Anda di halaman 1dari 17

NALAR ISTISHLAHI

MASHLAHAH MURSALAH DAN ISTIHSAN

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Hukum Islam

Penyusun :
Faishal Husaini (19103070035)
Riska Septiana Putri (19103070037)
Yunita Budi Utami (19103070038)
Muhammad Bilal Musthofa (19103070055)

Dosen Pengampu :
Dr. Moh. Tamtowi, M.Ag.

PRODI HUKUM TATA NEGARA (SIYASAH)


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Filsafat Hukum
Islam dengan judul “Nalar Istishlahi, Mashlahah Mursalah dan Istihsan”. Shalawat serta
salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad
SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.

Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf
yang sebesar-besarnya. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
khususnya kepada dosen Filsafat Hukum Islam yaitu Dr. Moh. Tomtowi, M.Ag. yang
telah membimbing dalam menulis makalah ini. Demikian, semoga makalah ini dapat
bermanfaat. Terima kasih.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Yogyakarta, 10 April 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................................3
C. Tujuan Makalah.............................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................4
A. Pengertian Penalaran Ishtishlahi..................................................................................4
B. Corak Penalaran Ishtishlahi..........................................................................................5
a. Istihsan....................................................................................................................5
b. Mashlahah Mursalah..............................................................................................9
BAB III PENUTUP..............................................................................................................13
A. Kesimpulan...................................................................................................................13
B. Saran.............................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam yang telah diturunkan umat
manusia sebagai pedoman dalam menata kehidupan di dunia dan di akhirat. Oleh
karena itu, maka kandungan Al-Qur’an meliputi seluruh aspek kehidupan
manusia. Hanya saja Al-Qur’an dalam membicarakan suatu masalah tidak
terperinci. Pada umumnya keterangan Al-Qur’an bersifat global. Kemudian Nabi
Muhammad Saw, sebagai utusan Allah untuk hamba-Nya diberikan otoritas
untuk menjelaskan lebih rinci hal-hal yang bersifat global yang terdapat dalam
Al-Qur’an. Oleh karenanya perlu adanya usaha akal atau penalaran untuk
menentukan hukum tersebut.
Sunnah sebagai penjelas dari apa yang telah tertulis dalam Alqur’an, maka
dapat dipahami bahwa sunnah baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’il) dan
(taqrir) Nabi merupakan sumber kedua sesudah Al-Qur’an. Namun diakui juga.
bahwa Al-Qur’an dan sunnah terbatas, karena tidak semua persoalan dapat
dijawab oleh Al-Qur’an dan sunnah. Sementara semakin lama semakin banyak
persoalan yang muncul. Untuk menyelesaikan persoalan yang muncul, maka
ulama-ulama melakukan ijtihad.1
Sejarah penalaran filosofis dalam hukum islam sesungguhnya telah
ditunjukan oleh sahabat nabi ketika mengizinkan Muadz bin Jabal untuk
menggunakan penalaranya di negeri Yaman jika ia tidak menemukan dasarnya
dalam Al Quran dan Hadist. Bahkan dalam beberapa kasus, nabi sendiri
melakukan proses penalaran jika belum turun ayat, seperti dalam kasus
penempatan pasukan pada perang Badar yang dipertanyakan oleh Hubbab Bn

Hamka Haq, “Dialog Pemikiran Islam Ujung Pandang” (Cet. I; Ujung Pandang: Yayasan
1

AHKAM, 1997), hlm. 104.

1
Munzir lalu Nabi menjawab bahwa strategi perang tersebut adalah bukan
berdasarkan petunjuk wahyu melainkan hasil penalaranya sendiri.2
Islam berkembang teramat pesat bahkan menyebar hingga penjuru dunia.
Seiring perkembanganya Islam ini lestari artinya ia selalu ada dan tumbuh
berkembang dan hal ini sejalan pula denhan semakin banyak dan kompleksnya
permasalahan yang muncul. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut para
ulama melakukan ijtihad. karena wahyu tidak turun lagi sebab Rasulullah telah
wafat. Maka tidak ada lagi yang dapat menilai hasil ijtihad mereka apakah benar
atau salah, untuk itulah diperlukan ijma' sebagai parameter dalam menguji
kebenaran hasil ijtihad itu dengan pertimbangan ijma', yang diambil secara
kolektif jauh lebih kuat dibanding dengan yang dibuat secara individu.
Kondisi seperti itu tidak dapat lagi dipertahankan, karena kekuasaan Islam
semakin luas, dengan terpencarnya para ulama, maka ijma' tidak mungkin
dilakukan lagi. Akhirnya masing-masing ulama melakukan istinbath hukum
sendiri. Maka lahirlah berbagai macam metode istinbath hukum. Seperti metode
qiyas, istihsan, istislah, 'urf, istishab dan lain sebagainya. Metode-metode
istinbath hukum seperti itulah yang menjadi obyek pembahasan ushul fikih.3
Menarik sekali kiranya kita membahas mengenai metode penalaran
ishtishlahi uang dalam makalah ini juga terdapat istihsan dan mashlahah
mursalah sebagai salah satu metode untuk menentukan suatu hukum atau
menyelesaikan suatu permasalahan.

2
Mun’im . Sirri, Sejarah Fiqh Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 19950, hlm. 28-29.
3
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, diterjemahkan oleh Saefullah Ma’sum dengan
judul Ushul Fiqih (Cet. VI; Jakarta; Pustaka Firdaus, 2000), hlm.6.

2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat diketahui rumusan
masalahnya sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan penalaran Ishtishlahi?
2. Apa itu Istishan?
3. Apa itu mashlahah mursalah?

C. Tujuan Makalah
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan penalaran ishtishlahi.
2. Mengetahui apa yang yang dimaksud dengan istihsan.
3. Mengetahui apa itu mashlahah mursalah.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Penalaran Ishtishlahi


Secara literal, istishlah berarti mencari kemaslahatan, sedangkan menurut
para ahli ushul bahwa kata istishlah berarti menetapkan suatu hukum bagi
masalah yang tidak ada nashnya dan tidak ada ijma yang berdasarkan
kemaslahtan murni atau maslahat yang tidak dijelaskan syariat serta tidak
dibatalkan oleh syariat. Istishlah dalam pandangan ushul diistilahkan dengan
maslahah mursalah.4
Penggunaan Istishlah harus diperketat dengan berbagai syarat, sehingga
tidak dijadikan sebagai sarana penyaluran hawa nafsu atau sengaja
mempermainkan hukum syariat. Sebab maslahat yang dimaksud dalam
penalaran istishlahi ada dasarnya berdasar pada perkiraan., sehingga siapapun
yang tidak berhati-hati dalam menggunakan istishlah dapat memahami maslahat
secara tidak benar. Karena itu, terdapat beberapa syarat yang harus diperhatikan
dalam penalaran istishlahi, yaitu:5
a. Pertama, penetapan maslahat harus dilakukan stelah diadakan
penyelidikan, analisa dan penelitian, sehingga maslahat yang dimaksud
benar-benar hakiki bukan berdasarkan hawa nafsu. Dengan kata lain,
penerapan hukum berdasarkan maslahat tersebut benar-benar akan
melahirkan manfaat dan menolak bahaya.
b. Kedua, maslahat yang dimaksud adalah maslahat hakiki, bersifat umum
dan bukan bersifat pribadi karenanya penerapan maslahat ini akan
bermanfaat bagi sebagian besar umat manusia.
c. Ketiga, hendaknya maslahat umum tidak bertentangan dengan syariat
yang ada nash dan ijma nya. Karena itu, tidak ada alasan menjaga
maslahat dalam hal menyamakan harta waris antara anak perempuan
dengan anak laki-laki, karena rinsinya tidak boleh merubah ketetapan
nash dan ijma karena hanya ingin mencapai maslahat individu.Sebab ada
hakikatnya, hukun-hukum yang telah ditetapkan dalam nash dan ijma
semuanya bertujuan kepada maslahat.

4
Wahab Khallaf, Sumber-sumber Hukum Islam. Diterjemahkan oleh Bahrum Abubakar dan
Anwar Rasyidi dari judul aslinya “Mashadiru Tasyri’ il Islami Fi Ma La Nasa Fihi (Bandung:
Risalah, 1984), hlm. 124.
5
Ibid, hlm. 147.

4
Mengacu kepada ketiga syarat istishlahi di atas, dapat dipahami bahwa
orang yang tidak menerima istishlah sebagai sebuah penalaran filosofis
sesungguhnya ia telah menutup-nutupi kemudahan dalam memahami maksud
syar’i, Hal ini disebabkan karena penalaran istishlahi adalah sebuah upaya
penggalian hukum yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan yang
disimpulkan dari Al-Qur’an dan Hadis.
Kemaslahatan yang dimaksud disini adalah kemaslahatan yang secara
umum ditunjuk oleh kedua hukum tersebut. Artinya, kemaslahatan tersebut tidak
dapat dikembalikan kepada suatu ayat atau hadis secara langsung, baik melalui
proses penalaran bayani maupun ta’lili melainkan dikembalikan kepada prinsip
umum kemaslahatan yang dikandung oleh nash. Dalam perkembangan penalaran
ushul fiqih, corak penalaran istishlahi tampak dalam metode istihsa dan
maslahah mursalah.

B. Corak Penalaran Ishtishlahi


Dalam perkembangan penalaran ushul fiqih, corak penalaran ishtishlahi
tampak dalam:
a. Istihsan
Berdasarkan data literal yang istihsan secara etimologi
merupakan bentuk masdar dari ‫ استحسن‬yang berarti menganggap baik
sesuatu. Atau mengira sesuatu itu baik. Abu Hanifah tetap menggunakan
arti lughawi sebagai dasar pemakaian istihsan yaitu ‫( استحسن‬astahsin)
berarti saya menganggap baik. Arti lain dari istihsan adalah mengikuti
sesuatu yang lebih baik atau mencari yang lebih baik untuk diikuti
karena memang disuruh untuk itu.6
Dari pengertian secara etimologi tersebut, maka tergambar adanya
sesorang yang telah menghadapi dua hal yang keduanya baik, akan tetapi
ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu diantaranya dan
menetapkan untuk diambil yang satunya karena dianggap lebih baik
untuk diamalkan.

6
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II (Cet, 1; Jakarta: Logos, 1999), hlm. 305.

5
Adapun pengertian istihsan menurut istilah, ada beberapa definisi
yang dirumuskan oleh beberapa ahli ushul:
1. Ibnu Subki mengajukan dua rumusan definisi, yaitu:
‫عدول عن قیا س الي قیا س اقو ي منھ‬
Beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas lain yang
lebih kuat dari padanya. (qiyas pertama).
‫عد و ل عن الد لیل الي العا دة للمصلحة‬
Beralih dari penggunaan sebuah dalil kepada adat kebiasaan
karena suatu kemaslahatan.

Ibnu Subki menjelaskan bahwa definisi yang pertama


tidak terjadi perdebatan karena yang terkuat di antara dua qiyas
harus didahulukan. Sedangkan definisi kedua ada pihak yang
menolaknya. Alasannya, apabila dapat dipastikan bahwa adat
istiadat itu baik karena berlaku seperti pada masa Nabi atau
sesudahnya, dan tanpa ada penolakan dari nabi atau dari yang
lainnya, tentu ada dalil pendukungnya, baik dalam bentuk nash
maupun ijma’. Dalam bentuk seperti ini adat harus diamalkan
secara pasti. Namun bila tidak terbukti kebenarannya, maka
cara tersebut tertolak secara pasti.7
2. Istilah istihsan dikalangan Ulama Hanafiyah sebagaimana yang
dikutip oleh al-Sarkhasi.8
‫العمل باالجتھاد و غائب الراي في تقد یر ما جعلھ الشر ع مو كو ال لنص الي‬
‫ارائنا‬
Beramal dengan ijtihad dan umum pendapat dalam
menentukan sesuatu yang syara' menyerahkannya kepada
kita.

7
Ibid.
8
Ibid., hlm. 307.

6
‫لد لیل الذي یكو ن معا رضا للقیاس الظا ھر الذي تسبق الیھ االوھام قبل انعام التا‬
‫مل في حكم العا د ة واشبا ھھا من اال صول یظھر ھن الد لیل الذي عا رضھ فوقھ‬
‫في القوة فان العمل بھ ھو الو ا جب‬
Dalil yang menyalahi qiyas yang zahir yang didahului
prasangka sebelum diadakan pendalaman terhadap dalil itu
namun setelah diadakan penelitian yang mendalam terhadap
dalil itu dalam hukum yang berlaku dan dasar-dasar yang sama
dengan itu ternyata bahwa dalil yang menyalahi qiyas itu lebih
kuat dan oleh karenanya wajib diamalkan.
3. Istihsan menurut ulama Malikiyah di antaranya sebagaimana
yang dikemukakan oleh oleh al-Syatibi.9
‫و ھو في مذ ھب ما لك اال خذ بمصلحة جز ئیة قي مقا بلة دلیل كلي‬
lstihsan dalam Mazhab Malik adalah menggunakan
kemaslahatan yang bersifat juz’i sebagai pengganti dalil yang
bersifat kulli.
Dari definisi di atas mengandung arti bahwa seorang mujtahid
semestinya menetapkan hukum dengan berpedoman kepada dalil yang
ada yang bersifat umum. Namun karena dalam keadaan tertentu mujtahid
melihat karena adanya kemaslahatan yang bersifat khusus, maka dalam
menetapkan hukum tidak berpedoman kepada dalil umum yang ada,
tetapi menggunakan kemaslahatan atau kepentingan yang bersifat
khusus.
Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh ulama, maka
dapat ditemukan esensi istihsan ada dua:
1. Mentarjih qiyas khafi daripada qiyas jali karena ada dalil yang
mendukungnya.
2. Memberlakukan pengecualian hukum juz’iyah daripada hukum
kulli atau kaidah umum, didasarkan pada dalil khusus yang
mendukungnya.
9
Abi Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Juz 1 (Cairo: t.th), hlm. 30.

7
Meskipun definisi di atas cukup beragam, namun ada kesamaan-
kesamaan yang dapat kita tarik benang merah, bahwa istihsan adalah
meninggalkan suatu hukum yang telah ditetapkan oleh syara’ dan
menetapkan hukum lain karena ada dalil yang lebih cocok dan lebih kuat
menurut jiwa orang yang melakukan ijtihad. Baik dengan cara
meninggalkan qiyas jali dan mengambil qiyas khafi sebagai sandaran
hukum, atau menetapkan suatu hukum dengan cara mengambil
permasalahan yang sifatnya juz’i dari permasalahan yang sifatnya kulli.
Oleh karena itu jelaslah bahwa istihsan tetap dibangun berdasarkan dalil-
dalil yang kuat, bukan berdasarkan hawa nafsu belaka.
1. Macam-Macam Istihsan
Ditinjau berdasarkan pengertian istihsan yang telah dikemukakan,
pada pokoknya istihsan dapat terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a) Mengedepankan qiyas khafi (tidak jelas) dari qiyas jali (jelas),
karena adanya dalil yang mengharuskan pemindahan itu,
Istihsan dalam bentuk ini, disebut dengan istihsan qiyasi.
Contoh: Sisa makanan pada binatang yang haram di makan
berdasarkan qiyas adalah najis, karena dengan jalan qiyas
dijelaskan bahwa sisa yang masih ada pada binatang tersebut
hukumnya adalah haram, karena hukumnya mengikuti daging
binatang buas tersebut, seperti harimau, sibak maupun
serigala. Menurut istihsan, sisa makanan binatang buas yang
dagingnya haram di makan seperti burung garuda, gagak,
elang dan rajawali adalah suci, karena tidak terjadi
percampuran dengan sisa yang masih ada pada bintang
tersebut, sebab ia minum menggunakan paruh yang suci.
Sedangkan binatang buas seperti harimau, sibak maupun
serigala lidahnya bercampur dengan air liur, dan ia minum
menggunakan lidahnya, maka sisanya adalah najis.

8
b) Mengecualikan juz'iyah (khusus/parsial) dari hukum kully
(umum) yang didasarkan atas dalil khusus yang menghendaki
demikian. Istihsan bentuk kedua ini di sebut dengan istihsan
istitsna'i. Dalam istihsan istitsna'i di bagi menjadi beberapa
macam, yaitu:
1) Istihsan bi an-Nashash, yaitu suatu pengalihan hukum dari
ketentuan umum kepada ketentuan yang lain dalam bentuk
pengecualian, hal ini disebabkan karena adanya nash yang
mengecualikannya, baik dari Al-Qur'an maupun Sunnah.
Contoh: Menurut ketentuan umum, ketika seseorang
meninggal maka ia tidak berhak lagi terhadap hartanya,
karena beralih kepada ahli warisnya.
2) Istihsan bi al-Ijma' yaitu suatu pengalihan hukum dari
ketentuan yang umum kepada ketentuan lain dalam bentuk
pengecualian, hal ini disebabkan karena adanya ketentuan
ijma yang mengecualikannya.
b. Mashlahah Mursalah
Menurut Imam Malik, kepentingan bersama merupakan sasaran
syariat Islam dan semua produk hukum memprioritaskan kepentingan
bersama atas kepentingan lain.10 Maslahat mursalah merupakan induksi
dari logika sekumpulan nash bukan dari nash yang rinci seperti yang
berlaku dalam qiyas, bahkan Imam Syatibi mengatakan bahwa
keberadaan dan kualitas maslahat mursalah itu bersifat pasti sekalipun
dalam penerapan bisa bersifat relatif.
Atas dasar itulah, maka Malikian dan Hanabilah banyak
membentuk hukum berdasarkan maslahat mursalah tanpa memasukan ke
dalam qiyas. Kedua madzhab ini menjadikannya sebagai dalil yang

10
Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),
hlm. 107.

9
berdiri sendiri dengan nama maslahat mursalah, bahkan mereka dianggap
sebagai ulama fikih yang paling banyak dan luas menerapkannya.
Untuk menerapkan maslahat mursalah diperlukan beberapa syarat,
yaitu persoalan yang dijtihadkan harus sesuatu yang menyinggung
persoalan-persoalan yang berhubungan dengan kemanusiaan, sehingga
kepentingan yang termasuk didalamnya dapat ditafsirkan oleh akal.
Kepentingan tersebut harus sejalan dengan jiwa syari’at dan tidak
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Kepentingan itu bersifat
darury, bukan hajji dan bukan tahsini.11
Dengan teori maslahat mursalah yang dikembangkan oleh madzhab
Maliki, maka sebenarnya madzhab Maliki tidak terlalu terikat dengan
penalaran fikih ahlul hadis generasi sebelumnya, seperti yang
dikembangkan oleh Ahmad bin Hanbal. Karena itu, berhujjah dengan
maslahat mursalah dan menjadikannya sebagai dalil hukum adalah suatu
keharusan yang tetap sesuai makna keumuman syariat. Dengan
demikian, hukum Islam akan tetap berjalan seiring dengan
perkembangan zaman seperti yang telah dilakukan oleh sahabat nabi.
Sebaliknya, menolak maslahat mursalah berarti membekukan syariat
Islam karena kemaslahatan yang tumbuh dan berkembang di tengah
masyarakat tidak mudah didasarkan kepada suatu dalil tertentu. Beregan
pada maslahat mursalah tidaklah berlawanan dengan kesempurnaan
syariat bahkan maslahat mursalah itulah yang semakin membuktikan
kesempurnaan dan kemampuan hukum Islam dalam memenuhi
kebutuhan dan persoalan hidup manusia yang berbeda-beda.
Dalam konteks inilah, maka keberadaan maslahat mursalah sangat
penting sebagai dalil hukum karena kemaslahatan manusia itu terus
berkembang dan bertambah mengikuti perkembangan kebutuhan
manusia. Seandainya kemaslahatan-kemaslahatan yang sedang
berkembang itu tidak diperhatikan sedangkan yang diperhatikan hanya
11
Ibid., hlm. 107.

10
kemaslahatan yang ada nash nya saja niscaya banyak kemaslahatan-
kemaslahatan manusia yang terdapat di beberapa daerah dan pada masa
yang berbeda-beda akan mengalami kekosongan hukum dan syariat
sendiri tidak dapat mengikuti perkembangan kemaslahatan manusia,
padahal tujuan syariat Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia di setiap tempat dan masa, khususnya kemaslahatan yang lahir
dari kebutuhan manusia.12
Karena itu, kedudukan maslahat mursalah sebagai suatu metode
ijtihad dalam penalaran istishlahi begitu penting dewasa ini jika
dikaitkan dengan konsep maqasihd syariah sebagaimana yang
dikemukakan oleh Syatibi. Menurut Syatibi bahwa maslahat mursalah
dapat dikembangkan melalui metode al-Sukut an syar’iyyah al ‘amal
ma’a qiyam al-ma’na al-muqtadala (bersikap diam diri pensyariatan
sesuatu yang ada hakikatnya berdampak positif) dan metode al-Sukut an
sya’i li annahu la da’iya lah (diam karena tidak motif).13
Maslahat mursalah sebagai kemaslahatan yang tidak memiliki
legalitas nash secara khusus dapat dianalisis melalui kedua metode ini
sekalipun tidak terdapat ketetapan khusus dari syar’i tentang suatu
kemaslahatan adalah karena tidak adanya motif yang mendorong syar’i
untuk memberikan ketetapan hukum. Namun itu tidak berarti bahwa
kemaslahatan yang muncul pada rentang waktu kemudian bertetangan
dengan tujuan pensyariatan hukum padahal yang demikian termasuk
dalam kategori kemaslahatan yang ditunjukkan oleh prinsip-prinsip
hukum syari’at.
Fenomena kemaslahatan yang berkembang dewasa ini adalah
fenomena kepentingan pribadi seperti pergantian jenis kelamin, permak
ulang, dan lainnya. Sekalipun fenomena-fenomena ini sifatnya pribadi,

12
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam
(Bandung: al-Maarif, 1993), hlm. 107.
13
Asafri, Konsep Maqashid Syari’ah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 149.

11
hukum Islam tetap saja dituntut untuk menyelesaikan persoalan ini
dengan jawaban hukum yang benar dan mengandung hikmah yang baik
bagi manusia, sehingga hukum Islam tidak dianggap tabu terhadap
perkembangan yang ada. Dan salah satu metode yang dianggap dapat
menyelesaikan persoalan ini adalah dengan menggunakan pendekatan
maslahat mursalah terhadap masalah yang lainnya.
Syarat-syarat menjadikan hujjah maslahah mursalah agar maslahah
mursalah tidak bertentangan dengan jiwa syariat dan dapat dijadikan
sumber fikih maka harus memenuhi 3 syarat yaitu:14
 Maslahah tersebut bukan merupakan dugaan namun masalah
yang sebenarnya.
 Maslahah digunakan untuk kepentingan umum bukan
kepentingan pribadi.
 Maslahah tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketentuan
nash dan ijma’.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

14
M. Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih (Surabaya: PT Bima Ilmu,
1990), hlm. 118.

12
Secara literal, istishlah berarti mencari kemaslahatan, sedangkan menurut
para ahli ushul bahwa kata istishlah berarti menetapkan suatu hukum bagi
masalah yang tidak ada nashnya dan tidak ada ijma yang berdasarkan
kemaslahtan murni atau maslahat yang tidak dijelaskan syariat serta tidak
dibatalkan oleh syariat. Istishlah dalam pandangan ushul diistilahkan dengan
maslahah mursalah. Corak penalaran istishlahi tampak dalam metode
istihsan dan maslahah mursalah.
Istihsan adalah meninggalkan suatu hukum yang telah ditetapkan oleh
syara’ dan menetapkan hukum lain karena ada dalil yang lebih cocok dan
lebih kuat menurut jiwa orang yang melakukan ijtihad. istihsan tetap
dibangun berdasarkan dalil-dalil yang kuat, bukan berdasarkan hawa nafsu
belaka.
Maslahat mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan nash
bukan dari nash yang rinci seperti yang berlaku dalam qiyas, bahkan Imam
Syatibi mengatakan bahwa keberadaan dan kualitas maslahat mursalah itu
bersifat pasti sekalipun dalam penerapan bisa bersifat relatif.

B. Saran
Demikian makalah yang kami buat, kami berharap makalah ini dapat
bermanfaat dan menambah wawasan bagi pembaca. Kami mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca khususnya dosen yang telah membimbing
kami. Apabila ada kesalahan dan kekurangan dalam pembuatan makalah ini
kami mohon maaf.

DAFTAR PUSTAKA

Haq, Hamka. 1997. Dialog Pemikiran Islam UjungPandang. Ujung Pandang: Yayasan
AHKAM.

13
Sirri, Mun’in A. 1995. Sejarah Fiqh Islam. Surabaya: Risalah Gusti.

Abu Zahrah, Muhammad. 2000. Ushul al-Fiqh, diterjemahkan oleh Saefullah Ma’sum,
dengan judul Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Wahab, Khallaf. 1994. Ilmu Ushul Fiqh, diterjemahkan oleh Noer Iskandar al-Barsaniy
dan Muh. Tahah Mansur dengan judul, Kaedah-kaedah Hukum Islam (Ilmu Ushul
Fiqh). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fikihi. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

al-Syatibi, Abu Ishaq. Al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah juz II. Beirut: Dar al-Ma’rifah,
t.th.

Zuhri, Muh. 1996. Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.

Yahya, Mukhtar dan Fachurrahman. 1993. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam.
Bandung: al-Maarif.

Bakri, Jaya, Asafari. 1997. Konsep Maqasid Syariah menurut AL-Syatibi. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.

Syukur, M. Asywadie. 1990. Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih. Surabaya: PT
Bima Ilmu.

14

Anda mungkin juga menyukai