Anda di halaman 1dari 8

PARADIGMA HUKUM PERIODE POST MODERNISME

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Hukum


Dosen Pengampu: Agnes Lutfiana Ni’mah, M.H.
MAKALAH

Disusun oleh Kelompok 3:


1. Fery Triana Rusmawati 1860101221011
2. Dita Anggraeni 1860101221012
3. Difa Yurika Eka Aprilia 1860101221013
4. Divanesha Andika Stiya Sheyra 1860101221076
5. Aldy Fauzan Abdullah 1860101223217

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH 4A FAKULTAS


SYARIAH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG 2024

1
Paradigma Hukum
Periode Post Modern
Istilah “Postmodern” sekarang sangat sering digunakan, tetapi lebih sering lagi
disalahgunakan. Sangat sulit mendefinisikan postmodern dalam satu atau dua kalimat saja
karena postmodern pada hakikatnya berisikan keaneka ragam, saling berserakan, dan sering
kali isinya saling bertolak belaka, bahkan terkesan seperti “kapal pecah” sehingga suatu
definisi untuk itu memang tidak dibutuhkan. Itulah dia watak postmodern, suatu ungkapan
sangat populer, tetapi tanpa definisi yang jelas. Paradigma hukum periode post Modernisme
merujuk pada konsep dan pandangan hukum yang berkembang setelah periode modern.
Konsep ini mencakup berbagai perspektif penting tentang hukum modern.1

Modernisme mengakibatkan militerisme. Dikarenakan unsur religius dan moral yang


tidak berdaya, manusia cenderung menggunakan kekuatan kekuasaan, sehingga perang
dengan senjata canggih, kekerasan ataupun militerisme yang tidak terelakan. Bagi para
penganut ajaran Post Modernisme, “perbedaan” merupakan inti atau kata kunci dari segala isi
kebenaran. Oleh karena itu, mereka tidak mempercayai kepada hal-hal yang universal,
harmonis, konsisten, dan transendental. Tidak ada musyawarah dalam mencari kebenaran dan
menghadapi realitas. Hal yang ada hanyalah perbedaan-perbedaan yang harus dihormati.

Selanjutnya aliran Post Modernisme ini masuk pula kedalam bidang hukum, yang
bersama-sama dengan paham terakhir dibidang hukum saat itu, yaitu paham realisme hukum
serta bersama pula dengan paham kritis radikal. Aliran realisme hukum ini melakukan
pembangkangan terhadap teori dan konsep hukum yang ada, dengan mengajukan banyak
pertanyaan penting terhadap hukum. Akan tetapi, kemudian dunia hukum kembali bersinar
lagi, terutama dengan munculnya aliran baru pada akhir abad ke-20.
Dengan demikian, menurut kaum post modernisme, bahasa berfungsi sebagai
permainan catur, yang memiliki aturan bagaimana seharusnya suatu pion digerakkan. Jadi,
bahasa tidak dapat begitu saja dihubungkan dengan suatu realitas, karena bahasa tidak
menggambarkan realitas secara tepat dan objektif, tetapi bahasa hanya menggambarkan dunia
dengan berbagai cara tergantung konteks dan keinginan yang menggunakan bahasa tersebut.2

1
Soetandyo Widyadharma, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, (Jakarta: Elsam
dan Huma, 2002). hal 68-69
2
Baso Mandiong & Lidya Resty Amalia, Filsafat Ilmu Hukum, ( DEPOK: PT RajaGrafindoPersada,
2022). hal 195-199

2
Pada masa post modernisme, ada beberapa sarjana hukum dan ahli teori yang telah
berkontribusi dalam pembentukan paradigma hukum. Beberapa ahli yang berkontribusi utama
adalah Rescou Pound, Hans Kelsen dan Robert M Unger.3

 Rescou Pound (1870-1964)


