Anda di halaman 1dari 5

1. A.

Kebanyakan di antara kita dididik untuk mempercayai pernyataan-pernyataan


keagamaan tertentu yang bersifat hakiki. Lantaran kepercayaan terhadap pernyataan-
pernyataan keagamaan menuntut kepatuhan mutlak akan kebenarannya yang hakiki,
menjadi wajar sebagian orang menolak filsafat. Di abad pertengahan, misal, sebagian
pemikir kristiani menolak filsafat Yunani beserta seluruh kebudayaannya yang dinilai
kafir. Mereka berpendapat, bahwa sesudah manusia berkenalan dengan Wahyu Ilahi yang
tampak dalam diri Yesus Kristus, filsafat yang mewakili kecerdikan manusiawi adalah
sesuatu yang berlebihan, yang dapat menjadi suatu ancaman bagi iman kristiani.
Tertullianus (160-222) adalah salah seorang tokoh pemikir kristiani yang menganut
pendirian menolak filsafat Yunani.
Hubungan agama dengan Filsafat Yunani adalah sama pada pola pikirnya saja, yaitu
berpikir dengan kehendak bebas dan tanggung jawab manusia (Rasional dan Liberal). Dan
juga saling sama- sama untuk mengungkap kebenaran, sehingga keduanya tidak dapat
dipisahkan.

B."Pengkhianatan" al-Ghazali Adalah sebuah pergeseran intelektual ketika ia melabeli


Falsafa, yang berarti filsafat tapi dengan kandungan ilmu logika, matematika dan fisika,
bertentangan dengan Islam.Dalam buku Tahafut al-Falasifa ia dikatakan "membunuh ilmu
Falsafa sehingga tidak bisa lagi tumbuh di dunia muslim."
Berkat pengetahuannya yang nyaris tak berbanding dalam ilmu Falsafa dan Teologi, Al-
Ghazali menyuntikkan sikap antipati terhadap sains di kalangan umat muslim yang
akhirnya berujung pada kemunduran dan dalam proses tersebut kehancuran peradaban
Islam, setidaknya menurut para akademis dan orientalis.
Mereka tidak keliru ketika membatasi periode sejarah ketika umat muslim mulai
menanggalkan tradisi keilmuan dan inovasi teknologi, yakni pada abad ke-11. Tapi
mereka keliru ketika menyalahkan Al-Ghazali. Karena sesungguhnya Abu Ali al-Hassan
al-Tusi (1018-1092) yang lebih dikenal sebagai Nizam al-Mulk, Wazir agung dinasti
Seljuk, yang mendorong kemunduran budaya ilmu pengetahuan di Arab.

C. Pada abad-abad pertengahan, para filosof Barat menjadikan filsafat sebagai instrument
untuk mengharmonisasikan antara akal dengan agama.Bahkan para ahli teologi di Barat
dan para teolog Islam telah menjadikan filsafat sebagai tameng pertahanan aqidah dengan
argumentasi rasionalnya. Namun perpaduan dan harmonisasi antara filsafat dan agama itu
telah di nodai oleh lembaran-lembaran hitam. Hal ini terjadi karena terdapat sebagian dari
pemuka agama yang fanatik pernah memusuhi filsafat antara lain seperti AlGhazali, Ibn
Taimiyah dan Ibnus-Shalah. Al-Ghozali menuduh para filosof sebagai tak beragama, dan
kufur.224Ibn Taimiyah menyatakan bahwa filsafat itu bid„ah dan haram hukumnya.225
Ibnus-Shalah berpendapat filsafat adalah pokok kebodohan dan penyelewengan, bahkan
kebingungan dan kesesatan. Siapa yang berfilsafat, maka butalah hatinya dari kebaikan-
kebaikan syariah yang suci. Barang siapa yang mempelajarinya maka ia bertemankan
kehinaan, tertutup dari kebenaran dan terbujuk oleh syaitan.
2. A. Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-
satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan
dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data
empiris.Contohnya seorang penebang pohon dimusim dingin, lalu mebawanya
pulang. kita mengamati lalu berpendapat bahwa orang tersebut ingin membuatnya
kayu bakar, padahal belum tentu benar.
SedangkanSosiologi Hukum (sosiologi of law) adalah pengetahuan hukum terhadap
pola perilaku masyarakat dalam konteks sosial. Sosiologi Hukum adalah ilmu yang
mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dan gejala-gejala sosial lainnya
secara empiris analitis. Contohnya adanya kumpulan manusia yang merupakan
kesatuan sosial dan juga mempunyai norma, nilai, ataupun tujuan yang tidak berbeda.

B. Sociology of Law merupakan suatu disiplin yang berangkat dari metodologi


sosiologi. Konsep ini melihat lebih dalam bahwa hukum merupakan bagian dari
masyarakat sehingga hal utama yang dilihat bukan hukumnya melainkan kehidupan
masyarakatnya. Sedangkan Sociological Jurisprudence adalah ilmu yang merupakan
cabang dari ilmu normatif. Ilmu ini menitikberatkan pada keberlakuan hukum yang
efektif di masyarakat.

C. Roscoe Pound adalah salah satu ahli hukum yang beraliran sociological
jurisprudence yang lebih mengarahkan perhatiannya pada ”kenyataan hukum”
daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat. Kenyataan hukum pada
dasarnya adalah kemauan publik, jadi tidak sekedar hukum dalam pengertian law in
books. Sociological Jurisprudence menunjukkan kompromi yang cermat antara
hukum tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi terciptanya kepastian
hukum (positivism law) dan living law sebagai wujud penghargaan terhadap
pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi hukum
(Rasjidi dan Rasjidi, 2007). Peran strategis hakim dalam perspektif sociological
jurisprudence adalah menerapkan hukum tidak melulu dipahami sebagai upaya social
control yang bersifatformal dalam menyelesaikan konflik, tetapi sekaligus mendesain
penerapan hukum itu sebagai upaya social engineering. Tugas yudisial hakim tidak
lagi dipahami sekedar sebagai penerap undang-undang terhadap peristiwa konkrit
(berupa berbagai kasus dan konflik) atau sebagai sekedar corong undang-undang
(boncha de la loi) tetapi juga sebagai penggerak social engineering. Para
penyelenggara hukum harus memperhatikan aspek fungsional dari hukum yakni untuk
mencapai perubahan, dengan melakukan perubahan hukum selalu dengan
menggunakan segala macam teknik penafsiran (teori hukum fungsional).
3. A. Hak adalah yang wajib diberikan kepada kita, misalnya pendidikan dan tidak
boleh diganggu siapapun, sedangkan HAM adalah hak dasar anugerah tuhan yang
ada pada seseorang sejak ia didalam kandungan, contohnya Hak untuk mendapat
perlindungan hukum.

B. Ada dua prinsip dasar yang terdapat dalam Piagam Madinah, pertama, kebebasan
beragama dan kedua, adanya pemikiran humanistik, solidaritas dan melindungi
persamaan hak serta persamaan atas segala yang berhubungan dengan manusia dari
seluruh warganya.

Kebebasan dalam Piagam Madinah merupakan salah satu ciri modernitas dan
komitmen Islam terhadap HAM. Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan bebas,
mereka setara dalam kemuliaan dan hak.

Dalam prinsip kebebasan beragama, terdapat perintah moral untuk menjaga agama.
Dalam pengertian, tidaklah diperkenankan adanya perbuatan diskriminatif terhadap
agama lain, dalam upaya menjaga perdamaian antar agama, suku, dan ras.

Kemudian, dengan prinsip yang berdasar pada pemikiran humanistik, solidaritas


melindungi persamaan hak serta persamaan atas segala yang berhubungan dengan
manusia dari seluruh warganya akan mewujudkan suatu masyarakat yang toleran.

Dengan adanya masyarakat toleran akan mampu menciptakan suasana yang aman,
damai dan tentram, tanpa adanya diskriminasi antar individu atau golongan.

C. Hak asasi manusia di Indonesia tertulis dalam UU No. 39 Tahun 1999 yang
berbunyi HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Perkembangan HAM di Indonesia pada periode sebelum kemerdekaan ditandai
dengan kemunculan organisasi-organisasi pergerakan nasional, seperti Budi Utomo,
Perhimpunan Indonesia, Sarekat Islam, Partai Komunis Indonesia, dan IP & PNI.

Setelah kemerdekaan, hal yang masih diperdebatkan adalah tentang hak untuk
merdeka, hak berorganisasi dalam politik, dan hak berpendapat di parlemen. Oleh
sebab itu, Indonesia menjamin hak para rakyatnya untuk berserikat, berkumpul, dan
menyampaikan pendapat yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 28.

