Sebelum menentukan teori HAM yang dianut Indonesia, perlu adanya pemahaman akan tiap-tiap
teori Hak Asasi Manusia:
1. Teori Kodrati
Dalam Teori Kodrati, HAM adalah hak yang dimiliki oleh seluruh umat manusia
semenjak lahir. HAM sebagai hak untuk hidup, hak untuk kebebasan, dan harta kekayaan
adalah hak yang dimiliki oleh semua orang kapan saja dan dimana saja, sehingga HAM
adalah hak yang universal.1 Hak ini diberikan oleh Tuhan kepada semua orang sehingga
sumber dari teori ini adalah manusia itu sendiri. Karena bersumber dari manusia, HAM
tidak memerlukan pengakuan dari pemerintah maupun sistem hukum. Teori ini lahir dari
teori hak alam (natural rights theory) yang sudah ada semenjak zaman filsafat Stoika.
John Locke pertama kali memperkenalkan pemikiran ini dan memicu revolusi hak asasi
di Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat.2 Pada saat itu, teori hak kodrati memicu
semangat revolusi di hati masyarakat yang diperlakukan sewenang-wenang oleh
penguasa di negara mereka. Teori ini menjadi landasan sistem hukum setelah revolusi
berhasil, namun tidak dipraktekan secara efektif saat penerapannya sebagai norma
internasional. Ini dikarenakan HAM sudah berkembang dari hanya hak untuk hidup
menjadi hak ekonomi, hak sosial dan budaya, hak sipil, dan hak politik, dimana setiap
negara memiliki budaya dan sistem yang berbeda-beda, sehingga tidak dapat diterapkan
sebuah hukum yang berlaku untuk semua negara di dunia.
2. Teori Positivisme
Dalam Teori Positivisme, HAM harus memiliki sumber yang jelas untuk memiliki
jaminan konstitusi. HAM adalah hak yang diberikan oleh negara, dan tidak bersumber
1 Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, cet. 1, (Jakarta: Rajawali Pers 2015), hal. 7.
2 Rhona K. M. Smith, et. al., eds., Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008), hlm.
12.
dari alam ataupun moral seperti Teori Kodrati. Pandangan ini dianggap melupakan
norma sosial dan ajaran moral yang dimiliki dalam manusia sebagai makhluk sosial dan
memiliki itikad baik.3 Tetapi kaum positivis menganggap bahwa apabila hukum berasal
dari manusia, maka hukum dapat memiliki arti yang ambigu dan tidak pasti, dikarenakan
manusia yang memiliki prinsip dan ideologi masing-masing, dan hanya melihat dari
sudut pandang dirinya sendiri. Dengan memiliki hukum positif mengatur HAM, maka
dapat menemukan titik tengah yang berlaku untuk semua orang dan hukum positif yang
dinamis juga dapat menyesuaikan seiring dengan berkembangnya zaman.4
4. Doktrin Marxisme
Marxisme secara substansi adalah teori emansipasi manusia, yang koheren nilai dengan
HAM. Manusia selalu menjadi inti, titik awal, dan akhir Marxisme. Seorang Marxis harus
percaya pada HAM, karena sebuah teori untuk emansipasi manusia tidak dapat
meremehkan atau mengabaikan martabat dan hak manusia.6 Marxisme sejatinya tentang
perjuangan kelas, perlawanan terhadap penindasan. Karl Marx dan Friedrich Engels
mengembangkan Marxisme agar setiap manusia tertindas sadar dan memperjuangkan
Semua bangsa dan tradisi memiliki sejarah dan sumbangan positif terhadap lahirnya ide tentang
hak asasi manusia dan tidak ada satu bangsa atau tradisi yang bisa mengklaim dirinya sebagai
penggagas ataupun kampiun hak asasi manusia. Oleh karenanya, berbagai negara yang memiliki
kemajemukan dalam pemikiran hak asasi manusia, berupaya membuat formulasi rumusan hak
asasi manusia yang bisa diterima dan menjadi konsensus berbagai pihak. Pelaksanaan HAM
merupakan wewenang dan tanggung jawab setiap Pemerintah Negara oleh karena itu, perlu
memperhatikan sepenuhnya keanekaragaman tata nilai, sejarah, kebudayaan, sistem politik,
tingkat pertumbuhan sosial dan ekonomi, serta faktor-faktor lain yang dimiliki bangsa yang
bersangkutan. Dengan demikian, harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional Indonesia
di bidang HAM, dapat dilakukan antara lain dengan merevisi perundang-undangan yang berlaku
dan merancang Undang-Undang yang baru sesuai isi instrumen internasional HAM yang telah
diratifikasi.
Kerangka berpikir mengenai suatu hal tidak akan tercipta jika tidak mengetahui dasar dan
landasannya. Begitu juga dengan kerangka berpikir untuk memahami masalah HAM. Realitas
menunjukkan bahwa hukum dan hak asasi manusia di Indonesia masih dominan mengacu kepada
tipologi doktrinal. Artinya sumber hukum dan hak asasi manusia berasal dari hukum positif
negara atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sumber hukum dan hak asasi manusia
yang berasal dari peraturan perundang-undangan terjadi akibat dari proses sejarah bangsa
Indonesia. Khususnya sejarah penjajahan oleh Belanda yang membuat sistem hukum Indonesia
7 Terry Eagleton, Why Marx Was Right, (Connecticut: Yale University Press, 2011), hlm. 104.
sama dengan Belanda. Dapat dikatakan bahwa, sumber hukum dan hak asasi manusia di
Indonesia belum memiliki epistemologi yang jelas dalam sistem hukum nasional. Dalam tataran
implementasi, Indonesia tidak berani melakukan perubahan secara substansial, cenderung
mengutamakan prosedur-formal, dan adanya dominasi rasional yang menghilangkan unsur rasa
dan hati nurani. Selain itu, banyaknya kasus pelanggaran hukum dan hak asasi manusia terjadi di
Indonesia yang tidak jelas penyelesaiannya.
Oleh karenanya, perlu dilakukan suatu perubahan yang dapat membuat hukum dan hak asasi
manusia bermanfaat dan mampu berkontribusi positif dalam mengatasi permasalahan di
masyarakat. Hal tersebut dapat dilakukan jika ada usaha untuk merubah epistemologi hukum dan
hak asasi manusia yang dapat lebih maju dan sesuai dengan peradaban bangsa. Selain itu,
diperlukan cara bijak yang mampu menyentuh substansi inti permasalahan epistemologi ilmu
hukum. Artinya suatu konsep epistemologi ilmu hukum yang selalu dinamis berubah kearah
yang lebih baik mengikuti perkembangan jaman dengan berdasar pada norma-norma kehidupan
yang ada di masyarakat. Konsep tersebut karena adanya kesesuaian dengan situasi dan kondisi
sekarang ini. Dengan konsep tersebut akan diperoleh hukum dan hak asasi manusia yang lebih
komprehensif. Sehingga hukum dan hak asasi manusia mampu menembus batas-batas
permasalahan dan berkontribusi positif membangun Indonesia sebagai negara hukum, yang
menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia.