Anda di halaman 1dari 18

KONSEP IJTIHAD SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kajian Fatwa Hukum Ekonomi
Dosen Pengampu: Noorhidayah, S.H.,M.

MAKALAH

Disusun Oleh Kelompok 2:


Muh Ridlo Fahmi 1860101223267
Zahratunisa‟ 1860101223274
Syifa Niharul Mahamida 1860101223285

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH
TULUNGAGUNG 2024

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga
makalah ini dapat terselesaikan. Shalawat dan salam semoga senantiasa abadi tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang telah mengantarkan manusia dari zaman jahiliyah ke
zaman yang terang benderang.
Makalah ini dibuat guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Kajian Fatwa Hukum
Ekonomi. Dengan bantuan beberapa pihak, makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Abd. Aziz, M.Pd.I. selaku Rektor UIN Sayyid Ali Rahmatullah
Tulungagung.
2. Bapak Prof. Dr. H. Ahmad Muhtadi Anshori, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syariah
dan Ilmu Hukum UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
3. Ibu Dr. Dian Ferricha, S.H., M.Hum. selaku Ketua Jurusan Hukum Ekonomi Syariah
UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
4. Ibu Noorhidayat, S.H.,M.A. selaku dosen pengampu mata kuliah Kajian Fatwa Hukum
Ekonomi yang telah memberikan pengarahan dalam penulisan makalah ini.
5. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan laporan penelitian ini.
Dengan penuh harap semoga jasa kebaikan mereka diterima Allah SWT dan tercatat
sebagai amal shalih. Akhirnya, makalah ini penulis suguhkan kepada segenap pembaca,
dengan harapan adanya saran dan kritik yang bersifat konstruktif demi perbaikan. Semoga
karya ini bermanfaat dan mendapat ridha Allah SWT.
Tulungagung, 25 Februari 2024

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................................. 1
B. Rumusan masalah ............................................................................................................ 2
C. Tujuan penulisan .............................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep dan Pengertian Ijtihad ......................................................................................... 3
B. Rukun dan Syarat-Syarat Ijtihad ...................................................................................... 4
C. Lapangan Ijtihad dan Tingkatan Mujtahid ....................................................................... 7
D. Kedudukan Ijtihad dalam Hukum Islam ......................................................................... 8
E. Pembagian Ijtihad .......................................................................................................... 10
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Permasalahan hukum syara' atau ibadah didalam kehidupan perlu dikritisi lebih
mendalam. Untuk itu, Al-Qur'an, sunnah, ijma dan qiyas sebagai kunci ulama untuk
memecahkan permasalahan yang terjadi. Disamping itu, ijtihad juga diperlukan oleh
ulama untuk memecahkan suatu permasalahan. Maka dari itu, ulama membuat
terobosan atau langkah langkah melakukan ijtihad sebagai solusi penyelesaian
masalah-masalah yang dihadapi umat Islam.
Pada masa sekarang, ijtihad menjadi penyebab banyaknya perbedaan madzab
dalam hukum islam. Misalnya, muncul aliran seperti Islam liberal, fundamental,
ekstremis, moderat, dan lain sebagainya. Semua itu tidak lepas dari ijtihad yang sudah
ditentukan oleh mujtahid dalam menentukan hukum yang terbaik. Justru dengan
adanya ijtihad, islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel sesuai dengan dinamika zaman.
Dengan ijtihat, syariat islam menjadi "tidak bisu" dalam menghadapi
problematika kehidupan yang kian kompleks. Dengan demikian, ijtihad merupakan
salah satu cara untuk mengetahui suatu hukum melalui dalil-dalil al-Qur‟an dan al-
hadis dengan jalan istinbat. Sedangkan mujtahid adalah ahli fikih yang menghabiskan
atau mengerahkan seluruh kemampuannya guna mendapatkan persangkaan yang kuat
terhadap suatu hukum agama. Sehingga, sudah sepatutnya untuk kita berterima kasih
kepada para mujtahid yang sudah mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran untuk
menggali lebih dalam hukum mengenai masalah-masalah yang dihadapi oleh umat
Islam. Guna membatasi pembahasan, penulis akan menyampaikan materi mengenai
konsep dan pengertian ijtihad, rukun dan syarat-syarat ijtihad, lapangan ijtihad dan
tingkatan mujtahid, kedudukan ijtihad dalam hukum islam, serta pembagian ijtihad.

1
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana Konsep dan Pengertian Ijtihad?
2. Bagaimana Rukun dan Syarat-Syarat Ijtihad?
3. Bagaimana Lapangan Ijtihad dan Tingkatan Mujtahid?
4. Bagaimana Kedudukan Ijtihad dalam Hukum Islam?
5. Bagaimana Pembagian Ijtihad?

C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui Konsep dan Pengertian Ijtihad
2. Untuk mengetahui Rukun dan Syarat-Syarat Ijtihad
3. Untuk mengetahui Lapangan Ijtihad dan Tingkatan Mujtahid
4. Untuk mengetahui Kedudukan Ijtihad dalam Hukum Islam
5. Untuk mengetahui Pembagian Ijtihad

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep dan Pengertian Ijtihat


Secara bahasa Ijtihad berarti upaya sungguh-sungguh atau maksimal dalam
melakukan suatu tindakan dan perbuatan. Kata ijtihad hanya boleh digunakan dalam
persoalan-persoalan yang memang sulit, baik sulit secara hissi (fisik) seperti suatu
perjalanan, atau persoalan yang sulit secara ma’nawi (nonfisik) seperti penelaahan
teori ilmiah atau upaya mengisbatkan hukum.
Pengertian ijtihad secara bahasa memiliki relevansi yang kuat dengan
pengertian ijtihad secara istilah, hal ini berkaitan dengan arti sungguh-sungguh dalam
melakukan segala sesuatu. Terdapat pengertian ijtihad secara istilah yang
dikemukakan oleh beberapa ulama yakni:1
1 al-Ghazali
Beliau mengungkapkan ijtihad secara umum merupakan pengerahan
kemampuan oleh mujtahid dalam mencari pengetahuan dengan hukum syara’. Dalam
arti yang sempurna (al-tamm), menurut al-Ghazali pengertian ijtihad harus ditambah
dengan pernyataan “perasaan kurang mampu untuk mencari tambahan kemampuan”.
2 al-Amidi
Bagi al-Amidi ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari
hukum syara’ yang bersifat zanni.
3 al-Syaukani
Dalam bukunya Irsyad al-Fukhul, Beliau mengatakan bahwa ijtihad adalah
pencurahan kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ yang bersifat
operasional,‟amail melalui upaya istinbat (penggalian) hukum.

1
Gibtiah, Fiqih Kontemporer, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), cet. 1, hal. 18-21

3
Dari pengertian istilah yang diungkapkan oleh al-Ghazali dan al-amidi
menyebutkan persyaratan “perasaan kurang mampu untuk mencari tambahan
kemampuan” yang mana hal ini mengacu pada sikap kehati-hatian seseorang dalam
melakukan ijtihad hukum, dilain pihak hal ini menunjukkan betapa beratnya
persyaratan yang harus dimiliki seseorang yang akan melakukan ijtihad.
Dari Batasan ketiga ulama diatas, apabila dikaitkan dengan pengertian yang di
kemukakan oleh al-Syatibi, yang muncul setelah al-ghazali dan al-Amidi, dan jauh
sebelum al-Syaukani. Pengertian tersebut mengatakan bahwa ijtihad adalah
pengerahan kesungguhan dengan usaha yang optimal dalam menggalihukum syara‟.
Dari apa yang diungkapkan oleh al-Syatibi, tampaknya mengharuskan adanya usaha
maksimal mujtahid, akan tetapi mujtahid tersebut tidak harus menanggung beban
psikologis dengan perasaan lemahnya kemampuan yang Ia miliki. Walaupun batasan
dari al-Syatibi mengacu pada kemungkinan bentuk lain dari ijtihad, namun batasan
yang diberikan oleh al-Ghazali dan al-Amidi masih memberikan pemisahan objek
ijtihad dari bidang keilmuan.
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwasannya
Ijtihad secara istilah berarti pengerahan segala kemampuan berpikir yang dilakukan
oleh seorang ahli dalam bidang keilmuannya dalam rangka mendapatkan sebuah
pengetahuan hukum syara’ melalui penggunaan hukum syara’ yang telah di akui.2

B. Rukun dan Syarat-Syarat Ijtihad


a Rukun Ijihad
Rukun merupakan dasar untuk melakukan sesuatu yang harus dikerjakan
sebelum memulai pekerjaan. Rukun Ijtihad dibagi menjadi 4, antara lain :
1. Al-Waqi‟, adalah kasus atau persoalan yang begitu keras menimpa, akan tetapi
hal tersebut belum diterangkan dalam nash, sehingga wilayah ijtihad tidak
sebatas masalah yang terjadi, tetapi juga mencakup masalah-masalah yang
belum terjadi, baik yang terpikirkan, tak terpikirkan, atau belum terpikirkan.

2
Safi‟, Muwaffiq Jufri, dan Ansori, Filsafat Hukum, (Kencana: Jakarta, 2023), cet. 1, hal. 170

4
2. Mujtahid, adalah seseorang yang melakukan ijihad yang memiliki kompetensi
berijtihad dengan syarat-syarat tertentu.
3. Mujtahid Fih, adalah hukum-hukum syariah yang bersifat amali atau taklifi
4. Dalil Syara‟, adalah penentuan suatu hukum bagi mujtahid3

b Syarat – Syarat Ijtihad


Seseorang bisa disebut sebagai seorang mujtahid dan diperkenankan untuk
berijtihad apabila memenuhi syarat-syarat berijtihad, antara lain :
1. Mengetahui bahasa Arab dengan segala seginya, termasuk Nahwu, Sharaf,
Balaghah, Fiqh Lughah, Adab al-jahily, dan Mantiq
2. Mengetahui Al-Qur‟an, baik hukum-hukum, ayat-ayat, sebab-sebab turunya,
cara pengambilan hukum dari ayat tersebut dan berbagai tafsirnya dari berbagai
ahli tafsir, dan mengetahui pendapat jumhur ulama. Jumhur ulama tidak
mensyaratkan seorang mujtahid bisa hafal Al-Qur‟an akan tetapi cukup
mengetahui letak-letak ayat yang digunakan, sehingga mempermudah untuk
meneliti kembali bila diperlukan. Namun, Ibnu Arabi membatasi hafal Al-
Qur‟an sebanyak 500 ayat
3. Mengetahui Hadist Rasulullah SAW, berhubungan dengan hukum-hukum
syariah sehingga ia dapat mendatangkan hadist-hadist yan diperlukan dengan
mengetahui keadaan sanadnya
4. Mengetahui segi-segi pemakaian qiyas, yang berupa illat dan hikmah penetapan
hukum, serta mengetahui fakta-fakta yang memiliki nash dan yang tidak
memiliki nash.Serta mengetahui pula „urf atau budaya dan apa-apa yang
mendatangkan kemaslahatan dan apa-apa yang tidak
5. Dapat menghadapi nash-nash yang seakan bertentangan atau berlawanan, yang
adakalanya diketahui oleh asbabul wurudnya atau sebab keberadaan hadist dan
ada pula yang tidak diketahui. Sehingga jika diketahui, akan membatalkan nash

3
Gibtiah, Fikih Kontemporer, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), hal. 24

5
yang muncul belakangan. Jika tidak diketahui maka harus dilakukan pemaduan
atau diadakanya penarjihan atau mencari yang paling kuat dari segala seginya
terhadap salah satunya.
Selain kelima syarat tersebut, terdapat pula dua syarat lainya yaitu :
1. Mengetahui ilmu ushl fiqh secara mendalam
2. Mengetahui ilmu-ilmu kemasyarakatan dengan pertimbangan bahwa penentuan
hukum memiliki hubungan yang erat dengan kehidupan masyarakat atau
lingkungan4
Adapun syarat-syarat pelengkap atau penyempurna, antara lain :
1. Mengetahui hukum Bara‟ah Asliyah yaitu hukum asal sesuatu
2. Mengetahui substansi syari‟ah, sehingga pengetahuan tentang Al-Qur‟an dan
Sunnah tidak hanya teksnya saja tetapi yang terpenting dari itu adalah substansi
yang dikehendaki walaupun pemaknaannya mempunyai unsur subjektiv
3. Mengetahui kaidah-kaidah umum
4. Mengetahui masalah-masalah khilafiyah yang sebelumnya diperdebatkan oleh
ulama
5. Mengetahui tradisi tiap negara, karena tradisi dapat menetapkan hukum
6. Mengetahui ilmu mantiq beserta balgahn-nya
7. Mempunyai keadilan dan kesalehan
8. Mempunyai metode yang baik dalam memecahkan suatu kasus
9. Ia wara‟ dan iffah, sehingga terhindar dari perbuatan yang menurunkan derajat
sebagai seorang mujtahid
10. Mempunyai penalaran yang tinggi dalam menganalisis suatu masalah
11. Selalu ber-taqarrub dan berdoa kepada Allah SWT agar terhindar dari
kesalahan dalam berijtihad
12. Hasil berijtihadnya dapat dipercaya dan ia sudah dikenal oleh kebanyakan
manusia akan keahliannya

