Anda di halaman 1dari 3

Nama : Vanya Amanda Filza Yunas

NPM : 1806182896
Kelas : Filsafat Hukum - B (Paralel)

RESUME FILSAFAT HUKUM


Nature of Jurisprudence
Sebagaimana adagium “quot homines, tot sententiae”,1 tidak terdapat pengertian baku
terhadap istilah “jurisprudence” sebab penafsiran yang dilakukan oleh sejumlah tokoh
terhadap istilah tersebut berbeda-beda sebagaimana para ahli hukum memiliki gagasan serta
batasan tersendiri terhadap pengertian jurisprudence. Adapun perbedaan penafsiran para
tokoh terhadap istilah ini berkaitan erat dengan ideologi yang dianut. Istilah jurisprudence
sendiri berasal dari kata iuris yang merupakan bentuk jamak dari ius, yang berarti hukum
yang dibuat oleh masyarakat, kebiasaan dan bukan perundang-undangan, serta prudentia,
yang berarti kebijaksanaan atau pengetahuan.2 Dengan demikian Jurisprudence berarti
kebijaksanaan yang berkaitan dengan hukum atau pengetahuan hukum.3 Jurisprudence dapat
pula didefinisikan secara luas sebagai semua yang bersifat teoretis tentang hukum.4 Di
Indonesia, istilah jurisprudence diterjemahkan menjadi “yurisprudensi”, padahal kedua istilah
ini apabila ditelaah, memiliki makna yang berbeda. Pada pokoknya, jurisprudence
melibatkan studi terkait pertanyaan teoritis umum tentang sifat alamiah suatu hukum dan
sistem hukum (nature of laws and legal systems), hubungan antara hukum dengan keadilan
dan moralitas, serta sifat sosial hukum (social nature of law).5 Diskusi terhadap
pertanyaan-pertanyaan tersebut umumnya meliputi pemahaman dan penggunaan teori
filosofis serta sosiologis dan penemuannya terhadap penerapan hukum.6 Studi terkait
jurisprudence dapat mendorong para pelajar untuk mampu mengembangkan pemahaman
yang lebih luas terhadap sifat alamiah hukum dan bagaimana hukum berjalan.7

1
Diterjemahkan secara bebas sebagai “as many men, so many opinions” yang berarti bahwa sebanyak
jumlah manusia, sebanyak itulah pula jumlah pendapat yang ada. Dari penafsiran berbagai bahasa pun diperoleh
makna yang berbeda-beda terhadap istilah jurisprudence, sebagaimana dalam bahasa Inggris, “jurisprudence”
disebut sebagai ilmu hukum. Untuk menghindari ketidaktepatan, dalam bahasa Inggris digunakanlah istilah
jurisprudence untuk suatu disiplin yang pokok bahasannya adalah hukum, bukan “the science of law”
Sementara kata “jurisprudence” dalam bahasa Perancis dan kata “jurisprudentie” dalam bahasa Belanda
diartikan sebagai putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Adapun istilah ilmu hukum dalam
bahasa Belanda adalah “rechtswetenschap” sedangkan dalam bahasa Perancis yakni “théorie générale du droit,”
dan dalam bahasa Jerman secara bergantian menyebutnya sebagai “Jurisprudenz” dan “Rechtswissenschaft.”
Adapun menurut Roscoe Pound; “jurisprudence is the science of law, using the term law in the judicial
sense, as denoting the body of principles recognized or enforced by public or regular tribunals in the
administration of justice” (dikutip dari Peter Mahmud Marzuki, “Karakteristik Ilmu Hukum,” Yuridika: Jurnal
Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Vol. 23 No. 2 (2008), hlm. 1.)
2
Ibid., hlm. 9.
3
Ibid.
4
Robert L. Hayman, Jurisprudence: Contemporary Readings, Problems, and Narratives, (St. Paul
Minnesota: West Publishing Company, 1994), hlm. 5.
5
Anonymus, “Nature of Jurisprudence” dalam buku ajar Filsafat Hukum (Depok: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2012), hlm. 4.
6
Ibid.
7
Anonymous, “Nature of Jurisprudence : The Relevance of Jurisprudence,” dalam buku ajar Filsafat
Hukum (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012) hlm. 28.
Acquiring Social Knowledge
Salah satu “tugas” dari jurisprudence adalah untuk memberikan epistemologi hukum,
yakni teori pengetahuan (theory of knowledge) atau kajian mengenai sumber, struktur, metode
dan validitas suatu objek pengetahuan, khususnya dalam hal ini adalah bidang hukum.
Muncul berbagai pertanyaan terkait hal tersebut, seperti bagaimana suatu pengetahuan itu
diperoleh? Dari manakah sumbernya?. Mulanya, para ahli berusaha menjawab hal tersebut
dengan mengadopsi metodologi dari ilmu pengetahuan alam (natural sciences), sebagaimana
pada abad ke-19, perkembangan penting dari ilmu pengetahuan alam telah mempengaruhi
berbagai lapangan ilmu lainnya. Pandangan ini diprakarsai oleh John Stuart Mill yang
kemudian disebut dengan “naturalistic” social science. Dalam A System of Logic (1843),
Mill menerapkan metode ilmiah terhadap studi ilmu sosial, begitu pula sebelumnya, seorang
positivis; Auguste Comte, dalam Cours de Philosophie Positive (1830 - 1832) menyajikan
pandangan serupa untuk menggunakan metode ilmu alamiah dalam menerangkan evolusi
sosial. Akan tetapi, metode “naturalistic” social science tersebut memiliki 2 permasalahan
utama; pertama, bahwa fenomena yang dikaji oleh kedua pendekatan ini berbeda dimana
ilmu alam mengkaji soal permasalahan/materi, sementara ilmu sosial mengkaji manusia, dan
hal tersebut memicu permasalahan selanjutnya yakni peneliti ilmu sosial tidak dapat
mengalami pengalaman orang lain.8 Perspektif seseorang yang berbeda satu sama lain,
menyebabkan seseorang tidak dapat mengalami pengalaman yang sama dengan orang
lainnya. Atas permasalahan tersebut, para peneliti mengemukakan pendekatan observasi
perilaku (behaviour), yang ternyata juga memiliki kelemahan sebab adanya bahaya akan
hilangnya signifikansi perilaku dari subjek yang diteliti tersebut. Oleh karena itu, para
theorist mengusulkan pendekatan observasi tindakan (action), sebab suatu “tindakan” akan
memberikan gambaran terhadap realitas sosial. Dampaknya adalah diperlukan suatu prosedur
dalam melakukan studi hukum menurut pola ilmu sosial. Pada dasarnya sulit untuk
mengkarakterisasi jurisprudence, mengingat terlalu banyak ruang lingkup di dalamnya.
Namun secara luas, terlihat bahwa jurisprudence berkaitan dengan tindakan yang diatur oleh
suatu aturan, dengan aktivitas para pejabat seperti hakim dan hubungan pejabat dengan
populasi masyarakat tertentu.9

Normative Character of Law


Ketika hukum ditekankan sebagai suatu ilmu, umumnya dapat menyebabkan
diabaikannya aspek penting dari konsep hukum itu sendiri. Dalam hal inilah jurisprudence
dilihat sebagai ilmu yang mempelajari pola faktual atas suatu perilaku. Akan tetapi ilmu
hukum memiliki karakteristik yang normatif, yakni bahwa hukum bukan merupakan
kumpulan pernyataan terkait fakta, melainkan merupakan suatu aturan atau norma yang
menunjukkan apa yang seharusnya dilakukan.10 Adanya sanksi yang timbul merupakan
konsekuensi terhadap ketidakpatuhan seseorang, sehingga sanksi tidak selalu tidak terkait
secara empiris dengan suatu aturan atau pelanggarannya.11 Berkaitan dengan hal tersebut,

8
Ibid.,: Acquiring Social Knowledge,” hlm. 11
9
Ibid.
10
Ibid., hlm. 12.
11
Ibid.

2
Immanuel Kant mengemukakan perbedaan antara sein (being) dan sollen (ought).12 Sollen
(ought) mengindikasikan cara berfikir normatif, sedangkan Sein (Is) mengindikasikan cara
berfikir empiris.13 Sistem nilai atas sesuatu yang bersifat seyogyanya atau seharusnya (should
or ought) serta gagasan preskriptif, tidak termasuk dalam bidang ilmu sosial maupun ilmiah,
akan tetapi termasuk ke dalam ilmu hukum sebab ilmu-ilmu deskriptif (meliputi ilmu alamiah
maupun sosial), bertujuan untuk mencapai suatu keniscayaan (truth).14 Mengingat kajian
hukum bukan sebagai suatu kajian yang empiris, Gijssels dan van Hoecke mengatakan bahwa
jurisprudence merupakan suatu ilmu pengetahuan yang secara sistematis dan teroganisasikan
tentang gejala hukum, struktur kekuasaan, norma-norma, hak-hak dan kewajiban.15

Pendapat Para Ahli Filsafat


J. Austin mengemukakan adanya konsep General dan Particular Jurisprudence.16
General Jurisprudence atau yang disebut pula sebagai General Principles of Positive Law,
berkaitan dengan prinsip-prinsip umum yang berlaku pada berbagai sistem hukum.17 Adapun
subjek dari General Jurisprudence meliputi prinsip/asas, gagasan, dan perbedaan; yang
umum dikaji dalam sistem hukum.18 Sementara Particular Jurisprudence, adalah ilmu yang
mempelajari prinsip hukum pada sistem hukum tertentu, sekaligus menjadi jurisprudence
yang paling pragmatis.19 Menurut Austin, subjek jurisprudence yang tepat adalah hukum
positif, sebab hukum positif terhubung terhadap berbagai sistem hukum, dan bahwa hukum
positif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu, adalah suatu sistem atau “body of law”
itu sendiri.20 Terdapat pula beberapa tokoh lain yang membahas konsep yang membantu
pemahaman terhadap jurisprudence, diantaranya W. L. Twinning dalam “Some Jobs for
Jurisprudence”, mengemukakan fungsi hukum yaitu untuk menyalurkan (conduit). Kemudian
J. Skhlar dalam “Legalism” mengemukakan konsep Hukum dan Ideologi, K. Popper dalam
“The Poverty of Historicism” mengungkapkan bahwa ilmu pengetahuan selalu
memperhatikan dengan penjelasan, prediksi, dan hipotesa, kemudian Terry Eagleton dalam
“Ideology” yang mengusulkan perbedaan antara pengertian “descriptive”, “pejorative”, dan
“positive” dalam istilah pada konsep ideologi, serta T. Campbell dalam “Seven Theories of
Human Society” mengemukakan sejumlah kriteria yang umum dipakai dalam menguji suatu
teori, yakni meliputi: Clarity, Consistency, Empirical Adequacy, Explanatory Adequacy, dan
Normative Rationality.

12
Soerjono Soekanto menafsirkan hal tersebut yakni kaidah hukum berisi kenyataan normatif (apa
yang seyogianya dilakukan): das Sollen, dan bukan berisi kenyataan alamiah atau peristiwa konkret: das Sein.
Dalam hukum yang terpenting bukanlah apa yang terjadi tetapi apa yang seharusnya terjadi (dikutip dari
Soerjono Soekanto, Mengenal Hukum: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Penerbit Cahaya Atma Pustaka, 2010),
hlm. 20.
13
Marzuki, “Karakteristik Ilmu …” , hlm. 8.
14
Ibid.
15
Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, What is Rechtsteorie? (Antwerrpen: Kluwer Academic
PublishersAntwerrpen, 1982), hlm. 8.
16
Anonymous, “Nature of Jurisprudence : Form (or Structure) and Content” dalam buku ajar Filsafat
Hukum (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012) hlm. 14.
17
Ibid.
18
J. Austin, “The Uses of The Study of Jurisprudence,” (ed. H. L. A. Hart, 1954), dalam buku ajar
Filsafat Hukum (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012), hlm. 21.
19
Ibid., hlm. 22.
20
Ibid.

Anda mungkin juga menyukai