Anda di halaman 1dari 17

TUGAS KELOMPOK 7

MAKALAH

MENGENAL MAZHAB DAN URGENSI IJTIHAD

Dosen : Amirullah, S.Pd.I., MA.

Di susun oleh :

1. Muhamad Syawal Nurhidayat (2201015036)


2. Putri Zakiatun Nissa ( 2201015057 )

Tahun ajaran 2022


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang maha esa karena rahmat, karunia, taufik serta
hidyah-nya kami dapat menyelesaikan makalah ini yg berjudul “ijtihad” . makalah ini di buat untuk
memenuhi tugas mata kuliah agama islam dan kami mengucapkan banyak terimakasih kepada :

1. Pak Amirullah. S.Pd.I., MA selaku dosen mata kuliah agama islam.


2. Anggota kelompok kami yang telah berpartisipasi dalam mengerjakan penyusunan
makalah ini.

Semoga makalah ini dapat di pahami dan di mengerti bagi para pembacanya. Sebelumnya
kami mohon maaf apabila dalam menyusun makalah ini banyak kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat maupun menginspirasi terhadap
pembaca.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………….
DAFTAR ISI………………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………
A. Latar Belakang………………………………………………………...........
B. Rumusan Masalah………………………………………………..................
C. Tujuan Penelitian…………………………………………………………...
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………….
A. Pengertian Ijtihad…………………………………………………………..
B. Hukum Ijtihad………………………………………………………………
C. Ijtihad Merupakan Upaya Pengembangan Hukum
Islam………………………………………………………………………..
D. Perubahan Sosial Dan Implikasinya Terhadap Hukum Islam
………………………………………………………....................................
E. Syarat-syarat Ijtihad…………………………………………………….......
F. Macam-macam Ijtihad……………………………………………………...
G. Hal-hal yang perlu di perhatikan dalam Ijtihad……………………………..
BAB III PENUTUP……………………………………………………………….
A. Kesimpulan…………………………………………………………………
B. Saran………………………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

ijtihad tidak lepas dari cara kita menjalani kehidupan dan ijtihad sudah ada dari zaman
Rasulullah yang dimana beliau mujtahid pertama dalam Islam, lalu dilanjutkan oleh
sahabat-sahabatnya, terus para imam mazhab, mujtahid mazab, muqallid dan mujtahid.

di akhir abad dua puluh sampai sekarang, perkembangan islam mulai masuk babak baru.
Tumbuhnya kesadaran dari para ulama fikih yang berijtihad di Masir karena banyak
timbulnya masalah dalam abad modern yang tidak bisa dijawab dari fikih yang sudah
ada hingga mereka harus melakukan ijtihad dengan al-qur'an dan hadis sebagai sumber
hukum islam serta amal para salaf saleh.

sama halnya yang terjadi pada indonesia, masih banyak ulama fikih di indonesia yang
tidak lagi menentukan pada salah satu mazhab ketika melakukan ijtihad meskipun di
Indonesia mazhab yang dianut oleh kabanyakan umat islam adalah Mazhab Syafi'iyyah.
Bila menyangkut masalah kekinian dan masalah-masalah lainnya yang beragam, dengan
ulama fikih dan mujtahid di indonesia yang telah memenuhi empat pengelompokan
mujtahid bisa menjadi hasil ijtihad.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Ijtihad?
2. Apa hukum ijtahid?
3. Apa saja syarat-syarat Ijtihad?
4. Bagaimana macam-macam Ijtihad?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengertian ijtihad.
2. Untuk mengetahui hukum ijtihad.
3. Untuk mengetahui apa saja syarat ijtihad.
4. Untuk mengetahui apa saja macam ijtihad.
5. Untuk mengetahui Apa Saja hal-hal yang perlu diperhatikan dalam Ijtihad
BAB II
PEMABAHASAN

A. pengertian ijtihad
Ijtihad sebagai kata Arab berasal dari bahasa al-juhd, yang berarti althaqah (kemampuan) atau
dari kata al-jahd, yang berarti al-masyaqah (kesulitan, kesulitan). Sedangkan dari segi ishuliyah,
ijtihad adalah kemampuan terbesar untuk memperoleh pengetahuan tentang Syariah. Dalam arti
luas atau umum, ijtihad juga digunakan dalam bidang keagamaan lainnya. Misalnya, Ibn
Taymiyya menyebutkan bahwa ijtihad juga digunakan dalam Sufi dan bidang lainnya, dengan
mengatakan: "Pada dasarnya, mereka (Sufi) adalah mujtahid dalam hal ketaatan, sama seperti
mujtahid lainnya." "Pada dasarnya, Mereka (Sufi Basra). ) adalah mujtahidmujtahid dalam shalat
dan ahwal (sesuatu), seperti tetangga mereka di Kuffah, mereka juga mujtahidmujtahid dalam
hukum, administrasi negara dan lain-lain”.

B. Hukum Ijtihad
Para ahli ushul fiqh menetapkan bahwa ada tiga metode ijtihad, yaitu: fardhu `ain (harus untuk
semua), fardhu kifayah (cukup untuk sebagian) dan mandub (Sunnah). Tekad tersebut dapat
ditemukan dalam kitab Ihyā` `Ulūm ad-Dîn.
Jika timbul persoalan yang sangat mendesak untuk menentukan atau mencari kepastian hukum,
baik bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat, maka hukum ijtihad menjadi fardhu `ain. Jika
muncul pertanyaan dan diajukan kepada beberapa ulama untuk dijawab, dan jika salah satu dari
mereka memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, maka kewajiban mereka batal, hukum
ijtihad menjadi fardhu kifayah. Ijtihad menjadi mandub jika persoalan yang dicari kepastian
hukumnya belum mendesak, misalnya persoalan yang ditanyakan belum terjadi di masyarakat.

Al-Hadits
- Kata-kata Nabi s.a.w.: “ ijtihadlah kamu, karena tiap-tiap orang akan mudah mencapai
apa yang di peruntukan kepadanya” (Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 163)

- ‫بخاری ومسلم‬. ( ‫الحاكم اذا اجتهد فاصاب فله أجران وان جتهد فاخطأ فله أجر واحد‬

Dari Amr ibn al-'Ash: Bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda:

Jika seorang hakim mengadili dan berijtihad dan ternyata ia benar, maka ia mendapat dua
pahala, dan jika seorang hakim mengadili dan berijtihad ia benar, baginya satu pahala.
C. Ijtihad Merupakan Suatu Upaya Pengembangan Hukum Islam

Harun Nasution melihat pembaharuan dari konteks sosiohistoris. Menurutnya, wacana


“pembaharuan” dalam khazanah pemikiran Islam hampir identik dengan “modernisasi”. Ia
menyebutkan bahwa istilah modernisasi dan modernisme berasal dari barat. Modernisme dalam
masyarakat Barat mengandung pengertian pikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah
paham-paham, adat-istiadat institusi-institusi lama, dan sebagainya, untuk disesuaikan dengan
suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern.
Menurut Harun Nasution, pikiran dan aliran demikian segera memasuki lapangan hidup
keagamaan di Barat, yang bertujuan untuk menyesuaikan ajaranajaran yang terdapat dalam
agama khatolik dan protestan dengan ilmu pengetahuan dan falasafah modern, yang berakhir
dengan munculnya sekularisme di Barat. Lalu, dengan adanya kontak dunia Islam dengan barat
di awal abad ke-19, ide-ide demikian masuk pula ke dunia Islam, sehingga memunculkan pikiran
dan gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan pengembangan baru
yang di timbulkan oleh kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi modern.

Dari dua paradigma diatas terlihat bahwa paradigma pertama meninjau pembahruan secara
umum, yakni berupa ijtihad untuk mendapatkan solusi atas permasalahan-permasalahan baru
yang muncul dalam masyarakat, dan upaya ini dilakukan oleh mujtahid, yang muncul dalam
setiap generasi ummat. Sementara paradigma kedua melihat pembaharuan dari konteks sejarah,
di mana pada awal abad ke-19 telah terjadi perubahan kebudayaan manusia yang sangat
mendasar, yakni perubahan dari pola kehidupan agraris menjadi industrialis, yang menandai
perlalihan dari abad pertengan ke abad modern.14 Kemudian, jika pembaharuan tersebut ditarik
dalam konteks hukum Islam, maka yang dikatakan pembaharuan hukun Islam adalah upaya
melakukan penyesuaian-penyesuaian ajaran Islam di bidang hukum dengan kemajuan moden,
sehingga hukum Islam dapat menjawab persoalan yang muncul ditengah masyarakat yang
ditimbulkan oleh perubahan sosial, perkembangan ilmu-pengetahuan dan tekhnologi modern.

D. Perubahan Sosial Dan Implikasinya Terhadap Hukum Islam

Hidup bermasyarakat merupakan salah satu fitrah manusia yang telah dibawakan sejak lahir,
salah satu cirri kehidupan manusia adalah adanya perubahan yang konstan dalam masyarakat
tersebut.8 Disamping itu, manusia merupakan makhluk Allah yang paling mulia, bahkan saking
mulianya manusia, segala sesuatu yang ada di bumi ini diciptakan dan ditundukkan oleh Allah
agar dapat oleh manusia sebagai hamba dan khalifah. Untuk melaksanakan tanggung jawab
sebagai hamba dan khalifah, maka Allah memberikan karunia kepada manusia sesuatu yang
tidak diberikan kepada makhluk lainnya yaitu akal pikiran. Dengan akal pikiran tersebut,
manusia mampu berkembang dan mencapai kemajuan yang tidak pernah terbayangkan oleh
manusia sebelumnya baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun dalam bidang teknologi.

Kehidupan manusia pun selalu dinamis dan berkembang, tidak ada suatu masyarakat pun yang
berhenti pada suatu titik tertentu sepanjang masa, dari buktibukti sejarah ditemukan bahwa
kondisi masyarakat tidak dalam suatu kondisi tertentu, tetapi senantiasa berubah dan bergerak
maju, konstruk sosial yang tidak sama dengan kehidupan dimasa rasul, kemudian struktur sosial,
pranata sosial dan sistem sosial yang ada dan hidup dimasayarakat mulai ada sebuah pergeseran
dari masa ke masa.10 Tidak menutup kemungkinan akan ada sebuah permasalahan yang baru,
hal ini adalah menjadi sebuah kewajaran bahkan sebuah keharusan didalam kehidupan.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam sebuah masyarakat, dapat diamati bisa mengambil
bermacam-macam bentuk. Ada perubahan yang terjadi secara lambat (evolusi) dan ada yang
terjadi secara cepat (revolusi). Perubahan secara lambat terjadi secara sendirinya. Sebagai akibat
dari adaptasi masyarakat dengan lingkunganya.Sedangkan perubahan secara besar-besaran
adalah suatu perubahan yang sudah direncanakan. Kendati demikian perubahan cepat tidak dapat
diukur dengan tempo waktu terjadinya, karena sering kali memakan waktu yang lama.
Menurut James W. Vander Zanden, sosiolog dari Ohio State University, Amerika Serikat.
Terjadinya perubahan-perubahan itu diakibatkan beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut:
a. Bertambah atau berkurangnya penduduk dan perubahan ekosistem yang ada disekitar manusia.
b. Pengaruh kebudayaan masyarakat lain sebagai akibat interaksi budaya.
c. Watak masyarakat secara kolektif, gerakan dan revolusi sosial Tekhnologi dan modernitas.

Dari keempat faktor diatas, tekhnologi adalah yang banyak memberikan peran dalam proses
perubahan sosial masyarakat,Seiring dengan perkembangan tekhnologi, banyak memberi
pengaruh yang signifikan dalam kehidupan manusia, baik pengaruh positif maupun negatif dari
dampak tekhnologi tersebut. Diantara dampak positif yang ditimbulkan dari adanya tekhnologi
adalah kehidupan menjadi semakin mudah, jarak bukan menjadi sebuah halangan, dan
manusiapun semakin dimanjakan. Akan tetapi disisi lain, tekhnologi melahirkan berbagai
problem yang sangat kompleks, sehingga memerlukan suatu hukum yang akomodatif untuk
menyelesaikan dan memberikan jalan tengah dari problem-problem tersebut.

Dalam kondisi yang seperti ini, jika hukum yang berlaku (ius constitutum) tidak bisa
memberikan jawaban dari setiap masalah-masalah yang terjadi, selanjutnya akan menimbulkan
kekosongan hukum (rechtsvacuum) yang akan menimbulkan kondisi yang anarkis. Oleh karena
itu, hukum dituntut adaptip untuk mengikuti perkembangan zaman yang ada, begitu juga seorang
hakim dalam kondisi yang seperti ini ditantang untuk mengali hukum baru yang relevan dengan
perkembangan jawab untuk mengisi kekosongan tersebut, sehingga dirasa hukum itu bersifat
dinamis.12 Bagi setiap hakim dan orang yang concern terhadap perkembangan hukum Islam
dalam merespon dan mengakomodir perubahan dan kemajuan zaman tersebut, telah tersedia
suatu instrumen penemuan hukum yang disebut dengan ijtihad.

E. Syarat-syarat Mujtahid
1. Mengetahui segala ayat dan sunnah yang berhubungan dengan hukum.
2. Mengetahui masalah-masalah yang telah di ijma’kan oleh para ahlinya
3. Mengetahui Nasikh dan Mansukh.
4. Mengetahui bahasa arab dan ilmu-ilmunya secara sempurna.
5. Mengetahui ushul fiqh
6. Mengetahui rahasia-rahasia tasyrie’ (Asrarusyayari’ah).
7. Menghetahui kaidah-kaidah ushul fiqh
8. Mengetahui seluk beluk qiyas.

F. Macam-macam Ijtihad
1. Ijma'
Ijma' adalah kesepakatan atau persetujuan tentang hukum syara'
Peristiwa setelah wafatnya Rasul.
2. Qiyas
Qias yaitu menyamakan,membandingkan atau menetapkan hukum suatu kejadian
atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan yang telah ditetapkan
hukunya berdasarkan nash.
3. Ihtisan
Ihtisan yaitu menunggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa
atau kejadian yang diteapkan berdasarkan dalil dan syara’
4. Maslahah mursalah
Adalah suatu kemaslahatan.
5. Urf
Kebiasaan yang dikenal orang banyak dan menjadi tradisi.
6. Istishab
Menetapkan hukum terhadap sesuatu berdasar keadaan sebelumnya sehingga ada
dalil yang menyebut perubahan tersebut.

G. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Ijtihad


Menurut Abdul Wahhab Khallaf, para mujtahid perlu memperhatikan tiga hal dalam melakukan
ijtihad, yaitu:
Ijtihad tidak bisa dikelompokkan. Artinya para mujtahid bukan hanya ahli ijtihad dalam hukum-
hukum tertentu. Misalnya, hanya ahli hukum pidana yang melakukan ijtihad. Mujtahid harus ahli
ijtihad dalam semua Syariah.
Allah SWT memberikan pahala kepada mujtahid; jika ijtihadnya benar, dia akan menerima dua
pahala, satu untuk ijtihadnya dan satu lagi untuk keaslian ijtihadnya. Jika dia salah, dia akan
diberi imbalan atas ijtihadnya.
Hasil ijtihad mujtahid tidak dapat dibatalkan oleh hasil ijtihad mujtahid lain yang sejenis. Hal ini
karena ijtihad kedua tidak lebih kuat dari yang pertama, dan ijtihad yang bukan ulama mujtahidin
lebih layak untuk diikuti daripada ijtihad para mujtahid lainnya.

H. Fungsi Ijtihad
Imam syafi’I ra. (150-204 H) dalam kitabnya Ar-risalah ketika menggambarkan kesempurnaan
Al-Quran pernah menegaskan : “ maka tidak terjadi suatu peristiwa pun pada seorang pemeluk
agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya”.
Pernyataan syafi’I tersebut menginspirasikan bahwa hukum-hukum yang terkandung oleh Al-
quran yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan kegiatan ijtihad. Oleh
karena itu, Allah mewajibkan hambanya untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukum
dari sumbernya itu. Allah menguji ketaatan seseorang untuk melakukan ijtihad, sama halnya
seperti Allah menguji ketaatan hambanya dalam hal-hal yang diwajibkan lainnya.
Selanjutnya ijtihad memiliki banyak fungsi diantaranya :
1. Menguji kebenaran hadis yang tidak sampai ketingkat hadis mutawattir seperti hadis
ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas
pengertiannya sehingga tidak langsung dapat dipahami.
2. Berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-quran
dan sunah seperti dengan Qiyas, Istihsan, dan Maslahah mursalah. Ini penting, Karena
ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab
berbagai permasalahan yang terus berkembang dan bertambah dengan tidak terbatas
jumlah nya.

I. Ijtihad dalam Lintasan Sejarah

Ijtihad memiliki sejarah yang panjang dalam Islam. Bahkan, sejak Islam ada, ijtihad telah
menjadi aktivitas penting untuk memberikan kepastian dan pedoman bagi masyarakat awal
Islam. Bahkan sampai sekarang dan sampai akhir zaman, ijtihad tetap menempati posisi penting
dalam masyarakat Islam.
Dalam hal ini, ulama Hambaliyah mengatakan bahwa tidak boleh suatu periode kosong dari
seorang mujtahid yang memenuhi persyaratan-persyaratan ijtihad mutlaq. Sebab dengan
demikian, eksistensi Islam akan terus tejaga, terhindar dari berbagi upaya penyelewengan oleh
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Karenanya, Prof. Muhammad Abu Zahrah mengatakan bahwa sulit dimengerti mengapa ada
pihak yang dengan mudah menutup pintu ijtihad yang telah dibuka oleh Allah Swt. untuk
lapangan akal. Berikut ini, dijelaskan mengenai sejarah ijtihad dari zaman Rasulullah saw.
sampai zaman sekarang.
1. Ijtihad Zaman Rasulullah saw.
Rasulullah saw. adalah seorang mujtahid (ahli ijtihad) dengan sebutan “Mujtahid Pertama”.
Ijtihad beliau terbatas di dalam masalah-masalah yang belum ditetapkan hukumnya oleh wahyu
(al-Qur`an). Apabila hasil ijtihad Rasulullah saw. itu benar, maka turun wahyu
membenarkannya. Dan jika ijtihad Rasulullah saw. salah, turun wahyu untuk meluruskan
kesalahan itu.
Contoh ijtihad Rasulullah saw. yang salah ialah keputusannya tentang pemberian izin orang-
orang munafik untuk tidak ikut dalam peperangan. Kemudian turun QS. At-Taubah ayat 43-45
yang menyatakan kekeliruan ijtihad Rasulullah saw. tersebut.

2. Ijtihad Zaman Khulafa Ar-Rasyidun dan Sahabat


Pada zaman Khulafa Ar-Rasyidun, hukum Islam ditetapkan melalui al-Qur`an, Sunnah
Rasulullah saw., ijma`, dan ra`yu (pendapat). Ra`yu di sini identik dengan ijtihad dan tidak
terbatas pada analogi atau Qiyas saja, sebagaimana dikenal sekarang ini, tetapi mencakup juga
Istihsan, Al-Bara`ah Al-Ashliyah, Saddu Dzara`i, dan Mashlalah Mursalah.
Adanya ijma` dan ra`yu yang merupakan metode dalam berijtihad pada zaman ini karena dengan
wafatnya Rasulullah saw., wahyu dengan sendirinya tidak lagi diturunkan dan hadis juga tidak
lagi bertambah. Sementara itu, masalah-masalah yang dihadapi umat Islam terus bertambah dan
memerlukan ketentuan dan kepastian hukum. Pada masa Khalifah Abu Bakar, jika menghadapi
sesuatu persoalan dan tidak menemukan nashnya di dalam al-Qur`an dan al-Hadits, ia
mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah dan menentukan hukum dari masalah-
masalah itu (ijma`). Demikian pula pada masa Khalifah Umar bin Khattab, Khalifah Utsman bin
Affan, dan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Mereka menggunakan ijtihad terhadap masalah-masalah
yang tidak didapati dalilnya di dalam al-Qur`an dan al-Hadits. Akan tetapi, di antara keempat
Khalifah tersebut, hanya Khalifah Umar bin Khattab yang diketahui paling banyak memakai
ijtihad (dengan Ra`yu).
Selain empat khalifah di atas, sebagian sahabat lainnya juga dikenal sebagai ahli ijtihad atau
mujtahid dan bahkan diposisikan oleh umat Islam pada waktu itu sebagai mufti (pemberi fatwa
dari hasil ijtihadnya). Di kota Madinah, mufti-mufti dari kalangan sahabat yaitu: Zaid bin Tsabit,
Ubay bin Ka`ab, Abdullah bin Umar, dan Ibunda Siti Asiyah. Adapun di kota Makkah ialah
Abdul Islah bin Abbas. Di kota Kuffah ialah Abdullah bin Mas`ud. Di kota Bashrah ialah Abu
Musa Al-Asy`ari. Di kota Syam ialah Mu`adz bin Jabal dan Ubadah bin Shamit; dan di Mesir
ialah Abdullah bin Amr.
Jika dihitung, maka ada 130 orang sahabat yang ahli ijtihad dan dipercaya oleh umat Islam untuk
memberikan fatwa, termasuk yang sudah disebutkan di atas. Kebanyakan para sahabat tersebut
pada awalnya berdiam di Madinah, dan kemudian berpindah ke kota-kota lain. Karenanya, pada
permulaan ijtihad mereka bersifat ijtihad jama`iyah (bersama). Sesudah mereka pindah ke kota-
kota lain, barulah ijtihad mereka dilakukan secara perorangan (fardi).

3. Awal Abad Kedua Sampai Pertengahan Abad Keempat Hijriyah


Periode ini adalah periode para Imam Fikih yang memiliki pengaruh luas atau zaman Imam
Mazhab, yaitu Imam Malik, Imam Syafi`i, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad Ibn Hambal.
Selain empat mazhab ini, ada mazhab-mazhab lainnya di dunia Sunni yang pernah dikenal dan
kini telah lenyap, di antaranya yaitu: Mazhab Al-Auza’iy, Mazhab Ats-Tsauriy, Mazhab Al-
Laitsiy, Mazhab Dhahiriy, dan Mazhab Ath-Thabariy.
Lenyapnya mazhab-mazhab tersebut dari dunia Sunni karena disebabkan oleh beberapa hal, yang
utama adalah tidak adanya pengikut mazhab tersebut yang menyebarkan secara gencar, meluas,
dan mengakar di masyarakat Islam seperti pengikut mazhab yang empat.
Pada pertengahan abad keempat sampai jatuhnya Kota Baghdad di tahun 656 H, oleh para
pengikut mazhab, hukum Islam ditetapkan melalui tarjih, yaitu dengan men-tarjih pendapat-
pendapat yang bertentangan dalam mazhab.

4. Pertengahan Abad Ketujuh Sampai Awal Abad Dua Puluh


Adapun pada zaman pertengahan abad ketujuh sampai awal abad dua puluh, terjadi apa yang
disebut dengan pen-taklid-an, yaitu kewajiban untuk menyandarkan ijtihad kepada salah satu dari
empat mazhab, dengan kata lain pintu ijtihad telah tertutup. Seseorang yang berijtihad untuk
menetapkan suatu hukum tanpa bersumber dari salah satu empat mazhab tersebut telah dianggap
bid`ah.[34] Dalam tingkatan mujtahid sebagaimana yang dijelaskan di atas, mujtahid–mujtahid
yang muncul pada zaman ini kebanyakan adalah muhafiz dan muqallid. Sehingga, tidak ada yang
baru pada zaman tersebut, selain pemikiran-pemikiran atau pendapat yang semakin memperkuat
salah satu dari empat mazhab tersebut.

5. Abad Dua Puluh Sampai Sekarang


Seiring dengan kemajuan zaman dan semakin tingginya peradaban umat manusia yang ditandai
banyaknya penemuan-penemuan baru di segala aspek kehidupan yang tidak pernah ada di zaman
sebelumnya. Terkadang, penemuan-penemuan tersebut membentur persoalan-persoalan yang
telah ditetapkan oleh syari`at maupun fikih. Namun, terkadang pula penemuan-penemuan
tersebut membutuhkan jawaban dari syari`at Islam, khususnya dari ketetapan fikih karena sudah
menyangkut kepentingan umat Islam secara luas. Misalnya, seperti hukum bayi tabung, bank,
obligasi, cangkok organ tubuh, menikah melalui telepon, dan sebagainya.[36]
Dengan keadaan seperti di atas, dan agar syari`at Islam tetap menjadi jawaban bagi persoalan
umat manusia sampai akhir zaman, Fuqaha yang dipelopori ulama Mesir menggalakkan ijtihad
dengan merujuk pendapat ulama Hambaliyah bahwa tidak boleh ada periode kosong dari seorang
mujtahid yang memenuhi persyaratan-persyaratan ijtihad mutlaq. Bahkan Prof. Muhammad Abu
Zahrah, seorang ulama Mesir terkemuka, mengatakan:
“Sulit dimengerti mengapa ada orang yang dengan mudah menutup pintu ijtihad yang telah
dibuka oleh Allah untuk lapangan akal. Kalaulah ia berpendapat demikian, mana dalilnya, dan
mengapa ia melarang orang lain sementara memperbolehkannya untuk dirinya sendiri.
Penutupan pintu ijtihad akan menjauhkan masyarakat dari sumber-sumber hukum Islam yang
pertama: al-Kitab, as-Sunnah dan peninggalan-peninggalan salafus shalih, sehingga membawa
mereka yang berlebihan dalam bertaqlid kepada suatu pandangan bahwa penafsiran al-Qur`an
dan al-Hadits tidak perlu lagi setelah tertutupnya pintu ijtihad.”
Maka di zaman sekarang ini, ijtihad sudah menjadi kebutuhan yang tidak terpisahkan dengan
umat Islam itu sendiri. Bahkan banyak fatwa-fatwa yang merupakan hasil ijtihad dihasilkan
dengan nuansa lokal yang sangat kental. Hal ini dikarenakan umat Islam tidak lagi hidup dalam
sistem kekhalifahan (satu pemerintahan), tetapi dengan konsep negara bangsa (nation-state),
terlebih Islam telah dipeluk oleh banyak etnis, bangsa, dan dengan banyak kepentingan politik,
sosial, dan ekonomi. Sehingga, mau tidak mau, sangat mempengaruhi Islam dari segi
kebudayaan dan peradaban dan juga mempengaruhi ijtihad yang dihasilkan.

J. Kriteria Mujtahid
Seseorang yang menggeluti bidang fiqh tidak bisa sampai ke tingkat mujtahid kecuali dengan
memenuhi beberapa syarat, sebagian persyaratan itu ada yang telah disepakati, dan sebagian
yang lain masih diperdebatkan. Adapun syarat-syarat yang telah disepakati adalah:
a.Mengetahui al-Quran
Al-Qur’an adalh sumber hukum Islam primer di mana sebagai fondasi dasar hukum Islam. Oleh
karena itu, seorang mujtahid harus mengetahui al-Qur’an secara mendalam. Barangsiapa yang
tidak mengerti al-Qur’an sudah tentu ia tidak mengerti syariat Islam secara utuh. Mengerti al-
Qur’an tidak cukup dengan piawai membaca, tetapi juga bisa melihat bagaimana al-Qur’an
memberi cakupan terhadap ayat-ayat hukum. Misalnya al-Ghazali memberi syarat seorang
mujtahid harus tahu ayat-ayat ahkam berjumlah sekitar 500 ayat.

-Mengetahui Asbab al-nuzul


Mengetahui sebab turunnya ayat termasuk dalam salah satu syarat mengatahui al-Qur’an secara
komprehensif, bukan hanya pada tataran teks tetapi juga akan mengetahui secara sosial-
psikologis. Sebab dengan mengetahui sebab-sebab turunnya ayat akan memberi analisis yang
komprehensif untuk memahami maksud diturunkannya teks Quran tersebut kepada manusia.
Imam as-Syatibi dalam bukunya al-Muwafaqaat mengatakan bahwa mengetahui sebab turunnya
ayat adalah suatu keharusan bagi orang yang hendak memahami al-Qur’an. Pertama, suatu
pembicaraan akan berbeda pengertiannya menurut perbedaan keadaan. Kedua, tidak mengetahui
sebab turunnya ayat bisa menyeret dalam keraguan dan kesulitan dan juga bisa membawa pada
pemahaman global terhadap nash yang bersifat lahir sehingga sering menimbulkan perselisihan.

- Mengetahui nasikh dan mansukh


Pada dasarnya hal ini bertujuan untuk menghindari agar jangan sampai berdalih menguatkan
suatu hukum dengan ayat yang sebenarnya telah dinasikhkan dan tidak bisa dipergunakan untuk
dalil.

b.Mengetahui as-sunnah
Syarat mujtahid selanjutnya adalah ia harus mengetahui as-Sunnah. Yang dimaksudkan as-
Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau ketentuan yang diriwayatkan dari Nabi SAW.

-Mengetahui ilmu diroyah hadits


Ilmu diroyah menurut al-Ghazali adalah mengetahui riwayat dan memisahkan hadis yang shahih
dari yang rusak dan hadis yang bisa diterima dari hadis yang ditolak. Seorang mujtahid harus
mengetahui pokok-pokok hadis dan ilmunya, mengenai ilmu tentang para perawi hadis, syarat-
syarat diterima atau sebab-sebab ditolaknya suatu hadis, tingkatan kata dalam menetapkan adil
dan cacatnya seorang perawi hadis, dan lain hal-hal yang tercakup dalam ilmu hadis, kemudian
mengaplikasikan pengetahuan tadi dalam menggunakan hadis sebagai dasar hukum.
-Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh
Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh ini dimaksudkan agar seorang mujtahid jangan
sampai berpegang pada suatu hadis yang sudah jelas dihapus hukumnya dan tidak boleh
dipergunakan. Seperti hadis yang membolehkan nikah mut’ah di mana hadis tersebut sudah
dinasakh secara pasti oleh hadis-hadis lain.

- Mengetahui asbab al-wurud hadis


Syarat ini sama dengan seorang mujtahid yang seharusnya menguasai asbab al-nuzul, yakni
mengetahui setiap kondisi, situasi, lokus, serta tempus hadis tersebut ada.

c.Mengetahui bahasa Arab


Seorang mujtahid wajib mengetahui bahasa Arab dalam rangka agar penguasaannya pada objek
kajian lebih mendalam, teks otoritatif Islam menggunakan bahasa Arab. Hal ini tidak lepas dari
bahwa teks otoritatif Islam itu diturunkan menggunakan bahasa Arab.

d.Mengetahui tempat-tempat ijma’


Bagi seorang mujtahid, harus mengetahui hukum-hukum yang telah disepakati oleh para ulama,
sehingga tidak terjerumus memberi fatwa yang bertentangan dengan hasil ijma’. Sebagaimana ia
harus mengetahui nash-nash dalil guna menghindari fatwa yang berseberangan dengan nash
tersebut.Namun menurut hemat penulis, seorang mujtahid bisa bertentangan dengan ijma’ para
ulama selama hasil ijtihadnya maslahat bagi manusia.

e.Mengetahui ushul fiqh


Di antara ilmu yang harus dikuasai oleh mujtahid adalah ilmu ushul fiqh, yaitu suatu ilmu yang
telah diciptakan oleh para fuqaha utuk meletakkan kaidah-kaidah dan cara untuk mengambil
istimbat hukum dari nash dan mencocokkan cara pengambilan hukum yang tidak ada nash
hukumnya. Dalam ushul fiqh, mujtahid juga dituntut untuk memahami qiyas sebagai modal
pengambilan ketetapan hukum.

f.Mengetahui maksud dan tujuan syariah


Sesungguhnya syariat Islam diturunkan untuk melindungi dan memelihara kepentingan manusia.
Pemeliharaan ini dikategorikan dalam tiga tingkatan maslahat, yakni dlaruriyyat (apabila
dilanggar akan mengancam jiwa, agama, harta, akal, dan keturunan), hajiyyat (kelapangan hidup,
missal memberi rukshah dalam kesulitan), dan tahsiniat (pelengkap yang terdiri dari kebiasaan
dan akhlak yang baik).

g. Mengenal manusia dan kehidupan sekitarnya


Seorang mujtahid harus mengetahui tentang keadaan zamannya, masyarakat, problemnya, aliran
ideologinya, politiknya, agamanya dan mengenal hubungan masyarakatnya dengan masyarakat
lain serta sejauh mana interaksi saling mempengaruhi antara masyarakat tersebut.

h. Bersifat adil dan taqwa


Hal ini bertujuan agar produk hukum yang telah diformulasikan oleh mujtahid benar-benar
proporsional karena memiliki sifat adil, jauh dari kepentingan politik dalam istinmbat hukumnya.

i. Adapun ketentuan-ketentuan yang masih dipersilihkan adalah mengetahui ilmu ushuluddin,


ilmu mantiq, dan mengetahui cabang-cabang fiqh.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ijtihad membutuhkan waktu,


sementara persoalan umat datang silih berganti tanpa mengenal waktu. Karenanya, ijtihad
merupakan sesuatu yang tidak bisa dihentikan atau ditutup. Dengan kata lain, ijtihad
tetap memiliki urgensi, tetap diperlukan oleh umat Islam untuk menjawab persoalan-
persoalan kekinian yang datang silih berganti.

B. Saran

Inilah yang dapat kami paparkan dalam makalah ini yang tentunya pembahasan tentang
ijtihad. Kami berharap semoga makalah ini sanagat bermanfaat untuk kami khususnya
dan pembaca umumnya.
DAFTAR PUSTAKA

• Husein, Ibrahim, Ijtihad dalam Sorotan, Bandung, Mizan, 1991


• Khallaf, Abdul Wahhab, Ushul Ak-Fiqh, Kuwait, Dar Al-Kuwaitiyah, 1969
• Madzkur, Muhammad Sallam, Al-Madkhal li Al-Fiqh Al-Islami, Cairo, Dar Al-
Nahdlah Al-Arabiyah, 1960
• Muchtar, Kamal dkk, Ushul Fiqh, Jilid II, Yogyakarta, Dana Bhakti Wakaf, 1995
• Muhaimin dkk, Dimensi-dimensi Studi Islam, Surabaya, Karya Abditama, 1994
• Al-Qardhawi, Yusuf, Ijtihad Al-Mua’ashir bain Indlibathl wa Al-Infirathl, Cairo,
• Dar Al-Tanzi wa Al-Basyr Al-Islamiyah, 1993
• Al-Saayis, Syaikh Muhammad Ali, Nasy’at Al-Fiqh Al-Ijtihadi wa Athwaruhu,
• Alih vahasa oeh M. Ali Hasan, Jakarta, Raja Grafindo Oersada, 1995
• Ash-Shiddiqy, M. Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta, Bulan Bintang, 1993
• Umari, Nadiyah, Al-Ijtihad fi Al-Islam, Ushuluhu, Afaquhu, Bairut, Muassasah
• Risalah, 1991
• Yanggo, Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Madzhab, Ciputat, Logos
• Wacana Ilmu, 1997
• Zuhaili, Wahbah, Al-Wasith fi Ushul Al-Fiqh Al-Islami,t,tp., t.th
• Zuhdi, Masyfuk, Ijtihad dan Problematikanya dalam Memasuki Abad XV H.
• Surabaya, Bina Ilmu
• ----------, Pengantar Hukum Syari’ah, Jakarta, CV. Haji Masaguna
• Muhammad Musa, Sayyed, Al-Ijtihad wa Madza Hujjatuna Ilaihi fi Hadza al-‘Asr
• Mesir dar al-Kutub Al-Haditsah, T.th.
• Muhammad Al-Huduri, Sayyid, Ilmu Ushul Fiqh, Bairut: Dar Al-Fikr, 1995
• Al-Amidi, Al-Ahkam, juz IV, Cairo: Dar Al-Nahdara al-Arabiyah, 1986

Anda mungkin juga menyukai