Anda di halaman 1dari 27

IJTIHAD DAN DINAMIKA PEMIKIRAN ISLAM

Dosen Pembimbing : Ibnu Rozali S.Pd.I., M.Pd

Disusun Oleh:
Kelompok 6 (Enam)

1. M. Adrian Sulistyo (2220202119)


2. M. Rizki (2220202122)
3. Makmur Zakaria (2220202127)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya


sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terimakasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh
lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Palembang, 9 September 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................2
C. Tujuan...........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A. Pengertian Ijtihad..........................................................................................3
B. Pengertian Hukum Islam...............................................................................4
C. Ijtihad dan Dinamika Pemikiran hukum Islam.............................................4
D. Objek atau Wilayah Ijtihad...........................................................................7
E. Hukum Melakukan Ijtihad............................................................................7
F. Fungsi Ijtihad................................................................................................8
G. Metode- metode berijtihad............................................................................9
H. Periode Ijtihad.............................................................................................12
I. Metode Ijtihad 4 Imam Mazhab..................................................................15
J. Kedudukan Ijtihad Dalam Studi Keislaman................................................19

BAB III PENUTUP..............................................................................................20


1. Kesimpulan.................................................................................................20
2. Saran-saran..................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................21

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemikiran hukum Islam yang merupakan produk pemikiran ulama-ulama
terdahulu bukanlah merupakan hal yang  tidak perlu diperbaharui.
Sebaliknya, hasil pemikiran yang tidak sesuai dengan zaman kekinian perlu
ditinjau ulang dan ini menunjukkan bahwa daya lentur dan dinamika
pemikiran tersebut kurang mampu mempertahan-kan diri dalam
perkembangan zaman.

Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika pergumulan hukum Islam


dengan dinamika masyarakat selalu menimbulkan pertanyaan ulang terhadap
produk-produk pemikiran ulama terdahulu, terutama jika dikaitkan dengan
masalah dewasa ini yang semakin kompleks dan luas. Salah satu masalah
yang mendasar adalah apakah hukum Islam mampu mengantisipasi
perkembangan dinamika masyarakat atau tidak? Dalam konteks ini tentunya
dibutuhkan terobosan baru dalam perumusan hukum Islam. Salah satu
terobosan tersebut adalah mengin-tegrasikan pemikiran hukum Islam dan
dinamika masyarakat yang terus berkembang. Permasalahan tersebut akan
dibahas dalam makalah ini dengan terfokus pada masalah “bagaimana
pemikiran hukum Islam dan ijtihad di dalam dinamika pemikiran hukum
islam tersebut?.

iv
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi atau pengertian Ijtihad?

2. Apa yang dimaksud dengan hukum islam ?

3. Bagaimana penjelasam menngenai Ijtihad dan dinamika pemikiran hukum


islam?

C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami definisi Ijtihad.

2. Mengerti maksud dari hukum Islam.

3. Mengerti dan Memahami bagaimana kaitan  Ijtihad dan dinamika


Perkembangan hukum Islam.

v
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad
Ijtihad adalah sendi Islam yang ke tiga, Sesudah Al-Quran dan Sunnah.
Menurut harfiah Ijtihad berasal dari kata Ijtihada, Artinya mencurahkan
tenaga, memeras pikiran, berusaha bersungguh-sungguh, bekerjasemaksimal
mungkin.1

Adapun definisi ijtihad secara umum adalah aktifitas untuk memperoleh


pengetahuan hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syari’at. Dengan kata
lain ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih ( Pakar
Fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum melalui dalil
syara’ (agama ).2

Orang yang melakukan Ijtihad  disebut Mujtahid  dan Ijtihad merupakan


salah satu dasar daripada hukum Islam sesudah Al-Quran dan Sunnah. Al-
quran dan Sunnah sebagai dua sumber ajaran Islam maka ijtihad berfungsi
sebagai alat penggeraknya, tanpa daya ijtihad kedua sumber itu
menjadi lumpuh.Sebab itu ijtihad menjadi sumber tambahan dalam Islam.

Maka dari itu ijtihad menjadi bukti bagi manusia bahwa Islam selalu
memberikan pintu terbuka intelek manusia yang selalu mencari-cari bukan
saja diperkenankan bahkan ijtihad itu diperintahkan.3

1
Nasrudin Rrazak, Dienul Islam, ( Bandung: PT. Alma Arif, 1985 ), hlm. 107
2
Juhana S. Praja, Ilmu Ushul Fikih,( Bandung: Pustaka Setia, 2010 ), hlm . 99
3
Nasrudi Rrazak, Op.Cit, hlm 108
vi
Sabda Rasul:
”Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad, kemudian
ia benar, maka ia mendapatkan dua pahala, tetapi Al-Quran apabila ia
menetapkan hukum dalam berijtihad itu dan dia salah, maka ia
mendapatkan satu pahala.” (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, dan
Ahmad dari Amr Ibnu Ash).4

B. Pengertian Hukum Islam


Syariat menurut bahasa berarti jalan. Syariat menurut istilah berarti
hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umat-Nya yang dibawa oleh
seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (Aqidah)
maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan Amaliyah.5

C. Ijtihad dan Dinamika Pemikiran hukum Islam


Ijtihad akan selalu berkembang. Perkembangan itu berkaitan dengan
perbuatan manusia yang selalu berubah-rubah.

Ijtihad perlu  dilakukan oleh orang yang memenuhi syarat dari masa ke
masa, karena Islam dan umat Islam berkembang dari zaman ke zaman sesuai
dengan perkembangan masyarakat. Dalam masyarakat itu senantiasa muncul
masalah-masalah yang perlu dipecahkan.Dengan ijtihad hukum Islam dapat
dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan umat Islam di setiap zaman.

