Anda di halaman 1dari 26

ISTIHSAN DAN MASLAHAH MURSALAH

MAKALAH
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh II
Dosen Dr. H. Ali Kosim S.H.I M.Ag.

disusun:
Helmy Kholiq Nurfahmi NIM 1183020043
Maylanda Viona NIM 1183020059
Muhammad Ilham Ghifari Hakim NIM 1183020075
Nizar Akbar NIM 1183020081
Abdul Halim NIM 1173020002

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH (MUAMALAH)


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
BANDUNG

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. karena dengan rahmat, karunia, taufik
dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Maslahah Mursalah
dan Istihsan dengan baik meskipun banyak kekurangan di dalamnya. Shalawat
beserta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta
keluarganya, para sahabatnya, tabi’in-tabi’at dan kita selaku umatnya mudah-
mudahan mendapat syafa’at di Yaumil Akhir kelak. Amiin.. Kami berterima
kasih kepada bapak Adang Sonjaya selaku dosen mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan yang telah memberikan tugas kelompok ini kepada kami.
Makalah ini diharapkan berguna untuk menambah wawasan serta
pengetahuan mengenai Maslahah Mursalah dan Istihsan, Kami menyadari banyak
kekurangan dan sangat jauh dari kata sempurna. Karena itu, kami berharap kritik,
saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Akhirnya, kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang telah berkenan membacanya. Semoga Allah SWT selalu
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amiin..

Bandung, 11 Mei 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii

BAB I ........................................................................................................................ 4

PENDAHULUAN ..................................................................................................... 4

A. Latar Belakang .............................................................................................. 4

B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 5

C. Tujuan Penulisan ........................................................................................... 6

BAB II ....................................................................................................................... 7

PEMBAHASAN ....................................................................................................... 7

A. Pengertian Istihsan ........................................................................................ 7

B. Dasar Hukum Istihsan ................................................................................... 10

C. Pendapat Ulama Tentang Istihsan ................................................................. 11

D. Macam-macam Istihsan dan Pengaplikasiannya

dalam Istinbat al-ahkam ................................................................................ 13

E. Pengertian Maslahah Mursalah ..................................................................... 19

F. Dasar Hukum Maslahah Mursalah ................................................................ 19

G. Jenis-jenis Maslahah Mursalah ..................................................................... 20

H. Kehujjahan Maslahah Mursalah .................................................................... 21

BAB III ...................................................................................................................... 23

KESIMPULAN ......................................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 25

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sumber hukum islam yang disepakati ulama’ adalah al Qur’an, Hadits, Ijma’.
Qiyas. Jumhur ulama’ menyepakati keempat sumber hukum ini. Namun demikian
masih terdapat beberapa ulama’ yang tidak sepakat terhadap kehujjahan qiyas dengan
beberapa alasan.
Seiring perjalan waktu, perkembangan teknologi dan pengetahuan begitu
pesat terjadi, sehingga muncul banyak permasalahan-permasalahan baru yang
terkadang tidak cukup dengan keempat sumber hukum di atas. Atas dasar demikian
muncul setelahnya beberapa metode istinbath hukum yang pada kelanjutannya
diklaim sebagai sumber hukum yang dipercaya. Kemunculan sumber hukum yang
baru tidak serta-merta diterima keabsahannya, sehingga tidak heran pro dan kontra
tetap bermunculan bahkan hingga saat ini. Terlepas dari pro kontra yang terjadi, jika
melihat dari situasi dan kondisi masa ini modifikasi terhadap hukum islam merupakan
sebuah keniscayaan.
Di antara sumber hukum yang baru itu adalah istihsan dan Maslahah
Mursalah. Istihsan yang merupakan dalil syariat yang prinsip dasarnya adalah
kebaikan untuk umat, tentunya sangat dibutuhkan untuk setidaknya meredam
permasalahan-permasalahan baru yang terjadi. Karena jika tetap berpegang pada
sumber hukum yang empat dengan fanatisme buta, otomatis agama akan ditinggalkan
karena tidak bisa mewadahi permasalahan-permasalahan baru yang terjadi.
Metode yang ditawarkan istihsan cukup konflek kendati tetap membutuhkan
pengembangan-pengembangan yang signifikan. Jamal Ma’mur Asmani misalnya
memandang bahwa istihsan merupakan keniscayaan untuk menerapkannya pada masa
ini, hal itu mencakup seluruh bidang kehidupan (sosial, politik, ekonomi, budaya dan
lain sebagainya) tentunya dengan modifikasi-modifikasi yang tidak bertentangan
dengan syariat agama.

4
5

Dalam makalah sederhana ini, penulis akan membahas tentang istihsan dan
maslahah mursalah. Tidak ketinggalan pula kita akan mengkaji tentang pentingnya
istihsan dan maslahah mursalah dalam kehidupan sekarang ini, yang mana kita
temukan banyak sekali permasalahan-permasalahan kontemporer yang membutuhkan
ijtihad hukum yang baru.
Ternyata tidak semua persoalan yang dijumpai masyarakat islam ketika itu
dapat diselesaikan dengan wahyu. Dalam keadaan seperti ini, Nabi menyelesaikan
dengan pemikiran dan pendapat beliau dan terkadang pula melalui permusyawaratan
dengan para sahabat. Inilah yang kemudian dikenal dengan sunnah Rasul. Memang
al-Qur’an hanya memuat perinsip-perinsip dasar dan tidak menjelaskan segala
sesuatu secara rinci. Perinciannya khusus dalam masalah ibadat, diberikan oleh
hadist. Sedangkan dalam bidang muamalat, perinsip-perinsip dasar itu, yang belum
dijelaskan oleh Rasulullah SAW diserahkan kepada ummat untuk mengaturnya.
Dengan demikian persoalan yang belum ada nasnya dalam al-Qur’an dan
Hadist, para ulama mencoba memberikan solusi atau di istimbatkan hukumnya
dengan berbagai metode.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengetian Istihsan?
2. Apa Saja Dasar Hukum Istihsan?
3. Bagaimana Pendapat Ulama Tentang Istihsan?
4. Apa Macam-macam Istihsan?
5. Apa Pengertian Maslahah Mursalah?
6. Apa Dasar Hukum Maslahah Mursalah?
7. Apa Saja Jenis-jenis Maslahah Mursalah?
8. Bagaimana Kehujjahan Maslahah Mursalah?
6

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk Mengetahui Pengertian Istihsan
2. Untuk Mengetahui Dasar Hukum Istihsan
3. Untuk Mengetahui Pendapat Ulama Tentang Istihsan
4. Untuk Mengetahui Macam-macam Istihsan
5. Untuk Mengetahui Pengertian Maslahah Mursalah
6. Untuk Mengetahui Dasar Hukum Maslahah Mursalah
7. Untuk mengetahui Jenis-jenis Maslahah Mursalah
8. Untuk Mengetahui Kehujjahan Maslahah Mursalah
BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Istihsan
Bila diteliti dasar perumusan dan akar sejarah munculnya istihsan sebagai
dalil hukum adalah berawal dari persoalan qiyas. Qiyas sebagai salah satu dalil
hukum dalam persoalan persoalan tertentu tidak dapat diterapkan, karena salah satu
dari unsur rukunnya yaitu ‘illat tidak memenuhi syarat. Dengan kata lain, ‘illat qiyas
yang akan dijadikan sebagai pautan atau penyamaan hukum bagi persoalan tertentu
itu tidak dapat diterapkan, karena tidak sebanding.1 Oleh karena itu, harus
diselesaikan dengan cara lain yang lebih mendekati tujuan syara’. Dasar pemikiran
dan perumusan istihsan seperti ini, yang kemudian diangkat sebagai salah satu dalil
hukum. Pada mulanya dimunculkan oleh Imam Hanafi di kalangan para
pengikutnya.Istihsan adalah sumber hukum yang banyak dipakai dalam terminologi
dan istinbath hukum oleh dua imam mazhab, yaitu Imam Malik dan Imam Hanafi.
Bahkan Imam Malik menilai, pemakaian istihsan merambah 90% dari seluruh ilmu
fiqh, sementara itu, murid-murid Imam Hanafi, seperti diceritakan Muhammad bin
Hasan, tidak sejalan dengan gurunya. Istihsan dipandang tidak jelas kriterianya.
Apabila Imam Hanafi berkata: “pakailah istihsan”, maka tidak seorangpun murid-
muridnya yang menuruti perintahnya.2 Pada dasarnya Imam Hanafi masih tetap
menggunakan dalil qiyas, selama masih dipandang tepat. Namun jika pemakaian dalil
itu pada situasi tertentu dinilai kurang tepat, maka ia beralih kepada dalil istihsan.
Menurut kamus bahasa Arab, istihsan berarti menganggap baik atau mencari
yang baik.3 Lebih Abdul Wahab Khallaf menjelaskan bahwa istihsan menurut bahasa
berarti menganggap baik sesuatu atau mengikuti sesuatu yang baik dalam hal yang

1
Romli SA, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, (Jakarta : Gaya Media Pratama,1999), hlm 142.
2
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, (Jakarta : PT. Pustaka Firdaus,1994), hlm 401.
3
Departemen Agama RI, Ushul Fiqih 1, (Jakarta : Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam,1986), hlm 142.

7
8

nyata (konkret) atau tidak nyata (abstrak). Sedangkan menurut Romli SA.4 Istihsan
secara bahasa adalah:

‫طلب اال حسن الل تباع الذي هو ما موربه‬


“Berusaha mendapatkan yang terbaik untuk diikuti bagi sesuatu masalah yang
diperhitungkan untuk dilaksanakan”.
Dalam pernyataan yang lain, ia juga menyatakan bahwa istihsan secara bahasa
adalah:

‫عد الشيئ حسنا‬


“Memperhitungkan bahwa sesuatu itu adalah baik”.
Sedangkan menurut istilah, masih terdapat perbedaan rumusan dikalangan
ulama Ushul Fiqh. Masing-masing ulama mempunyai rumusan dan batasan yang
berbeda antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu berikut ini akan dicantumkan
beberapa definisi.
Ibn Al-Arabi, seorang ulama pengikut imam Malik, sebagai mana yang
dikutip oleh Al-Shiddieqy,5 memberikan definisi istihsan adalah mengutamakan atau
meninggalkan kehendak suatu dalil dengan cara istisna’(pengecualian), atau dengan
cara mencari kelapangan karena ditentangi oleh suatu dalil yang menentanginya pada
sebahagian kehendak dalil tersebut.
Sementara itu, Ibnul Anbary, seorang ahli fiqh dari mazhab Maliki,
memberikan definisi bahwa “istihsan adalah memilih menggunakan maslahat
juziyyah yang berlawanan dengan qiyas kully”.6 Sebagaimana yang diinformasikan
oleh T.M. Hasbi Al-Shiddieqy definisi ini seirama dengan definisi yang diberikan
oleh Ibnu Rusyd, ia menyatakan bahwa istihsan itu adalah menggunakan qiyas
mengakibatkan berlebih-lebihan dalam hukum, maka dia berpaling pada sebagian

4
Romli SA, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, (Jakarta : Gaya Media Pratama,1999), hlm 138.
5
T.M. Hasbi Al-Shidhieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, (Semarang : PT.Pustaka Rizki
Putra,2001), hlm 295
6
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, (Jakarta : PT. Pustaka Firdaus,1994), hlm 402
9

tempat tertentu karena ada suatu pengertian yang memberi bebas kepada hukum yang
tertentu dari tempat itu saja.7
Istihsan juga mempunyai pengertian meninggalkan hukum yang telah
ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara’,
menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada
suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya.
Adapun Abdul Wahab Khallaf mengatakan bahwa istihsan adalah
berpindahnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jali (qiyas nyata) kepada qiyas
khafi (qiyas samar). Atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum pengecualian,
karena ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya, dan dimenangkan baginya
perpindahan ini. Misalnya seseorang lupa apa yang ia lakukan, dan makan pada saat
yang mestinya ia berpuasa, qiyas menyatakan bahwa puasanya menjadi batal, sebab
pertimbangan kursial dalam qiyas adalah makanan telah masuk ke dalam
kerengkongan (badan), terlepas apakah disengaja atau tidak.8Tetapi dalam kasus ini
qiyas ditinggalkan berdasarkan atas sebuah hadits yang menyatakan bahwa puasa
tetap sah bila makan tersebut disebabkan karena kesalahan (lupa).
Kalau diperhatikan secara teliti dari beberapa definisi di atas, maka dapat
diambil pengertian bahwa para ulama ushul fiqh mazhab Maliki, mazhab Hanafi dan
mazhab Hambali dengan berbagai macam definisi (formulasi) istihsan mereka telah
mempunyai titik temu (sepakat) mengenai inti makna atau pengertian istihsan, yaitu
berpindah dari suatu hukum kepada hukum lainnya, atau memilih suatu hukum dan
mengenyampingkan (mengabaikan) hukum lainnya, atau mengecualikan hukum yang
bersifat kulli dengan hukum yang bersifat juz’i, atau mengadakan takhsis terhadap
hukum yang bersifat umum. Juga mereka telah sepakat tentang kebolehan memilih,
berpindah, mengecualikan dan mengkhususkan hukum karena adanya dalil atau
alasan lain yang menjadi dasar atau argumentasinya, baik dari nash Al-Quran dan

7
T.M. Hasbi Al-Shidhieqy, Falsafah Hukum Islam, (Semarang : PT.Pustaka Rizki Putra,2001), hlm
295
8
Wael.B.Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2000), hlm 160.
10

Sunah, maslahat maupun urf. Argumentasinya atau dalil inilah yang oleh ulama ushul
fiqh disebut sandaran istihsan.
Tegasnya, bahwa istihsan adalah pindah dari suatu hukum mengenai suatu
masalah kepada hukum yang lain dalam mengatasi dan memutuskan permasalahan
tersebut karena ada dalil syar’i (lain), yang mengharuskan demikian. Dalil syar’i ini
disebut sandaran istihsan.

B. Dasar Hukum Istihsan


Adapun landasan hukum yang digunakan oleh Imam Hanafi dalam rangka
penggunaan istihsan sebagai dasar istinbath hukum adalah nash Al-Quran dan hadits,
ijmak. Dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut:

...‫يريد اهلل بكم اليسروال يريد بكم العسر‬...


“….Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu….” (Q. 2 Al-Baqarah: 185)

‫الذ ين يستمعون القول فيتبعون احسنه اولئك الذ ين هدا هم اهلل‬


“(yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik
diantaranya, Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Alah..” (Q.
39 Al-Zumar: 18)
Dalam ayat pertama di atas bahwasanya Allah Swt. menghendaki kemudahan
dan bukan kesulitan dalam rangka mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bagi
manusia. Sedangkan pada ayat kedua , menurut kelompok yang menjadikan istihsan
sebagai dasar dalam istinbath hukum menyatakan bahwasanya Allah Swt. memuji
orang-orang yang mengikuti pendapat yang paling baik dan bahkan pula Allah Swt.
memerintahkan untuk mengikuti yang paling baik dari apa-apa yang telah diturunkan
oleh-Nya.
Sedangkan sunah atau hadits yang mereka jadikan dalil adalah sunnah atau
hadits berikut ini, yaitu:
11

‫ماراه املسلمون حسنا فهو عند اهلل حسن‬


Hadits atau sunnah ini mengisyaratkan kepada kita bahwa, setiap apa yang
dianggap baik oleh kaum muslimin, maka hal tersebut mempunyai nilai baik juga
dihadapan Allah Swt. Namun, segala sesuatu yang dianggap baik oleh kaum
muslimin tersebut harus dijiwai oleh nash-nash, baik itu berupa Al-Quran, sunnah
atau hadits, ijma’, maupun qiyas, agar segala sesuatu yang timbul nantinya tidak
keluar dari syari’at yang ada.
Adapun ijmak yang mereka jadikan landasan hukum tentang penggunaan
istihsan ini adalah ijmak ulamaterhadapmasalah pemakaian kamar mandi umum tanpa
disebutkan lamanya masa pemakaian dan banyaknya air yang digunakan.9

C. Pendapat Ulama Tentang Istihsan


Ada tiga pendapat Ulama tentang nilai Istihsan sebagai hujjah yaitu:
1.Pendapat dari Ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanbaliyah yang
mengatakan bahwa Istihsan adalah dalil syara‟ dengan alasan yaitu:
a. Istihsan yang ditetapkan berdasarkan penelitian terhadap kasus-kasus dan
hukum-hukum yang ternyata bahwa penggunaan Qiyas adalah menerapkan
yang umum atau dalil yang Kulli yang kadang-kadang di dalam beberapa
kasus menyebabkan hilangnya kemashlahatan manusia, karena kasus-
kasus ini mempunyai kekhususan-kekhususan tersendiri. Hal ini
merupakan suatu keadilan dan rahmat bagi semua manusia apabila
dibuka jalan bagi seorang mujtahid di dalam memecahkan kasus
seperti ini yaitu men-tarjih dalil agar tercapai kemashlahatan dan menolak
kemadharatan, dengan kata lain seperti ungkapan dalam kaidah fikih yaitu:
“Dar‟u al-Mafasid wa Jalbu al-Mashalih” artinya: “Menolak
kemafsadatan dan meraih kamashlahatan”. JadiIstihsan digunakan
9
Iskandar Usman, Istihsan Dan Pembahsan Hukum Islam, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,1994),
hlm 63.
12

untukmendapatkan kemashlatan dan menolak kemadlaratan atau


menemukan mashlahat yang lebih kuat dan madlarat yang lebih sedikit.
b. Istihsan ditetapkan berdasarkan penelitian terhadap Nash-nash Syara‟ yang
menunjukan bahwa Allah Yang Maha Bijaksana berpindah dari sebagian
kasus-kasus yang bisa digunakan Qiyas atau umumnya Nash kepada hukum
lain yang memberikan kemashlatan dan menolak kemafsadatan, misalnya
Allah mengharamkan bangkai, darah, daging babi, dan apa yang disembelih
selain atas nama Allah („ala Ghairillah), selanjutnya Allah SWT Berfirman
Dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah 173 :

2. Ulama-ulama yang menolak Istihsan sebagai dalil syara‟, mereka beralasan


sebagai berikut:
a. Syari‟at itu berupa Nashatau mengembalikan kepada Nash dengan Qiyas,
maka di manakah letaknya Istihsan dan dalam hal ini bertentangan
dengan firman Allah SWT yang terdapat di dalam al-Qur‟an surat al-
Qiyamah: 36 yang artinya: “Apakah manusia mengira, bahwa ia akan
dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungan jawab)?”.
b. Istihsan tidak adadlabit-nya dan tidak ada ukuran-ukuran untuk
mengqiyaskannya, sehingga apabila dihadapkan kepada seseorang mujtahid
suatu kasus, maka dia akan menetapkan hukum sesuai dengan apa yang
dianggap baik sesuai dengan seleranya.
c. Apabila Istihsan dibolehkan dalam berijtihad yang tidak berdasarkan
dengan Nash atau tidak dikembalikan kepada Nash, makaIstihsan boleh
dilakukan oleh siapa saja meskipuntidak mengetahui al-Qur‟an. Atas
dasar alasan-alasan ini, maka Imam asy-Syafi‟i berkesimpulan bahwa:
“Man Istahsana FaqadSyara‟a” artinya: “Barang siapa yang menetapkan
hukum dengan Istihsan berarti dia telah membuat syari‟at sendiri”.
3. Pendapat yang menyatakan bahwa Istihsan adalah dalil syara‟, bukan juga dengan
dalil yang Mustaqil, akan tetapi kembali kepada dalil syara‟ yang lain, sebab setelah
13

diteliti tujuan pokok Istihsanitu tetap kembali kepada mashlahat. Pendapat ini
dipegang (antara lain) oleh Imam asy-Syafi‟i di dalam menentang Istihsan yang
kemudian kita bandingkan dengan definisi Istihsanyang telah dikemukakan di atas
(tidak ada pertentangan yang prinsip). Alasannya (baik Madzhab Syafi‟i
maupun Madzhab Hanafi), apabila Istihsan diartikan sebagai apa apa yang di anggap
baik oleh manusia sesuai dengan keinginan hawa nafsunya tanpa ada adanya dalil.

D. Macam-Macam Istihsan Dan Pengaplikasiannya Dalam Istinbat Al-Ahkam


Untuk mengetahui tentang macam-macam istihsan (menurut ulama-ulama
yang mengakui istihsan sebagai dasar penetapan hukum Islam), dapat dilihat dari dua
segi, yaitu: Pertama, macam-macam istihsan dipandang dari segi dalil (yang dipakai
dan yang ditinggalkan atau diabaikan). Istihsan dipandang dari segi dalil ini adalah
mentarjih qiyas khafi daripada qiyas jali, karena ada dalil yang mendukungnya.
Kedua, istihsan dipandang dari segi sanad atau sandaran istihsan. Istihsan dipandang
dari segi sanad adalah memberlakukan pengecualian hukum juz’i dari hukum kulli
atau kaidah umum, didasarkan pada dalil khusus yang mendukungnya.10
Macam-macam istihsan dipandang dari sudut dalil, maka istihsan tersebut
dapat dibagi tiga bentuk, yaitu:
1. Memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali dengan dalil.
2. Pindah dari pengertian nash yang umum kepada pengertian nash yang khusus.
3. Mengecualikan juz’i dari hukum kulli dengan dalil.11
Untuk lebih mudah dimengerti gambaran di atas, berikut ini pengaplikasian
istihsan dan memberikan contoh-contoh dari masing-masing macam istihsan tersebut
di atas.
1. Contoh istihsan memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali yaitu:

10
Nasrun Haroen, Ushul Fiqih 1, (Jakarta : Logos,1996), hlm 105.
11
Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushl Fiqih, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada,2000),hlm 117.
14

a. Menurut Imam Hanafi, berdasarkan ketetapan qiyas maka hak pengairan dan
jalan yang tidak disebutkan dalam akte wakaf tanah pertanian tidak termasuk
dalam akte wakaf. Sedangkan berdasarkan ketetapan istihsan, maka hak
pengairan, hak pemeliharaan dan hak jalan dapat dimasukkan kedalam wakaf,
sekalipun tidak disebutkan dalam akte. Jadi kalau menurut qiyas jali, maka
masalah wakaf ini diqiyaskan pada masalah jual beli. Oleh karena itu hak
pengairan, pemeliharaan dan jalan tidak termasuk dalam wakaf. Akan tetapi
menurut qiyas khafi, maka masalah wakaf ini diqiyaskan pada sewa-
menyewa. Berpindah dari qiyas jali kepada qiyas khafi inilah yang disebut
istihsan. Jadi qiyas jali, yaitu menyesuaikan wakaf dalam soal ini dengan jual
beli, karena masing-masing itu mengeluarkan hak milik dari pemiliknya.
Sedangkan qiyas khafi adalah menyesuaikan wakaf dalam soal ini dengan
sewa-menyewa, karena dari masing-masing itu yang dimaksudkan adalah
adalah mengambil manfaat.
b. Menurut Imam Hanafi, berdasarkan qiyas jali, maka bekas minuman
(patukan) burung buas adalah najis. Sebab diqiyaskan dengan hewan buas
seperti burung garuda, burung gagak, dan burung elang yang dagingnya
haram dimakan. Berdasarkan ketetapan qiyas khafi, maka bekas minuman
(patukan) burung buas adalah suci, tidak najis karena burung tersebut minum
dengan paruhnya. Berpindah dari qiyas jali kepada qiyas khafi inilah disebut
dengan istihsan.12
2. Contoh istihsan pindah dari pengertian nash yang umum kepada pengertian yang
khusus adalah berdasarkan pengertian umum ayat berkut ini:

‫والسارق والسارقة فا قطعوا ا يد يهماجزاء مبا كسبا نكال من اهلل‬


(Q. 5. Al-Maidah: 38)
Menurut ayat di atas, maka setiap pencuri baik laki-laki maupun perempuan
hukumannya adalah potong tangan, tetapi berdasarkan pengertian khusus ayat, maka
12
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, (Jakarta : PT. Pustaka Firdaus,1994), hlm 408.
15

hukuman potong tangan tersebut ditiadakan. Hal ini dapat dilakukan pemahaman
khusus pada masa (ketika) pacekelik atau musim kelaparan di masa khalifah Umar
Ibn Khattab. Menurut Umar, kalau dalam keadaan yang demikian hukuman potong
tangan diterapkan dapat menimbulkan bahaya terhadap umat. Paling tidak umat akan
mendapatkan salah satu dari dua bahaya berikut. Pertama, bila mereka tetap menahan
diri untuk tidak mencuri, maka dapat dipastikan mereka akan menderita kelaparan
yang berkepanjangan yang dapat merenggut jiwanya atau merusak kesehatannya.
Kedua, karena sangat terpaksa, mereka tetap saja mencuri.13
Dari kasus ini terlihat jelas bahwa Umar berpaling dari suatu ketentuan hukum
kepada ketentuan hukum yang lain dalam penerapannya. Artinya bila suatu ketentuan
hukum dalam penerapannya tidak mampu merealisasi dan memelihara maqashid al-
syari’at, maka dalam keadaan yang demikian sajalah Umar berpaling dari ketentuan
hukum tersebut kepada ketentuan hukum yang lain yang lebih mampu merealisasi
dan memelihara Maqashid Al-Syari’at itu.

3. Contoh istihsan mengecualikan juz’i dari hukum kulli adalah menurut hukum kulli,
seseorang yang diberi amanat, wajib mengganti atas hilangnya barang yang dititipkan
kepada pihak penitipnya, bila si penitip itu meninggal dunia. Sebab dengan hilangnya
barang tersebut berarti ia tidak berhati-hati atau sembrono dalam memelihara barang
tersebut.
Dalam masalah ini, dikecualikan apabila yang menghilangkannya itu ayah
atau nenek dari yang punya harta. Dalam pada itu ayah atau nenek mempunyai hak
penuh terhadap harta anaknya sendiri, jadi si ayah atau nenek tidak diwajibkan
mengganti harta yang hilang adalah berdasarkan ketetapan istihsan. Dengan kata lain,
berpindahnya dari hukum kulli kepada hukum juz’i inilah disebut istihsan.
Memperhatikan eksistensi istihsan sebagai dalil hukum dipandang dari sudut
sanad (sandaran), ternyata dikalangan ulama mazhab dibagi kepada beberapa macam.

13
Iskandar Usman, Istihsan Dan Pembahsan Hukum Islam, ( Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada,1994), hlm 197.
16

1.Menurut Imam Hanafi


Dalam pandangan Imam Hanafi, seperti dalam penjelasan Muhammad al-Said Ali
Abd. Rabuh, bahwa istihsan dibagi kepaa lima macam yaitu:
a. Disebut istihsan dengan nash.
Yang dimaksud dengan istihsan jenis ini ialah penyimpangan suatu
ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qiyas kepada ketentuan hukum yang
berlawanan dengan yang ditetapkan berdasarkan nash Al-Quran dan hadits.

‫العد ول عن حكم القياس ىف مسئلة اىل حكم مبخا لف له ثبت با لكتا‬

‫او السنة‬
Istihsan jenis ini, sering ditemui dalam beberapa masalah yang
bersumber dari nash yang sudah pasti berlawanan dengan ketentuan hukum
yang umum atau kaidah yang sudah berlaku. Contoh kasus orang yang makan
dan minum karena lupa ketika ia sedang berpuasa. Menurut kaidah umum
(qiyas), puasa orang ini batal karena ia telah memasukkan sesuatu ke dalam
kerengkongannya dan tidak menahan puasanya sampai berbuka. Akan tetapi,
hukum ini dikecualikan oleh hadits atau sunnah Rasulallah
Saw. berikut ini:

...‫من اكل اوشرب ناسيا فال يفطر فا منا هورزق رزقه اهلل‬..
Hadits ini menjelaskan bahwa orang yang makan dan minum tanpa
disengaja pada saat ia sedang puasa maka hal tersebut tidak membatalkan
puasanya.14
b. Disebut istihsan dengan ijma’.
Yang dimaksud dengan istihsan jenis ini adalah meninggalkan
keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena ada ijma’. Hal ini
terjadi karena adanya fatwa mujtahid atas suatu peristiwa yang berlawanan

14
Nasrun Haroen, Ushul Fiqih 1, (Jakarta : Logos,1996), hlm 108..
17

dengan pokok atau kaidah umum yang telah ditetapkan, atau para mujtahid
bersikap diam dan tidak menolak apa yang dilakukan oleh manusia
(masyarakat), yang sebetulnya berlawanan dengan dasar-dasar pokok yang
telah ditetapkan. Sedangkan contoh istihsan jenis ini adalah pesanan
seseorang kepada orang lain untuk dibuatkan sesuatu barang. Transaksi
seperti ini disebut dengan “‫ناع اال عقد‬TTT‫ستص‬.. transaksi seperti ini adalah
seseorang meminta kepada seseorang tukang untuk dibuat sesuatu barang
tertentu, dengan syarat-syarat tertentu, yang sebetulnya tidak boleh dilakukan,
karena ketika berlangsungnya transaksi tersebut, barang pesanan itu belum
ada wujudnya (ma’dum), sementara transaksi atas barang yang belum ada
wujudnya tidak dibolehkan menurut qiyas. Akan tetapi, berdasarkan istihsan,
transaksi (akad) seperti ini dibolehkan meskipun berlawanan dengan
ketentuan qiyas, karena hal seperti ini dalam praktik (muamalah) masyarakat
telah berjalan tanpa ada penolakannya dari ahli Ijtihad (mujtahid).15
c. Disebut istihsan dengan darurat dan hajat.
Yang dimaksud dengan istihsan jenis ini adalah seorang mujtahid
meninggalkan keharusan pemberlakuan qiyas atas sesuatu masalah karena
berhadapan dengan kondisi darurat, dan mujtahid berpegang kepada ketentuan
yang mengharuskan untuk memenuhi hajat atau menolak terjadinya
kemudaratan. Dengan kata lain, karena adanya penolakan yang bersifat
darurat dan menjadi hajat orang banyak, maka penetapan yang semestinya
didasarkan pada qiyas terpaksa ditinggalkan. Sebagai contoh, sumur atau
kolam yang terkena najis. Berdasarkan kaidah umum bahwa sumur atau
kolam yang terkena najis itu tidak boleh digunakan. Akan tetapi, karena
kondisi darurat yang menghendakinya dan air itu sangat dibutuhkan, maka
dalam kondisi seperti ini dibolehkan, meskipun berlawanan dengan kaidah
umum atau adanya dalil yang melarangnya. Menurut kalangan mazhab Hanafi

15
Romli SA, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, (Jakarta : Gaya Media Pratama,1999), hlm 145.
18

untuk menghilangkan najis itu cukup dengan memasukkan beberapa galon air
kedalam kolam atau sumur tersebut, karena kondisi darurat yang dihadapi
agar orang tidak menemukan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan terhadap
air.
d. Disebut istihsan dengan urf dan adat.
Yang dimaksud dengan istihsan jenis ini adalah penyimpangan atau
pemalingan penetapan hukum yang berlainan (berlawanan) dengan ketentuan
qiyas, karena adanya ‘urf yang sudah biasa dipraktikkan dan sudah dikenal
dalam kehidupan masyarakat. Istihsan jenis ini sangat banyak digunakan
dalam berbagai adat kebiasaan masyarakat yang menyalahi ketentuan qiyas
atau kaidah umum yang berlaku. Sebagai contoh adalah mewakafkan benda
bergerak. Menurut kaidah, wakaf itu harus benda tidak bergerak, mudah
hilang dan rusak. Tetapi karena ‘urf telah berlaku demikian, maka dibolehkan
untuk menghindari pertengkaran. Karena ini pula golongan Hanafiyah
membenarkan segala syarat yang diterima ‘urf asal saja tidak membatalkan
sesuatu nash syara’.16
e. Disebut istihsan dengan qiyas khafi.
Yang dimaksud dengan istihsan jenis ini adalah memalingkan suatu
masalah dari ketentuan hukum qiyasyang jelas kepada ketentuan hukum qiyas
yang samar-samar dan tidak jelas, tetapi keberadaannya lebih kuat dan lebih
tepat untuk diamalkan. Sebagai contoh adalah tentang aurat wanita.
Sesungguhnya aurat wanita itu adalah mulai dari ujung kepala sampai kepada
ujung kakinya, kemudian dibolehkan bagian tubuhnya sekedar dibutuhkan,
untuk keselamatan dan kebaikan perempuan tersebut. Hal seperti ini terdapat
perlawanan antara dua qiyas, yang pertama ditetapkan berdasarkan kaidah
yang jelas tentang keadaan wanita melihatnya bisa menimbulkan fitnah, dan
yang kedua adanya suatu keadaan yang menimbulkan masyaqah (keadaan

16
T.M. Hasbi Al-Shidhieqy, Falsafah Hukum Islam, (Semarang : PT.Pustaka Rizki Putra,2001), hlm
299.
19

yang mendesak) dalam beberapa keadaan seperti pengobatan ketika tidak ada
wanita yang khusus untuk itu, maka digunakanlah ‘illat(alasan) yang
membawa kepada kemudaratan pada bagian ini.

E. Pengertian Maslahah Mursalah


Kata ‘maslahah’ secara etimologis berarti manfaat, faedah, bagus,
baik, patut, layak, sesuai. Dari sudut pandang ilmu saraf yaitu pola dan
semakna dengan kata manfa’ah17, Sedangkan arti dari manfa’at sebagaimana
yang dimaksudkan oleh pembuat hukum syara’ (Allah SWT) yaitu sifat
menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan hartanya untuk mencapai
ketertiban nyata antara Pencipta dan makhlukNya. Ada pula ulama yang
mendefinisikan kata manfa’at sebagai kenikmatan atau sesuatu yang akan
mengantarkan kepada kenikmatan.18
F. Dasar Hukum
Teori Maslahah almursalah bisa dijadikan untuk menetapkan hujjah
dari istinbat hukum karena pada dasarnya Allah SWT telah menciptakan
segala hal di dunia ini tidak sia-sia sehingga tidak ada manfaat yang tidak bisa
diperoleh darinya, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Ali Imran :
191.
ِ ‫ٱلس ٰم ٰو‬ ِ ِ ً ُ‫ين يَ ْذ ُك ُرو َن ٱللَّهَ قِ ٰيَ ًما َو ُقع‬ ِ َّ
ِ ‫ت َوٱأْل َْر‬
‫ض‬ َ َ َّ ‫ودا َو َعلَ ٰى ُجنُوب ِه ْم َو َيَت َف َّك ُرو َن فى َخل ِْق‬ َ ‫ٱلذ‬
ِ
ِ َ َ‫ٰطاًل سب ٰحن‬
‫اب ٱلنَّار‬
َ ‫ك فَقنَا َع َذ‬ َ ْ ُ َ‫ت َٰه َذا ب‬
َ ‫َر َّبنَا َما َخلَ ْق‬
Artinya: (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau

17
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh (Jakarta: Penerbit Amzah, 2011), 127.
18
Muh}ammad bin ‘Ali Al-Shaukani, Irshad al-Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq min‘ Ilmi Al-Usul, Jilid 2
(Beirut: Dar
Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1999), 269.
20

menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami
dari siksa neraka.19
G. Jenis – Jenis
Menurut teori ushul fiqh, jika ditinjau dari segi ada atau tidaknya dalil
yang mendukung terhadap suatu kemaslahatan, maslahah terbagi menjadi tiga
macam, yaitu:
1. Maslahah Al-Mu’tabarah,
Maslahah al-mu’tabarah yakni al-maslahah yang diakui secara
eksplisit oleh syara’ dan ditunjukkan oleh dalil (Nash) yang spesifik.
Disepakati oleh para ulama, bahwa maslahah jenis ini merupakan hujjah
shar’iyyah yang valid dan otentik. Manifestasi organik dari jenis
almaslahah ini ialah aplikasi qiyas. Sebagai contoh, di dalam QS. Al-
Baqarah (2): 222 Allah SWT berfirman yang artinya ‘Mereka bertanya
kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”.
Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri[137] dari wanita di
waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci[138]. Apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di
tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri.’20
Dari ayat tersebut terdapat norma bahwa isteri yang sedang menstruasi
(haid) tidak boleh (haram) disetubuhi oleh suaminya karena faktor adanya
bahaya penyakit yang ditimbulkan.
2. Maslahah Al-Mulghah
Merupakan al-maslahah yang tidak diakui oleh syara, bahkan ditolak
dan dianggap batil oleh syara’. Sebagaimana ilustrasi yang menyatakan
opini hukum yang mengatakan porsi hak kewarisan lakilaki harus sama

19
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 2 (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), 95.
20
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Al Huda Gema Insani, 2002), 34
21

besar dan setara dengan porsi hak kewarisan perempuan, mengacu kepada
dasar pikiran semangat kesetaraan gender.
Dasar pemikiran yang demikian memang mengandung al-maslahah,
tetapi tidak sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh Allah
SWT, sehingga almaslahah yang seperti inilah yang disebut dengan al-
maslahah almulghah
3. Maslahah al-mursalah
Yaitu al-maslahah yang tidak diakui secara eksplisit oleh syara’ dan
tidak pula ditolak dan dianggap batil oleh syara’, akan tetapi masih sejalan
secara substantif dengan kaidah – kaidah hukum yang universal.
Sebagaimana contoh, kebijakan hukum perpajakan yang ditetapkan oleh
pemerintah21
H. Kehujjahan
Dilihat dari segi kekuatannya sebagai hujjah (tendensi) dalam menetapkan
hukum, maslahah terbagi menjadi tiga macam:22
1. Maslahah Daruriyat
Merupakan kemaslahatan yang menduduki kebutuhan primer.
Kemaslahatan ini erat kaitannya dengan terpeliharanya unsur agama dan
dunia. Keberadaan maslahah dharuriyat ini bersifat penting dan
merupakan suatu keharusan yang menuntut setiap manusia terlibat di
dalamnya dan merupakan unsur terpenting dalam kehidupan manusia. Hal
ini bisa dipahami sebagai sarana perenungan bahwa pada hakikatnya
manusia tidak bisa hidup dengan tentram apabila kemaslahatan ini tidak
dimilikinya.
2. Maslahah Hajiyat

21
Muhammad bin Husain bin Hasan Al-Jizani, Mu‘alim Usul Al-Fiqh (Riyad}: Dar Ibnu Al-Jauzi,
2008), 235.
22
Muhammad bin Husain bin Hasan Al-Jizani, Mu‘alim Usul..., 237.
22

Adalah kemaslahatan yang menduduki pada taraf kebutuhan sekunder.


Artinya suatu kebutuhan yang diperlukan oleh manusia agar terlepas dari
kesusahan yang akan menimpa mereka. Maslahah Hajiyat jika seandainya
tidak terpenuhi maka tidak sampai mengganggu kelayakan, substansi serta
tata sistem kehidupan manusia, namun dapat menimbulkan kesulitan dan
kesengsaraan bagi manusia dalam menjalani kehidupannya.23
Contoh sederhana dari maslahah hajiyat yaitu Allah SWT telah
memberikan keringanan-keringanan dalam beribadah dikhususkan
terhadap mereka yang melakukan perjalanan jauh sehingga mereka
mengalami kesulitan apabila melakukan ibadah secara normal, dalam hal
ini menjama’ serta mengqashar salat lima waktu.
3. Maslahah Tahsiniyat
Adalah kemaslahatan yang menempati pada posisi kebutuhan tersier
yang dengan memenuhinya dapat menjadikan kehidupan manusia
terhindar dan bebas dari keadaan yang tidak terpuji. Dengan memenuhi
maslahah ini, seseorang dapat menempati posisi yang unggul.
Ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi maslahah ini tidak
mengakibatkan rusaknya tatanan kehidupan dan hubungan antar sesama
manusia serta tidak menyebabkan kesulitan yang berarti untuk kehidupan
manusia.

23
Ibid., 237.
BAB III
KESIMPULAN

Istihsan ( ‫ان‬TTT‫ )استحس‬adalah kecenderungan seseorang pada sesuatu


karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy)
ataupun maknawiah; meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.
atau dapat diartikan dengan penangguhan hukum seseorang mujtahid dari
hukum yang jelas (Alquran, sunnah, ijmak, dan qiyas) ke hukum yang samar-
samar (qiyas khafi, dll) karena kondisi atau keadaan darurat atau adat istiadat.
Bentuk-bentuk Istihsan : 1.) Istihsan Qiyasi, adalah suatu bentuk
pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang didasarkan kepada  qiyas
jali kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi,  karena
adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan hukum tesebut. Alasan kuat yang
dimaksud adalah kemaslahatan. Seperti pengangkata khalifah setrlah rosul
wafat. 2.) Istihsan Istisna'i, adalah qiyas dalam bentuk pengecualian dari
ketentuan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip khusus. Istihsan bentuk
kedua ini dibagi menjadi lima, yaitu:
1. Istihsan dengan nash. Maknanya adalah pengalihan hukum dari ketentuan
yang umum kepada ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, kaerna ada
nash yang mengecualikannya, baik nash tersebut Al-Qur’an atau Sunnah.
2. Istihsan dengan ijma’. Maknanya adalah terjadinya sebuah ijma’ baik yang
sharih maupun sukuti terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau
kaidah umum.
3. Istihsan dengan kedaruratan. Yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu
kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas,
demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan.
4. Istihsan dengan ‘urf atau konvensi yang umum berlaku. Artinya
meninggalkan apa yang menjadi konsekuensi qiyas menuju hukum lain yang

23
24

berbeda karena ‘urf yang umum berlaku baik ‘urf yang bersifat perkataan
maupun perbuatan.
25

5. Istihsan dengan maslahah al-mursalah. Yaitu mengecualikan ketentuan hukum


yang berlaku umum berdasarkan kemaslahatan, dengan memberlakukan
ketentuan lain yang memenuhi prinsip kemaslahatan.
Pada dasarnya al-maslahah adalah suatu gambaran dari meraih manfaat atau
menghindarkan kemudharatan. Tetapi bukan itu yang kami maksudkan, sebab meraih
manfaat dan menghindarkan kemudaratan tersebut adalah tujuan dan kemaslahatan
manusia dalam mencapai maksudnya. Yang kami maksudkan dengan al-maslahah
adalah memelihara tujuan-tujuan syara.
Bentuk-bentuk Maslahah yaitu : 1.) Al-Maslahah Al-Mu'tabarah (Al-Maslahah
yang terdapat kesaksian syara' dalam mengakui keberadaannya), Al-maslahah bentuk
pertama ini menjelma menjadi landasan dalam Qiyas, karena ia sama dengan al-
munasib ('illah yang merupakan al-maslahah) dalam pembahasan qiyas.
Semua ulama sepakat menyatakan, al-maslahah ini merupakan landasan hukum. 2.)
Al-Maslahah Al-Mulgha (Al-Maslahah yang terdapat kesaksian syara' yang
membatalkannya), Al-maslahah bentuk kedua ini adalah bathil, dalam arti tidak dapat
dijadikan sebagai landasan hukum karena ia bertentangan dengan nash. 3.) Al-
Maslahah yang tidak terdapat kesaksian syara'Al-maslahah bentuk ketiga ini
kemudian dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu: a.) Al-Maslahah Al-Gharibah, Yaitu
maslahah yang sama sekali tidak terdapat kesaksian syara' terhadapnya, baik yang
mengakui maupun yang menolaknya dalam bentuk macam atau jenis tindakan syara'.
b.) Al Maslahah Al-Mula'imah, Yaitu maslahah yang meskipun tidak terdapat nash
tertentu yang mengakuinya, tetapi ia sesuai dengan tujuan syara' dalam lingkup
umum. Maslahah ini disebut dengan al-maslahah al-mursalah.
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad bin Husain bin Hasan Al-Jizani, Mu‘alim Usul Al-Fiqh (Riyad}: Dar Ibnu Al-
Jauzi, 2008)
Drs. H Abd. Rahman Dahlan, M.A., Ushul Fiqh Cetakan pertama 2010.
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Al Huda Gema Insani, 2002)
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh (Jakarta: Penerbit Amzah, 2011),
Muhammad bin ‘Ali Al-Shaukani, Irshad al-Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq min‘ Ilmi Al-Usul, Jilid
2 (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1999),
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jilid 2 (Jakarta: Widya Cahaya, 2011),
T.M. Hasbi Al-Shidhieqy, Falsafah Hukum Islam, (Semarang : PT.Pustaka Rizki Putra,2001)
Romli SA, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, (Jakarta : Gaya Media Pratama,1999)
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, (Jakarta : PT. Pustaka Firdaus,1994), hlm 401.
Departemen Agama RI, Ushul Fiqih 1, (Jakarta : Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam,1986), hlm 142.

26

Anda mungkin juga menyukai