FIQIH
Tentang
MADZHAB SHAHABI DAN DZARI’AH
Guru Mata Pelajaran : Siti Rukayah, S.Pd
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat kesehatan dan
kesempatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugasnya sesuai dengan
apa yang penulis harapakan. Shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada
nabi Muhammad saw, yang tentunya merupakan satu-satunya nabi yang dapat
member syafaat kepada umat manusia. Dan mudah-mudahan kita termasuk
orang-orang yang mendapatkan syafaat. Amin.
Dalam kesempatan ini kami akan membahas tentang sesuatu yang
berkaitan dengan metode memproduk hukum islam, yang selama ini kita
ketahui bahwa para ulama' dalam setiap mengeluarkan produk hukum pasti
menggunakan metode yang berbeda-beda. Meskipun para ulama' berbeda
dalam metode yang mereka gunakan, tetapi yang menjadi sumber utama tetap
sama yaitu Al-qur'an dan As-sunnah. Salah satu metode yang di gunakan oleh
para ulama' yaitu Madzhab Shahabi dan Dzari’ah. Yang merupakan salah satu
dari sekian metode yang telah digunakan. Oleh karena itu pada kesempatan
ini penulis akan membahas tentang Madzhab Shahabi dan Dzari’ah.
B. Rumusan masalah
1. Pengertian madzhab sahabi dan dzari’ah?
2. Kondisi Sahabat pasca Nabi Muhammad?
3. Kehujjahan madzhab sahabi dan dzari’ah?
4. Pandangan para ulama terhadap madhab sahabi?
5. Macam-macam madzhab sahabi dan dzari’ah?
6. Pengertian Saad Dzariah dan fath Dzari’ah?
7. Kedudukan dan dasar Hukum saad dzari’ah?
1
C. DATA
Ada beberapa dalil madzhab sahabi yang tidak disepakati oleh ulama
tentang nilainya sebagai hujjah, diantaranya pendapat sahabat. Dalam hal ini
Jumhur Ulama berpendapat bahwa pendapat sahabat tidak menjadi hujjah,
karena Allah tidak mengharuskan kita untuk mrngikutinya. Kita hanya
diperintahkan mengikuti Al-Qur’an dan A-Sunnah dan para sahabat bukanlah
orang-orang yang mashum. Yang dimaksud pendapat sahabat adalah
pendapat sahabat dalam masalah Ijtihad.
Pendapat kedua menetapkan bahwa pendapat sahabat menjadi hujjah
dan didahulukan daripada qiyas. Dan pendapat ketiga menyatakan bahwa
pendapat sahabat mejadi hujjah apabila dikuatkan dengan qiyas atau tidak
berlawanan dengan qiyas. Sedangkan Dzari’ah diakui dan dipakai oleh
sebagian besar ulama madzhab sebagai salah satu metode dalam istinbath
hukum, walaupun ada perbedaan dalam bagian-bagian tertentu. Bahkan ‘Allal
al-Fasy, berpandangan bahwa dzari’ah baik menutup peantara yang
membawa kepada mafsadat maupun membuka perantara yang membawa
mashlahat. Pada dasarnya merupakan bagian dari Maqasid al-Syari’ah. Lebih
dari itu, dzari’ah merupakan salah satu sarana bagi pembaharuan Hukum
Islam, sehingga bisa mengikuti perkembangan zaman.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Shahabi
A. Definisi Mazhab Shahabi
Kitab-kitab ushul fiqih banyak membahas tentang persoalan Madzhab
Shahabi. Ada yang memberinya nama qaul sahabat ( perkataan sahabat ) atau
juga fatwa sahabat (fatwa sahabat). Dalam kitab ushul fiwih dijelaskan bahwa
Fatwa sahabat adalah
3
B. Kondisi Sahabat Pasca Nabi Muhammad
Setelah rasulullah wafat, tampillah para sahabat yang telah memiliki
ilmu yang dalam dan mengenal fiqih untuk memberikan fatwa kepada umat
islam daan membentuk hukum. Hal itu karena merekalah yang paling lama
bergaul dengan rasulullah dan telah memahami Alquran serta hukum-
hukumnya. Dari merekalah keluar fatwa-fatwa mengenai peristiwa yang
bermacam-macam. Para mufti dari kalangan tabi’in dan tait tabi’n telah
memperhatikan periwayatan dan pentakwilan fatwa-fatwa mereka. Diantara
mereka ada yang mengkodifikasikannya bersama sunnah-sunnah rasul,
sehingga fatwa-fatwa mereka dianggap sumber-sumber hukum yang
disamakan dengan nash. Bahkan, seorang mujtahid harus mengembalikan
sesuatu permasalahan kepada fatwa mereka sebelum kemabali kepada qiyas,
kecuali kalau hanya pendapat perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan atas
nama umat islam.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pendapat para sahabat diianggap
sebagai hujjah bagi umat islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bisa
dijangkau oleh akal. Ini karena pendapat mereka bersumber langsung dari
rasulullah. Dan mereka mengetahui tentang rahasia-rahasia syari’at dan
kejadian-kejadian lain yang bersumber dari dalil-dalil yang qath’I, seperti
kesepakatan mereka atas pembagian waris untuk nenek yang mendapat
bagian seperenam, ketentuan tersebut wajib diikuti, karena tidak diketahui
adanya perselisihan dari umat Islam.
4
asy’ariyah, mu’tazilah, syi’ah, pendapat yang kuat di kalangan ulama
syafi’iyah, salah satu riwayat dari Ahmad bin Hanbal, ulama mutaakhirin
hanafiyah dan malikiyah, dan Ibnu Hazm dari madzhab Zhahiri.
2. Pendapat sahabat dapatdijadikan hujjah dan didahulukan dari pada qiyas,.
Pendapat ini dikemukakan oleh beberapa ulama hanafiyah, malikiyah,
qaul qadim al-Syafi’I, dan salah satu riwayat dari Ahmad bin Hanbal.
3. Pendapat sahabat dapat dijadikan sebagai hujjah apabila tidak
bertentangan dengan perkataan sahabat yang lain. Dalam hal seperti ini,
perkataan sahabat didahulukan dari pada qiyas. Akan tetapi, jika
berlawanan dengan perkataan shahabat yang lain, maka dipilih yang
sesuai dengan kandungan Kitab Suci, hadis ijma’, dan qiyas. Ini Pendapat
Imam as-syafi’I dalam qaul jadid nya.
4. Pendapat sahabat dapat dijadikan sebagai hujjah apabila bertentangan
dengan qiyas, karena dengan perlawanan itu berarti pendapat sahabat
bukan bersumber dari qiyas, tetapi dari sunnah. Pendapat terakhir ini
bersumber dari kalangan hanafiyah.
Al-Syaukani cenderung untuk tidak menerima pendapat sahabat
sebagai hujjah dan metode ijtihad. Menurutnya, memang kedudukan para
sahabat dipandang lebih tinggi karena kedekatan mereka dengan Nabi, namun
mereka tidak memiliki wewenangan menentukan syari’at.
5
karena itu, kalau keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan berarti telah
keluar dari ijma’ mereka.
Berbeda dengan imam Syafi’I beliau berpendapat bahwa pendapat
orang tertentu dikalangan saahabat tidak dipandang sebgai hujjah. Beliau
memperkenankan untuk menentang Pendapat mereka secara keseluruhan, dan
melakukan ijtihad untuk menginsitnbathkan pendapat lain. Alasannya,
pendapat mereka adalah pendapat ijtihadi secara perseorangan dari orang
yang tidak ma’sum.
6
merupakan merupakan hasil ijtihad sahabat dan besar kemungkinan hal
itu mereka terima dari RAsulullah. Oleh Karena itu, fatwa seperti ini
dapat dijadikan landasan hokum bagi generasi selanjutnya.
2. Fatwa sahabat yang disepakati secara tegas di kalangan mereka dikenal
dengan ijma’ sahabat. Fatwa seperti ini dapat dijadikan pegangan bagi
generasi seseudahnya.
3. Fatwa shabat secara perseoragb yang tidak mengikat sahabat lain. Para
mujtahid memang berbeda Pendapat dalam satu masaah, namun dalam
hal ini fatwa seorang sahabat tidak mengikat sahabat lain.
4. Fatwa sahabat secara perseorangan yang didasarkan oleh ra’yu dan
ijtihad.
Dzari’ah
A. Definisi Dzari’ah
Ditinjau dari segi bahasa adalah “jalan menuju sesuatu”, sebagian
ulama mengkhususkan pengertian dzari’ah degnan sesuatu yang membawa
pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemadaratan. Akan tetapi,
Pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul fiqih lainnya, diantaranya
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah yang mengatakan bahwa dzari’ah itu tidak hanya
menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan., lebih
tepat kalau dzari’ah dibagi menjadi dua yaitu Sadd Dzari’ah dan Fath al-
Dzari’ah.
Dengan demikiann yang dilihat dalam adzariah ini adalah perbuatan-
perbuatan yang menyampaikan kita kepada terlaksananya yang wajib dan
mengakibatkan kepada yang terjadinya yang haram, Allah telah melarang
menghna berhala, meskipun berhala sesuatu yang bathil. Karena mennghuna
berhala mengakibatkan dihinana Allah oleh orang-orang penyembah berhala.
Sebagaimana firman Allah dalam surat al-An’am ayat 108.
7
Artinnya: “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah,
selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melewati batas tanpa pengetahuan”.
8
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu berkata : “ra
ina”, tetapi katakanlah: “ undhurna” dan dengarlah.”
9
jatuh ke dalam sumur tersebut. Karenanya, ia dapat dikenai hukuman
karena melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja.
b. Dzari’ah yang boleh diakukan ( mubah) namun dijadikan jalan
perbuatan yang merusak. Misalnya, seorang laki-laki menikahi
perempuan yang ditalak tiga kali dengan tujuan agar wanita itu bisa
kembali dengan suaminya yang pertama (nikah tahlil).
c. Dzari’ah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan
untuk kerusakan, namun biasanya sampai juga pada kerusakan yang
mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya.Misalnya,
berhiasnya seorang perempuan yang baru suaminya meninggal
dalam masa iddah.
d. Dzariah yang semula ditentukan mubah, namun terkadang membawa
kemafsadatan, sedang kerusakannya itu lebih kecil. Misalnya,
melihat wajah perempuan saat dipinang.
2. Dzari’ah ditinjau dari segi kemafsadatannya yang ditimbulkan atau
dampak yang ditimbulkannya terbagi menjdadi empat macam yaitu :
a. Dzari’ah yang membawa kepada suatu kerusakan yang pasti.
Artinya, bila perbuatan dzari’ah itu tidak dihindarkan pasti akan
terjadi kersakan.
b. Dzari’ah yang mambawa kepada kerusakan menurut biasanya,
dengan arti kalau dzari’ah itu dilakukan, maka kemungkinan besar
akan timbul kerusakan atau akan dilakukannya perbuatan yang
dilarang..
c. Dzari’ah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut
kebanyakannya. Hal ini berarti bila dzari’ah itu tidak di hindarkan
sering kali sesudah itu akan mengakibatkan berlangsungnya
perbuatan yang terlarang.
d. Dzari’ah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau
perbuatan terlarang. Dalam hal ini seandainya perbuatan itu
dilakukan, belum tentu akan menimbulkan kerusakan.
10
E. Kehujjahan Sadd Dzariah
Dalam buku yang ditulis oleh Ade Dedi Rohayana dijelaskan bahwa
jumhur ulama menerima saddu dzari’ah sebagai salah satu dalil syara’ akan
tetapi kadar penerimaanya berbeda Pendapat, seperti Imam malikiyah dan
Hanabilah dapat menerima khujjahannya sebagai salah satu dalil syara’
dengan dasar surat Al-An’am ayat 108 dan Hadis rasull yang diriwayatkan
oleh Al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud yang artinya :
“ Sesungguhnya sebesar-besarnya dosa besar adalah seseorang melaknat
kedua orang tunya. Lalu Rasulullah ditanya, “ Wahai Rasulullah, bagaimana
mungkin seseorang akan melaknat ibu dan bapaknya? Rasululah menjawab :
“ Seseorang yang mencaci makiayah orang lain, maka ayahnya juga akan
dicaci maki orang lain, dan seseorang mencaci maki ibu orang lain,maka
orang lainpun akan mencaci-maki Ibunya.”
11
Demikianlah, bahwa dzari’ah telah di pakai oleh kebanyakan ulama
sebagai salah satu metode dalam menggali hukum syara’. Meskipun
demikian, pemakaian Dzari’ah tidak dilakukan secara berlebihan.
F. Fath Adz-Dzariah
Satu dari sekian tujuan Islam adalah menghindari kerusakan
(mafsadah) dan mewujudkan kemaslahatan, maka jika suatu perbuatan diduga
kuat akan menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang baik, maka
diperintahkanlah suatu perbuatan yang menjadi sarana tersebut (fath al-
dzari’ah), dan jika sebaliknya suatu perbuatan yang belum dilakukan diduga
keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah) maka dilaranglah hal-hal
yang mengarah kepada perbuatan tersebut (saddu al-dzari’ah).
Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah dan imam Al-Qarafi , mengatakan, bahwa
Dzariyah itu adakalanya dilarang yang disebutkan Sadd adz-Dzariah dan
adakalanya dianjurkan bahkan diwajibkan yang disebut Fath adz-Dzariah.
12
6. Menuntut ilmu adalah sesuatu yang diwajibkan, maka segala sesuatu
yang menghubungkan dengan menuntut ilmu adalah wajib
13
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjelasan mengenai madzhab shahabi di atas dapat disimpulkan
bahwa yang dinamakan dengan madzhab shahabi adalah perkataan shahabat
Rasulullah saw, mengenai suatu masalah yang hukumnya tidak didapatkan dalam
Al-Qur'an maupun As-sunnah. Dan mengenai kehujahannya terdapat sebagian
ulama' yang menerima madzhab shahabi dijadikan hujjah secara mutlak, dan ada
juga sebagian ulama' yang menolak atas kehujjan madzhab shahabi. Dan mungkin
perbedaan tersebut sangatlah wajar karena dilihat dari persepektif sudut pandang
yang berbeda-beda dan tentunya dengan alasan yang berbeda-beda pula.
Dari pembahasan yang telah kami paparkan, maka dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa secara bahasa kata Sadd berarti menutup dan adzariah berarti
wasilah atau jalalan kesuatu jalan kesuatu tujuan. Dengan demikian sadd al-zariah
berarti menutup jalan yang mencapaikan kepada tujuan dengan demikian sadd-
Dzariah berarti menutup jalan yang mencapai kepada tujuan, menurut imam Asy
Syatibi sadd-Dzariah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang
sebelumnya mengandung kemaslahatan tetapi berakhir seuatu kerusakan.
14
DAFTAR PUSTAKA
15