Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

FIQIH
Tentang
MADZHAB SHAHABI DAN DZARI’AH
Guru Mata Pelajaran : Siti Rukayah, S.Pd

Disusun Oleh Kelompok VII :


PUTRI APRILIA ZULKARNAIN
WIWIK WIDYAWATI AHMAD AMIN
M. AKBAR ANGGARA

KELAS XII IPA 4


MADRASAH ALIYAH NEGERI (MAN)
1 KOTA BIMA
TAHUN PELAJARAN 2018
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur saya haturkan kepada Allah Subhanahu


Wata’ala yang telah memberikan banyak nikmat, taufik dan hidayah. Sehingga
saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Madzhab Shahabi dan
Dzari’ah” dengan baik tanpa ada halangan yang berarti. Makalah ini telah saya
selesaikan dengan maksimal berkat kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu saya sampaikan banyak terima kasih kepada segenap pihak yang
telah berkontribusi secara maksimal dalam penyelesaian makalah ini.
Diluar itu, penulis sebagai manusia biasa menyadari sepenuhnya bahwa
masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi tata bahasa,
susunan kalimat maupun isi. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati , saya
selaku penyusun menerima segala kritik dan saran yang membangun dari
pembaca.
Demikian yang bisa saya sampaikan, semoga makalah ini dapat menambah
khazanah ilmu pengetahuan dan memberikan manfaat nyata untuk masyarakat
luas.

Kota Bima, Agustus 2018


Penulis,

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i


KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 1
C. Data ..................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 2
Shahabi
A. Definisi Mazhab Shahabi .................................................................... 3
B. Kondisi Sahabat Pasca Nabi Muhammad ........................................... 4
C. Kehujjahan Madzhab Shahabi ............................................................ 4
D. Pandangan para ulama terhadap madzhab shahabi ............................. 5
E. Macam-macam Madzhab sahabi Menurut ibu Qayyim al-jauziyyah. . 6
Dzari’ah
A. Definisi Dzari’ah ................................................................................. 7
B. Definisi Sadd Dzari’ah ........................................................................ 8
C. Kedudukan dan Dasar Hukum Sadd Dzari’ah .................................... 8
D. Macam – Macam Dzari’ah .................................................................. 9
E. Kehujjahan Sadd Dzariah ................................................................... 11
F. Fath Adz-Dzariah ................................................................................ 12
G. Contoh-contoh Fathu al-Dzari’ah ....................................................... 12
BAB III PENUTUP ....................................................................................... 14
Kesimpulan ..................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat kesehatan dan
kesempatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugasnya sesuai dengan
apa yang penulis harapakan. Shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada
nabi Muhammad saw, yang tentunya merupakan satu-satunya nabi yang dapat
member syafaat kepada umat manusia. Dan mudah-mudahan kita termasuk
orang-orang yang mendapatkan syafaat. Amin.
Dalam kesempatan ini kami akan membahas tentang sesuatu yang
berkaitan dengan metode memproduk hukum islam, yang selama ini kita
ketahui bahwa para ulama' dalam setiap mengeluarkan produk hukum pasti
menggunakan metode yang berbeda-beda. Meskipun para ulama' berbeda
dalam metode yang mereka gunakan, tetapi yang menjadi sumber utama tetap
sama yaitu Al-qur'an dan As-sunnah. Salah satu metode yang di gunakan oleh
para ulama' yaitu Madzhab Shahabi dan Dzari’ah. Yang merupakan salah satu
dari sekian metode yang telah digunakan. Oleh karena itu pada kesempatan
ini penulis akan membahas tentang Madzhab Shahabi dan Dzari’ah.

B. Rumusan masalah
1. Pengertian madzhab sahabi dan dzari’ah?
2. Kondisi Sahabat pasca Nabi Muhammad?
3. Kehujjahan madzhab sahabi dan dzari’ah?
4. Pandangan para ulama terhadap madhab sahabi?
5. Macam-macam madzhab sahabi dan dzari’ah?
6. Pengertian Saad Dzariah dan fath Dzari’ah?
7. Kedudukan dan dasar Hukum saad dzari’ah?

