Anda di halaman 1dari 7

Judul :Pengantar Filsafat Hukum

Penulis :Prof (EM.) DR.H.Lili Rasjidi ,SH., S.Sos.,LL.M


Ira Thania Rasjidi, SH., MH., CELCS (M)
Penerbit :CV.Mandar Maju.
Jumlah Halaman :1-326
Tahun Terbit :2012

HUKUM ALAM DAN HUKUM POSITIF

Noni Rambe (0203202083)


Sofa Edininta Br.Ginting (0203202037)
Heny Aprilla Saragih (0203202088)

Kelompok :VI
Mata Kuliah :Filsafat Hukum
Dosen Pengampu :Prof .Dr. Faisar Ananda, MA
Dr. M. Syutri Albani Nasution, MA

A.Uraian Bab

Pada waktu membicarakan teori-teori hukum pada Bab IV, telah disinggung peranan yang
dimainkan oleh hukum alam sepanjang sejarahnya. Dalam bab ini lebih lanjut akan diuraikan
sejauh mana hubungan hukum alam itu dengan hukum positif. dengan mengetengahkan
berbagai pendapat para ahli filsafat dari zaman purbakala hingga abad modern ini.

Pada zaman purbakala, para filsuf pertama seperti Anaximander, Herakleitos, dan
Parmenides, mengakui adanya suatu "keharusan alamiah". Manusia sebagai bagian dari alam
semesta harus menyesuaikan diri dengan keharusan yang bersifat alamiah itu agar terwujud
keadilan. Anggapan ini oleh para penulis sejarah filsafat hukum dinilai sebagai awal mula
diakuinya berlakunya hukum alam walau mereka belum dapat membedakan hukum alam dan
hukum positif. Para filsuf pertama itu menganggap baik hukum alam maupun hukum positif
merupakan bagian dari aturan ketuhanan.
Kaum Sofis (Sophist), diwakili oleh Phitagoras, menolak berlakunya suatu hukum alam.
Filsuf ini beranggapan bahwa warga-warga polislah yang menentukan isi undang-undang
(hukum positif); kebaikan dan keadilan tidak ditentukan oleh aturan alam (aturan keharusan
yang bersifat alamiah), tetapi ditentukan oleh manusia. Pandangan Phitagoras merupakan
pencerminan pula pandangan para Sofis lainnya. Mereka hanya mengakui setiap waktu
mengikuti perubahan yang terjadi dalam masyarakat.

Sophocles dalam tulisannya yang termasyur, Antigone, menerima berlakunya suatu hukum
lain di samping hukum positif. Menurut pendapatnya, hukum yang lain ini bersifat ketuhanan
yang berlaku abadi dan merupakan dasar bagi berlakunya hukum positif. Ini berarti bahwa
hukum positif itu isinya tidak boleh bertentangan dengan hukum alam tersebut sebab, bila
bertentangan, hukum positif itu tidak memiliki kekuatan berlaku..

Socrates yang hidup pada masa jayanya kaum Sofis menolak pendapat kaum ini yang
menganggap bahwa manusia itu adalah segala-galanya. Juga bahwa tidak terdapat kebenaran
obyektif. Sebaiknya, menurut Socrates, kebenaran itu justru bersifat obyektif yang harus
dicapai oleh manusia. Anggapan ini membawa konsekuensi kematian baginya. Pihak yang
berkuasa yang diracuni oleh pandangan kaum Sofis menganggap ajaran Socrates menentang
kebijaksanaannva.

Berbeda dengan Plato, Aristoteles muridnya, menguraikan tentang hukum secara luas. Oleh
para penulis filsafat hukum dianggap bahwa Aristoteleslah yang pertama-tama mem- bedakan
hukum itu atas hukum alam dan hukum positif, juga yang mengembangkan hukum alam atas
dasar filsafat belaka, tidak ada sangkut pautnya dengan suatu dasar ketuhanan. Hukum alam,
menurut pendapatnya, adalah hukum yang menurut kodratnya adalah hukum, lepas dari soal
apakah hukum ini dipandang baik atau tidak oleh manusia (L.J. van Apeldoorn, 1971:362).
Hukum alam ini tidak berlaku mutlak, tetapi di dalamnya memiliki kekuatan yang dapat terasa
di mana-mana. Tentang kedudukan hukum alam ini terhadap hukum positif, Aristoteles
berpendapat bahwa hukum alam bersifat menambah pada hukum positif. Dengan demikian
hukum alam tidak bersifat menghapuskan berlakunya hukum positif. Segala kekurangan dan
kekosongan yang dialami oleh hukum positif, diisi dan dipenuhi oleh hukum alam. Sebab,
pagaimanapun, sebagai buatan manusia, tidak ada hukum positif yang bersifat sempurna.
Kaum Stoa mendasarkan ajaran um alamnya atas ajaran Aristoteles, Plato, dan Socrates.
Hukum alam yang dikembangkannya adalah hukum alam yang bersumber pada rasio Tuhan
yang bersifat abadi yang meliputi seluruh alam semesta. Bersumber dari hukum alam seperti
ini, muncul hukum kesusilaan alam. Dalam hukum ini tercantum ketentuan- ketentuan yang
mengatur tingkah laku manusia, selain apa Iyang disebutnya kaidah-kaidah kesusilaan dan
kaidah-kaidah hukum.

Hukum alam versi Stoa ini bersifat mutlak dan berada di atas segala hukum positif. Semua
hukum positif harus mendasarkan diri pada hukum alam ini. Pandangan Stoa ini dikembangkan
lebih lanjut oleh Cicero melalui buah tangannya yang terkenal, De Republica. Ajaran filsuf ini
kemudian mempengaruhi ajaran hukum alam yang dikemukakan oleh para ahli pikir yang
beragama Kristen. Menurut pendapatnya melakukan kewajibannya dan memperingatkan dan
menakutkan orang-orang terhadap perbuatan-perbuatan yang jahat, hukum itu tak dapat
dihapuskan oleh senat dan rakyat mana pun juga hukum itu sama tunggal, baik di Roma
maupun Athena menguasai seluruh bangsa dan pada setiap masa, Tuhanlah yang
menciptakannya, menetapkannya dan menganugerahkannya (L.J. van Apeldoorn, 1971:364).

Bagaimanakah hubungan antara hukum alam dengan hukum positif? Cicero mengutarakan
pendapatnya dalam karangannya yang lain, yaitu De Legibus. Antara lain dia berkata bahwa
hukum positif hanyalah merupakan perwujudan dari hukum alam. Dengan kata hukum positif
harus dibuat atas dasar hukum alam

Walaupun ajaran Stoa ini berpengaruh terhadap ajaran hukum Romawi, ternyata kurang
mendapat perhatian sewajar. nya dari para ahli pikir Romawi. Seperti telah dikemukakan para
filsuf Romawi perhatiannya lebih ditujukan kepada hal-hal yang bersifat praktis, yaitu lebih
kepada hukum positif sebagai sumbangan mereka pada pimpinan kekaisaran, yaitu bagai- mana
caranya dapat memerintah wilayah Romawi yang sangat luas itu dengan tertib dan aman.
Walaupun demikian, ada juga filsuf Romawi yang membentangkan hukum alam ini, misalnya
dapat disebutkan Gaius, Ulpianus, Paulus, Isidorus, dan Justinianus.

Gaius mengemukakan tentang adanya ius gentium, yaitu hukum yang berlaku untuk semua
bangsa (hukum inter- nasional). Daya berlakunya disebabkan oleh ilham yang diterima oleh
semua bangsa tersebut dari rasio alam. Kehadiran hukum ini sama tuanya dengan adanya
manusia di bumi ini. Pandangan Gaius, menurut para penulis sejarah filsafat hukum, hampir
bersamaan dengan Cicero, hanya Gaius tidak menjabarkan hukum tersebut dari kehendak
Tuhan.Ulpianus dikenal sebagai pengikut ajaran kaum Stoa Menurut pendapatnya, hukum
alam itu tidak hanya berlaku bagi manusia seperti halnya ius gentium Gaius, tetapi berlaku bagi
semua makhluk hidup. Dengan kata-katanya sendiri:

"Hukum perdata bersegi tiga; ia dapat dihimpunkan dari aturan aturan hukum alam atau dari
aturan-aturan yang dibuat bangsa-bangsa atau aturan-aturan yang dibuat oleh Kota (City).
Hukum alam adalah hukum yang diajarkan alam kepada sekalian hewan; hukum ini memang
bukan sifat jenis manusia, m elainkan untuk sekalian hewan. Pada hukum inilah bersumbernya
per- hubungan antara laki-laki dan perempuan yang disebut perkawinan, berkembang biaknya
anak-anak dan pendidikannya. Hukum bangsa-bangsa ialah yang ditaati manusia. Mudahlah
dapat dimengerti bahwa hukum ini hendaknya berbeda dari hukum alam, sebab yang kedua
adalah milik segala hewan, sedangkan hukum yang pertama adalah sifat manusia." (A.P.
d'Entrieves, 1963:26).

Pengaruh ajaran Stoa terlihat pada pendapatnya bahwa dalam nafsu dan naluri semua
makhluk hidup terdapat kodrat alam yang memerintah semua makhluk tersebut untuk hidup
sesuai dengan ketertiban alam. Isidorus, seorang uskup dari Sevilla, menulis buku berjudul
Atymologiae of Origines. Di dalamnya termuat juga tentang hukum alam. Tentang hukum,
uskup ini mengemukakan pem- bagian dalam tiga bagian dan dua bagian. Pembagian yang
pertama menyebutkan hukum sipil (hukum positif), ius gentium, dan ius naturale (hukum
alam). Mengenai hukum alam ini dia berpendapat bahwa hukum ini hanya berlaku bagi
manusia. sama untuk setiap bangsa, dan di mana-mana diikuti karena dorongan alam.

Justinianus dalam Insitutiones-nya mengambil alih ajaran Gaius maupun Ulpianus.


Justinianus menggabungkan kedua pandangan tersebut dengan pendapatnya sendiri, dan
menghasilkan suatu hukum alam yang bersifat abadi dan universal. Hukum alam ini bersumber
dari rasio Tuhan. Ajaran hukum alam dengan landasan ketuhanan mencapai puncak
perkembangannya melalui teori-teori kaum Skolastik pada Abad Pertengahan. Amat terkenal,
misalnya, pemikiran- pemikiran hukum alam dari Thomas Aquino, Gratianus (Decretum), John
Salisbury, Dante, Piere Dubois, Marsilius Padua, dan Johannes Huss (Lili Rasjidi, 1986:29).
Dalam buku- bukunya yang sangat terkenal yaitu Summa Theologica dan De Regimene
Principum, Thomas Aquino menguraikan ajaran hukum alamnya yang ternyata kemudian
banyak mem- pengaruhi ajaran Gereja hingga saat ini. Alam pikirannya dipengaruhi oleh
Aristoteles maupun kaum Stoa. Jika Aristoteles membagi hukum itu atas hukum alam dan
hukum positif, maka Thomas Aquino membuat penggolongan yang berbeda. Dia
menggolongkan hukum itu ke dalam empat golongan sebagai berikut:

a. Lex Aeterna, hukum abadi yang menguasai seluruh dunia. Hukum ini bersumber dari rasio
Tuhan yang menjadi dasar bagi semua hukum yang ada. Rasio ini tidak dapat ditangkap oleh
pancaindera manusia. Hanya sebagian kecil saja yang disampaikan kepada manusia.

b. Lex divina, yaitu bagian dari rasio Tuhan yang dapat ditangkap atas dasar wahyu yang
diterimanya. sebagian dari lex divina ini disebut:

c.Lex naturalis, yakni yang merupakan hukum alam. Dikatakan bahwa hukum alam ini
merupakan perwujudan lex aeterna pada rasio manusia. Atas dasar ini maka manusia dapat
melakukan suatu penilaian, dapat menentu- kan mana yang baik dan mana yang buruk.
Kemudian golongan hukum keempat disebutnya:

d. Lex positivis, yang dibagi atas hukum positif yang dibuat oleh Tuhan, yang terdapat pada
kitab-kitab suci, dan hukum positif buatan manusia.

Rudolf Stammler mengembangkan ajaran hukum alam yang berlainan, yaitu bahwa hukum
alam itu tidak berlaku abadi dan tidak universal. Dasar berlakunya hukum alam itu ialah
keperluan manusia. Oleh karena keperluan manusia itu berbeda pada setiap tempat dan waktu,
maka dengan sencirinya hukum alam pun akan memiliki isi yang berbeda pula pada setiap
tempat dan waktu. Lebih lanjut Stammler berpendapat bahwa hanya hukum yang dapat
memberikan keperluan yang cukup banyak yang dianggap memenuhi rasa keadilan. Selain itu,
demikian pendapatnya, hukum itu merupakan kehendak bebas atau Freie Wollen dari para
anggota suatu kelompok masyarakat. Freie Wollen ini hendaknya diartikan sebagai Reine
Wollen (kehendak murni), yaitu kehendak yang tidak berisi. Oleh karena kehendak bebas atau
kehendak murni itu berbeda pada setiap tempat dan waktu, disebabkan oleh keperluan manusia
yang berbeda tersebut di atas, maka hukum alamnya pun akan berbeda pula isinya.
B. Kelebihan Dan Kekurangan Buku

1.Kelebihan Bab VI

Buku yang berjudul pengertian filsafat hukum yang membahas terkait akan hak milik
mempunyai kelebihan tentang pembahasan filsafat hukum yang sangat baik dan mempunyai
pembahasan yang sangat menarik dan juga alur pembahasan nya sangat menyatuh sehingga
si pembaca dapat memahami dengan baik dan benar apa yang di maksud dengan hak milik
pada buku tersebut

Bab ini menyajikan penjelasan, kaidah-kaidah, dan teori yang terdapat dalam hukum.
Sehingga pembaca dapat mengetahui lebih mendalam hukum tentang hukum alam dan hukum
positif, di bab ini juga di uraikan secara rinci mulai dari tokoh-tokoh yang terlibat,uraian
pendapat tokoh, serta penjelasan perbandingan antar tokoh. Di bab ini juga memakai,
sehingga pembaca mengetahui dari buku mana kalimat tersebut di ambil.

Pada bab ini juga menjelaskan tentang bagaimana peran hukum alam yg mana hukam alam
ini berhubungan dengan hukum positif yang saling berkesinambungan dengan pendapat para
ahli di zaman dulu hingga sekarang ini, pada bab ini kita juga dapat istilah-istilah baru yang
sebelumnya tidak kita ketahui ,pada bab ini juga pembaca diberi tahu kalimat tersebut dikutip
dari buku apa dan tahun berapa.

2.Kekurangan Bab VI

Kelemahan buku filsafat hukum dalan bab ini ialah menggunakan bahasa yang baku dan
bnyak bahasa yang menggunakan bahasa asing yang tidak ada artinya sehingga si pembaca
kesulitan dalam memahami kata dalam buku tersebut juga ada beberapa bab di buku tersebut
yang sangat singkat pemahaman nya sehingga susah untuk di mengerti dan juga penggunaan
kata di buku ini agak susah di mengerti karena banyak paragraf yang pembahasan nya belum
selesai dan langsung di kaitkan dengn paragraf lain.

C.Kesimpulan
Melalui bab ini kita bisa dapat mengetahui lebih tentang hukum yang membahas tentang
hukum alam dan hukum positif serta tokoh yang memahami tentang hukum alam dan hukum
positif dan pembagian macam-macam pengertian hukum alam dan hukum positif. Meski
masih ada beberapa kekurangan tetapi membuat sebuah buku bukanlah hal yang mudah, dan
tidak sembarangan orang bisa membuat buku.

Anda mungkin juga menyukai