Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

IJTIHAD : ALAT PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM

Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampu : Bapak Dr. H. Dudung Rahmat Hidayat, M.Pd.

Bapak Dr. Syarip Hidayat, M.A., M.Pd.

Disusun Oleh : Kelompok 5

Gina Cissy Aprilia (NIM. 2003783)

Muhammad Ukasyah (NIM. 2007843)

Mutiara Puteri Utami (NIM. 2005105)

Suci Ramasiah (NIM. 2005587)

PROGRAM STUDI BISNIS DIGITAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA KAMPUS DAERAH


TASIKMALAYA

2020
MUKADIMAH

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. karena atas
rahmat dan karunia-Nya kami bisa menyelesaikan penulisan makalah ini
dengan baik yang berjudul “Ijtihad : Alat Pengembangan Hukum Islam”
yang disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan
Agama Islam.

Makalah ini dapat disusun dengan baik berkat bantuan dari pihak-
pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan makalah ini. Untuk
itu pada kesempatan ini, izinkan kami untuk menyampaikan ucapan terima
kasih kepada :

1. Bapak Dr. H. Dudung Rahmat Hidayat, M.Pd. dan Bapak Dr.


Syarip Hidayat, M.A., M.Pd., selaku dosen pengampu mata
kuliah Pendidikan Agama Islam.
2. Ayah dan Ibu, selaku orang tua yang telah mendukung kami.
3. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah
ini.

Kami juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi
semua pihak, khususnya bagi penyusun makalah ini dan umumnya bagi para
pembaca makalah ini.

Tasikmalaya, 15 Oktober 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

MUKADIMAH..............................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................1

A. Latar Belakang.....................................................................................1

B. Rumusan Masalah................................................................................2

C. Tujuan Penulisan.................................................................................2

BAB 2 ISI.......................................................................................................3

A. Pengertian dan Urgensi Ijtihad........................................................3

1. Makna Ijtihad...................................................................................3

2. Urgensi Ijtihad.................................................................................3

3. Itjihad Masa Kini.............................................................................3

B. Syari’ah, Fikih, dan Hukum Islam..................................................4

1. Pengertian dan Kaitan Syari’ah, Fikih, dan Hukum Islam..............4

C. Sumber Hukum Islam dan Metode Ijtihad.......................................6

1. Sumber Hukum Islam..........................................................................6

2. Metode Pengembangan Hukum Islam................................................7

D. Perbedaan dalam Hukum Islam....................................................11

1. Perbedaan sebagai Sunnatullah......................................................11

2. Sebab-sebab Perbedaan Pendapat..................................................12

3. Sikap terhadap Perbedaan..............................................................13

BAB 3 PENUTUP.......................................................................................15

A. Kesimpulan........................................................................................15

B. Saran..................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................17

ii
BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dari zaman Rasulullah SAW metode ijtihad sudah dilakukan.
Dalam perkembangannya dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in
juga seterusnya hingga sekarang. Dalam beberapa periode ijtihad
sempat dilarang. Namun, ternyata ijtihad tidak bisa lepas dari
perkembangan zaman dan kontruksi sosial yang terus mengalami
perubahan. Banyak persoalan yang perlu mendapatkan penyelesaian.
Ijtihad ini sebagai satu-satunya jalan untuk menghadapi semua
persoalan tersebut.
Metode ijtihad yang digunakan oleh setiap mujtahid juga
berbeda-beda hingga menghasilkan banyak penafsiran dan
pemahaman yang berbeda. Munculnya perbedaan dalam pemahaman
dan penafsiran para ulama melahirkan apa yang disebut fiqh. Pada
prinsipnya munculnya perbedaan pemikiran dalam fiqh disebabkan
oleh adanya perbedaan dalam metodologi ijtihad. (M. Jazuli
Amrullah, 2014: 303)
Oleh karena itu, sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara
untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-dalil agama, yaitu
Al-Qur’an dan Al-Hadist dengan jalan istimbat. Dengan adanya
ijtihad merupakan suatu usaha yang sungguh-sungguh.

1
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penulisan makalah ini sebagai berikut :
1. Apa pengertian ijtihad dan urgensi ijtihad?
2. Apa pengertian syariah, fikih, dan hukum Islam?
3. Apa saja sumber hukum Islam dan metode ijtihad?
4. Bagaimana perbedaan dalam hukum Islam?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu :
1. Untuk memahami pengertian ijtihad dan urgensi ijtihad.
2. Untuk memahami pengertian syariah, fikih, dan hukum Islam.
3. Untuk memahami sumber hukum Islam dan metode ijtihad.
4. Untuk memahami fenomena perbedaan dalam hukum Islam.

2
BAB 2 ISI

A. Pengertian dan Urgensi Ijtihad

1. Makna Ijtihad
Kata Ijtihad menurut bahasa berasal dari kata ijtahada-yajtahidu-
ijtihadan, yang berarti “berusaha dengan sunguh-sungguh”. Adapun
Ijithad menurut istilah adalah upaya maksimal seorang mujtahid dalam
menemukan hukum syara’ yang berkaitan dengan perbuatan manusia
dari sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Mujtahid adalah
orang yang memiliki kualifikasi tertentu sehingga memiliki kemampuan
untuk menggali pesan-pesan dari Al-Qur’an dan Hadist. Kemampuan
pertama seorang mujtahid adalah penguasaan bahasa yang cukup.
Kedua, seorang mujtahid mengetahui ayat-ayat dan hadist-hadist.
Ketiga, seorang mujtahid harus memiliki penguasaan Metode penemuan
atau penggalian hukum yang memadai. Keempat, seorang mujtahid
harus memahami masalah yang dihadapi.

2. Urgensi Ijtihad
Al-Qur’an sudah berhenti turun dan hadist sudah berhenti keluar
sejak Nabi Muhammad SAW wafat. Sementara permasalahan yang
dihadapi umat Islam senantiasa bermunculan. Oleh karena itu, Ijtihad
mutlak diperlukan pada setiap masa.

3. Itjihad Masa Kini


Ijtihad diperlukan pada masa kini, karena perkembangan dan
perubahan sosial budaya manusia begitu cepat dan memunculkan
kompleksitas persoalan umat. Salah satu ciri pokok perkembangan ilmu
pengetahuan pada masa kini adalah adanya kecenderungan bidang ilmu
yang semakin terspesialisasi dan membuat para mujtahid kesulitan
menguasai beragam cabang ilmu sebagai mana para ulama mujtahid
pada masa sebelumnya. Untuk menutupi kelemahan ini munculah

3
praktek Ijtihad jama’i, yaitu ijtihad yang dilakukan secara bersama-sama
oleh pihak mujtahid.

B. Syari’ah, Fikih, dan Hukum Islam

1. Pengertian dan Kaitan Syari’ah, Fikih, dan Hukum Islam


Secara istilah arti asy-syarî’ah dibagi menjadi
dua. Pertama, arti asy-syarî’ah secara umum. Yaitu, setiap sesuatu yang
disyari’atkan Allah Swt. untuk hamba-hamba-Nya, berupa hukum-
hukum yang berbeda mencakup hukum akidah, akhlak, dan hukum
praktis (‘amaliyah).
Secara etimologis, kata asy-syarî’ah berarti memulai, sebagaimana
yang dikatakan oleh Imam Ibnu Katsir. Dalam kitab tafsirnya, Ibnu
Katsir berkata: “Al-syir’ah (syariat) adalah memulai sesuatu. Seperti
ucapan, ‘Syara’afikadza’, yakni memulai”. Orang Arab juga
mengartikan kata syarî’ah sebagai jalan menuju ke tempat (mata) air.
Kemudian, kata ini dikonotasikan oleh orang Arab dengan jalan yang
terang dan lurus.
Syariah dan fikih dapat dibedakan tapi tidak dapat dipisahkan,
karena fikih adalah ujung tombak  dari syariah
1. Syari’ah bersifat fundamental, idealistis, dan otoritatif. Sedangkan
fikih bersifat liberal dan realistis.
2. Syari’ah adalah ciptaan atau ketetapan Allah serta ketentuan Rasul-
Nya. Fikih adalah hasil karya manusia, maka keberannya bersifat
relatif dan tidak dapat berlaku abadi,
3. Fikih berisi rincian dari syari’ah karena itu dapat dikatakan sebagai
elaborasi terhadap syari’ah. Elaborasi yang dimaksud di sini
merupakan suatu kegiatan ijtihad dengan menggunakan akal pikiran
atau alra’yu.
Fikih menurut etimologi berarti paham, yaitu memahami segala
sesuatu, seperti saya paham (mengerti) bahwa langit di atas kita, dan

4
bumi di bawah kita, atau memahami satu setengah dari dua dan
sebagainya.
Secara semantis kata fiqh bermakna mengetahui sesuatu dan
memahaminya dengan baik. 
Menurut istilah, fikih adalah pengetahuan tentang hukum syara’
mengenai perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dalil yang terinci.
Amir Syarifuddin merinci cakupan pengertian fikih, yaitu :
1. Bahwa fikih itu adalah ilmu tentang syara.
2. Bahwa yang dibicarakan fikih adalah hal-hal yang bersifat amaliyah
furu’iyah.
3. Bahwa pengetahuan tentang hukum syara itu dijelaskan secara rinci.
4. Bahwa fikih itu digali dan ditemukan melalui penalaran.

Hukum Islam menurut istilah berarti hukum-hukum yang


diperintahkan Allah Swt. untuk umat-Nya yang dibawa oleh seorang
Nabi, baik yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun
yang berhubungan dengan amaliyah. Syariat Islam menurut bahasa
berarti jalan yang dilalui umat manusia untuk menuju kepada Allah
Ta’ala.

Ciri ciri hukum Islam :

1. Bersumber dan merupakan bagian dari agama Islam.


2. Bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadist yang dikembangkan serta
dirumuskan lebih lanjut oleh pemikiran manusia yang memenuhi
syarat untuk berijtihad.
3. Mempunyai dua istilah, yaitu syari’ah dan fiqih.
4. Ruang lingkup yang diatur oleh hukum Islam tidak hanya soal
hubungan manusia dan benda serta penguasa dalam masyarakat
tetapi juga mengatur hubungan antara manusia dengan Allah.
5. Struktur berlapis, terdiri atas :

a. Nash atau teks Al-Qur’an

5
b. Sunnah nabi saw (untuk syari’ah)

c. Hasil ijtihad

d. Pelaksanaanya dalam praktik berupa:

- Keputusan hakim.

- Amalan-amalan untuk umat Islam dalam masyarakat (untuk


fiqih).

6. Mengenai hak dan kewajiban. Dalam sistem hukum barat, hak lebih
diutamakan dari perintah kewajiban. Dalam hukum barat orang
banyak bicara tentang hak asasi manusia tanpa membicarakan sisi
lainnya, yaitu kewajiban asasi manusia. Dalam sistem hukum Islam
kewajiban lebih diutamakan dari pada hak, Penuhi dulu kewajiban
baru hak diperoleh seperti pahala-pahala sebagai ganjarannya.

C. Sumber Hukum Islam dan Metode Ijtihad

1. Sumber Hukum Islam


Sumber hukum islam ada dua yaitu Al-Qur’an dan hadist. Oleh
karena itu, untuk mengetahui hukum suatu perbuatan harus dicari dalam
Al-Qur’an dan hadist. Tetapi sekarang banyak masalah yang berkaitan
dengan masalah furu‘iyāh yang tidak bisa diputuskan hukumnya karena
tidak terdapat nashnya dalam al-Qur’an dan Hadis, maka harus
menggunakan hasil ijtihad para Ulama mujtahid atau Ulama ahli
mazhab. Sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui
hukum sesuatu melalui dalil-dalil agama, yaitu al-Qur’an dan al-hadist
dengan jalan istinbat. Istinbat adalah suatu cara yang dilakukan atau
dikeluarkan oleh pakar hukum (fikih) untuk mengungkapkan suatu dalil
hukum guna menjawab persoalan-persoalan yang terjadi.

