Anda di halaman 1dari 16

1

BAB I
LANDASAN FILSAFAT, TEORI, TERMINOLOGI DAN
SEJARAH HAK ASASI MANUSIA

A. Landasan Filsafat, Teori dan Terminologi Hak Asasi Manusia.

Hak asasi manusia merupakan kristalisasi berbagai sistem nilai dan filsafat
tentang manusia dan seluruh aspek kehidupannya. Fokus utama dari hak asasi manusia
adalah kehidupan dan martabat manusia. Martabat manusia akan terganggu ketika
mereka menjadi korban penyiksaan, menjadi korban perbudakan atau pemiskinan,
termasuk jika hidup tanpa kecukupan pangan, sandang dan perumahan.
Gagasan tentang nilai luhur martabat manusia, yang menjadi esensi gagasan hak
asasi manusia modern, dapat ditemukan dalam semua ajaran agama. Selain itu, prinsip
kesetaraan yang menjadi salah satu prinsip utama hak asasi manusia juga banyak
mendapatkan pengakuan normatif dalam berbagai ajaran agama. Abdullahi A. An-
Na'im menyebut prinsip ini dengan istilah ‘Prinsip Emas' (Golden Rule). Ruh utama
dari prinsip ini adalah adanya prinsip hubungan timbal balik (resiproksitas) dalam
hubungan kemanusiaan (termasuk hubungan antara penguasa dan rakyat), yakni
tuntunan untuk memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Islam
misalnya mengajarkan umatnya untuk mencintai saudaranya seperti ia mencintai diri
sendiri, dan itu merupakan prasyarat kesempurnaan iman. Islam juga mengajarkan agar
umatnya memberikan harta kepada saudaranya berupa sesuatu yang paling ia sukai, dan
itu merupakan prasyarat untuk memperoleh kebaikan.
Ajaran tentang perlakuan terhadap orang lain tersebut sesungguhnya dapat
ditemukan dalam seluruh ajaran agama. Abdullahi A. An-Na'im memposisikan
kesamaan ajaran berupa ‘Prinsip Emas' ini menjadi salah satu landasan normatif bagi
prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi yang menjadi prinsip dasar gagasan hak asasi
manusia dewasa ini. Pada kesempatan yang lain An-Na'im menyatakan bahwa ada
salah satu prinsip normatif umum yang dimiliki oleh semua tradisi kebudayaan besar
yang mampu menopang gagasan universalitas hak asasi manusia.
Prinsip tersebut adalah `seseorang harus memperlakukan orang lain sama
seperti ia menginginkan diperlakukan orang lain'. Aturan moral ini mengacu pada
prinsip resiproksitas yang mengakar kuat di hampir seluruh agama-agama besar dan
proposisi yang sederhana tersebut dengan mudah diapresiasi oleh semua umat manusia,
baik dari tradisi kultural maupun persuasi filosofis. Tantangan penerapan prinsip
resiproksitas adalah ketika harus bersikap dengan orang yang berbeda baik jenis
kelamin atau kepercayaan agama. Tujuan prinsip resiproksitas adalah bahwa seseorang
harus mencoba mencapai sistem taksiran yang paling dekat untuk menempatkan dirinya
dalam posisi orang lain. Ini mengasumsikan adanya kesamaan posisi dengan orang lain
dalam semua hal termasuk jenis kelamin dan agama. Sifat resiproksitas adalah saling
menguntungkan, sehingga ketika orang mengidentifikasi diri dengan orang lain, maka
seseorang seyogianya menggunakan prinsip timbal balik yang sama terhadap sistem
2

kepercayaan orang lain.


Bunyi ‘Prinsip Emas' sebagaimana dijelaskan di atas secara lengkap sebagai
berikut.
Islam: Tidak satu pun dari kamu adalah seorang yang beriman hingga kamu
mencintai/menyayangi sesamanya seperti kamu mencintai/ menyayangi dirimu
sendiri (No one of you is a believer until he desires for this brother that which he
desires for him self).

Hindu: Jangan lakukan pada orang lain hal, yang bila dilakukan pada dirimu, akan
menyebabkan penderitaan : ini adalah inti darma (Do naught to others which, if done
to thee, would cause thee pain: this is the sum of duty).

Yahudi: Apa yang kamu benci, jangan kamu lakukan pada temanmu. Itu adalah
hukum seutuhnya, sisanya adalah penjelasan (What is hateful for you, do not to your
fellow man. That is the entire law, all the rest is commentary).

Kristen: Lakukanlah pada orang lain hal yang kamu ingin agar orang lain lakukan
padamu (Do unto others as you would have them do unto you).

Budha: Jangan sakiti orang lain dengan cara yang kamu sendiri akan merasakan
sakit (Hurt not others in ways that you yourself would find hurtful).

Secara filosofis, akar nilai dan perspektif hak asasi manusia memang tidak
dapat dipisahkan dari perkembangan agama, namun demikian tidak sedikit kalangan
yang mempertanyakan kaitan antara hak asasi manusia dan nilai agama karena bagi
mereka agama memiliki aspek kontradiksi yang cukup tinggi serta dalam sejarah
peradaban manusia merupakan faktor penyumbang peperangan dan kekerasan yang
cukup panjang. Agama juga dianggap memiliki karakter elitis, di mana hanya orang-
orang tertentu dari kaum `tinggi' yang dianggap memiliki otoritas untuk menafsirkan
agama.
Secara historis, banyak kalangan yang menganggap bahwa akar filosofis dari
munculnya gagasan hak asasi manusia adalah teori hak kodrati (natural rights theory)
yang dikembangkan oleh para pemikir Abad Pencerahan di Eropa, seperti John Locke,
Thomas Paine dan Jean Jacques Rousseau. Intisari teori hak kodrati adalah pemikiran
bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak-hak yang melekat pada dirinya, dan
karena itu ia tidak dapat dicabut oleh negara. Teori hak kodrati menganggap bahwa
hak-hak alamiah semua individu tersebut tidak lahir dari pengakuan politis yang
diberikan negara pada mereka. Teori hak kodrati erat kaitannya dengan teori ‘kontrak
sosial’ (social contract) yang merujuk pada suatu kesepakatan sosial dan politik bahwa
perlindungan atas hak-hak individu yang tidak dapat dicabut tersebut telah diserahkan
kepada negara. Apabila penguasa negara mengabaikan kontrak sosial itu dengan
melanggar hak-hak kodrati individu, maka rakyat di negara itu bebas menurunkan sang
penguasa dan menggantikannya dengan suatu pemerintah yang bersedia menghormati
hak-hak tersebut. Gagasan mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi munculnya
3

berbagai revolusi yang meletup di Inggris, Amerika Serikat dan Prancis pada abad ke-
17 dan ke-18.
Perkembangannya, teori hak kodrati diikuti oleh dua pemikiran besar yang
memberi sumbangan pada bangunan dasar filosofis pemikiran hak asasi manusia
modern, yakni demokrasi dan liberalisme. Demokrasi adalah sebuah konsep dan sistem
politik yang menegaskan kebebasan warga negara untuk ikut serta dalam proses dan
kehidupan politik, khususnya dalam proses-proses pembuatan keputusan. Sementara
liberalisme adalah sebuah filsafat politik yang menekankan kebebasan individu dari
campur tangan (interference) pihak luar, terutama negara. Pada konsep hak asasi
manusia modern dewasa ini, pengaruh liberalisme dapat dilihat dalam hak-hak sipil
yang bersifat pasif, yakni kebebasan individu dari campur tengan (terutama dari
negara). Sedangkan pengaruh demokrasi tercermin dalam hak-hak politik yang bersifat
aktif, yakni hak-hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan dan proses-proses politik.
Hak-hak sipil dan politik inilah yang menjadi inti dari gagasan hak asasi manusia klasik
Abad Pencerahan, atau generasi pertama hak asasi manusia, yang semakin mendapat
pengakuan setelah Revolusi Amerika dan Prancis pada abad ke-18 serta revolusi-
revolusi borjuis lainnya pada abad ke-19.
Pada proses positifisasi gagasan hak asasi manusia melalui organisasi
internasional, gagasan hak asasi manusia klasik ini mendapatkan tantangan keras,
terutama dari para penganut sosialisme. Gagasan hak asasi manusia klasik dinilai oleh
para pemikir sosialis terlalu mengutamakan individualisme dan akan menjadi sumber
pertumbuhan kapitalisme yang tak terbatas serta hanya akan memperkokoh
kesenjangan sosial. Para filsuf sosialis menolak gagasan liberal tentang pemisahan
individu dan negara, dan sebagai tandingannya, mereka menawarkan gagasan sosialis
tentang kesatuan negara dan masyarakat serta keterpaduan kepentingan individu dan
kelompok. Kritik dan tawaran-tawaran pemikiran dari kubu sosialis serta revolusi
sosialis inilah yang kemudian menjadi cikal bakal bagi perumusan hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya.
Benturan ideologis antara konsep klasik hak asasi manusia di Barat (negara-
negara penganut demokrasi liberal) dan konsep sosialis hak asasi manusia di Timur
(negara-negara sosialis) dalam kurun waktu yang cukup lama menjadi penghalang bagi
perkembangan filosofis dan politik hak asasi manusia hingga berakhirnya Perang
Dingin. Kuatnya iklim persaingan ideologis dan politik dunia pada saat itu
menyebabkan kedua kubu pemikiran hak asasi manusia tersebut cenderung tidak mau
duduk bersama dan berdialog menuju suatu konsep hak asasi manusia yang lebih
terpadu. Setelah berakhirnya perang dingin muncullah kesadaran yang lebih nyata
untuk menegaskan (kembali) gagasan universalisme hak asasi manusia. Gagasan ini
pada dasarnya lahir untuk mengoreksi kelemahan dua konsep hak asasi manusia yang
berlawanan di atas.
Meskipun deklarasi-deklarasi dari Revolusi Amerika dan Prancis telah
menyatakan gagasan kebebasan dan kesetaraan untuk semua, konsep klasik hak asasi
manusia pada kenyataannya hanya berlaku bagi sekelompok kecil elit borjuis laki-laki
4

dan berkulit putih. Seperti dinyatakan oleh Karl Max dan para pemikir sosialis yang
lain, gagasan hak asasi manusia klasik semacam itu secara praktis dan filosofis justru
bisa menopang gagasan perbudakan, kolonialisme dan penindasan terhadap perempuan
dan kelas pekerja. Gagasan hak asasi manusia sosialis di sisi lain diyakini para
pendukungnya dapat mewujudkan kesetaraan yang nyata melalui campur tangan
negara. Kelemahan dari gagasan kaum sosialis dengan mengutamakan kepentingan
kolektif di atas kebebasan individu adalah hilangnya aspek pemberdayaan individual
yang melekat dalam hak asasi manusia. Sesaat setelah Perang Dingin kesepakatan
politik antara dua kubu mulai terlihat terutama dengan disahkannya Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948.
Hak asasi manusia kemudian dianggap sebagai norma universal yang dapat
diterapkan di mana saja dan dalam sistem politik dan ekonomi seperti apa pun.
Gagasan universalisme berkembang dengan semboyan utamanya, "Semua hak asasi
manusia untuk semua" (all human rights for all). Semboyan ini bergema dan menjadi
kekuatan pendorong bagi pemahaman baru tentang universalitas hak asasi manusia.
Gagasan ini merujuk pada ‘ketidakterbagian’ (indivisibility) dan ‘kesaling
tergantungan’ (interdependency) semua hak asasi manusia, yakni perpaduan dari
berbagai konsep dan generasi hak asasi manusia. Hak-hak ekonomi, sosial, budaya dan
hak kolektif sama pentingnya dengan hak-hak sipil dan politik. Perlindungan hak asasi
manusia yang nyata hanya akan dapat dicapai dengan perpaduan yang seimbang antara
berbagai hak asasi manusia serta mempertimbangkan hak individu atas ketiadaan
campur tangan negara dan tindakan positif negara dalam semua hak. Gagasan tersebut
merupakan simbol dari universalitas hak asasi manusia dalam pengertian yang lebih
sempit, yakni keberlakuannya secara prinsip untuk semua manusia, tanpa dipengaruhi
oleh gender, agama, ras, warna kulit, asal-usul etnis dan sosial, kebangsaan, orientasi
seksual dan lain-lain.
Secara terminologis, sebelum disahkannya Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia pada tahun 1948, istilah hak asasi manusia mengacu pada praktik di tingkat
nasional. Artinya, sebenarnya jauh sebelum hak asasi manusia dilembagakan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa, negara-negara telah memiliki pandangan dan istilah yang
bermakna hak asasi manusia. Beberapa istilah tersebut antara lain (a) Grundrechte
dalam bahasa Jerman yang bermakna kebebasan fundamental (fundamental freedom);
(b) civil rights atau civil liberties dalam bahasa Inggris yang bermakna hak sipil atau
kebebasan sipil; dan (c) libertes publiques dalam bahasa Prancis dengan makna yang
sama." Perserikatan Bangsa-Bangsa pada akhirnya menggunaan istilah human rights
yang di Indonesia diterjemahkan menjadi hak asasi manusia.
Di dalam instrumen internasional dan buku-buku internasional, sangat sulit
ditemukan definisi detail tentang hak asasi manusia. Instrumen dan buku tersebut
biasanya hanya memberikan karakter, prinsip dan bagaimana memahami hak asasi
manusia. Rhona K.M. Smith misalnya, ia mengutip Vienna Declaration and Program
of Action 1993 untuk mengkerangka hak asasi manusia yaitu "Human rights and
fundamental freedoms are the birthright of all human being; their protection and
5

promotion is the first responsibility of government". Thomas Buergenthal justru sama


sekali tidak memberikan pemaknaan apa pun. Ia menjelaskan hak asasi manusia dengan
memberikan pembabakan sejarah hukum internasional. Menurutnya, hukum
internasional klasik adalah hukum yang mengatur hubungan antar negara secara
eksklusif. Artinya, hanya negara yang dapat dianggap sebagai subjek dalam hukum
internasional. Setelah Perang Dunia I, definisi ini berkembang dengan memasukkan
organisasi antar pemerintah (intergovernmental organization) sebagai subjek hukum
internasional. Dua babak di atas belum memungkinkan hak asasi manusia untuk
bekerja keras karena hukum internasional belum mengaplikasikan pelanggaran hak
asasi manusia yang dilakukan oleh negara kepada individu menjadi bagian dari
kinerjanya. Babak terbaru adalah setelah Perang Dunia II di mana hukum internasional
telah memasukkan pelanggaran terhadap hak individu oleh negara sebagai fokus
kinerja dan membuat mekanisme untuk menerima pengaduan individual. Oleh karena
itu, individu saat ini dapat dianggap sebagai subjek hukum internasional. Henry J.
Steiner dan Philip Alston memberikan pemaknaa tentang definisi hak asasi manusia
dengan mengutip situasi para pekerja di Vietnam yang tidak aman. Ia menyatakan
bahwa para pekerja Vietnam menghadapi kondisi kerja yang sangat tidak sehat dan
hak-hak dasar mereka tidak dipenuhi dan mereka mendapatkan gaji yang sangat
rendah. Kasus di Vietnam ini dijadikan cerminan dalam tulisan ini untuk menjelaskan
apa yang dimaksud hak asasi manusia.
Instrumen internasional hak asasi manusia juga tidak memberikan definisi dari
tentang hak asasi manusia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia misalnya secara
langsung menyebutkan dalam Pasal 1 yaitu "A human being are born free and equal in
dignity and rights. They are endowed wit reason and conscience and should act toward
one another in a spirit of brotherhood (Semua manusia dilahirkan merdeka dan
mempunyai martabat dan hak hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani
dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan).
Berbeda halnya dengan instrumen internasional dan buku-buku internasional, di
Indonesia hak asasi manusia didefinisikan secara limitatif dan dalam beberapa hal
justru menimbulkan kontradiksi dan mengaburkan makna yang sesungguhnya.
Soetandyo Wignjosoebroto mendefinisikan hak asasi manusia sebagai hak-hak
mendasar (fundamental) yang diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat
pada manusia karena hakikat dan kodratnya sebagai manusia. Hak-hak ini disebut
'universal' karena hak-hak ini dinyatakan sebagai bagian dari kemanusiaan setiap sosok
manusia, apapun warna kulit, jenis kelamin, usia, latar belakang budaya, agama atau
kepercayaannya. Sementara dikatakan ‘melekat’ atau ‘Inheren’ karena hal hak itu
dimiliki setiap manusia semata-mata karena keberadaannya sebagai manusia dan bukan
karena pemberian dari suatu organisasi kekuasaan manapun. Karena bersifat ‘melekat’,
maka hak-hak tersebut juga tidak dapat dirampas atau dicabut.
Menurut Muladi, apa pun rumusannya, hak asasi manusia adalah hak yang
melekat secara alamiah (inheren) pada diri manusia sejak manusia dan tanpa hak
tersebut manusia tidak dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang utuh.
6

