Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

HUKUM FILSAFAT

“Hukum alam dan Hukum Murni”

Dosen Pengampu:
RATNA KUMALA SARI S.H.,M.H.

Disusun Oleh:
AHMAD RAYHAN(22742010046)
ANDYKA SURYANTARA(22742010012)
DF ALFARIZZY (20742010033)
LINTANG RAMADHANY(22742010103p)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SANG BUMI RUWA JURAI
LAMPUNG

2023
BAB 1

PENDAHULUAN

A.latar blakang

Pekembangan zaman berkibat kepada berkembangnya pendidikan dengan


mencetuskan pemikiran-pemikiran yang lebih maju dalalm berbagai sendi keilmuan, hal
ini dapat dilihat dari banyak sekali ilmuan yang bermunculan diberbagai bidang
terutama pada bidang ilmu hukum. ilmu hukum disebut sebagai ilmu yang khusus (Sui
generis) karena sifatnya sehingga banyak dari kalangan para pakar ilmu tertarik
untuk membahas bahkan meneliti kekhususan dari ilmu hukum tersebut. berdasarkan
hasil kajian-kajian dari ahli-ahli bahwa sifat dari salah satu bentuk hukum itu ialah
dinamis selalu bergerak setiap saatnya sesuai dengan peristiwa hukum yang sudah
dan akan terjadi, sehingga untuk dapat memahami konsep, maksud dan tujuan
dari sebuah hukum, maka para pakar hukum tersebut membuat teori dalam
mendalami dan memahami arti sebuah aturan yang diciptakan. Salah satu teori
hukum yang berkembang adalah teori hukum murni, teori hukum murni lahir dari
pemikiran hukum Legisme yang berbentukin optima forma. P e r k e m b a n g a n T e o r i
h u k u m i n i b e r k e m b a n g s e m e n j a k a b a d pertengahandan perbengaruh
terhadap semua lapisan Negara-negara yang ada di dunia, tidak terkecuali di Indonesia.
Posivisme Hukum ini untuk pertama kalinya dikukuhkan dalam bentuk rumusan yang
sistematikal dan konseptual oleh John Austin dalamThe Province of jurisprudence(1832)
melalui pernyataan atau klaim positif mengenai hukum

Filsafat Hukum Alam (Natural Law) lahir sejak zaman Yunani, berkembang di
zamanRomawi sampai ke zaman modern ini. Pemuka Hukum Alam adalah Plato (429-347
BC),Aristotle (348-322 BC) zaman Yunani, Marcus Tullius Cicero (106-43 BC) zaman
Romawi,St. Agustine (354-430), dan St. Thomas Aquinas (1225-1274) dari kalangan Kristen,
Grotius(15831645), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704).Teori Hukum
berkenaan dengan pertanyaan, apa yang dimaksud dengan HukumAlam (Natural Law)?
Dihubungkan dengan Teori Hukum Alam (Natural Law), maka TeoriHukum lebih
berhubungan dengan karakter dari hukum atau karakter dari suatu sistemhukum daripada
isinya, yaitu peraturan perundang-undangan yang spesifik. Namun demikian,setiap
penjelasan yang tepat mengenai Hukum Alam (Natural Law), akan mengakomodasifungsi
dan administrasi dari ketentuan-ketentuan hukum tertentu dari suatu sistem hukum.Hal ini
dapat dilakukan dengan berbagai cara, ada yang menekankan kepada satu atau lebihaspek
khusus di dalam mana hukum positif beroperasi. Analisis hukum yang lainnyamemberikan
tekanan yang khusus kepada kekuasaan dan posisi dari pembuat undang-undang,sementara
yang lainnya memberikan penekanan kepada pengadilan, yang lainnya melihatsikap dari
masyarakat yang menjadi subjek hukum, dan lainnya lagi menekankan kepadamoral dan
nilai-nilai sosial di mana hukum itu bertujuan untuk mereflesikannya danmendorongnya.
Analisis dari unsur-unsur hukum seperti tersebut di atas, metode
pendekatannya umumnya dikenal sebagai “doktrin Hukum Alam”, “positivisme”, dan“realis
me”, kesemuanya menawarkan sesuatu yang sangat berharga untuk diperhatikan dan
dengan demikian membuatnya saling bersaing, kadang-kadang menimbulkan konflik,
dalamusaha untuk mendapat pengakuan. Kontribusi masing-masing seringkali digunakan
sebagaialasan kritik terhadap metode yang lain.

B. rumusan masalah:

hukum murni,

mengapa di sebut hukum murni: Disebut teori hukum "murni" karena ia hanya menjelaskan
hukum dan berupaya membersihkan obyek penjelasannya dari segala hal yang tidak
bersangkut paut dengan hukum. Tujuan teori ini adalah membersihkan ilmu hukum dari
unsur-unsur asing.

sudut pandang teori hukum murni: Hans Kelsen sebagai penganut positivisme hukum
memberikan pemikiran tentang hukum yang terkenal dengan Teori Hukum Murni. Dalam
teorinya itu, pembentukan hukum harus dibebaskan dari anasir- anasir/unsur-unsur di luar
dirinya seperti: psikologis, sosiologi, sejarah, politik, dan bahkan juga etika.

pengertian hukum murni:hukum murni adalah ilmu hukum (yurisprudensi), bukan politik
hukum. Disebut teori hukum "murni" karena ia hanya menjelaskan hukum dan berupaya
membersihkan obyek penjelasannya dari segala hal yang tidak bersangkut paut dengan
hukum. Tujuan teori ini adalah membersihkan ilmu hukum dari unsur-unsur asing.

hukum alam,

pengertian hukum alam:Apa itu hukum alam? Hukum alam adalah salah satu aliran dalam
filsafat hukum. Dalam konteks hukum, hukum alam bukanlah upaya alam semesta dan
isinya untuk berkembang dan bertahan. Aliran ini merupakan aliran tertua dan sudah ada
sejak ribuan tahun lalu, tepatnya di masa Yunani Kuno.

perbedaan filsafat hukum alam dgn filsafat positive: Mazhab hukum alam dengan
teorinya memandang hukum sebagai instrumen untuk mencapai keadilan.
Sedangkan, mazhab positivisme hukum dengan teorinya memandang hukum hanya
sebagai perintah yang berdaulat, sehingga akan tercipta kepastian hukum.

pandangan hukum yg berlaku universal dan abadi: Aliran Hukum Alam: Aliran ini berpendapat
bahwa hukum berlaku universal (umum). Menurut Friedman, aliran ini timbul karena
kegagalan manusia dalam mencari keadilan yang absolut, sehingga hukum alam dipandang
sebagai hukum yang berlaku secara universal dan abadi.

Bab 2

PEMBAHASAN

A. Hukum Murni
Lahirnya teori hukum ini sebenarnya diawali oleh berkembangnya pemikiran hukum
Legisme yang berbentuk in optima forma[1]. Perkembangan Teori hukum ini
berkembang semenjak abad pertengahan[2] dan perbengaruh terhadap semua
lapisan Negara-negara yang ada di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Posivisme
Hukum ini untuk pertama kalinya dikukuhkan dalam bentuk rumusan yang
sistematikal dan konseptual oleh John Austin dalam The Province of
jurisprudence (1832) melalui pernyataan atau klaim positif mengenai hukum bahwa :

“hukum dalam tema yang paling generic dan menyeluruh… diartikan sebagai aturan
yang diterbitkan untuk member pedoman perilaku kepada seseorang manusia
selaku makhluk intelegen… dari seorang manusia lainnya (makhluk intelegen lain)
yang ditangannya ada kekuasaan (otoritas) terhadap makhluk intelegen pertama
itu”[3]

Selain itu Austin mengatakan bahwa hukum merupakan perintah penguasa-dalam


arti bahwa perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang
memegang kedaulatan.[4] Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa teori ini
hanya bersumber pada hukum yang tertulis yang disahkan oleh kekuasaan
pemerintahan atau suatu Negara. Untuk itu kemudian muncul unsur-unsur hukum
menurut Austin diantaranya :[5]

1. Adanya penguasa (souvereghnity)


2. Suatu perintah (command)
3. Kewajiban untuk menaati (duty)
4. Sanksi bagi mereka yang tidak taat (sanction)

Aliran hukum ini pada intinya adalah mengidentikkan hukum dengan undang-
undang, tidak ada hukum diluar undang-undang. Di Jerman pandangan ini dianut
oleh Paul Laband, Jellineck, Rudolf von Jering, Han Naviasky, Hans Kelsen dan lain-
lain. Sedangkan di Inggris dikenal dengan aliran hukum positif yang pelopori oleh
John Austin seperti telah dijabarkan diatas.

Pada tahun 1798 hingga 1857 teori ini juga dikembangkan oleh August Comte yakni
seorang sarjana Perancis yang hidup pada jaman itu. August Comte[6] menyatakan
bahwa positivism merupakan sebuah sikap ilmiah, yang menolak spekulasi-
spekulasi apriori dan berusaha membangun dirinya pada data pengalaman. Untuk
itu filsafat menurut mazhab ini adalah suatu system filsafat yang mengakui hanya
fakta-fakta positif dan fenomena-fenomena yang dapat diobservasi.

Pada abad Pertengahan kedua (abad ke-19) positivism menjalar kedalam segala
cabang ilmu pengetahuan social, termasuk ilmu hukum, ia berusaha mendepak
pertimbangan-pertimbangan nilai-nilai dari yurisprudensi dan membatasi tugas ilmu-
ilmu ini pada analisa, dan mendobrak tatanan hukum positif. Pada saat itu diajarkan
bahwa hukum positiflah yang merupakan hukum yang berlaku, dan hukum positif
adalah norma-norma yang diakui oleh Negara. Sehingga dapat dikatakan bahwa
teori hukum ini hanya merupakan Ilmu Hukum dalam arti sempit, yang hanya
mempelajari hal-hal yang bersifat normative saja.[7] Untuk itu yang terpenting dalam
teori ini adalah Undang-undang.[8]

Pada abad ke-19 pula muncul sikap kritis masyarakat terhadap masalah-masalah
yang dihadapi, apalagi pada saat itu tradisi keilmuan baru berkembang, yang semula
bersifat tertutup dan tradisionil berubah menjadi sedikit terbuka sehingga
menghasilkan pandangan-pandangan kritis terhadap pandangan hukum alam yang
dianggap tidak memiliki dasar dan merupakan hasil dari penalaran yang bersifat
palsu belaka. Hukum diartikan sebagai perintah dari kekuasaan politik yang
berdaulat dalam suatu Negara.[9]

Franz Magnis Suseno[10] mengatakan bahwa adanya hubungan hukum kodrat dan
hukum positif yang saling berhubungan karena keabsahan social menempatkan
hukum positif dalam kodrat manusia, artinya produk hukum positif hanya sah kalau
sesuai dengan tuntunan-tuntunan dasar dan kecenderungan kodrati manusia.
Berawal dari Pendapat hukum kodrat bahwa manusia dibangun dengan berbagai
struktur social, hal ini sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang semakin
kompleks, beserta kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam hukum kodrat. Tiga
kelemahan mendasar hukum kodrat adalah kekaburan paham kodrat, dualism
metodis dan masalah kepastian.[11] Dalam upaya mengantisipasi kelemahan
tersebut, maka hukum positif mengambil peranan yang sangat penting, bahwa
hukum positif sesungguhnya adalah pengalihan terhadap positivasi hukum kodrat
terhadap manusia. Artinya dengan demikian hukum positif dapat mencerminkan dan
mendasarkan hukum kodrat dalam tatanan hukum positif.[12]

Bertolak pada kelemahan-kelemahan hukum kodrat yang telah diurai tadi, serta
meningkatnya kebutuhan dalam masyarakat sipil yang memerlukan perlindungan
terhadap kepentingan-kepentingan yang bersifat invidu, maka diperlukan hukum
positif yang didukung oleh kekuasaan yang memaksa dalam suatu Negara. Dalam
karakter hukum kodrat bahwa manusia ditempatkan sebagai makhluk yang
bermoral, padahal dalam tataran social manusia lebih merupakan makhluk ekonomi,
dan dalam hal tertentu dan terdesak akan menggunakan akal budinya yang justru
berseberangan dengan akal budinya. Sehingga konsep Utility Bentham[13] dapat
dilaksanakan dengan baik dalam bingkai hubungan Negara dengan masyarakatnya.

2. Terminologi dan Dasar Pemikiran Positivisme

Sebelum membahas lebih jauh tentang pemahaman legal positivism, Hans Kelsen
menegaskan bahwa terdapat 3 (tiga kemungkinan) interpretasi terhadap istilah itu,
diantaranya :[14]

1. Legal Positivisme Sebagai Metode

Cara mempelajari hukum sebagai fakta yang kompleks, fenomena atau data social
dan bukan sebagai system nilai, sebagai metode
yang minsetting pusat inquiri problem-problem formal dari keabsahan hukum, bukan
aksiologi suatu keadilan dari suatu konten norma/aturan.
1. Legal Positivisme yang dipahami sebagai Teori

Teori legal positivism berkembang pada era kodifiakasi sampai pada abad ke-19.
Dalam konsepsi ini dikembangkan dari ecole de l’exegese sampai ke
Jerman Rechtwissenschaft, hukum dikemas sempurna dengan positive order yang
berasal dari kegiatan legislative suatu Negara. Paham ini merupakan
disebut kelompok imperativist, coercivis, legalis conception yang ditegakkan melalui
hukum yang literal (tertulis), interpretasi norma tertulis secara mekanis oleh
penerjemah, khususnya hakim.