1
C. DATA
Ada beberapa dalil madzhab sahabi yang tidak disepakati oleh ulama
tentang nilainya sebagai hujjah, diantaranya pendapat sahabat. Dalam hal ini
Jumhur Ulama berpendapat bahwa pendapat sahabat tidak menjadi hujjah,
karena Allah tidak mengharuskan kita untuk mrngikutinya. Kita hanya
diperintahkan mengikuti Al-Qur’an dan A-Sunnah dan para sahabat bukanlah
orang-orang yang mashum. Yang dimaksud pendapat sahabat adalah
pendapat sahabat dalam masalah Ijtihad.
Pendapat kedua menetapkan bahwa pendapat sahabat menjadi hujjah
dan didahulukan daripada qiyas. Dan pendapat ketiga menyatakan bahwa
pendapat sahabat mejadi hujjah apabila dikuatkan dengan qiyas atau tidak
berlawanan dengan qiyas. Sedangkan Dzari’ah diakui dan dipakai oleh
sebagian besar ulama madzhab sebagai salah satu metode dalam istinbath
hukum, walaupun ada perbedaan dalam bagian-bagian tertentu. Bahkan ‘Allal
al-Fasy, berpandangan bahwa dzari’ah baik menutup peantara yang
membawa kepada mafsadat maupun membuka perantara yang membawa
mashlahat. Pada dasarnya merupakan bagian dari Maqasid al-Syari’ah. Lebih
dari itu, dzari’ah merupakan salah satu sarana bagi pembaharuan Hukum
Islam, sehingga bisa mengikuti perkembangan zaman.

2
BAB II
PEMBAHASAN

Shahabi
A. Definisi Mazhab Shahabi
Kitab-kitab ushul fiqih banyak membahas tentang persoalan Madzhab
Shahabi. Ada yang memberinya nama qaul sahabat ( perkataan sahabat ) atau
juga fatwa sahabat (fatwa sahabat). Dalam kitab ushul fiwih dijelaskan bahwa
Fatwa sahabat adalah

‫ما أفتى به صحا بي من الضحابة الكبار‬


Artinya :
“ Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang ulama shahabi.”
Atau juga

‫قتوى الصحا بي بإنفراده قوله‬


Artinya :
“Fatwa sahabat ( Nabi ) yang berbentuk ucapan dengan dasar ( pendapat )
pribadinya.”

Jadi secara sederhana adalah fatwa yang berbentuk ucapan yang


dikeluarkan oleh seseorang ulama sahabat. Atau pengertian lain ialah
pendapat sahabat rasulullah tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak
dijelaskan secara tegas dalam Alquran dan Sunnah Rasulullah.
Sedangakan yang dimaksud shahabat seperti yang dikemukakan oleh
Muhammad ‘Ajjaj al- Khatib, ahli hadis berkebangsaan Syiria, dalam
karyanya ushul al-hadis adalah setiap orang muslim yang hidup bergaul
bersama rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari
Rasulullah. Misalnya, Umar bin Khattab, ‘Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin
Sabit, ‘Abdullah bin Umar bin Khattab, ‘Aisyah, dan ‘Ali bin Abi Thaib.
Atau juga ada yang mengartika bahaw sahabat adalah seorang yang hidup
pada masa nabi atau pernah bertemu dengan beliau dan mati dalam Islam.

3
B. Kondisi Sahabat Pasca Nabi Muhammad
Setelah rasulullah wafat, tampillah para sahabat yang telah memiliki
ilmu yang dalam dan mengenal fiqih untuk memberikan fatwa kepada umat
islam daan membentuk hukum. Hal itu karena merekalah yang paling lama
bergaul dengan rasulullah dan telah memahami Alquran serta hukum-
hukumnya. Dari merekalah keluar fatwa-fatwa mengenai peristiwa yang
bermacam-macam. Para mufti dari kalangan tabi’in dan tait tabi’n telah
memperhatikan periwayatan dan pentakwilan fatwa-fatwa mereka. Diantara
mereka ada yang mengkodifikasikannya bersama sunnah-sunnah rasul,
sehingga fatwa-fatwa mereka dianggap sumber-sumber hukum yang
disamakan dengan nash. Bahkan, seorang mujtahid harus mengembalikan
sesuatu permasalahan kepada fatwa mereka sebelum kemabali kepada qiyas,
kecuali kalau hanya pendapat perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan atas
nama umat islam.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pendapat para sahabat diianggap
sebagai hujjah bagi umat islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bisa
dijangkau oleh akal. Ini karena pendapat mereka bersumber langsung dari
rasulullah. Dan mereka mengetahui tentang rahasia-rahasia syari’at dan
kejadian-kejadian lain yang bersumber dari dalil-dalil yang qath’I, seperti
kesepakatan mereka atas pembagian waris untuk nenek yang mendapat
bagian seperenam, ketentuan tersebut wajib diikuti, karena tidak diketahui
adanya perselisihan dari umat Islam.

C. Kehujjahan Madzhab Shahabi


Para ulama sepakat bahwa pendapat sahabat Nabi tidak menjadi
alasan ( hujjah ) bagi sahabat yang lain. Yang menjadi pertentangan adalah
apakah pendapat sahabat itu dapat dijadikan hujjah bagi orang yang hidup
sesudah masa sahabat. Berkaitan dengan ini ada empat pendapat ulama,
yaitu :
1. Pendapat sahabat tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara
kesuluruhan. Ini adalah pendapat jumhur ulama yang terdiri dari ulama

4
asy’ariyah, mu’tazilah, syi’ah, pendapat yang kuat di kalangan ulama
syafi’iyah, salah satu riwayat dari Ahmad bin Hanbal, ulama mutaakhirin
hanafiyah dan malikiyah, dan Ibnu Hazm dari madzhab Zhahiri.
2. Pendapat sahabat dapatdijadikan hujjah dan didahulukan dari pada qiyas,.
Pendapat ini dikemukakan oleh beberapa ulama hanafiyah, malikiyah,
qaul qadim al-Syafi’I, dan salah satu riwayat dari Ahmad bin Hanbal.
3. Pendapat sahabat dapat dijadikan sebagai hujjah apabila tidak
bertentangan dengan perkataan sahabat yang lain. Dalam hal seperti ini,
perkataan sahabat didahulukan dari pada qiyas. Akan tetapi, jika
berlawanan dengan perkataan shahabat yang lain, maka dipilih yang
sesuai dengan kandungan Kitab Suci, hadis ijma’, dan qiyas. Ini Pendapat
Imam as-syafi’I dalam qaul jadid nya.
4. Pendapat sahabat dapat dijadikan sebagai hujjah apabila bertentangan
dengan qiyas, karena dengan perlawanan itu berarti pendapat sahabat
bukan bersumber dari qiyas, tetapi dari sunnah. Pendapat terakhir ini
bersumber dari kalangan hanafiyah.
Al-Syaukani cenderung untuk tidak menerima pendapat sahabat
sebagai hujjah dan metode ijtihad. Menurutnya, memang kedudukan para
sahabat dipandang lebih tinggi karena kedekatan mereka dengan Nabi, namun
mereka tidak memiliki wewenangan menentukan syari’at.

D. Pandangan para ulama terhadap madzhab shahabi


Secara umum, adanya perbedaan pendapat biasanya terjadi pada
pendapat sahabat yang keluar dari pendapat sendiri, belum ada kesepakatan
dari sahabat yang lain. Menurut Abu Hanifah bahwa pendapat seorang
shahabat itu sebagai hujjah, karena beliau apabila ada permasalahan yang
tidak terdapat dalam Alquran dan Assunnah beliau mengambil pendapat
sahabat yang dia kehendaki. Beliau juga tidak memperkenankan untuk
menentang pendapat-pendapat mereka keseluruhan. Menurut Abu Hanifah,
perselisihan antara dua orang sahabat mengenai hukum suatu kejadian
sehingga terdapat dua pendapat, bisa dikatakan ijma; diantara keduanya. Oleh

5
karena itu, kalau keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan berarti telah
keluar dari ijma’ mereka.
Berbeda dengan imam Syafi’I beliau berpendapat bahwa pendapat
orang tertentu dikalangan saahabat tidak dipandang sebgai hujjah. Beliau
memperkenankan untuk menentang Pendapat mereka secara keseluruhan, dan
melakukan ijtihad untuk menginsitnbathkan pendapat lain. Alasannya,
pendapat mereka adalah pendapat ijtihadi secara perseorangan dari orang
yang tidak ma’sum.