Karena keberadaannya yang begitu penting, tanpa hak asasi manusia, manusia tidak
dapat mengembangkan bakat-bakat dan mememuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Sementara menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, hak asasi manusia dimaknai sebagai seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia.
Definisi di atas menimbulkan beberapa kontroversi yang sering kali
kontraproduktif. Definisi bahwa hak asasi manusia melekat sejak lahir menimbulkan
kontroversi karena jika hal ini diterapkan secara ketat, maka janin yang masih di dalam
kandungan tidak memiliki hak. Pertanyaannya kemudian, apakah janin yang masih di
dalam kandungan tidak memiliki hak untuk hidup, oleh karenanya dapat diaborsi.
Kontroversi yang kedua adalah pemberian label tanggung jawab kepada negara,
hukum, pemerintah, dan setiap orang demi untuk menjunjung tinggi, melindungi dan
menghormati. Kalimat "setiap orang" dianggap merupakan pengaburan dari tanggung
jawab negara (pemerintah) sebagai pihak yang memiliki kewajiban untuk melindungi,
menghormati dan memenuhi hak asasi manusia. Konsep ini akan berimplikasi pada
kaburnya makna pelanggaran hak asasi manusia, yaitu sangat sulit membedakan antara
pelanggaran hak asasi manusia dengan pelanggaran dan/atau kejahatan pidana.
Gagasan dan norma-norma hak asasi manusia sebagaimana dipahami dewasa ini
merupakan hasil dari sebuah evolusi pemikiran dan berbagai upaya menciptakan
kehidupan dan tata dunia yang lebih terhormat selama berabad-abad. Para penulis
umumnya mencatat bahwa kelahiran wacana hak asasi manusia merupakan reaksi dari
perubahan sistem ketatanegaraan dari pemerintahan teokratis menuju pemerintahan
demokratis serta paham konstitusionalisme yang menyertainya.
Moh. Mahfud MD menjelasakan bahwa konsep hak asasi manusia yang muncul
dan berkembang di Eropa Barat sejak abad pertengahan sebenarnya tumbuh bersamaan
dengan munculnya paham kebangsaan yang mengilhami lahirnya negara-negara
modern dan sekuler. Gagasan ini dimunculkan sebagai alternatif perombakan atas
sistem politik dan ketatanegaraan yang sentralistik, di mana kekuasaan negara terletak
di tangan penguasa secara absolut. Absolutisme kekuasaan itu kemudian menimbulkan
konflik antara penguasa dan rakyatnya atau antara kekuasaan pemerintah dan
kebebasan warga negara.
Gerakan kebebasan yang tampil melawan kekuasaan berawal dari meluasnya
kekuasaan raja-raja yang semula menyatu dengan kekuasaan gereja. Merambahnya
kekuasaan raja-raja ke luar dari teritori yang semula dikuasai bersama dengan gereja
menimbulkan pertanyaan tentang legitimasi kekuasaan raja-raja. Kalau semula dasar
legitimasinya adalah ketuhanan (teokrasi) karena berbagi tugas dengan gereja dalam
teritori yang sama, maka dengan penguasaan atas teritori yang tidak turut dikuasai oleh
gereja timbul pertanyaan tentang dasar kekuasaan raja.
7

Pertanyaan tentang dasar negara tersebut kemudian melahirkan Konsep


demokrasi, yang menyatakan bahwa raja berkuasa karena rakyat yang menyerahkan
penguasaan pengurusan perlindungan hak asasi manusia kepada raja atau pemerintah
tersebut. Berdasarkan prinsip demokrasi, raja bukan wakil Tuhan atau berkuasa karena
Tuhan, melainkan karena menerima penyerahan kekuasaan dari rakyat untuk
melindungi hak-hak rakyat tersebut. Dengan demikian, tampak bahwa sebenarnya
gagasan perlindungan hak asasi manusia di dalam negara merupakan akibat terjadinya
sekularisasi kekuasaan (dari paham teokrasi menjadi demokrasi).
Sebagai rasionalisasi perubahan sistem ketatanegaraan tersebut, muncul teori
kontrak sosial yang menyebutkan bahwa raja berkuasa karena adanya perjanjian
masyarakat yang memberikan kekuasaan untuk mengatur dan menyerasikan
kepentingan-kepentingan di antara mereka. Para penggagas teori kontrak sosial, sepert
John Locke dan J. J. Rousseau, menyatakan bahwa perjanjian masyarakat tersebut
menuntut lahirnya pemerintahan yang demokratis. Pemerintah yang berkuasa, menurut
Locke dan Rousseau, harus bertanggung jawab kepada rakyatnya, sementara rakyat
harus berani menyatakan kedudukannya sebagai pihak yang memberi mandat dan
berhak meminta pertanggungjawaban kepada pemerintah. Di dalam kontrak sosial,
yang kemudian dituangkan dalam sebuah konstitusi itu, terkandung pengertian bahwa
tugas utama pemerintah adalah melindungi hak asasi manusia warganya dan untuk itu
kekuasaan pemerintah harus dibatasi baik lingkup urusan maupun jangka waktunya.
Dari paparan di atas, tampak bahwa perjalanan hak asasi manusia berkaitan
degan perubahan dasar legitimasi pemerintahan dari vox dhei (suara Tuhan) dengan
teori teokrasinya menjadi vox populi (suara rakyat) dengan teori demokrasinya.
Tampak juga bahwa terjadinya sekularisasi kekuasaan menghendaki perumusan ulang
mengenai keseimbangan hubungan antara rakyat dan penguasa. Dan proses pencarian
keseimbangan itulah kemudian timbul gagasan konstitusionalisme yang bermaksud
memberikan perlindungan bagi warga negara dalam berhadapan dengan
pemerintahannya.
Basis dari konstitusionalisme adalah kontrak sosial. Kontrak sosial kemudian
dimaknai sebagai kesepakatan tentang cara dan sarana yang diputuskan guna menjamin
bagaimana hak dapat dilindungi dan bagaimana kekuasaan publik bisa dibentuk demi
terlindunginya hak asasi manusia dalam statusnya sebagai warga negara. Kontrak sosial
adalah kesepakatan rasional untuk menetapkan seberapa luas kebebasan warga (yang
pada asasnya tidak terbatas) dan di lain pihak seberapa besar kewenangan negara (yang
pada asasnya terbatas). Pembatasan yang diperlukan atas hak dan kebebasan warga
hanya dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan warga negara sendiri dalam suasana
yang bebas. Inilah inti ajaran konstitusionalisme.
8

B. Sejarah Perkembangan Pemikiran Hak Asasi Manusia

1. Sejarah Perkembangan Pemikiran Hak Asasi Manusia Internasional

Secara ringkas, tonggak-tonggak penting perumusan gagasan hak asasi manusia


dalam kerangka konstitusi dapat diuraikan sebagai berikut.
Pertama, yang paling dini, adalah munculnya "Perjanjian Agung" (Magna
Charta) di Inggris pada 15 Juni 1215, sebagai bagian dari pemberontakan para baron
terhadap para raja. Isi pokok dokumen tersebut ialah hendaknya raja tidak melakukan
pelanggaran terhadap hak milik dan kebebasan pribadi seorang pun dari rakyatnya.
Kedua, keluarnya Bill of Rights pada 1628 yang berisi penegasan tentang
pembatasan kekuasaan raja dan dihilangkannya hak raja untuk melaksanakan
kekuasaan terhadap siapa pun, atau untuk memenjarakan, menyiksa, dan mengirimkan
tentara kepada siapa pun tanpa dasar hukum.
Ketiga, lahirnya Deklarasi Kemerdekaan (The Declaration of ndependence)
Amerika Serikat pada 6 Juli 1776 yang memuat penegasan bahwa setiap orang
dilahirkan dalam persamaan dan kebebasan dengan hak untuk hidup dan mengejar
kebahagiaan, serta keharusan mengganti pemerintahan yang tidak mengindahkan
ketentuan-ketentuan dasar tersebut.
Keempat, munculnya Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia dan Warga Negara
(Declaration of the Rights of Man and the Citizen) di Prancis pada 4 Agustus 1978
yang menitikberatkan lima hak asasi, yakni: hak atas pemilikan harta, kebebasan,
persamaan, keamanan, dan perlawanan terhadap penindasan.
Di dalam sejarah Islam, dahulu dikenal Piagam Madinah yang dibuat disepakati
oleh Nabi Muhammad dan penduduk Kota Madinah. Piagam ini disepakati pada tahun
600an Masehi. Perjanjian ini berisi kesepakatan antara Nabi Muhammad, Kaum
Muhajirin (pengikut Muhammad yang berasal dari Makkah), Kaum Anshor (pembela
Muhammad yang berasal dari warga Madinah), komunitas Yahudi serta suku-suku
seperti Suku .Aus dan Suku Khazraj yang tinggal di Kota Madinah. Kesepakatan itu
berisi pengakuan bahwa semua manusia yang tinggal di Kota Madinah adalah sama dan
memiliki hak serta kewajiban yang sama. Mereka juga bersepakat untuk saling
memberikan perlindungan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain.
Pada peradaban modern, sejarah perkembangan hak asasi manusia pada tingkat
internasional selalu dikaitkan dengan terjadinya perang dunia, baik pertama maupun
kedua. Berikut ini penjelasan perkembangan hak asasi manusia sebelum Perang Dunia
II dan setelah Perang Dunia II. Penjelasan lebih rinci sebagai berikut.

a. Sebelum Perang Dunia II

Sebelum Perang Dunia II, beberapa perkembangan dalam hukum internasional


yang patut dicatat sebagai tonggak-tonggak penting dalam perkembangan hak asasi
manusia internasional adalah sebagai berikut.
9

1) Doktrin Perlindungan Terhadap Orang Asing

Doktrin “perlindungan negara terhadap orang asing” (state responsibility for


injury to aliens) adalah doktrin yang mengajarkan bahwa orang-orang asing
berhak mengajukan tuntutan terhadap negara tuan rumah di mana ia
diperlakukan secara sewenang-wenang oleh aparat pemerintah negara tersebut,
dan negara tersebut tidak mengambil tindakan apa pun atas pelanggaran itu.

2) Doktrin Intervensi Kemanusiaan

Doktrin "intervensi kemanusiaan" merujuk pada doktrin yang menegaskan


bahwa suatu negara dapat mengintervensi secara militer untuk melindungi
penduduk atau sebagian penduduknya yang berada di negara lain jika penguasa
negara tersebut memperlakukan mereka secara semena-mena.

3) Penghapusan Perbudakan

Perkembangan penting pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang juga
berperan besar dalam perumusan lebih lanjut norma-norma hak asasi manusia
adalah penghapusan perbudakan. Praktik perbudakan mula-mula dikutuk dalam
Traktat Perdamaian Paris (1814) antara Inggris dan Prancis, dan 50 tahun
kemudian oleh Akta Umum Konferensi Berlin yang mengatur kolonisasi Eropa
di Afrika menyatakan bahwa "perdagangan budak dilarang berdasarkan asas-
asas hukum internasional". Kemudian pada tahun 1926, Liga Bangsa-Bangsa
mengesahkan Konvensi Penghapusan Perbudakan dan Perdagangan Budak, dan
melarang praktik perbudakan di wilayah-wilayah bekas koloni Jerman dan
Turki yang berada di bawah Sistem Mandat (Mandates System) Liga Bangsa-
Bangsa pada akhir Perang Dunia I.

4) Pembentukan Palang Merah Internasional

Perkembangan hukum hak asasi manusia sangat dipengaruhi oleh kemajuan


hukum kemanusiaan internasional pada paruh kedua abad ke-19 yaitu dengan
pembentukan Komite Palang Merah Internasional (1863). Usaha organisasi itu
dilakukan dengan memprakarsai dua konvensi internasional untuk melindungi
korban perang dan perlakuan terhadap tawanan perang, yang kemudian dikenal
dengan Konvensi Jenewa. Organisasi internasional ini berhasil mensponsori
sejumlah konvensi yang tidak semata-mata menangani status dan perlakuan
terhadap para prajurit yang berperang, tetapi juga perlakuan terhadap penduduk
sipil pada masa perang dan pembatasan terhadap cara-cara berperang (conducts
10

of war).

