Anda di halaman 1dari 21

0

( Critical Theory of Law )


“TEORI KRITIS TENTANG HUKUM”

Muhammad Eko Purwanto 1

I. Latar Belakang Masalah

Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang begitu penting.


Teori memberikan sarana kepada kita untuk bisa merangkum masalah yang
kita bicarakan secara lebih baik. Hal-hal yang semula tampak tersebar dan
berdiri sendiri bisa disatukan dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain
secara bermakna. Teori, dengan demikian memberikan penjelasan dengan
cara mengorganisasikan masalah yang dibicarakannya. Teori juga bisa
mengandung subyektivitas, apalagi berhadapan dengan suatu fenomena
yang cukup komplek seperti hukum. Oleh karena itulah muncul berbagai
aliran dalam ilmu hukum, sesuai dengan pandangan orang-orang yang
bergabung dalam aliran-aliran tersebut.2

Teori hukum dikenal dengan istilah lain yaitu; teori hukum (theory of
law) dalam bahasa Inggris, atau rechts (teori hukum) dalam bahasa Belanda.
Bruggink mengartikan teori hukum adalah, “suatu keseluruhan pernyataan
yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum
dan putusan putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian penting untuk
dipositifkan”. Dalam pengertian ini teori hukum bermakna ganda, yaitu
dalam pengertian sebagai produk, sebab keseluruhan pernyatan yang saling
berkaitan merupakan hasil kegiatan teoritis bidang hukum. Sementara
dikatakan sebagai proses, sebab perhatiannya diarahkan pada kegiatan
teoritis tentang hukum atau pada kegiatan penelitian teoritis bidang hukum
sendiri, tidak pada hasil kegiatan kegiatan itu. Teori hukum mengkaji tidak
hanya tentang norma akan tetapi juga mengkaji hukum dalam kenyataan.3

Menurut Riduan Syahrani, ciri–ciri teori hukum yakni sbb :

- Bahwa sudut pandang teori hukum berada didalam menyoroti


hukum yang berlaku (hukum positif tertentu), adalah sudut pandang
para ahli hukum, baik yang bergerak di bidang pembentukan hukum
maupun praktik hukum.

1 Alumni Program S2 Magister Ilmu Hukum, pada Pascasarjana Universitas Islam As-
Syafi’iyyah (UIA) Jakarta (NIM : 2220150017), dan Dosen Prodi Manajemen STIE BII
(NIDN : 0410126601).
2 Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Cet 6, Citra Aditya Abadi, Bandung, hlm. 259.
3 Salim, HS, 2009, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 256.
1

- Bahwa teori hukum bertujuan mendapatkan pengetahuan yang lebih


baik dan lebih mendasar tentang hukum yang berlaku, untuk
kepentingan hukum positif. Dalam rangka mencapai tujuannya, teori
hukum mempergunakan metode interdisipliner, dengan memanfaat-
kan faktor faktor non yuridis yang terdapat dalam masyarakat yang
bersangkutan.4

Sedangkan menurut Otje Salman dan Anthon F. Susanto, adapun


ruang lingkup teori hukum meliputi : Mengapa hukum berlaku? Apa dasar
kekuatan mengikatnya? Apa yang menjadi tujuan hukum? Bagaimana
seharusnya hukum itu dipahami? Apa hubungan dilakukan oleh hukum?
apakah keadilan itu, bagaimana hukum yang adil.

Sementara itu, teori hukum, menurut Budiono Kusumohamidjojo,


merupakan usaha untuk mendekati atau menerangkan kompleks hukum
sebagai fenomena dengan bertolak dari postulat-postulat atau premis-premis
tertentu, dapat bersifat historis (mazhab Historis) atau dialektis (mazhab
Dialektis), ataupun bertolak dari kenyataan hukum postif (mazhab Positivis)
atau dari ambisi untuk membebaskan hukum dan anasir-anasir politik dan
kekuasaan (mazhab hukum Murni).5

Teori Hukum tidak sama dengan apa yang kita pahami dengan
hukum positif, hal ini perlu diperjelas untuk menghindarkan kesalah
pahaman. Teori Hukum dapat disebut sebagai kelanjutan dari usaha
mempelajari hukum positip, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian
itu kita dapat merekonstruksikan kehadiran teori hukum itu secara jelas.6
Pada saat orang mempelajari hukum posistip, maka ia sepanjang waktu
dihadapkan pada peraturan-peraturan hukum dengan segala cabang
kegiatan dan permasalahannya, seperti kesalahannya, penafsiran dan
sebagainya.7 Tetapi sudah merupakan sifat manusia yang tidak pernah puas
dan selalu ingin bertanya atau mempertanyakan segala sesuatu.
Kemampuan manusia untuk melakukan penalaran tidak ada batasnya, hal
itu semakin mendorong rasa penasaran untuk mencari sesuatu yang baru
yang berbeda dengan apa yang telah ada.

4 H. Riduan Syahrani, 2009, Kata Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.
5 Dansur, Peranan Hakim Dalam Penemuan Hukum, Makalah, 1 Nopember 2006.
6 H.R. Otje Salman S., & Anton F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali, Refika Aditama, hlm. 45.
7 Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Cet 6, Citra Aditya Abadi, Bandung, hlm. 259.
2

Kemampuan untuk melakukan penalaran yang demikian itulah yang


membawa manusia kepada penjelasan yang lebih konkrit atau sebaliknya
dari segala sesuatu yang terinci naik sampai penjelasan-penjelasan yang
bersifat filsafat. Teori Hukum akan mempermasalahkan hal-hal seperti yang
telah dijelaskan diatas, yaitu : mengapa hukum itu berlaku? Apa dasar
kekuatan mengikatnya? Apa yang menjadi tujuan hukum? Bagaimana
seharsunya hukum itu dipahami? Apa hubungannya dengan individu,
dengan masyarakat? Apa yang seharusnya dilakukan oleh hukum? Apakah
keadilan itu? Bagaimanakah hukum yang adil?

Dari pertanyaan-pertanyaan diatas, maka beberapa aliran muncul


dalam rangka mengembangkan Teori Hukum, dan masing-masing teori
tersebut memiliki cara pandang yang berbeda-beda. Berdasarkan hal
tersebut maka kami, kelompok III, tertarik untuk menyusun makalah ini
dengan judul : ―Teori Kritis Tentang Hukum.‖

II. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah diatas, dapat ditarik rumusan


masalahnya, sebagai berikut :

1. Bagaimana dinamika pemikiran Legal Realism ?


2. Bagaimana dinamika pemikiran Critical Legal Studies ?
3. Bagaimana dinamika pemikiran Hukum dan Ekonomi ?
4. Bagaimana dinamika pemikiran Feminist Jurisprudence ?

III. Tujuan

Sedangkan tujuan penyusunan makalah ini, adalah :

1. Untuk memahami dinamika pemikiran Legal Realism.


2. Untuk memahami dinamika pemikiran Critical Legal Studies.
3. Untuk memahami dinamika pemikiran Hukum dan Ekonomi.
4. Untuk memahami dinamika pemikiran Feminist Jurisprudence.

IV. Manfaat

1. Manfaat Teoritis
a. Secara teoritis melalui makalah ini diharapkan dapat bermanfaat
bagi pengembangan Ilmu Hukum, khususnya matakuliah Filsafat
Hukum.
3

b. Menambah pemahaman peneliti dan sebagai bahan pustaka


Matakuliah Filsafat Hukum di Program Magister Hukum,
Pascasarjana Universitas Islam As-Syafi’iyyah (UIA).

2. Manfaat Praktis
a. Menambah wawasan mahasiswa dalam bidang Filsafat Hukum,
khususnya tentang Analisis tentang Critical Theory of Law.
b. Sebagai informasi dan sekaligus menjadi salah satu bahan
pengetahuan untuk melakukan analisis tentang Teoro-teori
Hukum.
c. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat umum, dalam
upaya mengkritisi teori-teori hukum.

V. Metodologi Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data.

Data-data dalam makalah ini diperoleh dengan menggunakan metode


penelitian kepustakaan (Library Research). Metode ini dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari :
a). Bahan-bahan primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat dan terdiri dari
buku-buku, jurnal, dan lain-lain, yang terkait dengan masalah yang
dibahas.
b). Bahan-bahan sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan
terhadap bahan-bahan primer berupa artikel-artikel hasil-hasil
penelitian, atau pendapat pakar hukum lainnya.

2. Prosedur Pengumpulan Data.

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan pada


makalah ini, maka pengumpulan bahan-bahan referensi dilakukan dalam
rangka memperoleh data sekunder. Langkah awalnya adalah dengan
melakukan inventarisasi terhadap sumber-sumber sebagai referensi,
kemudian menuliskannya secara sistematis.

3. Analisis Data.

Pada makalah ini, analisis dilakukan secara deskriptif-kualitatif,


sedangkan pengolahan data dilakukan dengan cara mensistematika bahan-
bahan atau buku-buku. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap
4

bahan-bahan yang ada, tersebut untuk memudahkan analisis dan


merumuskan konstruk atau konsep.8

VI. Pembahasan

1. Dinamika Pemikiran Legal Realism.

Pemikiran Legal Realism muncul bermula dari adanya penolakan


terhadap pemikiran atau aliran positivisme. Gagasan yang dilontarkan
adalah pernyataan bahwa kalau positivisme hukum merupakan teori hukum
yang benar maka teori itu akan mencakup semua hukum, termasuk
menangani kasus-kasus berat (hard cases). Ternyata kasus-kasus berat ini
tidak diatur oleh aturan-aturan yang ada. Atau dengan pertanyaan: “apakah
legal positivism menyediakan teori yang benar mengenai putusan peradilan,
khususnya dalam menyelesaikan kasus-kasus berat?” ternyata pertanyaan ini
merupakan problem yang sukar dipecahkan bagi pengikut positivism.9

Perlu diketahui, bahwa Austin sebagai pelopor positivisme hukum,


menyatakan bahwa hukum adalah perintah penguasa yang berdaulat,
sedangkan Hans Kelsen menyatakan bahwa hukum adalah kehendak dari
negara. Atau dengan kata lain, menyatakan bahwa hukum adalah sesuatu
yang positif yakni Undang-Undang (positive law) dan hukum kebiasaan
(positive morality). Tetapi positive morality bisa menjadi hukum apabila telah
dikukuhkan menjadi Undang-Undang oleh pejabat yang berwenang (Badan
Legislatif).

Menanggapi hal ini, tokoh-tokoh Legal Realism yang berasal dari


kalangan praktisi hukum, yakni Holmes (1841-1935), Jerome Frank (1859-
1957) dan seorang ahli ilmu sosial, Karl Nickerson Llewellyn (1893-1962),
melihat kenyataan bahwa tidak semua kasus yang ada di pengadilan,
khususnya kasus-kasus berat diatur dalam Undang-Undang. Sehingga pada
kenyataannya hakim mempunyai peranan yang lebih bebas untuk memilih
dan menentukan serta lebih kreatif didalam penerapan hukum dari pada
sekadar mengambil di dalam aturan-aturan yang dibuat oleh penguasa
(Undang-Undang). Dalam praktiknya ternyata faktor seperti temperamen,
psikologis hakim, kelas sosial dan nilai-nilai yang ada pada hakim lebih
berfungsi dalam pengambilan keputusan hukum dari pada aturan-aturan
yang tertulis.10

8 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 251-252.
9 Azizy, A. Qadri, 2002, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi antara Hukum Islam dan
Hukum Umum, Gama Media Offset, Yogyakarta, Cet I, hlm. 205.
10 Ibid., Hlm. 206.
5

Sehubungan dengan hal ini, W. Friedmann menjelaskan bahwa


menjelang abad kesembilan belas terjadi sikap skeptisisme yang sehat, yang
mengecam rasa puas diri para penganut ilmu hukum analitik, idealisme
hukum baru yang terdiri dari sebagian metafisis dan sebagian sosiolog,
membelok dan mulai menentang positivisme analitis dan berbalik mulai
menyelidiki realitas dalam masyarakat modern dalam hubungannya dengan
hukum modern.11 Pragmatisme merupakan rumusan baru dari filsafat yang
sangat tua, yang mendorong kearah pendekatan baru pada hukum yang
melihat ke arah barang-barang yang terakhir, hasil-hasil dan akibat-akibat.12

Dalam pandangan aliran realisme hukum (legal realism), hukum


tidak statis dan selalu bergerak secara terus menerus sesuai dengan
perkembangan zaman dan dinamika masyarakat. Tujuan dari hukum selalu
dikaitkan dengan tujuan masyarakat tempat hukum itu diberlakukan. Hasil
renungan ini memang banyak kemiripiannya dengan mazhab sejarah dan
sociological jurisprudence, namun realisme hukum (legal realisme) lebih
bermaksud mengarah kepada apa yang dilakukan sebenarnya oleh
pengadilan dengan orang-orangnya, studi yang dibangun berasal dari studi
tentang hukum dan pelaksanaannya dan tidak berdasarkan pada konsep-
konsep hukum tradisional. Karena itu, seperti yang dikatakan oleh Roscoe
pound, yang dimaksudkan dengan istilah ‗‘realisme‖ oleh kaum realisme hukum
adalah kesetiaan pada alam, dengan mencatat kejadian apa adanya, bukan
sebagaimana yang dibayangkan, atau sebagaimana yang diinginkan, atau
sebagaimana yang dipikirkan, ataupun sebagaimana yang dirasakan.13

Pendapat John Chipman Gray memiliki slogan yang terkenal adalah


All the law is judge made law (sumber hukum utama adalah putusan-putusan
hakim). Pandangan Gray dan Holmes sumber utama dari hukum ada pada
hakim sebagai titik pusat perhatian dan penyelidikan hukum bukan pada
undang-undang. Selain itu dalam pembentukan perundang-undangan yang
memiliki peranan penting tidak hanya dengan menggunakan logika, namun
harus pula didukung oleh unsur kepribadian, prasangka dan unsur-unsur
lain di luar logika berpengaruh sangat besar.14

Sementara dalam pandangan Llewellyn terhadap hukum dalam


realism hukum sama dengan memandang bagaimana seorang advokat
memandang hukum. Bagi seorang advokat, yang terpenting dalam

11 Friedmann, W., 1990, alih bahasa Muhammad Arifin, Teori dan Filsafat Hukum, Telaah
Kritis atas Teori-Teori Hukum, CV. Rajawali, Jakarta, Cet ke 1 hlm. 187.
12 Ibid., hlm. 189
13 Muhamad Erwin, 2011, “Filsafat Hukum Refleksi Kritis terhadap Hukum,” PT. Gajagrafindo
Persada, Jakarta, hlm. 198.
14 Ibid., hal. 201
6

memandang hukum adalah bagaimana memprediksikan hasil dari suatu


proses hukum dan bagaimana masa depan dari kaidah hukum tersebut.
Karena itu agar dapat memprediksikan secara akurat atas hasil dari suatu
keputusan hukum, seorang advokat haruslah juga mempertimbangkan
putusan-putusan hukum pada masa lalu untuk kemudian memprediksikan
putusan pada masa yang akan datang.15

Sementara itu Alex Hagestrom, filsuf dari Skandinavia, dalam


pandangan realisnya memandang hukum sebagai perasaan psikologis yang
kelihatan dari rasa wajib, rasa senang mendapat keuntungan, rasa takut akan
reaksi dari masyarakat apabila yang bersangkutan tak melakukan tindakan
tertentu. Oleh sebab itu, ilmu pengetahuan hukum harus bertitik tolak dari
kenyataan-kenyataan empiris yang relevan dalam bidang hukum.16

Jadi, hal yang pokok dalam teori hukum realis adalah ―gerakan dalam
pemikiran dan kerja tentang hukum‖. Ciri-ciri dari gerakan ini, Llewellyn
menyebut beberapa hal, yang terpeting diantaranya :

1. Tidak ada mazhab realis, realisme adalah gerakan dalam pemikiran dan
kerja tentang hukum.
2. Realisme adalah konsepsi hukum yang terus berubah dan alat untuk
tujuan-tujuan sosial, sehingga tiap bagian harus diuji tujuan dan
akibatnya. Realisme mengandung konsepsi tentang masyarakat yang
berubah lebih cepat daripada hukum.
3. Realisme menganggap adanya pemisahan sementara, antara hukum
yang ada dan yang seharusnya ada, untuk tujuan-tujuan studi.
Pendapat-pendapat tentang nilai harus selalu diminta agar tiap
penyelidikan ada sasarannya, tetapi selama penyelidikan, gambaran
harus tetap sebersih mungkin, karena keinginan-keinginan pengamatan
atau tujuan-tujuan etis.
4. Realisme tidak percaya pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi-
konsepsi hukum, sepanjang ketentuan dan konsepsi itu menggambarkan
apa yang sebenarnya dilakukan oleh pengadilan-pengadilan dan orang-
orang. Realisme menerima peraturan-peraturan sebagai “ramalan-
ramalan umum tentang apa yang akan dilakukan oleh pengadilan-pengadilan.”
5. Realisme menekankan pada evolusi tiap bagian dari hukum dengan
mengingat akibatnya.17

15 Ibid., hal.203
16 Ibid., hal. 204
17 Op., Cit., Friedmann, W. hlm.191-192.
7

Llewellyn sebagai salah satu tokoh Pragmatic Legal Realism, mengalisa


perkembangan hukum di dalam kerangka hubungan antara pengetahuan-
pengetahuan hukum dengan perubahan-perubahan keadaan masyarakat.
Hukum merupakan bagian dari kebudayaan yang antara lain mencakup
kebiasaan, sikap-sikap maupun cita-cita yang ditransmisikan dari suatu
generasi tertentu ke generasi berikutnya. Dengan kata lain, hukum
merupakan bagian kebudayaan yang telah melembaga. Lembaga-Lembaga
tersebut telah terorganisir dan harapannya terwujud di dalam aturan-aturan
eksplisit yang wajib ditaati serta didukung oleh para ahli.18

Jadi yang namanya hukum itu bukan hanya yang tertulis dalam
Undang-Undang atau ketentuan dan peraturan tertulis, namun lebih besar
ditentukan oleh hakim di pengadilan yang pada umumnya didasarkan pada
kenyataan di lapangan. Hakim punya otoritas untuk menentukan hukum
ketika menjatuhkan putusan di pengadilan, meskipun putusannya itu dalam
beberapa hal tidak selalu sama dengan apa yang tertulis dalam Undang-
Undang atau aturan lainnya. Sehubungan dengan itu moralitas hakim sangat
menentukan kualitas hukum yang merupakan hasil putusan pengadilan itu.
Dengan demikian, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa suatu kasus tidak
dapat diadili karena belum ada hukum tertulis yang mengaturnya.19

Pokok-pokok pendekatan kaum realis yang digariskan oleh Llewellyn


antara lain :
1. Hendaknya konsepsi hukum itu menyinggung hukum yang berubah-
ubah dan hukum yang diciptakan oleh pengadilan.
2. Hukum adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial.
3. Masyarakat berubah lebih cepat dari hukum, karenanya selalu
diperlukan penyelidikan untuk mengetahui bagaimana hukum itu
menghadapi problem-problem sosial yang ada.
4. Guna keperluan studi harus ada perbedaan antara “is” dan “ought”
5. Tidak mempunyai anggapan bahwa peraturan-peraturan dan konsep
hukum itu sudah mencukupi apa yang harus dilakukan oleh pengadilan.
Hal ini selalu merupakan masalah utama dalam pendekatan terhadap
hukum.
6. Sehubungan dengan butir di atas, mereka juga menolak teori tradisional
yang mengatakan bahwa peraturan hukum itu merupakan faktor utama
dalam mengambil keputusan.
7. Mempelajari hukum hendaknya dalam lingkup yang lebih sempit
sehingga lebih nyata. Peraturan-peraturan hukum itu meliputi situasi-

18 Soerjono Soekanto, 2005, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat, CV. Rajawali,
Jakarta, Cet V, hlm. 33.
19 Op., Cit., Azizy, A. Qadri, hlm. 207-208
8

situasi yang banyak dan berbeda-beda, karena itu ia bersifat umum,


tidak konkret dan tidak nyata.
8. Hendaknya hukum itu dinilai dari efektifitasnya dan kemanfaatannya
untuk menemukan efek-efek tersebut.

Akhirnya secara ringkas, Llewellyn sendiri membuat sebuah


ungkapan yang paling tepat menurutnya, “realisme bukanlah suatu filosofi,
tetapi suatu teknologi, suatu metoda, bukan yang lain”.20

2. Dinamika Pemikiran Critical Legal Studies.

Para teoritisi postmodern percaya, pada prinsipnya hukum tidak


mempunyai dasar yang objektif dan tidak ada yang namanya kebenaran
sebagai tempat berpijak dari hukum. Dengan kata lain, hukum tidak
mempunyai dasar berpijak, yang ada hanya kekuasaan. Akhir-akhir ini,
mereka yang disebut juga dengan golongan antifoundationalistis, telah
mendominasi pikiran-pikiran tentang teori hukum dan merupakan pembela
gerakan Critical Legal Studies.21 Yang menjadi ukuran bagi hukum bukanlah
benar atau salah, bermoral atau tidak bermoral melainkan hukum
merupakan apa saja yang diputuskan dan dijalankan oleh kelompok
masyarakat yang paling berkuasa.22

Critical Legal Studies merupakan sebuah gerakan yang muncul pada


tahun tujuh puluhan di Amerika Serikat. Gerakan ini merupakan kelanjutan
dari aliran hukum realisme Amerika yang menginginkan suatu pendekatan
yang berbeda dalam memahami hukum, tidak hanya seperti pemahaman
selama ini yang bersifat Socratis. Beberapa nama yang menjadi penggerak
Critical Legal Studies adalah Roberto Unger, Duncan Kennedy, Karl Klare, Peter
Gabel, Mark Tushnet, Kelman, David trubeck, Horowitz, dan yang lainnya.

Perbedaan utama antara Critical Legal Studies dengan pemikiran


hukum lain yang tradisional adalah bahwa Critical Legal Studies menolak
pemisahan antara rasionalitas hukum dan perdebatan politik. Tidak ada
pembedaan model logika hukum; hukum adalah politik dengan baju yang
berbeda. Hukum hanya ada dalam suatu ideologi. Critical Legal Studies
menempatkan fungsi pengadilan dalam memahami hukum sebagai
perhatian utama.

20
Leod, Ian Mc, 1999, Legal Theory, Macmillan Press Ltd, hlm. 123
21
Munir Fuady, 2003, Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidakberdayaan Hukum), Citra Aditya
Bakti, Bandung, hlm. 1.
22 Ibid.,
9

Walaupun menolak dikatakan sebagai tipe pemikiran Marxis yang


membedakan antara suprastruktur dan infrastruktur serta hukum sebagai
alat dominasi kaum kapitalis, Critical Legal Studies mendeklarasikan peran
untuk membongkar struktur sosial yang hierarkhis. Struktur sosial
merupakan wujud ketidakadilan, dominasi, dan penindasan. Tugas kalangan
hukum adalah membawa perubahan cara berpikir hukum dan perubahan masyarakat.
Pemikiran ini terinspirasi pemikiran filsafat kritis dari Jurgen Habermas,
Emil Durkheim, Karl Mannheim, Herbert Marcuse, Antonio Gramsci, dan
lain-lain. Jurgen Habermas, Karl Mannheim, Herbert Marcuse, dan Antonio
Gramsci adalah tokoh-tokoh utama mahzab kritis.23

Fokus sentral pendekatan critical legal studies adalah untuk mendalami


dan menganalisis keberadaan doktrin-doktrin hukum, pendidikan hukum
dan praktek institusi hukum yang menopang dan mendukung sistem
hubungan-hubungan yang oppressive (bersifat menindas) dan tidak egaliter.
Teori kritis bekerja untuk mengembangkan alternatif lain yang radikal, dan
untuk menjajagi peran hukum dalam menciptakan hubungan politik,
ekonomi dan sosial yang dapat mendorong terciptanya emansipasi
kemanusiaan.24 Dalam perkembangan lebih lanjut, pendekatan critical legal
studies telah melahirkan generasi kedua yang lebih menitikberatkan
pemikiran dan perjuangannya dengan menggunakan hukum untuk
merekontruksi kembali realitas sosial yang baru.

Aliran critical legal studies memiliki beberapa karakterisik umum


sebagai berikut :25
1. Mengkritik hukum yang berlaku yang nyatanya memihak ke politik dan
sama sekali tidak netral.
2. Mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan ideologi tertentu.
3. Mempunyai komitmen yang besar terhadap kebebasan individual sesuai
dengan batasan-batasan tertentu. Karena itu aliran ini banyak
berhubungan dengan emansipasi kemanusiaan. Karena hal itulah, maka
tidak mengherankan apabila pada perkembangannya di kemudian hari
Critical Legal Studies ini melahirkan pula Feminist Legal Theory dan Critical
Race Theory.
4. Kurang mempercayai bentuk-bentuk kebenaran yang abstrak dan
pengetahuan yang benar-benar objekif. Karena itu, ajaran ini menolak
keras ajaran-ajaran dalam aliran positivisme hukum. Aliran critical legal
studies menolak unsur kebenaran objektif dari ilmu pengetahuan hukum,
23
http://lingkarstudipolitikhukum.blogspot.com/2007/09/gerakan-studi-hukum-kritis-
critical.html. Disakses pada tanggal, 14 September 2016.
24
Peter Fitzpatrict dan Alan Hunt, 1987, Critical Legal Studies, Basil Blackwell Ltd, New
York, hlm. 2
25
Ibid., hlm.90
10

dan menolak-pula kepercayaan terhadap unsur keadilan, ketertiban, dan


kepastian hukum yang objektif, sehingga mereka mengubah haluan
hukum untuk kemudian digunakan sebagai alat untuk menciptakan
emansipasi dalam dunia politik, ekonomi, dan sosial budaya.
5. Menolak perbedaan antara teori dan praktek, dan menolak juga
perbedaan antara fakta dan nilai yang merupakan karakteristik dari
paham liberal. Dengan demikian aliran ini menolak kemungkinan teori
murni (pure teory), tetapi lebih menekankan pada teori yang memiliki
daya pengaruh terhadap transfomasi sosial yang praktis. Sejalan dengan
hal itu, namun dalam kalimat yang berbeda, Gary Minda dengan
mengutip pendapat dari James Boyle mengatakan bahwa, “Critical Legal
Studies offered not merely a theory of law, but a hopeful self-conception of a
politically active, socially responsible [vision] of a noble calling”.

Pada prinsipnya, critical legal studies menolak anggapan ahli hukum


tradisional yang mengatakan sebagai berikut :26
1. Hukum itu objektif. Artinya, kenyataannya adalah tempat berpijaknya
hukum.
2. Hukum itu sudah tertentu. Artinya, hukum menyediakan jawaban yang
pasti dan dapat dimengerti.
3. Hukum itu netral, yakni tidak memihak pada pihak tertentu.

Di samping menolak ketiga anggapan tersebut, para penganut ajaran


critical legal studies mengajukan pandangannya sebagai berikut :27

1. Hukum mencari legitimasi yang salah; Dalam hal ini, hukum mencari
legitimasi dengan cara yang salah yaitu dengan jalan mistifikasi, dengan
menggunakan prosedur hukum yang berbelit, dan bahasa yang susah
dimengerti, yang merupakan alat pemikat sehingga pihak yang ditekan
oleh yang punya kuasa cepat percaya bahwa hukum adalah netral.
2. Hukum dibelenggu oleh kontradiksi-kontradiksi; Dalam hal ini, pihak
penganut critical legal studies percaya bahwa setiap kesimpulan hukum
yang telah dibuat selalu terdapat sisi sebaliknya, sehingga kesimpulan
hukum tersebut hanya merupakan pengakuan terhadap pihak
kekuasaan. Dengan hukum yang demikian, mereka akan berseru ”pilih
sisi/pihakmu, tetapi jangan berpura-pura menjadi objektif”. Dalam hal ini,
hakim akan memihak pada salah satu pihak (yang kuat) yang dengan
sendirinya akan menekan pihak lain.
3. Tidak ada yang namanya prinsip-prinsip dasar dalam hukum; Ahli
hukum yang tradisional percaya bahwa prinsip yang mendasari setiap

26 Op., Cit., Munir Fuady, op. cit, hlm. 6


27 Ibid., hlm. 6-7
11

hukum adalah ”pemikiran yang rasional”. Akan tetapi menurut


penganut aliran ini, pemikiran rasional itu merupakan ciptaan
masyarakat juga, yang merupakan pengakuan terhadap kekuasaan.
Karena itu, tidak ada kesimpulan hukum yang valid yang diambil dengan jalan
deduktif maupun dengan verifikasi empiris.
4. Hukum Tidak Netral; Penganut critical legal studies berpendapat bahwa
hukum tidak netral, dan hakim hanya berpura-pura atau percaya secara
naif bahwa dia mengambil putusan yang netral dan tidak memihak
dengan mendasari putusannya pada undang-undang, yurisprudensi
atau prinsip-prinsip keadilan. Padahal mereka, selalu bisa dan selalu
dipngaruhi oleh ideologi, legitimasi, mistifikasi yang dianutnya untuk
memperkuat kelas yang dominan.

3. Dinamika Pemikiran Hukum dan Ekonomi.

Pertemuan antara ekonomi dan hukum bukanlah hal baru.


Pendekatan ekonomi terhadap hukum dapat ditemukan dalam karya para
penganut utilitarianisme misalnya Cesare Bonesara (1764) and Jeremy
Bentham (1789); karya ekonomi politik Adam Smith (1776) and Karl Marx
(1861); serta aliran American Institutionalist School yang dikaitkan dengan
karya John R. Commons (1929).28

Law and Economics awalnya merupakan gagasan dari ekonom (non


hukum) yang melihat adanya potensi memanfaatkan instrumen hukum demi
tercapainya hasil optimal dalam menerapkan kebijakan publik khususnya dalam
bidang ekonomi.29 Ahli hukum menyambut baik gagasan tersebut dalam
upaya mengatasi permasalahan yang terjadi dimasyarakat. Gagasan
ekonomi ini sebenarnya berangkat dari keyakinan bahwa masalah manusia
adalah bagaimana memilih yang terbaik dari berbagai pilihan yang ada sementara
sumber daya sangat terbatas. Jawaban atas pertanyaan ini adalah salah satu isu
utama dari apa yang dipelajari dalam ilmu ekonomi.30

Berdasarkan pertimbangan inilah, para ekonom memiliki cara baru


membuat model-model ekonomi31 sebagai alat analisis yang dikaitkan

28
Cento Veljanovski, 2006, The Economics of Law, Ed. 2, The Institute of Economic Affairs,
London, hlm. 27.
29
Jhonny Ibrahim, 2009, Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum: Teori dan Implikasi
Penerapannya dalam Penegakan Hukum, Putra Media Nusantara & ITS Press, Surabaya,
hlm. 43.
30
Ibid.,
31 Model adalah pernyataan formal teori. Biasanya berbentuk pernyataan matematik
tentang hubungan yang diandaikan sebelumnya atau dua atau lebih variabel. Karl E.
12

dengan perlaku manusia yang bereaksi terhadap rangsangan-rangsangan


dalam bentuk insentif atau disinsentif ekonomi terhadap sebuah regulasi
maupun deregulasi ekonomi.32

Pada intinya studi Economic Analysis of Law atau Law and Economics
maupun Economics of Law adalah sebuah bidang studi yang mempelajari
penerapan metode-metode ilmu ekonomi untuk mengatasi problematika
hukum yang muncul dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.33 Teori
ekonomi yang dapat digunakan misalnya teori harga (price theory) dan
metode statistika yang diaplikasikan untuk menguji pembentukan, struktur,
proses dan pengaruh dari suatu institusi hukum.34

Secara garis besar Law and Economics menerapkan pendekatannya


untuk memberikan sumbangan pikiran atas dua permasalahan dasar
mengenai aturan-aturan hukum. Yakni analisis yang bersifat positive atau
descriptive, berkenaan dengan pertanyaan apa pengaruh aturan-aturan
hukum terhadap tingkah laku orang yang bersangkutan (the identification of
the effects of a legal rule); dan analisis yang bersifat normative, berkenaan
dengan pertanyaan apakah pengaruh dari aturan-aturan hukum sesuai
dengan keinginan masyarakat (the social desirability of a legal rule). Pendekatan
yang dipakai Law and Economics terhadap dua permasalahan dasar tersebut,
adalah pendekatan yang biasa dipakai dalam analisis ekonomi secara umum,
yakni menjelaskan tingkah laku, baik manusia secara perorangan maupun
perusahaan-perusahaan, yang berwawasan ke depan (forward looking) dan
rasional, serta mengadopsi kerangka kesejahteraan ekonomi untuk menguji
keinginan masyarakat.35

Steven Shavell menjelaskan lebih lanjut mengenai analisis yang


bersifat deskriptif dan normatif dari Law and Economics dengan
mengemukakan manfaat atau tujuan akhir dari analisis dimaksud. Dengan
analisis deskriptif dapat dikatakan rasional, bilamana orang bertindak untuk
memaksimalkan tujuan atau keuntungan yang diharapkannya. Sebagai
contoh adalah pertanyaan mengapa orang sangat berhati-hati dalam
mengendarai kendaraannya, walaupun misalnya orang tersebut mempunyai
asuransi, dapat dijawab dengan kemungkinan bahwa ia tidak mau
mengalami luka akibat kecelakaan, adanya ketentuan mengenai tanggung

Case dan Ray C. Fair, 2002, Prinsip-Prinsip Ekonomi Mikro [Principles of Economics], Ed. 5,
diterjemahkan oleh Benyamin MolanPrenhallindo, Jakarta, hlm. 12.
32 Ibid., hlm. 41.
33 Ibid., hlm. 9.
34 Op., Cit., Veljanovski, hlm. 24.
35 Steven Shavell, Foundation of Economic Analysis of Law, (Cambridge: Harvard University
Press, 2004), hlm. 1-3
13

jawab atau adanya resiko diajukan ke pengadilan. Sedangkan dengan


analisis normatif dapat diterangkan, bahwa satu aturan hukum tertentu lebih
baik dari aturan hukum lain, bilamana memberikan level tertinggi bagi
ukuran kesejahteraan sosial. Contoh yang dapat diberikan misalnya
bilamana masyarakat menghendaki untuk meminimalisasi jumlah
kecelakaan lalu lintas, maka aturan hukum yang terbaik adalah yang
memberikan hukuman atau sanksi bagi penyebab-penyebab kecelakaan.36

Tokoh utama yang dianggap memberikan inspirasi munculnya


pemikiran Analisis ekonomi atas hukum tersebut adalah si utilitarian Jeremy
Bentham (1789). Ia berpendapat bahwa terdapat kecenderungan orang
berperilaku dengan tujuan mendapatkan sebesar mungkin kenikmatan dan
meminimalisir sekecil mungkin penderitaan.37 Tokoh pemikir utilitarianisme
ini melakukan pengujian secara sistemik bagaimana orang bertindak
berhadapan dengan insentif-insentif hukum dan mengevaluasi hasil-
hasilnya menurut ukuran-ukuran kesejahteraan sosial (social welfare).
Pemikirannya ini dituangkan dalam karya-karya tulisnya berupa analisis
hukum pidana dan penegakannya, analisis mengenai hak milik dan
subtantial treatment atas proses-proses hukum.38

Teori Bentham di atas kemudian telah dikembangkan seiring dengan


tumbuhnya gerakan realisme di Amerika serikat oleh seorang Hakim Agung
di Mahkamah Agung, yakni Richard Posner. Posner mengemukakan tiga hal
fundamental dalam analisis ekonomi, yakni: pertama, terdapat hubungan
antara harga yang ditetapkan dengan jumlah permintaan (hukum
Permintaan); Kedua, para konsumen -- demikian pula kriminal—akan
diasumsikan untuk mencoba memaksimalkan nilai gunanya (Kebahagiaan,
kenikmatan, kepuasan); dan yang ketiga, bahwa sumberdaya itu cenderung
untuk menarik kegunaan yang paling bernilai jika pertukaran sukarela–
pasar mengijinkan.39 Teori ini menggarisbawahi perilaku manusia
berhadapan dengan insentif-insentif hukum dan ekonomi di masyarakat.
Oleh karena itu, hukum dapat memberikan arahan terhadap perilaku
manusia dalam koridor perilaku hukum dan ekonomi manusia.

36 Ibid.,
37 Prinsip ini sederhana karena secara alamiah orang akan cenderung menyetujui sesuai
dengan pengalamannya. Namun prinsip itu dapat diteruskan dengan mengatakan
bahwa kalau kita memaksimalkan kemampuan kita untuk menerima penderitaan maka
kenikmatan yang akan kita dapatkan pun akan semakin maksimal.
38 Peri Umar Faruk, Analisis Ekonomi Atas Perkembangan Hukum Bisnis Indonesia,
http://mhugm.wikidot.com/artikel:004. Diakses pada tanggal, 14 September 2016.
39 Bhingyuan Hsiung, Erasmus Law and Economics Review 2, no. 1 (March 2006) :1-33
14

Posner juga mengklaim dua hal yang kemudian mengundang


perdebatan yang kontroversial, yakni: Pertama, Common law legal rules are, in
fact, efficient; (Aturan hukum Common Law, pada kenyataannya efisien) ;
dan kedua, Legal Rules Ought to be efficient. (Aturan hukum seharusnyalah
efisien). Klaim bahwa Common Law adalah efisien ini mengandung
perbandingan bahwa ia lebih efisien dibanding sistem hukum yang lain di
dunia. Klaim ini dapat kita bandingkan dengan hasil penelitian Rafael La
Porta dkk.40 terhadap 49 negara dari segi perlindungan investor, yang
meletakkan negara common law sebagai negara-negara yang terbaik dalam
rangka perlindungan investornya :

“This paper examines legal rules covering prtection of corporate protection of


corporate shreholders and creditors, the origin of this rules, and the quality of
their enforcement in 49 countries. The result show that common law
countries generally have the best, and French civil law is the worst, legal
protection of investors, with German and Scandinavian civil law countries
located in the middle…”

Bruce Chapman dalam makalahnya berjudul „Economic Analysis of Law


and the Value of Efficiency‟ mengatakan bahwa terdapat Analisa Ekonomi atas
Hukum dapat dibagi dalam tiga tipe, yakni dua tipe analisa yang berbentuk
positif dan yang satu tipe yang bersifat normatif. Analisa Positif yang
pertama disebut dengan Positive Theory of Legal Doctrine (Teori positif tentang
ajaran hukum). Ilmu ekonomi dalam hal ini sangat berguna untuk
menjelaskan bagaimana ajaran hukum itu dibuat. Misalnya tentang
tanggungjawab atas kewajiban pelaksanaan sesuatu.41

Lewis A. Kornhauser42 dalam tulisannya berjudul Legal Foundations of


Economic Analysis of Law, mengemukakan tiga pertanyaan, yakni: Pertama,
bagaimana hukum mempengaruhi perilaku orang? Atau apakah hukum memiliki
kekuatan normatif yang mengarahkan perilaku orang baik swasta maupun publik
(pegawai negeri)? Kedua, apakah hukum hanya merupakan suatu alat? Dan yang
ketiga adalah bagaimanakah seharusnya kita mengevaluasi aturan-aturan dan
lembaga hukum itu?

40
www.nper.org. Rafael La Porta, Florencio Lopez-de-Silanes, Andrei Shleifer dan Robert
W. Vishny, LAW AND FINANCE, National Bureau of Economic Researc, Cambridge,
July 1996.
41
Forthcoming in Aristides N. Hatzis ed. Economic Analysis of Law: A European
Perspective (Cheltenham, U.K:Elgar 2003)
42 Lewis A. Kornhauser, di download dari www.law.nyu.edu. Tanggal, 14 September 2016.
15

Kornhauser mengajukan tiga hal yang melatarbelakangi ketiga


pertanyaan tersebut di atas. Pertama, klaim yang paling mendasar adalah
bahwa hukum itu adalah alat, artinya masyarakat merancang aturan dan
lembaga hukum untuk suatu tujuan kedepan. Klaim ini disebut dengan
analisa kebijakan (policy analysis) yang membawahi dua klaim dibawahnya
yakni bahwa setiap orang akan berperilaku merespon suatu aturan hukum
“secara ekonomi” dan bahwa kita harus melakukan evaluasi aturan dan
lembaga hukum itu atas akibatnya terhadap kesejahteraan setiap orang.

Steven Shavell43 dalam tulisannya berjudul Economic Analysis of Law


menyatakan bahwa dalam rangka pendekatan ekonomi untuk menganalisa hukum
maka terdapat dua pertanyaan pokok yakni: pertanyaan deskriptif berkenaan dengan
akibat dari aturan-aturan hukum terhadap perilaku dan hasilnya; dan pertanyaan
evaluatif, berkenaan dengan kehendak masyarakat mengenai dampak dari aturan
hukum. Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, metode yang
digunakan adalah analisa ekonomi secara umum. Setiap orang atau badan
diasumsikan bersifat rasional ke depan dan kerangka ekonomi kesejahteraan
digunakan untuk menentukan apa yang sebetulnya yang menjadi kehendak
masyarakat.

4. Dinamika Pemikiran Feminist Jurisprudence.

Feminis Jurisprudence telah berpengaruh pada pemikiran hukum


selama beberapa dekade terakhir. Pemikiran awal dari Feminis Jurisprudence
itu sendiri muncul mengikuti gelombang-gelombang pemikiran feminis
khususnya feminis amerika yang mereflesksikan ketertarikan feminis dalam
bidang hukum, tepatnya pada akhir tahun 1960–1970an. Hal ini antara lain
disebabkan meningkatnya perempuan Amerika yang memilih bidang studi
hukum pada masa itu dan dimulainya kritik-kritik mereka pada teori–teori
hukum yang tidak memiliki kontribusi pada permasalahan hukum yang ada,
yang berkaitan dengan perempuan. Mereka mempertanyakan mengapa
kurikulum fakultas hukum tidak berisikan materi-materi yang membahas
adanya kesenjangan dalam membayar upah buruh perempuan, perkosaan,
kekerasan, aborsi, dan lain-lain. Kenyatannya, kemunculan Feminis
Jurisprudence di dunia barat memang bersamaan dengan bangkitnya reaksi
feminis legislator terhadap masalah-masalah hukum, khususnya yang
berkaitan dengan perempuan.44

43 Steven Shavell, 2001, (Harvard Law School, Cambridge) in Internasional Encyclopedia of the
Social and Behavioral Sciences, Forthcoming.
44 Sulistyowati Irianto, 2006, Perempuan dan Hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm.
42.
16

Netralitas, Objektifitas, Kepastian Hukum, merupakan nilai dan


prinsip yang sangat dijunjung tinggi oleh para sarjana hukum. Prinsip
tersebut hampir merupakan “harga mati”, sehingga hukum tidak boleh
berpihak. Hukum dipercaya berdiri diatas semua golongan memberi
keadilan kepada semua orang. Akan tetapi pada kenyataannya kaum
perempuan termarginalisasi sehingga para feminisi menganggap hukum
yang baik adalah hukum yang berpihak kepada perempuan dan tentunya
siapa saja yang secara sosial dilemahkan untuk kemudian melawan
penindasan tersebut.45

Teori feminis adalah sebuah generalisasi dari berbagai sistem gagasan


mengenai kehidupan sosial dan pengalaman manusia yang dikembangkan
dari perspektif yang terpusat pada perempuan. Teori ini terpusat pada
perempuan dalam tiga hal. Pertama, sasaran utama studinya, titik tolak seluruh
penelitiannya, adalah situasi dan pengalaman perempuan dalam masyarakat.
Kedua, dalam proses penelitiannya, perempuan menjadi “sasaran” sentral; artinya,
mencoba melihat dunia dengan sudut pandang perempuan. Ketiga, teori feminis
dikembangkan oleh pemikir kritis dan aktivis atau pejuang demi kepentingan
perempuan, yang mencoba menciptakan kehidupan yang lebih baik untuk
perempuan, dan dengan demikian, menurut mereka, untuk kemanusiaan.46

Feminis Jurisprudence yang memunculkan suatu metode analisis khas


feminis dalam hukum, banyak digunakan untuk menganalisis masalah-
masalah yang sangat luas dalam bidang hukum. Pengkajiannya antara lain
dengan mengkritisi hukum dari sudut feminis sebagai suatu kajian yang
utama. Pembongkaran atau kritik yang diajukan dapat menggunakan antara
lain teori dekonstruksi47 yang mencoba menguraikan atau menginterpre-
tasikan makna hukum dari sudut pandang yang berbeda, yaitu sudut
pandang feminis.

Teori Hukum Feminis atau Feminist Legal Theory (Feminis


Jurisprudence) muncul pertama kali pada tahun 1970-an, bersamaan dengan
berkembangnya gerakan Critical Legal Studies di Amerika. Sebagai sebuah
pemikiran yang berusaha melakukan terobosan terhadap berlakunya hukum
terhadap perempuan dan diskriminasi yang didapat perempuan dari
hukum, arus utama teori hukum feminis dapat dikatakan memiliki

45 Ibid., hlm. 28-29.


46 George Ritzer – Douglas J. Goodman, 2005, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media,
Jakarta, hlm. 404
47 Teori Dekonstruksi menurut Gayatri Chakravorty Spivak adalah adanya upaya
pembongkaran pemikiran, pertanyaan-pertanyaan kritis yang dilontarkan dan upaya
untuk memperlihatkan adanya ketidak-koherensian dan ketidak-ajegan (Gadis Arivia,
Filsafat Berprespektif Femini, Yayasan Jurnal Perempuan, 2003).
17

kemiripan dengan Critical Legal Studies. Karena itu dalam beberapa


pembahasan tentang Jurisprudence, teori hukum feminis dimasukkan sebagai
salah satu bab di dalam pembahasan Critical Legal Studies.48

Pihak yang mengemukakan Feminist Legal Theory menyatakan bahwa


bahkan Critical Legal Studies sekalipun menyoroti keberlakuan hukum
semata dari sudut pandang laki-laki, demikian pula pemikiran-pemikiran
Jurisprudence lainnya. Dikatakan bahwa hukum dan legal teori adalah lahan
laki-laki, adalah laki-laki yang menyusun hukum dan teori tentang hukum.
Selanjutnya, hukum dan hasil putusannya merefleksikan nilai-nilai laki-laki
atau nilai-nilai maskulin. Laki-laki yang membangun dunia hukum itulah
yang kemudian berdampak kepada kelompok lain yang tidak terwakili
dalam nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai itupun sudah sedemikian melekatnya
sehingga dianggap nilai yang umum dan absolut dengan meniadakan
adanya nilai yang lain.49

Dalam kaitannya dengan hukum studi feminis lahir untuk


memperjuangkan keadilan bagi perempuan yang tertindas, dan studi hukum
seyogianya bukan hanya menerapkan asas kepastian tetapi amat terlebih
asas keadilan. Bagaimana mencapai tujuan bersama ini, merupakan upaya
dan langkah-langkah yang diuji coba puluhan tahun di mancanegara, yang
telah memunculkan berbagai aliran. Namun satu hal yang dihadapi bersama
adalah kemapanan studi hukum yang telah berusia berabad-abad dan yang
sebenarnya juga telah melahirkan berbagai teori dan aliran, sedangkan studi
feminis baru muncul dibilang setengah abad lalu.50 Biasanya para ahli
feminisme pada peminatnya untuk belajar berpikir dengan cara feminis, atau
yang disebut dengan think like a feminist. Walaupun diantara para pakarnya
tidak ada keseragaman metode, namun pada dasarnya mereka mencoba
menempatkan perempuan sebagai fokus kajian dan bukan terpinggirkan
oleh pengkajian hukum tertentu.

Para feminis yakin bahwa sejarah ditulis melalui sudut pandang laki-
laki dan sama sekali tidak merefleksikan peranan perempuan di dalam
pembuatan dan penyusunan sejarah. Sejarah buatan laki-laki tersebut telah
dengan bias menciptakan konsep-konsep tentang keberadaan manusia,
potensi gender dan rekayasa sosial yang menghasilkan bahasa, logika dan
struktur hukum yang mencerminkan karakter dan nilai-nilai dari sudut

48
Niken Savitri, HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP, Jakarta :
Refika Aditama, 2008, hlm. 27
49
Ibid., hlm. 28
50
Gandhi Lapian, 2012, Disiplin Hukum yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender,
Pustaka Obor, Jakarta.
18

pandang laki-laki.51 Maka begitulah, bagaimana perkosaan dirumuskan dari


perspektif pelaku (pria). Pasal perkosaan ini tidak dirumuskan dari
perspektif korban (perempuan), misalnya dengan melihat apakah harga diri
atau HAM perempuan sudah tercabik-cabik? Hal ini terjadi karena ilmu
hukum (yang ditulis dalam perspektif teori Positivisme Hukum) memang
tidak mampu dan tidak mau menafsirkan diskriminasi gender – suatu tafsir
yang mau mengungkap relasi kuasa yang tidak setara antara perempuan
dan pria – yang terjadi di masyarakat.52

Memahami atau “verstehen” dalam bahasa Jerman, merupakan


metodologi dalam Humoniora. Memahami ketentuan hukum yang
menyebabkan dan mengakibatkan perempuan mengalami ketiadadilan dan
diskriminasi, memerlukan studi terhadap hukum dan pengalaman
perempuan yang menyeluruh. Artinya kita harus mencari dan
mengidentifikasi hubungan-hubungan dalam sistem hukum yang berlaku,
dalam sistem sosial yang berlaku, dalam berbagai bidang seperti
latarbelakang sejarahnya, ekonomi, agama, politik, budaya, psikogi, maupun
biologi dan sebagainya.53

VII. Kesimpulan

Dari sekian banyak aliran yang ada dalam teori hukum, dua
kelompok besar, yaitu :

1. Menyatakan hukum sebagai suatu sistem yang pada prinsipnya dapat


diprediksi dari pengetahuan yang akurat tentang kondisi sistem itu
sekarang. Perilaku sistem ditentukan sepenuhnya oleh bagian-bagian
terkecil dari sitem itu dan teori akan menjelaskan persoalan sebagaimana
adanya tanpa keterkaiatan dengan pengamatnya.
2. Pandangan yang menyatakan bahwa hukum bukanlah sebagai suatu
sistem yang teratur, tetapi merupakan sesuatu yang berkaitan dengan
ketidak beraturan, tidak dapat diramalkan dan bahwa hukum sangat
dipengaruhi oleh persepsi dari pengamatnya dalam memaknai hukum
tersebut. Critical Legal Studies (CLS) dengan pemikirnya, Roberto Unger,
dapat dimasukkan ke dalam kelompok kedua ini. Gerakan-gerakan
untuk mendekonstruksikan (hukum) juga sejalan dengan prinsip
terakhir tersebut.

51 Niken Savitri, 2008, HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP, Refika
Aditama, Jakarta, hlm. 27
52 Ibid.
53 Gandhi Lapian, 2012, Disiplin Hukum Yang Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender,
Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, hlm 230
19

Kemudian, pada hakekatnya hukum adalah “pedang bermata dua”.


Di satu sisi hukum memang bisa digunakan sebagai sebuah acuan yang
paling adil dan paling mengayomi. Namun, di pihak lain, hukum juga bisa
digunakan sebagai “alat” untuk mendefinisikan kekuasaan dan kepentingan,
dan tentunya akan ada pihak yang menjadi korban dari hukum yang tidak
adil. Hukum dapat mengklaim kebenaran-kebenaran sampai ranah yang
tidak terbatas (Smart, 1990). Pada sisi yang kedua ini, terbuka berbagai
diskusi dan perdebatan, terutama ketika hukum ”dipersandingkan” dengan
stratifikasi sosial atau kelompok yang tidak memiliki kekuasaan untuk
menyuarakan keberadaannya. Dengan demikian, apakah hukum akan
digunakan untuk tujuan baik atau ”tidak baik” (melanggengkan kekuasaan),
tergantung ”man behind the gun.”

Wallahu A‘lamu Bishshawwab.

DAFTAR PUSTAKA
Cento Veljanovski, 2006, The Economics of Law, Ed. 2, The Institute of
Economic Affairs, London.
Dansur, Peranan Hakim Dalam Penemuan Hukum, Makalah, 1 Nopember
2006.
Erwin. Muhamad, 2011, Filsafat Hukum Refleksi Kritis terhadap Hukum,
PT. Gajagrafindo Persada, Jakarta.
Friedmann, W., 1990, alih bahasa Muhammad Arifin, Teori dan Filsafat
Hukum, Telaah Kritis atas Teori-Teori Hukum, CV. Rajawali,
Jakarta, Cet ke 1.
Forthcoming in Aristides N. Hatzis ed. Economic Analysis of Law: A
European Perspective (Cheltenham, U.K : Elgar 2003)
Fuady. Munir, 2003, Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidakberdayaan
Hukum), Citra Aditya Bakti, Bandung.
George Ritzer – Douglas J Goodman, 2005, Teori Sosiologi Modern, Prenada
Media, Jakarta.
H. R. Otje Salman S., & Anton F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat,
Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama.
HS. Salim, 2009, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta.
Ibrahim. Jhonny, 2009, Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum: Teori dan
Implikasi Penerapannya dalam Penegakan Hukum, Putra Media
Nusantara & ITS Press, Surabaya.
20

Irianto. Sulistyowati, 2006, Perempuan dan Hukum, Yayasan Obor Indonesia,


Jakarta.
Lapian. Gandhi, 2012, Disiplin Hukum Yang Mewujudkan Kesetaraan dan
Keadilan Gender, Pustaka Obor Indonesia, Jakarta.
Leod, Ian Mc, 1999, Legal Theory, Macmillan Press Ltd.
Peter Fitzpatrict dan Alan Hunt, 1987, Critical Legal Studies, Basil Blackwell
Ltd, New York.
Qadri. Azizy, A., 2002, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetisi antara
Hukum Islam dan Hukum Umum, Gama Media Offset,
Yogyakarta, Cet I.
Rahardjo. Satjipto, 2006, Ilmu Hukum, Cet 6, Citra Aditya Abadi, Bandung,
hlm. 259.
Syahrani. H. Riduan, 2009, Kata Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum,
Alumni, Bandung.
Soekanto. Soerjono dan Mamudji. Sri, 2001, Penelitian Hukum Normatif
(Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta.
Soekanto. Soerjono, 2005, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam
Masyarakat, CV. Rajawali, Jakarta, Cet V.
Steven Shavell, 2001, (Harvard Law School, Cambridge) in Internasional
Encyclopedia of the Social and Behavioral Sciences, Forthcoming.
Savitri. Niken, 2008, HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap
KUHP, Refika Aditama, Jakarta.
http://lingkarstudipolitikhukum.blogspot.com/2007/09/gerakan-studi-
hukum-kritis-critical.html. Disakses pada tanggal, 14 September
2016.

Anda mungkin juga menyukai