BAB I
LANDASAN FILSAFAT, TEORI, TERMINOLOGI DAN
SEJARAH HAK ASASI MANUSIA
Hak asasi manusia merupakan kristalisasi berbagai sistem nilai dan filsafat
tentang manusia dan seluruh aspek kehidupannya. Fokus utama dari hak asasi manusia
adalah kehidupan dan martabat manusia. Martabat manusia akan terganggu ketika
mereka menjadi korban penyiksaan, menjadi korban perbudakan atau pemiskinan,
termasuk jika hidup tanpa kecukupan pangan, sandang dan perumahan.
Gagasan tentang nilai luhur martabat manusia, yang menjadi esensi gagasan hak
asasi manusia modern, dapat ditemukan dalam semua ajaran agama. Selain itu, prinsip
kesetaraan yang menjadi salah satu prinsip utama hak asasi manusia juga banyak
mendapatkan pengakuan normatif dalam berbagai ajaran agama. Abdullahi A. An-
Na'im menyebut prinsip ini dengan istilah ‘Prinsip Emas' (Golden Rule). Ruh utama
dari prinsip ini adalah adanya prinsip hubungan timbal balik (resiproksitas) dalam
hubungan kemanusiaan (termasuk hubungan antara penguasa dan rakyat), yakni
tuntunan untuk memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Islam
misalnya mengajarkan umatnya untuk mencintai saudaranya seperti ia mencintai diri
sendiri, dan itu merupakan prasyarat kesempurnaan iman. Islam juga mengajarkan agar
umatnya memberikan harta kepada saudaranya berupa sesuatu yang paling ia sukai, dan
itu merupakan prasyarat untuk memperoleh kebaikan.
Ajaran tentang perlakuan terhadap orang lain tersebut sesungguhnya dapat
ditemukan dalam seluruh ajaran agama. Abdullahi A. An-Na'im memposisikan
kesamaan ajaran berupa ‘Prinsip Emas' ini menjadi salah satu landasan normatif bagi
prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi yang menjadi prinsip dasar gagasan hak asasi
manusia dewasa ini. Pada kesempatan yang lain An-Na'im menyatakan bahwa ada
salah satu prinsip normatif umum yang dimiliki oleh semua tradisi kebudayaan besar
yang mampu menopang gagasan universalitas hak asasi manusia.
Prinsip tersebut adalah `seseorang harus memperlakukan orang lain sama
seperti ia menginginkan diperlakukan orang lain'. Aturan moral ini mengacu pada
prinsip resiproksitas yang mengakar kuat di hampir seluruh agama-agama besar dan
proposisi yang sederhana tersebut dengan mudah diapresiasi oleh semua umat manusia,
baik dari tradisi kultural maupun persuasi filosofis. Tantangan penerapan prinsip
resiproksitas adalah ketika harus bersikap dengan orang yang berbeda baik jenis
kelamin atau kepercayaan agama. Tujuan prinsip resiproksitas adalah bahwa seseorang
harus mencoba mencapai sistem taksiran yang paling dekat untuk menempatkan dirinya
dalam posisi orang lain. Ini mengasumsikan adanya kesamaan posisi dengan orang lain
dalam semua hal termasuk jenis kelamin dan agama. Sifat resiproksitas adalah saling
menguntungkan, sehingga ketika orang mengidentifikasi diri dengan orang lain, maka
seseorang seyogianya menggunakan prinsip timbal balik yang sama terhadap sistem
2
Hindu: Jangan lakukan pada orang lain hal, yang bila dilakukan pada dirimu, akan
menyebabkan penderitaan : ini adalah inti darma (Do naught to others which, if done
to thee, would cause thee pain: this is the sum of duty).
Yahudi: Apa yang kamu benci, jangan kamu lakukan pada temanmu. Itu adalah
hukum seutuhnya, sisanya adalah penjelasan (What is hateful for you, do not to your
fellow man. That is the entire law, all the rest is commentary).
Kristen: Lakukanlah pada orang lain hal yang kamu ingin agar orang lain lakukan
padamu (Do unto others as you would have them do unto you).
Budha: Jangan sakiti orang lain dengan cara yang kamu sendiri akan merasakan
sakit (Hurt not others in ways that you yourself would find hurtful).
Secara filosofis, akar nilai dan perspektif hak asasi manusia memang tidak
dapat dipisahkan dari perkembangan agama, namun demikian tidak sedikit kalangan
yang mempertanyakan kaitan antara hak asasi manusia dan nilai agama karena bagi
mereka agama memiliki aspek kontradiksi yang cukup tinggi serta dalam sejarah
peradaban manusia merupakan faktor penyumbang peperangan dan kekerasan yang
cukup panjang. Agama juga dianggap memiliki karakter elitis, di mana hanya orang-
orang tertentu dari kaum `tinggi' yang dianggap memiliki otoritas untuk menafsirkan
agama.
Secara historis, banyak kalangan yang menganggap bahwa akar filosofis dari
munculnya gagasan hak asasi manusia adalah teori hak kodrati (natural rights theory)
yang dikembangkan oleh para pemikir Abad Pencerahan di Eropa, seperti John Locke,
Thomas Paine dan Jean Jacques Rousseau. Intisari teori hak kodrati adalah pemikiran
bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak-hak yang melekat pada dirinya, dan
karena itu ia tidak dapat dicabut oleh negara. Teori hak kodrati menganggap bahwa
hak-hak alamiah semua individu tersebut tidak lahir dari pengakuan politis yang
diberikan negara pada mereka. Teori hak kodrati erat kaitannya dengan teori ‘kontrak
sosial’ (social contract) yang merujuk pada suatu kesepakatan sosial dan politik bahwa
perlindungan atas hak-hak individu yang tidak dapat dicabut tersebut telah diserahkan
kepada negara. Apabila penguasa negara mengabaikan kontrak sosial itu dengan
melanggar hak-hak kodrati individu, maka rakyat di negara itu bebas menurunkan sang
penguasa dan menggantikannya dengan suatu pemerintah yang bersedia menghormati
hak-hak tersebut. Gagasan mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi munculnya
3
berbagai revolusi yang meletup di Inggris, Amerika Serikat dan Prancis pada abad ke-
17 dan ke-18.
Perkembangannya, teori hak kodrati diikuti oleh dua pemikiran besar yang
memberi sumbangan pada bangunan dasar filosofis pemikiran hak asasi manusia
modern, yakni demokrasi dan liberalisme. Demokrasi adalah sebuah konsep dan sistem
politik yang menegaskan kebebasan warga negara untuk ikut serta dalam proses dan
kehidupan politik, khususnya dalam proses-proses pembuatan keputusan. Sementara
liberalisme adalah sebuah filsafat politik yang menekankan kebebasan individu dari
campur tangan (interference) pihak luar, terutama negara. Pada konsep hak asasi
manusia modern dewasa ini, pengaruh liberalisme dapat dilihat dalam hak-hak sipil
yang bersifat pasif, yakni kebebasan individu dari campur tengan (terutama dari
negara). Sedangkan pengaruh demokrasi tercermin dalam hak-hak politik yang bersifat
aktif, yakni hak-hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan dan proses-proses politik.
Hak-hak sipil dan politik inilah yang menjadi inti dari gagasan hak asasi manusia klasik
Abad Pencerahan, atau generasi pertama hak asasi manusia, yang semakin mendapat
pengakuan setelah Revolusi Amerika dan Prancis pada abad ke-18 serta revolusi-
revolusi borjuis lainnya pada abad ke-19.
Pada proses positifisasi gagasan hak asasi manusia melalui organisasi
internasional, gagasan hak asasi manusia klasik ini mendapatkan tantangan keras,
terutama dari para penganut sosialisme. Gagasan hak asasi manusia klasik dinilai oleh
para pemikir sosialis terlalu mengutamakan individualisme dan akan menjadi sumber
pertumbuhan kapitalisme yang tak terbatas serta hanya akan memperkokoh
kesenjangan sosial. Para filsuf sosialis menolak gagasan liberal tentang pemisahan
individu dan negara, dan sebagai tandingannya, mereka menawarkan gagasan sosialis
tentang kesatuan negara dan masyarakat serta keterpaduan kepentingan individu dan
kelompok. Kritik dan tawaran-tawaran pemikiran dari kubu sosialis serta revolusi
sosialis inilah yang kemudian menjadi cikal bakal bagi perumusan hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya.