5) Pembentukan Liga Bangsa-Bangsa

Selanjutnya, yang juga patut dicatat sebagai peristiwa penting yang berpengaruh
besar bagi perkembangan hak asasi manusia internasional adalah dibentuknya
Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations) melalui Perjanjian Versailles segera
setelah berakhirnya Perang Dunia I. Tujuan utama Liga tersebut adalah "untuk
memajukan kerja sama internasional, mencapai perdamaian dan keamanan
internasional". Memang Liga tersebut tidak secara eksplisit membuat ketetapan
mengenai perlindungan hak asasi manusia, namun, dari dokumen pendiriannya,
yang disebut Covenant of the League of Nations, negara-negara anggotanya
diwajibkan untuk berupaya ke arah sasaran-sasaran kemanusiaan seperti
menetapkan kondisi kerja yang manusiawi bagi individu, larangan perdagangan
perempuan dan anak, pencegahan dan pengendalian penyakit, serta perlakuan
yang adil terhadap penduduk pribumi dan wilayah jajahan.

b. Setelah Perang Dunia II

Perubahan-perubahan penting menuju konseptualisasi hak asasi manusia semakin


dipercepat dengan meledaknya Perang Dunia II yang memberikan pengalaman
buruk bagi dunia internasional. Untuk menghindari terjadinya kembali pengalaman
yang sama, masyarakat internasional membangun konsensus baru yang lahir dalam
bentuk norma, doktrin, dan kelembagaan baru dalam hukum internasional yang
kemudian tertuang dalam hukum hak asasi manusia internasional.

1) Pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa

Perserikatan Bangsa-Bangsa didirikan pada tahun 1945, sebagai ganti dari Liga
Bangsa-Bangsa. Pendirian Perserikatan Bangsa-Bangsa ini didasari oleh situasi
kekejaman Perang Dunia II dan korban Sosialisme Nasional. Perserikatan
Bangsa-Bangsa didirikan dengan tujuan untuk menjaga kedamaian dan
keamanan internasional, untuk mencapai kerja sama internasional,
mempromosikan dan memajukan penghormatan hak asasi manusia dan
kebebasan fundamental. Pasal 1 ayat (2) dan (3) Piagam PBB berbunyi:
(2) Untuk mengembangkan hubungan bersahabat antarbangsa berdasarkan
penghormatan pada prinsip kesetaraan hak dan kebebasan menentukan
nasib sendiri oleh rakyat, dan untuk mengambil langkah yang memadai
untuk memperkuat kedamaian universal (To develop friendly relation
among nations based on respect for the principle of equal rights and self
determination of peoples, and to take other appropriate measures to
strenghten universal peaces).
11

(3) Untuk mencapai kerja sama internasional dalam mengatasi persoalan


internasional seperti ekonomi, sosial, budaya atau karakter kemanusiaan,
dan dalam memajukan dan mendorong penghormatan terhadap hak asasi
manusia dan kebebasan dasar bagi semua orang tanpa membedakan ras,
jenis kelamin, bahasa, atau agama (To achieve international co-operation
in solving internatonal problems of an economic, social, cultural or
humanitarian character, and in promoting and encourageing respect for
human rights and for fundamental freedom for all without distinction as to
race, sex, language, or religion).

2) Hukum Hak Asasi Manusia Internasional

Konseptualisasi dan pelembagaan norma-norma hak asasi manusia internasional


semakin terlihat jelas dengan dirumuskannya hukum hak asasi manusia
internasional. Hukum internasional, secara tradisional, hanya mengatur
hubungan antar negara. Pada masa lalu, hukum internasional sama sekali tidak
mengatur hubungan antara negara dengan warga negaranya. Hukum hak asasi
manusia internasional modern mengubah doktrin tersebut dengan mengatur
hak-hak individu dan hubungannya dengan pemerintah mereka. Setelah Perang
Dunia II, khususnya setelah disahkannya Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia, individu ditempatkan sebagai pemegang hak (right-holders) yang
dijamin secara internasional, semata-mata karena ia adalah individu, bukan
karena alasan kebangsaannya dari suatu negara. Sebaiknya, negara dalam
hukum yang baru ini ditempatkan sebagai pemegang kewajiban (duty-holders).
Dengan demikian, hubungan antara pemegang hak dan kewajiban itulah yang
menjadi pokok perhatian hukum internasional yang baru ini. Relasi keduanya
ini kemudian diwadahi dalam struktur kelembagaan baru yang didesain oleh
PBB, melalui berbagai macam mekanisme atau prosedur pengaduan dan
pemantauan hak asasi manusia dalam sistem PBB.
Konseptualisasi hukum hak asasi manusia seperti dipaparkan di atas ditandai
dengan lahirnya apa yang dikenal dengan "International Bill of Human Rights".
Istilah ini merujuk pada tiga instrumen pokok hak asasi manusia internasional
beserta protokol pilihan (optional protocol)-nya yang dirancang oleh PBB.
Ketiga instrumen ini adalah: (i) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(Universal Declaration of Human Rights); (ii) Kovenan Internasional tentang
Hak Sipil dan Politik atau KIHSP (International Covenant on Civil and
Political Rights or ICCPR); dan (iii) Kovenan Internasional tentang Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya atau KIHESB (International Covenant on
Economic, Social, and Culture Rights or ICESCR). Sedangkan optional
protocol yang masuk dalam kategori ini adalah "the Optional Protocol to the
12

Covenant on Civil and Political Rights" (Protokol Pilihan Kovenan Hak-Hak


Sipil dan Politik).
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) disahkan oleh Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 10 Desember 1948. Deklarasi ini
merupakan interpretasi resmi atas Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang
memuat lebih rinci sejumlah hak yang didaftar sebagai hak asasi manusia.
Deklarasi ini menyatakan dirinya sebagai "standar pencapaian bersama" dan
karena itu ia dirumuskan dalam bentuk deklarasi, bukan perjanjian yang akan
ditandatangani dan diratifikasi. Meskipun demikian, seiring dengan perjalanan
waktu, status hukum deklarasi itu terus mendapat pengakuan yang kuat.
Sedangkan dua Kovenan yang sering disebut sebagai turunan kembar dari
DUHAM, yakni Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta
Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, disahkan
oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1966, tetapi baru berlaku
mengikat secara hukum pada 1976. Kedua instrumen ini disusun berdasarkan
hak-hak yang tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,
tetapi dengan penjabaran yang lebih spesifik. Dua Kovenan tersebut sering
disebut sebagai "Kovenan Kembar" atau Twin Covenant.

2. Sejarah Perkembangan Pemikiran Hak Asasi Manusia Nasional

a. Prakemerdekaan dan Masa Orde Lama

Di Indonesia wacana hak asasi manusia telah lama berkembang tepatnya sejak
awal kemerdekaan, bahkan dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia lebih awal
membicarakan persoalan hak asasi manusia dibandingkan dengan Perserikatan Bangsa-
Bangsa. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia tahun 1945, para pendiri bangsa telah
berinisiatif memasukkan pasal-pasal hak asasi manusia tetapi tidak berhasil karena
belum terjadi kesepakatan.
Pada awal kemerdekaan, perdebatan soal hak asasi manusia terjadi antara
Soekarno-Soepomo vs Hatta-Yamin. Soekarno menolak pencantuman hak asasi
manusia di dalam konstitusi dengan alasan kekhawatiran akan merebaknya paham
liberalisme dan individualisme.
Kekhawatiran tersebut tampak pada pernyataan Soekarno di bawah ini:
"...saya minta dan menangis kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya, buanglah
sama sekali faham individualisme itu, janganlah dimasukkan dalam Undang-
Undang Dasar kita yang dinamakan 'rights of the citizens' yang sebagai
dianjurkan oleh Republik Perancis itu adanya..."
“...buat apa kita membikin grondwet, apa gunanya grondwet itu kalau ia tak
dapat mengisi perutnya orang yang hendak mati kelaparan. Grondwet yang berisi
‘droit de I’ homme et du citoyen’ itu, tidak bisa menghilangkan kelaparannya
orang yang miskin yang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena itu, jikalau
13

kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita pada faham kekeluargaan,


faham tolong-menolong, faham gotong-royong dan keadilan sosial, enyahkanlah
tiap-tiap pikiran, tiap-tiap paham individualisme dan liberalisme daripadanya".

Di sisi yang lain Hatta dan Yamin bersikeras agar pasal hak asasi dicantumkan
di dalam konstitusi, karena jika tidak dicantumkan dikhawatirkan penguasa akan
menjadi otoriter karena kekuasaan yang luas. Hatta menyatakan bahwa:
"tetapi satu hal yang saya khawatirkan kalau tidak ada satu keyakinan atau suatu
pertanggungan kepada rakyat dalam hukum dasar yang mengenai haknya untuk
mengeluarkan suara, saya kuatir menghianati di atas Undang-Undang Dasar yang
kita susun sekarang ini, mungkin terjadi satu bentukan negara yang tidak kita
setujui".

"sebab itu ada baiknya dalam satu fasal, misalnya fasal yang mengenai warga negara
disebutkan di sebelah hak yang sudah diberikan juga kepada misalnya tiap-tiap
warga negara rakyat Indonesia, supaya tiap-tiap warga negara itu jangan takut
mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebut disini hak untuk berkumpul dan
bersidang atau menyurat dan lain-lain. Tanggungan ini perlu untuk menjaga supaya
negara kita tidak menjadi negara kekuasaan, sebab kita dasarkan negara kita kepada
kedaulatan rakyat".

Akhir dari perdebatan itu adalah diakui dan digunakannya konsep ‘hak warga
negara’ dan bukan ‘hak asasi manusia’. Sejarah mencatat bahwa Konstitusi Republik
Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950
yang pernah berlaku selama sekitar 10 tahun (1949-1959), justru memuat pasal-pasal
tentang hak asasi manusia yang lebih banyak dan lebih lengkap dibandingkan dengan
Undang-Undang Dasar 1945. Kedua Undang-Undang Dasar tersebut mendasarkan
ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hak asasi manusia pada Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang mulai
berlaku pada tanggal 10 Desember 1948.
Konstitusi RIS 1949 mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bagian V yang
berjudul "Hak-Hak dan Kebebasan-Kebebasan Dasar Manusia". Pada bagian tersebut
terdapat 27 pasal, dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 33. Pasal-pasal tentang hak asasi
manusia yang isinya hampir seluruhnya serupa dengan Konstitusi RIS 1949 juga
terdapat dalam UUDS 1950. Di dalam UUDS 1950, pasal-pasal tesebut juga terdapat
dalam Bagian V yang berjudul "Hak-Hak dan Kebebasan-Kebebasan Dasar Manusia".
Bagian ini terdiri dari 28 pasal, dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 34.
Perdebatan tentang konsepsi hak asasi manusia kemudian muncul dalam
persidangan Konstituante yang dibentuk antara lain berdasarkan Pasal 134 UUDS
1950. Pasal tersebut menyatakan bahwa Konstituante (Sidang Pembuat Undang-
Undang Dasar) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang
Dasar Sementara ini (UUDS 1950). Konstituante yang terbentuk melalui pemilihan
umum pada tahun 1955 tersebut kemudian bersidang, hingga dibubarkan melalui
14

Keppres Nomor 150 Tahun 1959.

Pada tanggal 12 Agustus 1958, dibentuklah suatu Drafting Committee di dalam


Konstituante. Ia bertugas untuk meringkas berbagai perdebatan dalam bidang hak asasi
manusia dan memformulasikan rancangan putusan-putusan dalam bidang hak asasi
manusia yang akan diambil dalam Sidang Paripurna. Laporan Komite tersebut
disampaikan pada tanggal 19 Agustus 1958. Di dalamnya terdapat 88 formulasi yang
berkaitan dengan 24 macam hak yang berasal dari hak asasi manusia dari daftar I yang
asli; 18 hak-hak warga negara; 13 hak-hak tambahan yang belum diputuskan apakah
mereka akan digolongkan sebagai hak asasi manusia atau hak-hak sipil; hak-hak yang
masih dalam perdebatan, hak-hak yang dihapus atau digabungkan dengan hak-hak
lainnya. Untuk setiap masing-masing kategori ini juga ada suatu usulan procedural
tentang bagaimana mereka harus diputuskan dengan baik. Babakan sejarah selanjutnya
ternyata berpaling kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, ketika melalui Keppres
Nomor 150 Tabun 1959 tertanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno antara lain
menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan berlaku kembali.
Kembalinya Republik Indonesia ke Undang-Undang Dasar 1945 berarti juga
berlakunya kembali ketentuan-ketentuan tentang hak asasi manusia yang tercantum di
dalamnya.