4
Lenny Herlina, Pendidikan Agama Islam Interdisipliner Bermuatan Moderasi Untuk Disiplin Ilmu
Kedokteran dan Kesehatan, (Jakarta: Kencana, 2022), hal. 41-42

6
13. Antara perbuatan dan pendapat terjadi relevansi5
C. Lapangan Ijtihad dan Tingkatan Mujtahid
a. Lapangan Ijtihad
Menurut Muhammad Awwamah, lapangan ijtihad adalah hukum syariat yang
tidak terdapat di dalamnya dalil-dalil yang qat‟i atau pasti. Lapangan ijtihad
mempunyai ruang lingkup yang sifatnya terbatas dan dapat dibedakan menjadi dua
perkara. Pertama, terhadap ayat ataupun hadist, yang masih bersifat zhan atau belum
jelas dan hukumnya pasti. Lapangan ijtihad yang pertama ini telah disepakati oleh
ulama Ushul dan Fiqh. Kedua, adanya permasalahan yang hukumnya belum terdapat
sama sekali dalam nash. Maka hal itu memerlukan ijtihad dalam penetapan
hukumnya. Untuk kasus yang sama sekali hukumnya belum ditemukan baik dalam
nash maupun ijma maka, metode ijtihad dapat dilakukan melalui dalil akal seperti
qiyas, istihsan maslahah mursalah, urf atau istishab atau dalil-dalil mukhtalaf yang
lainya. Kesimpulan dari pernyataan diatas bahwa ijtihad tidak dibenarkan untuk
dilakukan kecuali terdapat perkara yang nash hukumnya tidak jelas dan tidak pasti
atau zhan serta pada sesuatu yang hukumnya tidak terdapat dalam nash.6
b. Tingkatan Mujtahid
Tingkatan Mujtahid dibagi menjadi lima diantaranya yaitu :
1. Mujtahid Mustaqil, artinya yaitu ulama dalam tingkatan ini berwenang
menggunakan seluruh metode istidlal yang diambil sebagai pedoman, tidak
mengekor kepada mujtahid lain, dan dapat merumuskan metodologi ijtihadnya
sendiri serta menerapkan pada masalah-masalah furu‟ atau bercabang. Lalu,
pendapatnya disebarluaskan kepada masyarakat. Seluruh Fuqaha Sahabat dan
Fuqaha Tabi‟in termasuk kedalam kategori mujtahid ini.
2. Mujtahid Mutlaq Ghairu Mustaqil, adalah orang yang memiliki kriteria seperti
Mujtahid Mustaqil, namun ia tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidah akan
tetapi mengikuti metode salah satu imam.

5
Gibtiah, Fikih Kontemporer, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), hal. 25-26
6
Sapudin Shidiq, Studi Awal Perbandingan Madzab Dalam Fikih, (Jakarta: Kencana, 2021), hal. 131-132

7
3. Mujtahid Muqoyyad/Mujtahid Takhrij, adalah Mujtahid yang terikat oleh
madzab imamnya.
4. Mujtahid Tarjih, adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya pada Mujtahid
Takhrij, tetapi ini sangat fakih, hafal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui dalil-
dalilnya, cara memutuskan hukum dan lain-lain, namun kalau dibandingkan
dengan Mujtahid di atas ia tergolong masih kurang.
5. Mujtahid Fatwa, adalah orang yang hafal dan paham terhadap kaidah-kaidah
imam madzab, mampu menguasai persolan yang sudah jelas maupun yang sulit,
namun dia masih lemah dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dali seta
lemah dalam menetapkan qiyas.7
D. Kedudukan Ijtihad dalam Hukum Islam
Agama Islam membawa ajaran yang memiliki dinamika yang tinggi. Hukum-
hukumnya berakar pada prinsip-prinsip universal yang mencakup atau
meliputi sasaran atau keadaan yang sangat luas dapat menampung perubahan-
perubahan sesuai dengan kebutuhan umat yang terus berkembang mengikuti perubahan
zaman, oleh karenanya pembaharuan hukum Islam menjadi sebuah tuntutan yang akan
selalu relevan dengan perubahan alam itu. Dalam setiap penetapan hokum melalui
ijtihad para mujtahid seharusnya selalu memperhatikan maqashid Al-syarî‟ah yang
intisarinya adalah kaidah Dar'ul Mafasid Muqaddamu Ala Jalbi Masholih, 8 yang
artinya salah satu kaidah ushuliyyah yang berarti bahwa meninggalkan kerusakan lebih
utama daripada mengambil kemaslahatan.
Telah menjadi kesepakatan jumhur mujtahid bahwa sumber hukum Islam
(mashadir Al-tasyrî‟) adalah wahyu dan nalar atau ra‟yu manusia. Wahyu terdiri dari
Al-Qur‟an dan sunah, sedangkan nalar dinamakan ijtihad. Dalam sistem hukum Islam
akal menempati dua peranan, yaitu sebagai sumber dan sebagai alat/ instrument untuk
memahami wahyu. Sebagai sumber hukum akal disebut ijtihad bi al-ra‟y dan
7
Safi‟, Muwaffiq Jufri, dan Ansori, Filsafat Hukum Mengurai Esensi Hukum Berbasis Multi-Perspektif,
(Jakarta: Kencana, 2023), hal. 176
8
Moh Khasan, Kedudukan maqâshid al-syarî’ah dalam pembaharuan hukum Islam, 2008, dalam Jurnal
Pemikiran Agama untuk Pemberdayaan, hal. 297

8
dipergunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang hukumnya belum dinyatakan
secara nyata/eksplisit oleh wahyu, atau untuk memecahkan masalah-masalah yang
belum ada nasnya.9
Sumber hukum sangat menentukan situasi dan kondisi suatu masyarakat tertentu,
karena kehidupan diatur oleh hukum syariat islam dan terikat oleh aturan-aturan
norma keislaman, dan ketika suatu persoalan dirumuskan oleh ijtihad, disebabkan Al-
Qur‟an dan Hadis tidak terdapat solusi atas problematika tersebut, maka akan terjadi
pembaruan hukum yang dapat mempengaruhi perselisihan antar personal
dimasyarakat tertentu, karena manusia ada juga yang fanatik terhadap sumber hukum
muttafaq yang murni, ada juga yang bersifat radikalisme akan suatu hukum,dan juga
ada yang moderat dalam menghadapinya.
Manusia secara kodrati terdiri atas jasmani dan rohani. Rohani itu berfungsi untuk
memahami apa yang dilihat oleh manusia, apa yang dialami oleh akal pikiran yang
sekaligus berfungsi untuk memahami segala sesuatu yang ada dalam jagat raya ini.
Sekalipun tidak ada petunjuk dari agama, manusia dapat menggunakan akalnya untuk
memperoleh kebahagiaan hidupnya. Dari sifat kodrati manusia itu sendiri dalam
perjuangan kehidupan untuk kebahagiaan lahir batin dari dunia sampai keakhirat,
ijtihad dapat dianggap sebagai kebutuhan pokok dari setiap insan, sedangkan
kebahagiaan lahir batin dan ketentraman hidup yang dituntut itu adalah berdasarkan
hukum syariat.
Allah SWT menciptakan bumi dan isinya agar manusia dapat menjadi khalifah,
dalam arti menjaga dan memelihara dengan baik, yang hal tersebut ada usaha dalam
melestarikan hokum syariat islam, melalui ijtihad para ulama‟ yang fakih serta
memenuhi kriterianya, dan membutuhkan usaha yang baik dan benar. Sehingga Allah
SWT akan memudahkan jalan bagi orang yang berijtihad, sebagaimana Firman-Nya
Q.S Al-Ankabut ayat 69:

9
Ibid, hal 299

9
َ‫ۗاهنَي َُو َْيَ له ذَ ََّيي هه لن ذا لنيَو َاو ََُ لهَن ََنْي ذَِّلا‬ ‫ࣖ لنْ هعِل ذِ ذينلاَ َْ َع َم ه‬
‫ََ ََن يذا ه‬

Artinya : “Dan orang-orang yang berijtihad untuk (mencari keridaan)Kami,


Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dansungguh, Allah beserta
orang-orang yang berbuat baik.”
Ayat tersebut menjelaskan bahwa usaha seorang mujtahid akan dipermudah oleh Allah
SWT selama mujtahid tersebut mau berusaha dengan niat yang benar demi
mempertahankan Agama Islam, meskipun akhirnya ijtihad yang dilakukan itu salah,
sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Amru bin Al-„Ash RA bahwa
Rasulullah SAW bersabda:

‫ع ن نه هللا ص نى هللا ر ۗول ۗعم أن ه ع يه هللا ر ضي نْ عوص ب ا ععرَ عا‬


‫َّ قول َ ۗ نن‬: «‫صوص ث ن اَوال ََ َهََ نْ َِو ذا هن ََ َم َن ذاذَن‬
َ َ ‫طخ َ ث ن اَوال َ َ َهََ ََ َم َن َ ذاذن أَال َرناأ ا نه أ‬
َ ‫ا نه أ َ لأ‬
‫أَال َر‬

Artinya : “Jika seorang hakim melakukan ijtihād dan hasilnya benar


makabaginya dua pahala, namun jika ia berijtihād tetapi hasilnya salah makabaginya
hanya satu pahala”. H.R. al-Bukhāri
E. Pembagian Ijtihad
a. Segi Bentuk
Ijtihad dapat dikelompokkan kepada dua bentuk.
a) Ijtihad istinbathi, yaitu ijtihad yang dilakukan para ulama khusus untuk
mengistinbathkan hukum dari dalil. Ijtihad bentuk ini hanya mampu dilakukan
oleh orang-orang tertentu yang dalam ushul fiqh disebut dengan mujtahid.
Menurut jumhur ulama ushul fiqh, ijtihad bentuk ini mungkin saja mengalami
pemberhentian pada masa-masa tertentu bilamana hasil ijtihad masa lampau
masih dianggap cukup untuk menjawab masalah-masalah yang muncul
dikalangan umat Islam.

10
b) Ijtihad Tathbiqi, yaitu ijtihad yang dilakukan untuk menerapkan hukum Islam.
Ijtihad ini akan selalu ada sepanjang masa selama umat Islam melaksanakan
ajaran agama mereka. Mujtahid yang melakukan ijtihad ini berperan untuk
menerapkan hukum Islam, termasuk hasil ijtihad ulama terdahulu.
b. Segi Dalil
Menurut Dawalibi, membagi ijtihad menjadi tiga bagian yang sebagiannya
sesuai dengan pendapat al-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqot, yaitu :
a) Ijtihad Al-Bayani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara‟ yang
terkandung dalam nash namun sifatnya masih zhonni baik dari segi
penetapannya maupun dari segi penunjukannya. Metode ijtihad bayani upaya
10
penemuan hukum melalui kajian kebahasaan (semantik). Konsentrasi
metode ini lebih berkutat pada sekitar penggalian pengertian makna teks:
kapan suatu lafaz diartikan secara majaz, bagaimana memilih salah satu arti
dari lafaz musytarak (ambigu), mana ayat yang umum dan mana pula ayat
yang khusus, kapan suatu perintah dianggap wajib dan kapan pula sunat,
kapan laragan itu haram dan kapan pula makruh dan seterusnya.
b) Ijtihad Ta‟lili/Al-Qiyasi, yaitu ijtihad untuk menggali dan menetapkan hukum
terdapat permasalahan yang tidak terdapat dalam Al Quran dan sunnah dengan
menggunakan metode qiyas. Dalam ijtihad qiyasi ini hukumnya memang
tidak tersurat tetapi tersirat dalam dalil yang ada. Untuk mencari hukum
tersebut diperlukan ijtihad qiyasi. Contoh hukum memukul kedua orang tua
yang diqiaskan dengan mengatakan ucapan “ah.”
c) Ijtihad Isthislahi, Menurut Muhammad Salam Madkur Ijtihad Istishlahi adalah
pengorbanan kemampuan untuk sampai kepada hukum syara‟ (Islam) dengan
menggunakan pendekatan kaidah-kaidah umum (kulliyah), yaitu mengenai
masalah yang mungkin digunakan pendekatan kaidah-kaidah umum tersebut,
dan tidak ada nash yang khusus atau dukungan ijma‟ terhadap masalah itu.

10
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih , (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 267

11
Selain itu, tidak mungkin pula diterapkan metode qiyas atau metode istihsan
terhadap masalah itu. Ijtihad ini, pada dasarnya merujuk kepada kaidah jalb
al-mashlahah wa daf‟ al-mafsadah (menarik kemaslahatan dan menolak
kemafsadatan), sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan untuk kaidah-
kaidah syara‟11
c. Segi Pembuat
a) Ijtihad perseorangan (ijtihâd al-fardi), yaitu ijtihad yang dilakukan secara
mandiri oleh seseorang yang memiliki keahlian dan hasil ijtihadnya mendapat
persetujuan dari ulama lain. Ijtihad perseorangan ini diakui dalam Islam dan
merupakan hak setiap muslim yang memiliki keahlian dalam menganalisa dan
mengkaji suatu masalah secara mendalam. Ijtihad semacam ini tidak menjadi
kewajiban bagi orang lain untuk mengikutinya dan pengamalan hasil ijtihad
fardi tersebut hanya menjadi kewajiban bagi orang yang menghasilkannya.12
b) Ijtihad kolektif (ijtihâd al-jamâ‟i), yaitu ijtihad yang dilakukan secara bersama
atau musyawarah terhadap suatu masalah, dan pengamalan hasilnya menjadi
tanggungjawab bersama atau ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid
dan hasilnya mendapat pengakuan dan persetujuan mujtahid lain. Jadi, ijmâ
sebagai salah satu sumber hukum Islam merupakan hasil ijtihad kolektif.
Ijtihad kolektif merupakan salah satu cara yang sering dilakukan oleh para
sahabat ketika memutuskan hukum suatu perkara yang belum ada
penetapannya, baik dari Alquran maupun sunnah

11
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Usul Fiqih, (Pekalongan: STAIN Press, 2005), hal.201
12
Syekh Muhammad al-Ghazali, Kebutuhan Terhadap Adanya Orang-Orang Tertentu yang Terlatih dan
Mampu Melakukan Ijtihad Secara Mandiri Sangat Penting, (Bandung: Mizan, 1989), hal. 156-157

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara bahasa Ijtihad berarti upaya sungguh-sungguh atau maksimal dalam
melakukan suatu tindakan dan perbuatan. Kata ijtihad hanya boleh digunakan dalam
persoalan-persoalan yang memang sulit, baik sulit secara hissi (fisik) sepertu suatu
perjalanan, atau persoalan yang sulit secara ma’nawi (nonfisik) seperti penelaahan
teori ilmiah atau upaya mengisbatkan hukum. Sedangkan Ijtihad secara istilah berarti
pengerahan segala kemampuan berpikir yang dilakukan oleh seorang ahli dalam
bidang keilmuannya dalam rangka mendapatkan sebuah pengetahuan hukum syara’
melalui penggunaan hukum syara’ yang telah di akui.
Ijtihad mempunyai rukun dan syarat. Rukun ijtihad antara lain Al-Waqi‟,
Mujtahid, Mujtahid Fih, dan Dalil Syara‟. Adapun syarat ijtihad diambil dari dua buku
yang berbeda, buku pertama menyebutkan syarat ijtihad yaitu mengetahui bahasa Arab,
mengetahui Al-Qur‟an, mengetahui Hadist Rasulullah SAW, mengetahui segi-segi
pemakaian qiyas, dan dapat menghadapi nash-nash yang seakan bertentangan atau
berlawanan adapun syarat lain yaitu mengetahui ilmu ushl fiqh secara mendalam, dan
mengetahui ilmu-ilmu kemasyarakatan. Buku yang kedua menyebutkan tiga belas
syarat ijtihad antara lain yaitu mengetahui hukum Bara‟ah Asliyah, mengetahui
substansi syari‟ah, mengetahui kaidah-kaidah umum, mengetahui masalah-masalah
khilafiyah, mengetahui tradisi tiap negara, mengetahui ilmu mantiq beserta balgahn-
nya, mempunyai keadilan dan kesalehan, mempunyai metode yang baik dalam
memecahkan suatu kasus, Ia wara‟ dan iffah, mempunyai penalaran yang tinggi dalam
menganalisis suatu masalah, selalu ber-taqarrub dan berdoa kepada Allah SWT, hasil
berijtihadnya dapat dipercaya, perbuatan dan pendapat terjadi relevansi. Lapangan
ijtihad merupakan syariat hukum yang dalil-dalilnya pasti dan jtihad tidak dibenarkan
untuk dilakukan kecuali terdapat perkara yang nash hukumnya tidak jelas dan tidak

13
pasti atau zhan serta pada sesuatu yang hukumnya tidak terdapat dalam nash.
Tingkatan dalam Mujtahid dibagi menjadi lima yaitu Mujtahid Mustaqil, Mujtahid
Mutlaq Ghairu Mustaqil, Mujtahid Muqoyyad/Mujtahid Takhrij, Mujtahid Tarjih,
Mujtahid Fatwa.
Telah menjadi kesepakatan jumhur mujtahid bahwa sumber hukum Islam
(mashadir Al-tasyrî‟) adalah wahyu dan nalar atau ra‟yu manusia. Wahyu terdiri dari
Al-Qur‟an dan sunah, sedangkan nalar dinamakan ijtihad. Dalam sistem hukum Islam
akal menempati dua peranan, yaitu sebagai sumber dan sebagai alat atau instrument
untuk memahami wahyu. Sebagai sumber hukum akal disebut ijtihad bi al-ra‟y dan
dipergunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang hukumnya belum dinyatakan
secara nyata/eksplisit oleh wahyu atau untuk memecahkan masalah-masalah yang
belum ada nasnya.
Pembagian ijtihad dapat dikelompokkan kepada dua bentuk. Pertama, ijtihad
istinbathi, yaitu ijtihad yang dilakukan para ulama khusus untuk mengistinbathkan
hokum dari dalil. Kedua, Ijtihad Tathbiqi, yaitu ijtihad yang dilakukan untuk
menerapkan hukum Islam. Segi Dalil Menurut Dawalibi, membagi ijtihad menjadi tiga
bagian yang sebagiannya sesuai dengan pendapat al-Syatibi dalam kitab Al-
Muwafaqot, yaitu : Ijtihad Al-Bayani, Ijtihad Ta‟lili/Al Qiyasi Ijtihad Isthislahi. Dari
Segi Pembuat yaitu Ijtihad perseorangan (ijtihâd al-fardi) dan Ijtihad kolektif (ijtihâd
al-jamâ‟i).

14
DAFTAR PUSTAKA

al-Ghazali, Syekh Muhammad. 1989. Kebutuhan Terhadap Adanya Orang-Orang Tertentu


yang Terlatih dan Mampu Melakukan Ijtihad Secara Mandiri Sangat Penting.
Bandung: Mizan.

Gibtiah. 2016. Fikih Kontemporer. Jakarta: Prenadamedia Group.

Herlina, Lenny. 2022. Pendidikan Agama Islam Interdisipliner Bermuatan Moderasi Untuk
Disiplin Ilmu Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Kencana.

Khasan, Moh. 2008. Kedudukan maqâshid al-syarî’ah dalam pembaharuan hukum Islam.
Dalam Jurnal Pemikiran Agama untuk Pemberdayaan.

Rohayana, Ade Dedi. 2005. Ilmu Usul Fiqih. Pekalongan: STAIN Press.

Safi‟, Muwaffiq Jufri, dan Ansori. 2023. Filsafat Hukum Mengurai Esensi Hukum Berbasis
Multi-prespektif. Jakarta: Kencana.

Shidiq, Saipudin. 2021. Studi Awal Perbandingan Madzab Dalam Fikih. Jakarta: Kencana.

Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu. jilid 2.

15

Anda mungkin juga menyukai