1. Legal Positivisme sebagai ideology

Merupakan ide bahwa hukum Negara ditaati secara absolute yang disimpulkan
kedalam suatu statement gesetz ist gesetz atau the law is the law. Hans Kelsen
selalu menolak positivism, khususnya dalam konteks teoritikal dan aspek ideology
walaupun saya telah menerimanya dari pandangan metodologis.[15]

Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa aliran positivism merupakan aliran yang
mencoba melakukan kritik terhadap kelemahan-kelemahan hukum kodrat. Dalam
aliran ini terdapat berbagai cabang pemahaman positivism berlainan antar satu
dengan yang lainnya. Namun pada dasarnya yang diangkat tema sentralnya
adalah :[16]

Issues of legal validity must be strictly separated from question of morality what the
law ought to be has nothing to do with what the law actually is. There are irreducible
fact about political society can only be expressed in the vocabulary of the law. The
study of law is autonomous

Dalam perkembangannya terdapat 2 (dua) aliran positivism, yakni hard positivism


dan soft positivism, yang membedakan antara keduanya adalah : Hard positivism :
There is only the positive law : There are no objective, universal fact about morality,
about what law ought to be like (Hans Kelsen)[17]

Soft Positivism : In addition to positive law, objective morals fact do exist

Selanjutnya positivism lunak terbagi lagi menjadi dua golongan yaitu utilitarian
positivism dan Non utilitarian positivism. Menurut kelompok utilitarian bahwa : There
are no natural human right, nothing like a natural law. The only moral standard is
one of the desirebelity of the concequences of the law (Betham). Sedangkan
menurut paham kedua (non utilitarian) adalah, There is something like natural law
(universal human rights, universal moral principles)[18]

Walaupun terdapat perbedaan internal dalam pemahamannya, positivism memiliki


kesamaan dasar fundamental, yakni :
1. A positive law is binding even if it is supremely immoral
2. No principle of morality is legally binding until is has been enacted into moral
law
3. That a statute is legally binding does not settle the moral question of wether
we ought (morally speaking) to obey or disobey the law

Aliran positivism ini banyak dipengaruhi oleh dua ahli hukum terkemuka, yakni
Jeremy Bentham[19] dan John Austin[20] yang mengemukakan Command Theory,
serta teori konvensi social oleh Hans Kelsen[21] dan Hart[22].

3. Teori Hukum Murni menurut Hans Kelsen

Dua teori besar Hans Kelsen, pertama ajaran yang bersifat murn, sedangkan yang
kedua adalah berasal dari muridnya Adolf Merkl adalah Stufenbau des Recht yang
mengutakan adanya hierarkis dari perundang-undangan. Dari unsur etis Hans
Kelsen tidak memberikan tempat bagi berlakunya suatu hukum alam, etika
memberikan penilaian tentang baik dan buruk, Kelsen menghindari diri dari yang
demikian itu. Dari unsur sosiologis ajaran Kelsen tidak memberik tempat bagi hukum
kebiasaan yang hidup dan berkembang di masyarakat.

Hans Kelsen dalam teorinya yakni teori hukum Murni adalah keinginan untuk
membebaskan ilmu hukum dari anasir-anasir atau unsur-unsur social, ekonomi,
politik, budaya dan lain sebagainya. Hukum diwajibkan bebas nilai, dan harus
terbebas dan tidak tercemari oleh unsur-unsur yang bersifat ideologis. Keadilan
menurut Kelsen dipandang sebuah konsep ideologis. Ia melihat dalam
keadilansebuah ide yang tidak rasional dan teori hukum murnitidak dapat menjawab
tentang pertanyaan apa yang membentuk keadilan, karena pertanyaan ini tidak
dapat dijawab secara ilmiah. Jika keadilan harus diidentikkan dengan legalitas,
dalam arti tempat, keadilan berarti memelihara sebuah tatanan (hukum) positif
melalui aplikasi kesadaran atasnya.

Teori hukum murni ini menurut Kelsen adalah sebuah teori hukum yang bersifat
positif. Sehingga kemudian dapat disimpulkan bahwa teori hukum ini ingin berusaha
menjawab pertanyaan tentang “apa hukum itu?” tetapi bukan pertanyaan “apa
hukum itu seharusnya”. Teori ini mengkonsentrasikan pada hukum saja dan
menginginkan lepas dengan ilmu pengetahuan yang lainnya, dengan atas dasar
bahwa ilmu hukum berdiri sendiri dan merupakan sui generis.[23] Kelsen sekali lagi
ingin memisahkan pengertian hukum dari segala unsur yang berperan dalam
pembentukan hukum seperti unsur-unsur psikologi, sosiologi, sejarah, politik, dan
bahkan juga etika.[24] Semua unsur ini termasuk ide hukum atau isi hukum. Isi
hukum tidak pernah lepas dari unsur politik, psikis, social budaya dan lain-lain.
Sehingga pengertian hukum menurut Hans Kelsen adalah hukum dalam konteks
formalnya, yaitu sebagai peraturan yang berlaku secara yuridis, itulah hukum yang
benar menurut perspektif teori hukum murni (das reine Recht)

Pandangan positivism juga menganggap bahwa kewajiban yang terletak pada


kaidah hukum adalah kewajiban yang bersifat yuridis, hal itu dikarenakan karena
kaidah hukum termasuk pada keharusan ekstern, yaitu karena ada paksaan atau
ancaman apabila tidak mentaati, dikarenakan dasar dari hukum adalah undang-
undang dasar negara, dalam relasi itulah maka terdapat ada yang memberi perintah
dan ada yang mentaati perintah.

Pandangan kedua adalah kewajiban dari ektern, yakni dorongan dari batin bahwa
yang demikian itu merupakan kewajiban yang harus ditaati. Kewajiban yuridis itulah
dianggap sebagai dorongan kewajiban yang tidak dapat terelakkan. Han Kelsen juga
mengatakan bahwa hukum dapat mewajibkan secara batin, hal itu dikarenakan
adanya kewajiban yuridis, dan memang demikian pengertian hukum. Sehinga
peraturan yang tidak normative tidak masuk akal maka tidak dapat dikatakan hukum.
[25] Immamuel Kant mengatakan bahwa kelsen berpendapat bahwa kewajiban
hukum termasuk dalam pengertian transedental-logis[26]. Menurut Kant ada norma
dasar (grundnorm)[27] bagi moral (yang berbunyi : berlakulah sesuai dengan suara
hatimu), maka menurut Hans Kelsen dalam hukum juga terdapat norma dasar yang
harus dianggap sebagai sumber keharusan dibidang hukum. Norma dasar
(grundnorm) tersebut berbunyi : orang-orang harus menyesuaikan dirinya dengan
apa yang telah ditentukan.

Ajaran yang kedua menurut Hans Kelsen adalah ajaran tentang norma hukum
(stufentheori)[28], dimana ia berpendapat bahwa norma hukum itu berjenjang-
jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma
yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi.
Demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar (Grundnorm). Teori jenjang
norma hukum Hans Kelsen ini diilhami oleh seorang muridnya yang bernama Adolf
Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum harus selalu mempunyai
dua wajah (das Doppelte Rechtsanlitz), yakni norma hukum itu keatas ia bersumber
dan berdasar pada norma diatasnya, tetapi kebawah juga menjadi dasar bagi norma
yang ada dibawahnya.

Ajaran Hans Kelsen tersebut kemudian disempurnakan oleh seorang muridnya,


yakni Hans Nawiasky dalam bukunya Allgemeine Rechtslehre yang mengatakan
bahwa selain norma hukum itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum
dari suatu Negara juga berkelompok-kelompok. Hans Nawiasky mengelompokkan
norma-norma hukum dalam suatu Negara itu menjadi empat kelompok besar, yang
terdiri atas :

Kelompok 1 : Staatfundamentalnorm (norma fundamental negara)

Kelompok 2 : Staatsgrundgesetz (aturan dasar/pokok Negara)

Kelompok 3 : Formell Gesetz (Undang-undang “formal”)

Kelompok 4 : Verordnung & Autonome Satzung (aturan pelaksana &

aturan otonom)[29]
4. Perkembangan Teori Hukum Murni di Indonesia

Mengenai perkembangan Teori Hukum murni di Indonesia ini, saya akan lebih
spesifik pada penggunaan dan perdebatan mengenai penggunaan penelitian hukum
di Indonesia, yang mengalami perbedaan antara pakar yang satu dengan pakar
hukum yang lainnya. Dalam metode penelitian hukum menurut Prof. Dr. Soerjono
Soekanto, SH., MA[30] terdiri dari penelitian hukum normatif dan penelitian hukum
sosiologis atau empiris. Penelitian hukum normatif terdiri dari penelitian terhadap
azas-azas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum dan perbandingan
hukum. Sedangkan penelitian hukum sosiologis atau empiris merupakan penelitian
terhadap identifikasi hukum dan efektifitas hukum dalam dinamika sosial
kemasyarakatan. Untuk itu hukum seringkali dihubungkan dengan dinamika
kemasyarakatan yang sedang dan akan terjadi.

Namun berbeda menurut Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, SH., MS., LLM[31] yang
menyatakan bahwa penelitian socio-legal research (penelitian hukum sosiologis)
bukan penelitian hukum. Menurut beliau penelitian hukum sosiologis maupun
penelitian hukum hanya memiliki objek yang sama, yakni hukum. Penelitian hukum
sosiologis hanya menempatkan hukum sebagai gejala sosial, dan hukum hanya
dipandang dari segi luarnya saja, dan yang menjadi topik seringkali adalah efektifitas
hukum, kepatuhan terhadap hukum, implementasi hukum, hukum dan masalah
sosial atau sebaliknya. Untuk itu hukum selalu ditempatkan sebagai variabel terikat
dan faktor-faktor non-hukum yang mempengaruhi hukum dipandang sebagai
variabel bebas.[32] Dalam Penelitian hukum sosiologis untuk menganalisis hipotesa
diperlukan data, sehingga hasil yang diperoleh adalah menerima atau menolak
hipotesis yang diajukan.

Berbeda menurut beliau dengan penelitian hukum, yang bukan mencari jawaban
atas efektifitas hukum, oleh sebab itu beliau menyatakan bahwa dalam penelitian
hukum tidak dikenal istilah hipotesis, variabel bebas, data, sampel atau analisis
kualitatif dan kuantitatif, yang diperlukan hanya pemahaman tentang Undang-
Undang yang ditelaah. Penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum
yang diajukan sehingga hasilnya memberikan preskripsi mengenai apa seyogianya.

Hemat saya tidak perlu harus saling menyalahkan antar satu dan yang lainnya.
Namun yang pasti perdebatan tentang Teori Hukum Murni dan Sosiological
Yurisprudance (hukum sosiologis) bukan hanya terjadi belakangan ini dan hanya di
Indonesia saja. Yang pasti aliran hukum diatas merupakan 2 (dua) pandangan besar
yang satu sama lain memiliki cara pandang yang berbeda.[33] Itulah yang kemudian
berdampak kepada perdebatan masalah penelitian hukum sebagaimana di jelaskan
oleh pakar hukum terkemuka yang ada di Indonesia yang saling berbeda pandangan
mengenai metode dalam penelitian hukum.

Aliran hukum positif juga dikenal sebagai aliran legisme. Aliran ini selalu
mengidentikkan hukum dengan Undang-Undang, tidak ada hukum di luar Undang-
Undang, satu-satunya sumber hukum adalah Undang-Undang. Pandangan-
pandangan hukum positif ini dipertahankan oleh Paul Laband, Jellineck, Rudolf von
Jherings, Hans Nawiasky, Hans Kelsen dan lain-lain.[34] Aliran hukum positif mulai
berkembang di Jerman pada abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh di
berbagai negara, tidak terkecuali di Indonesia.

John Austin memberikan pengertian dan batasan tentang cakupan ilmu


hukum. Pertama, hukum merupakan perintah penguasa, kedua, hukum merupakan
sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup, ketiga, hukum positif terdiri dari unsur-
unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan, di luar itulah hanyalah moral
positif (positive morality).[35]

Pendapat lain lain datang dari Hans Kelsen yang menyatakan ”hukum haruslah
dibersihkan dari anasir-anasir bukan hukum, seperti anasir etika, sosiologi, politik
dan sebagainya”.[36] Kelsen juga menerangkan bahwa hukum
sebagai (sollenskatagori), yaitu hukum sebagai keharusan bukan
sebagai (seinskategori) yakni sebagai kenyataan,[37] yakni orang menaati hukum
karena sudah perintah negara, untuk itu pelalaian terhadap itu maka akan dikenakan
sanksi. Sedangkan ajaran yang juga terkenal dari Hans Kelsen dan sering dijadikan
rujukan dalam teori hierarki (tingkatan) norma hukum adalah
ajaran ”stufentheory”[38], yakni sistem hukum pada haikatnya merupakan sistem
hierarkis yang tersusun dari peringkat terendah hingga peringkat tertinggi.

