NPM : 1806182896
Kelas : Filsafat Hukum - B (Paralel)
1
Diterjemahkan secara bebas sebagai “as many men, so many opinions” yang berarti bahwa sebanyak
jumlah manusia, sebanyak itulah pula jumlah pendapat yang ada. Dari penafsiran berbagai bahasa pun diperoleh
makna yang berbeda-beda terhadap istilah jurisprudence, sebagaimana dalam bahasa Inggris, “jurisprudence”
disebut sebagai ilmu hukum. Untuk menghindari ketidaktepatan, dalam bahasa Inggris digunakanlah istilah
jurisprudence untuk suatu disiplin yang pokok bahasannya adalah hukum, bukan “the science of law”
Sementara kata “jurisprudence” dalam bahasa Perancis dan kata “jurisprudentie” dalam bahasa Belanda
diartikan sebagai putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Adapun istilah ilmu hukum dalam
bahasa Belanda adalah “rechtswetenschap” sedangkan dalam bahasa Perancis yakni “théorie générale du droit,”
dan dalam bahasa Jerman secara bergantian menyebutnya sebagai “Jurisprudenz” dan “Rechtswissenschaft.”
Adapun menurut Roscoe Pound; “jurisprudence is the science of law, using the term law in the judicial
sense, as denoting the body of principles recognized or enforced by public or regular tribunals in the
administration of justice” (dikutip dari Peter Mahmud Marzuki, “Karakteristik Ilmu Hukum,” Yuridika: Jurnal
Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Vol. 23 No. 2 (2008), hlm. 1.)
2
Ibid., hlm. 9.
3
Ibid.
4
Robert L. Hayman, Jurisprudence: Contemporary Readings, Problems, and Narratives, (St. Paul
Minnesota: West Publishing Company, 1994), hlm. 5.
5
Anonymus, “Nature of Jurisprudence” dalam buku ajar Filsafat Hukum (Depok: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2012), hlm. 4.
6
Ibid.
7
Anonymous, “Nature of Jurisprudence : The Relevance of Jurisprudence,” dalam buku ajar Filsafat
Hukum (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012) hlm. 28.
Acquiring Social Knowledge
Salah satu “tugas” dari jurisprudence adalah untuk memberikan epistemologi hukum,
yakni teori pengetahuan (theory of knowledge) atau kajian mengenai sumber, struktur, metode
dan validitas suatu objek pengetahuan, khususnya dalam hal ini adalah bidang hukum.
Muncul berbagai pertanyaan terkait hal tersebut, seperti bagaimana suatu pengetahuan itu
diperoleh? Dari manakah sumbernya?. Mulanya, para ahli berusaha menjawab hal tersebut
dengan mengadopsi metodologi dari ilmu pengetahuan alam (natural sciences), sebagaimana
pada abad ke-19, perkembangan penting dari ilmu pengetahuan alam telah mempengaruhi
berbagai lapangan ilmu lainnya. Pandangan ini diprakarsai oleh John Stuart Mill yang
kemudian disebut dengan “naturalistic” social science. Dalam A System of Logic (1843),
Mill menerapkan metode ilmiah terhadap studi ilmu sosial, begitu pula sebelumnya, seorang
positivis; Auguste Comte, dalam Cours de Philosophie Positive (1830 - 1832) menyajikan
pandangan serupa untuk menggunakan metode ilmu alamiah dalam menerangkan evolusi
sosial. Akan tetapi, metode “naturalistic” social science tersebut memiliki 2 permasalahan
utama; pertama, bahwa fenomena yang dikaji oleh kedua pendekatan ini berbeda dimana
ilmu alam mengkaji soal permasalahan/materi, sementara ilmu sosial mengkaji manusia, dan
hal tersebut memicu permasalahan selanjutnya yakni peneliti ilmu sosial tidak dapat
mengalami pengalaman orang lain.8 Perspektif seseorang yang berbeda satu sama lain,
menyebabkan seseorang tidak dapat mengalami pengalaman yang sama dengan orang
lainnya. Atas permasalahan tersebut, para peneliti mengemukakan pendekatan observasi
perilaku (behaviour), yang ternyata juga memiliki kelemahan sebab adanya bahaya akan
hilangnya signifikansi perilaku dari subjek yang diteliti tersebut. Oleh karena itu, para
theorist mengusulkan pendekatan observasi tindakan (action), sebab suatu “tindakan” akan
memberikan gambaran terhadap realitas sosial. Dampaknya adalah diperlukan suatu prosedur
dalam melakukan studi hukum menurut pola ilmu sosial. Pada dasarnya sulit untuk
mengkarakterisasi jurisprudence, mengingat terlalu banyak ruang lingkup di dalamnya.
Namun secara luas, terlihat bahwa jurisprudence berkaitan dengan tindakan yang diatur oleh
suatu aturan, dengan aktivitas para pejabat seperti hakim dan hubungan pejabat dengan
populasi masyarakat tertentu.9
8
Ibid.,: Acquiring Social Knowledge,” hlm. 11
9
Ibid.
10
Ibid., hlm. 12.
11
Ibid.
2
Immanuel Kant mengemukakan perbedaan antara sein (being) dan sollen (ought).12 Sollen
(ought) mengindikasikan cara berfikir normatif, sedangkan Sein (Is) mengindikasikan cara
berfikir empiris.13 Sistem nilai atas sesuatu yang bersifat seyogyanya atau seharusnya (should
or ought) serta gagasan preskriptif, tidak termasuk dalam bidang ilmu sosial maupun ilmiah,
akan tetapi termasuk ke dalam ilmu hukum sebab ilmu-ilmu deskriptif (meliputi ilmu alamiah
maupun sosial), bertujuan untuk mencapai suatu keniscayaan (truth).14 Mengingat kajian
hukum bukan sebagai suatu kajian yang empiris, Gijssels dan van Hoecke mengatakan bahwa
jurisprudence merupakan suatu ilmu pengetahuan yang secara sistematis dan teroganisasikan
tentang gejala hukum, struktur kekuasaan, norma-norma, hak-hak dan kewajiban.15
12
Soerjono Soekanto menafsirkan hal tersebut yakni kaidah hukum berisi kenyataan normatif (apa
yang seyogianya dilakukan): das Sollen, dan bukan berisi kenyataan alamiah atau peristiwa konkret: das Sein.
Dalam hukum yang terpenting bukanlah apa yang terjadi tetapi apa yang seharusnya terjadi (dikutip dari
Soerjono Soekanto, Mengenal Hukum: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Penerbit Cahaya Atma Pustaka, 2010),
hlm. 20.
13
Marzuki, “Karakteristik Ilmu …” , hlm. 8.
14
Ibid.
15
Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, What is Rechtsteorie? (Antwerrpen: Kluwer Academic
PublishersAntwerrpen, 1982), hlm. 8.
16
Anonymous, “Nature of Jurisprudence : Form (or Structure) and Content” dalam buku ajar Filsafat
Hukum (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012) hlm. 14.
17
Ibid.
18
J. Austin, “The Uses of The Study of Jurisprudence,” (ed. H. L. A. Hart, 1954), dalam buku ajar
Filsafat Hukum (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012), hlm. 21.
19
Ibid., hlm. 22.
20
Ibid.