Benturan ideologis antara konsep klasik hak asasi manusia di Barat (negara-
negara penganut demokrasi liberal) dan konsep sosialis hak asasi manusia di Timur
(negara-negara sosialis) dalam kurun waktu yang cukup lama menjadi penghalang bagi
perkembangan filosofis dan politik hak asasi manusia hingga berakhirnya Perang
Dingin. Kuatnya iklim persaingan ideologis dan politik dunia pada saat itu
menyebabkan kedua kubu pemikiran hak asasi manusia tersebut cenderung tidak mau
duduk bersama dan berdialog menuju suatu konsep hak asasi manusia yang lebih
terpadu. Setelah berakhirnya perang dingin muncullah kesadaran yang lebih nyata
untuk menegaskan (kembali) gagasan universalisme hak asasi manusia. Gagasan ini
pada dasarnya lahir untuk mengoreksi kelemahan dua konsep hak asasi manusia yang
berlawanan di atas.
Meskipun deklarasi-deklarasi dari Revolusi Amerika dan Prancis telah
menyatakan gagasan kebebasan dan kesetaraan untuk semua, konsep klasik hak asasi
manusia pada kenyataannya hanya berlaku bagi sekelompok kecil elit borjuis laki-laki
4
dan berkulit putih. Seperti dinyatakan oleh Karl Max dan para pemikir sosialis yang
lain, gagasan hak asasi manusia klasik semacam itu secara praktis dan filosofis justru
bisa menopang gagasan perbudakan, kolonialisme dan penindasan terhadap perempuan
dan kelas pekerja. Gagasan hak asasi manusia sosialis di sisi lain diyakini para
pendukungnya dapat mewujudkan kesetaraan yang nyata melalui campur tangan
negara. Kelemahan dari gagasan kaum sosialis dengan mengutamakan kepentingan
kolektif di atas kebebasan individu adalah hilangnya aspek pemberdayaan individual
yang melekat dalam hak asasi manusia. Sesaat setelah Perang Dingin kesepakatan
politik antara dua kubu mulai terlihat terutama dengan disahkannya Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948.
Hak asasi manusia kemudian dianggap sebagai norma universal yang dapat
diterapkan di mana saja dan dalam sistem politik dan ekonomi seperti apa pun.
Gagasan universalisme berkembang dengan semboyan utamanya, "Semua hak asasi
manusia untuk semua" (all human rights for all). Semboyan ini bergema dan menjadi
kekuatan pendorong bagi pemahaman baru tentang universalitas hak asasi manusia.
Gagasan ini merujuk pada ‘ketidakterbagian’ (indivisibility) dan ‘kesaling
tergantungan’ (interdependency) semua hak asasi manusia, yakni perpaduan dari
berbagai konsep dan generasi hak asasi manusia. Hak-hak ekonomi, sosial, budaya dan
hak kolektif sama pentingnya dengan hak-hak sipil dan politik. Perlindungan hak asasi
manusia yang nyata hanya akan dapat dicapai dengan perpaduan yang seimbang antara
berbagai hak asasi manusia serta mempertimbangkan hak individu atas ketiadaan
campur tangan negara dan tindakan positif negara dalam semua hak. Gagasan tersebut
merupakan simbol dari universalitas hak asasi manusia dalam pengertian yang lebih
sempit, yakni keberlakuannya secara prinsip untuk semua manusia, tanpa dipengaruhi
oleh gender, agama, ras, warna kulit, asal-usul etnis dan sosial, kebangsaan, orientasi
seksual dan lain-lain.
Secara terminologis, sebelum disahkannya Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia pada tahun 1948, istilah hak asasi manusia mengacu pada praktik di tingkat
nasional. Artinya, sebenarnya jauh sebelum hak asasi manusia dilembagakan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa, negara-negara telah memiliki pandangan dan istilah yang
bermakna hak asasi manusia. Beberapa istilah tersebut antara lain (a) Grundrechte
dalam bahasa Jerman yang bermakna kebebasan fundamental (fundamental freedom);
(b) civil rights atau civil liberties dalam bahasa Inggris yang bermakna hak sipil atau
kebebasan sipil; dan (c) libertes publiques dalam bahasa Prancis dengan makna yang
sama." Perserikatan Bangsa-Bangsa pada akhirnya menggunaan istilah human rights
yang di Indonesia diterjemahkan menjadi hak asasi manusia.