Dari pemeparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya aliran
hukum positif adalah aliran pemikiran hukum yang memberikan penegasan terhadap
bentuk hukum (Undang-Undang), isi hukum (perintah penguasa), ciri hukum (sanksi,
perintah, kewajiban, dan kedaulatan) dan sistematisasi norma hukum (hierarki
norma hukum Kelsen). Secar implisit aliran ini hakikatnya juga menegaskan
beberapa hal:

Pertama, bahwa pembentuk hukum adalah penguasa

Kedua, bahwa bentuk hukum adalah Undang-Undang; dan

Ketiga hukum diterapkan terhadap pihak yang di kuasai.

Sangat berbeda dengan sosiological jurisprudence yang merupakan aliran filsafat


hukum yang memberi perhatian sama kuatnya terhadap masyarakat dan hukum,
sebagai dua unsur utama hukum dalam penciptaan dan pemberlakuan hukum.
[39] Itulah yang menyebabkan perbedaan yang tajam antara kalangan pemikir
hukum normatif dan kalangan pemikir hukum sosiologis. Karena pemikir hukum
sosiologis mendasarkan hukum pada teori tentang hubungan antara kaidah-kaidah
hukum dengan kenyataan masyarakat.[40]

Pendasar mazhab ini dapat disebutkan, misalnya Roscoe Pound, Eugen ehrlich,
Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gaurvitch dan lain-lain.[41] Mazhab ini lebih
mengarah pada kenyataan daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam
masyarakat. Inti dasar prinsip pemikiran mazhab ini adalah hukum yang baik adalah
hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.[42] Hukum lahir
dan berkembang seiring dengan kemajuan zaman, sehingga hukum tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Seperti gejala-gejala peradaban lain, hukum
juga dapat ditinjau secara sosiologis, dapat diteliti hubungan ekonomis dan
kemasyarakatan apa, aliran bidang kejiwaan kejiwaan apa yang telah menimbulkan
pranata hukum tertentu.[43]

Pada prinsipnya ialah sosiological jurisprudence menekankan pada masalah-


masalah evaluasi hukum (kualisifikasi hukum yang baik), kedudukan hukum tertulis
dan tidk tertulis, fungsi hukum sebagai sarana rekayasa sosial,[44] dengan cara
pembentukan hukum yang baik (yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat), dan cara penerapan hukum.

Dari perbedaan dua pandangan besar antara paradigma hukum positif dengan
hukum sosiologis, tidak perlu untuk saling menjatuhkan dengan saling menyalahkan
antara teori yang satu dengan teori yang lainnya, mengingat kedua-duanya sama-
sama memiliki kelebihan dan kekuarangan. Paradigma hukum positif dapat di
gunakan untuk mempelajari tentang bentuk hukum (Undang-Undang), isi hukum
(perintah penguasa), ciri hukum (sanksi, perintah, kewajiban, dan kedaulatan) dan
sistematisasi norma hukum (hierarki norma hukum) sedangkan paradigma hukum
sosiologis dapat digunakan untuk mengevaluasi hukum (kualisifikasi hukum yang
baik), kedudukan hukum tertulis dan tidk tertulis, sebagai sarana rekayasa sosial,
cara pembentukan hukum yang baik (yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat), dan cara penerapan hukum yang efektif.

5. Kritik Terhadap Teori Hukum Murni

Pada dasarnya Kelsen hanya mempertimbangkan aspek hukum positif saja, tanpa
mempertimbangkan keadilan atau ketidakadilannya. Padahal menurut Stammer
kemurnian mutlak bagi teori hukum apapun adalah tidak mungkin. Kelsen harus
mengakui manakala teori memasuki pertanyaan-pertanyaan tentang norma
fundamental yang bertentangan. Pertanyaan yang merupakan norma fundamental
yang valid, dimana teori murninya tidak dapat dihindari, karena tanpa itu maka
keseluruhan bangunan akan runtuh.[45] Dari sisi yang lain Lauterpacht seorang
pengikut Kelsen mempertanyakan apakah teori hierarki tidak menyatakan secara
langsung sebuah pengakuan akan prinsip-prisnsip hukum alam.[46]

Selain itu peraturan-peraturan hukum dibuat supaya ada hukum, bukan berarti
supaya ada hukum. Dengan demikian maka dengan adanya hukum maka perlu
untuk menegakkan kemanusiaan, dengan demikian hukum tidak identik dengan
undang-undang. Di sisi yang lain hukum diperlukan penggarapan terus-menerus,
dikarenakan hukum dalam hal ikhwal juga terdapat peraturan hukum yang melawan
hukum karena bertentangan dengan kemanusiaan. Untuk itu tidak dapat kemudian
teori hukum murni ini digunakan sepenuhnya dalam konteks bernegara, sehingga
Konsep hukum responsive yang diajarkan oleh Philippe Nonet and Philip
Selznick tidak dapat diterapkan dengan baik.
Menurut Friedmann, hukum sebagai suatu sistem terdiri dari sub-sub sistem yang
saling bergerak yang tidak dapat terpisahkan dan terpengaruh satu dengan lainnya.
Sub-sub sistem itu terdiri dari: Substansi Hukum (legal substance), Struktur Hukum
(legal structure), dan Kultur Hukum (legal culture). Adapun budaya hukum yang baik
akan terbentuk apabila semua pihak secara sungguh-sungguh dilibatkan untuk
berpartisipasi secara penuh dalam proses pembentukan hukum, agar semua orang
benar-benar merasa memiliki hukum itu. Karena begitu besarnya peran budaya
hukum itu, maka ia dapat menutupi kelemahan dari legal substance dan legal
structure.

Jadi menurut Friedmann hukum memiliki ruang lingkup yang sangat luas, tidak
terbatas pada tekstual berupa peraturan perundang-undangan. Dalam berfungsinya
hukum ditengah masyarakat tidak saja membutuhkan undang-undang belaka tetapi
membutuhkan hal-hal lainnya seperti budaya masyarakat, aparat penegak hukum
maupun sarana dan prasarana. Dari sini kita bisa melihat bahwa aliran positivisme
berusaha memahami hukum hanya sebatas tekstual.

B.Hukum Alam
Para filosof Yunani kuno melihat keteraturan alam dan menyimpulkan bahwa alam
memiliki tujuan, sasaran atau arah tertentu. Manusia adalah bagian dari alam,
karenanya manusia juga memiliki tujuan tertentu yang sesuai dengan tujuan alam.
Dengan kata lain, alam menentukan seperangkat tujuan tertentu bagi manusia dalam
rangka tatanan alam. Pandangan yang melihat alam dan tempat manusia di
dalamnya dalam rangka tujuan, sasaran arah tertentu ini disebut pandangan
teleologis.

Dalam rangka filsafat teleologis ini, yang pandangannya menitik beratkan pada alam,
sejumlah filosof Yunani kuno menarik konsekuensi-konsekuensi berkenaan dengan
hakikat hukum, sehingga teori hukum mereka disebut teori hukum alam. Dengan
demikian, diperolehnya nama teori hukum alam adalah karena dasar pandangan ini
mengaitkan secara erat antara hukum dan alam.

Oleh seorang penulis dikatakan bahwa para filosof Yunani kuno telah banyak
memikirkan tentang berbagai gejala kehidupan, termasuk persoalan hukum seperti
hakikat hukum, bentuk pemerintahan yang baik, dan sebagainya. Mereka dalam
mencari jawaban terhadap berbagai gejala kehidupan tidaklah menyandarkan
jawabannya kepada para dewa (Zeus, dan sebagainya) yang menjadi kepercayaan
umum waktu itu. Mereka menggunakan akal budi, nalar (reason) yang hasilnya
berupa dikesampingkannya para dewa sebagai kekuatan pengatur jagad raya dan
menerima hukum alam (natural law) untuk menjelaskan berbagai gejala.

Aliran hukum alam merupakan aliran filsafat hukum yang paling tua dan nama ini
masih bertahan sampai sekarang. Aliran ini dimulai oleh para filosof Yunani kuno
kemudian mengalami perkembangan dan perubahan. Aliran ini akan diuraikan
berdasarkan tahap perkembangannya, yaitu :

1. Teori Hukum Alam Klasik;


2. Teori Hukum Alam Theologis;
3. Teori Hukum Alam Rasionalistis;
4. Runtuhnya Teori Hukum Alam; dan
5. Kebangkitan Kembali teori Hukum Alam.

Teori Hukum Alam Klasik


Aliran hukum alam dimulai oleh para filosof Yunani kuno. Para penulis umumnya
memisahkan para filosof Yunani kuno atas :

1. Para filosof Pra Socrates. Tokoh yang penting untuk era ini yaitu Zeno (490 -
430 S.M.); dan
2. Era Socrates, Plato, dan Aristoteles.

Zeno dan pengikutnya dikenal sebagai filosof Stoa sebab mereka mengajar di antara
pilar - pilar yang dikenal sebagai stoa. Di antara pilar - pilar itu Zeno dan kemudian
para pengikutnya mengajar sambil berjalan diikuti oleh para murid mereka. Zeno
tergolong ke dalam para filosof Pra Socrates, akan tetapi usia Zeno dan Socrates
tidak terpaut terlalu jauh, yaitu usia Zeno lebih tua kira - kira 20 (dua puluh) tahun
daripada Socrates. Karya - karya Zeno pada umumnya hanya dapat diketahui karena
disebutkan atau dikutip oleh penulis - penulis kemudian seperti oleh Aristoteles.

Zeno menganut kepercayaan pantheisme. Pantheisme (Greek: πάν (pan) = semua,


dan, θεός (theos') = tuhan, secara hurufiah berarti "tuhan adalah semua" dan "semua
adalah tuhan"), yaitu pandangan bahwa tuhan adalah personifikasi dari total
penjumlahan segala sesuatu. Keseluruhan jagad raya, makhluk hidup, dan benda
mati, semuanya itu dipersonifikasi sebagai tuhan.

Filosof Stoa mengemukakan keberadaan suatu tatanan yang rasional dan memiliki
maksud tertentu (a rational dan purposeful order) yang mengatur alam semesta
(pandangan teleologis sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya). Tatanan ini
disebut sebagai hukum abadi (eternal law). Dengan demikian, hukum abadi adalah
suatu tatanan rasional dan memiliki maksud tertentu yang mengatur alam semesta.
Hukum abadi merupakan hukum akal budi kosmos (the law of reason of the cosmos).

Cara -cara dengan mana seorang makluk rasional (a rational being) hidup sesuai
dengan tatanan tersebut adalah hukum alam (natural law). Dengan kata lain, hukum
alam (natural law) adalah cara - cara dengan mana seorang makhluk rasional hidup
sesuai dengan hukum abadi. Bagaimana manusia sebagai makhluk rasional dapat
mengetahui tentang hukum alam ? Para filosof Yunani kuno berpendapat bahwa
manusia merupakan bagian dari alam, di mana manusia mempunyai tujuan yang
selaras dengan tujuan alam. Alam juga memberikan panduan bagi kehidupan
manusia berupa tatanan moral. Tatanan moral ini dipandang sebagai bagian dari
tatanan alam, sehingga kewajiban - kewajiban moral dapat dibaca dari alam.

Hukum alam pada dasarnya bersifat umum sehingga lebih merupakan kewajiban -
kewajiban moral. Kewajiban-kewajiban moral ini merupakan hal amat penting bagi
teori hukum alam klasik, di mana keabsahan (validitas) menurut moral merupakan
syarat logis untuk keabsahan hukum, sehingga hukum yang tidak adil atau immoral
sama sekali bukan hukum.