6
2. Metode Pengembangan Hukum Islam
Ketika melakukan ijtihad seorang mujtahid menggunakan metode
tertentu untuk menggali hukum islam, setiap metode yang digunakan
sesuai dengan kebutuhan dan kecocokan masalah yang dihadapi. Para
ulama membagi hukum melakukan ijtihad menjadi 3 bagian, yaitu:
a. Fardhu ‘ain, bagi orang yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu
peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan lenyap
tanpa ada kepastian hukumnya. Atau ia sendiri mengalami peristiwa
dan ia ingin mengetahui hukumnya.
b. Fardhu kifayah, bagi orang yang dimintai fatwa hukum mengenai
suatu peristiwa yang yang dikhawatirkan lenyap peristiwa itu,
sedangkan selain ia tidak ada lagi mujtahid-mujtahid yang lainnya.
Maka apabila ke semua mujtahid itu tidak ada yang melakukan
ijtihad maka mereka berdosa semua. Tetapi apabila ada seorang dari
mereka memberikan fatwa hukum maka gugurlah tuntutan ijtihad
atas diri mereka.
c. Sunnat, apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang
belum atau tidak terjadi.
Ketiga hukum tersebut sebenarnya telah menggambarkan urgensi
upaya ijtihad karena dengan ijtihad dapat mendinamisir hukum Islam
dan mengoreksi kekeliruan dan kekhilafan dari ijtihad yang merupakan
upaya pembaruan hukum Islam. Sebagaimana diungkapkan oleh Abu
Bakar al Baqilani bahwa setiap ijtihad harus diorientasikan pada
pembaruan sebab setiap periode memiliki ciri tersendiri sehingga
menentukan perubahan hukum. Tidak semua hasil ijtihad merupakan
pembaruan bagi ijtihad yang lama sebab ada kalanya hasil ijtihad yang
baru sama dengan hasil ijtihad yang lama. Bahkan sekalipun berbeda,
hasil ijtihad baru tidak bisa mengubah status ijtihad yang lama, hal itu
seiring kaidah fiqhiyah “al-ijtihadu la yaudlu bi al-ijtihadi” (ijtihad
tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad pula).
Istidlal secara umum berarti pengambilan dalil, baik menggunakan
dalil Qur`an, as-Sunnah, maupun alMaslahah, dengan menggunakan

7
metode yang muttafaq yakni Qur`an, as-Sunnah, Ijma‟ dan Qiyas, atau
metode yang masih mukhtalaf yakni Mazhab as-Shahabi, al Urf, dan
Syar`u Man Qablana, , istihsan, istihlah maupun sad al-dzariah.Ada
ulama yang membagi dalil menjadi enam: al-Qur`an, as-Sunnah,
alMaslahah, Mazhab as-Shahabi, al Urf, dan Syar`u Man Qablana.
Sedangkan Qiyas dan Ijma` masih rancu bila dimasukkan sebagai dalil
(obyek materiil) tapi lebih tepat dimasukkan ke dalam istidlal (obyek
formil), sebab ia mempergunakan al-Qur`an dan as-Sunnah sebagai
dalilnya. Demikian pula dengan istihsan, istislah dan sad aldzariah lebih
tepat dimasukkan ke dalam istidlal (obyek formil), sebab ia menjadikan
al-maslahah sebagai dalilnya. Sedangkan metode penggalian hukum
islam yang biasa digunakan para ulama di antaranya :
1. Ijma’
Menurut para ahli ushul, Ijma’ adalah kesepakatan seluruh
mujtahid dari kaum muslimin pada suatu massa setelah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam wafat terkait hukum syara yang tidak
diatur dalam Al-Qur’an dan Hadits. Contoh ijma’ adalah ijma’
sahabat yakni ijma yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam.
2. Qiyas
Qiyas adalah membandingkan suatu perbuatan yang
hukumnya belum jelas dalam Al-Qur’an dan Hadits dengan suatu
perbuatan hukum yang sudah ada ketentuan hukumnya secara jelas
karena adanya kesamaan ‘illat. Contoh : Membandingkan hukum
meminum vodka dengan hukum meminum khamr karena adanya
persamaan ‘illat yaitu memabukkan. Untuk menghindari akibat
buruk meminum minuman yang memabukkan itu, maka dengan
qiyas ditetapkan semua minuman yang memabukkan, apapun
namanya, dilarang diminum dan dijual belikan untuk umum.
3. Istihsan
Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari
ketentuan hukum yang satu ke hukum yang lain karena ada dalil

8
yang menuntut demikian. Atau cara menentukan hukum dengan cara
menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan
kepentingan sosial. Atau suatu cara untuk mengambil keputusan
yang tepat menurut suatu keadaan. Contoh istihsan adalah wasiat.
Walaupun secara qiyas tidak dibolehkan, tetapi karena adalanya dalil
dari Al-Qur’an maka wasiat dibolehkan. Pencabutan hak milik
seseorang atas tanah untuk pelebaran jalan.
4. Maslahah Mursalah atau Istislah
Muslahah Mursalah adalah suatu kebaikan (maslahah) yang
tidak disinggung-singgung syara’ untuk mengerjakannya atau
meninggalkannya. Jika dikerjakan akan membawa manfaat atau
menghindari keburukan. Dalam praktiknya, maslahah mursalah tidak
banyak berbeda dengan istihsan. Perbedaannya, istihsan adalah
mengecualikan sesuatu hukum dari peraturan umum yang ditetapkan
qiyas. Sedangkan maslahah mursalah tidak ada penyimpangan dari
qiyas. Contoh: Membuat akta nikah, akta kelahiran, akta kematian,
dan lain sebagainya. Pembenaran pemungutan pajak  itu masih tetap
berlaku selama belum ada bukti dan saksi yang menyatakan bahwa
perjalanan utang piutang telah berakhir.
5. Istishab
Istishab adalah metode ijtihad yang dilakukan dengan cara
menetapkan hukum yang telah ada sebelumnya hingga ada dalil baru
yang merubahnya. Contoh : Ketika seseorang akan melaksanakan
shalat isya, ia ragu apakah ia batal atau tidak dari wudhunya yang ia
lakukan ketika ia akan melaksanakan shalat magrib. Pada saat
menghadapi situasi seperti itu maka diarahkan kepada situasi
terakhir yang ia pastikan tidak ragu, yaitu punya wudhu pada saat
melaksanakan shalat maghrib. Saat itu pula ia pastikan tidak ragu
lagi bahwa ia memiliki wudhu lalu melaksanakan shalat isya.
6. ‘Uruf
‘Uruf adalah segala sesuatu berupa perkataan atau perbuatan
yang sudah dikenal masyarakat dan telah dilakukan secara turun

9
temurun. Kedudukan hukum ’uruf adalah ‘Uruf juga bisa dijadikan
landasan hukum dalam masalah fiqhiyyah apabila sudah tidak
memenukan hukum dalam al-quran. Dengan berlandaskan sebuah
hadist yang artinya: Suatu kebiasaan yang dinilai baik oleh orang-
orang islam, juga dinilai baik disisi Allah. Contoh ‘urf adalah
acara halal bi halal yang kerap dilakukan pada Hari Raya Idul Fitri
atau setelahnya. Melamar wanita dengan memberikan suatu tanda
(pengikat), pembayaran mahar secara tunai atau utang atas
persetujuan kedua belah pihak dan lain-lain.
7. Sadd Adz-Dzari’ah
Sadd adz-dzari’ah adalah sesuatu yang secara lahiriah
hukumnya boleh, tetapi dapat mengarah pada kemaksiatan. Tidak
semua ulama sepakat dengan sadd adz-dzari’ah sebagai metode
dalam menetapkan hukum. Secara umum, berbagai pandangan
ulama tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu
pertama yang menerima sepenuhnya, kedua yang tidak menerima
sepenuhnya, ketiga yang menolak sepenuhnya. Kelompok pertama,
yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan
hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Kelompok
kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam
menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i.
Kelompok ini menolak sadd adz-dzari’ah sebagai metode istinbath
pada kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang
lain. Sementara itu, Imam Syafi’i (w: 204 H) menggunakan sadd
dzari’ah pada kitabnya “Al-Umm” dan menolak menggunakan
(meniadakan) sadd dzari’ah pada pembahasan yang lain di kitab
yang sama. Contoh Sadd adz-dzari’ahadalah bermain kuis yang
dapat mengarah pada perjudian.
8. Qaul al-Shahabi
Qaul al-Shahabi adalah pendapat para sahabat terkait hukum
suatu perkara yang dirumuskan setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam wafat. Contoh qaul al-shahabi adalah pendapat Ibnu

10
Abbas yang menyatakan bahwa kesaksian dari seorang anak kecil
tidak bisa diterima.
9. Syar’u Man Qablana
Syar’u man qablana adalah hukum Allah yang isyariatkan
kepada umat terdahulu, yang diturunkan melalui nabi-nabi sebelum
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Syar’u Man Qablana
dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat
terdahulu, namun tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk
syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun
disebutkan dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah. Pembagian kedua ini
diklasifikasi menjadi tiga :
1. Dinasakh syariat kita (syariat islam). Tidak termasuk syariat kita
menurut kesepakatan semua ulama.
2. Dianggap syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini
termasuk syariat kita atas kesepakatan ulama.
3. Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah dinaskh atau
dianggap sebagai syariat kita. Pembagian ketiga inilah yang
menjadi inti pokok pembahasan dalil syara’ ini (Syar’u Man
Qablana). Contoh : syar’u man qablana adalah kewajiban
berpuasa bagi orang-orang beriman (QS. Al-Baqarah:183).
Contoh lain beribadah haji, khitan, meninggalkan riba, dll.

D. Perbedaan dalam Hukum Islam

1. Perbedaan sebagai Sunnatullah


Keragaman dalam berbagai bidang muncul pada setiap kehidupan.
Termasuk dalam bidang agama. Berbicara mengenai hukum Islam, pasti
tidak akan lepas dari yang namanya perbedaan pendapat. Perbedaan
pendapat ini muncul karena perbedaan merupakan salah satu
sunnatullah, Allah Swt. yang menciptakan semua perbedaan ini hingga
terciptanya keragaman dalam kehidupan kita.

11
Kita ambil satu contoh masalah dalam persoalan hukum membaca
Al-Qur’an pada saat seorang perempuan sedang haid. Terdapat beberapa
orang yang mengatakan tidak boleh dan ada juga yang mengatakan
bahwa boleh membaca Al-Qur’an pada saat haid. Alasan yang
mengatakan itu boleh karena tidak ada dalil yang mengatakan atau
menunjukkan ketidakbolehannya. Sedangkan, untuk alasan yang
mengatakan tidak boleh itu karena seseorang tersebut sedang tidak suci
keadaannya dan terdapat hadits yang melarangnya. Berikut salah satu
hadits yang menyatakan larangan membaca Al-Qur’an bagi perempuan
yang sedang haid :
Dari Ibnu Umar, dari Nabi SAW beliau bersabda, “Janganlah
perempuan yang haid dan orang yang junub membaca sedikit pun juga
dari (ayat) Al-Qur’an.”
Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya, pasti tidak akan
lepas dari terjadinya perbedaan pendapat.

2. Sebab-sebab Perbedaan Pendapat


Berikut penyebab terjadinya perbedaan pendapat dalam
hukum Islam, yaitu :

a. Beragam Arti dalam Lafaz Bahasa Arab

Sebagai contoh firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an :

‫ات يَت ََربَّصْ نَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن ثَاَل ثَةَ قُرُو ٍء‬
ُ َ‫َو ْال ُمطَلَّق‬

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu)


tiga quru’.”

Berdasarkan Q.S. Al-Baqarah: 228 tersebut, terdapat


perbedaan pendapat dari para ulama tentang masa iddah bagi
wanita yang ditalak oleh suaminya sementara haidnya aktif.
Ulama Syafi’iyyah mengatakan bahwa iddah bagi wanita yang
diceraikan suaminya dan haidnya aktif adalah tiga kali suci.
Sedangkan menurut ulama Hanifiyah, iddah bagi wanita yang

12
diceraikan suaminya dan haidnya aktif itu maksudnya adalah tiga
kali haid. Hal ini dikarenakan dalam bahasa Arab, lafaz quru’
pada ayat di atas mempunyai dua arti yang berlawanan, yaitu arti
suci dan arti haid.

b. Perbedaan dalam Masalah Hadits

Terdapat beberapa hadits yang sampai kepada satu ulama dan


ada yang tidak sampai kepada satu ulama lainnya. Lalu ada hadits
yang dipandang kuat oleh satu ulama dan ada yang dipandang
lemah oleh satu ulama lainnya. Adapula hadits yang diterima oleh
satu ulama dengan sanad yang kuat dan ada yang diterima oleh
satu ulama lainnya, tetapi dengan sanad yang lemah.

c. Perbedaan dalam Penggunaan Metode Penggalian Hukum

Sebagian ulama ada yang menggunakan istihsan dalam


ijtihad dan ada ulama lainnya yang tidak setuju dengan
penggunaan istihsan dalam berijtihad. Terdapat juga ulama yang
lebih mengutamakan maslahah dan sementara ulama lainnya
tidak.

3. Sikap terhadap Perbedaan


Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya di atas,
bahwasannya perbedaan merupakan sunnatullah. Sesungguhnya
perbedaan itu adalah rahmat dan suatu kekayaan karena dengan adanya
perbedaan pendapat pasti didasarkan pada dalil-dalil dan pemikir Islam
yang cemerlang, melalui ijtihad, qiyas, istihsan, dan lain sebagainya.

Sedikit cerita ketika Abu Ja’far Al-Mansur hendak menjadikan umat


untuk hanya berkiblat pada Al-Muwattha’nya Imam Malik
Rahimahullah. Kemudian, Imam Malik berkata, “Jangan kamu lakukan
wahai khalifah. Karena sesungguhnya umat telah banyak memperoleh
fatwa, mendengar hadits, meriwayatkan hadits. Dan mereka telah
menjadikannya sebagai panduan amal. Mengubah mereka dari kebiasaan

13
itu sungguh sesuatu yang sulit, maka biarkanlah umat mengerjakan apa
yang mereka pahami.”

Berbagai upaya yang dilakukan untuk membuat manusia seragam


dalam keberagaman ini sangatlah tidak mungkin. Maka dari itu, upaya
yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan sikap saling
menghormati, saling mengerti atau memahami, menjauhkan diri dari
segala perdebatan dan fanatisme aliran, serta toleransi atau menghargai
antar sesama manusia yang memiliki perbedaan pendapat itu jauh lebih
baik.

14
BAB 3 PENUTUP

A. Kesimpulan
Ijtihad menurut bahasa adalah berusaha dengan sungguh-
sungguh. Ijtihad menurut istilah adalah upaya maksimal seorang
mujtahid dalam menemukan hukum syara’ yang berkaitan dengan
perbuatan manusia dari sumbernya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
Umat Islam senantiasa dihadapkan pada berbagai permasalahan yang
memerlukan pemecahan berdasar pada sumber ajaran, yaitu Al-
Qur’an dan Hadis. Oleh karena itu, ijtihad senantiasa diperlukan oleh
umat Islam.
Syari’ah adalah wahyu Allah Swt. yang dalam wujudnya
berupa nash Al-Qur’an dan Hadist Nabi yang benar-benar shahih
dan tidak ada keraguan. Sedangkan fikih adalah kumpulan hukum
Syara’ yang bersifat perbuatan yang diperoleh dari dalil Al-Qur’an
dan Hadist.
Sumber hukum Islam ada dua, yaitu Al-Qur’an dan Hadist.
Sedangkan metode pengembangan hukum Islam diantaranya adalah
ijma’, qiyas, istihsan, istishab, istislah, sazz al-zara’i, dan urf’.
Perbedaan pendapat dalam masalah hukum Islam adalah
sunnatullah, karena Allah menciptakannya seperti itu. Sebab-sebab
terjadi perbedaan pendapat paling tidak ada tiga, yaitu beragam arti
dalam lafaz bahasa Arab, perbedaan dalam masalah Hadist, dan
dalam masalah penggunaan metode penggalian hukum. Upaya yang
semestinya dikembangkan adalah pembentukan sikap saling
menghormati dan menghargai sikap dan praktek keagamaan di
masyarakat.

15
B. Saran
Paham mengenai ilmu agama yang kita yakini adalah suatu
kewajiban hal ini sangat diperlukan guna menambah wawasan dan
pengetahuan kita mengenai agama yang kita anut agar nantinya kita
mengetahui serta dapat menjauhi hal hal yang dapat menambah dosa
bagi diri kita. Selain itu, makalah ini juga membahas mengenai
ijtihad sebagai alat pengembangan hukum Islam secara garis besar.
Masih banyak penjelasan dan rincian dari metode hukum ijtihad
yang tidak bisa dijelaskan secara rinci pada makalah ini. Memahami
ijtidah secara keseluruhan tidak cukup apabila hanya mengandalkan
makalah yang kami susun. Maka dari itu, kami sangat berharap para
pembaca juga mencari referensi lain sebagai sumber pengetahuan
agar lebih lengkap.

16
DAFTAR PUSTAKA

https://hot.liputan6.com/read/4050903/fungsi-ijtihad-sebagai-sumber-
hukum-islam-beserta-jenis-dan-contohnya

http://ejournal.uin-suka.ac.id/syariah/almazahib/article/download/1371/1192

https://dalamislam.com/landasan-agama/fiqih/metode-ijtihad

http://piuii17.blogspot.com/2017/11/metode-ijtihad-dalam-hukum-islam-
bayani.html

https://slideplayer.info/slide/4874549/

http://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/diskursus_islam/article/download/10351/pdf

https://makfufin.id/pengertian-istinbath/

https://www.kompasiana.com/rezarachmawati/5dac51d4097f3659bc2914a2
/metode-metode-ijtihad

https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/ijtihad/article/download/2584/1
735

http://www.rahmad.web.id/2011/02/ishtisan-maslahah-murshalah-urf.html

https://rikiyuniagara.wordpress.com/hukum-islam/syaru-man-qablana-
syariat-sebelum-islam/

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Hukum_Islam_di_Indonesia

https://www.muisumut.com/blog/2019/10/07/syariah-fiqh-dan-hukum-
islam-filsafat-hukum-islam/

http://nurnaeni1108.blogspot.com/2015/02/makalah-ijtihad.html

https://www.rumahzakat.org/hukum-membaca-al-quran-bagi-perempuan-
haid/

17
https://issuu.com/sepriwanadiko/docs/faktor_penyebab_terjadinya_perbedaa
n_pendapat_dala

https://republika.co.id/berita/q56aei320/akar-perbedaan-ulama-soal-
pembatasan-masa-iddah-perempuan

Universitas Pendidikan Indonesia, Dosen PAI. 2017. Pendidikan Agama


Islam. Bandung: Departemen Pendidikan Umum.

18

Anda mungkin juga menyukai