a. Masa Orde Baru

Pada masa awal Orde Baru, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPRS) telah
berhasil merancang suatu dokumen yang diberi nama "Piagam Hak-Hak Asasi Manusia
dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara." Di samping itu, sambil menunggu
berlakunya Piagam Pimpinan MPRS ketika itu juga menyampaikan "Nota MPRS
kepada Presiden dan DPR tentang Pelaksanaan Hak-Hak Asasi Manusia". namun
demikian, sejarah menunjukkan bahwa karena berbagai latar Piagam tersebut kemudian
tidak jadi diberlakukan. Perjalanan arah menunjukkan bahwa pemerintah Orde Baru
seakan-akan bersikap anti terhadap eksistensi suatu piagam hak asasi manusia. Setiap
pertanyaan yang mengarah kepada perlunya piagam hak asasi manusia, cenderung
untuk dijawab bahwa piagam semacam itu (pada saat itu) dibutuhkan, karena masalah
hak asasi manusia telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

b. Pasca Reformasi

Pada masa reformasi, perkembangan hak asasi manusia mulai ditandai dengan
disahkannya Ketetapan MPR Nomor XVII/ MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
yang ditetapkan dalam Sidang MPR tanggal 13 November 1998. Terlepas dari
kekurangan-kekurangan yang oleh sementara kalangan dianggap masih melekat di
dalamnya, pemberlakuan ketetapan ini bisa dianggap sebagai semacam “penebus"
kegagalan ditetapkannya "Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak serta
15

Kewajiban Warga Negara" oleh MPRS sekitar 35 tahun sebelumnya.

Pada intinya, Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tersebut menugaskan


kepada Lembaga-Lembaga Tinggi Negara dan seluruh aparatur pemerintah, untuk
menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi
manusia kepada seluruh masyarakat. Di samping itu, ketetapan ini juga menegaskan
kepada presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk meratifikasi berbagai instumen
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang hak asasi manusia, sepanjang tidak
bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Ditegaskan pula
bahwa penghormatan, penegakan, dan penyebarluasan hak asasi manusia oleh
masyarakat dilaksanakan melalui gerakan kemasyarakatan atas dasar kesadaran dan
tanggung jawabnya sebagai warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Pelaksanaan penyuluhan, pengkajian, pemantauan, penelitian dan
mediasi tentang hak asasi manusia dilakukan oleh suatu Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia yang ditetapkan dengan undang-undang. Ketetapan ini juga dilampiri oleh
naskah hak asasi manusia yang di dalam sistematikanya mencakup: (1) Pandangan dan
Sikap Bangsa Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia; dan (2) Piagam Hak Asasi
Manusia. Sebagaimana diuraikan di muka, sebelum ditetapkannya Ketetapan tersebut,
pada tanggal 15 Agustus 1998 Presiden B.J. Habibie telah menetapkan berlakunya
Keppres Nomor 129 Tahun 1998 tentang "Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia
Indonesia 1998-2003", yang lazim disebut sebagai RANHAM. Perkembangan-
perkembangan yang terjadi begitu cepat dalam lingkup domestik maupun internasional,
dan kehadiran Kementerian Negara Urusan Hak Asasi Manusia pada Kabinet Persatuan
Nasional yang kemudian digabungkan dengan Departemen Hukum dan Perundang-
undangan menjadi Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia membuat
RANHAM ini harus disesuaikan.
Sebagai tindak lanjut dari diberlakukannya Keppres Nomor 129 Tahun 1998
tersebut, pada tanggal 28 September 1998 ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1998 tentang pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan
dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau
Merendahkan Martabat Manusia).
Babakan selanjutnya yang sangat penting bagi penegakan hak asasi manusia
dalam era reformasi (setelah bulan Mei tahun 1998) adalah ditetapkannya Perubahan
Kedua Undang-Undang Dasar 1945 dalam Sidang Tahunan MPR yang pertama pada
tanggal 7-18 Agustus 2000. Babakan penting yang dihasilkan dalam Sidang Tahunan
tersebut adalah ditetapkanya Bab khusus yang mengatur mengenai "Hak Asasi
Manusia" dalam Bab XA Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945. Isi Bab
tersebut memperluas Pasal 28 Undang-Undang Dasar yang semula hanya terdiri dari 1
pasal dan 1 ayat, menjadi beberapa pasal dan beberapa ayat. Pasal-pasal dan ayat-ayat
tersebut tercantum dalam Pasal 28A-28J.
Di satu sisi pencantuman pasal-pasal yang secara khusus mengatur hak asasi
16

manusia dalam Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945 merupakan suatu


kemajuan yang cukup signifikan, karena proses perjuangan untuk melakukan hal itu
telah lama dilakukan. Namun di sisi lain hal ini justru menjadi sesuatu yang
merancukan karena pasal-pasal tentang hak asasi manusia yang dicantumkan dalam
Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945 tersebut sebagian besar merupakan
pasal-pasal yang berasal atau setidak-tidaknya memiliki redaksional yang serupa
beberapa pasal dari Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 dan Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999. Kedua ketentuan yang disebut terakhir ini juga mengatur
mengenai "Hak Asasi Manusia".
Pencantuman ketentuan-ketentuan tentang hak asasi manusia di dalam
Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945 itu terlepas dari masih adanya
kekurangan-kekurangan di dalam rumusan dari beberapa pasalnya merupakan prestasi
yang baik karena setidak-tidaknya bangsa Indonesia telah memiliki landasan yang lebih
signifikan dalam bidang hak asasi manusia. Tugas akademik yang perlu terus dilakukan
adalah mengawal agar perintah konstitusi tentang hak asasi manusia akan selalu ditaati
secara bersama, baik oleh penyelenggara negara maupun oleh segenap rakyat
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai