Prinsip – prinsip suksesi negara dalam kaitannya dengan public property atau state property dikembangkan oleh hukum kebiasaan internasional yang selanjutnya di kodifikasi dalam Konvensi Wina 1983 tentang state property, arsip dan hutang. Prinsip umum secara luas dalam hukum kebiasaan internasional adalah bahwa state property akan beralih pada suksesor. Ini berarti tidak ada kewajiban hukum pihak suksesor untuk mengembalikan ataupun membayar ganti rugi aset – aset milik pemerintah lama. Ini diatur dalam hukum konvensional maupun hukum kebiasaan internasional. Misalnya Indonesia tidak membayar ganti rugi kepada 8 Belanda pasca kemerdekaan, singapura tidak membayar ganti rugi kepada Malaysia pasca berpisahnya Singapura dari federasi Malaysia. Secara umum dikatakan bahwa state property adalah property yang ada di bawah kepemilikan langsung atau tidak langsung dari lembaga – lembaga eksekutif, legislatif, atau yudikatif negara berdasarkan hukum nasional negara predecessor. Para ahli ukum internasional sependapat bahwa yang dimaksud state property dapat berwujud gedung dan tanah milik negara, alat – alat transportasi milik negara, pelabuhan – pelabuhan dan lain sebagainya. State property tersebut dibedakan menjadi benda bergerak dan tidak bergerak. Menyangkut benda tidak bergerak yang ada di wilayah yang beralih, prinsip umum yang berlaku adalah property itu akan beralih pada suksesor. Apabila benda tidak bergerak berada di luar wilayah yang beralih maka dianggap tetap milik predecessor, seandainya negara ini tetap eksis, meskipun prinsip ini dapat dimodifikasi. Tetapi, bila predecessornya tidak ada lagi maka praktik negara menunjukkan property tersebut akan dibagi antara negara - negara suksesor yang ada.
Akibat Hukum Suksesi Negara terhadap Hutang Negara
Hutang negara dapat dibagi menjadi hutang pemerintah pusat dan hutang pemerintah daerah. Dalam hal penyelesaian hutang dilakukan melalui suatu perjanjian khusus dalam perjanjian peralihan. Jika tidak ada perjanjian khusus maka predecessor state akan tetap bertanggung jawab. Sedangkan dalam hal hutang pemerintah daerah, jika daerah tersebut yang melakukan suksesi maka hutang tersebut menjadi tanggung jawab sepenuhnya bagi daerah tersebut. Masalah hutang negara adalah masalah yang paling sensitif dalam kasus terjadinya suksesi negara karena pada umumnya menyangkut kewajiban pembayaran utang yang cukup besar dari predecessor pada negara ketiga. Utang negara menurut Konvensi Wina 1983 adalah sangat sulit memperoleh keseragaman penyelesaian masalah utang negara dalam tiap – tiap kasus suksesi negara. Sebagai contoh setelah pemisahan Texas dari Mexico 1840, pembayaran ex gratia dilakukan. Kasus ini dipengaruhi pendapat yang sedang berkembang saat itu bahwa suksesor hanya memiliki kewajiban moral (ex gratia) terhadap kewajiban pembayaran utang tersebut. Starke berpendapat sudah selayaknya jika negara pengganti setelah memperoleh manfaat utang – utang karena pengambilan wilayah, juga harus bertanggung jawab atas utang negara predecessor-nya. Dalam upaya menciptakan keseragam demi kepastian hukum, Konvensi Wina 1983 melalui pasal 36 menyatakan bahwa suksesi negara tidak mempengaruhi hak dan kewajiban kreditor. Pada umumnya utang negara dapat dibagi menjadi utang pemerintah pusat dan pemerintah daerah (local debt) dan penyelesaian hutang dilakukan melalui perjanjian khusus dalam perjanjian peralihan. Dalam kondisi tidak ada perjanjian khusus dan predecessor masih eksis, praktik negara menunjukkan bahwa predecessor tetap bertanggung jawab. Menyangkut utang daerah dan daerah itu melepaskan diri maka suksesor wajib membayar hutang tersebut. Pasal 37 masalah utang diselesaikan melalui pembagian yang proporsional tergantung kesepakatan para pihak. Menyangkut newly independent state case pasal 38 menyatakan tidak ada utang negara predecessor yang beralih pada suksesor.