Contohnya saja dalam kehidupan kita sekarang ini, banyak sekali


permasalahan yang kita hadapi yang memang memerlukan ijtihad itu sendiri.
Salah satunya adalah , masalah jual beli dengan akan atau tidak dengan
akad.6

4
Abdul Mujib dkk, Kawasan dan Wawasan Stud Islam, ( Jakarta: Kencana, 2007 ), cet.2, hlm. 181
5
“Pengertian Hukum islam, syariat islam, dalam
http://hk-islam.blogspot.com/2008/09/pengertian-hukum-islam-syariat-islam.html diakses pada
(08/09/2022)
6
Juhana S. Praja, Ilmu Ushul Fikih, ( Bandung: Pustaka Setia, 2010 ), cet. 4,  hlm. 100

vii
Dari perkembanan model transaksi jual beli di Indonesia, akan dijumpai
beberapa formulasi. Dalam masyarakat tradisional model akad jual dilakukan
dengan dimulai tawar-menawar, kemudian terjadi kesepakatan kedua pihak,
maka tukar-menukar  barang atau jual beli tanpa memperhatikan lafaz akad.
Berbeda dengan masyarakat tradisional, adalah masyarakat modern yang jual
belinya dilakukan di Supermarket, Mal, dan Swalayan, yang disana tidak
terdapat tawar menawar, melainkan harga sudah tertera di barangnya, dan
tanpa akad.

 Dari model transaksi jual beli tersebut bagaimana dalam perspektif


hukum Islam, maka Al-Dihlawi menjelaskan bahwa prinsip dalam jual beli
adalah adanya perasaan suka sama suka antara penjual dan pembeli dan jual
beli tidak dilakukan dengan akad yang batil.7

Prinsip ini diambil dari QS. An-Nisa :29

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta


sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
(QS. An-Nisa :29).

Dalam menyikapi ayat tersebut, Al-Dihlawi mengatakan Allah


mengharamkan sebagian kita memakan harta sebagian yang lain dengan cara
yang batil. Batil disini mengandung makna memakan barang dengan tanpa
ada transaksi atau akad atau dengan akad yang haram seperti riba.8

7
 Ibid, hlm.172
8
 Ibid, hlm. 173

viii
Menurut  Dr. Asnawi Mahfudz. M.Ag, metode al-dihlawi dapat
dikembangkan dalam berbagai bentuk transaksi. Seiring dengan kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi telah mempercepat arus transportasi,
komunikasi dan informasi, sehingga membawa dampak dalam dunia bisnis.
Jual beli jarak jauh sudah menjadi kebiasaan yang berlaku di dunia bisnis.

Dalam hal ini penjual dan pembeli tidak memperhatikan lagi masalah
ijab dan qabul secara lisan, tetapi cukup dengan perantara kertas-kertas
berharga, seperti, cek, dan, sebagainya.9 Jika jawaban Al-dihlawi
dikembangkan akan diperoleh jawaban bahwa jual beli yang demikian adalah
sah dan tidak melanggar etika bisnis dalam ajaran Islam, karena melalui
penukaran kertas-kertas berharga dari pihak pembeli dan barang dari pihak
penjual telah terungkap rasa suka sama suka antar penjual dan pembeli. Cara
demikian sudah dipandang memenuhi kriteria  akad jual beli.10

Syarat-syarat ijtihad atau syarat- syarat yang harus dimiliki Mujtahid


sebagai berikut:

1. Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-
Quran, baik menurut bahasa maupun Syariah.

2. Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik menurut


bahasa maupun syariah.

3. Mengetahui nasakh dan mansukh dari Al-Quran dan As-Sunah, supaya


tidak salah dalam menetapkan hukum.

4. Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ‘ijma ulama,


sehingga ijtihad-nya idak bertentangan dengan Ijma.

5. Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan


dengan bahasa, serta berbagai problematikanya.

9
 Ibid, hlm. 174
10
 Ibid, hlm. 175

ix
6. Mengetahui Ilmu Ushul Fiqih yang merupakan fondasi ijtihad.
D. Objek atau Wilayah Ijtihad
Objek ijtihad dalam pandangan ulama salaf terbatas dengan masalah-
masalah fiqhiyah namun pada akhirnya objek tersebut mengembang pada
aspek keislaman yang mencakup akidah, filsafat, tasawuf dan fikih. Karena
itu, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam “ I’lam al- Muwaqi’in ” menerangkan
bahwa haram hukumnya memberikan fatwa yang menyalahi nash, bahwa
ijtihad menjadi gugur  jika ditemukan nash. Dalam kaitan wilayah ijtihad
ustadz Muhamman al-Madani dalam bukunya “ Mawathin al- Ijtihad fi al-
syariah al- Islamiyyah ” menyatakan dalam masalah hukum terbagi dua
yaitu:11

1) Masalah Qath’iyah

Masalah-masalah yang sudah ditetapkan hukumnya dengan dail-dalil


yang pasti, baik melalui dalil aqli. Hukum Qat’iyah sudah pasti berlaku
sepanjang masa sehingga tidak mungkin adanya perubahan. Masalah
Qat’iyah diantaranya yaitu: Masalah Akidah, dan masalah ‘Amali,

2) Masalah Zhanniyah

Masalah-masalah yang hukumnya belum jelas dalil Nash nya.12

E. Hukum Melakukan Ijtihad


Adapun Hukum Melakukan ijtihad itu sendiri, sebagai berikut:
Para ulama membagi hukum melakukan ijtihad dengan tiga bagian, yaitu:

1. Wajib ‘ain, yaitu bagi mereka yang dimintai fatwa hukum mengenai
suatu peristiwa yang terjadi, dan ia dikhawatirkan peristiwa itu lenyap
tanpa ada kepastian hukumnya, atau dia sendiri mengalami suatu
peristiwa dan ia ingin mengetahui hukumnya.
11
Abdul Mujib dkk, Kawasan  dan Wawasan Studi Islam, ( Jakarta: Kencana, 2007 ), cet. 2, hlm.
193
12
 Ibid, hlm. 194

x
2. Wajib kifayah, yaitu bagi orang yang dimintai fatwa hukum mengenai
suatu peristiwa yang tidak dikhawatirkan lenyap peristiwa itu, sedaang
selain dia masih terdapat mujtahid-mujtahid lainnya.

3. Sunnah, yaitu apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang


belum atau tidak terjadi.

Ketiga hukum di atas sebenarnya telah menggambarkan urgensi ijtihad,


karena dengan ijtihad dapat mendinamisir hukum Islam dan mengoreksi
kekeliruan dan kekhilafan dari ijtihad yang lalu, Abu Bakar al-Baqillani
menyatakan bahwa bahwa setiap ijtihad harus diorientasikan kepada tajdi
(Pembaharuan), karena setiap periode memiliki ciri sendiri sehingga
menentukan perubahan hukum.

Namun demikian, tidak semua hasil ijtihad merupakan pembaharuan bagi


ijtihad yang lama, Sebab adakalanya hasil ijtihad yang baru sama dengan
ijtihad yang lama, sekalipun berbeda hasil ijtihad yang baru tidak dapat
merubah status ijtihad yang lama ( ijtihad itu tidak dapat dibatalkan dengan
ijtihad pula).

F. Fungsi Ijtihad
Dilihat lebih lanjut, fungsi ijtihad sendiri terbagi atas 3 macam, yaitu:

1. Fungsi al-ruju’ atau al-I’adah ( kembali ), yaitu mengembalikan ajaran


Islam kepada sumber pokok, yakni Al-Quran dan Sunnah.

2. Fungsi al-ihya’ ( kehidupan ), yaitu menghidupkan kembali bagian-


bagian daari nilai dan semangat ajaran islam agar mampu menjawab dan
menghadapi tantangan zaman.

3. Fungsi al-inabah( pembenahan ), yakni membenahi ajaran-ajaran Islam


yang telah diijtihadi oleh ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya
kesalah menurut konteks zaman, dan tempat yang kini kita hadapi. 13
G. Metode- metode berijtihad
13
Ibid,  hlm. 181
xi
Ada beberapa metode atau cara untuk melakukan ijtihad, baik ijtihad
dilakukan sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain.
Diantaranya adalah sebagai berikut: Ijma’, Qiyas, Istidlal, Al-Maslahah,
Mursalah, Istihsan, Istishab, Urf.

a. Ijma’

Secara umum, ijma menurut istilah diartikan sebagai kebulatan pendapat


seluruh ahli ijtihad sesudah wafatnya Rasullallah SAW pada suatu masa atas
sesuatu hukum syara’. Pada masa awal penerapan ijma, kegiatan ijma hanya
dilakukan oleh para khilafah dan petinggi negara. Sehingga hasil
musyawarah mereka kemudian dianggap sebagai perwakilan atas pendapat
dari masyarakat atau umat muslim. Contoh Ijma’: Diadakannya adzan dan
iqomah dua kali di sholat Jumat, dan mulai diterapkan pada masa
kepemimpinan Ustman bin Affan. 

b. Qiyas

Pengertian qiyas secara bahasa merupakan tindakan mengukur sesuatu


atas sesuatu lainnya dan kemudian disamakan. Secara istilah qiyas adalah
menetapkan hukum terhadap sesuatu perbuatan yang belum ada
ketentuannya dan didasarkan pada sesuatu yang sudah ada ketentuannya.
Contoh qiyas : Penerima wasiat yang membunuh pewasiat terhalang untuk
mendapatkan wasiat. Hal ini diqiyaskan dengan ketentuan ahli waris yang
membunuh pewaris terhalang untuk mendapatkan warisan sesuai hadis
Rasulullah SAW, “Orang yang melakukan pembunuhan, tidak mendapatkan
pusaka.”14

c. Istidlal
14
Ridwan Karim, “Ijma Dan Qiyas: Pengertian, Jenis, Dan Contoh,” Deepublishstore.Com, 2022,
https://deepublishstore.com/materi/ijma-dan-qiyas/.
xii
Secara bahasa, kata istidlal berasal dari kata istadalla yang berarti minta
petunjuk, memperoleh dalil, dan menarik kesimpulan. Imam al-Dimyathi
memberikan arti istidlal secara umum, yakni mencari dalil untuk mencapai
tujuan yang diminta. Menurut arti ini, istidlal berangkat dari kasus yang
dicari keputusan hukumnya. Dalam proses pencarian, mula-mula al-Qur’an
menjadi rujukan pertama. Jika tidak ditemukan jawaban di dalamnya, maka
al-Sunnah menjadi alternatif kedua. Jika tidak ditemukan jawabannya, Ijma’
menjadi pilihan ketiga, kemudian Qiyas pilihan berikutnya. Apabila keempat
dalil yang telah disepakati ulama tersebut belum bisa membuat keputusan
hukum, maka upaya berikutnya adalah mencari dalil yang diperselisihkan
para ulama, seperti istihsan, mashlahah mursalah, dan lain sebagainya.
Contoh istidlal : Jumlah hari pada setiap bulan komariah adalah tidak lebih
dari tiga puluh hari.15

d. Al-Maslahah Mursalah

Maslahah Mursalah adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan


pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan
bagi manusia, Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan
dengan tujuan syara' dalam menetapkan hukum, Apa yang baik menurut akal
dan selaras pula dengan tujuan syara' tersebut. Contoh : Pencatatan
perkawinan dalam surat resmi, tujuannya agar menjadi maslahat untuk
sahnya gugatan dalam perkawinan, pembagian harta, nafkah, dan lain
sebagainya.16