Rescou pound lahir pada 27 Oktober 1870 di Lincoln, Nebraska Amerika Serikat dan
meninggal pada 30 Juni 1964 yang dikenal sebagai seorang ahli hukum Amerika Serikat, ahli
botani dan pengajar. Pound juga dikenal sebagai seorang sarjana hukum yang berpengaruh
dalam menekankan aspek sosiologis. Beliau percaya bahwa hukum harus disesuaikan dengan
kebutuhan sosial dan sistem hukum harus fokus pada pencapaian keadilan dan stabilitas
sosial. Pendekatan yurisprudensi sosiologis (Sociological Jurisprudence) yang menekankan
pentingnya faktor sosial dalam pembentukan hukum. Pound juga bertujuan untuk mengatasi
konteks sosial, ekonomi dan konsekuensi dari peraturan dan institusi hukum.4

Pandangan hukumnya yang terkenal adalah hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as
a tool of social enginee-ring). Puond menyatakan bahwa hukum adalah lembaga terpenting
dalam melaksanakan kontrol sosial. Hukum secara bertahap telah menggantikan fungsi agama
dan moralitas sebagai instrumen penting untuk melestarikan peradapan karena fungsi
utamanya adalah mengendalikan “aspek internal atau sifat manusia” yang dianggapnya sangat
diperlukan untuk menaklukkan aspek eksternal atau lingkungan fisikal.

Law as a tool of social engineering diterjemahkan oleh Mochtar Kusumaataja tidak


sebagai alat, tetapi sebagai sarana. Sehingga dapat diartikan hukum sebagai sarana yang
ditunjukkan untuk mengubah perilaku warga masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya.

Menurut Rescou Pound, paradigma hukum periode post modernisme menekankan


pentingnya memahami hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan sosial untuk mencapai
keadilan. Beliau menekankan adanya hubungan erat antara hukum dan masyarakat, serta
perlunya hukum berkembang sesuai dengan tuntutan perubahan sosial.5

3
Roza, Teori Positivisme Hans Kelsen Mempengaruhi Perkembangan Hukum Indonesia, vol 18, No 1,
Lex Jurnalca, 2021, hal 10
4
Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2019). hal 124
5
Serlika Aprita, & Rio Aditya, Filsafat Hukum, (DEPOK: PT RajaGrafindo Persada, 2020). hal 103-
104

3
 Hans Kelsen (1881-1973)
Hans Kelsen yang dikenal sebagai ahli hukum Australia dengan teori hukumnya yang
murni menganjurkan pemurnian hukum dari unsur-unsur non-hukum seperti faktor sosiologi,
politik, sejarah dan etika. Lahir di Prague pada 11 Oktober 1881, berasal dari golongan
menengah, berbasa Jerman dan keturunan dari Keluarga Yahudi. Ayahnya bernama Adolf
Kelsen dan ibunya bernama Auguste Lowy. Identitasnya sebagai keturunan Yahudi menjadi
penyebab kesulitan dalam perjalanan hidupnya. Hans Kelsen meninggal pada 19 April 1973.

Semasa hidupnya Kelsen dikenal sebagai ahli hukum, filsuf hukum, pengajar dan
penulis buku-buku berkenaan dengan hukum internasional. Baginya, hukum merupakan suatu
keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional. Teori hukumnya
yang murni berupaya membangun sistem hukum yang komprehensif dan kosisten secara
internal, bebas dari pengaruh eksternal.

Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah “bagaimana hukum itu
seharusnya” (what the law ought to be), tetapi “apa hukumnya” (what the law is). dengan
demikian, walaupun hukum itu Sollenkategorie, yang dipakai adalah hukum positif (ius
constitutum), bukan yang dicita-citakan (ius constituendum).6

Hans Kelsen dikenal juga karena kontribusinya dalam teori Hukum Positivisme.
Menurut Kelsen, hukum harus dibersihkan dari elemen non-yuridis seperti elemen-elemen
sosiologis, politik, sejarah dan etika. Baginya hukum adalah kebutuhan yang mengtur perilaku
manusia sebagai makhluk rasional.7

Sebagai ahli hukum, kelsen menuliskan dan menyebarkan pandangan hukumnya


melalui karya-karyanya. Diantaranya konsep “Pure theory of law” yang menekankan struktur
hierarki norma hukum dan pandangannya dalam hukum terangkum dalam bukunya berkenaan
dengan teori umum tentang hukum dan negara, selain itu pula Kelsen terkenal dengan teori
Stufenbow Theory (Hierarki Perundang-undangan) dan teori hukum murni. Dari buku-buku
yang ditulisnya menunjukkan bahwa beliau adalah penganut positifme hukum. Bagi Kelsen

6
Muhammad Rakhmat, Pengantar Filsafat Hukum, (Bandung: STIE Pasundan Press, 2015). hal 85
7
Roza, Teori Positivisme Hans Kelsen Mempengaruhi Perkembangan Hukum Indonesia, vol 18, No 1,
Lex Jurnalca, 2021, hal 10

4
hukum harus diselidiki sebagai hukum, ia harus terlepaskan dari pandangan-pandangan
terhadap hukum yang sama sekali tidak ada kaitanya dengan hukum.

Hans Kelsen dalam konteks Post Modernisme mengembangkan teori hukum yang
lebih formal dan abstrak. Menurut beliau, paradigma Hukum Periode post modernisme
menyoroti urgensi pemisahan hukun dan nilai-nilai sosial dan politik. Kelsen juga
memperkenalkan konsep norma dasar sebagai dasar hierarki norma. Selain itu juga
menekankan bahwa pentingnya struktur hukum yang terorganisir dan hierarkis untuk
memastikan ketertiban hukum yang efektif.8

 Robert M Unger
Robert M Unger adalah seorang profesor hukum dari Brasil, filosof sekaligus politikus
dan ahli teori hukum terkemuka yang telah berkontribusi pada paradigma hukum post
Modernisme dengan menekankan perlunya paradigma hukum baru untuk mengatasi tantangan
masyarakat kontemporer. Karya Unger berfokus pada potensi transformatif hukum dan
perlunya menata ulang kerangka hukum untuk mengakomodasi beragam interpretasi dan
mengatasi permasalahn sosial yang kompleks. Karyanya juga dikenal karena mengkritik
sistem hukum yang eksklusif dan menekankan pentingnya inklusi sosial dalam pembentukan
hukum.9

Robert M Unger berasal dari Brasil, lahir pada tanggal 24 Maret 1947. beliau
mengembangkan pengetahuannya melalui interdisiplinary study yang mencakup sosiologi,
politik, teori-teori ekonomi serta teori hukum. Cendekiawan lulusan Havard Law School ini
juga terlibat dalam gerakan Critical Legal Studies dan keterlibatannya dalam gerakan inilah
yang menyebabkannya terkenal dikalangan ilmuwan hukum. Karena gerakana ini tidak
dilakukan oleh beliau seorang melainkan bersama dengan mereka yang peduli terhadap ragam
persoaln kehidupan masyarakat, teruuutama dibidang hukum.

Paradigma hukum yang dibangun oleh gerakan ini menurut Hikmahanto (2010)
adalah law is politics, law exists only as an ideology, demikianlah esensi pemikiran Critical
Legal Studies (selanjutnya disingkat CLS) karena berdasarkan kenyataan bahwa hukum

8
Serlika Aprita, & Rio Aditya, Filsafat Hukum, (DEPOK: PT RajaGrafindo Persada, 2020). hal 104
9
Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2019). hal 124

5
adalah politik dan berkarakter ideologis. Karena itu doktrin hukum yang selama ini terbentuk
sebenarnya berpihak pada mereka yang mempunyai kekuatan (power).

Adapun pesan yang ingin disampaikan oleh gerakan ini adalah pasang kewasdaan
pada produk hukum, baik dalam bentuk undang-undang ataupun dalam bentuk peraturan
perundang-undanganlainnya, baik pusat maupun daerah atau pada siapa saja yang diberikan
kewenangan untuk mengeluarkan peraturan ataupun suatu kebijakan penguasa dalam sebuah
sistem politik, hukum maupun ekonomi dan yang lainnya.

Menurut Robert M Unger, paradigma hukum periode post modernisme


mempertanyakan asumsi inti dari hukum modern, termasuk asumsi tentang keadilan dan
kebenaran. Unger juga mengusulkan pendekatan kritis terhadap hukum. Beliau menoroti
ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam sistem hukum, serta baimana pentingnya perubahan
radikal untuk mencapai keadilan sosial. Unger memandang hukum sebagai alat untuk
transformasi sosial yang lebih besar.10

Perbandingan Pandangan dari 3 ahli diatas


Meskipun memiliki pendekatan yang berbeda, ketiga ahli tersebut menekankan bahwa
pentingnya mengubah suatu pandangan terhadan hukum di era post modernisme.11

Persamaan dalam pandangan mereka


Dari ketiga ahli diatas mereka sepakat bahwa hukum itu harus menyesuaikan diri dengan
tuntutan kompleksitas dan perubahan sosial yang cepat.12

Perbedaan dalam pandangan mereka


Ada beberapa perbedaan utama dari pandangan mereka tentang post modernisme yang
terletak pada peran sosial, politik dan moral hukum dalam masyarakat pasca modern. 13

Kesimpulan
Perkembangan zaman dari pergeseran paradigma dari hukum modern ke post
modernisme mempengaruhi cara pandang terhadap hukum. Paradigma post modernisme
10
Yusuf Zaenal Abidin, Filsafat Postmodern, (Bandung: Pustaka Setia, 2018). hal 66
11
Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2019). hal 126
12
Ibid., hal 126
13
Ibid., hal 127

6
memandang hukum sebagai legal-micronarrative yang memberikan ruang bagi keragaman
interpretasi terhadap hukum. Hukum tertulis dipahami sesuai dengan konteksnya dan
dianggap sebagai kerangka untuk menyelesaikan masalah yang muncul dalam masyarakat.
Paradigma hukum periode post modernisme menimbulkan tantangan baru dan mempengaruhi
transformasi struktural dalam sistem hukum kontemporer.

Dalam konteks paradigma hukum pada periode Post Modernisme, Hans kelsen dikenal
karena kontribusinya dalam teori hukum positime yang menekankan pentingnya
membersihkan hukum dari elemen-elemen non-yuridis. Kelsen memandang hukum sebagai
kebutuhan yang mengatur perilaku manusia sebagai makhluk rasional.

Paradigma hukum post Modernisme yang dipengaruhi oleh ketiga tokoh diatas
mendefinisikan kembali pehaman hukum sebagai narasi mikro-hukum, yang memungkinkan
adanya penafsiran yang beragam dalam konteks tertentu.

Kontribusi mereka secara signifikan mempengaruhi perkembangan teori dan prakti


hukum pada periode pasca-modern, membentuk pemahaman hukum sebagai suatu sistem
yang dinamis dan responsif secara kontektual.

Semua tokoh ini memberikan sumbangan penting dalam pemahaman paradigma


hukum pada periode Post Modernisme yang dimana masing-masing dengan fokusnya sendiri
terkait hubungan hukum dengan masyarakat, struktur formal hukum, dan perubahan sosial
melalui hukum. Dengan demikian, paradigma ini menawarkan pendekatan yang lebih
fleksibel dan adaptif dalam menghadapi kompleksitas masalah hukum di era digital saat ini.

7
DAFTAR PUSTAKA

Widyadharma, Soetandyo. 2002. Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya.


Jakarta: Elsam dam Huma.

Mandiong, Baso dan Amalia, Lidya Resty. 2022. Filsafat Ilmu Hukum. Depok: PT
RajaGrafindoPersada

Roza. 2021. Teori Positivisme Hans Kelsen, dalam jurnal Lex Jurnalca Vol. 18, No. 1, diakses
23 Februari 2024.

Maksum, Ali. 2019. Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Aprita, Serlika dan Aditya, Rio. 2020. Filsafat Hukum. Depok: PT RajaGrafindo Persada.

Rakhmat, Muhammad. 2015. Pengantar Filsafat Hukum. Bandung: STIE Pasundan Press.

Abidin, Yusuf Zaenal. 2018. Filsafat Postmodern. Bandung: Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai