Anda di halaman 1dari 10

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM TATA NEGARA

PENDAHULUAN
Pada masa lalu, istilah teori hukum tata negara sangat jarang sekali terdengar,
apalagi dibahas dalam perkuliahan maupun forum-forum ilmiah. Hukum Tata Negara yang
dipelajari oleh mahasiswa adalah Hukum Tata Negara dalam arti sempit, atau Hukum Tata
Negara Positif. Hal ini dipengaruhi oleh watak rejim orde baru yang berupaya
mempertahankan tatanan ketatanegaraan pada saat itu yang memang menguntungkan
penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya.
Pemikiran Hukum Tata Negara baik secara langsung maupun tidak langsung menjadi
terhegemoni bahwa tatanan ketatanegaraan berdasarkan Hukum Tata Negara Positif pada saat
itu adalah pelaksanaan dari Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Akibatnya, pembahasan sisi teoritis dari Hukum Tata Negara menjadi ditinggalkan, bahkan
dikekang karena dipandang sebagai pikiran yang anti kemapanan dan dapat mengganggu
stabilitas nasional.
Padahal dari sisi keilmuan, Hukum Tata Negara dalam bahasa Belanda dikenal
dengan istilah staatsrecht atau hukum negara (state law) yang meliputi 2 pengertian,
yaitu staatsrecht in ruimere zin (dalam arti luas), dan staatsrecht in engere zin (dalam arti
sempit). Staatsrecht in engere zin atau Hukum Tata Negara dalam arti sempit itulah yang
biasanya disebut Hukum Tata Negara atauVerfassungsrecht yang dapat dibedakan antara
pengertian yang luas dan yang sempit. Hukum Tata Negara dalam arti luas (in ruimere zin)
mencakup Hukum Tata Negara (verfassungsrecht) dalam arti sempit dan Hukum Administrasi
Negara (verwaltungsrecht)[1]. Pada masa lalu, Prof. Dr. Djokosoetono lebih menyukai
penggunaan verfassungslehre daripada verfassungsrecht[2]. Istilah yang tepat untuk Hukum
Tata Negara sebagai ilmu (constitutional law) adalahVerfassungslehre atau teori
konstitusi. Verfassungslehre inilah yang nantinya akan menjadi dasar untuk
mempelajari verfassungsrecht.
Di sisi lain, istilah Hukum Tata Negara identik dengan pengertian Hukum
Konstitusi
sebagai
terjemahan
dari Constitutional
Law (Inggris), Droit
Constitutionnel (Perancis), Diritto Constitutionale (Italia), atau Verfassungsrecht(Jerman).
Dari segi bahasa, Constitutional Law memang biasa diterjemahkan menjadi Hukum
Konstitusi. Namun, istilah Hukum Tata Negara jika diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris, kata yang dipakai adalah Constitutional Law[3]. Oleh karena itu, Hukum Tata
Negara dapat dikatakan identik atau disebut sebagai istilah lain belaka dari Hukum
Konstitusi[4].
A. REFORMASI DAN PERKEMBANGAN TEORI HUKUM TATA NEGARA
Teori Hukum Tata Negara mulai mendapat perhatian dan berkembang pesat pada saat
bangsa Indonesia memasuki era reformasi. Salah satu arus utama dari era reformasi adalah

gelombang demokratisasi. Demokrasi telah memberikan ruang terhadap tuntutan-tuntutan