15
Fikri Amiruddin, “Pengertian Istidlal Dalam Hukum Islam,” Fikriamiruddin.Com, 2020,
https://www.fikriamiruddin.com/2020/07/pengertian-istidlal.html.
16
Saepul Aziz, “Maslahah Mursalah Dalam Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Islam,”
Jabar.Kemenag.Co.Id, 2020, https://jabar.kemenag.go.id/portal/read/maslahah-mursalah-dalam-
kedudukannya-sebagai-sumber-hukum-islam.
xiii
e. Istihsan

Istihsan adalah menurut bahasa berarti menganggap baik, sedangkan


menurut istilah, istihsan adalah meninggalkan qiyas yang nyata untuk
menjalankan qiyas yang tidak nyata (samar-samar) atau meninggalkan
hukum kulli (umum) untuk menjalankan hukum istina’i (pengecualian)
disebabkan ada dalil yang menurut logika  membenarkannya. Contoh : sisa
minuman burung buas, seperti elang, burung gagak dan sebagainya adalah
suci dan halal diminum.17

f. Istishab

Istishab adalah apa yang sudah tetap keberadaannya pada masa yang
awal, sehingga tetap berlaku pada masa yang mendatang, sampai ada dalil
yang akan merubahnya. Istishab merupakan kembali kepada hukum yang
asal, ketika tidak dalil khusus yang mengaturnya, berdasarkan ‘illah yang
ada. Contoh : Bila seseorang pinjam uang kepada kita. Lalu kita maupun dia
ragu-ragu. Sudah bayar hutang atau belum. Maka kita kembali kepada
keadaan yang awal. Keadaan yang tidak diragukan. Bahwa dia berhutang.
Selama tidak ada bukti bahwa dia sudah bayar, maka dia dihukumi belum
bayar.

g. Urf

Urf adalah Sesuatu yang telah bersemayam dalam hati nurani


berdasarkan pertimbangan akal yang sehat, serta bisa diterima oleh naluri
yang fitrah, atau kita biasa menyebutnya: Adat-istiadat yang baik ataupun
kebiasaan yang terpuji. Contoh : Bila seseorang menjadi perantara atas
transaksi bisnis, maka dia berhak memperoleh imbalan. Misalnya jual-beli
tanah. Biasanya antara dua sampai tiga persen. Dasar hak atas jasa itu adalah
adat atau tradisi. Besaran jasa antara dua sampai dua persen itu juga adat atau
kebiasaan di daerah di mana transaksi itu berlangsung.18
17
Prof. DR. Mukhtar Yahya dan Prof. DR. Fatchurrahman. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih
Islami. (Bandung: PT. Al- Ma’arif, 1986) hlm. 100
18
Ahda Bina, “’Urf: Pengertian, Contoh, Syarat, Macam, Dan Kedudukan,” Ahdabina.Com, 2022,
https://www.ahdabina.com/urf-pengertian-contoh-macam-macam-dan-kedudukannya/.
xiv
Jika ijtihad dengan metodenya di atas mampu dikembangkan oleh
manusia muslim yang memenuhi syarat secara baik dan benar, tidak ada
masalah yang timbul dalam masyarakat yang tidak dapat dipecahkan dan
ditentukan hukumnya. Hukum pun meliputi semua ciptaan-Nya itu. Hanya
ada yang jelas sebagaimana yang ‘ tersurat’ dalam al-quran, adapula yang
‘tersirat’ di balik hukum yang tersurat dalam Al-quran itu. Selain yang
tersurat dan tersirat itu, ada lagi hukum Allah yang ‘tersembunyi’ di balik 
Al-quran. Hukum yang tersirat dan tersembunyi inilah yang harus dicari,
digali dan ditemukan oleh manusia yang memenuhi syarat melaui
penalarannya. Pada hukum tersurat yang bersifat Zhanni dalam Al-Quran dan
As-Sunnah itulah ijtihad manusia yang memenuhi syarat berperan mengikuti
perkembangan masyarakat manusia, memenuhi hukum dan mengatasi
masalah yang timbul sebagai akibat perkembangan zaman, ilmu,dan
teknologi yang diciptakannya.19

Untuk menemukan hukum yang tersirat dan tersembunyi tersebut di atas


diperlukan wawasan yang jelas dan kemampuan untuk mencari dan menggali
tujuan Allah menciptakan hukum-hukum-Nya.Tujuan Allah menciptakan
dan menetapkan hukumn-Nya adalah untuk keselamatan atau kemaslahatan
hidup manusia,baik kemaslahatan itu berupa manfaat maupun untuk
menghindari mudharat bagi kehidupan manusia.20

H. Periode Ijtihad
Ijtihad selalu dilakukan dari fase ke fase, yakni mulai dari fase nabi
Muhammad saw, fase sahabat, dan fase-fase berikutnya. Yang fase-fase
tersebut penjelasannya terdapat dalam.21

19
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, ( Jakarta: PT. Grafindo Pertsada, 2011 ), cet. 16, hlm.  124
20
Ibid, hlm. 125
21
 Abdul Mujib dkk, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, ( Jakarta: Kencana, 2007 ), cet.2, hlm.
182
xv
Tahap pertumbuhan dan perkembangan hukum islam sebagai berikut:

Masa Nabi Muhammad (610M-632M) Pada masa ini nabi Muhammad


berijtihad dengan memecahkan masalah yang timbul pada masanya dengan
sebaik-baiknya, meletakkan dasar-dasar budaya yang kemudian berkembang
menjadi budaya Islam.22

