ )المجتهد‬atau fakih (‫ )الفقيه‬adalah seseorang yang dalam
ilmu fikih sudah mencapai derajat ijtihad dan memiliki kemampuan istinbath
(inferensi) hukum-hukum syariat dari sumber-sumber muktabar dan diandalkan.
Berdasarkan dalil-dalil syar’I, para mujtahid yang memenuhi seluruh syarat untuk
diikuti fatwanya (jami’ al-Syaraith) adalah berstatus sebagai hakim syar’I dan
memiliki beberapa tugas dan wewenang seperti menghakimi dan menggunakan milik-
milik umum dan harta-harta wakaf bahkan mengumumkan perang dan perdamaian.
Para agamawan memperhatikan pandangan-pandangan mereka dan praktik-praktik
keagamaannya dilakukan sesuai dengan fatwa para mujtahid serta menyerahkan
sebagai hasil keuntungannya kepada mereka sebagai kewajiban-kewajiban harta. Para
mujtahid yang a’lam dan diterima oleh masyarakat umum adalah mencapai maqam
marjaiyah. Mujtahid mutlak dan mutajazzi, mujtahid bil fi’il dan bil quwwah,
mujtahid a’lam dan mujtahid jami’ al-syarāith merupakan bagian-bagian dari fakih

2
atau mujtahid. Syaikh Thusi, Muhaqqiq Hilli, Allamah Hilli, Syaikh Anshari dan
Mirza Syirazi adalah mujtahid-mujtahid Syiah yang terkenal dan memiliki nama.4

Adapun Mujtahid secara etimologi adalah bentuk isim fa’il dari fi’il madhi
ijtahada yang artinya orang yang berijtihad. Merujuk kepada imam as-Syaukani,
secara terminologi mujtahid berarti orang yang bersungguh-sungguh mencurahkan
segala kemampuannya untuk memperoleh hokum syara’ dengan cara melakukan
istimbat hukum.5

B. Syarat Mujtahid dan Tingkatannya

Imam al-Syafi’I merumuskan syarat mujtahid sebagai berikut:

1. Islam, baik itu bangsa Arab atau non-Arab dan non muslim tidak diperbolehkan
untuk mengistinbatkan hukum.
2. Baligh dan berakal, anak-anak dan orang gila tidak boleh melakukan istinbat
hukum. Pada awalnya imam al-Syafi’I hanya mensyaratkan berakal, namun
belakangan kalangan syafi’iyah menambahkan syarat bahwa seorang mujtahid
harus baligh.
3. Adil, ada dua spesifikasi dalam mengartikan adil, yang pertama adil di artikan
sebagai seseorang yang tidak berpihak, orang yang berada pada kebenaran. Yang
kedua adil diartikan sebagai seseorang yang terhindar dari dosa besar dan dosa
kecil. Spesifikasi yang kedua ini yang menjadi syarat mujtahid menurut Syafi’i.
4. Menguasai bahasa Arab, seorang mujtahid harus mempunyai kemampuan
berbahasa Arab karena teks Al-Qur’an berbahasa Arab.
5. Menguasai al-Qur’an, seperti menguasai nasikh mansukh, asbabun nuzul,
qasam, qiraat al-Qur’an, i’jaz, tafsir dan sebagainya.

4 https://id.wikishia.net/view/Mujtahid
5 A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih , (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010 ), hal.178

3
6. Menguasai hadist, seperti menguasai asbabul wurud, ilmu rijal al- hadis, dan
sebagainya.6

Abu Zahra membagi mujtahid kepada beberapa tingkat, yaitu mujtahid


mustaqil,mujtahid muntasib,mujtahid,mujtahid fi al-mazhab, dan mujtahid fi at-tarjih.

1. Mujtahid Mustaqil (independen) adalah tingkat tertinggi,oleh Abu Zahra disebut


sebagai al-Mujtahid fi al-Syar’I, atau disebut juga Mujtahid mutlaq. Untuk
sampai ke tingkat ini, seseorang harus memenuhi syarat-syarat tersebut. Mereka
disebut Mujtahid Mustaqil, yang berarti independen, karena mereka terbebab dari
bertaqlid kepada mujtahid lain, baik dalam metode istinbath (ushul fiqih) maupun
dalam furu’ (fiqih hasil ijtihad). Mereka sendiri mempunyai metode istinbath,
dan mereka sendirilah yang menetapkan metode istinbath itu dalam berijtihad
untuk membentuk hokum fiqih.
2. Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang dalam masalah ushul fiqih, meskipun
dari segi kemampuannya ia mampu merumuskannya, namun tetap berpegang
kepada ushul fiqih salah seorang imam mujtahid mustaqil, seperti berpegang
kepada ushul fiqih Abu Hanifah. Akan tetapi, mereka bebas dalam berijtihad,
tanpa terikat dengan salah satu mujtahid mustaqil.
3. Mujtahid fi al-madzhab, yaitu tingkat mujtahid yang dalam ushul fiqih dan
Furu’ bertaqlid pada imam mujtahid tertentu. Mereka disebut mujtahid karena mereka
berijtihad dalam mengistinbathkan hukum pada permasalahan-permasalahan
yang tidak ditemukan dalam buku-buku madzhab imam mujtahid yang menjadi
panutannya. Mereka tidak lagi melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang
sudah ditegaskan hukumnya dalam buku-buku fiqih madzhabnya.7

C. Ijtihad Hukum Bisnis Syariah

6 Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2011 ), hal.181
7 Satria Effendi, Ushul Fiqih (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012), hal.256

4
Dalam kajian Abd Wafi Has, setelah mencermati beberapa definisi ijtihad dari
sudut etimologi, terminologi maupun doktrin dari beberapa sarjana, dipaparkan
bahwa ijtihad, secara umum, dapat dipahami sebagai kekuatan atau kemampuan
dalam mencentuskan ide-ide yang bagus demi kemaslahatan umat. Selain itu, ada
pula yang memahami ijtihad sebagai pengerahan segenap kesanggupan dari seorang
ahli fikih atau mujtahid untuk memeroleh pengertian terhadap hukum syara (hukum
Islam)8

Ijtihad merupakan salah satu sumber hukum Islam yang pembentukannya


dilatarbelakangi oleh perkembangan yang terjadi di masyarakat, di mana di dalamnya
bermunculan persoalan-persoalan yang belum semuanya dijawab secara gamblang
oleh ayat-ayat Al-Quran serta Hadis Rasulullah SAW.9 Untuk merespons keadaan
tersebut, maka para ulama berupaya menciptakan produk hukum melalui usaha
pemikiran yang sungguh-sungguh maupun melalui proses interpretasi.10

Dalam rangka mewujudkan aspirasi umat Islam mengenai masalah


perekonomian dan mendorong penerapan ajaran Islam dalam bidang perekonomian
yang dilaksanakan sesuai dengan tuntutan syariat Islam, maka MUI membentuk
dewan Syariah Nasional (DSN). Hal ini bermula dari lokakarya tentang reksadana
syariah yang diadakan pada tahun 1997.

DSN MUI didirikan pada tahun 1999 dengan tugas memberikan fatwa-fatwa
khusus dalam masalah-masalah di bidang ekonomi syariah. Secara lingkup tugas,
DSN MUI berbeda dengan Komisis Fatwa MUI yang fokus tugasnya justru berada di
luar permasalahan ekonomi syariah. 11

8 Abd Wafi Has, “Ijtihad sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Islam,” Jurnal Epistemé (Vol. 8, No.
1, Juni 2013): 93.
9 Arifana Nur Kholiq, “Relevansi Qiyas dalam Istinbath Hukum Kontemporer,” Jurnal Isti’dal (Vol. 1,
No. 2, Juli-Desember 2014): 171.
10 Ibid.
11 Atho Mudzhar (b), Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001), hlm. 92

5
Dinamika pertumbuhan lembaga keuangan syariah tersebut kemudian
dicermati, salah satunya, melalui kegiatan Lokakarya Ulama tentang Reksadana
syariah pada bulan Juli 1997. Hasil rekomendasi dari Lokakarya Ulama itulah yang
kemudian ditindaklanjuti dengan membentuk DSN MUI di dalam struktur MUI.12

Secara yuridis, DSN MUI mulai diakui keberadaannya dalam Surat


Keputusan direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/1999 tentang Bank Umum
Berdasarkan Prinsip syariah, yaitu sebagai badan yang memberikan pengaturan
produk dan operasional perbankan syariah sekaligus sebagai Dewan Pengawas
Syariah.

DSN MUI dalam menjalankan perannya di bidang ekonomi syariah


mempunyai tugas, antara lain, sebagai berikut:25 menetapkan fatwa atas sistem,
kegiatan, produk, dan jasa Lembaga Keuangan Syariah (LKS), Lembaga Bisnis
Syariah (LBS), dan Lembaga Perokonomian Syariah (LPS) lainnya; mengawasi
Penerapan fatwa melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) di LKS, LBS, dan LPS
Lainnya; membuat Pedoman Implementasi Fatwa untuk lebih menjabarkan fatwa
ertentu agar tidak menimbulkan multi penafsiran pada saat diimplementasikan di
LKS, LBS, dan LPS lainnya; serta menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai
syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya.
Sampai dengan saat ini, secara faktual, fatwa yang diterbitkan oleh DSN MUI sudah
banyak, yaitu sekitar lebih dari seratus fatwa. Sejalan dengan perkembangan secara
kuantitatif tersebut, secara kualitatif, dapat dikatakan pula bahwa Fatwa DSN MUI
ikut memberikan pengaruh yang positif bagi berjalannya aktivitas bidang ekonomi
syariah di Indonesia, sehingga bisa “memberikan jaminan” bagi para pelakunya
dalam bertransaksi, mulai dari meng-cover persoalan investasi reksadana syariah,

12 Ibid

6
transaksi keuangan pada bank yang harus terbebas dari riba, sampai ke pembiayaan
ultra mikro berdasarkan prinsip syariah yang terbit tahun 2018.13

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
13 Andi Fariana, “Urgensi Fatwa MUI dalam Pembangunan Sistem Hukum Ekonomi Islam di
Indonesia,” Jurnal Al-Ihkam (Vol. 12, No. 1, Juni 2017): 100; Muhammad Maulana Hamzah, “Peran
dan Pengaruh Fatwa MUI dalam Arus Transformasi Sosial Budaya di Indonesia,” Jurnal Millah (Vol.
XVII, No. 1, Agustus 2017): 147-14

7
Mujtahid itu ialah ahli fiqih yang menghabiskan seluruh kesanggupannya untuk
memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum agama dengan jalan istinbath
dari Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan kata lain, Mujtahid adalah orang-orang yang
melakukan ijtihad.
Imam al-Syafi’I merumuskan syarat mujtahid sebagai berikut: 1) Islam. 2)
Baligh dan berakal, 3) Adil. 4) Menguasai bahasa Arab. 5) Menguasai al-Qur’an, 6)
Menguasai hadist,
Abu Zahra membagi mujtahid kepada beberapa tingkat, yaitu mujtahid
mustaqil,mujtahid muntasib,mujtahid,mujtahid fi al-mazhab, dan mujtahid fi at-tarjih.
1) Mujtahid Mustaqil (independen) 2) Mujtahid Muntasib. 3) Mujtahid fi al-madzhab
Dengan sifat perkembangan bidang ekonomi syariah yang dinamis, maka
keberadaan ijtihad bisa menjadi suatu bentuk respons yang positif bagi kebutuhan
adanya landasan hukum untuk aktivitas ekonomi atau bisnis syariah. Dalam konteks
indonesia, kebutuhan tersebut dijawab dengan hadirnya fatwa-fatwa bidang ekonomi
syariah, yang diterbitkan, salah satunya, oleh DSN MUI.

Anda mungkin juga menyukai