Socrates, Plato, dan Aristoteles mengemukakan tentang keberadaan keadilan


alam (natural justice). Dalam Rhetorica, Aristoteles mencatat bahwa selain hukum
khusus (particular) yang oleh tiap rakyat ditetapkan untuk diri mereka sendiri, artinya
dibuat oleh manusia sendiri, juga ada suatu hukum umum (common) yaitu yang
sesuai dengan alam (nature). Oleh karena Aristeles yang paling banyak menulis
mengenai teori hukum alam termasuk mengutip bagaimana pandangan Zeno, maka
Aristoteles yang sering disebut sebagai Bapak Teori Hukum Alam. Pokok - pokok
Pandangan Teori Hukum Alam Klasik, yaitu :

1. Alam telah menetapkan seperangkat tujuan bagi manusia. Ini disebut


pandangan teleologis (Greek : telos = tujuan);
2. Dalam alam telah tertulis kewajiban - kewajiban moral. Dengan demikian,
tatanan moral merupakan bagian dari tatanan alam. Oleh karena aliran ini
pada saat kelahirannya (yaitu pandangan - pandangan dari Zeno, Socarates,
Plato, dan Aristoteles) memberikan tekanan yang besar pada alam, yaitu alam
telah menetapkan seperangkat tujuan bagi manusia (teleologis) dan dalam
alam telah tertulis kewajiban - kewajiban moral, maka teori ini dinamakan
teori hukum alam. Ini merupakan asal usul dari nama teori hukum alam.
Dengan demikian, teori hukum alam klasik ini memiliki sifat metafisika
(metaphysics, di luar alam fisik; meta = di luar; physics = fisik);
3. Keabsahan (validitas) hukum tergantung pada keabsahan menurut moral. Jika
hukum bertentangan dengan moral maka hukum itu bukanlah merupakan
hukum yang sah;
4. Adanya hubungan antara alam, moral, dan hukum; dan
5. Ada hukum yang tetap sama, di manapun dan kapanpun (abadi).

Teori Hukum Alam Theologis


Tokoh paling menonjol dari teori hukum alam theologis adalah Thomas Aquinas
(1225 – 1274). Aquinas mengintegrasikan teori hukum alam klasik ke dalam ajaran
gereja sebagai bagian dari filsafat hukumnya. Dalam bukunya Summa Theologica,
Aquinas membedakan 4 (empat) macam hukum, yaitu:

1. Hukum Abadi;
2. Hukum Alam;
3. Hukum Manusia; dan
4. Hukum Sakral.

Hukum Abadi
Hukum Abadi (Lat.: Lex Aeterna; Ingg.: Eternal Law), yaitu Kebijaksanaan Ilahi
(Lat.: ratio divinae sapientiae; Ingg.: Divine Wisdom) yang mengarahkan semua
tindakan dan gerakan. Di zaman Yunani kuno, konsep Hukum Abadi dikemukakan
oleh filsuf Stoa. Filsuf Stoa mengemukakan keberadaan suatu tatanan yang rasional
dan memiliki maksud tertentu (a rational and purposeful order) yang mengatur alam
semesta. Tatanan ini disebut sebagai hukum abadi (eternal law). Dengan demikian,
hukum abadi (eternal law) adalah suatu tatanan rasional dan memiliki maksud
tertentu yang mengatur alam semesta.

Seorang pemikir gereja, St. Augustinus12 (354 - 430), menyatakan bahwa melalui
ratio Ketuhanan diciptakan segalanya. Dalam Tuhan terletak suatu rencana tentang
berjalannya semesta alam. Rencana tentang alam ini oleh St. Augustinus disebut
hukum abadi (Lex Aeterna). Oleh Augustinus, konsep Hukum Abadi dari zaman
Yunani kuno dikaitkan dengan kepercayaan Kristen terhadap Tuhan. Pandangan ini
kemudian diikuti oleh St. Aquinas.

Hukum Alam
Hukum Alam (Lat.: Lex Naturalis; Ingg.: Natural Law), yaitu turut sertanya manusia
sebagai makhluk berakal (bernalar) ke dalam Hukum Abadi. Manusia adalah manusia
yang memiliki akal atau nalar (reason). Manusia, termasuk akal atau nalarnya adalah
ciptaan Tuhan sehingga karenanya dengan akal atau nalar ini manusia sedikit banyak
dapat juga menangkap Hukum Abadi sekalipun tidak seluruhnya.

Hukum Manusia
Hukum Manusia (Lat.: Lex Humana; Ingg.: Human Law), yaitu rincian lebih lanjut dari
Hukum Alam dengan menggunakan akal manusia. Hal ini karena Hukum Alam masih
merupakan asas - asas yang umum sehingga manusia dengan menggunakan akalnya
perlui untuk memproses lebih lanjut untuk masalah-masalah tertentu. Perincian -
perincian lebih lanjut ini, dengan menggunakan akal manusia, disebut Hukum
Manusia.

Hukum Sakral
Hukum Sakral (Lat.: Lex Divina; Ingg.: Divine Law), yaitu hukum yang diwahyukan oleh
Tuhan dalam Kitab Suci.

4 (empat) macam hukum dalam arti filsafat ini tidaklah persis sama dengan hukum
dalam kenyataan sehari - hari. Menurut Thomas Aquinas, hukum dalam kenyataan
sehari-hari tidak lain dari pada mendikte sebuah alasan praktis yang berasal dari
penguasa yang memerintah sebuah komunitas yang sempurna.
Teori Hukum Alam Rasionalistis
Tokoh teori hukum alam rasionalistis adalah Hugo de Groot atau Grotius (1583 –
1645). Grotius menentang teori hukum alam theologis yang diajarkan oleh Thomas
Aquinas. Menurut Grotius, prinsip-prinsip hukum alam berasal dari akal (rasio)
intelektual manusia. Prinsip - prinsip hukum alam terlepas sama sekali dari perintah
Tuhan dan Tuhan pun tidak dapat merubahnya sebagaimana 2 x 2 = 4, Tuhan pun
tidak dapat merubahnya.

Tuhan hanya merupakan causa remota (sebab yang jauh) dari hukum alam, sebab
Tuhan adalah pencipta manusia dan rasio manusia. Hanya itu saja hubungannya.
Selanjutnya manusialah yang menjabarkan prinsip - prinsip hukum alam dari akal
(rasio) manusia sendiri. Menurut Grotius, prinsip hukum alam utama dalam Hukum
Internasional, yaitu pacta sunt servanda (perjanjian adalah mengikat). Teori hukum
alam yang rasionalistis ini juga merupakan dasar dari pandangannya tentang Mare
Liberum (Lautan Bebas).

Runtuhnya Teori Hukum Alam


Di abad ke-18 dan ke-19, teori hukum alam melemah karena :

1. Berkembangnya ilmu pengetahuan dengan metode empiris yang sifatnya


induktif, bukan lagi deduktif;
2. Masyarakat Eropa yg makin kompleks menghendaki pendekatan sosiologis
bukan lagi abstrak.

Montesquieu (1689 - 1755) melakukan kajian perbandingan hukum dengan hasil


bahwa tiap bangsa punya hukum yang berbeda. Juga F.C. von Savigny (1779-1861)
tokoh aliran sejarah (historical jurisprudence) berpandangan bahwa Volkgeist (jiwa
bangsa) menghasilkan hukum yang berbeda untuk tiap bangsa. Kata-kata von
Savigny yang termasyur :
“Das Recht wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem Volke” (hukum tidak dibuat
tetapi ada dan tumbuh bersama bangsa).

Kebangkitan Kembali Teori Hukum Alam


Penulis sekarang ada yang menyebut tentang kebangkitan kembali hukum alam,
tetapi yang dimaksudkan dengan kebangkitan kembali itu bukanlah kebangkitan
teori hukum alam secara utuh. Teori-teori filsafat hukum sekarang tidak dapat lagi
dimasukkan ke dalam kelompok-kelompok tradisional seperti teori hukum alam
maupun positivisme karakteristik teori hukum alam sekarang, yaitu:
1. Hubungan hukum dan moral, tidak seminim teori positivisme klasik, yaitu
madzab analitis dari John Austin akan dijelaskan berikut nanti akan tetapi
tidak sedominan teori hukum alam klasik;
2. Lebih rasional dan sekuler, melepaskan teori metafisika dan theologis;
3. Termasuk di sini, yaitu teori minimum content of natural law dari H. L. A. Hart
(1907 - 1992), yaitu : survival. Hukum harus mengandung isi tertentu untuk
memastikan direalisasikannya kehendak untuk survival dari manusia.

Sumbangan - sumbangan teori hukum alam, antara lain :

1. Mengingatkan adanya aspek moral dari hukum;


2. Melahirkan doktrin-doktrin penting, antara lain; pacta sunt servanda, hak asasi
manusia.

Demikian penjelasan singkat mengenai Aliran Hukum Alam pada Filsafat Hukum
yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan
tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima kasih.

BAB 3

A.kesimpulan
Hukum Alam dan Hukum Murni Hukum Alam dan Hukum Murni adalah dua konsep
fundamental dalam filsafat Islam yang mempunyai dampak signifikan terhadap ilmu
pengetahuan dan etika modern. Hukum Alam mengacu pada hukum alam yang
mengatur alam semesta, sedangkan Hukum Murni mengacu pada hukum Tuhan
yang mutlak dan tidak berubah. Relevansi dengan Sains Modern Konsep Hukum
Alam telah berpengaruh dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern,
khususnya di bidang fisika dan astronomi. Hukum alam yang ditemukan melalui
observasi dan eksperimen dipandang sebagai bukti keberadaan pencipta ilahi yang
telah menganugerahi alam semesta dengan keteraturan dan tujuan. Namun konsep
Hukum Murni lebih kontroversial karena digunakan untuk membenarkan penindasan
terhadap penelitian ilmiah dan penolakan terhadap teori ilmiah tertentu yang
bertentangan dengan keyakinan agama. Hal ini menimbulkan perdebatan tentang
peran agama dalam sains dan ketegangan antara iman dan akal. Dampak terhadap
Etika Konsep Hukum Alam dan Hukum Murni juga mempunyai dampak yang
signifikan terhadap etika, khususnya di bidang moralitas dan keadilan. Gagasan
tentang pencipta ilahi yang telah menganugerahi alam semesta dengan keteraturan
dan tujuan telah digunakan untuk membenarkan gagasan tentang kode moral
universal yang berlaku bagi semua umat manusia. Namun konsep Hukum Murni juga
digunakan untuk membenarkan penolakan terhadap prinsip-prinsip moral tertentu
dan mendukung etika berbasis agama yang mungkin bertentangan dengan nilai-nilai
sekuler dan hak asasi manusia. Hal ini menimbulkan perdebatan tentang peran
agama dalam etika dan ketegangan antara iman dan akal.

DAFTAR PUSTAKA

www.google.com/search?
q=makalah+hukum+murni+dan+hukum+alam+
+filsafat+ilmu+hukum&sca_esv=574206006&sxsrf=AM9HkKmazZ
R7LS-rLqSCCi0udYJioXQmOg
%3A1697571258926&ei=uuEuZeSVONqHg8UPjaW68AE&ved

www.google.com/search?
q=kesimpulan+hukum+murni+dan+hukum+alam+
+filsafat+ilmu+hukum&sca_esv=574206006&sxsrf=AM9HkKlrgg
WSzujgiF267PwHO17aVR9j5Q
%3A1697570431935&ei=f94uZZPhONOZ4-EPndKhgAc&ved

https://www.google.com/search?
q=hukum+alam+filsafat+ilmu+hukum&sca_esv=574206006&sxsrf
=AM9HkKlxANJ9wr8x4E8GN4u8z49Xm3Vxcw
%3A1697570066313&ei=Et0uZfXfEt694-
EPvomdgAs&ved=0ahUKEwj1sKKm5f2BAxXe3jgGHb5EB7AQ4dU
DCBA&uact=5&oq=hukum+alam+filsafat+ilmu+hukum&gs_lp=Eg
xnd3Mtd2l6LXNlcnAiHmh1a3VtIGFsYW0gZmlsc2FmYXQgaWxtdS
BodWt1bTIIECEYoAEYwwQyCBAhGKABGMMEMggQIRigARjDBDII
ECEYoAEYwwRIt-
0BUIBlWPp4cAJ4AJABAJgBjAGgAYgKqgEEMC4xMLgBA8gBAPgBAc
ICChAAGEcY1gQYsAPCAgUQABiiBMICCBAAGAgYBxgewgIKEAAYC
BgHGB4YCsICBhAAGAgYHsICChAhGKABGMMEGAriAwQYACBBiAY
BkAYI&sclient=gws-wiz-serp

https://www.google.com/search?
q=hukum+murni+filsafat+ilmu+hukum&sca_esv=574206006&sxs
rf=AM9HkKngTEmB1gzskNrSnQIYw8A8U7dhTw
%3A1697569797187&ei=BdwuZc7_CoGv4-
EPjbqzsAc&ved=0ahUKEwiOlvil5P2BAxWB1zgGHQ3dDHYQ4dUD
CBA&uact=5&oq=hukum+murni+filsafat+ilmu+hukum&gs_lp=Eg
xnd3Mtd2l6LXNlcnAiH2h1a3VtIG11cm5pIGZpbHNhZmF0IGlsbXU
gaHVrdW0yBRAAGKIEMgUQABiiBDIFEAAYogQyBRAAGKIESP4UUJ
QFWKwKcAB4ApABAJgBggGgAdAEqgEDMS40uAEDyAEA-
AEBwgIEEAAYR8ICBxAjGLACGCfiAwQYACBBiAYBkAYI&sclient=gws
-wiz-serp

https://www.academia.edu/7322116/
TEORI_HUKUM_MURNI_HANS_KELSEN

Anda mungkin juga menyukai