Nabi Muhammad juga berfikir memecahkan masalah yang sulit


mengenai warisan, maka turunlah ayat mengenai warisan, merubah
kedudukan janda dan anak-anak perempuan dalam pembagian harta
peninggalan suami dan ayahnya yang awalnya mereka tidak mendapatkan
harta dan warisan.23

Masa Khulafaur Rasyidin ( 632 M – 662 M )

A. Khalifah Abu Bakar


Pada masa ini, khalifah pertama ( Abu Bakar As-Siddiq ),
memecahkan permasalah hukum yang timbul dalam masyarakat. Mula-
mula pemecahan masalah itu dicarinya dalam Al Quran apabila tidak
terdapat disana maka beliau mencarinya dalam Sunnah nabi.pada masa
ini juga telah diletakkan dasar-dasar pengembangan hukum Islam.

B. Khalifah Umar bin Khattab

Setelah Abu Bakar meninggal Khalifah Umar menggantikan dan


dalam ijtihadnya beliau mengikuti cara Abu Bakar dalam menemukan
hukum. Dengan demikian khalifah Umar terkenal dengan keberanian dan
kebijaksanaannya dalam menerapkan ketentuan hukum yang terdapat
dalam Al-quran untuk mengatasi suatu masalah yang timbul dalam
masyarakat berdasarkan kemaslahatan atau kepentingan umum. Dalam
keputusan beliau disebut ijtihad.

22
Muhammad Daud Ali, Op.Cit, hlm. 164
23
Ibid, hlm.  168
xvi
Di antara tindakan ijtihad yang dilakukan oleh khalifah Umar tersebut
sebagai berikut:

Talak tiga yang di ucapkan sekaligus disuatu tempat kepada si


wanita. Yang bertujuan untuk melindungi kaum wanita dari
penyalahgunaaan hak talak yang berada di tangan pria,agar berhati-hati
menggunakan hak talak itu dan tidak mudah mengucapkan talak tiga.

C. Khalifah Usman Bin Affan

Pada masa pemerintahan Usman bin Affan ini, beliau memperluas


daerah Islam, mengkodefikasikan Al-Quran,membentuk panitia untuk
menyalin naskah Al-Quran.

D. Khalifah Ali bin Abu Thalib

Pada masa ini, khalifah Ali memecahkan pesoalan antara Sunni dan
Syiah, mengenai perbedaan pendapat masalah politik, masalah
pemahaman akidah, dan pelaksanaan ibadah. Masa Pengembangan dan
Pembukuan Periode Ijtihad dan kemajuan bersamaan masanya dengan
periode kemajuan Islam I, 700-1000 M. Periode ini disebut juga periode
pengumpulan hadis, ijtihad atau fatwa sahabat dan tabiin( generasi
sesudai sahabat).24

Pada masa inilah timbul empat mazhab dalam hukum Islam, yaitu:
1. ImamAbu Hanifah

2. ImamMalik

3. ImamSyafii

4. Imam Ahmad Ibnu Hambal.25

24
 Nasution Razak, Islam Ditinjau dari Berbagai aspeknya jilid II , ( Jakarta: universitas
Indonesia, 2002 ), cet. 2, hlm. 6
25
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, ( Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2000 ), cet. 5, hlm. 256
xvii
I. Metode Ijtihad 4 Imam Mazhab

Ijtihad pada imam mazhab ini merupakan ijtihad pengembangan dari masa
tabi’in dengan cara meletakkan dasar dan prinsip-prinsip pokok dalam
berijtihad yang kemudian disebut “ushul”. Langka dan metode yang mereka
tempuh dalam berijtihad melahirkan kaidah-kaidah umum yang dijadikan
pedoman oleh generasi berikutnya dalam mengembangkan pendapat
pendahulunya.

1. Metode ijtihad Imam Syafi’i

Dalam buku Ushul Fiqih Mazhab Asy-Syafii karya Teuku Khairul Fazil
dijelaskan, Imam Syafii dalam karya yang ditekankan langsung kepada
muridnya, Rabin bin Sulaiman, mengidentikkan ijtihad dengan qiyas. Beliau
menyimpulkan bahwa ijtihad adalah qiyas. Namun demikian pada titik lain,
dia menolak tegas metode istihsan karena metode tersebut merupakan
pemikiran yang dianggap hanya berdasarkan pemikiran bebas manusia atas
dasar kepentingan perilaku individual.
Syarat-syarat ijtihad yang dirumuskan Imam Syafii dalam kitab Ar-Risalah
misalnya, sampai saat ini terus dipakai oleh pakar-pakar hukum Islam.
Siapapun yang ingin berijtiad harus memenuhi syarat-syarat yang ada di
dalamnya. Di antaranya adalah harus mengetahui bahasa Arab, materi huum
Alquran, bahasa yang bersifat umum dan khusus, serta mengetahui teori
nasakh dan mansukh. Kemudian seorang ahli fiqih juga harus bisa
menggunakan sunah dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran yang tegas dan
jelas. Ketika dia tidak menemukan sunnah, maka dia harus mengetahui adanya
kesepakatan (konsesus) yang mungkin menginformasikan kasus-kasus yang
ada. Adapun metode ijtihad Imam Syafii yakni dengan rujukan utama Alquran
dan sunah, ijma, dan qiyas.26

2. Metode ijtihad Imam Maliki

26
Imas Damayanti, Metode yang Digunakan Imam Syafii dalam Ijtihad Hukum,
https://www.republika.co.id/berita/qcrrn8320/metode-yang-digunakan-imam-syafii-dalam-ijtihad-
hukum#:~:text=Adapun%20metode%20ijtihad%20Imam%20Syafii,sunah%2C%20ijma%2C
%20dan%20qiyas. Diakses pada tanggal 2 Desember 2022 pkl 19:14
xviii
Metode dan sumber hukum yang menjadi ciri khas yang bagi mazhab
Maliki adalah 'Amal Ahlul Madinah. Madinah juga menjadi tempat Nabi
mempraktikkan keberagamaan yang bisa ditiru generasi selanjutnya. Imam
Malik menyebutkan praktik ahli Madinah sebagai sumber hukum merupakan
tradisi penduduk Madinah yang dianggap sangat dekat dengan masa
Rasulullah.

Jika praktik masyarakat Madinah lebih sebagai respons atas sunnah nabi,
maka tradisi dalam hukum merupakan sumber hukum Islam. Bagi Imam
Malik, tidak semua tradisi sesuai dengan spirit hukum Islam. Tradisi (urf)
yang dianggap sesuai adalah tradisi yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai
syariah. Mazhab Maliki meski dikenal sebagai ahl al-hadis, tetap memiliki
formula hukum jika menemukan masalah yang tak ada rujukannya dalam
Alquran maupun hadis nabi.

Formula itu adalah istislah (berlandaskan kemaslahatan). Formula ini


merupakan cara untuk keluar dari pemahaman hukum yang tekstual. Formula
istislah melihat seluruh hukum harus didasarkan kepada kemaslahatan
legitimatif (mu'tabarah). Yaitu, semua hukum yang tidak diterangkan dalam
ayat, tapi maslahat, maka hukum itu dinilai benar alias legitimatif. Pandangan
ini mengakomodasi tujuan sebuah hukum yang tidak ada kejelasan dan
perinciannya dalam Alquran dan hadis. Walau Imam Malik dikenal sebagai
pemimpin kaum muslimin di bidang hadis (Amir al-Mu'minin fil hadits ), tapi
beberapa fatwanya sangat mementingkan aspek kemaslahatan.27

3. Metode ijtihad Imam Hanafi


27
Sandy Nurdiansyah, Metode fikih dalam Mazhab Maliki, https://lokadata.id/artikel/metode-
fikih-dalam-mazhab-maliki Diakses pada tanggal 2 Desember 2022 pkl 19:24
xix
Madzhab Abu Hanifah mendasarkan madzhabnya pada al-Qur’an, sunnah,
ijma’, qiyas, dan istihsan. Dalam hal ini beliau berkata, “Saya memberikan
hukum berdasarkan al-Qur’an. Apabila tidak saya jumpai dalam al-Qur’an,
maka saya gunakan hadits Rasulullah. Jika tidak ada dalam keduanya (al-
Qur’an dan hadits) saya dasarkan pada pendapat para sahabat. Saya berpegang
pada pendapat salah satu sahabat yang lebih kuat, dan jika tidak ada pendapat
sahabat maka saya akan berijtihad”.

Cara beliau berijtihad dan menggunakan pikiran terlihat dari bagaimana


beliau memposisikan al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, dan istihsan. Ada
sebagian kalangan yang menyangka bahwa Imam Abu Hanifah itu sedikit
perbendaharaan haditsnya dan beliau tidak meriwayatkan kecuali 17 hadits
saja. Ternyata ini adalah pendapat yang salah, karena yang benar adalah
bahwa beliau meriwayatkan hadits secara sendiri 215 hadits selain yang
dikeluarkan secara berserikat bersama imam-imam lain. Ibnu Hajar al-
Asqalani berkata dalam kitabnya Ta’zîl al-Manfaah bin Zawâ’id Rijâl al-
A’immah al-Arba’ah, “Adapun musnad Imam Abu Hanifah itu bukanlah hasil
dari pengumpulannya, dan hadits-hadits yang datang dari Imam Abu Hanifah
itu terkumpul dalam kitab al-Atsar yang diriwayatkan Muhammad bin al-
Hasan dari beliau. Dalam karangan-karangan Muhammad bin al-Hasan dan
Abu Yusuf sebelumnya didapati juga hadits dari Abu Hanifah lainnya.” Abu
al-Muayid Muhammad bin Mahmud al-Khawarizmi (w. 650 H) telah
mengumpulkan musnad Abu Hanifah, dicetak di Mesir pada tahun 1326 H,
hampir mencapai 8000 halaman besar, yang dikutipnya dari 15 musnad yang
dikumpulkan dari karya Imam Abu Hanifah lalu para ulama hadits berpaling
padanya. Musnad-musnad ini dikumpulkan menurut susunan bab fiqih.28

4. Metode ijtihad Imam Hambali

28
Abdurrahman Kasdi, “Metode Ijtihad Dan Karakteristik Fiqih Abu Hanifah,” Yudisia 5, no. 2
(2014): hlm. 220-221.
xx
Metode yang dikembangkan oleh ahmad bin hambal adalah metode
Dialektika hal ini dapat kita lihat cara beliau menjelaskan tentang suatu
hukum, Fiqih Imam Ahmad menjelaskan tentang syarat-syarat penegakan
sanksi potong tangan. Dari sisi pelaku pencurian, syarat-syarat yang meski
dipenuhi adalah pencurinya sudah mukallaf, dapat memilih, merdeka, dan
budak pemilik, meskipun Syubhat.Sedangkan syarat dari segi benda adalah
benda yang dicurinya berupa harta dan sudah mencapai nishab. Menurut
Ahmad ibn Hambal, nishab harta curian yang pencurinya harus dikenai sanksi
potong tangan adalah ¼ dinar atau 3 Dirham.
Dalam bidang pemerintahan Imam Ahmad berpendapat bahwa khalifah
yang memimpin adalah dari kalangan Quraisy sedangkan taat kepada khalifah
adalah mutlak. Imam Ahmad berpendapat : “Mendengarkan dan taat kepada
para imam dan amirul mu’minin (adalah wajib), baik ia seorang yang baik
maupun Fajir”.
Dalam bidang Mu’amalah, terutama tentang Khiyar al-Majlis.Imam
Ahmad berpendapat bahwa jual beli belum dianggap lazim (meskipun telah
terjadi ijab dan qabul) apabila penjual dan pembeli masih dalam satu ruangan
yang di tempat itu akad dilakukan.Apabila keduanya atau salah satunya tidak
di tempat itu lagi (berpisah) maka akad sudah lazim. Alasannya adalah hadist
riwayat Nafi’ dan ‘Abdullah ibn Umar r.a yang menyatakan bahwa nabi
Muhammad Saw bersabda : “Setiap penjual dan pembeli mempunyai hak
khiyar (pilih) selama keduanya belum berpisah “29