Pada Masa Orde Lama sistem politik di Indonesia dipengaruhi oleh sistem liberalisme
dan parlementer, sehingga perkembangan HAM juga ikut terpengaruh. Sedangkan
Pada Masa Orde Baru Pemerintah berusaha memberikan penolakan terkait konsep
HAM, alasannya HAM merupakan pemikiran yang berasal dari Barat, dan dianggap
bertolak belakang dengan nilai-nilai budaya Bangsa Indonesia dan dasar negara
Pancasila.
Faktanya, pada masa Orde Baru telah banyak terjadi pelanggaran HAM. Misalnya,
kebijakan politik yang diterapkan bersifat sentralistis dan tidak menerima pendapat
yang berbeda dengan pemerintah. Kemudian, terjadi beberapa kasus mengenai
pelanggaran HAM pada masa Orde Baru, seperti G30S (1965), Peristiwa Tanjung
Priok (1984), Kasus Kedung Ombo (1989), dan masih banyak lainnya. Pada masa ini,
HAM masih dianggap sebagai buah pemikiran dari negara luar atau Barat dan dinilai
sebagai penghambat proses pembangunan. Di sisi lain, sebagian besar masyarakat
merasa bahwa HAM itu luas dan terbuka. Pada 1993, akhirnya dibentuk lembaga
mandiri yang bernama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM.
Fungsi dari Komnas HAM adalah melaksanakan kajian, perlindungan, penelitian,
penyuluhan, pemantauan, investigasi dan mediasi soal masalah HAM.
Memasuki era Reformasi, HAM mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Buktinya adalah lahirnya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM. Selain itu,
HAM juga mendapatkan perhatian besar dari pemerintah dengan melakukan
amandemen UUD 1945 guna menjamin HAM. Setelah itu, ditetapkannya Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

4. A. Kode Etik Jaksa atau yang dikenal sebagai Kode Perilaku Jaksa adalah serangkaian
norma sebagai pedoman keutamaan mengatur perilaku Jaksa baik dalam menjalankan
tugas profesinya, menjaga kehormatan dan martabat profesinya, maupun dalam
melakukan hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan. Kode etik Jaksa merupakan
hukum tertinggi bagi Jaksa dalam menjalankan profesi. Kode etik ini mengandung
nilai-nilai luhur dan ideal sebagai pedoman berperilaku, sebagai sarana control, agar
melahirkan Jaksa yang memiliki kualitas moral yang baik dalam melaksanakan
tugasnya. Serta mencegah campur tangan pihak diluar organisasi profesi tentang
hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Sehingga kehidupan peradilan di Negara
kita akan mengarah pada keberhasilan. Seorang jaksa seharusnya memberikan
bantuan hukum, pertimbangan hukum, pelayanan hukum, penegakan hukum atau
tindakan hukum lain secara profesional, adil, efektif, efisien, konsisten, transparan
dan menghindari terjadinya benturan kepentingan dengan tugas bidang lain.
Sebaliknya ketiga jaksa ini tidak melakukan tugasnya tanpa menerapkan hal-hal
tersebut. Dari kasus ini terdapat beberapa kemungkinan yang terjadi antara lain,
menurunnya citra Jaksa penyidik professional di mata masyarakat. Dalam kasus ini,
disebabkan merosotnya profesionalisme di kalangan para Jaksa, baik level pimpinan
maupun bawahan. Keahlian, rasa tanggung jawab dan kinerja terpadu yang
merupakan profesionalisme tampaknya mengendur. Sebenarnya, jika pengemban
profesi kurang memiliki keahlian, atau tidak mampu menjalin kerjasama dengan
pihak-pihak demi kelancaran profesi atau pekerjaan yang harus dijalin, maka
sesungguhnya profesionalisme itu sudah mati, kendati yang bersangkutan tetap
menyebut dirinya sebagai seorang profesional. Seharusnya, sebagai Jaksa yang
merupakan warga Negara Indonesia dalam melaksanakan tugasnya harus menjunjung
tinggi hukum, kode etik Jaksa dan sumpah jabatannya. Menanamkan dalam dirinya
bahwa yang terkandung di dalam kode etik jaksa merupakan suatu kewajiban yang
harus dilakukan dalam melaksanakan tugasnya baik dilakukan di dalam maupun
diluar jam kerja. Hal ini harus dilakukan agar terwujudnya jaksa yang tidak hanya
pintar, namun juga memiliki moralitas yang tinggi. Memahami tugas-tugas, fungsi
dan perannya sebagai jaksa yang benar dan professional, yang memiliki komitmen
untuk menegakkan keadilan, dengan tanpa terpengaruh hal lain, tanpa rasa takut dan
berpedoman kepada kode etik, serta tidak hanya memikirkan keuntungan bagi dirinya
sendiri.
B. Profesi hukum sebagai profesi yang tekait dengan hukum positif, keadilan,
kemanusiaan, penjaga peradaban masyarakat dan kekuasaan tidak cukup diemban
hanya berdasarkan kompetensi intelektual saja, paling tidak ada tiga dimensi
kompetensi yang terkait, yaitu kemampuan ilmiah, keluhuran hati/moralitas/dedikasi,
dan keterampilan. Itulah mengapa profesi hukum termasuk profesi yang penuh
kemuliaan/pekerjaan terhormat atau sesuatu “officium nobile” melambangkan
perilaku terhormat (honorable), murah hati (generous) dan bertanggungjawab
(responsible). Hal itu berarti bahwa seorang anggota profesi hukum tidak saja harus
berperilaku jujur dan bermoral tinggi, tetapi harus pula mendapat kepercayaan bahwa
sesorang profesi hukum akan selalu berperilaku demikian. Profesi hukum bekerja
berdasar hukum sebagai legalisasi kekuasaannya. Dengan demikian, profesi hukum
dapat didefinisikan profesi yang memiliki kekuasaan yang dibenarkan untuk bersikap
dan berperilaku tertentu menurut hukum. Sehingga pengemban “adressat hukum”, ia
mendapatkan legalitas kekuasaan untuk bertindak sekaligus batasanbatasannya. Disisi
lain profesi hukum adalah profesi yang berintegrasi dengan masyarakat, sehingga ia
bukan profesi yang bebas nilai, bukan profesi yang eksklusif, tetapi profesi hukum
senantiasa bersinggungan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Bahkan
pada tingkat inconcreto agar hukum benar-benar merefleksikan masyarakatnya ada
pada tugas profesi hukum. Penegakan hukum sangat erat kaitannya dengan integritas
moral para penegak hukum itu sendiri. Kadang-kadang masih sulit membedakan
antara menghukum orang dengan menghukum perbuatan. Setiap orang punya rasa
kasihan, tapi jangan karena kasihan dan kemanusiaan pada seseorang mengakibatkan
hukum tidak ditegakkan (Susetyo, 2007). Adapun konsekuensi dari setiap
pelanggaran hukum adalah memperoleh hukuman sesuai dengan perbuatannya.
Hukum memang mengemban misi kemanusiaan dan ingin menciptakan proses yang
berprikemanusiaan, tetapi bukan berarti penegakan hukum bisa dihambat oleh
faktorfaktor emosi dan kekuasaan orang kuat. Sehingga kadang-kadang muncul
bahasa yang menggelitik dari masyarakat, menjadi penguasa itu sangat enak, karena
perbuatan apapun bisa dilakukan tanpa merasa takut ancaman delik hukum. Dalam
upaya penegakan hukum di Indonesia, menurut Bisri (2005) terdapat beberapa
kendala yang dihadapi, antara lain (1) Pada tingkat aparat penegak hukum pada saat
ini dalam kacamata masyarakat pengguna hukum mengalami penurunan citra. Hal ini
dapat di lihat dari kualitas persidangan dan putusan hakim serta pemeriksaan perkara
yang berskala besar dan menjadi issue nasional yang tak kunjung selesai. Demikian
pula lambannya polisi dalam menyelesaikan kejahatan yang melibatkan kaum berdasi
yang langsung berhadapan dengan persoalan hukum, (2) Budaya hukum masyarakat
yang masih jauh dari disiplin dan ketaatan dari hukum, terutama yang dipertontonkan
oleh penguasa. Antara lain budaya korupsi yang amat klosal dan menjadi preseden
buruk dan mengimbas pada menurunnya investor menanamkan modal ke Indonesia,
budaya melawan hukum yang ditunjukan dengan tidak mengindahkan putusan hakim.

C. Kedua Jaksa tersebut melakukan tindak korupsi yang merugikan orang banyak
hanya atas dasar kepentingan pribadi, Adapun salah satu ciri ciri profesi yaitu Dalam
pelaksanaan profesi harus lebih mengutamakan kepentingan masyarakat di atas
kepentingan pribadi. Hal tersebutlah yang dilanggar oleh kedua jaksa tersebut.

Nama :’Shahril
NIM : 043417454

Anda mungkin juga menyukai