Anda di halaman 1dari 2

Stephanie Regina

110110190356

Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Aset Negara


Prinsip – prinsip suksesi negara dalam kaitannya dengan public property atau state
property dikembangkan oleh hukum kebiasaan internasional yang selanjutnya di kodifikasi
dalam Konvensi Wina 1983 tentang state property, arsip dan hutang. Prinsip umum secara luas
dalam hukum kebiasaan internasional adalah bahwa state property akan beralih pada suksesor.
Ini berarti tidak ada kewajiban hukum pihak suksesor untuk mengembalikan ataupun membayar
ganti rugi aset – aset milik pemerintah lama. Ini diatur dalam hukum konvensional maupun
hukum kebiasaan internasional. Misalnya Indonesia tidak membayar ganti rugi kepada 8 Belanda
pasca kemerdekaan, singapura tidak membayar ganti rugi kepada Malaysia pasca berpisahnya
Singapura dari federasi Malaysia.
Secara umum dikatakan bahwa state property adalah property yang ada di bawah
kepemilikan langsung atau tidak langsung dari lembaga – lembaga eksekutif, legislatif, atau
yudikatif negara berdasarkan hukum nasional negara predecessor. Para ahli ukum internasional
sependapat bahwa yang dimaksud state property dapat berwujud gedung dan tanah milik negara,
alat – alat transportasi milik negara, pelabuhan – pelabuhan dan lain sebagainya. State property
tersebut dibedakan menjadi benda bergerak dan tidak bergerak. Menyangkut benda tidak
bergerak yang ada di wilayah yang beralih, prinsip umum yang berlaku adalah property itu akan
beralih pada suksesor. Apabila benda tidak bergerak berada di luar wilayah yang beralih maka
dianggap tetap milik predecessor, seandainya negara ini tetap eksis, meskipun prinsip ini dapat
dimodifikasi. Tetapi, bila predecessornya tidak ada lagi maka praktik negara menunjukkan
property tersebut akan dibagi antara negara - negara suksesor yang ada.

Akibat Hukum Suksesi Negara terhadap Hutang Negara


Hutang negara dapat dibagi menjadi hutang pemerintah pusat dan hutang pemerintah
daerah. Dalam hal penyelesaian hutang dilakukan melalui suatu perjanjian khusus dalam
perjanjian peralihan. Jika tidak ada perjanjian khusus maka predecessor state akan tetap
bertanggung jawab. Sedangkan dalam hal hutang pemerintah daerah, jika daerah tersebut yang
melakukan suksesi maka hutang tersebut menjadi tanggung jawab sepenuhnya bagi daerah
tersebut.
Masalah hutang negara adalah masalah yang paling sensitif dalam kasus
terjadinya suksesi negara karena pada umumnya menyangkut kewajiban
pembayaran utang yang cukup besar dari predecessor pada negara ketiga. Utang
negara menurut Konvensi Wina 1983 adalah sangat sulit memperoleh keseragaman
penyelesaian masalah utang negara dalam tiap – tiap kasus suksesi negara. Sebagai
contoh setelah pemisahan Texas dari Mexico 1840, pembayaran ex gratia
dilakukan. Kasus ini dipengaruhi pendapat yang sedang berkembang saat itu bahwa
suksesor hanya memiliki kewajiban moral (ex gratia) terhadap kewajiban
pembayaran utang tersebut. Starke berpendapat sudah selayaknya jika negara
pengganti setelah memperoleh manfaat utang – utang karena pengambilan wilayah,
juga harus bertanggung jawab atas utang negara predecessor-nya.
Dalam upaya menciptakan keseragam demi kepastian hukum, Konvensi
Wina 1983 melalui pasal 36 menyatakan bahwa suksesi negara tidak
mempengaruhi hak dan kewajiban kreditor. Pada umumnya utang negara dapat
dibagi menjadi utang pemerintah pusat dan pemerintah daerah (local debt) dan
penyelesaian hutang dilakukan melalui perjanjian khusus dalam perjanjian peralihan.
Dalam kondisi tidak ada perjanjian khusus dan predecessor masih eksis, praktik
negara menunjukkan bahwa predecessor tetap bertanggung jawab. Menyangkut
utang daerah dan daerah itu melepaskan diri maka suksesor wajib membayar hutang
tersebut. Pasal 37 masalah utang diselesaikan melalui pembagian yang
proporsional tergantung kesepakatan para pihak. Menyangkut newly independent
state case pasal 38 menyatakan tidak ada utang negara predecessor yang beralih
pada suksesor.

Anda mungkin juga menyukai