Di dalam instrumen internasional dan buku-buku internasional, sangat sulit
ditemukan definisi detail tentang hak asasi manusia. Instrumen dan buku tersebut
biasanya hanya memberikan karakter, prinsip dan bagaimana memahami hak asasi
manusia. Rhona K.M. Smith misalnya, ia mengutip Vienna Declaration and Program
of Action 1993 untuk mengkerangka hak asasi manusia yaitu "Human rights and
fundamental freedoms are the birthright of all human being; their protection and
5
Karena keberadaannya yang begitu penting, tanpa hak asasi manusia, manusia tidak
dapat mengembangkan bakat-bakat dan mememuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Sementara menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, hak asasi manusia dimaknai sebagai seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia.
Definisi di atas menimbulkan beberapa kontroversi yang sering kali
kontraproduktif. Definisi bahwa hak asasi manusia melekat sejak lahir menimbulkan
kontroversi karena jika hal ini diterapkan secara ketat, maka janin yang masih di dalam
kandungan tidak memiliki hak. Pertanyaannya kemudian, apakah janin yang masih di
dalam kandungan tidak memiliki hak untuk hidup, oleh karenanya dapat diaborsi.
Kontroversi yang kedua adalah pemberian label tanggung jawab kepada negara,
hukum, pemerintah, dan setiap orang demi untuk menjunjung tinggi, melindungi dan
menghormati. Kalimat "setiap orang" dianggap merupakan pengaburan dari tanggung
jawab negara (pemerintah) sebagai pihak yang memiliki kewajiban untuk melindungi,
menghormati dan memenuhi hak asasi manusia. Konsep ini akan berimplikasi pada
kaburnya makna pelanggaran hak asasi manusia, yaitu sangat sulit membedakan antara
pelanggaran hak asasi manusia dengan pelanggaran dan/atau kejahatan pidana.
Gagasan dan norma-norma hak asasi manusia sebagaimana dipahami dewasa ini
merupakan hasil dari sebuah evolusi pemikiran dan berbagai upaya menciptakan
kehidupan dan tata dunia yang lebih terhormat selama berabad-abad. Para penulis
umumnya mencatat bahwa kelahiran wacana hak asasi manusia merupakan reaksi dari
perubahan sistem ketatanegaraan dari pemerintahan teokratis menuju pemerintahan
demokratis serta paham konstitusionalisme yang menyertainya.
Moh. Mahfud MD menjelasakan bahwa konsep hak asasi manusia yang muncul
dan berkembang di Eropa Barat sejak abad pertengahan sebenarnya tumbuh bersamaan
dengan munculnya paham kebangsaan yang mengilhami lahirnya negara-negara
modern dan sekuler. Gagasan ini dimunculkan sebagai alternatif perombakan atas
sistem politik dan ketatanegaraan yang sentralistik, di mana kekuasaan negara terletak
di tangan penguasa secara absolut. Absolutisme kekuasaan itu kemudian menimbulkan
konflik antara penguasa dan rakyatnya atau antara kekuasaan pemerintah dan
kebebasan warga negara.
Gerakan kebebasan yang tampil melawan kekuasaan berawal dari meluasnya
kekuasaan raja-raja yang semula menyatu dengan kekuasaan gereja. Merambahnya
kekuasaan raja-raja ke luar dari teritori yang semula dikuasai bersama dengan gereja
menimbulkan pertanyaan tentang legitimasi kekuasaan raja-raja. Kalau semula dasar
legitimasinya adalah ketuhanan (teokrasi) karena berbagi tugas dengan gereja dalam
teritori yang sama, maka dengan penguasaan atas teritori yang tidak turut dikuasai oleh
gereja timbul pertanyaan tentang dasar kekuasaan raja.
7
3) Penghapusan Perbudakan
Perkembangan penting pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang juga
berperan besar dalam perumusan lebih lanjut norma-norma hak asasi manusia
adalah penghapusan perbudakan. Praktik perbudakan mula-mula dikutuk dalam
Traktat Perdamaian Paris (1814) antara Inggris dan Prancis, dan 50 tahun
kemudian oleh Akta Umum Konferensi Berlin yang mengatur kolonisasi Eropa
di Afrika menyatakan bahwa "perdagangan budak dilarang berdasarkan asas-
asas hukum internasional". Kemudian pada tahun 1926, Liga Bangsa-Bangsa
mengesahkan Konvensi Penghapusan Perbudakan dan Perdagangan Budak, dan
melarang praktik perbudakan di wilayah-wilayah bekas koloni Jerman dan
Turki yang berada di bawah Sistem Mandat (Mandates System) Liga Bangsa-
Bangsa pada akhir Perang Dunia I.
of war).
Selanjutnya, yang juga patut dicatat sebagai peristiwa penting yang berpengaruh
besar bagi perkembangan hak asasi manusia internasional adalah dibentuknya
Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations) melalui Perjanjian Versailles segera
setelah berakhirnya Perang Dunia I. Tujuan utama Liga tersebut adalah "untuk
memajukan kerja sama internasional, mencapai perdamaian dan keamanan
internasional". Memang Liga tersebut tidak secara eksplisit membuat ketetapan
mengenai perlindungan hak asasi manusia, namun, dari dokumen pendiriannya,
yang disebut Covenant of the League of Nations, negara-negara anggotanya
diwajibkan untuk berupaya ke arah sasaran-sasaran kemanusiaan seperti
menetapkan kondisi kerja yang manusiawi bagi individu, larangan perdagangan
perempuan dan anak, pencegahan dan pengendalian penyakit, serta perlakuan
yang adil terhadap penduduk pribumi dan wilayah jajahan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa didirikan pada tahun 1945, sebagai ganti dari Liga
Bangsa-Bangsa. Pendirian Perserikatan Bangsa-Bangsa ini didasari oleh situasi
kekejaman Perang Dunia II dan korban Sosialisme Nasional. Perserikatan
Bangsa-Bangsa didirikan dengan tujuan untuk menjaga kedamaian dan
keamanan internasional, untuk mencapai kerja sama internasional,
mempromosikan dan memajukan penghormatan hak asasi manusia dan
kebebasan fundamental. Pasal 1 ayat (2) dan (3) Piagam PBB berbunyi:
(2) Untuk mengembangkan hubungan bersahabat antarbangsa berdasarkan
penghormatan pada prinsip kesetaraan hak dan kebebasan menentukan
nasib sendiri oleh rakyat, dan untuk mengambil langkah yang memadai
untuk memperkuat kedamaian universal (To develop friendly relation
among nations based on respect for the principle of equal rights and self
determination of peoples, and to take other appropriate measures to
strenghten universal peaces).
11
Di Indonesia wacana hak asasi manusia telah lama berkembang tepatnya sejak
awal kemerdekaan, bahkan dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia lebih awal
membicarakan persoalan hak asasi manusia dibandingkan dengan Perserikatan Bangsa-
Bangsa. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia tahun 1945, para pendiri bangsa telah
berinisiatif memasukkan pasal-pasal hak asasi manusia tetapi tidak berhasil karena
belum terjadi kesepakatan.
Pada awal kemerdekaan, perdebatan soal hak asasi manusia terjadi antara
Soekarno-Soepomo vs Hatta-Yamin. Soekarno menolak pencantuman hak asasi
manusia di dalam konstitusi dengan alasan kekhawatiran akan merebaknya paham
liberalisme dan individualisme.
Kekhawatiran tersebut tampak pada pernyataan Soekarno di bawah ini:
"...saya minta dan menangis kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya, buanglah
sama sekali faham individualisme itu, janganlah dimasukkan dalam Undang-
Undang Dasar kita yang dinamakan 'rights of the citizens' yang sebagai
dianjurkan oleh Republik Perancis itu adanya..."
“...buat apa kita membikin grondwet, apa gunanya grondwet itu kalau ia tak
dapat mengisi perutnya orang yang hendak mati kelaparan. Grondwet yang berisi
‘droit de I’ homme et du citoyen’ itu, tidak bisa menghilangkan kelaparannya
orang yang miskin yang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena itu, jikalau
13
Di sisi yang lain Hatta dan Yamin bersikeras agar pasal hak asasi dicantumkan
di dalam konstitusi, karena jika tidak dicantumkan dikhawatirkan penguasa akan
menjadi otoriter karena kekuasaan yang luas. Hatta menyatakan bahwa:
"tetapi satu hal yang saya khawatirkan kalau tidak ada satu keyakinan atau suatu
pertanggungan kepada rakyat dalam hukum dasar yang mengenai haknya untuk
mengeluarkan suara, saya kuatir menghianati di atas Undang-Undang Dasar yang
kita susun sekarang ini, mungkin terjadi satu bentukan negara yang tidak kita
setujui".
"sebab itu ada baiknya dalam satu fasal, misalnya fasal yang mengenai warga negara
disebutkan di sebelah hak yang sudah diberikan juga kepada misalnya tiap-tiap
warga negara rakyat Indonesia, supaya tiap-tiap warga negara itu jangan takut
mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebut disini hak untuk berkumpul dan
bersidang atau menyurat dan lain-lain. Tanggungan ini perlu untuk menjaga supaya
negara kita tidak menjadi negara kekuasaan, sebab kita dasarkan negara kita kepada
kedaulatan rakyat".
Akhir dari perdebatan itu adalah diakui dan digunakannya konsep ‘hak warga
negara’ dan bukan ‘hak asasi manusia’. Sejarah mencatat bahwa Konstitusi Republik
Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950
yang pernah berlaku selama sekitar 10 tahun (1949-1959), justru memuat pasal-pasal
tentang hak asasi manusia yang lebih banyak dan lebih lengkap dibandingkan dengan
Undang-Undang Dasar 1945. Kedua Undang-Undang Dasar tersebut mendasarkan
ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hak asasi manusia pada Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang mulai
berlaku pada tanggal 10 Desember 1948.
Konstitusi RIS 1949 mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bagian V yang
berjudul "Hak-Hak dan Kebebasan-Kebebasan Dasar Manusia". Pada bagian tersebut
terdapat 27 pasal, dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 33. Pasal-pasal tentang hak asasi
manusia yang isinya hampir seluruhnya serupa dengan Konstitusi RIS 1949 juga
terdapat dalam UUDS 1950. Di dalam UUDS 1950, pasal-pasal tesebut juga terdapat
dalam Bagian V yang berjudul "Hak-Hak dan Kebebasan-Kebebasan Dasar Manusia".
Bagian ini terdiri dari 28 pasal, dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 34.
Perdebatan tentang konsepsi hak asasi manusia kemudian muncul dalam
persidangan Konstituante yang dibentuk antara lain berdasarkan Pasal 134 UUDS
1950. Pasal tersebut menyatakan bahwa Konstituante (Sidang Pembuat Undang-
Undang Dasar) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang
Dasar Sementara ini (UUDS 1950). Konstituante yang terbentuk melalui pemilihan
umum pada tahun 1955 tersebut kemudian bersidang, hingga dibubarkan melalui
14
Pada masa awal Orde Baru, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPRS) telah
berhasil merancang suatu dokumen yang diberi nama "Piagam Hak-Hak Asasi Manusia
dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara." Di samping itu, sambil menunggu
berlakunya Piagam Pimpinan MPRS ketika itu juga menyampaikan "Nota MPRS
kepada Presiden dan DPR tentang Pelaksanaan Hak-Hak Asasi Manusia". namun
demikian, sejarah menunjukkan bahwa karena berbagai latar Piagam tersebut kemudian
tidak jadi diberlakukan. Perjalanan arah menunjukkan bahwa pemerintah Orde Baru
seakan-akan bersikap anti terhadap eksistensi suatu piagam hak asasi manusia. Setiap
pertanyaan yang mengarah kepada perlunya piagam hak asasi manusia, cenderung
untuk dijawab bahwa piagam semacam itu (pada saat itu) dibutuhkan, karena masalah
hak asasi manusia telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
b. Pasca Reformasi
Pada masa reformasi, perkembangan hak asasi manusia mulai ditandai dengan
disahkannya Ketetapan MPR Nomor XVII/ MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
yang ditetapkan dalam Sidang MPR tanggal 13 November 1998. Terlepas dari
kekurangan-kekurangan yang oleh sementara kalangan dianggap masih melekat di
dalamnya, pemberlakuan ketetapan ini bisa dianggap sebagai semacam “penebus"
kegagalan ditetapkannya "Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak serta
15