E. Macam-macam Madzhab sahabi Menurut ibu Qayyim al-jauziyyah.


Menurut Ibnu Qayyim dalam kitabnya I’lam al- Muwaqqi’in mengatakan
bahwa shahabat tidak keluar dari enam bentuk berikut yaitu :
1. Fatwa yang didengar shahabat dari Nabi Muhammad.
2. Fatwa yang didengar dari orang yang mendengar dari Nabi Muhammad
3. Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap ayat Alquran yang
masih belum jelas maksudnya bagi kita.
4. Fatwa yang disepakati oleh tokoh-tokoh shahabat yang sampai kepada
kita melalui salah seorang ssahabat.
5. Fatwa yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunya, baik bahasa
maupun tingkah lakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi
Muhammad dan maksud-maksudnya, tentang keadaan nabi Muhammad
dan maksud-maksudnya.
Kelima model fatwa ini wajjib untuk diikuti.
6. Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari nabi
Muhammad, dan pemahamannya itu salah. Yang seperti ini tidak menjadi
hujjah.
Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidan membagi Pendapat sahabat ke
dalam empat kategori yaitu :
1. Fatwa sahabat yang bukan merupakan hasil ijtihad. Misalnya, fatwa Ibnu
Mas’ud, bahwa batas minimal waktu haid tiga hari, dan batas minimal
mas kawin sebanyak sepuluh dirham. Fatwa- fatwa seperti bukan

6
merupakan merupakan hasil ijtihad sahabat dan besar kemungkinan hal
itu mereka terima dari RAsulullah. Oleh Karena itu, fatwa seperti ini
dapat dijadikan landasan hokum bagi generasi selanjutnya.
2. Fatwa sahabat yang disepakati secara tegas di kalangan mereka dikenal
dengan ijma’ sahabat. Fatwa seperti ini dapat dijadikan pegangan bagi
generasi seseudahnya.
3. Fatwa shabat secara perseoragb yang tidak mengikat sahabat lain. Para
mujtahid memang berbeda Pendapat dalam satu masaah, namun dalam
hal ini fatwa seorang sahabat tidak mengikat sahabat lain.
4. Fatwa sahabat secara perseorangan yang didasarkan oleh ra’yu dan
ijtihad.

Dzari’ah
A. Definisi Dzari’ah
Ditinjau dari segi bahasa adalah “jalan menuju sesuatu”, sebagian
ulama mengkhususkan pengertian dzari’ah degnan sesuatu yang membawa
pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemadaratan. Akan tetapi,
Pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul fiqih lainnya, diantaranya
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah yang mengatakan bahwa dzari’ah itu tidak hanya
menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan., lebih
tepat kalau dzari’ah dibagi menjadi dua yaitu Sadd Dzari’ah dan Fath al-
Dzari’ah.
Dengan demikiann yang dilihat dalam adzariah ini adalah perbuatan-
perbuatan yang menyampaikan kita kepada terlaksananya yang wajib dan
mengakibatkan kepada yang terjadinya yang haram, Allah telah melarang
menghna berhala, meskipun berhala sesuatu yang bathil. Karena mennghuna
berhala mengakibatkan dihinana Allah oleh orang-orang penyembah berhala.
Sebagaimana firman Allah dalam surat al-An’am ayat 108.

‫ّللاَ َع ْدوا ً ِبغَي ِْر ِع ْل ٍم َكذَ ِل َك‬‫سبُّواْ ه‬ ُ َ‫ّللاِ فَي‬


‫ُون ه‬ ِ ‫سبُّواْ الَّذِينَ يَ ْدعُونَ ِمن د‬ ُ َ ‫َوالَ ت‬
َ‫زَ يَّنَّا ِل ُك ِهل أ ُ َّم ٍة َع َملَ ُه ْم ث ُ َّم إِلَى َر ِبه ِهم َّم ْر ِجعُ ُه ْم فَيُنَ ِبهئ ُ ُهم بِ َما َكانُواْ يَ ْع َملُون‬

7
Artinnya: “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah,
selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melewati batas tanpa pengetahuan”.

B. Definisi Sadd Dzari’ah


Sadd Dzari’ah adalah

‫التو صل بما هو مصلحة إلى مفسدة‬


Artinya : “Suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan, tetapi
kemudian dapat menyampaikan kepada suatu kemafsadatan.”
Sedangkan Muhammad al-Syaukani mendefinisikan Sadd Dzari’ah adalah :

‫المسألة التي ظاهر ها إال با حة ويتوصل بها إلى فعل المحظور‬


Artinya : “Masalah (sesuatu ) yang dilihat secara lahir adalah mubah
(boleh), tetapi membawa kepada perbuatan yang terlarang.”

Dengan demikian, secara singkat dapat dikatakan Sadd Dzari’ah adalah


perbuatan yang dilakukan seeorang yang sebelumnya mengandung
kemaslhatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan. Misalnya, seseorang
yang telah dikenai kewajiban zakat, namun sebelum haul ( genap tahun ) ia
menghibahkan harta tersebut kepada anaknya, sehingga dia terhindar dari
kewajiaban zakat.

C. Kedudukan dan Dasar Hukum Sadd Dzari’ah


Kedudukan Sadd Dzari’ah pada pandangan ulama, mendapatka
perhatian yang cukup serius terhadap Dzari’ah ini. Seluruh ulama mengakaji
Sadd Dzari’ah ini pada kajian dalil-dalil yang tidak disepakati.
Dasar hokum adanya Sadd Dzari’ah adalah seperti yang dijelaskan
dalam Alquran dan Assunnah dalam Alquran dicontohkan surat Al-baqarah
yang berbunyi :

‫يا أيها الذين أمنوا ال تقولوا راعنا وقولوا أنظرنا واسمعوا‬

8
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu berkata : “ra
ina”, tetapi katakanlah: “ undhurna” dan dengarlah.”

Larangan menyebut ra’ina, karena orang yahudi menggunakan kata-


kata ra’ina unutk mencela atau menghina Nabi Muhammad. Oleh karena itu,
umat islamdilarang untuk mengatakan ra’ina sebagai suatu dzari’ah. Dari sini,
tampak bahwa saddu al-dzari’ah ada dasardalil nya dari alquran, sedangkan
dari Assunnah diantaranya :
1. Nabi Muhammad melarang membunuh orang munafiq, karena
membunuh orang munafiq dapat meneybabkan nabi Muhammad dituduh
membunuh shahabat-shahabat-Nya.
2. Nabi melarang kepada kreditur untuk mengambil atau menerima hadiah
dari debitur, karena cara demikian dapat berakibat jatuh kepada riba.
3. Nabi melarang memotong tangan pencuri pada waktu perang dan
ditangguhkan sampai selesainya perang, kakrena memotong tangan
pencuri pada waktu perang membawa akibat tentara-tentara lari
menggabungkan diri dengan musuh.
4. Nabi melarang Bani Hasyim untuk mendapatkan zakat kecuali menjadi
amil, hal ini dilakukan agar tidak terjadi fitnah.
5. Nabi melarang penimbunan, karena penmbunan itu menimbulkan pada
dzari’ah kepada kesempitan atau kesulitan manusia.

D. Macam – Macam Dzari’ah


Para ulama membagi Dzari’ah berdasarkan dua segi yaitu segi kualitas
kemafsadatan atau tigkat kerusakan, dan segi jenis kemafsadatan atau dampak
yang ditimbulkannya.
1. Dzariah ditinjau dari segi kualitas kemafsadatan atau tingkat
kerusakannya terbagi atas empat macam berikutnya :
a. Perbuatan yang dilakukan (dzari’ah ) tersebut membawa kepada
kemafsadatan yang pasti. Misalnya, menggali sumur di dipan rumah
orang lain pada waktu malamm, yang meneyebabkan pemilik rumah

9
jatuh ke dalam sumur tersebut. Karenanya, ia dapat dikenai hukuman
karena melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja.
b. Dzari’ah yang boleh diakukan ( mubah) namun dijadikan jalan
perbuatan yang merusak. Misalnya, seorang laki-laki menikahi
perempuan yang ditalak tiga kali dengan tujuan agar wanita itu bisa
kembali dengan suaminya yang pertama (nikah tahlil).
c. Dzari’ah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan
untuk kerusakan, namun biasanya sampai juga pada kerusakan yang
mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya.Misalnya,
berhiasnya seorang perempuan yang baru suaminya meninggal
dalam masa iddah.
d. Dzariah yang semula ditentukan mubah, namun terkadang membawa
kemafsadatan, sedang kerusakannya itu lebih kecil. Misalnya,
melihat wajah perempuan saat dipinang.
2. Dzari’ah ditinjau dari segi kemafsadatannya yang ditimbulkan atau
dampak yang ditimbulkannya terbagi menjdadi empat macam yaitu :
a. Dzari’ah yang membawa kepada suatu kerusakan yang pasti.
Artinya, bila perbuatan dzari’ah itu tidak dihindarkan pasti akan
terjadi kersakan.
b. Dzari’ah yang mambawa kepada kerusakan menurut biasanya,
dengan arti kalau dzari’ah itu dilakukan, maka kemungkinan besar
akan timbul kerusakan atau akan dilakukannya perbuatan yang
dilarang..
c. Dzari’ah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut
kebanyakannya. Hal ini berarti bila dzari’ah itu tidak di hindarkan
sering kali sesudah itu akan mengakibatkan berlangsungnya
perbuatan yang terlarang.
d. Dzari’ah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau
perbuatan terlarang. Dalam hal ini seandainya perbuatan itu
dilakukan, belum tentu akan menimbulkan kerusakan.

10
E. Kehujjahan Sadd Dzariah
Dalam buku yang ditulis oleh Ade Dedi Rohayana dijelaskan bahwa
jumhur ulama menerima saddu dzari’ah sebagai salah satu dalil syara’ akan
tetapi kadar penerimaanya berbeda Pendapat, seperti Imam malikiyah dan
Hanabilah dapat menerima khujjahannya sebagai salah satu dalil syara’
dengan dasar surat Al-An’am ayat 108 dan Hadis rasull yang diriwayatkan
oleh Al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud yang artinya :
“ Sesungguhnya sebesar-besarnya dosa besar adalah seseorang melaknat
kedua orang tunya. Lalu Rasulullah ditanya, “ Wahai Rasulullah, bagaimana
mungkin seseorang akan melaknat ibu dan bapaknya? Rasululah menjawab :
“ Seseorang yang mencaci makiayah orang lain, maka ayahnya juga akan
dicaci maki orang lain, dan seseorang mencaci maki ibu orang lain,maka
orang lainpun akan mencaci-maki Ibunya.”

Ulama hanafiyah, syafi’iyah dapat menerima sad al-dzari’ah dalam


masalah-masalah lain. Dan menurut Husain hamid, salah seorang uru besar
ushul fiqih fakultas Hukum universitas kairo, ulama hanafiyah dan syafi’iyah
menerima shadd al-dzari’ apabila kemafsadatannya benar-benar terjadi atau
sekurang-kurangnya kumngkinan besar akan terjadi. Sedangkan Imam Al-
Syafi’I menerimanya dalam keadaan udzur, misalnya seorang musafir atau
yng sakit diperbolehkan meninggalkan shalat jum’aat, dan boleh
menggantinya dengan salat dzhuhur.namun, shalat dhuhur harus dilaksanakan
dalam keadaan diam-diam, agar tidak dituduh sengaja meninggalkan shalat
jum’at.
Dalam memandang dzari’ah, ada dua sisi yang dikemukakan oleh para
ulama ushul fiqih :
1. Motivasi seseorang dalam melakukan sesuatu. Seperti : laki-laki
menikahi perempuan yang ditalak tiga dengan tujuan wanita itu kembali
kepada suaminya yang pertama( nikah at-tahlil )
2. Dari segi dampaknya ( akibatnya ). Misalnya, mencaci maki sesembahan
rang musyrik yang berakibat merekapun mencaci Allah.

11
Demikianlah, bahwa dzari’ah telah di pakai oleh kebanyakan ulama
sebagai salah satu metode dalam menggali hukum syara’. Meskipun
demikian, pemakaian Dzari’ah tidak dilakukan secara berlebihan.

F. Fath Adz-Dzariah
Satu dari sekian tujuan Islam adalah menghindari kerusakan
(mafsadah) dan mewujudkan kemaslahatan, maka jika suatu perbuatan diduga
kuat akan menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang baik, maka
diperintahkanlah suatu perbuatan yang menjadi sarana tersebut (fath al-
dzari’ah), dan jika sebaliknya suatu perbuatan yang belum dilakukan diduga
keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah) maka dilaranglah hal-hal
yang mengarah kepada perbuatan tersebut (saddu al-dzari’ah).
Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah dan imam Al-Qarafi , mengatakan, bahwa
Dzariyah itu adakalanya dilarang yang disebutkan Sadd adz-Dzariah dan
adakalanya dianjurkan bahkan diwajibkan yang disebut Fath adz-Dzariah.

G. Contoh-contoh Fathu al-Dzari’ah


Dzara’i adalah persoalan yang harus diketahui umat Islam, hal ini
diungkapkan oleh al-Qorofiy contoh-contoh fathu dzara’iah, yaitu :
1. Memberikan harta rampasan perang/fasilitas kepada musuh (dalam
perang), sebagai tebusan untuk membebaskan tawanan/sandera.
2. Menyuap seseorang atau pihak tertentu untuk keputusan hukum yg
sebenarnya, pada saat ia didzalimi (dianiaya atau direkayasa dalam
pengadilan). Artinya, status hukum yg seharusnya ia terima tidak bisa
didapatkan kecuali dengan mengeluarkan uang/harta.
3. Membayar sejumlah harta kepada Negara atas perlindungan dari bahaya,
agar kekuatan umat Islam tetap terjaga di Negara tersebut
4. Memberikan potongan harga/menurunkan harga bagi calon jamaah haji
yang ingin ke baitullah
5. Jika mengerjakan shalat jum’at wajib, maka meninggalkan jual beli
ketika akan melaksanakan shalat jum’at pun menjadi wajib

12
6. Menuntut ilmu adalah sesuatu yang diwajibkan, maka segala sesuatu
yang menghubungkan dengan menuntut ilmu adalah wajib

Maka atas beberapa hal diatas, oleh beberapa ulama membolehkan


pelaksannannya dengan alasan fath dzara’i (membuka jalan) untuk sesuatu
yang lebih maslahat bagi masyarakat/umat Islam.

13
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari penjelasan mengenai madzhab shahabi di atas dapat disimpulkan
bahwa yang dinamakan dengan madzhab shahabi adalah perkataan shahabat
Rasulullah saw, mengenai suatu masalah yang hukumnya tidak didapatkan dalam
Al-Qur'an maupun As-sunnah. Dan mengenai kehujahannya terdapat sebagian
ulama' yang menerima madzhab shahabi dijadikan hujjah secara mutlak, dan ada
juga sebagian ulama' yang menolak atas kehujjan madzhab shahabi. Dan mungkin
perbedaan tersebut sangatlah wajar karena dilihat dari persepektif sudut pandang
yang berbeda-beda dan tentunya dengan alasan yang berbeda-beda pula.
Dari pembahasan yang telah kami paparkan, maka dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa secara bahasa kata Sadd berarti menutup dan adzariah berarti
wasilah atau jalalan kesuatu jalan kesuatu tujuan. Dengan demikian sadd al-zariah
berarti menutup jalan yang mencapaikan kepada tujuan dengan demikian sadd-
Dzariah berarti menutup jalan yang mencapai kepada tujuan, menurut imam Asy
Syatibi sadd-Dzariah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang
sebelumnya mengandung kemaslahatan tetapi berakhir seuatu kerusakan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Mahfud.2007.Islamic Law Studies Yogyakarta: Gama Media.


Djazul. 2005. Ilmu Fiqh. Jakarta: Kencana.
Effendi, Satria .2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Syarifuddin, Amir.2001.Ushul Fiqh jilid 2. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
http://anumb66.blogspot.com/2013/01/makalah-ushul-fiqih-madzhab-sahabi-
dan.html. diakses tanggal 12 November 2013.
Djazuli,Ilmu Fiqh (Jakarta: Kencana,2005), hlm.97-98.
Satria Effendi,Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana,2005), hlm.169.
Djazuli,Op.Cit., hlm.98-99.
Djazuli,Op.Cit., hlm, 100.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2,( Jakarta: Logos Wacana Ilmu,2001), hlm,
402-403.
Maghfud Ahmad dkk, Islamic Law Studies (Yogyakarta: Gama Media,2007),
hlm.45.
http://anumb66.blogspot.com/2013/01/makalah-ushul-fiqih-madzhab-sahabi-
dan.html. diakses tanggal 12 November 2013.
http://makalahe19.blogspot.com/2015/02/makalah-ushul-fiqih-madzhab-shahabi-
dan.html

15

Anda mungkin juga menyukai