J. Kedudukan Ijtihad Dalam Studi Keislaman

29
Tarbiyah, Ijtihad Imam Hanbali, https://tarbiyyah-blog.blogspot.com/2012/05/ijtihad-imam-
hanbali.html Diakses pada tanggal 2 Desember 2022 pkl 20:01
xxi
Ijtihad sangat penting dalam studi keislaman, karena materi ijtihad akan
sangat berguna bagi seorang pelajar untuk mencari tahu ataupun mengetahui
semua hal yang tidak dijelaskan di dalam Al-Qur’an dan Hadits, baik itu dari
hal ibadah maupun hukum.
Dengan berijtihad, maka suatu hukum akan mudah dipahami dan
digunakan oleh semua orang untuk mengatasi kebingungan yang terjadi
karena tidak adanya suatu dalil yang jelas dalam sumber-sumber Islam.
Ijtihad memiliki kedudukan yang lumayan tinggi dalam studi keislaman,
karena kedua hal ini seperti saling berhubungan satu sama lain, ijtihad dapat
membuat suatu perbandingan antara pendapat yang satu dengan pendapat yang
lain, hal ini dapat mempermudah setiap orang untuk mengikuti pendapat yang
sesuai dengan kebutuhan ataupun kemampuan seseorang itu sendiri.
Dalam studi keislaman, ijtihad tidak dapat dikesampingkan, karena ijtihad
ini sangat penting untuk dipelajari dan dipahami agar tidak menimbulkan
kesalahpahaman atas perbedaan pendapat dari ulama-ulama tentang hukum-
hukum yang telah ditetapkan dan disepakati oleh banyak ulama.

BAB III
PENUTUP
xxii
1. Kesimpulan
Ijtihad adalah pengerahan  segala kesanggupan seorang  faqih untuk
memperoleh pengetahuan tentang hukum melalui dalil syara’. Al-quran dan
Sunnah sebagai dua sumber ajaran Islam maka ijtihad berfungsi sebagai alat
penggeraknya, tanpa daya ijtihad kedua sumber itu
menjadi lumpuh.Sebab itu ijtihad menjadi sumber tambahan dalam Islam.
Maka dari itu ijtihad menjadi bukti bagi manusia bahwa Islam selalu
memberikan pintu terbuka intelek manusia. Kemudian dalam hukum Islam,
setiap ajaran hukum Islam sangat diperlukan agar tidak termakan oleh waktu
serta mampu menjawab tantangan zaman.Dengan berpedoman kepada
kemaslahatan manusia para mujtahid akan dapat selalu mengikuti dan
mengendalikan perkembangan masyarakat, menemukan hukum bagi satu
masalah baru.

2. Saran-saran
Dari beberapa penjelasan di atas tentang penulisan Ijtihad dan Dinamika
Pemikiran Hukum Islam pasti tidak terlepas dari kesalahan penulisan dan
rangkaian kalimat dan penyusunan Makalah ini menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan seperti yang diharapkan oleh para pembaca
dalam khususnya pembimbing mata kuliah Pengantar Studi Islam. oleh
karena itu penulis makalah ini mengharap kepada para pembaca mahasiswa
dan dosen pembimbing mata kuliah ini terdapat kritik dan saran yang
sifatnya membangun dalam terselesainya makalah yang selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

xxiii
Nurdin, Rosnawi. (2011). pemikiran hukum Islam dan Dinamika Masyarakat
kontemporer http://jurnaltahkim.wordpress.com diakses pada(08/09/2022)
Razak, Nasrudin. (1985). , Dienul Islam. Bandung: PT. Alma Arif

Daud Ali, Muhammad. 2011. Hukum Islam. Jakarta : Grafindo Pertsada

Razak, Nasution. 2000. Metodologi Studi Islam. Jakarta : Grafindo Persada

Mujib, Abdul. Dkk. (2007). Kawasan dan Wawasan Studi Islam. Jakarta:
Kencana
Pengertian Hukum Islam. (2011) Syariat Islam.
http://hk-islam.blogspot.com/2008/09/pengertian-hukum-islam-syariat-
islam.html diakses pada (08/09/2022)
Nata, Abudin. 2000. Metodologi Studi Islam. Jakarta : Grafindo Persada

S. Praja, Juhana. (2010). Ilmu Ushul Fikih. Bandung: Pustaka Setia

Yahya, Mukhtar. dan Fatchurrahman. (1986). Dasar-Dasar Pembinaan Hukum


Fiqih Islami. Bandung: PT. Al- Ma’arif
Damayanti, Imas. “Metode yang Digunakan Imam Syafii dalam Ijtihad Hukum”,
https://www.republika.co.id/berita/qcrrn8320/metode-yang-digunakan-
imam-syafii-dalam-ijtihad-hukum#:~:text=Adapun%20metode%20ijtihad
%20Imam%20Syafii,sunah%2C%20ijma%2C%20dan%20qiyas. Diakses
pada tanggal 2 Desember 2022 pkl 19:14

Nurdiansyah, Sandy. “Metode fikih dalam Mazhab Maliki”,


https://lokadata.id/artikel/metode-fikih-dalam-mazhab-maliki Diakses
pada tanggal 2 Desember 2022 pkl 19:24

Tarbiyah, “Ijtihad Imam Hanbali”,


https://tarbiyyah-blog.blogspot.com/2012/05/ijtihad-imam-hanbali.html
Diakses pada tanggal 2 Desember 2022 pkl 20:01

Amiruddin, Fikri. “Pengertian Istidlal Dalam Hukum Islam.”


Fikriamiruddin.Com, 2020.
https://www.fikriamiruddin.com/2020/07/pengertian-istidlal.html.

Aziz, Saepul. “Maslahah Mursalah Dalam Kedudukannya Sebagai Sumber

xxiv
Hukum Islam.” Jabar.Kemenag.Co.Id, 2020.
https://jabar.kemenag.go.id/portal/read/maslahah-mursalah-dalam-
kedudukannya-sebagai-sumber-hukum-islam.

Bina, Ahda. “’Urf: Pengertian, Contoh, Syarat, Macam, Dan Kedudukan.”


Ahdabina.Com, 2022. https://www.ahdabina.com/urf-pengertian-contoh-
macam-macam-dan-kedudukannya/.

Karim, Ridwan. “Ijma Dan Qiyas: Pengertian, Jenis, Dan Contoh.”


Deepublishstore.Com, 2022. https://deepublishstore.com/materi/ijma-dan-
qiyas/.

Kasdi, Abdurrahman. “Metode Ijtihad Dan Karakteristik Fiqih Abu Hanifah.”


Yudisia 5, no. 2 (2014): 216–35.

xxv
HASIL DISKUSI

Nama Anggota : M. Adrian Sulistyo (2220202119)


: M. Rizki (2220202122)
: Makmur Zakaria (2220202127)
Kelompok : 6 (enam)

Pertanyaan-pertanyaan :
1. Apa yang dimaksud dengan hukum Islam ? (Restu kelompok 13)
2. Apa dampak positif berijtihad menurut kalian ? (Annisa kelompok 11)
3. Bagaimana kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum dibandingkan Al-
Qur’an dan Hadits ? (Winda kelompok 9)
4. Jelaskan apa itu dalil nash ? (Ikbal kelompok 1)
5. Perbuatan manusia yang seperti apa yang dapat membuat ijtihad itu
berkembang ? (Aulia kelompok 10)
6. Apa yang menjadi dasar pengambilan hukum Islam ? (Irhas kelompok 3)
7. Bagaimana peranan ijtihad dalam pengembangan hukum Islam ? (Maul
kelompok 9)
8. Mengapa ijtihad dijadikan alat pengembangan hukum dalam Islam ?
(Cindy kelompok 13)

Jawaban :
1. Definisi hukum Islam adalah syariat yang berarti aturan yang diadakan
oleh Allah untuk umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi SAW,
baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah)
maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah
(perbuatan) yang dilakukan oleh umat Muslim semuanya.

2. Ijtihad dapat membantu umat muslim saat menghadapi masalah yang


belum ada hukumnya dalam agama Islam. Ijtihad berguna untuk
menyesuaikan hukum yang berlaku dalam Islam. Agar hukum tersebut
sesuai dengan waktu, keadaan, serta pekembangan zaman.

xxvi
3. Kedudukan ijtihad dapat dikatakan sejajar dengan hukum Islam lainnya,
yakni Alquran dan sunnah. Sangat penting adanya bagi umat muslim
untuk memahami kedudukan ijtihad sebagai tambahan pengetahuan
tentang islam. Agar tidak ada kesalahpahaman dalam mendalami ijtihad
tersebut. Dengan adanya ijtihad, diharapkan Islam mampu menjadi agama
yang luwes, dinamis, fleksibel sesuai dengan dinamika zaman.

4. Dalil Nash adalah Dalil naqli yang bersumber dari al-Qur’an, ini
merupakan dalil yang sudah jelas dan kebenarannya tidak diragukan lagi,
karena berasal dari Allah SWT dan dijamin kemurnian atau keasliannya.

5. Sejak wafatnya Rasulullah SAW. Manusia banyak melakukan hal-hal baru


yang belum ada hukumnya dalam Al-Qur’an dan Hadits, dengan
banyaknya perbuatan-perbuatan baru tersebut membuat ijtihad ulama
menjadi semakin berkembang sampai saat ini.

6. Sumber hukum Islam merupakan suatu rujukan, landasan atau dasar yang
utama dalam pengambilan hukum. Ada 4 sumber hukum Islam yang
dijadikan pedoman bagi umat Islam yakni, Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan
Qiyas.

7. Peran nya sangat penting. karena melihat semakin kompleks nya


permasalahan yg muncul di berbagai bidang karena efek perkembangan
zaman, sedangkan hukum akan permasalahan tersebut belum ada. maka
diperlukan lah ijtihad guna menemukan hukum Islam terkait dengan
permasalahan tersebut.

8. Ijtihad dijadikan sebagai alat pengembangan hukum dalam Islam karena


untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan
hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada
suatu waktu tertentu. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid"dan
Mujtahid itu adalah orang yang melakukan ijtihad

Menambahkan jawaban:
1. Riza
2. Maulina
3. Salman

xxvii

Anda mungkin juga menyukai