perubahan, baik tuntutan yang terkait dengan norma penyelenggaraan negara, kelembagaan
negara, maupun hubungan antara negara dengan warga negara. Demokrasi pula yang
memungkinkan adanya kebebasan dan otonomi akademis untuk mengkaji berbagai teori yang
melahirkan pilihan-pilihan sistem dan struktur ketatanegaraan untuk mewadahi berbagai
tuntutan tersebut.
Tuntutan perubahan sistem perwakilan diikuti dengan munculnya perdebatan tentang
sistem pemilihan umum (misalnya antara distrik atau proporsional, antara stelsel daftar
terbuka dengan tertutup) dan struktur parlemen (misalnya masalah kamar-kamar parlemen
dan keberadaan DPD). Tuntutan adanya hubungan pusat dan daerah yang lebih berkeadilan
diikuti dengan kajian-kajian teoritis tentang bentuk negara hingga model-model
penyelenggaraan otonomi daerah.
Tuntutan-tuntutan tersebut meliputi banyak aspek. Kerangka aturan dan kelembagaan
yang ada menurut Hukum Tata Negara positif saat itu tidak lagi sesuai dengan perkembangan
aspirasi dan kehidupan masyarakat. Di sisi lain, berbagai kajian teoritis telah muncul dan
memberikan alternatif kerangka aturan dan kelembagaan yang baru. Akibatnya, Hukum Tata
Negara positif mengalami deskralisasi. Hal-hal yang semula tidak dapat dipertanyakan pun
digugat. Kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dipertanyakan. Demikian pula
halnya dengan kekuasaan Presiden yang dipandang terlalu besar karena memegang
kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan membentuk UU. Berbagai tuntutan perubahan
berujung pada tuntutan perubahan UUD 1945 yang telah lama disakralkan.
B. PERUBAHAN UUD 1945
Pembahasan tentang latar belakang perubahan UUD 1945 dan argumentasi
perubahannya telah banyak dibahas diberbagai literatur, seperti buku Prof. Dr. Mahfud
MD[5]., Prof. Dr. Harun Alrasid[6], dan Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani[7].
Perubahan-perubahan tersebut diatas meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945.
Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan,
maka setelah empat kali mengalami perubahan, materi muatan UUD 1945 mencakup 199
butir ketentuan. Bahkan hasil perubahan tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah konstitusi
baru sama sekali dengan nama resmi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945[8].
Perubahan UUD 1945 yang dilakukan dalam empat kali perubahan tersebut telah
mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam Hukum Tata Negara Indonesia. Perubahan
tersebut diantaranya meliputi (i) Perubahan norma-norma dasar dalam kehidupan bernegara,
seperti penegasan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum dan kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar; (ii) Perubahan kelembagaan
negara dengan adanya lembaga-lembaga baru dan hilangnya beberapa lembaga yang pernah
ada; (iii) Perubahan hubungan antar lembaga negara; dan (iv) Masalah Hak Asasi Manusia.
Perubahan-perubahan hasil constitutional reform tersebut belum sepenuhnya dijabarkan

dalam peraturan perundang-undangan maupun praktek ketatanegaraan sehingga berbagai


kerangka teoritis masih sangat diperlukan untuk mengembangkan dasar-dasar konstitusional
tersebut.
C. KEBERADAAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Pembentukan MK merupakan penegasan prinsip negara hukum dan jaminan terhadap
hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945. Pembentukan MK juga
merupakan perwujudan dari konsep checks and balancesdalam sistem ketatanegaraan. Selain
itu, pembentukan MK dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian beberapa masalah
ketatanegaraan yang sebelumnya tidak diatur sehingga menimbulkan ketidakpastian.
Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, MK adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman selain Mahkamah Agung. Kewenangan MK diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD
1945 yang meliputi memutus pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan
menyelesaikan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, Pasal 24C ayat (3)
menyatakan bahwa MK wajib memutus pendapat DPR atas dugaan pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh Presiden dan atau Wakil Presiden. Selanjutnya keberadaan MK diatur
berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan kewenangan yang dimiliki tersebut, maka MK berfungsi sebagai penjaga
konstitusi (the guardian of the constitution) agar dilaksanakan baik dalam bentuk undangundang maupun dalam pelaksanaannya yang terkait dengan kewenangan dan kewajiban MK.
Sebagai penjaga konstitusi, MK sekaligus berperan sebagai penafsir konstitusi (the
interpreter of the constitution). Fungsi sebagai penjaga dan penafsir konstitusi tersebut
dilaksanakan melalui putusan-putusan MK sesuai dengan empat kewenangan dan satu
kewajiban yang dimiliki. Dalam putusan-putusan MK selalu mengandung pertimbangan
hukum dan argumentasi hukum bagaimana suatu ketentuan konstitusi harus ditafsirkan dan
harus dilaksanakan baik dalam bentuk undang-undang, maupun dalam bentuk lain sesuai
dengan kewenangan dan kewajiban yang dimiliki oleh MK.
Keberadaan MK sebagai penafsir dan penjaga konstitusi yang dilaksanakan melalui
keempat kewenangan dan satu kewajibannya tersebut menempatkan UUD 1945 di satu sisi
sebagai hukum tertinggi yang harus dilaksanakan secara konsisten, dan di sisi lain
menjadikannya sebagai domain publik dan operasional. Persidangan di Mahkamah Konstitusi
yang bersifat terbuka dan menghadirkan berbagai pihak untuk didengar keterangannya
dengan sendirinya mendorong masyarakat untuk terlibat atau setidak-tidaknya mengetahui
perkembangan pemikiran bagaimana suatu ketentuan konstitusi harus ditafsirkan. Bahkan
pihak-pihak dalam persidangan juga dapat memberikan pemikirannya tentang penafsiran
tersebut meskipun pada akhirnya tergantung pada penilaian dan pendapat para Hakim
Konstitusi yang akan dituangkan dalam putusan-putusannya.

Dengan demikian, media utama yang memuat pelaksanaan peran dan fungsi
Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga dan penafsir tunggal konstitusi (the guardian and the
sole interpreter of the constitution) adalah putusan-putusan yang dibuat berdasarkan
kewenangan dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD
1945. Dengan kata lain, penafsiran ketentuan konstitusi dan perkembangannya dapat
dipahami dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, tidak saja yang amarnya
mengabulkan permohonan, tetapi juga yang ditolak atau tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard). Karena itu, suatu putusan tidak seharusnya hanya dilihat dari amar
putusan, tetapi juga sangat penting untuk memahami pertimbangan hukum (ratio decidendi)
yang pada prinsipnya memberikan penafsiran terhadap suatu ketentuan konstitusi terkait
dengan permohonan tertentu.
Putusan Mahkamah Konstitusi dengan sendirinya merupakan dokumen yang memuat
penjelasan dan penafsiran ketentuan dalam konstitusi. Di sisi lain, putusan Mahkamah
Konstitusi yang mengabulkan permohonan, khususnya dalam pengujian undang-undang,
dengan sendirinya merubah suatu ketentuan norma hukum yang harus dilaksanakan oleh
segenap organ negara dan dipatuhi oleh seluruh masyarakat.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi dengan fungsinya sebagai penjaga dan penafsir
konstitusi tersebut telah menggairahkan perkembangan teori Hukum Tata Negara. Jika pada
masa lalu masalah Hukum Tata Negara hanya berpusat pada aktivitas politik di lembaga
perwakilan dan kepresidenan, serta pokok bahasannya hanya masalah lembaga negara,
hubungan antar lembaga negara dan hak asasi manusia, maka saat ini isu-isu konstitusi mulai
merambah pada berbagai aspek kehidupan yang lebih luas dan melibatkan banyak pihak,
bahkan tidak saja ahli hukum.
Mengingat UUD 1945 tidak hanya merupakan konstitusi politik, tetapi juga konstitusi
ekonomi dan sosial budaya, maka perdebatan teoritis konstitusional juga banyak terjadi di
bidang ekonomi dan sosial budaya. Hal ini misalnya dapat dilihat dari beberapa putusan MK
terkait dengan bidang ekonomi seperti dalam pengujian UU Ketenagalistrikan, UU SDA, dan
UU Kepailitan. Di bidang sosial budaya misalnya dapat dilihat dari putusan-putusan
pengujian UU Sistem Jaminan Sosial Nasional dan pengujian UU Sisdiknas.
Perkembangan pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut telah
mendorong berkembangnya studi-studi teori Hukum Tata Negara. Beberapa teori yang saat
ini mulai berkembang dan dibutuhkan misalnya adalah teori-teori norma hukum, teori-teori
penafsiran, teori-teori kelembagaan negara, teori-teori demokrasi, teori-teori politik ekonomi,
dan teori-teori hak asasi manusia.
Teori-teori norma hukum diperlukan misalnya untuk membedakan antara norma yang
bersifat abstrak umum dengan norma yang bersifat konkret individual yang menentukan
bagaimana mekanisme pengujiannya. Pembahasan teori-teori norma hukum juga diperlukan
untuk menyusun hierarki peraturan perundang-undangan sehingga pembangunan sistem
hukum nasional dapat dilakukan sesuai dengan kerangka konstitusional.

Teori-teori selanjutnya yang mulai mendapat perhatian dan tumbuh berkembang


adalah teori penafsiran. Dalam hukum sesungguhnya penafsiran menempati kedudukan yang
sentral karena aktivitas hukum berkutat dengan norma-norma dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang akan diterapkan (imputation) ke dalam suatu peristiwa nyata.
Penafsiran menjadi semakin penting pada saat suatu norma konstitusi harus dipahami untuk
menentukan norma yang lain bertentangan atau tidak dengan norma yang pertama. Kedua
norma tersebut harus benar-benar dipahami mulai dari latar belakang, maksud, hingga
penafsiran ke depan pada saat akan dilaksanakan. Untuk itu saat ini telah banyak berkembang
studi hukum dengan menggunakan alat bantu ilmu penafsiran bahasa (hermeunetik).
Demikian pula teori-teori lain yang juga berkembang cukup pesat.

D. SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA


Pembahasan tentang sejarah ketatanegaraan dapat di lakukan berdasarkan beberapa
cara antara lain : berdasarkan periode berlakunya UUD (konstitusi), pergantian Orde,
pergantian pemerintahan dan lain sebagainya.
Dalam tulisan ini sejarah ketatanegaraan Indonesia berdasarkan pada periode
berlakunya undang-undang yaitu : periode 1945 1949 (UUD1945), tahun 1949 1950
(KRIS), tahun 1950 1959 (UUDS), tahun 1959 sekarang.

A. SEJARAH KETATA NEGARAAN INDONESIA PERIODE 1945 1949.


1. Perancangan dan pengesahan UUD 1945.
Sehari setelah kemerdekaan Indonesia, yaitu 18 agustus 1945 di tetapkanlah UUD
Negara republic Indonesia, yang lebih di kenal dengan nama UUD 1945. Persiapan
penyusunan UUD 1945 telah di lakukan sejak bulan mei 1945 dengan di bentuknya badan
penyelidikan usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 29 april
1945.
Setelah badan ini di lantik oleh panglima tentara jepang (saiko sjikikan), kemudian
pada tanggal 29 mei sampai 1 juli 1945 di adakan siding pertama untuk mendengarkan
pandangan umum dari anggota. Pada siding pertama ini pokok pembicaraannya adalah
tentang dasar Negara Indonesia.
Kemudian pada tanggal 31 mei 1945, melanjutkan pembicaraan tentang dasar
Negara Indonesia,daerah Negara dan kebangsaan Indonesia. Pada hari terakhir tanggal 1 juni
1945 ir.soekarno berpidato mengenai dasar Indonesiamerdeka yang terdiri dari :
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau peri kemanusiaan
3. Mufakat atau demokrasi

4. Kesejahtraan social
Pada akhir siding pertama bentuk panitia kecil yang beranggota 9 orang yaitu :
Ir.soekarno,
Drs.Muh.Hatta,
Abikusnu
tjokrosujoso
abdulkaharmuzakir,
H.A.Salin.Mr.Acahmad soebardjo, Wachid hasjin dan Muh.yamin untuk merumuskan
pandangan umum dan pendapat para anggota. Panitia ini pada tanggal 22 juni 1945 berhasil
merumuskan piagam Jakarta.
2. Sifat UUD 1945
Oleh pembentukan UUD 1945 di masukan untuk bersifat sementara. Hal tersebut
dapat di lihat dari ketentuan pasal 3 ayat 2 aturan tambahan yang menyebutkan : dalam 6
bulan sesudah MPR di bentuk, majelis itu bersidang untuk menetapkan UUD. Demikian
pula ketentuan dalam pasal 3 yang menyatakan bahwa salah satu tugas MPR adalah
menetapkan UUD.
3. kelembagaan Negara dan sistem pemerintahan
Bila dilihat ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945, maka tampak bahwa yang
memegang kekuasaan yang tertinggi dan sebagai pelaku kedaulatan rakyat adalah MPR
(pasal 1ayat 2). Sebagaian kekuasaan itu oleh MPR disalurkan kepada lembaga-lembaga lain
yang ada di bawahnya. Dengan demikian maka lembaga-lembaga lain seperti DPR, Presiden,
BPK, DPA dan MA berada di bawah majelis (Untergeordnet).
Persetujuan Linggarjati
Ditandatangani 25 maret 1947, yang isinya antara lain :
1. Belanda mengakui pemerintahan republic Indonesia berkuasa defacto atas jawa, Madura
dan Sumatra
2. Pemerintah akan bekerja sama untuk dala waktu singkat membentuk suatu Negara federasi
yang berdaulat dan demokratis bernama RepublikIndonesia serikat RIS akan terdiri dari
Negara republic : Indonesia (jawa, Madura dan Sumatra), Kalimantan dan
Negara Indonesia timur.
3. Republik Indonesia serikat akan bergabung dengan belanda dalam bentuk : UNI : dan
sebagai kepala UNI adalah Ratu belanda.
4. Pembentukan RIS dan UNI di usahakan terlaksana sebelum tanggal 1 januari 1949.
Persetujuan Renville
Isi dari persetujuan Renville antara lain :
1. Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai kedaulatan diserahkan kepada
republik Indonesia serikat, yang harus segera di bentuk.
2. Sebelum RIS di bentuk, belanda dapat serahkan sebagin dari kekuasaannya kepada
pemerintahan federal sementara.

3. RIS sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat akan menjadi peserta yang sejajar dengan
kerajaan belanda dalam UNI Nederland/Indonesia dengan ratu belanda sebagai kepala UNI.
4. Republik Indonesia akan menjadi Negara bagian dari RIS.
Persetujuan inipun tidak dapat di laksanakan oleh belanda, dan pada tanggal 19 desember
1948 belanda melakukan aksi militer II dan berhasil menduduki ibu kota republik
Indonesia Yokyakarta serta menahan Presiden soekarno dan wakil presiden Muh. Hatta serta
beberap pejabat Negara lainnya.
Atas tindakan belanda menimbulkan reaksi divorum internasional, dan Karena itu dewan
keamanan PBB pada tanggal 28 januari 1949
Konferensi Meja Bundar (KMB)
Konfrensi Meja Bundar di adakan pada tanggal 23 Agustus 1949 sampai 2 Nopember
1949 di Den Haag, yang di ikuti oleh Belanda, Republik Indonesia BFO (Byeenkomst voor
Vederal Overleg) yang di awasi oleh UNCI (United Nations Commisions
for Indonesia). Delegasi RI dan BFO membentuk Panitia Perancang Konstitusi RIS yang
bertugas untuk merancang naskah Konstitusi RIS.
SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA PERIODE 1949 - 1950
Republik Indonesia serikat (RIS) berdiri tanggal 27 desember 1949, dan sesuai dengan
perjanjian KMB maka Negara RI hanya merupakan bagian dari RIS , demikian pula UUD
1945 hanya berlaku untuk Negara bagian RI, dan wilayahnya sesuai dengan Pasal 2 KRIS
adalah daerah yang disebut dalam Persetujuan Renville 17 Januari 1948.
B.

Kekuasaan Negara RIS dilakuakan oleh pemerintah berasama-sama dengan DPR dan
senat (Pasal 1 ayat 2 KRIS). Lembaga Perwakilan Rakyat menurut KRIS menganut
sisitem bicameral yang terdiri dari Majelis Tinggi dan Majelis Rendah. Kekuasaan
perundang-undangan federal menurut pasal 127 KRIS dilakukan oleh pemerintah bersamasama dengan DPR dan senat.
Bentuk Negara federasi dan system parlementer yang di anut KRIS tidak sesuai dengan
jiwa proklamasi maupun kehendak sebagian besar rakyat di beberapa daerah/Negara bagian,
karena itu kemudian di adakan persetujuan antara pemerintah RI dengan RIS, untuk merubah
bentuk Negara Federal menjadi bentuk Negara Kesatuan.

SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA PERIODE 1950 1959


UU Federal No. 7 Tahun 1950 terdiri atas 2 pasal yaitu:
C.

I.

Berisi ketentuan perubahan KRIS menjadi UUDS dengan diikuti naskah UUDS
selengkapnya.

II.

1. Tentang UUDS berlaki Tanggal 17 Agustus 1950


2. Aturan Peralihan; bahwa alat-alat perlengkapan Negara sebelum pengundangan undangundang ini tetap berlaku.
UUDS sifatnya adalah sementara, hal ini dapat dilihat dari pasal 134 UUDS yang
menentukan bahwa; konstituante bersama-sama pemerintahsecepatnya menetapkan UUD RI.

Konstituante di beri tugas untuk menetapkan UUD yang tetap namun tidak mampu dicapai
karena tidak pernah mencapai quorum, 2/3 dari jumlah anggota seperti yang ditentukan [9].
Dan akhirnya pada tanggal 5 juli 1959 presiden soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang
isinya: Pembubaran Konstituante, UUD1945 berlaku kembali,dan pembentukan
MPRS/DPRS dan DPAS dalam waktu sesingkat-singkatnya.
SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA PERIODE 1959 Sekarang
Periode berlakunya UUD 1945 pada masa ini akan dibagi menjadi tiga bagian yakni:
D.

a. Masa antara 1959 - 1966


dengan berlakunya kembali UUD 1945 maka asas ketatanegaraan dan system
pemerintahan mengalami perubahan, yaitu dari asas Demokrasi Liberal menjadi Demokrasi
Terpimpin. Inti dari Demokrasi Terpimpin adalah permusyawaratan tetapi suatu
permusyarawatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan bukan oleh perdebatan dan
penyiksaan yang di akhiri dengan pengadaan kekuatan dan peerhitungan suara pro kontra [10].
Dengan sistim presidensiil yang di anut oleh UUD 1945, maka presiden adalah pemegang
kekuasaan eksekutif (pemerintah) tertinggi (concentration of power and responsibility upon
president), yang dalm pelaksanaan kekuasaan dibantu oleh wapres dan mentri-mentri (Pasal 4
dan 17 UUD 1945)

Kemudian meletuslah TRI TURA akibat dari stabilitas politik dan keamanan yang
tidak baik yang isinya:
Pelaksanaan kembali secara murni dan konsekwen UUD 1945
2.
Pembubaran PKI
3.
Penurunan harga barang
b. Masa antara 1966 1999
1.

pada masa ini presiden soekarno mengeluarkan Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar) tahun 1966 untuk menanggapi TRI TURA, yang memberi wewenang kepada
Jendral Soeharto, Panglima Komando Staf Angkatan Darat untuk mengendalikan situasi.
Yang mana dengan keluarnya Supersemar dan ketetapan lainnya mengangkat Jendral
Soeharto sebagai pejabat presiden berdasarkan TAP MPRS No> XLIX/MPRS/1968[11].
TAP MPRS No> XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR GR mengenai Sumber
Tertib Hukum Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, yang terdiri
dari:

UUD 1945
Ketetapan MPRS/MPR
UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
Peraturan Pemerintah
Keputusan Presiden dan,
Peraturan Pelaksana Lainnya Seperti:
1.
Peraturan Mentri

Instruksi Mentri
3.
dan lain-lainnya
Dalam Perkembangan sejarah ketatanegaraan pada masa Soeharto berkuasa dikeluarkan pula
keputusan DPR GR tanggal 16 Desember 1967 yang isinya:
2.

a.
b.

Adanya anggota MPR/DPR yang diangkat, disamping yang dipilih melalui pemilu
Yang diangkat adalah perwakilan ABRI dan Non ABRI, untuk Non ABRI harus Non

Massa
Jumlah anggota yang di angkat untuk MPR adalah 1/2dari seluruh jumlah anggota[12].
Dikatakan pada pemerintahan Soeharto Asas Kedaulatan Rakyat sebagaimana di tentukan
dalam UUD 1945 tidak pernah dilaksanakan, yang dilaksanakan adalah kedaulatan
penguasa[13].
c.

c. Masa 1988 sekarang


Pemerintahan Habibie disebut sebagai permerintahan Tradisional, yang menurut
mulyoto Mulyosudarmo terdapat dua pemahaman tentang pemerintah transisi. Pertama,
pemerintahan transisi digunakan untuk merujuk pemerintahan sementara yang masa
jabatannya di batasi sampai terbentuknya pemerintahan baru hasil pemilu. Kedua,
pemerintahan transisi merupakan pemerintahan otoriter dan sentralistik menjadi
pemerintahan yang desentralistik dan demokratis.
Pemerintahan KH. Abdurachman Wahid tuntutan reformasi berjalan lambat dan
gejolak disintegrasi bangsa berbagai daerah belum berhasil di atasi, terakhir adalah terjadinya
skandal Bulloggate dan Bruneigate, yang berakibat pada tanggal 1 Februari Tahun 2001 DPR
mengeluarkan memorandum I dan di ikuti Memorandum II pada tanggal 30 April 2001.
Konflik antara Presiden dan DPR berlanjut, dan Presiden pada akhirnya
mengeluarkan Maklumat yang berisi:
Pembekuan MPR/DPR
2.
Mengembalikan kedaulatan rakyat dan melaksanakn pemilu dalam waktu satu tahun
3.
Membekukan Partai Golkar
P_emilu 2004 menunjukan terjadinya perubahan dominasi dan pemerataan kekuatan,
misalnya PDIP dan Golkar hanya menguasai 20% dan 23% kursi. Hal tersebut di akibatkan
karena:
1.

Pertambahan kursi di DPR, dari 500 pada pemilu Tahun 1999 menjadi 550 kursi
tambahan di perebutkan
2.
Dikosongkannya kursi ABRI di DPR, hal ini berarti ada 38 kursi yang diperebutkan
dalam pemilu 2004
3.
Merosotnya perolehan suara PDIP dalam pemilu 2004 dimana kehilangan44 kursi di
DPR, hal ini berarti bahwa 132 kursi yang akan di prebutkan.
1.

DAFTAR PUSTAKA
[1]

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, cet. Kelima, (Jakarta: Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983), hal. 22

[2]

Djokosoetono, Hukum Tata Negara, Himpunan oleh Harun Alrasid, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982).

[3]

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hal. 95

[4]

Bandingkan dengan Bagir Manan, Perkembangan UUD 1945, (Yogyakarta: FH-UII Press, 2004), hal. 5.

[5]

Moh. Mahfud MD., Dasar Dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta,
2001), hal. 155 157.
[6]

UUD 1945 Terlalu Summier? Kepala Biro Pendidikan FH UI Sarankan Perubahan, Harian Merdeka, 18 Maret
1972, dalam Harun Alrasid, Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah Oleh MPR, Revisi Cetakan
Pertama, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2003), hal. 44-55.
[7]

Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani, Pokok-pokok Usulan Amandemen Undang-Undang
Dasar 1945 dan Pemilihan Presiden Secara Langsung.
[8]

Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945,
Makalah Disampaikan dalam Simposium yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen
Kehakiman dan HAM, 2003, hal. 1.
[9]

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim; Op. Cit, hlm. 96

[10]

Abdulah Zaini, Op.Cit,hlm.167

[11]

Abdulah Zaini, Op.Cit,hlm. 183

[12]

Bondan Gunawan S, 200, Indonesia Menggapai Demokrasi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 33

[13]

A. Ramlan Surbakti, 1998, Reformasi Kekuasaan Presiden, Gramedia, Jakrta, hlm. 84

Anda mungkin juga menyukai