Anda di halaman 1dari 171

HAK ASASI MANUSIA

Hak asasi manusia (HAM) sesungguhnya lahir bersama-sama dengan lahirnya manusia.
Banyak pelanggaran hak asasi di dunia ini, kalau kita lihat sejarah dunia dimana negara
Eropa pernah menjajah benua Asia, Afrika, Australia, ini merupakan pelanggaran HAM.
Pelanggaran HAM tidak hanya dilakukan oleh pemerintah negara lain tapi pemerintah negara
sendiri yang berkuasa seperti Indonesia pernah melakukan pelanggaran HAM, misalnya pada
masa Orde Baru dibuat peraturan tentang bersih diri, bersih lingkungan sebagai upaya
menyingkirkan lawan-lawan politiknya, penembakan misterius (petrus).
1. Pengertian dan Hakekat Hak Asasi Manusia
Untuk memahami hakekat HAM, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian dasar tentang
hak. Secara difinitif hak merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman
berperilaku, melindungi kebebasan dan menjamin adanya peluang bagi manusia dalam
menjaga harkat dan martabatnya. Hak mempunyai unsur-unsur seagai berikut : a) pemilik
hak; b) ruang lingkup penerapan hak; dan c) pihak yang bersedia dalam penerapan hak
(James W. Nickel, 1996) Ketiga unsur tersebut menyatu dalam pengertian dasar tentang hak.
Dengan demikian hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang
dalam penerapannya berada pada ruang lingkup persamaan dan kebebasan yang terkait
dengan interaksinya antara individu atau instansi.
Dalam kaitannya dengan perolehan hak, minimal ada dua teori yaitu teori Mc Closkey dan
teori Joel Feinberg (James W. Nickel dalam Azyumardi Azra, ed, 1996:200 ). Teori Mc
Closkey menyatakan bahwa Pemberian hak adalah untuk dilakukan, dimiliki atau
dinikmati. Sedangkan teori Joel Feinberg menyatakan Pemberian hak penuh merupakan
kesatuan dari klaim yang absah (keuntungan yang diperoleh dari pelaksanaan hak yang
disertai pelaksanaan kewajiban). Dengan demikian, keuntungan dapat diperoleh dari
pelaksanaan hak bila disertai dengan pelaksanaan kewajiban. Hal ini berarti antara hak dan
kewajiban merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam perwujudannya. Oleh
karena itu ketika seseorang menuntut hak maka dia juga harus melakukan kewajiban
(Azyumardi Azra ed, 2003: 199-200).
Istilah yang dikenal di negara Barat mengenai Hak-hak Asasi Manusia adalah Right of
Man. Sebelum menggunakan istilah Right of Man, istilah yang digunakan adalah
Natural Right. Istilah Right of Man ternyata tidak secara otomatis mengakomodasi
pengertian yang mencakup Right of Women. Oleh karena itu Eleanor Roosevelt mengganti
istilah Right of Man dengan istilah Human Rights karena dipandang lebih netral dan
universal.
UU No. 39 Tahun 1999 Pasal 1 menyatakan Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat
hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugerahNYA yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi penghormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia.
Jadi, HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan
fundamental sebagai suatu anugerah dari Allah yang harus dihormati, dijaga, dilindungi oleh
setiap individu, masyarakat atau negara.

Hakekat HAM merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh
melalui aksi keseimbangan, yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban serta
keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Begitu juga
upaya menghormati, melindungi dan menjunjung tinggi HAM menjadi kewajiban dan
tanggung jawab bersama antara individu, pemerintah (aparatur pemerintah, baik sipil maupun
militer) dan negara.
Dengan demikian, hakekat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM adalah menjaga
keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan, yaitu keseimbangan
antara hak dan kewajiban serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan
kepentingan umum.
HAM pada dasarnya merupakan hak kodrati yang dimiliki dan melekat pada manusia sejak
manusia dilahirkan, bersifat universal dan langgeng. Oleh karena itu harus dilindungi, tidak
boleh dikurangi dan dirampas oleh siapapun.
Dari paparan di atas, dapat diketahui ciri-ciri HAM, yaitu:
1. HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia
secara otomatis
2. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis klamin, ras, agama, etnis,
pandangan politik atau asal usul sosial dan bangsa
3. HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau
melanggar hak orang lain.
2. Sejarah Singkat Perkembangan Hak Asasi Manusia
Sejarah perkembangan HAM tidak terlepas dari pengakuan terhadap hukum alam (natural
law) yang menjadi cikal bakal bagi kelahiran HAM. Aristoteles mengakui bahwa hukum
alam merupakan produk rasio manusia demi terciptanya keadilan abadi. Salah satu muatan
hukum alam adalah hak-hak pemberian dari alam (natural rights) karena dalam hukum alam
ada sistem keadilan yang berlaku universal (Masyhur Effendi, 1994). Dengan demikian,
masalah keadilan yang merupakan inti dari hukum alam menjadi pendorong bagi upaya
penghormatan dan perlindungan harkat dan martabat kemanusiaan universal (Azyumardi
Azra, ed, 2003: 202).
Sejarah perkembangan pemikiran HAM dunia bermula dari:
1. Magna Charta
2. The American Declaration
3. The French Declaration
4. The Four Freedom
Lahirnya HAM di kawasan Eropa dimulai dengan lahirnya Magna Charta yang antara lain
memuat pandangan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang

menciptakan hukum tetapi dia sendiri tidak terikat pada hukum yang dibuatnya) menjadi
dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai pertanggungjawabannya di muka hukum
(Masyhur Effendi dalam Azyumardi Azra, ed, 2003: 202). Magna Charta telah
menghilangkan hak absolutisme raja. Sejak itu mulai dipraktekkan jika raja melanggar
hukum harus diadili dan mempertanggungjawabkan kebijakannya kepada parlemen.
Lahirnya Magna Charta tsb kemudian diikuti dengan lahirnya Bill of Rights di Inggris tahun
1689. Pada masa itu timbul pandangan bahwa manusia sama di muka hukum yang
memperkuat dorongan lahirnya negara hukum dan negara demokrasi. Bill of Rights
melahirkan asas persamaan harus diwujudkan.
The American Declaration yang lahir dari paham Rousseau dan Montesquieu berpandangan
bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya sehingga tidak logis bila sesudah
lahir dia harus dibelenggu.
Tahun 1789 lahirlah The French Declaration dimana ketentuan tentang hak lebih dirinci,
antara lain berbunyi Tidak boleh ada penangkapan dan penahanan secara semena-mena,
termasuk penangkapan tanpa alasan yang sah dan penahanan tanpa surat perintah yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Dalam hal ini berlaku Presumption of innocent
(asas praduga tidak bersalah), artinya orang-orang yang ditangkap dan kemudian ditahan dan
dituduh berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan
tetap yang menyatakan dia bersalah. Prinsip ini kemudian dipertegas dengan prinsip freedom
of expression, freedom of religion, the right of property (perlindungan hak milik) dan hak-hak
dasar lainnya.
Tanggal 6 Januari 1941lahir The Four Freedom dari Presiden Roosevelt yaitu:
a. kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat
b. kebebasan beragama dan menjalankan ibadah sesuai agamanya
c. kebebasan dari kemiskinan
d. kebebasan dari rasa takut
3. Teori Nilai-nilai Hak Asasi Manusia
Perdebatan tentang nilai-nilai HAM apakah universal atau partikular terus berlanjut.
Berkaitan dengan hal tersebut, ada tiga teori yaitu:
a. Teori Realitas (Realistic Theory)
Teori ini mendasari pandangannya pada asumsi adanya sifat manusia yang menekankan self
interest dan egoisme dalam dunia, seperti bertindak anarkis. Dalam situasi anarkis setiap
manusia saling mementingkan dirinya sendiri sehinggha menimbulkan chaos dan tindakan
tidak manusiawi diantara individu dalam memperjuangkan egoisme dan self interestnya.
Dengan demikian, dalam situasi anarkis, prinsip universalitas moral yang dimiliki setiap
individu tidak dapat berlaku dan berfungsi. Untuk mengatasi situasi ini maka negara harus
mengambil tindakan berdasarkan power dan security yang dimiliki dalam rangka menjaga

kepentingan nasional dan keharmonisan sosial dibenarkan. Tindakan yang dilakukan oleh
negara seperti di atas tidak termasuk kategori tindakan pelanggaran HAM oleh negara.
b. Teori Relativisme Kultural (Cultural relativism Theory)
Teori ini berpandangan bahwa nilai-nilai moral dan budaya bersifat partikular (khusus). Hal
ini berarti bahwa nilai-nilai moral HAM bersifat lokal dan spesifik, sehingga berlaku khusus
pada suatu negara. Dalam kaitan dengan penerapan HAM, menurut teori ini ada tiga model
penerapan HAM, yaitu:
1) Penerapan HAM yang lebih menekankan pada hak sipil, hak politik dan
pribadi
2)

hak pemilikan

Penerapan HAM yang lebih menekankan pada hak ekonomi dan hak sosial

3) Penerapan HAM yang lebih menekankan pada hak penentuan nasib sendiri (self
determination) dan pembangunan ekonomi
c. Teori Radikal Universalitas (Radical Universalism)
Teori ini berpandangan bahwa semua nilai termasuk nilai-nilai HAM bersifat universal dan
tidak bisa dimodifikasi untuk menyesuaikan adanya perbedaan budaya dan sejarah suatu
negara. Kelompok radikal universalitas menganggap hanya ada satu paket pemahaman HAM,
bahwa nilai-nilai HAM berlaku sama di semua tempat dan disembarang waktu serta dapat
diterapkan pada masyarakat yang mempunyai latar belakang budaya dan sejarah yang
berbeda. Dengan demikian, pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai HAM berlaku
sama dan universal bagi semua negara dan bangsa (Peter Davis dalam Azyumardi Azra, ed,
2003: 217).
Dari ketiga teori tersebut, model pertama banyak dilakukan di negara-negara yang tergolong
dunia maju, model kedua banyak diterapkan di dunia berkembang dan model ketiga banyak
diterapkan di dunia terbelakang.
Dalam kaitan dengan ketiga teori tentang nilai-nilai HAM tsb, ada dua arus pemikiran yang
saling tarik menarik dalam melihat relativitas nilai-nilai HAM, yaitu strong relativist dan
weak relativist. Strong relativist beranggapan bahwa nilai HAM dan nilai-nilai lainnya secara
prinsip ditentukan oleh budaya dan lingkungan tertentu sedangkan universalitas nilai HAM
hanya menjadi pengontrol dari nilai-nilai HAM yang didasari oleh budaya lokal atau
lingkungan yang spesifik. Berdasarkan pandangan ini diakui adanya nilai-nilai HAM lokal
(partikular) dan nilai-nilai HAM yang universal. Sementara weak relativist memberi
penekanan bahwa nilai-nilai HAM bersifat universal dan sulit dimodifikasi berdasarkan
pertimbangan budaya tertentu. Berdasarkan pandangan ini, nampak tidak adanya pengakuan
terhadap nilai-nilai HAM lokal melainkan hanya mengakui adanya nilai-nilai HAM
universal.

HAK ASASI MANUSIA

ACHMAD FAUZI/30108025
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang,
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No.
39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
NILAI UNIVERSAL DAN PARTIKULAR HAM
Wacana apakah HAM itu bersifat universal (berlaku untuk di semua negara) atau partikular
(nilai HAM sangat kontekstual pada suatu negara) terus berlanjut. Dalam hal ini
memunculkan tiga teori analisis, yaitu teori realitas (realistic theory), berpandangan adanya
sifat manusia yang condong pada dirinya sendiri serta bertindak anarkis, hak didasarkan pada
pemenuhan haknya sendiri secara berlebihan. Teori relativisme (cultural relativisme theory),
nilai moral dan budaya itu bersifat partikular atau khusus. Teori radikal universalisme (radical
universalism), berpandangan bahwa semua nilai-nilai HAM adalah bersifat universalitas.
HAM DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Banyak gagasan besar berkenaan dengan demokrasi dan HAM yang selaras dengan
pemikiran islam, kaidah hukum, prinsip dasar kepemimpinan demokratis, yurisprudensi islam
(fiqih) sangat sentral. Ini adalah konsep yang berakar pada Al-quran, yang berpijak pada
ajaran tauhid yang mengandung ide persamaan dan persaudaraan manusia. Ajaran Islam
menempatkan manusia sebagai makhluk terhormat dan mulia, sehingga perlindungan dan
penghormatan terhadap manusia merupakan sebuah tuntutan.
Menurut Maududi, HAM adalah hak kodrati yang dianugrahkan Allah kepada setiap manusia
dan tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh kekuasaan atau badan apapun. Hak-hak yang
diberikan Allah itu bersifat permanen, kekal dan abadi, tidak boleh diubah atau dimodifikasi.
Sejarah keberpihakan islam terhadap HAM sudah ada sejak Deklarasi Madinah yang sangat
menonjolkan prinsip kemanusiaan dan toleransi yang kemudian dilanjutkan dengan Deklarasi
Kairo. Selanjutnya dilihat dari tingkatannya, ada tiga bentuk HAM dalam islam, hak daruri
(premier), hak hajjy (sekonder) dan hak tahsiny (tersier).
Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang
termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara
melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi
Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak
mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan
benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999
tentang HAM).
Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah Pengadilan Khusus terhadap pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang berat. Pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
HAM meliputi :
1. Kejahatan genosida;
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok
etnis, kelompok agama, dengan cara :

1. Membunuh anggota kelompok;


2. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota
kelompok;
3. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara
fisik baik seluruh atau sebagiannya;
4. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok;
atau
5. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagian dari
serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan
secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa :
1. Pembunuhan;
2. Pemusnahan;
3. Perbudakan;
4. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
5. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang
yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
6. Penyiksaan;
7. Perkosaan, perbudakan seksual, palcuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan
atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
8. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan
lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional;
9. Penghilangan orang secara paksa; atau
10. Kejahatan apartheid.
(Penjelasan Pasal 7, 8, 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM)
Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan
rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseoarang untuk
memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang dari orang ketiga, dengan
menghukumnya atau suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh
seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga,
atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit
atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau
sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik (Penjelasan Pasal 1 angka 4 UU No. 39
Tahun 1999 tentang HAM)
Penghilangan orang secara paksa adalah tindakan yang dilakukan oleh siapapun yang
menyebabkan seseorang tidak diketahui keberadaan dan keadaannya (Penjelasan Pasal 33
ayat 2 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM)
PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA
Hak-hak bidang sipil mencakup, antara lain :

1. Hak untuk menentukan nasib sendiri


2. Hak untuk hidup
3. Hak untuk tidak dihukum mati
4. Hak untuk tidak disiksa
5. Hak untuk tidak ditahan sewenang-wenang
6. Hak atas peradilan yang adil
Hak-hak bidang politik, antara lain :
1. Hak untuk menyampaikan pendapat
2. Hak untuk berkumpul dan berserikat
3. Hak untuk mendapat persamaan perlakuan di depan hukum
4. Hak untuk memilih dan dipilih
Hak-hak Sosial, Ekonomi dan Budaya
Hak-hak bidang sosial dan ekonomi, antara lain :
1. Hak untuk bekerja
2. Hak untuk mendapat upah yang sama
3. Hak untuk tidak dipaksa bekerja
4. Hak untuk cuti
5. Hak atas makanan
6. Hak atas perumahan
7. Hak atas kesehatan
8. Hak atas pendidikan
Hak-hak bidang budaya, antara lain :
1. Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan kebudayaan
2. Hak untuk menikmati kemajuan ilmu pengetahuan
3. Hak untuk memeproleh perlindungan atas hasil karya cipta (hak cipta)
Hak Pembangunan
Hak-hak bidang pembangunan, antara lain :
1. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat
2. Hak untuk memperoleh perumahan yang layak
3. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai
HAK-HAK ASASI MANUSIA
Dalam Undang-undang ini pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan dengan
berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, konvensi PBB tentang penghapusan
segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi PBB tentang hak-hak anak dan
berbagai instrumen internasional lain yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Materi
Undang-undang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan hukum
nasional yang berdasarkan Pancasila, UUD 45 dan TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998.

Hak-hak yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia terdiri dari :
1. Hak untuk hidup. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan
taraf kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta
memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.
2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Setiap orang berhak untuk membentuk
kelaurga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang syah atas kehendak yang
bebas.
3. Hak mengembangkan diri. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan
dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa dan
negaranya.
4. Hak memperoleh keadilan. Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh
keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara
pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan
tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh
Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar.
5. Hak atas kebebasan pribadi. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan
politik, mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk agama masing-masing, tidak boleh
diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan
bertempat tinggaldi wilayah Republik Indonesia.
6. Hak atas rasa aman. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
7. Hak atas kesejahteraan. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa dan masyarakat
dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapatkan jaminan sosial yang dibutuhkan,
berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi
melindungi dan memperjuangkan kehidupannya.
8. Hak turut serta dalam pemerintahan. Setiap warga negara berhak turut serta dalam
pemerintahan dengan langsung atau perantaraan wakil yang dipilih secara bebas dan dapat
diangkat kembali dalam setiap jabatan pemerintahan.
9. Hak wanita. Seorang wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam jabatan, profesi
dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Disamping itu
berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya
terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya.
10. Hak anak. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, kelaurga, masyarakat dan
negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak
dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
HAM DALAM KONSTITUSI, UUD 1945 DAN PERUBAHANNYA
Dibandingkan dengan UUDS 1950, ketentuan HAM di dalam UUD 1945 relatif sedikit,
hanya 7 (tujuh) pasal saja masing-masing pasal 27, 28, 29, 30, 31, 31 dan 34, sedangkan di
dalam UUDS 1950 didapati cukup lengkap pasal-pasal HAM, yaitu sejumlah 35 pasal, yakni
dari pasal 2 sampai dengan pasal 42. Jumlah pasal di dalam UUDS 1950 hampir sama dengan
yang tercantum di dalam Universal Declaration of Human Rights.
Meskipun di dalam UUD 1945 tidak banyak dicantumkan pasal-pasal tentang HAM, namun
kekuarangan-kekurangan tersebut telah dipenuhi dengan lahirnya sejumlah Undang-undang

antara lain UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 8 Tahun 1981 yang banyak mencantumkan
ketentuan tentang HAM. UU No. 14 Tahun 1970 memuat 8 pasal tentang HAM, sedangkan
UU No. 8 Tahun 1981 memuat 40 pasal. Lagipula di dalam Pembukaan UUD 45 didapati
suatu pernyataan yang mencerminkan tekad bangsa Indonesia untuk menegakkan HAM yang
berbunyi, Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab
itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.
Timbul pertanyaan bagaimana dapat menegakkan HAM kalau di dalam konstitusinya tidak
diatur secara lengkap ? Memang di dalam UUD 1945 ketentuan-ketentuan yang mengatur
tentang HAM relatif terbatas tetapi hal ini tidak akan menghambat penegakan HAM karena
sudah diperlengkapi dengan Undang-undang lain, seperti UU Pokok Kekuasaan Kehakiman,
UU Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU Hak Asasi Manusia, UU Pengadilan HAM dan
peraturan perundangan lainnya.
Sekalipun demikian, telah diusulkan juga untuk membuka kesempatan memasukkan pasalpasal HAM ke dalam Konstitusi UUD 1945 melalui amandemen. Upaya amandemen
terhadap UUD 1945 ini telah melalui 2 tahapan usulan. Usulan draft amandemen Undangundang Dasar 1945 yang kedua tanggal 18 Agustus 2000 telah menambahkan satu bab
khusus yaitu Bab X-A tentang Hak Asasi Manusia mulai pasal 28 A sampai dengan 28 J.
Sebagian besar isi perubahan tersebut mengatur mengani hak-hak sipil dan politik, hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya. Adapun Hak Asasi Manusia yang ditetapkan dalam Bab X A
Undang-undang Dasar 1945 adalah sebagai berikut :
* Hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal 28 A)
* Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang syah
(Pasal 28 B ayat 1)
* Hak anak untuk kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta hak atas perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28 B ayat 2)
* Hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar (Pasal 28 C ayat 1)
* Hak untuk mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni, dan budaya (Pasal 28 C ayat 1)
* Hak untuk mengajukan diri dalam memperjuangkan haknya secara kolektif (Pasal 28 C
ayat 2)
* Hak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan
yang sama di depan hukum (Pasal 28 D ayat 1)
* Hak utnuk bekerja dan mendapat imbalan serta perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja (Pasal 28 D ayat 3)
* Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan (Pasal 28 D ayat 3)
* Hak atas status kewarganegaraan (Pasal 28 D ayat 4)
* Hak kebebasan untuk memeluk agama dan beribadah menurut agamanya (Pasal 28 E ayat
1)
* Hak memilih pekerjaan (Pasal 28 E ayat 1)
* Hak memilih kewarganegaraan (Pasal 28 E ayat 1)
* Hak memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak untuk
kembali (Pasal 28 E ayat 1)
* Hak kebebasan untuk meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati
nuraninya (Pasal 28 E ayat 2)
* Hak kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (Pasal 28 E ayat
3)

* Hak untuk berkomunikasi dan memeperoleh informasi (Pasal 28 F)


* Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda (Pasal
28 G ayat 1)
* Hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi manusia (Pasal 28 G ayat 1)
* Hak untuk bebeas dari penyiksaan (torture) dan perlakuan yang merendahkan derajat
martabat manusia (Pasal 28 G ayat 2)
* Hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat (Pasal 28 H ayat 1)
* Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28 H ayat 1)
* Hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus guna mencapai persamaan dan
keadilan (Pasal 28 H ayat 2)
* Hak atas jaminan sosial (Pasal 28 H ayat 3)
* Hak atas milik pribadi yang tidak boleh diambil alih sewenang-wenang oleh siapapun
(Pasal 28 H ayat 4)
* Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (retroaktif) (Pasal 28 I ayat 1)
* Hak untuk bebas dari perlakuan diskriminasi atas dasar apapun dan berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan diskriminatif tersebut (Pasal 28 I ayat 2)
* Hak atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional (Pasal 28 I ayat 3)
KEWAJIBAN DASAR MANUSIA
Setiap orang atau setiap warga negara yang ada di wilayah negara Rl Wajib :
1) Patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tidak tertulis dan hukum internasional
mengenai HAM yang telah diterima Indonesia.
2) Ikut serta dalam upaya pembelaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
3) Menghormati HAM orang lain, moral, etika dan tata tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Setiap HAM seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk
menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas pemerintah untuk
menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukannya.
Dalam menjalankan hak dan kewajibannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis.
Kewajiban dan Tanggung Jawan Pemerintah
Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan dan
memajukan HAM sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang HAM, peraturan
perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang HAM yang diterima oleh
Indonesia. Kewajiban dan tanggung jawab tersebut meliputi langkah implementasi yang
efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya. pertahanan keamanan negara
dan bidang lain.
Partisipasi Masyarakat.
Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak:
1) Berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan dan pemajuan HAM;
2) Menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran HAM kepada Komnas HAM atau
lembaga lain yang berwenang dalam rangk& perlindungan, penegakan dan pemajuan HAM;
3) Mengajukan usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan HAM
kepada Komnas HAM dan atau lembaga lainnya.

Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat. lembaga swadaya


masyarakat, perguruan tinggi, lembaga studi, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, baik
sendiri-sendiri maupun bekerjasama dengan Komnas HAM dapat melakukan penelitian,
pendidikan dan penyebarluasan informasi mengenai HAM.
PENGADILAN HAM
a. Karakteristik
Pengadilan HAM adalah Pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM berat sebagaimana
diatur oleh Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Dua belas karateristik yang terkandung dalam UU Pengadilan Hak Asasi Manusia, yakni:
1) Yurisdiksi Pengadilan HAM mencakup luar batas teritorial wilayah negara Rl;
2) Untuk hal-hal tertentu, hukum formal yang diberlakukan tidak mengikuti KUHAP, tetapi
diatur tersendiri dalam UU Pengadilan HAM itu;
3) Penyelidikan dilakukan Komnas HAM;
4) Adanya ketentuan mengenai tim penyelidik ad.hoc, yang keanggotannya terdiri atas
Komnas HAM dan unsur masyarakat;
5) Kewenangan penyidikan dan penuntutan berada pada Jaksa Agung. Namun dalam
melakukan penyidikan dan penuntutan tersebut, Jaksa Agung mengangkat penyidik ad.hoc
dan penuntut ad.hoc yang terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat;
6) Pemeriksaan pada tingkat pengadilan HAM, pengadilan tinggi HAM, ataupun Mahkamah
Agung, dilakukan Majelis Hakim yang berjumlah lima orang. Mereka terdiri atas dua hakim
dari setiap tingkat pengadilan yang bersangkutan dan tiga orang hakim ad.hoc;
7) Proses penyelesaiannya, baik pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan maupun
pemeriksaan sidang pengadilan,. diberi tenggang waktu yang ketat;
Adanya ketentuan mengenai perlindungan hukum bagi korban dan saksi dalam
penyelesaian pelanggaran HAM yang berat;
9) Sistem pemidanaannya berbeda dengan yang ada dalam KUHAP, UU HAM mematok
pidana penjara paling lama 25 tahun.
10) Ditentukannya pengadilan HAM ad.hoc untuk memeriksa dan memutuskan pelanggaran
HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM.
11) Peran vital DPR, sebagaimana dimaksud pada Pasal 43 ayat (2) yakni Pengadilan HAM
ad.hoc dibentuk dengan Keputusan Presiden atas usul DPR.
12) Asas retroaktif dapat diberlakukan dalam rangka melindungi HAM itu sendiri
berdasarkan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945.
b. Jenis pelanggaran HAM berat
1) Kejahatan genosida.
Adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa. ras, kelompok etnis, kelompok
agama. dengan cara:
a) Membunuh anggota kelompok;
b) Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota
kelompok;
c) Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara
fisik baik seluruh atau sebagiannya;
d) Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok;
atau
e) Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
2) Kejahatan terhadap kemanusiaan.
Adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil (suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai

kelanjutan kebijakan yang berhubungan dengan organisasi), berupa:


a) Pembunuhan (sebagaimana tercantum dalam Ps. 340 KUHP);
b) Pemusnahan (meliputi perbuatan yang menimbulkan penderitaan yang dilakukan dengan
sengaja, antara lain berupa perbuatan menghambat pemasokan barang makanan dan obatobatan yang dapat menimbulkan pemusnahan pada sebagian penduduk);
c) Perbudakan (dalam ketentuan ini termasuk perdagangan manusia, khususnya perdagangan
wanita dan anak-anak);
d) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa (pemindahan orang-orang secara
paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan yang lain dari daerah mana mereka
bertempat tinggal secara sah, tanpa didasari alasan yang diijinkan oleh hukum internasional);
e) Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang
yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
f) Penyiksaan (dengan sengaja dan melawan hukum menimbulkan kesakitan atau penderitaan
yang berat, baik fisik maupun mental, terhadap seorang tahanan atau seseorang yang berada
di bawah pengawasan);
g) Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau strilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang
setara;
h) Penganiayaan terhadap suatu kelompok tentang perkumpulan yang didasari persamaan
paham politik, ras. kebudayaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang
telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
i) Penghilangan orang secara paksa (yakni penangkapan, penahanan atau penculikan
seseorang oleh atau dengan kuasa, dukungan atau persetujuan dari negara atau kebijakan
organisasi, diikuti oleh penolakan untuk mengakui perampasan kemerdekaan tersebut atau
untuk memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang tersebut, dengan maksud
untuk melepaskan dari perlindungan hukum dalam jangka waktu yang panjang; atau
j) Kejahatan aparheid (perbuatan tidak manusiawi dengan sifat yang sama dengan sifat-sifat
yang disebutkan dalam kejahatan genosida yang dilakukan dalam konteks suatu rezim
kelembagaan berupa penindasan dan dominasi oleh suatu kelompok rasial atas suatu
kelompok atau kelompok-kelompok ras lain dilakukan dengan maksud untuk
mempertahankan rezim itu).
c. Sebab-sebab pelanggaran HAM
Pelanggaran HAM dapat disebabkan oleh 4 (empat) hal:
1) Kesewenangan (abuse of power) yaitu tindakan penguasa atau aparatur negara terhadap
masyarakat di luar atau melebihi batas-batas kekuasaan dan wewenangnya yang telah
ditetapkan dalam perundang-undangan.
2) Pembiaran pelanggaran HAM (violation by ommission) yaitu tidak mengambil tindakan
atas suatu pelanggaran HAM.
3) Sengaja melakukan pelanggaran HAM (violation by commission).
4) Pertentangan antar kelompok masyarakat.
d. Prosedur penyelesaian pelanggaran HAM berat.
1) penyelidikan
a) Dilakukan oleh Komnas HAM.
b) Komnas HAM dalam melakukan penyelidikan dapat embentuk tim ad-hoc yang terdiri atas
:
(1) Komnas HAM; dan
(2) Unsur masyarakat.
c) Dalam hal Komnas HAM berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup (bukti
permulaan untuk menduga adanya tindakan pidana bahwa seseorang yang karena
perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku

pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat), telah terjadi peristiwa pelanggaran HAM berat,
maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyelidik.
d) Tetap berlaku asas praduga tak bersalah.
e) Penyebarluasan keterangan atau bukti lain yang diperoleh Komnas HAM dapat ditetapkan
untuk dirahasiakan atau dibatasi dengan pertimbangan:
(1) membahayakan keamanan dan keselamatan negara;
(2) membahayakan keselamatan dan ketertiban umum;
(3) membahayakan keselamatan perorangan;
(4) mencemarkan nama baik perorangan;
(5) membocorkan rahasia negara atau hal-hal yang wajib dirahasiakan dalam proses
pengambilan keputusan Pemerintah;
(6) membocorkan hal-hal yang wajib dirahasiakan dalam proses penyidikan, penuntutan, dan
persidangan suatu perkara pidana;
(7) menghambat terwujudnya penyelesaian terhadap masalah yang ada; atau
(8) membocorkan hal-hal yang termasuk dalam rahasia dagang.
2) Penyidikan
a) Dilakukan oleh Jaksa Agung;
b) Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad-hoc yang terdiri atas:
(1) Unsur pemerintah; dan atau
(2) Masyarakat.
3) Penuntutan
a) penuntutan perkara pelanggaran HAM berat dilakukan oleh Jaksa Agung.
b) Jaksa Agung dapat mengangkat penuntut umum Ad Hoc yang terdiri atas:
(1) Unsur pemerintah; dan atau
(2) Masyarakat (diutamakan diambil dari mantan penuntut umum di Peradilan Umum atau
Peradilan Militer).
4) Pengadilan
a) Pengadilan HAM berkedudukan di daerah Kabupaten atau daerah kota yang daerah
hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
b) Pengadilan HAM berwenang memeriksa dan memutus (termasuk menyelesaikan perkara
yang menyangkut kompensasi, restitusi dan rehabilitasi) pelanggaran HAM berat, berwenang
juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat yang dilakukan diluar batas
teritorial wilayah negara Rl oleh warga negara Indonesia (ketentuan ini dimaksudkan untuk
melindungi warga negara Indonesia yang melakukan pelanggaran HAM berat yang dilakukan
di luar batas teritorial, dalam arti tetap dihukum sesuai dengan Undang-Undang Pengadilan
HAM). Namun demikian, tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran
HAM berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 tahun pada saat
kejahatan dilakukan (diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri).
c) Pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkan-nya UU Pengadilan HAM (UU
No.26/2000), diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad/hoc. yang dibentuk atas usul
DPR berdasarakan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden (dalam hal DPR
mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad/hoc, DPR mendasarkan pada dugaan telah
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berat yang dibatasi pada locus dan tempos delicti
tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM).
d) Pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM tidak
menutup kemungkinaci penyelesaian-nya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi, yang dibentuk dengan UU (ketentuan ini untuk memberikan alternatif
penyelesaian pelanggaran HAM berat, dilakukan di luar Pengadilan HAM).
e) Pengadilan HAM untuk saat ini:
(1) Jakarta Pusat, meliputi:

(a) PN daerah Khusus Ibukota Jakarta


(b) PN Propinsi Jabar, Banten, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat dan
Kalimantan Tengah.
(2) Surabaya, meliputi Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Bali. Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
(3) Makasar. meliputi Propinsi Sulawesi Selatan. Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Utara, Maluku Utara dan Irian Jaya.
(4) Medan, meliputi Propinsi Sumatera Utara, Daerah Istimewa Aceh, Riau, Jambi dan
Sumatera Barat.
e. Penyelesaian Pelanggaran HAM selain pelanggaran HAM berat. (Kriminal biasa)
Dalam hubungan ini, semua kejahatan yang bukan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan, diselesaikan melalui pengadilan umum sesuai dengan hukum acara yang
berlaku diperadilan umum.
IMPLEMENTASI HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
KEWAJIBAN
a. APARAT
1) POLRI
Sesuai dengan peran Polri dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat, maka
dalam melaksanakan tugasnya tersebut Polri wajib dan bertanggung jawab melindungi,
menegakkan dan memajukan Hak Asasi Manusia (HAM). yakni:
a) Dalam rangka perlindungan dan pelayanan masyarakat, antara lain:
(1) Melayani laporan dan pengaduan terjadinya pelanggaran hukum termasuk pelanggaran
HAM.
(2) Memberikan perlindungan terhadap tempat-tempat yang telah dan diperkirakan dapat
menjadi sasaran pelanggaran HAM
b) Dalam rangka pembimbingan masyarakat, antara lain :
(1) Memberikan informasi kepada masyarakat dalam meningkatkan kesadaran hukum dan
pemahaman HAM.
(2) Mengarahkan dan mendayagunakan masyarakat agar menghormati hukum dan ketentuan
HAM.
(3) Membimbing, mendorong, mengarahkan dan menggerakkan unsur Satpam, Polsus dan
unsur potensi masyarakat lainnya untuk membantu Polri dalam penegakkan HAM.
c) Dalam kehidupan sehari-hari, antara lain :
(1) Melarang anggota masyarakat untuk tidak main hakim sendiri dalam menghadapi
pelanggaran HAM atau kejahatan yang terjadi di lingkungan masyarakat setempat.
(2) Memberi contoh/tauladan yang baik dalam kehidupan bermasyarakat seharhhari dengan
berperilaku yang baik dan sopan misalnya dalam menjalankan kendaraan bermotor dijalan
umum atau jalan raya dengan tidak mentang-mentang bahwa ia aparat kepolisian.
(3) Cepat tanggap dan membantu kesulitan yang terjadi di lingkungannya.
2) TNI Pada setiap bentuk pelibatan TNI, maka prajurit TNI wajib :
a) Menghormati Deklarasi Universal PBB tentang HAM.
b) Menghormati integritas individu dan martabat manusia dengan:
(1) Memberikan kesempatan pada masyarakat untuk melaksanakan hak-hak asasinya.
(2) Memberikan perlindungan terhadap masyarakat yang tidak mampu melindungi dirinya.
(3) Bersikap ramah tamah kepada masyarakat.
c) Melindungi nyawa, badan dan harta benda rakyat antara lain karena:
(1) Adanya ancaman, serangan terhadap kehormatan, jiwa dan harta benda sendiri maupun

orang lain.
(2) Terjadinya pembunuhan dan penganiayaan terhadap seseorang atau kelompok.
(3) Terjadinya pencurian, penjarahan, perampokan, pengrusakan dan pembakaran terhadap
bangunan dan harta benda rakyat.
d) Melakukan tindakan pembelaan diri.
Karena adanya serangan atau ancaman terhadap diri sendiri maupun orang lain, terhadap
kehormatan kesulitan atau harta benda sendiri maupun orang lain.
e) Dalam kehidupan sehari-hari antara lain :
1) Memberi pertolongan baik di llingkungan tugasnya maupun di tempat-tempat lain bila ada
orang/anggota masyarakat yang memerlukan pertolongan.
2) Sopan berkendaraan di jalan raya/umum, dengan mengikuti peraturan/rambu-rambu
lalulintas yang berlaku.
3) Dalam menggunakan fasilitas Rumah Tangga di-usahakan tidak mengganggu lingkungan
disekitarnya.
4) Ikut berpartisipasi dalam menjaga keamanan dan ketertiban di lingkungan masyarakat
dimana ia bertempat tinggal.
b. Masyarakat.
Masyarakat dalam hal ini meliputi setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi
masyarakat. lembaga swadaya masyarakat atau lembaga kemasyarakatan lainnya, mempunyai
kewajiban dalam rangka perlindungan, penegakan dan pemajuan HAM.
Dalam hubungan ini implementasinya dalam kehidupan sehari-hari antara lain:
1) Menahan diri apabila terjadi pertengkaran diantara sesama rekan atau tetangga dan
berupaya menyelesaikan pertengkaran tersebut dengan baik dan terhormat, serta jangan ikutikutan main hakim sendiri.
2) Melakukan kegiatan rumah tangga dengan tidak mengganggu ketenangan dan ketertiban
tetangganya.
3) Mentaati tata tertib lingkungan hidup sehari-hari di lingkungan masyarakat masingmasing.
4) Menghindari pertengkaran/adu fisik karena masing-masing merasa dirinya benar.
5) Jangan mengembangkan perselisihan antar anak menjadi perselisihan antar orang tua.
LARANGAN
Ketentuan-ketentuan dalam UU tentang HAM, tidak satupun boleh diartikan bahwa
pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak atau
menghapuskan HAM atau kebebasan dasar sebagaimana diatur dalam UU. siapapun tidak
dibenarkan mengambil keuntungan dan atau mendatangkan kerugian pihak lain dalam
mengartikan ketentuan dalam UU HAM yang mengakibatkan berkurangnya dan atau
hapusnya HAM yang dijamin dalam UU.
SUMBER BACAAN :
- fauzibowo.com
- dephan.go.id
- One.indoskripsi.com

Pemikiran
Jum'at, 04 Februari 1994 00:00
Budaya

INDIVIDU, NEGARA DAN IDEOLOGI

Pengantar Redaksi
Yayasan Soedjatmoko tanggal 3 Februari 1994 mengadakan Simposium Menyiapkan
Diri Menuju Abad XXI di Jakarta, pada acara Peringatan Soedjatmoko. Dua makalah
pada simposium tersebut, oleh Abdurrahman Wahid dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti,
dimuat Kompas di halaman 4, dan di halaman 5 dimuat tulisan Mohamad Sobary.

HUBUNGAN antara warga negara sebagai individu dan negara sebagai kolektivitas
pemerintahan kembali mencuat ke permukaan, sebagai isu perdebatan dan refleksi
pemikiran, dalam beberapa tahun terakhir ini. Manifestasi dari munculnya hal itu
tampak jelas dalam perdebatan yang berlangsung antara negara-negara berindustri
maju sebagai pemberi bantuan atau mitra dagang di satu pihak dan negara-negara
berkembang di pihak lain dalam tahun-tahun terakhir ini.
Negara-negara berindustri maju itu mensyaratkan penerapan hak-hak asasi manusia,
perlakuan lebih adil kepada kaum pekerja, bersihnya pemerintahan dari korupsi dan
lain-lain syarat lagi seperti itu. Demikian kerasnya tekanan demi tekanan dilancarkan
ke alamat negara-negara berkembang sehingga Indonesia terpaksa mendirikan badanbadan khusus formal atau semi-formal untuk memberikan responsi yang tidak
merugikan apa yang dirumuskan pemerintah sebagai 'kepentingan nasional' di satu
sisi dan apa yang dianggap mencukupi 'tuntutan-tuntutan baru dalam hubungan
internasional'. Contoh dari lembaga seperti ini adalah Komite Nasional Hak-Hak
Asasi Manusia (Komnasham).
Dilihat dari sudut pandang hubungan internasional, berubahnya perimbangan antara
hak-hak individu warga negara dan wewenang pemerintah di negara-negara
berkembang itu menunjukkan adanya pergeseran sikap kolektif dari bangsa-bangsa di
dunia secara keseluruhan, menuju ke sebuah tahap baru dalam perkembangan
peradaban umat manusia. Seolah-olah penutup abad ke-20 M, katakanlah dalam
dasawarsa 90-an ini, merupakan masa transisi kepada sebuah keberadaan umat
manusia (condition humine, untuk meminjam istilah Andre Malraux) pada sebuah
tataran yang baru sama sekali.
Setelah umat manusia, dalam sejarahnya yang panjang, menyaksikan penindasan dan
pengingkaran hak-hak asasi manusia sebagai sesuatu yang diterima secara umum,
maka kini seolah-olah sebuah fajar baru telah menyingsing, membawakan impian
sebuah masyarakat universal yang disifati oleh terpenuhinya harkat dan
martabat manusia secara utuh. Mungkin sebuah impian yang terlalu indah, tetapi
harapan akan masyarakat baru itulah yang menggerakkan berbagai tuntutan dan
gugatan yan dialamatkan kepada pemerintah semi-otoriter, otoriter dan totaliter di
hampir semua kawasan dunia. Bahkan keangkeran kekuasaan sebuah partai berukuran

raksasa, seperti Partai Komunis Cina, tidak membuat gentar hati mereka yang berdiri
menghadang tank-tank di lapangan Tiananmen beberapa tahun yang lalu.
***
BERBAGAI tuntutan dan gugatan yang diajukan terhadap jalannya pemerintahan,
yang tidak sejalan dengan undang-undang dasar banyak negara berkembang,
memaksakan kepada kita sejumlah pertanyaan mendasar yang harus segera di jawab.
Mengapakah semua proses itu dapat berlangsung saat ini, padahal seluruh sejarah
umat manusia memperlihatkan porsi penindasan dan pengingkaran hak-hak asasi
manusia sebagai hal yang dianggap umum? Apakah hal ini manusia tidak terperosok
lagi kepada kondisi lama yang berupa siklus penindasan oleh sang penguasa atas
rakyat yang tidak berdaya, seperti yang terjadi dengan impian indah yang pernah
diberikan oleh berbagai revolusi politik, setelah revolusi industri dua abad yang lalu,
dan setelah tercapainya kemerdekaan dan kedaulatan politik dari pemerintahan
kolonial di kalangan lebih dari seratus negara dalam kurun waktu 50 tahun terakhir
ini? Masihkah tersisa harapan akan sebuah peradaban baru bagi umat manusia, yang
dalam bahasa Pembukaan UUD 1945 dirumuskan sebagai masyarakat adil dan
makmur, setelah sekian lama apa yang sekarang dikenal sebagai 'negara-negara
berkembang' (developing nations) hidup dalam kegelapan yang berciri kebodohan,
kemiskinan, keterbelakangan dan ketidakberdayaan?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar itu mungkin dapat ditemukan secara
parsial dalam berbagai hasil pengamatan perkembangan keadaan di banyak negara
berkembang saat ini. Salah satunya adalah pencarian akan makna ideologi sebagai
kekuatan pengikat dalam hubungan antara warga negara secara perorangan maupun
kelompok di satu pihak dan negara di pihak lain.
Kedudukan ideologi dalam kehidupan bernegara dan berbangsa telah mengalami
perubahan mendasar, dengan runtuhnya Komunisme sebagai kekuatan penopang yang
menyangga Uni Soviet selama lebih dari 70 tahun dan menjadikannya kekuatan
tandingan bagi negara adikuasa Amerika Serikat dan persekutuan Eropa Barat selama
sekitar empat dasawarsa. Yang tersisa dari Komunisme sekarang hanyalah sebuah
kerangka untuk memelihara kekuasaan politik monolit yang semakin hari semakin
direpoti oleh dampak liberalisasi ekonomi dan perekonomian pasar terbuka (openmarket economy) di hampir semua bidang kehidupan. Bahwa Partai Komunis Cina
harus melakukan kompromi yang semakin hari semakin memperlemah dominasinya
atas politik dalam negeri, menunjukkan bahwa Komunisme telah bertekuk lutut di
hadapan Kapitalisme. Dengan demikian, salah satu pembenaran bagi terselenggaranya
pemerintahan otoriter, yaitu adanya keperluan akan birokrasi yang kuat dan sistem
politik yang menerapkan keseragaman sikap dan pandangan sebagai persyaratan bagi
kemajuan, menjadi tertolak dengan sendirinya.

Keabsahan Otoriterisme itu sendiri sebenarnya lalu menjadi tidak relevan, karena
Komunisme sebagai ideologi dunia (universal ideology) sudah kehilangan daya
pemaksaan (co-orcive authority) yang melekat pada dirinya. Kalau ideologi adikuasa
seperti Komunisme saja sudah tidak mampu memaksakan kehendak atas rakyat, apa
pula yang dapat dilakukan oleh ideologi-ideologi lain yang tidak seperkasa ideologi
Marxis-Leninis tersebut?
***
TERNYATA kehancuran ideologi adikuasa yang bersifat otoriter, seperti Komunisme,
tidaklah dengan sendirinya membawakan era baru dalam kehidupan politik negaranegara berkembang, yaitu era pemerintahan yang tidak otoriter. Bahkan sebaliknya,
upaya mengokohkan sistem politik yang otoriter dilakukan dengan cara yang semakin
gigih di banyak negara berkembang.
Salah satu dampak sampingan dari kehancuran Komunisme, yaitu merapuhnya sistem
pemerintahan berlingkup negara-negara (nation-state) dan terkeping-kepingnya
sejumlah negara bangsa menjadi entitas kecil-kecil yang berlandaskan kesatuan etnis
dan kesatuan-kesatuan sub-nasion lainnya, justru memunculkan kebutuhan penguatan
kekuasaan birokrasi di sejumlah negara berkembang. Secara canggih, kemasan yang
digunakan untuk mempertahankan kekuasaan otoriter dibuat sedemikian indah, guna
memungkinkan penerimaannya secara luas. Ketika sikap mengutamakan kedaulatan
politik suatu bangsa atas negerinya sendiri tidak lagi mampu membendung berbagai
gugatan dan tuntutan akan kebebasan, dikembangkanlah pham-paham atau pemikiranpemikiran seperti relativitas budaya.
Menurut pandangan ini, suatu bangsa hanya dapat dipertahankan manakala watak
dasar bangsa itu sendiri dapat dilestarikan. Watak dasar integralistik yang dimiliki
bangsa kita, umpamanya, merupakan salah satu argumen yang senantiasa
dikemukakan untuk menolak keabsahan gagasan kebebasan politik penuh bagi warga
negara di hadapan kekuasaan pemerintah.
Dikesankan dengan cara demikian, Indonesia sebagai sebuah negara bangsa akan
terancam pengepingan dan terbenam dalam kekacauan apabila tidak menempuh
sistem politik yang berlandaskan paham integralistik. Liberalisme dan demokrasi
liberal, sebagai tandingan bagi sistem integralistik, lalu diangkat menjadi momok
yang menakutkan bagi bangsa kita dan bahaya yang mengancam kelestarian hidup
kita.
Lebih jauh lagi, tuntutan akan kebebasan dan desakan untuk menerapkan hak-hak
asasi manusia, lalu disamakan begitu saja dengan Liberalisme sebagai paham dan
demokrasi liberal sebagai cara penerapan paham tersebut.

Paham integralistik yang sedang menghadapi tuntutan dan gugatan di atas, lalau
berpretensi menjadi pelindung aliran-aliran primordial dan cara hidup unik yang telah
dikembangkan bangsa kita selama ini. Hak-hak asasi manusia yang bersifat universal,
yang dianggap sebagai paksaan dari Barat, lalu dihadapkan kepada unikum yang
bernama Hukum Islam.
Beberapa sisi dari Hukum Islam, yang memang berbeda dari atau berlawanan dengan
hak-hak asasi manusia yang universal itu, seolah-olah sudah menjadi aksioma yang
tidak menerima penafsiran ulang lagi. Padahal kajian mendalam justru menampilkan
luasnya bentangan-bentangan penafsiran ulang yang dapat dilakukan terhadap
rumusan-rumusan Hukum Islam tentang hak-hak asasi manusia.
Bahwa kehendak Allah apat dirumuskan melalui kehendak kolektif umat manusia
adalah salah satu di antar watak dasar kehidupan yang dapat disumbangkan kaum
muslimin kepada peradaban umat manusia. Dengan upaya yang dilakukan oleh para
pakar atas sejumlah unikum yang dianggap telah diwakili oleh sistem politik
integralistik yang digunakan di negeri ini, menjadi terbukti bahwa Partikularisme
tidak layak lagi dipertimbangkan sebagai penyusunan doktrin politik yang mewarnai
kehidupan bangsa. Justru sebaliknya, berbagai unikum yang ada akan saling
berbenturan apabila dilayani oleh sistem pemerintahan masing-masing secara khusus.
Partikularisme akan memperlunak kehadiran negara bansa dalam kehidupan kita.
Demikian pula dengan tradisi-tradisi kultural, etnis dan keagamaan lainnya yang
dihadapkan sebagai entitas-entitas partikular kepada hak-hak asasi manusia yang
universal. entitas-entitas partikular kepada hak-hak asasi manusia yang universal.
***
KECENDERUNGAN menakankan hal-hal partiular atas universalitas hak-hak asasi
manusia dan relativitas kultural atas mutlaknya tuntutan akan kebebasan sebenarnya
merupakan pengalihan perhatian dari keharusan menciptakan kerangka
kemasyarakatan dan keagamaan yang cukup tangguh untuk mempertahankan capaiancapaian yang telah dihasilkan di berbagai bidang pembangunan, sementara kesiapan
untuk melakukan finalisasi bentuk-bentuk pemerintahan yang sesuai dengan
kebutuhan masa depan belum dapat dituntaskan.
Dengan ungkapan lain, elit yang sedang berkuasa belum mampu menciptakan tradisi
politik yang cukup kuat untuk mempertemukan perbedaan-perbedaan pendapat yang
terjadi di antara pusat-pusat kekuasaan (power centers) yang terlibat dalam percaturan
politik, tanpa menimbulkan kegoncangan dalam kehidupan bangsa. Perubahan
personalia pemerintahan masih cenderung berbentuk perubahan sistem pemerintahan.
Karenanya akan selalu ada keengganan untuk melepaskan kendali atas jalannya roda
pemerintahan kepada

pihak yang lain.


Salah satu dari manifestasi sikap itu adalah kecenderungan kuat untuk menolak
kehadiran pihak oposisi dalam lembaga perwakilan rakyat di negara-negara
berkembang. Kalau oposisi diperkenankan, seperti di Malaysia dan Singapura, segala
macam aturan yang sebenarnya bersifat ekstra-konstitusional bagi pihak oposisi untuk
memenangkan pemilihan umum.
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa masalah hak-hak individual warga negara,
yang sebenarnya merupakan aturan-aturan yang membatasi kekuasaan negara dalam
hubungan eksternalnya dengan masyarakat, telah ditarik langsung ke dalam lingkup
percaturan internal di antara pusat-pusat kekuasaan yang ada. Sudah tentu menjadi
tidak mungkin diterima obyektivitas hak-hak individual itu oleh subyektivitas
kepentingan pihak pemegang kekuasaan.
Kedewasaan sistem pemerintahan di kebanyakan negara berkembang sebenarnya
sangat ditentukan oleh kemampuan membedakan hal-hal yang secara inherent harus
diterima sebagai kenyataan obyektivif, dan memisahkannya dari posisi subyektif para
pemegang kekuasaan.
***
SEBAGAIMANA dikemukakan di atas, upaya mengokohkan pemerintahan otoriter
dan semi-otoriter, seperti yang terjadi di negeri kita saat ini, adalah salah satu jawaban
terhadap irrelevansi ideologi-ideologi universal, seperti Komunisme, di hadapan
kekuatan ekonomi kapitalistik yang berwajah ekonomi pasar bebas. Kalau sudah
negara-bangsa adikuasa seperti Uni Soviet tidak terhindar dari desintegrasi dengan
bertumpu kepada sebuah ideologi universal, sudah tentu harus ada substitusi ideologis
yang dijadikan tumpuan bagi kelanjutan konsep negara-negara itu. Salah satu
substitusi yang ditampilkan adalah ideologi nasional yang difungsikan sebagai
pemersatu seluruh unsur-unsur kehidupan bangsa dan sekaligus pemberi legitimasi
bagi sistem pemerintahan yang ada.
Kedudukan ideologi yang berlingkup nasional seperti itu, termasuk di dalamnya
Pancasila sebagai 'ideologi nasional' bangsa kita menjadi sangat sentral dalam
kehidupan bangsa dan negara. Ia merupakan ikatan formal yang diturunkan dari
Pembukaan maupun Batang Tubuh Undang-Undang Dasar, dan kemudian
dikembangkan terlepas dari keseluruhan Undang-Undang Dasar itu sendiri. Dalam
kerangka seperti ini ideologi lalu dikembangkan menurut visi dan kebutuhan sesaat
dari sistem pemerintahan yang ada. Seringkali denga mengingkari rumusan-rumusan
dan semangat Undang-Undang Dasar yang menjadi sumber
asalnya.

Undang-undang dan peraturan-peraturan yang dibuat atas nama ideologis nasional


yang dikembangkan terlepas dari ketentuan harfiah dan semangat undang-undang
dasar, dengan demikian lalu berfungsi sebagai organ dari ideologi nasional itu, dan
oleh karenanya tidak boleh ditinjau dari sudut pandang Pembukaan dan Batang Tubuh
Undang-Undang Dasar itu sendiri.
Kontradiksi mendasar antara undang-undang dasar di satu pihak, dan ideologi
nasional sebagai perangkat derivatif yang menafsirkannya dalam jabaran-jabaran
lebih lanjut di pihak lain, dengan demikian lalu menjadi tidak terelakkan lagi. Guna
memberikan legitimasi bagi penerapan ideologi negara dengan cara seperti itu, mau
tidak mau lalu memaksa pihak pemegang kekuasaan untuk melakukan upaya
ideologisasi segenap bidang kehidupan secara massif dan intensif.
Indoktrinasi sebagai sebuah proses ideologisasi dilangsungkan secara besar-besaran,
terutama dengan menampilkan dua sisi yang saling berbeda. Di satu sisi, dilakukan
penggalian atas nilai-nilai luhur bangsa, yang kemudian dilekatkan kepada ideologi
nasional sebagai 'bukti' dari relevansi ideologi nasional itu sendiri bagi kehidupan
bangsa. Di sisi lain, dilakukan upaya untuk melakukan teorisasi yang baku dan
konseptualisasi yang menyeluruh atas cakupan-cakupan nasional itu dalam
kehidupan. Dengan ungkapan lain, nilai-nilai ukur yang sudah dianggap baku ternyata
masih harus dikembangkan dalam sebuah proses pembakuan, yang tentunya
merupakan perkembangan yang saling bertolak belakang.
Dengan terjadinya kecenderungan perkembangan berlingkar antara dua proses
pembakuan di atas, artikulasi dari proses ideologisasi itu sendiri lalu kehilangan
makna dan kejalasan pengertian, sehingga yang tertinggal hanyalah proses
ideologisasi sebagai pemberian legitimitas kepada sistem pemerintahan yang ada.
Dengan demikian ideologi lalu hanya berfungsi sebagai pembenaran kebijakan para
pemegang kekuasaan, dan sangat kurang berfungsi sebagai alat pelestarian persatuan
dan kesatuan bangsa.
***
BERFUNGASINYA ideologi dalam konteks sangat terbatas seperti digambarkan di
atas, dan berlangsungnya proses ideologisasi yang tidak punya makna banyak bagi
kehidupan bangsa, dengan sendirinya membuat bertambah lebarnya kawasan kosong
bagi rakyat, yang seharusnya di isi oleh pengembangan hak-hak para warga negara
yang menjadi kebutuhan obyektif bagi seluruh bangsa. Tanpa pemenuhan hak-hak
individual para warga negara secara tuntas, sebagaimana telah dijamin oleh
Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar, proses ideologisasi hanya akan
semakin menghilangkan kepercayaan rakyat kepada sistem pemerintahan yang ada.
Ideologi yang luhur dan mulia, ternyata tidak diwujudkan dalam perilaku
pemerintahan yang sesuai dengan tujuan dan semangat Undang-Undang Dasar, yaitu

berlangsungnya pemerintahan yang memiliki kewenangan terbatas dalam mengatur


kehidupan masyarakat. Negara lalu tampak sebagai kekuasaan pihak yang
memerintah, bukannya sebagai pelaksanaan sistem pemerintahan yang bercirikan
kedaulatan hukum.
Jelaslah dari apa yang diuraikan di muka, bahwa hubungan antara individu dan negara
berlangsung dalam sebuah pola yang sangat rumit, yang lebih bertambah rumit lagi
ketika proses ideologisasi dilaksanakan secara besar-besaran. Terjadi tumpang tindih
wewenang, tugas dan tanggung jawab antara ideologi dan undang-undang dasar
sebagai instrumen utama berlangsungnya kehidupan bernegara dan berbangsa.
Keadaan tumpang tindih itu akan semakin mempersulit upaya mendekatkan
kenyataan kepada cita-cita perjuangan semula. Apakah keadaan semacam ini, yang di
satu pihak mengacu kepada lebih menguatnya kekuasaan negara atas kerugian hakhak individual warga negara dan di pihak lain semakin melemahnya posisi undangundang dasar dihadapan ideologi nasional itu sendiri, akan berakibat pada proses lebih
lanjut semakin melemahnya kohesi bangsa dan relevansi wawasan negara-bangsa,
masih belum dapat diterka pada saat ini. Sejarahlah yang akan memberikan jawaban,
seperti selalu terbukti selama ini.

A. PENGERTIAN DAN HAKEKAT HAM.


a. Pengertian HAM
HAM adalah hak yang melekat pada diri manusia dari sifat kodrati dan fundamental
sebagai suatu anugerah Allah yang harus di hormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap
individu masyarakat dan negara.
b. Hakekat HAM
Merupakan upaya menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi
keseimbangan yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban serta keseimbangan antara
kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum, begitu juga upaya dalam menghormati
melindungi dan menjunjung tinggi HAM menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama
antara individu pemerintah (Aparatur Pemerintah baik sipil maupun militer) dan negara
B. PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HAM
Perkembangan pemikiran HAM dunia bermula dari :

a. Magna Charta.
b. The American Declaration.
c. The French Declaration.
d. The Four Freedom.
Perkembangan pemikiran HAM dibagi dalam empat generasi :
Generasi pertama : pengertian HAM hanya berpusat pada bidang hukum dan politik,
fokus pemikiran HAM generasi pertama pada bidang hukum dan politik disebabkan oleh
dampak dan situasi perang dunia II totaliterisme dan adanya keinginan negara-negara yang
baru merdeka untuk menciptakan suatu tertib hukum yang baru.
Generasi kedua : pemikiran HAM tidak saja menuntut hak yudiritas melainkan juga
hak-hak sosial, ekonomi, politik dan budaya.
Generasi ketiga : keadilan dan pemenuhan hak asasi haruslah dimulai sejak mulainya
pembangunan itu sendiri, bukan setelah pembangunan itu selesai agaknya pepatah kuno
Justice Delayed, Justice Deny tetap berlaku untuk kita semua.
Generasi keempat : pemikiran HAM generasi keempat dipelopori oleh negara-negara di
kawasan Asia yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi hak asasi manusia yang
disebut Declaration of The Basic Duties of Asia People And Government. Deklarasi
ini lebih maju dari rumusan generasi ketiga, karena tidak saja mencakup tuntutan
struktural tetapi juga berpihak kepada terciptanya tatanan sosial yang berkeadilan.
C. PERKEMBANGAN PENEGAKAN HAM DI INDONESIA
Perkembangan penegakan HAM di Indonesia rasanya semakin baik. Ini didorong
pertumbuhan pemahaman HAM secara internasional. Dulu, penegakan HAM itu lebih
bersifat soft law. Tetapi, perkembangan di dunia internasional kini justru mengarah menjadi
hard law.
Di tingkat dunia nanti, akan dibentuk International Criminal of Court. Bila ada
lembaga ini, salah satu kejahatan yang akan diadili, adalah pelanggaran HAM. Yang perlu di

khawatirkan adalah, nanti seseorang yang langsung melanggar HAM di Indonesia, keluar
negeri bisa ditangkap dan diadili di peradilan kriminal internasional itu.
Jadi sekalipun lambat, tetapi secara terencana kita harus mulai meratifikasi konvensi
mengenai HAM. Kalau konvensi internasional itu diratifikasi memang akan muncul
persoalan mengenai kedaulatan negara kita. Seorang anggota Komisi HAM PBB pun bisa
masuk ke Indonesia dan melakukan investigasi. Namun ini bukan alasan bagi kita, untuk
tidak segera meratifikasi konvensi PBB.
Yang perlu segera diratifikasi, adalah konvensi yang menyangkut hak ekonomi, sosial,
dan budaya masyarakat. Konvensi yang menyangkut sipil dan politik baru berikutnya, karena
kita harus siap lebih dahulu, sehingga kedaulatan kita tidak dilanggar. Apabila kita belum siap
dan sudah meratifikasi konvensi itu nanti bisa malu.
Menurut Prof Dr Muladi mau diakui atau tidak, kinerja Komnas HAM selama ini
banyak menyelamatkan muka diplomat kita di luar negeri. Artinya, banyak membantu
diplomasi, menciptakan image yang positif. Sebab sering kali berita yang dilansir media luar
negeri, banyak didramatisir serta menyudutkan Indonesia dalam masalah penghormatan
HAM.
Di samping itu, Komnas HAM sungguh berusaha menyebarluaskan wawasan tentang
HAM, melakukan pemantauan, pendidikan HAM, serta melakukan hubungan luar negeri.
Dengan demikian, kita telah memiliki suatu lembaga yang betul-betul obyektif untuk menilai
masalah HAM ini. Komnas HAM juga telah mendorong semua orang, baik sipil atau ABRI
kini mulai bicara tentang HAM. Soal pelanggaran HAM di mana-mana memang tetap terjadi.
Namun yang sungguh diharapkan, adalah rencana aksi nasional tentang HAM yang disebut
sebagai the nation plan of action perlu segera dirumuskan. Ini penting, antara lain
mengenai rencana pembentukan Tap MPR tentang HAM, yang merupakan ketetapan MPR
non Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
D. BENTUK-BENTUK HAM.
HAM menurut Prof. Bagir Manan terbagi pada beberpa kategori yaitu: hak sipil, hak
politik, hak ekonomi, hak sosial dan budaya. Hak sipil terdiri dari hak diperlakukan sama
dimuka hukum, hak bebas dari kekerasan, hak khusus bagi kelompok anggota masyarakat
tertentu dan hak hidup dan kehidupan. Hak politik terdiri dari kebebasan berserikat dan

berkumpul, hak kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan hak
menyampaikan pendapat dimuka umum. Hak ekonomi terdiri dari hak jaminan sosial, hak
perlindungan kerja, hak perdagangan, dan hak pembangunan berkelanjutan. Hak sosial
budaya terdiri dari hak memperoleh kesehatan, dan hak memperoleh perumahan dan
pemukiman.
Sedangkan Prof. Baharudin Lopa mambagi HAM menjadi beberapa jenis yaitu hak
persamaan dan kebebasan, hak hidup, hak memperoleh perlindungan, hak penghormatan
pribadi, hak menikah dan berkeluarga, hak wanita sederajat dengan pria, hak anak dari orang
tua, hak memperoleh pendidikan, hak kebebasan memilih agama, hak kebebasan bertindak
dan mencari suaka, hak untuk bekerja, hak memperoleh kesempatan yang sama, hak milik
pribadi, hak menikmati hasil atau produk ilmu, hak tahan dan narapidana.
Dalam Deklarasi Universal tentang HAM (Universan Declaration of Human Rights) atau
yang dikenal dengan istilah DUHAM, hak Asasi Manusia terbagi kedalam beberapa jenis,
yaitu hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi), hak legal (hak jaminan perlindungan
hukum), hak sipil dan politik, hak subtistensi (hak jaminan adanya sumber daya untuk
menunjang kehidupan) serta hak ekonomi, sosial dan budaya.
Hak personal, hak legal, hak sipil dan politik yang terdapat dalam pasal 3 21 dalam
DUHAM tersebut memuat:
1. hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi;
2. hak bebas dari perbudakan dan penghambaan;
3. hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan maupun hukuman yang kejam, tak
berprikemanusiaan maupun merendahkan derajat kemanusiaan;
4. hak untuk memperoleh pengakuan hukum dimana saja secara pribadi;
5. hak untuk pengakuan hukum secara efektif;
6. hak bebas dari penangkapan, penahanan atau pembuangan yang s ewenag-wenang;
7. hak untuk peradilan yang independen dan tidak memihak;

8. hak untuk praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah;


9. hak bebas dari campur tangan yang sewenang-wenang terhadap kekuasaan pribadi,
keluarga, tempat tinggal maupun surat-surat;
10. hak bebas dari serangan terhadap kehorkehormatan dan nama baik;
11. hak atas perlindungan hukum terhadap serangan semacam itu;
12. hak bergerak;
13. hak memperoleh suaka;
14. hak atas suatu kebangsaan;
15. hak untuk menikah dan membentuk keluarga;
16. hak untuk mempunyai hak milik;
17. hak bebas berpikir, dan berkesadaran dan beragama;
18. hak bebas berpikir dan menyatakan pendapat;
19. hak untuk berhimpun dan berserikat;
20. hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan dan hak atas akses yang sama
terhadap pelayanan masyarakat.
Sedangkan hak ekonomi, sosial dan budaya berdasarkan pada pernyataan DUHAM
menyangkut hal-hal sebagai berikut, yaitu:
1. hak atas jaminan sosial;
2. hak untuk bekerja;
3. hak atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama;
4. hak untuk bergabung dalam serikat-serikat buruh;

5. hak atas istirahat dan waktu senggang;


6. hak atas standar hidup yang pantas dibidang kesehatan dan kesejahteraan;
7. hak atas pendidikan;
8. hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang berkebudayaan dari masyarakat.
Sementara itu dalam UUD 1945 (amandemen I IV UUD1945) memuat hak asasi
manusia yang terdiri dari hak :
1. hak kebebasan untuk mengeluarkan pendapat;
2. hak kedudukan yang sama di dalam hukum;
3. hak kebebasan berkumpul;
4. hak kebebasan beragama;
5. hak penghidupan yang layak;
6. hak kebebasan berserikart;
7. hak memperoleh pengajaran atau pendidikan;
Selanjutnya secara operasional beberapa bentuk HAM yang terdapat dalam undang
UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM sebagai berikut:
1. hak untuk hidup;
2. hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan;
3. hak mengembangkan diri;
4. hak memperoleh keadilan;
5. hak atas kebebasan pribadi;
6. hak atas rasa aman;

7. hak atas kesejahteraan;


8. hak urut turut serta dalam pemerintahan;
9. hak wanita;
10. hak anak.
E. NILAI-NILAI HAM: UNIVERSAL DAN PARTIKULAR.
Perdebatan tentang nilai-nilai HAM apakah universal (artinya nilai-nilai HAM
berlaku umum di semua negara) atau partikular (artinya nilai-nilai ham sangat konstekstual
yaitu mempunyai kekhususan dan tidak berlaku untuk setiap negara karena ada keterikatan
dengan nilai-nilai kultural yang tumbuh dan berkembang pada suatu negara) terus berlanjut.
Berkaitan dengan nilai-nilai HAM, adatiga teori yang dapat dijadikan kerangka analisis yaitu
teori realitas (realistic theory), teori relativisme kultural (cultural relativision theory) dan
teori radikal universalisme (radical universalism).
Teori realitas mendasari pendangannya pada asumsi adanya sifat manusia yang
menekankan self interest dan egoisme dalam bertindak anarkis. Dalam situasi anarkis,
seseorang mementingkan dirinya sendiri, sehingga menimbulkan chaos dan tindakan tidak
manusiawi diantara individu dalam memperjuangkan egoisme dan self interest-nya. Dengan
demikian, dalam situasi anarkis prinsip universalitas moral yang dimiliki setiap individu tidak
dapat berlaku dan berfungsi. Untukmengatasi situasi demikian negara harus mengambil
tindakan berdasarkan power dan security yang dimiliki dalam rangka menjaga kepentingan
nasional dan keharmonisan sosial dibenarkan. Tindakan yang dilakukan negara yang seperti
diatas tidak termasuk dalam kategori tindakan pelanggaran HAM oleh negara.
Sementara itu teori relativitas kultural berpandangan bahwa nilai-nilai moral dan budaya
bersifat partikular (khusus). Halini berarti bahwa nilai-nlai moral HAM bersifat lokaldan
spesifik, sehingga berlaku khusus pada suatu negara.dalamkaitanya dengan penegakan HAM,
menurut teori ini ada tiga modelpenerapan HAM yaitu:
1. penerapan HAM yang lebih menekankan pada haksipil, hak politik, dan hak
kepemilikan pribadi;
2. penerapan HAM yang lebih menekankan pada hak ekonomi dan sosial;

3. Penerapan HAM yang lebih menekankan pada hak penentuan nasib sendiri (self
administration) dan pembangunan ekonomi.
Model pertama banyak dilakukan oleh negara-negara yang tergolong dunia maju,
model kedua banyak diterapkan di dunia berkembang untuk model ketiga banyak dite
rapkan di dunia terbelakang. Selanjutnya, teori radikal universalitas berpandangan
bahwa semua nilai termasuk nilai-nilai HAM adalah be rsifat universal dan tidak
sejarah suatu negara. Kelompok radikal universal menganggap bahwa ada satu paket
pemahaman mengenai HAM bahwa nilai-nilai HAM berlaku sama di semua tempat
dan disembarang waktu serta dapat diterapkan pada masyarakat yang mempunyai
latar belakang budaya dan sejarah yang berbeda. Dengan demikian pemahaman dan
pengakuan terhadap nilai-nilai HAM berlakuk sama dan universal bagi semua negara
dan bangsa.
Dalam kaitan dengan ketiga teori tentang nilai-nilai HAM itu ada dua arus pemikiran
atau pandangan yang saling tarik menarik dalam melihat relativitas nilai-nilai HAM
yaitu strong relativist dan weak relativist. Strong relativist beranggapan bahwa nilai
HAM dan nilai-nilai HAM lokal (partikular) dan nilai-nilai HAM yang universal.
Sementara Weak relativist memberi penekanan bahwa nilai-nilai HAM bersifat
universal dan sulit untuk dimodifikasi berdasarkan pertimbangan budaya tertentu.
Berdasarkan pandangan ini nampak tidak adanya pengakuan terhadap nilai-nilai
HAM lokal melainkan hanya mengakui adanya nilai-nilai HAM universal.
F. HAM DALAM PRESPEKTIF ISLAM.
Islam sebagai sebuah agama dengan ajaranya yang universal dan komprehensif
meliputi akidah, ibadah, dan mu,amalat, yang masing-masing memuat ajaran tentang
mekanisme pengabdian manusia terhadap Allah; dengan memuat ajaran tentang hubungan
manusia dengan sesama manusia maupun dengan alam sekitar. Kesemua dimensi ajaran
tersebut dilandasi oleh ketentuan-ketentuan yang disebut dengan istilah syariat dan fikih
itulah terdapat ajaran tentang hak asasi manusia (HAM). Adanya ajaran tentang HAM dalam
Islam menunjukkan bahwa Islam sebagai agama telah menempatkan manusia sebagai
makhluk terhormat dan mulia. Karena itu, perlindungan dan penghormatan terhadap manusia
merupakan tuntutan dari ajaran Islam itu sendiri yang wajib dilaksanakan oleh umatnya
terhadap sesama manusia tanpa kecuali.

Menurut Maududi, HAM adalah hak kodrati yang dianugerahkan Allah SWT, kepada
setiap manusia yang tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh kekuasaan atau badan apapun.
Hak-hak yang diberikan Allah itu bersifat permanen, kekal dan abadi tidak boleh diubah atau
dimodifikasi Abu Ala al-Maududi, 1998). Dalam Islam terdapat dua konsep hak, yakni hak
manusia (haq al Insan) dan hal Allah. Setiap hak itu saling melandasi satu sama lain. Hak
Allah melandasi hak manusia hak manusia dan juga sebaliknya. Dalam aplikasinya, tidak ada
satupun hak yang terlepas dari kedua hak tersebut, misalnya, shalat. Manusia tidak perlu
campur tangan untuk memaksakan seseorang mau shalat atau tidak, karena shalat merupakan
hak Allah, maka tidak ada kekuatan duniawi apakah itu negara, organisasi ataupun teman
yang berhak mendesak seseorang untuk melakukan shalat. Shalat merupakan urusan pribadi
yang bersangkutan dengan Allah. Meskipun demikian dalam shalat itu ada hak individu
manusia yaitu berbuat kedamaian antar sesamanya.
HAM dalam Islam sebenarnya bukan barang asing, karena wacana dalam HAM
dalam Islam lebih awal dibandingkan dengan konsep atau ajaran agama yang lainya. Dengan
kata lain, Islam datang secara inheren membawa ajaran tentang HAM. Sebagai mana
dikemukakan oleh Maududi bahwa ajaran tentang HAM yang terkandung dalam piagam
Magna Charta tercipta 600 tahun setelah kedatangan Islam. Selain itu, juga diperkuat oleh
pandangan Weeramantry bahwa pemikiran Islam mengenai hak-hak di bidang sosial,
ekonomi dan budaya telah jauh mendahului pemikiran barat. Ajaran Islam tentang HAM
dapat dijumpai dalam sumber utama ajaran Islam yaitu Al Quran dan Hadits yang
merupakan sumber ajaran normatif, juga terdapat dalam praktik kehidupan umat manusia.
Tonggak sejarah kepemihakan Islam terhadap HAM, yaitu pada pendeklarasian Piagam
Madinah yng dilanjutkan dengan Deklarasi Kairo (Cairo Declaration)
Dalam piagam Madinah paling tidak ada dua jaran pokok yaitu: semua pemeluk Islam
adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku bangsa dan hubungan antar komunitas
muslim dengan non muslim didasarkan pada prinsip:
a. berinteraksi secara baik dengan sesama tetangga;
b. saling membantu dalam menghadapi musuh bersama;
c. membela meraka yang teraniaya;

d. saling menasehati;
e. menghormati kebebasan beragama.
Dilihat dari tingkatnya, ada tiga bentuk hak asasi manusia dalam Islam.pertama, hak
daruri (hak dasar).sesuatu dianggap hak dasar apabila hak tersebut dilanggar, bukan hanya
membuat manusia sengsara,tetapi juga hilang eksistensinya, bahkan nhilang harkat
kemanusiaanya. Kedua, hak sekunder (hajy), yaitu hak-hak yang apabila tidak dipenuhi akan
berakibat pada hilangnya hak-hak elementer, misalnya , hak seseorang untuk memperoleh
sandang pangan yang layak, maka akan mengakibatkan hilangya hak hidup. Ketiga hak
tersier (tahsiny) yakni hak yang tingkatanya lebih rendah dari hak primer dan sekunder.
G. PELANGGARAN DAN PENGADILAN HAM.
Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang
termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi,
menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok
orang yang dijamin oleh undang-undang, dan tidak didapatkan , atau dikhawatirkan tidak
akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum
yang berlaku (UU No.26/2000 tentang pengadilan HAM). Pelanggaran ham dikelompokkan
pada dua bentuk yaitu: pelanggaran HAM berat dan pelanggaran ham ringan. Pelanggaran
HAM berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan (UU. No. 26/2000
tentang pengadilan HAM). Sedangkan bentuk pelanggaran HAM ringan selain dari bentuk
pelanggaran HAM berat.
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok
etnis, dan kelompok agama. Kejahatan genosida dilakukan dengan cara membunuh anggota
kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggotaanggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secayra fisik baik seluruh atau sebagianya. Memaksakan tindakan-tindakan yang
bertujuan mencegah kelahiran didalam kelompok, dan memindahkan secara paksa anak-anak
dari kelompok-kelompok tertentu ke kelompok yang lain (UU No. 26/2000 tentang
pengadilan HAM).

Sementara itu kejahatan kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai
bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut
di tujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan, pemusnahan,
perbudakan, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar(asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional.
Pelanggaran terhadap hak asasi manusia dapat dilakukan baik oleh aparatur negara maupun
bukan aparatur negara (UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM). Karena itu penindakan
terhadap pelanggaran hak asasi manusia tidak boleh hanya ditujukan kepada aparatur negara,
tetapi juga pelanggaran yang dilakukan oleh bukan aparatur negara. Penindakan terhadap
pelanggaran hak asasi manusia tersebut dilakukan melalui proses peradilan hak asasi manusia
mulai dari penyelidikan, penuntutan dan persidangan terhadap pelangaran yang terjadi harus
bersifat non-diskriminatif dan berkeadilan. Pengadilan HAM merupakan pengadilan kusus
yang berada di lingkungan pengadilan umum.
Mengenai pelanggaran hak asasi manusia dalam kategori berat seperti genocida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan yang berdasarkan hukum internasional dapat digunakan asas
retroaktif, diberlakukan pasal mengenai kewajiban untuk tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang sebagaimana tercantum dalam pasal 28 ayat (2) UndangUndang Dasar 1945 yang berbunyi:
Dalam menjalankan hak dan kebebasan setiap orang wajib tunduk
kepada pembatas yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan

dan

ketertiban

umum

dalam

suatu

masyarakat

demokratis.
Dengan ungkapan lain asas retrokatif dapat diberlakukan dalam rangka melindungi
hak asasi manusia itu sendiri berdasarkan pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
tersebut. Oleh karena itu Undang-Undang ini mengatur pula tentang pengadilan HAM ad hoc
untuk memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
terjadi sebelum diundangkanya Undang-Undang ini. Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas

usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden
dan berada dilingkungan pengadilan umum.
Disamping adanya pengadilan HAM ad hoc, Undang-Undang ini menyebutkan juga
keberadaan komisi kebenaran dan rekonsiliasi sebagaimana dimaksud dalam ketetapan MPRRI No.V /MPR/2000 tentang pemantapan persatuan dan kesatuan Nasional. Komisi
kebenaran dan rekonsiliasi yang akan dibentuk dengan Undang-Undang sebagai lembaga
ekstra-yudisial yang ditetapkan dengan Undang-Undang yang bertugas untuk menegakkan
kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi
manusia dimasa lampau. Sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang
berlaku dan melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai
bangsa.
Pengadilan HAM berkedudukan di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah
hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan. Untuk daerah kusus
ibukota Jakarta, pengadilan HAM berkedudukan din setiap wilayah pengadilan negara yang
bersangkutan. Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pengadilan HAM juga berwenangmemeriksa dan
memutuskan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berada dan dilakukan diluar batas
teritorian wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. Pengadilan HAM
tidak berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang
berat yang dilakukan oleh anak yang berumur dibawah 18(delapan belas) tahun pada saat
kejahatan dilakukan. Dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh
proses pengadilan melalui hukum acara pengadilan HAM sebagaimana ynag terdapat dalam
Undang-Undang pengadilan HAM.
H. PENANGGUNG JAWAB DALAM PENEGAKAN, PERLINDUNGAN, DAN
PEMENUHAN HAM DI INDONESIA.
Tanggung jawab pemajuan, penghormatan, dan perlindungan HAM tidak saja di
bebankan kepada negara melainkan juga kepada individu warga negara. Artinya negara dan
individu sama-sama memiliki tanggung jawab terhadap pemajuan penghormatan dan
perlindungan HAM.
Dalam kaitanya dengan individu tersebut, mickelmengajukan tiga alasan:

4. Sejumlah besar problem HAM tidak hanya melibatkan aspek pemerintah tetapi juga
kalangan swasta atau kalangan diluar negara, dalam halini adalah rakyat.
5. HAM sejatinya bersandar pada pertimbangan-pertimbangan normatif agar umat manusia
diperlakukan dengan human-dignity-nya.
6. Individu memiliki tanggung jawab atas dasarprinsip-prinsip demokrasi dimana setiap
orang memiliki kewajiban-kewajiban atau ikut mengawasi tindakan pemerintah. Dalam
masyarakat demokratis, sesuatu yang menjadi kewajiban pemerintah juga menjadi
kewajiban rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
Kaelani MS., 2002, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi , Paradigma,
Yogyakarta.
Pranoto, 2000, SAP Pengaruh Masing-masing Gatra pada Ketahanan Demokrasi dan
Lingkungan Hidup, Jakarta.
Internet.

Positivisasi Hak Asasi Manusia


Posted: 18 April 2008 by Yance Arizona in Hak Asasi Manusia
Tag:Hak Asasi Manusia, Hukum Alam, Positivisme Hukum

1
HAM adalah klaim yang dapat dipaksakan sebagai konsekuensi penanda kemanusiaan yang
bersifat kodrat. Dalam definisinya yang kodrat, HAM melekat pada manusia sebagai subjek
pengemban hak semenjak manusia dapat dikategorikan sebagai manusia di dalam kandungan.
Hak tersebut juga tidak dapat dicabut, dialihkan dan dibagi-bagi.
Sumbangsih Hobbes dan Locke
Diksursus tentang HAM pada masyarakat modern berakar pada pandangan terhadap manusia
terutama dari Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704). Dalam pandangan
Hobbes, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (Homo Homini Lupus). Manusia

menjadi makhluk yang penuh ambisi


yang berkontestasi dengan manusia
lainnya dalam melakukan akumulasi untuk kepuasan hidupnya. Dalam situasi yang seperti ini
sistem sosial adalah anarki, maka untuk menjamin terciptanya ketertiban diperlukan suatu
organsasi lebih besar dari sistem sosial masyarakat yang dapat melakukan paksaan.
Organisasi yang dianggap mampu melaksanakan paksaan itu adalah Negara.
Pandangan Locke hampir sama dengan Hobbes yang menganggap manusia adalah

makhluk atau individu yang bebas melakukan atau tidak melakukan


sesuatu berdasarkan keinginannya. Locke memandang kebebasan manusia itu dalam bentuk
kesejajaran yang relasinya bersifat konstruktif. Makna relasi yang konstruktif itu
dimanifestasikan dalam bentuk hukum yang diorganisir oleh badan yang berbentuk Negara.
Baik pandangan Hobbes maupun Locke memiliki konsekuensi bahwa Negara perlu ada untuk
menjaga agar seseorang tidak menjadi korban dari keberingasan manusia lain dan menjamin
agar hubungan sosial berjalan dalam tujuan sosial yang disepakati bersama. Salah satu
perbedaan pandangan mereka terletak pada sifat kontraktual antara negara dan masyarakat.
Hobbes mengandaikan kontraktual masyarakat dengan negara itu sebagai mandat bebas dari
masyarakat kepada Negara, sehingga Negara dapat melakukan apa saja untuk menjamin
sistem sosial bertahan. Pandangan Negara kuat inilah yang menjadi akar dari otoritarianisme
yang oleh Hobbes disebut sebagai Leviathan. Sedangkan Locke memandang hubungan
kontraktual antara masyarakat dengan negara itu bersifat imperatif atau terbatas. Yaitu sebatas
negara masih berfungsi untuk menjamin terpenuhinya hak-hak individu untuk melakukan
atau tidak melakukan apa yang dikehendaki masyarakat. Bila negara lari dari kontraktualnya,
maka Negara dapat diabaikan, dibubarkan atau dinegosiasikan ulang.
Pemikiran Hobbes dan Locke yang berdomisili di Inggris berkontribusi pada Revolusi Inggris
pada tahun 1688 yang terinstrumentaliasasi dalam Bill of Rights. Revolusi Inggris pada masa
itu adalah gerakan untuk memberikan kewenangan besar kepada parlemen yang merupakan
manifestasi dari sistem sosial untuk dapat memveto hak-hak istimewa Raja. Kemudian pada
1789 di Perancis terjadi Revolusi Perancis yang lebih radikal karena mengganti sistem
kerajaan menjadi Negara Republik, kemudian juga mempositivisasi hak-hak warga negara ke
dalam Code Napoleon.
Positivisasi dan Kodifikasi HAM
Selama berabad-abad, persoalan hak manusia diinstrumentalisasi di dalam hukum-hukum
nasional atau konstitusi negara. Dalam catatan sejarah, pola itu sudah ada sejak hukum
tertulis tertua, yaitu Kodifikasi
Urukagina (2350 SM) di kota kuno

Sumeria di Mesopotamia Selatan. Kode Hammurabi di Babilonia adalah kodifikasi nomor


lima tertua (1700 SM). Pola itu berlangsung sampai kepada negara modern. Baru pada 10
Desember 1948 disepakatilah Deklarasi Nasional Hak Asasi Manusia (DUHAM) oleh
negara-negara yang tergabung di dalam PBB. Sejak saat itu, beberapa hak warga negara
disarikan dan dinaikkan menjadi hak asasi manusia secara internasional dan bersifat positif.
Kehadiran DUHAM sendiri merupakan respons atas situasi dunia pada masa itu, pertengahan
abad 20. Perang dunia pertama dan kedua telah memberikan gambaran perlakuan yang buruk
terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh negara-negara berdaulat dalam peperangan.
Konsideran yang paling terkenal yaitu pembantaian etnis Yahudi oleh NAZI Jerman di bawah
komando Hitler serta Bom Atom di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Terutama
negara-negara yang menang perang menginisasi pembuatan DUHAM agar perdamaian dapat
dipertahankan. Persoalan pelanggaran terhadap hak manusia kemudian dianggap bukan hanya
sebagai persoalan suatu Negara, tetapi dijadikan sebagai persoalan internasional yang perlu
dijamin.
DUHAM kemudian menjadi positivisasi ketentuan-ketentuan universal dari hukum kodrat ke
dalam kesepakatan internasional dan sekaligus menjadi kodifikasi nilai-nilai penghargaan
terhadap kemanusiaan yang sudah menyebar pada berbagai konstitusi negara-negara
berdaulat. Kelahiran DUHAM juga menjadi amunisi bagi perjuangan kemerdekaan negaranegara terjajah pada dekade 50 dan 60-an.
Perumusan DUHAM diwarnai dengan perdebatan dikotomik antara hak sipil politik (Hak
Sipol) dengan hak ekonomi, sosial dan budaya (Hak Ekosob). Perdebatan ini menyusul
polarisasi negara-negara dalam dua kutub, Blok Barat dan Blok Timur. Blok Barat yang
terkomandoi oleh Amerika mengutamakan Hak Sipol sebagaimana tercermin dalam banyak
konstitusi negara-negara Eropa Barat dan Amerika. Hal ini berkaca dari Revolusi Perancis
yang mengutamakan kebebasan, persamaan dan persaudaraan (liberte, eqalite dan fraternite).
Pengutamaan Hak Sipol karena negara-negara Blok Barat sistem sosial dan ekonominya yang
terbangun dari modal besar dan pasar bebas (laizes faire) sudah berjalan dalam sistem
kapitalisasi industri yang cenderung mapan.
Sedangkan Blok Timur yang terkomandoi oleh Uni Soviet dan China lebih mengutamakan
Hak Ekosob sebagaimana tercermin dalam konstitusi negara-negara sosialis dan komunis
yang menganggap perlu intervensi dan afirmasi dari negara untuk memberdayakan sistem
sosial dan ekonomi masyarakat. Bahkan dalam negara komunis, hak-hak individu warga
negara dijadikan hak-hak kolektif pada negara untuk tujuan bersama.
Perdebatan dikotomik itu kemudian tidak dipisahkan secara tegas di dalam DUHAM. Karena
DUHAM juga merupakan suatu deklarasi yang tidak mengikat secara hukum, maka
kemudian pada tahun 1966 diturunkanlah nilai-nilai dalam DUHAM itu ke dalam dua
kovenan pokok dalam hukum HAM intenasional, yaitu Kovenan Hak Sipol dan Kovenan
Hak Ekosob. Instrumen yang ada di bawah dua Kovenan itu antara lain beberapa konvensi
diantaranya: CAT, CEDAW, CERD, CRC dll, serta ada beberapa produk hukum lain berbentu
resolusi dan deklarasi yang kedudukannya di bawah konvensi tersebut.
Universalitas Vs Partikularitas
Perdebatan yang belum selesai dalam rangka positivisasi hukum alam berkontribusi terhadap
perdebatan, apakah HAM itu bersifat universal atau partikular/relatif. Pandangan yang
menolak universalitas HAM mengajukan beberapa alasan diantaranya: (a) bahwa DUHAM
yang mengklaim diri sebagai universal itu hanya dibuat oleh beberapa negara yang dimotori
oleh negara-negara yang menang perang dan menggambarkan nilai-nilai individualisme
liberal masyarakat barat; (b) DUHAM tidak melihat kekhasan budaya yang terdiferensiasi
berdasarkan budaya dan ruang geografik; serta (c) terdapat perbedaan pendekatan dalam
melihat hak asasi manusia.

Sedangkan kalangan yang mendukung universalitas DUHAM menyatakan: (a) bahwa Mesir
dan Libanon berkontibusi besar dalam penyusunan DUHAM, sehingga DUHAM bukanlah

dominasi barat, bahkan


rumusan tentang kebebasan beragama merupakan bukti
bahwa DUHAM juga mengadopsi nilai-nilai yang berakar dari luar barat; (b) bahwa budaya
itu bersifat dinamis sehingga klaim karakteristik budaya suatu komunitas, etnis atau negara
bersifat tetap dan utuh terbantahkan, karena anggapan bahwa suatu masyarakat memiliki satu
nilai hanyalah merupakan klaim yang kurang berdasar; serta (c) perbedaan pendekatan yang
mendikotomi Hak Sipol dan Hak Ekosob dalam praktiknya tidaklah sediametral itu, karena
misalkan, bila di negara sosialis hak atas pendidikan itu dimasukkan ke dalam ranah Hak
Ekosob, dalam masyarakat liberal, hak atas pendidikan itu dimasukkan ke dalam Hak Sipol.
Jadi, baik di barat maupun di timur, hak atas pendidikan itu sama-sama diakui meskipun
dikonstruksi dalam pendekatan yang berbeda.
Perdebatan tentang apakah DUHAM itu merupakan universal atau bukan mestinya
dikembalikan kepada dua teori dalam hukum yang menjadi landasan pijaknya, yaitu Hukum
Alam dan Positivisme Hukum. Dalam pandangan hukum alam, HAM merupakan hal yang
universal yang tidak lekang oleh waktu dan tidak lapuk oleh perbedaan tempat dan subjek.
Sedangkan dalam Positivisme Hukum, HAM itu adalah apa yang dikodifikasi atau sudah
diatur sebagai HAM dalam naskah tertulis. Para penganut Hukum Alam menganggap
DUHAM tidak mampu menampung hak asasi manusia yang bersifat kodrat, meski demikian
Hukum Alam tidak menolak pandangan Positivisme Hukum terhadap universalitas HAM
sepanjang HAM yang dipositivisasi itu dapat menjadi alat negosiasi atas klaim Hukum Alam.
Para penganut Positivisme Hukum akan menganggap HAM yang dipositivisasi dalam
DUHAM dan turunannya sebagai dokumen antropologis yang otoritatif dan menjadi tujuan.
Referensi
1. Catatan Kursus HAM di ELSAM, tanggal 17 April 2008 dengan pengajar Anton
Pradjasto dan Indriaswati Dyah Saptanigrum.
2. Herman Bakir, Filsafat Hukum: Desain dan Arsitektur Kesejarahan, Refika Aditama,
Bandung, 2007.
3. Michael H. Hart, 100 Tokoh Paling Berpengaruh Sepanjang Masa, Karisma
Publishing, Batam Center, 2005
4. Shadia B. Drury (Edt), Hukum Dan Politik: Baccan Mengenai Pemikiran Hukum dan
Politik, Tarsito, Bandung, 1986
Sumber Gambar:
1. Thomas Hobbes: http://tbn0.google.com/images?q=tbn:Q71g29BspYInM:http://www.ps.ritsumei.ac.jp/shige2/index/img/hobbes.jpg

2. John Locke: http://tbn0.google.com/images?


q=tbn:uz5TZxzPRuSzcM:http://www.arts.ualberta.ca/~pex/wordpress/wpcontent/uploads/2007/07/locke.jpg
3. Kodifikasi Urukagina: http://tbn0.google.com/images?
q=tbn:y9kFcmoIWG79zM:http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/0/
0c/Clay_cone_Urukagina_Louvre_AO4598ab.jpg/270pxClay_cone_Urukagina_Louvre_AO4598ab.jpg
4. Universal Declaration of Human Rights: http://tbn0.google.com/images?
q=tbn:oU70habl4tcQ-M:http://www.awb.com/catalog/images/covers/94551.jpg

Find this

Info Hukum Indonesia


Informasi Hukum | Bantuan Hukum | Ilmu Hukum

Home

My Biography

Jadwal Kuliah

Materi Kuliah

MEMPERTANYAKAN UNIVERSALITAS HAM?

Ditulis oleh csp

16 March 2007

Bagi sebagian orang atau masyarakat, masih sering ada keragu-raguan atau tanda tanya besar
mengenai suatu konsep yang mengatakan bahwa standar umum tentang HAM yang dimuat
dalam Deklarasi HAM 1948 tidak dapat diberlakukan oleh semua masyarakat atau semua
negara. Beberapa alasan dari keragu-raguan menyangkut keabsahan dan kekuatan mengikat
dari DUHAM. Pertama, bahwa belum tentu negara-negara tersebut ikut merumuskan asasasas yang dimuat dalam DUHAM pada saat ditetapkan. (Dimana pada saat itu belum semua
negara menjadi anggota PBB atau bahkan masih belum merdeka). Misalnya saja, negara
Indonesia, merupakan salah satu contoh negara yang tidak ikut andil sebagai perserta yang
merumuskan substansi DUHAM. Alasan yang kedua adalah bahwa deklarasi tersebut hanya
merupakan suatu pernyataan umum yang tidak mengikat kepada negara-negara sebagai
hukum, dan adanya Kovenan SIPOL dan EKOSOSBUD hanya akan mengingkat jika negara

tersebut menerimanya melalui ratifikasi atau aksesi. Keraguan di atas didukung oleh fakta
dimana masih banyak negara-negara yang dinilai melanggar prinsip-prinsip HAM namun
tidak ada penyelesaian secara kongkrit.
Namun demikian, sesungguhnya alasan diatas sudah tidak relevan dikemukakan dalam
konteks kekinian karena beberapa alasan. Pertama, bahwa sejak diadakannya Konferensi
Internasional tentang HAM di Teheran tertanggal 22 April sampai 13 Mei 1968 (20 Tahun
sejak DUHAMdideklarasikan) yang dihadiri oleh hampir seluruh anggota PBB telah
disepakati bahwa DUHAM diakui dan diterima sebagai prinsip-prinsip universal dalam
penghormatan harkat, martabat dan nilai-nilai manusia oleh seluruh negara meskipun
adakalanya terdapat suatu pemerintahan tidak menerimanya. Kedua, efektifitas DUHAM
bersama 2 Kovenannya sebagai hukum yang mengikat tidak diragukan lagi karena secara
nyata telah dijadikan dasar dan pembenar sejumlah besar keputusan-keputusan yang diambil
oleh badan PBB, resolusi Majelis Umum/ Dewan Keamanan atau bahkan Keputusan
Pengadilan di tingkat Nasional. Ketiga, DUHAM secara nyata juga menjadi dasar bagi
pembuatan instrument-instrumen Internasional, perjanjian-perjanjian multilateral, bilateral
bahkan pemrumusan konstitusi suatu negara.
Dengan demikian, keragu-raguan kekuatan mengikat DUHAM secara universal
sesungguhnya menurut penulis tidak dapat dijadikan dasar untuk menyimpulkan bahwa
DUHAM beserta 2 Kovenannya sebagai ketentuan tidak memiliki kekuatan sebagai hukum
yang mengikat setiap negara karena baik aspek keabsahan serta sifatnya sebagai hukum telah
nyata dan terbukti. Namun, jika dalam prakteknya masih ada pelanggaran-pelanggaran yang
terjadi hanya menunjukkan bahwa ada sesuatu yang menggangu efektifitas perlindungan dan
penegakan HAM.
Information and Links

Join the fray by commenting, tracking what others have to say, or linking to it from your
blog.
Information
March 16th, 2007
96 Responses
Feeds and Links
Comment Feed
From This Author
Del.icio.us
Digg
Technorati

Categories
Artikel tentang HAM

Other Posts
Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu: ANTARA AMNESTY dan REPARASI,
Menuju Keseimbangan demi Keadilan
Pornografi versus Hak Berekspresi

Tulis Komentar

Luangkan waktu untuk memberikan pendapat.


Nama (dibutuhkan)

E-mail (dibutuhkan)

Website(Kosongkan jika tidak ada)

Anti Spam: Jumlah dari 2 + 4 ?


8b169

Kotak komentar di posisi tetap(hanya untuk Mozilla Firefox).

Silahkan tulis komentar di sini.

Komentar anda mungkin tidak muncul secara langsung, hal ini


Kirim
Komentar

18

dipengaruhi oleh aktivitas server, harap maklum.


Komentar Pembaca
Comment Number:
1
Ditulis oleh:
efendi slamet ready
Pada tanggal:
27 March 2007 jam 16:39

menurut saya azas universalitas pantas di ragukan karena beberapa aspek pertimbangan yang
sangat prinsip atas di buatnya konvenan HAM yang berprinsip azas universalitas mana antara
lain perkembangan situasi internasional pada dekade 40 dengan berakhirnya fasisme perang
dunia ke II dan di seluruh dunia mulai menata kembali negaranya masing - masing dengan
sebuah sistem baru liberalisme, kapitalisme dan imperealisme maka dari itulah setiap aspek
yang menjadi sebuah cela untuk pemenuhan kebutuhan dari setiap negara selalu di utamakan
dan di situlah adanya konstalasi politik kepentingan liberalisme dan kapitalisme yang semata
- mata sebagai save awal untuk langkah yang lebih lanjut penyerangan atas negara - negara
dan yang di utamakan adalah negara yang baru merdeka dan sedang berkembang dengan
sistem dan cara yang lebih halus.Dan dikarenakan dunia imperealis pada akhir 60an mampu
melakukan tesis atas bahan rempah - rempah maka pokok yang menjdi target imperealis
setelah itu yaitu (upah murah, daya konsumerisme dan hasil tambang) serta yang meragukan
dari azas universalitas karena belum seluruhnya dari semua negara ikut serta dalam konvenan
HAM tersebut sehingga cenderung di dominasi, di monopoli kepentingan negara hanya ikut
saja dan tidak mencerminkan kebutuhan seluruh bangsa artinya kebutuhan satu negara di
babat habis dengan kebutuhan mayoritas negara yang belum tentu mencerminkan GEOPOL
setiap negara,dan karena setelah terjadinya konvensi tersebut semua negara harus mengakui
dan menerima hasil dari konvenan maka akan menjadi kerugian dari negara tersebut karena
belum tentu di negara tersebut telah ada UU nasionalnya dan ketika belum ada UU maka
negara tersebut harus mengadakan rapat paripurna untuk membuat UU yang belum tentu
menjadi kebutuhan dari negara tersebut, dan juga belum tentu konvenan HAM dengan azas
universalitasnya di laksanakan oleh negara lain ketika satu negara bergesekan dengan negara
lain kalau tidak ada perjanjian yang lebih khusus semacam perjanjian extradisi.
Comment Number:
2

Ditulis oleh:
NUR HADI
Pada tanggal:
27 March 2007 jam 17:07

Silahkan tulis komentar di sini!


memang harus diakau, bahwasannya terkait dengan pengesahan DUHAM pada tanggal 10
desember 1948 diU.S /PBB tidak semua negara ikut dalam pengesahan( rumusan asas-asas
DUHAM) tersebut. akan tetapi hal ini bukan berarti negara-negara yang tidak ikut dalam
perumusan enggan memberikan saran dan masukannya, tapi bisa saja negara tersebut sedang
mengalami stabilitas yang ada di negara tersebut tidak aman.misalnya saja indonesia dimana
pada saat DUHAM tersebut di buat atau disahkan kondisi atau stabilitas keamanan di
indonesia tidak memungkinkan, yaitu di indonesia pada saat itu terjadi penjajahan oleh
belanda dll.Akan tetapi setelah indonesia stabilitas keamanannya sudah mulai membaik
indonesia ikut meratifikasi terhadap isi dari DUHAM tersebut meskipun indonesia pada saat
DUHAM tersebut dirancang indonesia tidak ikut andil didalamnya.DUHAM tersebut
keberadaannya di bawah bendera PBB sehingga negara yang mau meratifikasi DUHAM
(declaration of human rights) tersebut stabilitas keamanannya harus terjamin dalam artian
aman dari segala konflik atau peperangan baik antar negara maupun antar suku. diman
akaibat hal tersebut bisa mengganggu stabilitas keamanan negara iu sendiri.Kembali lagi
kepermasalahan masalan DUHAM meskipun pada saat DUHAM tersebut dibuat dan
disahkan ada negara yang tidak ikut dalam pembuatannya dan hanya meratifikasi saja,
tidaklah mengapa asalkan negara tersebut mampu dan mau mematuhi serta melaksanakan isi
dari DUHAM tersebut guna penegakan HAM bagi negara itu sendiri. selain itu pula alasan
mengapa? indonesia juga Ikut meratifikasi DUHAM tersebut tidak lain diakarenakan,
indonesia adalah negara HUKUM(rechtstaats). Hal itu sebagaiman telah di jelaskan didalam
pembukaan kontitusi UUD 1945 negara republik indonesia. Dari situ dapatlah diketahui
bahwasannya ciri dari negara hukum adalah Adanya penagakuan HAK Asasi
Manusia(HAM).Dengan diratifiaksinya DUHAM tersebut oleh indonesia diharapkan
pengekkan HAM di indonesia bisa ditegakkan dan dapat dijadikan acuan dalam membuat
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan HAM.masalah Penegakan HAM
merupakan hal yang sangat urgen, mengingat HAM merupakan HAK dasar atau pokok yang
merupakan yang dimiliki oleh setiap manusia yang merupakan pemberian dari Tuhan Yang
Maha Esa sejak manusia itu lahir.jadi apabila sudah berhadapan dengan masalah HAM
jangan coba-coba main-main kareana sudah ada aturan yang mengatur dan menjaminnya yaiu
DUHAM dan kalau di indonesia sejak psca reformasi telah mempunyai UU no.39 tahun 1999
tentang pengadialn HAM yang salah satu fungsinya menegakan HAM sebagai mana yang
telah diamanatkan didalam DUHAM yang telah diratifikasi oleh indonesia yang
keberadaanya mengikat secara universal. Apalagi di idonesia meskipun telah meratifikasi
DUHAM dari PBB dan juga telah mempunyai UU no. 39 tahun 1999 tentang pengadilan
HAM akan tetapi fakta yang ada masih banyak pelanggaran HAM di indonesia. baik pada
masa lalu maupuan sekarang misal pelanggaran HAM kasus tanjun priok yang melbatkan

MAYJEND TNI Pranowo, Mayjen SRIYANTO yang yang mana mereka pada tanggal 10 dan
12 agustus 2004 telah bebas. selanjutnya dalam kasus pelanggran kasus Abepura yang
melibatkan Brigjen johny wainal Usman dkk. yang pada tanggal 8/9/2005 bebas. pelanggaran
kasus jajak pendapat di TIM-TIM yang melibatkan Abilio jose suares mantan gubernur TIMTIM pada tgl 4/11/2004 telah bebas selain itu dalam kasus ini juga melibatkan pra petinggi
TNI- POLRI misal Mayjen Adam Damiri, MAYJEN Timbul Silaen yang mana mereka pada
tanggal 29/9/2004 dan pada bulan desember 2003 mereka telah bebas.dari ptinngi POLRI
melibatkan AKBP. Adios salova bebas 19/5/2005. dari kasus kasus pelanggran Ham tersebut
notabenenya dilakukan oleh Para petinggi TNI dan POLRI yang mana mereka asdalah para
aparat penegak hukum yang seharusnya harus bisa menegakkan hukum di bumi nusantara ini
kususnya dalam masalah HAM. dan sebetulnya masih banyak lagi pelanggran- pelanggran
HAM yang dilakukan oleh pejabat tinggi TNI maupaun POLRI yang samapai saat ini belum
bisa di seret kepengadialn HAM sebut saja mantan KSAD JENDRAL WIRANTO, dan yang
mampu diseret kepengadilan hanya staf-stafnya saja.
sumber:
-litbang kompas, dalam kasus-kasus penyelesaian HAM.
- Atmasasmita, Romli,Reformasi HUkum, HAM dan Penegakan hukum,C.V Mandar
Maju,Bandung,2001
oleh:
NUR HADI
04400136/VI-C
Comment Number:
3
Ditulis oleh:
ayup puri nuryudha
Pada tanggal:
28 March 2007 jam 12:32

Silahkan tulis komentar di sini.


didalam bangsa yang hukum(rechstaat)kepentingan masyarakat harus didahulukan dan
dilindungi oleh setiap negara sebagai pelindung dan pengayom warga negaranya. seperti
halnya di Indonesia bahwasaya setiap manusia mulai lahir sudah mengantongi apa itu yang
namanya hak asasi. dengan fitrah manusia itu maka setiap negara manapun wajib
menlindungi dan menjunjung tinggi hak setiap manusia yang sesuai dengan UUD 1945.
Apabila kita melihat suatu negara itu melanggar hak-hak asasi manusia, dengan alasan bahwa
tidak meratifikasi perjanjian tersebut hal itu sangat tidak arif.apabila hal itu dijadikan masalah
maka kita ambil contoh negara amerika yang mengaku bahwa negara yang menjunjung tinggi
hak asasi manusia sering kali melakukan pelanggaran berat salah satu contoh Pelanggaran
HAM oleh AS baik di dalam dan luar negeri, kembali pada cara pandang
pejabat Gedung Putih dalam menyikapi fenomena internal dan global. Gedung Putih

khususnya para penguasa neo-konservatifnya, senantiasa memandang fenomena yang ada


dari balik kacamata keamanan dan militer. Cara pandang seperti itu memang digalakkan oleh
politisi AS karena dengan demikian, AS selalu punya alasan untuk memaksakan kehendaknya
di dunia. Sejak kubu neo-konservatif memijakkan kaki di Gedung Putih, sampai saat ini AS
sudah mengobarkan api perang di dua negara yaitu Afghanistan dan Irak. Di dua negara
muslim itu, AS meningkatkan operasi pengejaran, penangkapan, dan aksi penyiksaan
terhadap para tersangka pelaku teror. Slogan pemberantasan terorisme yang dikoarkan oleh
AS pasca serangan 11 September 2001 lalu, kini sudah berubah menjadi alasan bagi
Washington untuk menebar aksi kekerasan dan melanggar HAM.
(//www.irib.ir/worldservice/MelayuRADIO/POLITIK/2006/mei06/ham.htm
dengan demikian Dualisme hak asasi manusia yang ditandatangi di PBB yang berkantor pusat
di amerika sudah pasti hal itu dibuat untuk melindungi kepentingan amerika agar tidak
diketahuhui oleh bangsa international.berati apabila HAM diIndonesia di cantumkan dalam
dan dualisme itu dilakukan maka terjadilah suatu hubungan antara kovenan dan konstitusi
yaituTeori tentang dualisme menegaskan bahwa hukum internasional adalah hukum antar
negara, sedangkan hukum nasional berlaku dalam satu negara dan mengatur hubungan antar
warga negara dan warga negara dengan pemerintah.Teori tentang dualisme menegaskan
bahwa hukum internasional adalah hukum antar negara, sedangkan hukum nasional berlaku
dalam satu negara dan mengatur hubungan antar warga negara dan warga negara dengan
pemerintah.teori monisme. Teori ini berasal dari pemikiran Hans Kelsen yang menegaskan
supremasi hukum internasional atas hukum nasional. Hukum internasional itu dilihat sebagai
the best of available moderator of human affairs dan juga sebagai kondisi yang logis dari
eksistensi hukum negara-negara, dan karenanya, dia menjadi lebih utama dari hukum
nasional. Dengan kata lain, hukum nasional itu bisa dikesampingkan bila bertentangan
dengan norma-norma hukum internasional atau bertentangan dengan sistem hukum
internasional. Walaupun teori ini sebenarnya dibangun dari suatu konstruksi spekulasi
intelektual, tetapi teori itu exist di dalam literatur-literatur hukum internasional.yang
menyatakan bahwa dua sistem hukum, yaitu sistem hukum internasional dan sistem hukum
nasional itu tidak berada dalam situasi konflik, karena dua sistem itu bekerja dalam
lingkungan yang berbeda. Masing-masing mempunyai supremasi di lapangannya sendiri,
tetapi memang dapat terjadi conflict of obligation (konflik kewajiban).
(komisihukum.go.id/newsletter.php)
Argumen dalam perspektif teori ini, bahwa ketidakmampuan negara untuk bertindak sesuai
dengan kewajiban internasionalnya, karena dengan kita meratifikasi melalui UU dua kovenan
internasional itu negara mempunyai kewajiban internasional tidak mengakibatkan tidak
sahnya hukum internal/hukum nasional.
Jadi, kalau suatu negara gagal memenuhi kewajiban internasionalnya, menurut teori ini tidak
berarti hukum internalnya itu gugur. Suatu doktrin dan pendirian yang bersifat universal,
bahwa negara tidak bisa membela diri, ketika dia dituduh melanggar kewajiban internalnya.
Dia tidak bisa membela diri karena hukum internalnya itu menghalangi kemampuannya
untuk menjalankan kewajiban internasionalnya. Pembelaan seperti itu menurut pandangan
yang berlaku universal tidak dibenarkan.apabila 2 konvenan dari DUHAM itu tidak
berlaku(seperti dikatakan di artikel)itu bukan karena kovenannya yang salah tetapi bangsa itu
sendiri yang belum siap dalam melakukan DUHAM,bukan efektif atau tidaknya DUHAM

tersebut tetapi moral bangsa yang perlu diperbaiki.Salah satu contoh banyak jendral-jendral
atau pejabat yang mengatasnamakan menegakkan dualisme ham malah melanggar HAM itu
sendiri.apabila bangsa indonesia ingin menegakkan HAM maka hal itu tidak sulit dengan
suatu catatan hal itu tidak bertentangan dengan konstitusi bangsa.
Oleh :
Ayup puri Nuryudha
04400028/VI-A
Comment Number:
4
Ditulis oleh:
RIZQ (BADBOYZ)
Pada tanggal:
28 March 2007 jam 18:17

Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum (MU) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
memproklamasikan Universal Declaration of Human Rights(Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia, untuk selanjutnya disingkatDUHAM), yang memuat pokok-pokok hak asasi
manusia dan kebebasandasar, dan yang dimaksudkan sebagai acuan umum hasil pencapaian
untuk semua rakyat dan bangsa bagi terjaminnya pengakuan dan penghormatan hak-hak dan
kebebasan dasar secara universal dan efektif,baik di kalangan rakyat negara-negara anggota
PBB sendiri maupun dikalangan rakyat di wilayah-wilayah yang berada di bawah yurisdiksi
mereka.Masyarakat internasional menyadari perlunya penjabaran hak-hak dan kebebasan
dasar yang dinyatakan oleh DUHAM ke dalam instrumeninternasional yang bersifat
mengikat secara hukum. Sehubungan dengan hal itu, pada tahun 1948, Majelis Umum PBB
meminta Komisi Hak AsasiManusia (KHAM) PBB yang sebelumnya telah mempersiapkan
rancangan DUHAM untuk menyusun rancangan Kovenan tentang HAM beserta rancangan
tindakan pelaksanaannya. Komisi tersebut mulai bekerja pada tahun 1949. Pada tahun 1950,
MU PBB mengesahkan sebuah resolusi yang menyatakan bahwa pengenyaman kebebasan
sipil dan politik serta kebebasan dasar di satu pihak dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya
dilain pihak bersifat saling terkait dan saling tergantung. Setelah melalui perdebatan panjang,
dalamsidangnya tahun 1951, MU PBB meminta kepada Komisi HAM PBB untuk merancang
dua Kovenan tentang hak asasi manusia: (1) Kovenan mengenai hak sipil dan politik; dan (2)
Kovenanmengenai hak ekonomi, sosial dan budaya. MU PBB juga menyatakan secara
khusus bahwa kedua Kovenan tersebut harus memuat sebanyak mungkin ketentuan yang
sama, dan harus memuat Pasal yang akan menetapkan bahwa semua rakyat mempunyai hak
untuk menentukan nasib sendiri.Komisi HAM PBB berhasil menyelesaikan dua rancangan
Kovenan sesuai dengan keputusan MU PBB pada 1951, masing-masing pada tahun 1953dan
1954. Setelah membahas kedua rancangan Kovenan tersebut, padatahun 1954 MU PBB
memutuskan untuk memublikasikannya seluas mungkin agar pemerintah negara-negara dapat
mempelajarinya secara mendalam dan khalayak dapat menyatakan pandangannya secara

bebas.Untuk tujuan tersebut, MU PBB menyarankan agar Komite III PBB membahas
rancangan naskah Kovenan itu Pasal demi Pasal mulai tahun1955. Meskipun pembahasannya
telah dimulai sesuai dengan jadwal,naskah kedua Kovenan itu baru dapat diselesaikan pada
tahun 1966.Akhirnya, pada tanggal 16 Desember 1966, dengan resolusi 2200A (XXI),MU
PBB mengesahkan Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik bersama-sama dengan
Protokol Opsional pada Kovenan tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan tentang
Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Kovenan Internasionaf tentang Hak-hak Sipil dan
Politik beserta ProtokolOpsional pada Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik mulai berfaku pada tanggal 23 Maret 1976.2. Pertimbangan Indonesia untuk menjadi
Pihak pada International Covenanton Civil and Political Rights (Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Sipildan Politik) Indonesia adalah negara hukum dan sejak kelahirannya
pada tahun 1945 menjunjung tinggi HAM. Sikap Indonesia tersebut dapat dilihat dari
kenyataan bahwa meskipun dibuat sebelum diproklamasikannya DUHAM,Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah memuat beberapa ketentuan tentang
penghormatan HAM yang sangat penting. Hak-hak tersebut antara lain hak semua bangsa
atas kemerdekaan (alinea pertama Pembukaan); hak atas kewarganegaraan(Pasal 26);
persamaan kedudukan semua warga negara Indonesia di dalamhukum dan pemerintahan
(Pasal 27 ayat (1)); hak warga negara Indonesia atas pekerjaan (Pasal 27 ayat (2)); hak setiap
warga negara Indonesia atas kehidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat (2)); hak
berserikatdan berkumpul bagi setiap warga negara (Pasal 28); kemerdekaan setiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaannya itu (Pasal 29 ayat (2)); dan hak setiap warga negara Indonesia atas
pendidikan (Pasal 31 ayat (1)).Sikap Indonesia dalam memajukan dan melindungi HAM terus
berlanjutmeskipun Indonesia mengalami perubahan susunan negara dari Negara kesatuan
menjadi negara federal (27 Desember 1949 sampai dengan 15Agustus 1950). Konstitusi yang
berlaku pada waktu itu, yaitu KonstitusiRepublik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS), memuat
sebagian besar pokok-pokok HAM yang tercantum dalam DUHAM dan kewajiban
Pemerintah untuk melindunginya (Pasal 7 sampai dengan Pasal 33).Indonesia yang kembali
ke susunan negara kesatuan sejak 15 Agustus1950 terus melanjutkan komitmen
konstitusionalnya untuk menjunjung tinggi HAM. Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia (UUDSRI Tahun 1950) yang berlaku sejak 15 Agustus 1950 sampai
dengan 5 Juli1959, sebagaimana Konstitusi RIS, juga memuat sebagian besar pokok-pokok
HAM yang tercantum dalam DUHAM dan kewajiban Pemerintahuntuk melindunginya (Pasal
7 sampai dengan Pasal 33), dan bahkan sebagian sama bunyinya kata demi kata dengan
ketentuan yang bersangkutan yang tercantum dalam Konstitusi RIS. Di samping komitmen
nasional, pada masa berlakunya UUDS RI Tahun 1950, Indonesia juga menegaskan
komitmen internasionalnya dalam pemajuan dan perlindungan HAM, sebagaimana yang
ditunjukkan dengan keputusan Pemerintah untuk tetap memberlakukan beberapa konvensi
perburuhan yang dihasilkan oleh International Labour Organization (OrganisasiPerburuhan
Internasional) yang dibuat sebelum Perang Dunia II dan dinyatakan berlaku untuk Hindia
Belanda oleh Pemerintah Belanda,menjadi pihak pada beberapa konvensi lain yang dibuat
oleh Organisasi Perburuhan Internasional setelah Perang Dunia II, dan mengesahkansebuah
konvensi HAM yang dibuat oleh PBB, yakni Convention on thePolitical Rights of Women
1952 (Konvensi tentang Hak-hak PolitikPerempuan 1952), melalui Undang-Undang Nomor

68 Tahun 1958.
Dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia, upaya pemajuan dan perlindungan HAM telah
mengalami pasang surut. Pada suatu masa upayatersebut berhasil diperjuangkan, tetapi pada
masa lain dikalahkan oleh kepentingan kekuasaan. Akhirnya, disadari bahwa kehidupan
berbangsadan bernegara yang tidak mengindahkan pemajuan dan, perlindunganHAM akan
selalu menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat luas dantidak memberikan landasan yang
sehat bagi pembangunan ekonomi,politik, sosial dan budaya untuk jangka panjang.Gerakan
reformasi yang mencapai puncaknya pada tahun 1998 telahmembangkitkan semangat bangsa
Indonesia untuk melakukan koreksiterhadap sistem dan praktik-praktik masa lalu, terutama
untukmenegakkan kembali pemajuan dan perlindungan HAM.Selanjutnya Indonesia
mencanangkan Rencana Aksi Nasional (RAN) HAMmelalui Keputusan Presiden Nomor 129
Tahun 1998 tentang Rencana AksiNasional Hak Asasi Manusia 1998-2003 yang kemudian
dilanjutkandengan RAN HAM kedua melalui Keputusan Presiden Nomor 40 Tahun2004
tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia 2004-2009 dan ratifikasi atau pengesahan
Convention Against Torture and Other Cruel,Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment, 1984 (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain
yang Kejam, TidakManusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia, 1984) pada
28September 1998 (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998; Lembaran NegaraRepublik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 164; Tambahan Lembaran NegaraRepublik Indonesia Nomor
3783). Selain itu melalui Undang-Undang Nomor29 Tahun 1999, Indonesia juga telah
meratifikasi International Conventionon the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination (KonvensiInternasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Rasial).Pada tanggal 13 November 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR)mengambil keputusan yang sangat penting artinya bagi pemajuan danperlindungan
HAM, yaitu dengan mengesahkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor XVII/MPR/1998tentang Hak Asasi Manusia, yang lampirannya memuat
Pandangan danSikap Bangsa Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia (Lampiran angka
I)dan Piagam Hak Asasi Manusia (Lampiran angka II).
Konsideran Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tersebut menyatakan,antara lain,
bahwa PembukaanUndang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan
pengakuan,penghormatan, dan kehendak bagi pelaksanaan hak asasi manusia dalam
menyelenggarakan kehidupanbermasyarakat, berbangsa dan bernegara (huruf b) dan bahwa
bangsaIndonesia sebagai bagian masyarakat dunia patut menghormati hak asasimanusia yang
termaktub dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa serta
instrument internasional lainnya mengenai hak asasi manusia (huruf c). Selanjutnya,
Ketetapan MPR tersebut menyatakan bahwa Bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa mempunyai tanggungjawab untuk menghormati Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia (Universal Declarationof Human Rights) dan berbagai instrumen internasional
lainnya mengenaihak asasi manusia (Lampiran IB angka 2). Sebagaimana diketahui bahwa
DUHAM 1948, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik,Protokol Opsional
pada Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, danBudaya adalah instrumen-instrumen internasional
utama mengenai HAMdan yang lazim disebut sebagai International Bill of Human Rights
(PrasastiInternasional tentang Hak Asasi Manusia), yang merupakan instrumen-instrumen

internasional inti mengenai HAM.Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah


mengesahkanperubahan Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan pertama disahkandalam
Sidang Tahunan MPR RI Tahun 1999; perubahan kedua disah kan dalam Sidang Tahunan
MPR RI Tahun 2000; perubahan ketiga disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun
2001; dan perubahan keempat disahkan dalam Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2002.
Perubahan keduaUndang-Undang Dasar 1945 menyempurnakan komitmen Indonesia
terhadap upaya pemajuan dan perlindungan HAM dengan mengintegrasikan ketentuanketentuan penting dari instrumen-instrumen internasional mengenai HAM, sebagaimana
tercantum dalam BAB XA tentang Hak Asasi Manusia. Perubahan tersebut dipertahankan
sampai dengan perubahan keempat Undang-Undang Dasar 1945, yang kemudiandisebut
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.
Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 yang
mengamanatkan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sertakomitmen bangsa Indonesia sebagai bagian
dari masyarakat internasional untuk memajukan dan melindungi HAM, Indonesia perlu
mengesahkan instrumen-instrumen internasional utama mengenai HAM, khususnya
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) serta International Covenant on Civil and
Political Rights (Kovenan Internasionaltentang Hak-hak Sipil dan Politik).3. Pokok-pokok Isi
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.Kovenan ini mengukuhkan pokokpokok HAM di bidang sipil dan politik yang tercantum dalam DUHAM sehingga menjadi
ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum dan penjabarannya mencakup pokokpokok lain yang terkait. Kovenan tersebut terdiri dari pembukaan dan Pasal-Pasalyang
mencakup 6 bab dan 53 Pasal.Pembukaan kedua Kovenan tersebut mengingatkan negaranegara akankewajibannya, menurut Piagam PBB, untuk memajukan dan melindungiHAM,
mengingatkan individu akan tanggung jawabnya untuk bekerja keras bagi pemajuan dan
penaatan HAM yang diatur dalam Kovenan ini dalam kaitannya dengan individu lain dan
masyarakatnya, dan mengakui bahwa,sesuai dengan DUHAM, cita-cita umat manusia untuk
menikmati kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dari rasa takut dan kemiskinan hanya
dapat tercapai apabila telah tercipta kondisi bagi setiap orang untuk dapat menikmati hak-hak
sipil dan politiknya maupun hak-hak ekonomi,sosial dan budayanya.Pasal 1 menyatakan
bahwa semua rakyat mempunyai hak untukmenentukan nasibnya sendiri dan menyerukan
kepada semua negara,termasuk negara-negara yang bertanggung jawab atas pemerintahan
Wilayah yang Tidak Berpemerintahan Sendiri dan Wilayah Perwalian,untuk memajukan
perwujudan hak tersebut. Pasal ini mempunyai arti yang sangat penting pada waktu
disahkannya Kovenan ini pada tahun1966 karena ketika itu masih banyak wilayah
jajahan.Pasal 2 menetapkan kewajiban setiap Negara Pihak untuk menghormatihak-hak yang
diakui dalam Kovenan ini. Pasal ini juga memastikan bahwapelaksanaannya bagi semua
individu yang berada di wilayahnya dan yangberada di bawah yurisdiksinya tanpa ada
pembedaan apapun.
Pasal 3 menegaskan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.Pasal 4 menetapkan
bahwa dalam keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa dan keadaan itu
diumumkan secara resmi,negara pihak dapat mengambil tindakan yang menyimpang
darikewajibannya menurut Kovenan ini sejauh hal itu mutlak diperlukan oleh kebutuhan

situasi darurat tersebut, dengan ketentuan bahwa tindakan itutidak mengakibatkan


diskriminasi yang semata-mata didasarkan pada ras,warna kulit, jenis kelamin bahasa, agama,
atau asal usul sosial.Pasal 5 menyatakan bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan
ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak kepada negara, kelompok,atau seseorang
untuk melibatkan diri dalam kegiatan atau melakukantindakan yang bertujuan
menghancurkan hak atau kebebasan mana pun yang diakui dalam Kovenan ini atau
membatasinya lebih daripada yang ditetapkan dalam Kovenan ini. Pasal ini juga melarang
dilakukannya pembatasan atau penyimpangan HAM mendasar yang diakui atau yang berlaku
di negara pihak berdasarkan hukum, konvensi, peraturan, ataukebiasaan, dengan dalih bahwa
Kovenan ini tidak mengakui hak tersebutatau mengakuinya tetapi secara lebih sempit.Pasal 6
sampai dengan Pasal 27 menetapkan bahwa setiap manusia mempunyai hak hidup, bahwa
hak ini dilindungi oleh hukum, dan bahwa tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya
secara sewenang-wenang (Pasal 6); bahwa tidak seorang pun boleh dikenai siksaan,
perlakuan ataupenghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat(Pasal
7); bahwa tidak seorang pun boleh diperbudak, bahwa perbudakandan perdagangan budak
dilarang, dan bahwa tidak seorang pun bolehdiperhamba, atau diharuskan melakukan kerja
paksa atau kerja wajib(Pasal 8); bahwa tidak seorang pun boleh ditangkap atau ditahan
secarasewenang-wenang (Pasal 10); dan bahwa tidak seorang pun boleh dipenjarakan hanya
atas dasar ketidakmampuannya memenuhi kewajibankontraktualnya (Pasal 11).Selanjutnya
Kovenan menetapkan kebebasan setiap orang yang berada secara sah di wilayah suatu negara
untuk berpindah tempat dan memilihtempat tinggalnya di wilayah itu, untuk meninggalkan
negara manapun termasuk negara sendiri, dan bahwa tidak seorang pun dapat
secarasewenang-wenang dirampas haknya untuk memasuki negaranya sendiri(Pasal 12);
pengaturan yang diberlakukan bagi pengusiran orang asing yang secara sah tinggal di negara
pihak (Pasal 13); persamaan semua orang di depan pengadilan dan badan peradilan, hak atas
pemeriksaan yang adildan terbuka oleh badan peradilan yang kompeten, bebas dan
tidakberpihak, hak atas praduga tak bersalah bagi setiap orang yang dituduhmelakukan tindak
pidana, dan hak setiap orang yang dijatuhi hukuman atas peninjauan kembali keputusan atau
hukumannya oleh badan peradilan yang lebih tinggi (Pasal 14); pelarangan pemberlakuan
secara retroaktif peraturan perundang-undangan pidana (Pasal 15); hak setiaporang untuk
diakui sebagai pribadi di depan hukum (Pasal 16); dan tidakboleh dicampurinya secara
sewenang-wenang atau secara tidak sah privasi,keluarga, rumah atau surat menyurat
seseorang (Pasal 17).Lebih lanjut Kovenan menetapkan hak setiap orang atas
kebebasanberpikir, berkeyakinan danberagama serta perlindungan atas hak-haktersebut
(Pasal 18); hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campurtangan pihak lain dan hak
atas kebebasan untuk menyatakan pendapat(Pasal 19); pelarangan atas propaganda perang
serta tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama
yangmerupakan hasutan untuk melakukan tindak diskriminasi, permusuhanatau kekerasan
(Pasal 20); pengakuan hak untuk berkumpul yang bersifatdamai (Pasal 21); hak setiap orang
atas kebebasan berserikat (Pasal 22);pengakuan atas hak laki-laki dan perempuan usia kawin
untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk keluarga, prinsip bahwaperkawinan tidak
boleh dilakukan tanpa persetujuan bebas dansepenuhnya dari para pihak yang hendak
melangsungkan perkawinan(Pasal 23); hak anak atas perlindungan yang dibutuhkan oleh
statusnyasebagai anak dibawah umur, keharusan segera didaftarkannya setiap anak setelah

lahir dan keharusan mempunyai nama, dan hak anak atas kewarganegaraan (Pasal 24); hak
setiap warga negara untuk ikut sertadalam penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih
dan dipilih, sertamempunyai akses berdasarkan persyaratan umum yang sama padajabatan
publik di negaranya (Pasal 25); persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak
semua orang atas perlindungan hukumyang sama tanpa diskriminasi (Pasal 26); dan tindakan
untuk melindungi golongan etnis, agama, atau bahasa minoritas yang mungkin ada di
negarapihak (Pasal 27).Pasal 27 merupakan akhir bagian substantif Kovenan ini.
Untukmengawasi pelaksanaan hak-hak yang termaktub dalam Kovenan ini, Pasal 28 sampai
dengan Pasal 45 menetapkan pembentukan sebuah komite yang bernama Human Rights
Committee (Komite Hak Asasi Manusia) besertaketentuan mengenai keanggotaan, cara
pemilihan, tata tertib pertemuan,kemungkinan bagi negara pihak untuk sewaktu-waktu
menyatakan bahwanegara tersebut mengakui kewenangan Komite termaksud untuk
menerimadan membahas komunikasi yang menyatakan bahwa suatu negara pihakdapat
mengadukan tentang tidak dipenuhinya kewajiban menurut Kovenanoleh negara pihak lain,
dan cara kerja Komite dalam menangani permasalahan yang diajukan kepadanya.Kovenan
kemudian menegaskan bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang boleh
ditafsirkan sebagai mengurangi ketentuanPiagam PBB dan konstitusi badan khusus dalam
hubungan dengan masalah yang diatur dalam Kovenan ini (Pasal 46); dan bahwa tidak
satuketentuan pun dalam Kovenan ini yang boleh ditafsirkan sebagai mengurangi hak
melekat semua rakyat untuk menikmati dan menggunakan secara penuh dan secara bebas
kekayaan dan sumber daya alamnya (Pasal 47).Kovenan ini diakhiri dengan Pasal-Pasal
penutup yang bersifat procedural seperti pembukaan penandatanganan, prosedur yang harus
ditempuh oleh suatu negara untuk menjadi pihak padanya, mulai berlakunya, lingkup
berlakunya yang, meliputi seluruh bagian negara federal tanpa pembatasan dan pengecualian,
prosedur perubahannya, tugas Sekretaris Jenderal PBBsebagai lembaga penyimpan
(depositary) Kovenan, dan bahasa yang dipergunakan dalam naskah otentik (Pasal 48 sampai
dengan Pasal 53).
RIZQ (04400033)
Comment Number:
5
Ditulis oleh:
abdullah syafii
Pada tanggal:
28 March 2007 jam 18:55

Abdullah syafii
04400116
VI / C
Fakultas hokum

Kebebasan adalah hakekat dari kehidupan manusia,keadilan merupakan hilangnya


penghisapan manusia dengan manusia yang lain ( karl mark )
Pada abad 18 berkembang pandangan hukum yuridi dogmatis yang memandang bahwa
penerapan hukum hanya didasarkan pada ketentuan yang telah diatur,tetapi pada awal abad
19 pandangan hukum yang yuridis dogmatis, mulai dikritisi salah satu tokohnya adalah van
savigny yang berpandangan bahwa penerapan hukum tidak semata-mata hanya didasarka
pada ketentuan yang berlaku, tetapi juga harus dipertimbangkan factor- factor yang melandasi
terhadap perbuatan seseorang maupun landasan yang melatarbelakangi terbentuknya suatu
hukum, pandangan ini dikenal dengan aliran yuridis histories ( sosiologi hukum ; Prof. Dr.
Sapticjo Raharjo ), memang ulasan teoritis di atas sedikit ada korelasinya dengan
permasalahan HAM, tetapi kalau kita lihat secara jeli, teoretis di atas ada korelasi yang erat
dengan permasalahan hukum, sudah menjadi rahasia umum bahwa hukum merupakan produk
dari konfigurasi politik yang berada pada pembentuk ( critik legal studies )
Kebebasan pada setiap manusia merupakan hak yang dimiliki sejak lahir,yang tidak bisa di
kurangi oleh siapapun, dalam konvenan internasional ada beberapa hal mengenai hak asasi
manusia yang dapat dikurangi demi kepentingan Negara (derogble right ) dan ada juga yang
tidak dapat dikurangi oleh Negara meskipun dalam kondisi Negara yang darurat. ( non
derogble right ), untuk hak yang tidak dapat dikurangi oleh kepentingan Negara adalah hak
yang berkaitan dengan social dan politik, hak ini sifatnya hak yang berada pada internal
manusia. diantaranya seperti hak mendapat kebebasan sehingga lepas dari segala bentuk
penyiksaan, hak untuk hidup, hak mendapatkan martabat, hak lepas dari penghambaan.
sedangkan dalam hak non derogble atau hak yang bisa dikurangi meliputi hak untuk
berserikat, hak unruk berpolitik serta hak untuk mendapatkan pekerjaan dan hak
mendapatkan adil dan merata.tetapi pengurangan hak yang bersifat non derogble ini harus
diatur di dalam hokum agar adanya jaminan kesejahteraan umum.
Sehingga hak asasi manusia dapat dikurangi ( non derogble ) apabila di dalam suatu Negara
tersebut memungkinkan untuk mengurangi dengan dasar demi kepentingan Negara.tetapi
yang harus kita amati disini untuk pengurangan ini ada beberapa ketentuan atau permasalahan
yang dirasa sangat urgent misalkan hak untuk mengurangi organisasi apabila dirasa
berbahaya, kita melihat saat ini bahwasanya semua pengetahuan maupun aktifitas tidak
berdiri independent.tetapi semua ada kepentingan.secara global ada dua garis politik
( ideology ) yang bertarung dan tidak bisa didamaikan.yakni kapitalisme dan komunisme.
perlu diakui bahwa saat ini secara mayoritas Negara-negara yang ada saat ini masih
mengusung kapitalisme termasuk Indonesia dibawah komando amerika serikat. sedangkan
kalangan yang berpaham kapitalisme berada di daerah Negara yang berkembang progresif
seperti daerah benua amerika latin yang mengalami kemajuan politik, dan kalau penerapan
non derogable ini diterapkan yang teruatama mengurangi hak berorganiasi, langkah ini
merupakan mengalami kemunduran.karena dengan pengurangan untuk hak berorganiasi
merupakan langkah kalangan kaum capital untuk menghabisi lawan politiknya.seperti halnya
peristiwa pembantaian lascar perjuangan era kemerdekaan dibawah komando M HATTA.
Serta pembumi hangusan sang malaikat orang miskin PKI oleh kalangan capital dibawah

komando soeharto dan nasution ( yang berlawan 2004 : pembongkaran sejarah kebenaran
PKI ) ,yang kedua mengenai permasalahan pengurangan hak bekerja, permasalahan
kesejahteraan seseorang saat ini berdasarkan pada pendapatan setiap harinya,sesuai dengan
criteria orang miskin menurut IMF adalah seseorang yang berpendapatan setiap harinya
kurang dari $ 2. dalam praktek kapitalisme yang saat ini berkembang, selalu menerapkan
teori efisiensi, sehingga yang menjadi korban adalah para pekerja.apabila dalam konvenan ini
dilakukan pengurangan hak pekerja maka secara tidak langsung akan mengurangi hak untuk
mendapatkan penghidupan yang layak atau hak untuk kesejahteraan.sehingga ini tidak tepat
jikalau permasalahan hak bekerja demi kesejahteraan dikurangi dengan alasan kesejateraan
umum.
Hak asasi yang melekat pada manusia merupakan hak yang tidak boleh dirampas oleh
siapapun, hak ini bukan merupakan hak pemberian dari lembaga negara, tetapi memang
sudah ada sejak manusia di lahirkan.misalnya hak untuk hidup dan hak untuk lepas dari
segala bentuk perbudakan dan penindasan, yang perlu kita garis bawahi disini adalah lahirnya
regulasi mengenai HAM ini karena terjadinya traumatic politik akibat perang kapitalisme ,
fasisme, komunisme ( PD II ) Dimana ribuan orang menjadi korban dari bentuk penindasan
yang telah dilegitimasi oleh negara, misalnya pada era fasis jerman di bawah komando
Hitler.para pemuda jerman dipasok pemikiran nasionalisme sempit,dan juga penerapan sistem
militer bagi rakyat. Pengakuan secara universalitas hak asasi manusia harus diberlakukan di
setiap negara tanpa adanya pengecualian,langkah ini untuk mencegah terjadinya pelanggaran
hak asasi manusia yang didasari kepentingan politik. Tetapi untuk penegakan hak asasi
manusia secara unversalitas atau yang dikenal dengan azas universalitas masih disangsikan
dalam penerapanya meskipun secara internasioanal sudah ditekankan bagi setiap negara
untuk diratifikasi,kondisi tersebut disesuiakan pada perpolitikan dan sisitem di suatu negara
yang meratifikasinya.misalkan Indonesia yang baru meratifikasinya pada tahun 1999 padahal
declaration of human right yang disahkan pada tahun 1948.ada apa dengan dengan
indonesiaku ?, sampai saat ini masih dirasakan betul ketidak seriusan penerapan perlindungan
hak asasi manusia, misalkan pembongkaran kasus pembantaian PKI secara massal tanpa
melalui mekanisme pengadilan yang di sinyalir terbesar nomor tiga di dunia. .
Comment Number:
6
Ditulis oleh:
aulga m MP
Pada tanggal:
28 March 2007 jam 19:06

Aulga M.M.P
04400122
VI / C
Fakultas hukum

Hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki sejak lahir misalkan hak untuk hidup,hak
untuk mendapatkan kebebasan dari segala bentuk penindasan.mengenai hak asasi manusia
dibagi menjadi dua hak yaitu hak sospol dan hak ekosusbud.hak yang dikualifikasikan dalam
hak sospol adalah hak yang melekat pada diri manusia sejak dia ada,yakni hak untuk hidup,
hak lepas dari segala bentuk penindasan maupun perbudakan.sedangkan hak yang
dikualifikasi dalam hak ekosusbud adalah hak untuk berorganisasi, hak untuk mendapatkan
pekerjaan,atau bisa disebut sebagai hak yang berada pada eksternal manusia. Untuk mengenai
hak sipol secara global bisa disebut non derogbel atau tidak bisa dikurangi,karena ini
berkaitan dengan kelangsungan hidup manusia secara langsung, sedangkan hak derogbel atau
hak yang bisa dikurangi adalah hak yang berada pada diri luar manusia atau pemberian dari
lembaga negara ( ekosusbud ).
Untuk permasalah hak derogbel bisa dilakukan intervensi negara, dengan alasan demi
kepentingan negara ketika negara dalam kondisi darurat. Misalkan hak untuk
berorganisasi.dimana dalam suatu negara terjadi pertentangan politik maka pemerintah
setempat bisa melakukan pembubaran organisasi,secara implicit tidak tepat kemudian jika di
dalam hak asasi mengenai kebebsan berserikat itu dikurangi.dikarenakan itu bisa digunakan
landasan negara untuk mengabisi lawan politiknya, sehingga berdampak pada tertutupnya
ruang demokrasi. Karena secara umum regulasi merupakan cetakan dari kepentingan politik
yang bertarung di lembaga legislative.
Sejarah kelam penyiksaan kaum manusia yang berada pada polis- polis yunani melalui
perbudakan sampai pembantaian manusia pada perang dunia II merupakan landasan
terbentuknnya konvenan HAM, dengan tujuan hak yang dimilki setiap manusia bisa dijamin
oleh regulasi. Dengan pertimbangan humanis tersebut maka diperlukan penekanan penerapan
hak asasi manusia di setiap negara, agar tidak sejarah kelam manusia tidak terjadi
lagi.penerapan ini dikenal dengan azas universalitas, yang menjadi permasalahan saat ini
bisakah azas universalitas di tegakkan ? pada permasalahan ini dilihat kondisi di negara
tersebut, misalkan di Indonesia yang baru meratifikasi HAM pada tahun 1999 pasca
lengsernya kepemimpinan orde baru.padahal pada era orde baru banyak sekali pelanggaran
HAM yang telah dilakukan, dengan realitas tersebut bisa dikatakan bahwa konstalasi politik
lah yang bisa menerapkan azas universalitas. Bukan regylasi atau azas tersebut yang bisa
meredam konstalasi politik
Comment Number:
7
Ditulis oleh:
andrianto gunarso/04400129
Pada tanggal:
28 March 2007 jam 22:59

Oleh:Andrianto Gunarso
04400129 / 6C
Komentar saya mengenai azas Universalitas ialah suatu azas yang perlu mendapatkan suatu
perhatian khusus, karena sejak awal Majelis Umum PBB telah menyatakan bahwa Deklarasi
Universal tidak dimaksudkan untuk menciptakan kewajiban yang mengikat Negara-negara
anggota secara hukum, dan sejalan dengan itu ia lalu memberi mandate kepada CHR untuk
menyempurnakan perumusan naskah sebuah traktat yang secara internasional mengikat, yang
tidak hanya akan mengubah hak-hak yang disebutkan dalam Deklarasi itu menjadi hukum
positif, tetapi juga akan menetapkan lembaga dan mekanisme bagi pengawasan dan
pelaksanaannya.Sedankan perbedaan efektifitas dua kovenan DUHAM adalah, sementara
pasal 2 ICCPR menetapkan bahwa hak-hak yang dilindungi itu akan dihormati dan segera
dijamin, Pasal 2 ICESCR hanya menetapkan bahwa Negara harus mengakui hak-hak yang
dimasukkan dalam kovenan dan harus mengimplementasikan hak-hak itu secara progresif
sesuai dengan program-program khusus. Perbedaan lain yang juga sangat penting: ICCPR
menetapkan bahwa Komite Hak Asasi Manusia (HRC) akan mengawasi implementasi
Kovenan dan menetapkan, melalui suatu protokol fakultatif, suatu mekanisme yang
memungkinkan individu-individu mengajukan petisi ke HRC, sedangkan ICESCR hanya
menyerahkan fungsi pengawasan itu kepada sebuah badan politik PBB, yaitu ECOSOC.Kita
tahu bahwa pada saat itu Indonesia tidak ikut merumuskan isi dari DUHAM akan tetapi
secara tidak langsung ikut menyetujui dan meratifikasi DUHAM tersebut sesuai azas
Universal.Karena pada tanggal 10 Desember 1948 DUHAM disahkan maka pada waktu itu
pula stabilitas keamanan di Indonesia sedang tidak aman karena adanya penjajahan oleh
Belanda.Meskipun tidak ikut merumuskan dan hanya meratifikasi DUHAM ialah tidak
masalah asalkan Negara tersebut mau mematuhi dan melaksanakan isi dari DUHAM tersebut.
Kendati banyak kesulitan dijumpai dalam upaya memantapkan system universal untuk
mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia, PBB juga menjalankan programprogram untuk menyusun instrument yang secara hukum mengikat guna nenangani aspekaspek hak asasi manusia yang khusus. Di antara instrument-instrumen ini adalah traktattraktat mengenai pencegahan dan penghukuman terhadap genosida (pembantaian manusia),
larangan terhadap diskriminasi seksual dan agama, pemusnahan dan penghukuman terhadap
apartheid, larangan terhadap praktek penyiksaan, kerjasama internasional mengenai masalahmasalah yang berkaitan dengan pengungsi dan orang-orang tak bernegara dan yang terbaru
suatu konvensi khusus mengenai hak anak-anak. Perlu juga disinggung disini mengenai
beberapa langkah dan inisiatif kelembagaan yang diambil oleh PBB untuk mempromosikan
dan melindungi hak asasi manusia. ECOSOC, khususnya telah menetapkan prosedur,
berdasrkan Resolusi 12385 dan 1503, yang memungkinkan dilakukannya penyelidikan
terhadap pelanggaran hak asasi manusia secara kasar dan terus-terusan oleh Negara-negara
tertentu.Di Indonesia sendiri masih banyak kasus pelanggaran HAM seperti kasus Tanjung
Priok yang mana melibatkan Mayjen TNI Pranowo dan Mayjen Sriyanto akan tetapi
keduanya telah bebas pada tanggal 10 dan 12 Agustus.Dll.Menurut saya HAM secara
universal haruslah dijunjung tinggi kebenarannya sesuai dengan hak asasi yang diperoleh
oleh setiap manusia yang diberikan oleh sang khalik kita yaitu Allah Swt.Amin

Sumber dan Acuan:


1. C.de Rover To Serve and To Protect Acuan Universal Penegakan HAM, PT Raja
Grafindo,Jakarta,2000
2. Scott Davidson HAK ASASI MANUSIA PT Pustaka Utama Grafiti,Jakarta,1994
3. Litbang Kompas, kasus-kasus pelanggaran HAM.
Comment Number:
8
Ditulis oleh:
Rengga Subastian
Pada tanggal:
29 March 2007 jam 0:17

Dengan Lahirnya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948 di Paris merupakan respons dari umat manusia
di dunia bahwa mereka dilahirkan dengan kebebasan dan memiliki kesamaan dalam derajat
serta di depan hukum. Meski dari sejarahnya konsep HAM universal ini diwarnai oleh sejarah
Barat, tetapi esensi dari HAM itu sendiri tidak dibuat untuk memenuhi kepentingan Barat
melainkan kepentingan semua umat manusia di muka bumi ini dan semua manusia punya hak
asasi yang harus dihormati tanpa memandang perbedaan apa pun dan disini Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) yang mewajibkan semua anggotanya melaksanakan UDHR 1948.
Pada Piagam PBB pasal 55 ayat c disebutkan bahwa PBB wajib mempromosikan
penghargaan dan pelaksanaan HAM serta hak-hak fundamental lainnya, seperti kebebasan
untuk semua orang, tanpa memandang ras, jenis kelamin, bahasa, dan agama yang dianutnya.
Dengan demikian, negara anggota PBB harus mengikuti apa yang dideklarasikan dalam
UDHR 1948
Tetapi dalam pelaksanaan DUHAM disini mendapatkan suatu pertentangan bagi beberapa
negara dan memang harus diakui bahwa memang dalam merusmuskan asas-asas yang
termuat dalam deklarasi DUHAM pada saat ditetapkan khususnya Indonesia yang tidak ikut
andil. Dimana disini Indonesia masih dalam keadaan yang belum stabil dikarenakan
Indonesia saat itu baru saja merdeka dan hanya mengurus keadaan yang harus diperbaiki
keamanan didalam negeri sehingga belum mengurusi deklarasi tersebut. Dan disini Indonesia
sebagai negara hukum memang harus memiliki suatu perlindungan HAM agar terciptanya
suatu kebebasan untuk semua orang, tanpa memandang ras, jenis kelamin, bahasa, dan agama
yang dianutnya tetapi dalam kenyataannya di Indonesia penerapan dalam penegakan HAM
sehingga banyak dari masyarakat kurang dan tidak konkrit.
Namun dalam kenyataannya banyak dari negara-negara asia menganggap HAM bukan
sesuatu yang universal. Menurut mereka yang berpaham antiuniversalitas HAM itu,
pengakuan universalitas HAM berarti mengingkari adanya relativisme kultural yang ada di
bumi ini. Oleh karena itu, sejumlah negara di Asia tidak mau mengakui HAM sebagai hal
yang universal. Ini bisa dilihat dari keengganan sejumlah negara di Asia untuk memasukkan

HAM universal ke dalam konstitusi atau perundang-undangan di negara mereka. Mereka


menganggap bahwa HAM adalah produk negara-negara Barat sehingga keberadaannya tidak
kompatibel dengan kultur orang-orang Asia.1
1 Berita mingguan Pikiran Rakyat, minggu 12 Desember 2004, Tentang Antara Universalitas
HAM dan Asian Values, di Internet
Di Asia dan Pasifik satu-satunya kawasan geografis yang ditetapkan PBB tanpa system hak
asasinya. Satu alasan yang gamblang untuk hal ini adalah kenyataan bahwa kawasan ini tidak
memiliki pengelompokan politik regional seperti OAS di Amerika, EC di Eropa, OUA di
Afrika. Disemua kawasan ini ada pengelompokan politik yang memberikan dorongan bagi
pembentukan dan pengawasan sistem HAM, Faktor lain dikemukakan untuk menjelaskan
tidak adanya sistem HAM dikawasan Asia Pasifik adalah keluasan dan keanekaannya.
Negara-Negara Asia dan Pasifik tidak memiliki latar belakang agama, politik, sosial, budaya
atau sejarah yang sama dan tidak ada landasan yang jelas dari komunalitas yang berdasarkan
hal tersebut ASIA dapat mengupayakan dengan sungguh-sungguh suatu jati diri terpisah
dari dirinya sendiri. PBB telah berupaya keras meningkatkan pengembangan pengaturan
kawasan dibagian dunia ini, namun upaya tersebut tidak mungkin akan berhasil sekurangkurangnya dimasa depan yang tak dapat diramalkan dan melihat perjuangan untuk
membentuk sistem HAM dibagian dunia tersebut sebagai suatu usaha yang bahkan jika
berhasil, mungkin merupakan yang terbaik dengan menimbulkan struktur yang sangat lemah
dan tidak efektif.2
2C. De Rover; To Serve & To Protect (Acuan Universal Penegakan HAM);
Nama : Rengga Subastian
Nim : 04400127 / VI C
Comment Number:
9
Ditulis oleh:
Rifin Sucipto
Pada tanggal:
29 March 2007 jam 0:22

Bahwa standar umum tentang HAM yang dimuat dalam Deklarasi HAM 1948 tidak dapat
diberlakukan oleh semua masyarakat atau semua Negara dengan berbagai alas annya yang
telah dikemukakan diatas. Memang hal tersebut ada benarnya pada waktu itu dikarenakan
tidak semua Negara ikut dalam merumuskan azas-azas yang termuat didalam DUHAM pada
saat ditetapkanya. Namun demikan alasan tersebut sudah tidak dapat dijadikan alasan lagi
dikarenakan dengan adanya Konferensi Internasional tentang HAM di Teheran pada tanggal
22 April -13 Mei tahun 1968. Dimana pada waktu itu dihadiri oleh hampir seluruh anggota
PBB dan telah disepakati bahwa DUHAM diakui dan diterima oleh seluruh Negara meskipun
ada sebagian Negara yang tidak menerimanya.
Menurut pendapat saya dengan dideklarasikan DUHAM di Teheran Tanggal 22 April 13

Mei 1968. Apa yang termuat didalamnya terdapat suatu aturan yang melindungi setiap orang
atau warga Negara di dunia dalam penghormatan harkat, martabat dan nilai-nilai manusia.
Hal tersebut bentuk kepedulian setiap Negara akan pentingnya HAM bagi warga Negara
tanpa membeda-bedakan ras, suku, agama dan warna kulitnya. Dan seharusnya setiap Negara
menjadikan hal itu menjadi suatu peraturan hokum demi melindungi warga negarnya
terutama tentang HAM atau demi kepentingan Negara itu sendiri yang terbebas dari bentuk
penyiksaan terhadap orang-orang lemah yang dilakukan oleh para penguasa.
Namun demikian, pengakuan bahwa HAM itu adalah universal ternyata tidak sepenuhnya
didukung oleh semua warga dunia.Ada sejumlah negara, khususnya yang berada di kawasan
Asia, menganggap HAM bukan sesuatu yang universal. Menurut mereka yang berpaham
antiuniversalitas HAM itu, pengakuan universalitas HAM berarti mengingkari adanya
relativisme kultural yang ada di bumi ini.Oleh karena itu, sejumlah negara di Asia tidak mau
mengakui HAM sebagai hal yang universal. Ini bisa dilihat dari keengganan sejumlah negara
di Asia untuk memasukkan HAM universal ke dalam konstitusi atau perundang-undangan di
negara mereka. Mereka menganggap bahwa HAM adalah produk negara-negara Barat
sehingga keberadaannya tidak kompatibel dengan kultur orang-orang Asia (Pamela A.
Jefferies : 2000). Menurut mereka, Asia punya nilai-nilai khas Asia (Asian values) yang tidak
bisa disamakan dengan nilai-nilai yang diadopsi oleh negera-negara Barat. Asian values
adalah keunikan yang harus dihormati oleh semua warga dunia.
Di Indonesia sendiri sejak era reformasi, HAM merupakan hal yang sangat penting
dikarenakan pada saat itu banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM terutama pada saat
jatuhnya kepemimpinan Suharto. Mulainya terbunuhnya mahasiswa Trisakti, kasus Semangi
dan lainya yang semuanya didalamnya terdapat adanya pelanggaran HAM.
Sejak adanya Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang pengadilan HAM yang diharapkan
untuk mengurangi terjadinya pelanggaran HAM atau dapat mengusut tuntas kasus yang
terjadi sebelum lahirnya Undang-Undang tersebut tetapi masih saja belum dapat dilaksanakan
dengan sepenuhnya atau seharusnya. Namun demikian sejak lahirnya Undang-Undang
tersebut masih tetap saja terjadinya pelanggaran HAM. Dimana yang masih teringat dialam
pikiran kita tentang terbunuhnya Munir. Dimana masih belum ada kejelasan siapa otak
dibalik pembunuhan terhadap Murnir yang diman masah hidupnya memperjuangkan tentang
HAM.
Untuk itulah perlunya pembenahan tentang HAM untuk kedepanya. Dimana menurut Demos
menyatakan bahwa ada beberapa hal yang perlu dilakukan ke depan untuk membuat
perlindungan dan pemajuan HAM semakin baik, khususnya pada perbaikan representasi.
Bagaimana masyarakat, khususnya yang paling dipinggirkan, terepresentasi dalam proses
pengambilan keputusan politik, baik di tingkat lokal maupun nasional. Penelitian kita kan
menunjukkan ada defisit di sini. Representasi sangat buruk. Ini prioritas yang harus
diperbaiki. Secara umum kita katakan perlunya repolitisasi rakyat karena sudah dipolitisasi
selama ini
SUMBER :
1. Berita mingguan Pikiran Rakyat, minggu 12 Desember 2004, Tentang Antara Universalitas
HAM dan Asian Values, di Internet

2. Maria hartiningsih dan Subur tjahjono tentang HAM dan Demokrasi Saling
Memperkuat, di internet
3. Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM
Disusun Oleh:
Rifin sucipto (04400150) / VIC
Comment Number:
10
Ditulis oleh:
Hamdani
Pada tanggal:
29 March 2007 jam 2:34

Hamdani
04400140
VI/C
meskipun secara normatif HAM menjadi ideologi Universal, akan tetapi dalam prakteknya
belum sepenuhnya terealisasi atau dapat diberlakukan secara maksimal oleh semua negara
khususnya negara anggota PBB, hal tersebut disebabkan antara lain dikarenakan berbagai
kultur politik yang bervariatifyang menjadi kendala pelaksanaan HAM.
akan tetapi alasan tersebut tidak dapat dijadiakn patokan suatu negara untuk tidak
melaksanakan dan mentaati HAM yang termuat dalam DUHAM 1948 tersebut, apalagi suatu
negara tersebut menganut atau mengaku negaranya sebagai negara hukum baik formil
maupun negara hukum modern, yang mana salah satu ciri khas dari suatu negara hukum
adalah mengakui dan melindungi dasar hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan
dalam bidang politik, hukum, sosialekonomi dan budaya.
boleh dikatakan bahwa pernyataan-pernyataan yang tertuang dalam DUHAM 1948 beserta
dua konvenannya merupakan suatu seruan moral saja,demi terciptanya pergaulan antar
bangsa dan rakyatnya, akan tetapi apa yang telah dinyatakan dalam dokumen-dokumen
DUHAM 1948 dimaksudkan agar dapat digunakan sebagai standart yang diakui dunia
internasional demi menjamin berbagai hak dan kebebasan yang harus diakui oleh negara
manapun, berdasarkan atas asas rule of law yang terdapat dalam negara yang berdasarkan
atas hukum atau negara hukum.
didalam mukaddimah yang terdapat dalam konvenan tersebut memberi petunjuk bagi semua
negara untuk kesadarannya bahwa setiap manusia atau individu mempunyai kewajiban
terhadap individu atau manusia lainnya dan masyarakat ditempat ia berada dan mempunyai
tanggung jawab untuk mentaati dua konvenan yang terdapat dalam DUHAM 1948,serta
setiap negara harus memajukan penghormatan secara universal serta mentaati hak-hak asasi
dan kebebasan manusia.
terealisasinya atau tidaknya DUHAM itu tergantung atau berada dalam tangan para penguasa

negara dalam menegakkan dan mengefektifitaskan perlindungan HAM agar pelanggaranpelanggaran HAM dapat diredusir atau dapat ditiadakan sama sekali. menurut Heru Nugroho
dalam bukunya menggugat kekuasaan negara menyatakan bahwa hanya ada satu kata kunci
dalam rangka untuk penegakan HAM yaitu Demokratisasi persoalannya adalah bagaimana
kata kunci tersebut dapat dijalankan dalam kehidupan bernegara tanpa harus menimbulkan
gejolak-gejolak internal dalam negara?
sumber
1. lembaga studi & advokasi masyarakatkursus hak asasi manusia untuk pengacara
2. muh.Kusnardi. SH.hukum tata negara indonesia
3. Heru Nugroho menggugat kekuasaan negara
Comment Number:
11
Ditulis oleh:
Reny Wulandari Tri Rahayu
Pada tanggal:
29 March 2007 jam 8:52

Dalam hal ini saya setuju dengan penulis dimana Universalitas HAM dengan kekuatan yang
mengikat tidak perlu diragukan lagi. pemikiran-pemikiran yang meragukan dengan alasanalasan yang dikemukakan (2 alasan yang dikemukakan dalam artikel) dapat
dibantah.Pertama, dengan ketidaksertaan Indonesia dalam perumusan DUHAM (Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia) bukanlah alasan dimana Indonesia itu tidak menerapkan
DUHAM bukan??? Indonesia dalam konteks penataan nilai dan aturan hukum tentang HAM
sudah memiliki sumbangan-sumbangan atau kontribusi untuk memajukannya. Di tahun 2005,
2 konvenan-konvenan HAM itu sudah diratifikasi oleh Indonesia yaitu tentang Hak-hak
ekonomi, Sosial, dan Budaya, serta Hak-hak Sipil Politik. Selain itu, konsep pemenuhan
HAM yang diperhatikan dan diperjuangkan, mengharuskan manusia hidup secara
berkelompok dan terorganisasi sehingga terbentuk negarasebagai pemegang kedaulatan
semata-mata untuk melindungi dan memenuhi Hak Asasi Warga Negara. Konsep inilah yang
mendasari ketentuan Internasionalyang ditegaskan dalam piagam PBB. Dalam konstitusi
pasal 28 I ayat 4 menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
HAM adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah.
Kedua,DUHAM adalah sebuah kompromi yang bersifat internasional, kompromi disini jelas
menyiratkan aspek minimal didalamnya yaitu rumusan-rumusan dalam DUHAM tersebut
jelas tidaklah mungkin untuk memuaskan semua pihak secara penuh jika dilihat dari sudut
pandang masing-masing. yang jelas suatu hak asasi haruslah dikaitkan kepada kewajiban
asasi. Memang rativikasi belum bisa menjamin secara menyeluruh, tapi setidaknya hal itu
bisa menjadi langkah awal yang menjadi landasan tindakan-tindakan nyata selanjutnya untuk
kepentingan rakyat.
Untuk masalah penerapan atau implikasi ataupun peran instansi terkait dengan HAM itu

sendiri adalah subyektif untuk disikapi. yang pasti untuk Universalitas itu sendiri tidak
diragukan lagi, masalah penerapannya tidak sesuai atau banyaknya pelanggaran yang terjadi
adalah wujud penghambat Universalitas HAM
sumber artikel :
* Al Andang L. Binawan ( penulis adalahalumnus Khatholike Universiteit Leuven, Belgia )
* Al-Araf ( penulis adalah Koordinator Peneliti Imparsial )namun artikelnya tidak sepaham
dengan saya.
Oleh :
Reny Wulandari Tri Rahayu
05400105 / VI B
Fakultas Hukum UMM
Comment Number:
12
Ditulis oleh:
Maharani Wahyu Dianasari
Pada tanggal:
29 March 2007 jam 8:59

Silahkan tulis komentar di sini.


Memang wajar jika timbul keraguan bagi atau dari negara-negara yang tidak ikut serta dalam
Deklarasi HAM, apalagi yang pada saat itu belum merdeka.
Tapi harus diingat bahwa hasil dari deklarasi tersebut untuk melindungi kepentingan negara
bukan untuk merugikan negara, apalagi hasil deklarasi itu sudah menjadi prinsip-prinsip
universal dalam penghormatan harkat, martabat dan nilai-nilai manusia oleh seluruh negara.
Jadi tidak ada salahnya jika negara yang belum menganut atau memberlakukan Deklarasi
HAM 1948 untuk mencoba atau memulai untuk menganutnya. Kalau dirasa cocok dan
menguntungkan itu juga untuk negara sendiri tapi kalau seandainya merugikan itu kembali
kepada pribadi bangsa yang mungkin bisa memberlakukan prinsip yang lain serta cocok
sebagai solusi atau sebagai jalan keluar kedua, yang tidak lain memiliki tujuan yang sama
yakni mensejahterakan bangsa.
Ditulis oleh:
Maharani Wahyu Dianasari
05400064 / VI C
Fakultas Hukum
Comment Number:
13

Ditulis oleh:
Lia Rosa Fauziah Kilihu
Pada tanggal:
29 March 2007 jam 9:23

Silahkan tulis komentar di sini.


Menurut saya asas universalitas HAM patut diragukan mengingat bahwa di era modern ini
masih banyak pelanggaran yang terjadi tentang penegakan HAM ini. Tapi perlu diingat
bahwa DUHAM ini merupakan hukum Internasional yang harus dipatuhi oleh masyarakat
Internasional. Selain itu masyarakat Internasional juga harus tunduk dengan hal itu sebagai
suatu tertib hukum yang mereka terima sebagai perangkat kaidah yang mengikat dalam
hubungan antar mereka. Walaupun ada sebagian besar yang meragukan tentang Deklarasi
HAM 1948 karena tidak ikut merumuskan asas itu tapi jika seluruh negara sepakat dan
menyetujui serta memiliki kemauan dan kesepakatan bersama antar negara maka hal itu tidak
perlu dipermasalahkan. Hal itu sesuai dengan pandangan Hukum Internasioanal yaitu
Positivisme. Sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan suatu negara maka alangkah
baiknya kita sependapat demi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat suatu negara pada
umumnya maupun demi ketertiban masyarakat dunia pada khususnya.
Comment Number:
14
Ditulis oleh:
linsia
Pada tanggal:
29 March 2007 jam 9:37

Silahkan tulis komentar di sini.


Kelegalan dari universalitas HAM diseluruh negara sagat diakui oleh negara diseluruh dunia,
keresahan atau keraguan masyarakat tentang konsep atau azas dari berlakunya pelaksanaan
DUHAM sudah mempunyai suatu kekuatan hukum yang pasti. Kalau ditinjau dari aspek
keabsahan serta sifatnya sebagai suatu hukum yang telah nyata dan terbukti diseluruh dunia.
Jika ditinjau dari keragua-raguan sebagian besar masyarakat tentang berbagai kasus
pelanggaran HAM yang sering terjadi akhir-akhir ini bukan disebabkan dari faktor penerapan
dan pelaksanaan DUHAM oleh beberapa negara, tetapi menunjuk pada suatu yang
mengganggu efektifitas perlindungan dan penegakan HAM itu sendiri. Pada dasarnya
aparatur negara sudah memberlakukan DUHAM di negara yang bersangkutan, akan tetapi
peran serta dari masyarakat perlu diikutsertakan dalam melaksanakan aktifitas HAM.
Sehingga akan timbul nuansa keseimbangan antara peraturan yang dibuat oleh aparatur
pemerintah dengan yang mengkonsumsi atau yang menerapkan dari produksi DUHAM itu.

Universalitas HAM bersifat umum dan terbuka untuk berbagai negara yang sudah
mempunyai stabilitas hukum yang tetap dalam suatu negara atau belum mempunyai stabilitas
dalam negara tersebut. pada hakikatnya banyak negara-egara yang tidak ikut merumuskan
azas dari pembentukan dan penyelenggaraan DUHAM. Sehingga azas universalitas dari
DUHAM merupakan pondasi yang kokoh untuk dijadikan dasar HAM diseluruh dunia.
ditulis oleh:
Linsia
05400090 / VI C
fakultas Hukum
Comment Number:
15
Ditulis oleh:
Reny Wulandari Tri Rahayu
Pada tanggal:
29 March 2007 jam 9:58

Dalam hal ini saya setuju dengan penulis dimana Universalitas HAM dengan kekuatan yang
mengikat tidak perlu diragukan lagi. pemikiran-pemikiran yang meragukan dengan alasanalasan yang dikemukakan (2 alasan yang dikemukakan dalam artikel) dapat
dibantah.Pertama, dengan ketidaksertaan Indonesia dalam perumusan DUHAM (Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia) bukanlah alasan dimana Indonesia itu tidak menerapkan
DUHAM bukan??? Indonesia dalam konteks penataan nilai dan aturan hukum tentang HAM
sudah memiliki sumbangan-sumbangan atau kontribusi untuk memajukannya. Di tahun 2005,
2 konvenan-konvenan HAM itu sudah diratifikasi oleh Indonesia yaitu tentang Hak-hak
ekonomi, Sosial, dan Budaya, serta Hak-hak Sipil Politik. Selain itu, konsep pemenuhan
HAM yang diperhatikan dan diperjuangkan, mengharuskan manusia hidup secara
berkelompok dan terorganisasi sehingga terbentuk negarasebagai pemegang kedaulatan
semata-mata untuk melindungi dan memenuhi Hak Asasi Warga Negara. Konsep inilah yang
mendasari ketentuan Internasionalyang ditegaskan dalam piagam PBB. Dalam konstitusi
pasal 28 I ayat 4 menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
HAM adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah.
Kedua,DUHAM adalah sebuah kompromi yang bersifat internasional, kompromi disini jelas
menyiratkan aspek minimal didalamnya yaitu rumusan-rumusan dalam DUHAM tersebut
jelas tidaklah mungkin untuk memuaskan semua pihak secara penuh jika dilihat dari sudut
pandang masing-masing. yang jelas suatu hak asasi haruslah dikaitkan kepada kewajiban
asasi. Memang rativikasi belum bisa menjamin secara menyeluruh, tapi setidaknya hal itu
bisa menjadi langkah awal yang menjadi landasan tindakan-tindakan nyata selanjutnya untuk
kepentingan rakyat.
Untuk masalah penerapan atau implikasi ataupun peran instansi terkait dengan HAM itu
sendiri adalah subyektif untuk disikapi. yang pasti untuk Universalitas itu sendiri tidak

diragukan lagi, masalah penerapannya tidak sesuai atau banyaknya pelanggaran yang terjadi
adalah wujud penghambat Universalitas HAM
sumber artikel :
* Al Andang L. Binawan ( penulis adalahalumnus Khatholike Universiteit Leuven, Belgia )
* Al-Araf ( penulis adalah Koordinator Peneliti Imparsial )namun artikelnya tidak sepaham
dengan saya.
Oleh :
Reny Wulandari Tri Rahayu
05400105 / VI C
Fakultas Hukum UMM
Comment Number:
16
Ditulis oleh:
hanan
Pada tanggal:
29 March 2007 jam 10:43

menurut saya mengingat bahwa keberadaan Indonesia ditengah masyarakat Internasional


maka sudah selayaknya memahami bahwa sistem hukum manapun yang dianut oleh suatu
negara, mereka berkewajiban menghormati ketentuan-ketentuan hukum Internasional.dengan
demikian bagi suatu negara yang mengakui dan menjadi anggota komunitas Internasional
sebagai suatu bangsa yang berbudaya wajib menyerap spirit HAM yang terdapat dalam suatu
konvenan yang belum atau sudah diratifikasi olehnya untuk dihormati dan diterapkan sebagai
hukum Nasional oleh Pengadilan. Dengan adanya Deklarasi PBB mengenai Hak Azasi
Manusia (HAM)pada tahun 1948 yang diikuti sejumlah konvensi, traktat dan persetujuan
antar negara lainnya dimaksudkan untuk menghalangi nafsu para pemimpin negara atau siapa
saja yanh ingin memperkosa hak-hak azasi warganya, dan sekaligus membatasi kesempatan
untuk melakukan peperangan dengan ancaman sanksi yang berat. Sebagai tindakan konkrit
PBB, sejumlah peraturan telah diciptakan yang memberikan kewenangan badan-badan dalam
lingkungan PBB untuk melakukan berbagai tindakan preventif dan represif bagi para
pelanggar Hak Azasi Manusia (HAM)tersebut. Namun sejarah telah menunjukkan pula
bahwa kendati seperangkat instrumen yang melindungi Hak Azasi Manusia (HAM)telah
diciptakan dan telah dilengkapi dengan mekanisme pencegahan dan pemberantasannya
melalui Peradilan Pidana Internasional oleh PBB, peperangan yang kejam yang memperkosa
Hak Azasi Manusia (HAM) masih tetap terus terjadi. Indonesia sendiri telah ikut meratifikasi
isi dari Dekalarasi Hak Azasi Manusia (HAM)tersebut,selain itu Indonesia telah mempunyai
UU no.39 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM. Dengan terbentuknya Pengadilan Hak Azasi
Manusia (HAM) berdasarkan UU no.39 tahun 1999, dimana dapat dibuka kemungkinan
dibentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc yang mempunyai jurisdiksi waktu yang retroaktif,

diharapkan para pelanggar Hak Azasi Manusia di Indonesia dapat diadili oleh Pengadilan
Nasional yang mempunyai juridiksi mengadili kejahatan Internasional. Dengan demikian
keberadaan Pengadilan HAM Indonesia secara hukum dapat menjawab bahwa Indonesia mau
dan mampu dengan sungguh-sungguh mengadili pelaku Pelanggaran Hak Azasi Manusia
(HAM) yang berat, seperti yang diamanatkan dalam Deklarasi Hak Azasi Manusia
(DUHAM) dan berbagai instrumen Internasional tentang HAM. sumber: - Prof.Dr.Soedjono
Dirjosisworo,Pengadilan HAm Indonesia, PT.Citra Aditya BAkti Bandung. -DR.H.Eddy
djunaedy Karnasudirdja,SH.,Mcj, Dari Pengadilan Militer internasional Nuremberg ke
Pengadilan HAM Indonesia. PT. Tatanusa Jakarta. oleh: HANAN 04400065/VI-c
Comment Number:
17
Ditulis oleh:
IIN NUR'AINI
Pada tanggal:
29 March 2007 jam 11:14

Oleh :
IIN NURAINI
04400115/VIC
Sebelum membahas mengenai kekuatan mengikat yang dimiliki oleh DUHAM, sebelumnya
kita harus mengerti bagaimana sejarah pembentukannya dan keberlakuan dari salah satu The
International Bill of Human Rights tersebut. Menindak lanjuti berakhirnya perang dunia
kedua dimana hak-hak azasi diinjak-injak, timbul keinginan untuk merumuskan hak-hak
azasi manusia dalam suatu naskah Internasional. Usha ini pada tahun 1948 berhasil dengan
diterimanya Universal Declaration of Human Rights (DUHAM) secara aklamasi oleh
Negara-negara yang tergabung dalam PBB.
Dalam kenyataannnya, memang tidak ditemukan kesukaran untuk mencapai suatu
kesepakatan mengenai pernyataan HAM. Namun terjadi kesukaran untuk melaksanakan
tindak lanjutnya, yaitu menyusun perjanjian (convenant) yang mengikat secara yuridis. Dan
akhirnya pada tahun 1966 tepatnya 18 tahun setelah disetujuinya DUHAM, PBB baru
menyetujui aklamasi perjanjian tentang hak ekonomi, sosoal dan budaya (Covenant on
Economic, Social, and Cultural Rights) serta perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik
(Covenant on Cipil and Political Rights). Perjanjian-perjanjian tersebut baru berlaku setelah
diratifikasi oleh Negara-negara anggota PBB.
Diperlukannya waktu begitu lama untuk menyusun 2 covenant tersebut, disebabkan karena
dalam tubuh Comition on Human Rights timbul perselisihan apakah naskah yang disusun
akan mempunyai kedudukan sebagai hukum positif yang wajib dilaksanakan oleh Negara
yang mengikatkan diri dengan PBB, ataukah hanya berfungsi sebagai pedoman.
Dengan demikian DUHAM yang hanya merupakan pernyataan, pada umumnya dianggap
tidak mengikat secara yuridis dank arena itu sering dinamakan suatu pernyataan keinginan-

keinginan manusia (Declaration of Human Desires) akan tetapi walaupu tidak mengikat
secara yuridis, namun DUHAM memiliki pengaruh moril, politik, dan edukatif secara
universal. Pengaruh tersebut dapat kita lihat dari sering disebutkannnya unsure-unsur
DUHAM dalam keputusan hakim, Undang-undang, ataupun UUD beberapa Negara.
Kesepakatan mengenai dua covenant yang adapun juga mengalami kesulitan, sebab
implementasi HAM menyangkut hukum Internasional yang sangat rumit sifatnya, seperti
maslaah kedaulatan suatu Negara, kedudukan individu sebagai subyek hukum Internasional
dari soal Domestic Yurisdiction. Kesukaran lain ialah bahwa pelaksanaan HAM harus
disesuaikan dengan keadaan Negara masing-masing.
Walaupun kekuatan mengikat secara yuridis tidak dimiliki oleh DUHAM disbanding dengan
kekuatan yuridis yang dimiliki oleh The International Bill of Human Rights lainnya, namun
pengaruhnya secara global dapat kita rasakan seperti munculnya covensi-convensi dibeberapa
Negara yang ditujukan untuk menindak lanjuti perjuangan HAM didunia, antara lain
dibentuknya Convention for The Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms di
Roma tahun 1950.
Sedangkan di Indonesia sendiri yang merupakan Negara baru pada waktu itu telah
mencantumkan beberapa konsepsi HAM di UUD-nya, walaupun dimuat secara terbatas
jumlahnya dan dirumuskan secara singkat. Hal tersebut dikarenakan bahwa naskah ini
disusun pada akhir masa kedudukan jepang dalam suasana mendesak. Selain itu, karena UUD
1945 dibuat beberapa tahun sebelum DUHAM diterima oleh PBB. Namun, dalam
amandemen UUD berikutnya konsepsi HAM telah disiratkan dengan lengkap, hal tersebut
tidak lain juga diilhami dari adanya DUHAM.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa DUHAM memang memiliki kekuatan mengikat yuridis
secara universal tetapi memiliki kekuatan mengikat moril, politik, dan edukatif secara
universal yang terlihat dari banyak munculnya covenant maupun UU dibeberapa Negara yang
lahirnya serta isinya diilhami oleh DUHAM.
Daftar Rujukan :
Dirdjosisworo, Soedjono. 2002. Pengadilan HAM Di Indonesia. Bandung:PT.Citra Aditya
Bakti.
Efendi, Masyur.1980.Tempat HAM Dalam hokum Internasional/Nasional. Bandung:Alumni.
Rover. 1998.To Serve and To Protect Acuan Universal Penegakan HAM.Jakarta:Gravindo.
Comment Number:
18
Ditulis oleh:
FARIDA ARIYANI
Pada tanggal:
29 March 2007 jam 11:38

Oleh :
FARIDA ARIYANI
04400111/VIC
Hak asasi manusia adalah hak dasar atau pokok sebagai pemberian Tuhan Yang Maha Esa
sejak manusia lahir. Berdasarkan pengertian HAM diatas dapat dikatakan bahwa HAM
merupakan hak yang melekat pada setiap individu, hak yang harus ada dan harus
mendapatkan penghormatan dari individu lainnya. Menanggapi tentang masih adanya
keragua-raguan atau tanda Tanya besar mengenai konsep universalitas berlakunya standart
umum tentang HAM yang dimuat dalam deklarasi HAM 1948, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa masih adanya keragu-raguan dari pihak tersebut diatas tentang adanya
HAM itu sendiri. Seharusnya kita harus mensyukuri adanya dua convenant yang mengatur
tentang standart tentang HAM tersebut karena dengan adanya convenant itu menunjukkan
keseriusan dari masyarakat dunia tentang urgennya pengakuan tentang HAM serta
diharapkan dapat menghapus berbagai macam bentuk penindasan yang sering dilakukan oleh
Negara-negara super power terhadap Negara-negara miskin sebagai upaya perluasan
kekuasaan, baik dalam bentuk politik, ekonomi maupun budaya.
Alasan tentang tidak ikut sertanya suatu Negara dalam perumusan azas-azas yang dimuat
dalam DUHAM pada saat ditetapkan tidak dapat dijadikan alas an pembenar untuk tidak
mengakui berlakunya azas universalitas dari DUHAM itu sendiri. Logikanya jika tidak
mengakui DUHAM maka dapat dikatakan tidak mengakui HAM itu sendiri, karena konsep
HAM yang terdapat dalam DUHAM tidak satupun terdapat perumusan yang merugikan suatu
bangsa, Negara ataupun suatu golongan. Bahwa DUHAM tersebut hanya merupakan suatu
pernyataan umum yang tidak mengikat kepada Negara-negara sebagai hukum, dan adanya
convenant SIPOL dan EKOSOSBUD hanya akan mengikat jika Negara-negara tersebut
meratifikasi adalah sebuah pernyataan atau alasan yang salah untuk tidak mengakui
DUHAM. Harus kita ingat bahwa DUHAM itu merupakan pernyataan sejagal ( Universal
Declaration) hal ini dibuktikan dengan hamper semua Negara dalam konstitusinya memuat
rumusan HAM sejak 1948 yang didasrkan pada DUHAM itu sendiri, dan kepastian praktek
tersebut dapat dinyatakan mendapatkan Opinion Yuris pada pihak Negara-negara, yaitu
keyakinan akan adanya kewajiban hukum.
Hal utama yang perlu ditanyakan bukanlah mengenai keberlakuan konsep universalitas dari
DUHAM tersebut, tetapi mengapa isi dari DUHAM sering dilanggar oleh beberapa Negara.
Namun Comision on Human Rights tidak memberikan sanski yang tegas, dan disadari atau
tidak hal tersebut dapat mengakibatkan DUHAM hanya dianggap sebagai bualan belaka.
Referensi :
Rover. 1998.To Serve and To Protect Acuan Universal Penegakan HAM.Jakarta:Gravindo.
Comment Number:
19
Ditulis oleh:

MILLA ASTRI SAKDIYA


Pada tanggal:
29 March 2007 jam 11:43

Oleh :
Milla Astri Sakdiya
04400142/VIC
Menanggapi masalah kekuatan mengikat yang dimiliki oleh DUHAM The International Bill
of Human Rights lainnya yang terdiri dari Kovenan International tentang Hak-hak sipil dan
politik (The International Covenant on Civil and Political Rights) dan juga Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (The International Covenant on
Economics, Social and Cultural Rights) yang dibentuk mulai awal tahun 1966.
memang dapat menimbulkan beberapa pandangan. Dapatkah The International Bill of Human
Rights dikatakan memiliki sifat universal atau berlaku bagi semua negara, jika tidak semua
anggota PBB ikut merumuskannya. Melihat sejarah pembentukannya DUHAM yang lahir
didalam naungan PBB yaitu merupakan organisasi Internasional yang mempunyai tujuan dan
tugas yang besar khususnya dibidang HAM, PBB berjuang untuk menegakkan hak asasi
manusia yang merupakan lanjutan dari perjuangan sejarah kemanusiaan di dunia.
Kesadaran umat manusia akan hak asasi manusia timbul lebih-lebih setelah menyaksikan
kekejaman Perang Dunia I dan Perang Dunia II, karena itu usaha-usaha kearah perlindungan
hak asasi manusia secara formal dan Internasional dirintis terus. Selanjutnya sejak 10
Desember 1948 PBB telah memiliki Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia/DUHAM (The
Universal Declaration of Human Rights). Pada waktu itu memang tidak semua anggota PBB
yang ada pada saat ini merupakan penggagasnya, namun seperti yang dikatakan oleh
beberapa ahli hukum Internasional berpendapat DUHAM secara hukum mengikat seluruh
anggota, sebagian lagi berpendapat DUHAM adalah hukum umum bagi umat manusia. Dan
dapat dikatakan walaupun bukan penggagasnya jelaslah bahwa seluruh anggota PBB terikat
oleh DUHAM. Dengan kata lain DUHAM berlaku secara universal bagi seluruh anggota
PBB.
DUHAM memang tidak dibuat atau digagas atau diselipi oleh pemikiran seluruh negara
anggota PBB, namun tidak dapat dipungkiri bahwa DUHAM memberikan rekomendasi
kepada negara-negara anggota PBB atau memberikan pedoman otoritatif atas persoalanpersoalan khusus berkaitan dengan hak-hak dan kebebasan manusia.
Pembentukan Universal Declaration itu sendiri dimaksudkan dapat memberikan pedoman
penafsiran mengenai ketentuan dan kewajiban hak asasi manusia. Sebab sebelum adanya
DUHAM, selama 28 tahun masyarakat Internasional negara-negara tidak memiliki acuan
pokok untuk penafsiran persoalan-persoalan yang berkaiatan dengan atau didalam bidang hak
asasi manusia selain dari Universal Declaration tersebut.
Keberlakuan The International Bill of Human Rights sendiri dapat dirasakan atau kita lihat
dari sendi-sendi Peraturan perundang-undangan mengenai HAM yang dimiliki oleh setiap
negara anggota PBB. Seperti Indonesia sendiri dalam UU No 39 tahun 1999 tentang HAM
dalam pasal-pasal yang termuat dalam peraturan tersebut senantiasa mengindahkan dan

menjadikan DUHAM sebagai landasan atau dasar. Selain itu untuk


merealisasikan/melaksanakan DUHAM di Eropa pada tanggal 5 Mei 1949 di London di
bentuk Council of Europe (Majelis Eropa). Selain itu sifat universalitasnya juga dapat
dirasakan bahwa awal tegaknya pengakuan tentang hak mendasar yang dimiliki oleh setiap
manusia (HAM) adalah setelah diberlakukannya The International Bill of Human Rights.
Rujukan :
Soedjono,Dirdjosisworo. 2002. Pengadilan HAM Di Indonesia. Bandung:PT.Citra Aditya
Bakti.
Rover. 1998.To Serve and To Protect Acuan Universal Penegakan HAM.Jakarta:Gravindo.
Comment Number:
20
Ditulis oleh:
HENNY SOESANTI
Pada tanggal:
29 March 2007 jam 12:03

Oleh :
Henny Soesanti
04400101/VIC
Sejak akhir perang dunia kedua masyarakat internasional, dibawah naungan PBB telah
terlibat dalam pelaksanaan ekstensif penetapan standart hak asasi manusia dalam upaya untuk
membuat kerangka hukum bagi penggalakkan dan perlindungan efektif mereka. Pada
umumnya telah dibentuk standart umum dengan mengembangkan traktat-traktat pihak yang
menimbulkan kewajiban yang mengikat menurut hukum terhadap Negara-negara dan anggota
dan setiap Negara memiliki kebutuhan hukum dan ketentuan-ketentuan standarisasi dalam
penegakkan HAMnya dalam hal ini faktanya DUHAM tidak bisa dikatakan mengikat
penegakkan HAM ditiap Negara. Meskipun DUHAM telah disepakati,diakui,diterima
sebagai prinsip-prinsip universal dalam penghormatan harkat. Masalah penegakkan HAM
merupakan hal yang sangat penting mengingat HAM merupakan hak yang paling dasar yang
dimiliki oleh setiap manusia diseluruh Negara.
Penegakkan HAM dalam Negara hukum adalah hal yang saling mengikat, jadi semstinya
Negara-negara yang tidak ikut andil sebagai peserta yang merumuskan substansi DUHAM
dapat ikut turut serta melaksanakan penegakan HAM seperti yang tertuang dalam DUHAM
tetapi dalam kapasitas kebutuhan hukumnya. Tidak menetrapkan seluruhnya tetapi juga tidak
mengabaikan seluruhnya. Tetapi sebenarnya jika kita cermati, penegakan HAM diseluruh
dunia adalah sama.
Rujukan :
Rover. 1998.To Serve and To Protect Acuan Universal Penegakan HAM.Jakarta:Gravindo.

Comment Number:
21
Ditulis oleh:
AFAN ARI KARTIKA
Pada tanggal:
29 March 2007 jam 13:26

Silahkan tulis komentar di sini.


Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak yang melekat pada diri manusia karena kodrat
kemanusiaannya, yang muncul sebagai usaha manusia untuk melindungi diri dari keganasan
individualisasi hasil mekanisme-mekanisme ekonomi industrial, yang mana akan menjamin
keutuhan martabat manusia di dalam struktur kemasyarakatan. Berangkat dari landasan
tersebut maka dapat muncul pula pihak-pihak yang mencoba mengeluarkan pendapat apakah
HAM dapat diberlakukan secara universal atau relatif (partikular)? Disini saya akan mencoba
untuk mengkomparasikan antara konsep universalitas dengan relatifitas. HAM dikatakan
berlaku secara universal karena secara esensinya merupakan hak yang memang melekat pada
setiap individu karena kodrat sebagai manusia, akan tetapi pada tataran aplikatifnya tidak
menutup kemungkinan dapat terjadi suatu pertentangan atau persoalan dua hak asasi. Saya
secara pribadi lebih sepakat bahwa kalaupun HAM dapat dikatakan berlaku secara universal,
tetap tidak mengabaikan konsep local wisdom (kearifan lokal), baik pada tataran individu
maupun dalam tataran negara, karena sebenarnya rumusan mengenai HAM pada dasarnya
juga masih kontekstual. Sementara konteks hidup manusia selalu berubah, dinamis dan
progresif, sehingga alangkah lebih efektif jika rumusan HAM harus selalu disesuaikan
dengan dinamika kontekstual hidup manusia. Sebagai contoh sederhana, kendala-kendala
yang dihadapi dalam pemenuhan hak ekosob, apakah mungkin menuntut negara-negara yang
miskin atau masih berkembang untuk memenuhi kewajiban ekonominya sebesar negaranegara maju? hal inilah yang mungkin menurut saya menjadi dilema tentang pemberlakuan
HAM, apakah secara universal atau relatif dalam penerapannya.
Afan Ari Kartika
04400149 / VI C
Comment Number:
22
Ditulis oleh:
AFAN ARI KARTIKA
Pada tanggal:
29 March 2007 jam 13:32

Silahkan tulis komentar di sini.


Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak yang melekat pada diri manusia karena kodrat
kemanusiaannya, yang muncul sebagai usaha manusia untuk melindungi diri dari keganasan
individualisasi hasil mekanisme-mekanisme ekonomi industrial, yang mana akan menjamin
keutuhan martabat manusia di dalam struktur kemasyarakatan. Berangkat dari landasan
tersebut maka dapat muncul pula pihak-pihak yang mencoba mengeluarkan pendapat apakah
HAM dapat diberlakukan secara universal atau relatif (partikular)? Disini saya akan mencoba
untuk mengkomparasikan antara konsep universalitas dengan relatifitas. HAM dikatakan
berlaku secara universal karena secara esensinya merupakan hak yang memang melekat pada
setiap individu karena kodrat sebagai manusia, akan tetapi pada tataran aplikatifnya tidak
menutup kemungkinan dapat terjadi suatu pertentangan atau persoalan dua hak asasi. Saya
secara pribadi lebih sepakat bahwa kalaupun HAM dapat dikatakan berlaku secara universal,
tetap tidak mengabaikan konsep local wisdom (kearifan lokal), baik pada tataran individu
maupun dalam tataran negara, karena sebenarnya rumusan mengenai HAM pada dasarnya
juga masih kontekstual. Sementara konteks hidup manusia selalu berubah, dinamis dan
progresif, sehingga alangkah lebih efektif jika rumusan HAM harus selalu disesuaikan
dengan dinamika kontekstual hidup manusia. Sebagai contoh sederhana, kendala-kendala
yang dihadapi dalam pemenuhan hak ekosob, apakah mungkin menuntut negara-negara yang
miskin atau masih berkembang untuk memenuhi kewajiban ekonominya sebesar negaranegara maju? hal inilah yang mungkin menurut saya menjadi dilema tentang pemberlakuan
HAM, apakah secara universal atau relatif dalam penerapannya.
Afan Ari Kartika
04400149 / VI C
Literature:
Sutarjo Adisusilo, J.R. 2005. Sejarah Pemikiran Barat (dari yang klasik sampai yang
modern). Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma
Sapto Yunus, Sandra Kartika(editor). 2000. Kovenan Internisional Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya (panduan untuk jurnalis). Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan.
Comment Number:
23
Ditulis oleh:
Dimas Rizki Afryanto (VIC_2004)
Pada tanggal:
29 March 2007 jam 13:35

Pembahasan mengenai universalitas HAM hingga saat ini memang masih merupakan hal
yang menarik dan selalu hangat. Pasalnya, dalam realita, di beberapa negara masih banyak
pelanggaran atas Hak Asasi Manusia terjadi karena kurangnya kepedulian dalam usaha
penegakan Hak-hak asasi manusia. Kongres dunia tentang hak-hak asasi manusia yang
diselenggarakan di Wina pada bulan Juni 1993 mengumandangkan bahwa konsep-konsep

atau prinsip-prinsip dasar mengenai hak-hak asasi manusia yang dikumandangkan melalui
DUHAM adalah bersifat universal tanpa menafikan adanya keragaman social budaya
setempat, akan tetapi semua saja harus tetap mengupayakan berlakunya universalitas hak-hak
asasi manusia berikut penegakannya.
Menurut hemat saya, prinsip-prinsip mengenai hak asasi manusia yang dikumandangkan
dalam DUHAM tersebut memang bersifat universalistik dan mengikat bagi negara-negara
yang ikut meratifikasi deklarasi tersebut. Namun perlu dipikirkan lebih jauh lagi bahwa
prinsip-prinsip HAM yang termuat dalam deklarasi HAM 1948 tersebut hanyalah merupakan
suatu standard umum mengenai konsep HAM yang sifat berlakunya universal. Namun,
mengenai pelaksanaan terhadap penegakannya masih bersifat partikularistis dengan selalu
mempertimbangkan dan/atau memperhitungkan kondisi dan situasi setempat yang particular.
Hal tersebut di atas dapat dibuktikan dengan diselenggarakannya pertemuan wakil-wakil
negara-negara Islam untuk menegaskan konsep mengenai universalitas HAM menurut versi
Islam. Dan salah satu pernyataan umum yang dihasilkan dalam pertemuan ini menyebutkan
bahwa negara-negara Islam peserta pertemuan ini bersepakat untuk pada asasnya akan selalu
menjunjung tinggi pelaksanaan penegakan HAM dengan catatan sejauh Hak-hak asasi
manusia itu tidak bertentangan dengan syariah Islam.
Pada dasarnya prinsip kebebasan atau hak asasi manusia yang dianut oleh negara barat yang
menganut prinsip kedaulatan rakyat yang menempatkan kepentingan rakyat (manusia) di atas
segala-galanya sangat berbeda dan bahkan tidak sesuai dengan prinsip kebebasan manusia
menurut negara-negara Islam yang menempatkan kedaulatan dan hukum Tuhan di atas
segala-galanya. Sebagaimana diungkapkan oleh Jawahir Thontowi dalam bukunya Pesan
Perdamaian Islam, 2001: 225 yang menyatakan bahwa Persepsi HAM dalam Islam sangat
jelas berbeda dengan konsep Barat, terutama ketika kebebasan individual kolektif umat
manusia dibatasi oleh kemauan hukum Tuhan yang suci, sehingga umat Islam tidak bisa
memprioritaskan HAM yang ditentukan standardnya oleh manusia.
Dalam daripada itu Prof. Miriam Budiardjo menyatakan dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu
Politik, 2002 bahwa Declaration Of Human Rights 1948 merupakan suatu deklarasi atau
pernyataan. Suatu pernyataan pada umumnya dianggap tidak mengikat secara yuridis dan
karena itu sering dinamakan suatu pernyataan Keinginan-keinginan Manusia (Declaration of
Human Desires). Pernyataan ini dimaksud sebagai tujuan dan standard minimum yang dicitacitakan oleh umat manusia dan yang pelaksanaannya dibina oleh negara-negara yang
tergabung dalam Perserikatan Bangsa0bangsa (PBB). Akan tetapi, sekalipun tidak mengikat
secara yuridis, namun dokumen tersebut mempunyai pengaruh moril, politik dan edukatif
yang sangat besar. Dia melambangkan commitment secara moril dari dunia internasional
pada norma-norma dan hak-hak asasi. Pengaruh moril dan politik ini terbukti dari sering
disebutnya dalam keputusan-keputusan hakim, undang-undang ataupun undang-undang dasar
beberapa negara, apalagi oleh Perserikatan Bangsa-bangsa sendiri.
Jadi, berdasarkan hal tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa konsep HAM menurut
DUHAM 1948 tersebut hanya merupakan standard umum mengenai Hak asasi manusia yang
pelaksanaan penegakannya bersifat mengikat secara hukum hanya terbatas bagi negaranegara anggotanya yang turut serta meratifikasi saja, namun bagi negara-negara yang bukan
merupakan pesertanya hanya mengikat secara moral, dan dalam pelaksanaan penegakannya
bersifat partikularis.

Comment Number:
24
Ditulis oleh:
Akhmad Wiryawan
Pada tanggal:
29 March 2007 jam 13:39

Menanggapi pernyataan pertama yang menyatakan bahwa keraguan menyangkut keabsahan


dan kekuatan megikat dari DUHAM menurut pendapat saya, bahwa standar umum yang
termuat dalam Deklarasi HAM 1948 tidak dapat diberlakukan oleh semua masyarakat atau
semua negara, dengan alasan bahwa negara yang tidak ikut merumuskan asas-asas DUHAM
pada khususnya bagi negara Indonesia yang merupakan negara hukum sebagai negara hukum
sebagai salah satu syaratnya adalah adanya penghormatan/ pengakuan yang tinggi terhadap
HAM. Apalagi Indonesia pada saat itu baru saja merdeka dari penjajahan yang sudah sekian
lama dan disitu tentunya banyak terdapat berbagai pelanggaran HAM.
Menindaklanjuti piagam PBB tersebut maka pada tanggal 10 Desember 1948, maka Majelis
Umum PBB menerima dan memprokalmirkan pernyataan umum tentang HAM (universal
declaration of human rights) yang berisikan 30 pasal. Komsekuensinya, setiap negara anggota
PBB baik sendiri maupun bersama-sama wajib memajukan HAM. Negara tidak dapat
mengecualikan diri, apalagi berlindung di balik prinsip kedaulatan atau yurisdiksi intern
negara. Dengan demikian, HAM merupakan komponen yang semakin penting dalam politik
luar negeri suatu negara, sebab arus dua arah dan keterkaitan antara sisi domestik dan
internasional begitu erat. Masalah HAM terkait erat dengan upaya penigkatan citra suatu
bangsa sebagai bagian dari warga bangsa-bangsa yang beradab. ( Suparman Marzuki
Perlindungan Hak-Hak Warga Negara Dalam Hukum dalam buku Pendidikan
Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia).
Kemudian menanggapi alasan kedua yang menyatakan bahwa Deklarasi tersebut hanya
merupakan suatu pernyataan umum ayang tidak mengikat kepada negara-negara sebagai
negara hukum saya kurang setuju karena dalam pernyataan-pernyataan yang termuat dalam
piagam PBB dan DUHAM merupakan lebih dari sebatas seruan, apa yang termaktub dalam
dokumen-dokumen tersebut di maksudkan agar dapat dipergunakan sebagai standar/ tolak
ukur yang diakui dunia internasional guna menentukan lebih lanjut berbagai hak dan berbagai
kebebasan yang harus diakui oleh rezim-rezim kekuasaan manapun di dunia yang beradab.
Dalam konsideran Deklarasi dinyatakan bahwa masyarakat dunia menaruh kepercayaan
bahwasannya apa yang disebut fundamental human rights dan fundamental human freedom
itu sesungguhnya ada.
Selanjutnya dinyatakan bahwa rights and fredom harus dilindungi oleh setiap kekuasaan
hukum di negeri manapun atas dasar rule of law yang mengungkapkan ide betapa supremasi
hukum didalam kehidupan negara yang berdasarkan atas hukum. Kemudian yang
dimaksudkan dengan Rights and fredom yang asasi ini tidaklah sebatas persoalan hak dan
kebebasan dalam ihwal kehidupan bernegara dan berpolitik saja. Termasuk dalam pengertian

hak dan kebebasan para warga negara dalam kehidupan EKOSOSBUD atau tradisinya.
Namun saya sependapat bahwa negara hukum yang menjunjung tinggi HAM masih banyak
terdapat berbagai pelanggaran HAM namun tidak ada penyelesaian sengketa secara konkrit.
Hak dan kewajiban yang menjadi dasar dari seluruh tertib hukum didalam kehidupan
bernegara bangsa dan di kehidupan masyarakat.
Ketika Hak-hak asasi manusia di deklarasikan di New York atas wibawa PBB pada tahun
1948, deklarasi itu yang dasarnya bertolak dari dan bertumpu pada ide, doktrin dan atau
konsep mengenai kebebasan dan kesetaraan manusia. Bukan suatu kebetulan manakala
deklarasi itu disebut The universal declaration of human rights. Penambahan kata universal
suatu pernyataan yang mesti berlaku umum di negeri manapun, pada kurun masa manapun,
untuk dan terhadap siapapun dari bangsa manapun. Oleh sebab itu segala kebijakan dan
upaya pengakuan HAM dalam kehidupan yang berskala global harus bersifat universal. Akan
tetapi demi kemajuan dan penegakan HAM dalam kehidupan mestilah harus selalu delakukan
dengan mempertimbangkan atau memperhitungkan kondisi dan situasi setempat yang
partikular.
Berdasarkan uraian yang terjabar di atas, saya sependapat dengan penulis yang menyatakan
bahwa keraguan atas kekuatan mengikat dari DUHAM dengan alasan-alasan yang ada
terjabar dalam artikel tersebut tidak dapat dijadikan dasar bahwa DUHAM beserta dua
kovenannya sebagai ketentuan tidak memiliki kekuatan sebagai hukum yang mengikat setiap
negara karena baik aspek keabsahan seta sifatnya sebagai hukum telah nyata dan terbukti.
Dan apabila dalam suatu negara masih terdapat tingginya pelanggaran HAM hanya
menunjukan bahwa ada sesuatu yang mengganggu efektifitas perlindungan dan penegakan
HAM. Sebagaimana negara Amerika yang dikenal sebagai negara awal munculnya demokrasi
dan penghormatan yang tinggi terhadp HAM sendiri masih banyak melakukan pelanggaran
HAM, karena sebagai negara kekuasaan yang memiliki power yang tinggi akan kekuasaan
cenderung akan meyalahgunakan kekuasaan itu. Sebagai contoh nyata invansi militer
Amerika Serikat beserta sekutunya dalam menyerang Irak ternyata tak lebih dari sekedar
suatu alasan kemanusiaan yang masih sangat diragukan karena dalam onvansi militer tersebut
cenderung menunjukkan bahwa hal tersebut hanyalah untuk kepentingan ekonomi dan politik
Amerika dan sekutunya saja.
(www.elsam.or.id Deklarasi Umum Hak-Hak Asasi Manusia hal. 12 Prof. Dr. Sotandyo
Wignjosoebroto)
Comment Number:
25
Ditulis oleh:
Leni Dwi nurmala
Pada tanggal:
29 March 2007 jam 19:29

Leni Dwi Nurmala


03120013 / 03400275
kelas B
Saya tidak setuju, jika dikatakan bahwa standar umum tentang HAM yang dimuat dalam
Deklarasi HAM 1948 tidak dapat diberlakukan oleh semua masyarakat atau semua negara.
Karena pada dasarnya Deklarasi tersebut telah menjadi prinsip umum yang bersifat mengikat
sebagai hukum bagi para pihak baik yang masuk kedalam keanggotaan PBB ataupun tidak.
Deklarasi HAM ini telah memiliki sifat Law Making Treaty dimana telah menjadi perjanjian
yang menyatakan bahwa isi dari deklarasi ini mengikat para pihak baik yang ikut serta
meratifikasi ataupun tidak Memang adanya Keraguan ini berdasar pada fakta dimana masih
banyak negara-negara yang dinilai melanggar prinsip-prinsip HAM serta tidak ada
penyelesaian secara kongkrit.
Meskipun prinsip-prinsip hak asasi manusia bersifat universal, dan standar-standarnya telah
dirundingkan dan diterima pada level internasional, tetapi pertanggungjawaban dari
implementasi dari norma-norma hak asasi manusia terutama diserahkan kepada negara.
Meskipun harus diakui bahwa prosedur dan mekanisme pelaksanaannya akan berbeda.
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah pernyataan hak asasi manusia internasional yang
pertama. Sangat menarik untuk dicatat bahwa hak asasi manusia di dalam Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa terletak di bawah Bab Kerjasama Internasional, itu berarti
peningkatan dan perlindungan hak-hak asasi manusia harus dilakukan dengan semangat
kerjasama dan saling menghormati serta dengan cara yang tidak konfrontatif.
Walaupun secara yuridis formal hak-hak tersebut sesungguhnya telah dijamin pada tingkat
implementasi, hak-hak ini senyatanya belum dapat dioperasionalkan dan atau
disosialisasikan. Penindasan, perlakuan sewenang-wenang terhadap rakyat kecil merupakan
kenyataan yang membutuhkan bahwa hak-hak tersebut dimiliki oleh mereka. Dalam keadaan
sehari-hari amatlah sulit bagi mereka untuk memperoleh hak itu, hak yang pada dasarnya
merupakan hak asasi mereka sendiri sebagai manusia. Kendala yang dihadapi adalah prosesproses dan struktualisasi di dalam masyarakat yang menghambat penegak hak-hak tersebut
yaitu pengisapan ekonomi, manipulasi ideologi dan penindasan politis.
Sumber :
Kovenan Internasional hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, Ditetapkan oleh Resolusi
Majelis Umum 2200 A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966, dan terbuka untuk
penandatangan, ratifikasi,dan aksesi
Maria Hartiningsih dan Subar Tjahjono, HAM dan Demokrasi saling memperkuat, Harian
Kompas : Sabtu, 10 Desember 2005
Prof. Drs. H.A.W. Widjaja, Penerapan Nilai-Nilai Pancasila Dan HAM di Indonesia,
Penerbit : Rineka Cipta, Cet. I : Maret 2000.
Perkuliahan Dasar-dasar HAM, Kelas Syariah TP tanggal 16 Maret 2007.
Comment Number:
26

Ditulis oleh:
Tinuk Dwi Cahyani
Pada tanggal:
29 March 2007 jam 19:34

Tinuk Dwi Cahyani


03120012/03400274
Syariah Twinning Program
Kelas : B
Saya tidak setuju, karena Masih tetap ada perdebatan sampai sekarang mengenai universalitas
norma HAM walaupun sebenarnya dikotomi partikularisme maupun universalisme sudah
selesai tahun 1993 di Vienna dalam World Conference on Human Rights. Masih tetap ada
pemahaman yang melihat bahwa pemenuhan HAM nomor dua, yang nomor satu kewajiban
warga negara. Akhirnya timbul pertanyaan : HAM ini Barat, tidak cocok untuk Indonesia,
HAM ini satu alat bagi Barat untuk mendominasi negara ketiga.
Selanjutnya, dalam kaitan dengan prinsip yang penting tersebut, masalah hak asasi manusia
harus harus didekati dengan cara yang obyektif dan berimbang. Sistem isnternasional yang
dikembangkan untuk mengawasi pelaksanaan tugasnya dengan yang kreatif dan konstruktif
dengan memfokuskan sekaligus pada aspek yang positif dan negatif, kepentingan negara dan
hak-hak politik, serta ekonomi, serta budaya harus dilihat secara berimbang.
Kenyataan bahwa negara-negara maju terutama negara-negara eropa tidak berhasil menekan
negara-negara berkembang mengenai masalah hak asasi manusia. Hak asasi manusia
seharusnya punya pengertian universal (semesta). Kenyataan sekarang ini konsepsi hak asasi
manusia memang lebih berorientasi ke Barat. Namun konsep seperti itu memang tidak bisa
begitu saja diterapkan di mata budaya yang sama sekali lain latar belakangnya. Ini merupakan
soal pelik, apakah negara-negara maju mau mengerti keberanekaan latar belakang dengan
kekentalan kebudayaan, termasuk memandang manusia itu siapa.
Dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal 28J ayat 1 : Setiap orang wajib menghormati hak
asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Namun, sebagian besar lapisan masyarakat negara-negara sedang membangun, masih rendah
tingkat pendidikan dan pelatihannya, juga belum terbiasa secara rasional untuk merancang,
mengorganisasi dan mengendalikan sendiri usaha-usaha ekonomi, dalam banyak kelompok
tradisional.
Masyarakat Barat yang sangat mengagungkan individualisme berhadapan dengan masyarakat
Timur yang lebih menjunjung tinggi kolektivisme (kebersamaan). Perbedaan inilah yang
sering menimbulkan persoalan atau masalah bagi hubungan antara bangsa atau negara.
Perbedaan ini menimbulkan pandangan dan persepsi yang berbeda pula. Barat adalah Barat.
Timur adalah Timur, sukar keduanya untuk disatukan.
Oleh sebab itu, hak asasi manusia itu pun perlu dilihat dalam konteks kebudayaan masingmasing baik menyangkut kelompok, etnis, rasa, agama dan lain-lain. Dianggap bahwa semua
kebudayaan mempunyai hak hidup dan martabat yang sama yang harus dihormati. Akibatnya

pemikiran selama ini hak asasi manusia bersifat netral karenanya tidak dapat dipertahankan
lagi. Artinya, ke depan dengan kapitalisme global yang masih seperti neoliberal, bisa berarti
terjadi kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia terburuk.
Sumber :
Prof. Drs. H.A.W. Widjaja, Penerapan Nilai-Nilai Pancasila Dan HAM di Indonesia,
Penerbit : Rineka Cipta, Cet. I : Maret 2000
UNDANG - UNDANG DASAR REPUBLIK INDONESIA 1945 Lengkapi: Amandemen
Updated on August 17, 2001.
Maria Hartiningsih dan Subar Tjahjono, HAM dan Demokrasi saling memperkuat, Harian
Kompas : Sabtu, 10 Desember 2005
Comment Number:
27
Ditulis oleh:
MOCHAMAD SOEF (04400265) VI/ E
Pada tanggal:
2 April 2007 jam 12:59

UNIVERSALIME HAK-HAK ASASI MANUSIA


Menurut sejarah bahwasanya pasca perang Dunia ke-II sudah ada kesepakatan Universal
tentang hak asasi manusia dan proses berkembangnya ide hak-hak manusia yang asasi,
berikut segala praksis-praksis implementatifnya-terjadi berseiring dengan berkembangnya ide
untuk membangun suatu Negara bangsa yang demokratik dan berinfrastruktur masyarakat
warga (civil society). Dengan ide ini dengan harapan bisa terwujudnya suatu komunitas
politik manusia sebangsa atas dasar prinsip kebebasan dan kesamaan derajat serta kedudukan
dihadapan hukum dan kekuasaan. Ini berarti bahwasanya dalam Negara Bangsa tidak ada
pembedaan atau dualisme kasta yaitu kasta Brahmana (ningrat) dan kasta sudra (wong cilik/
kaum melarat), dilihat dalam strata social masyarakat.
Menghadapi persoalan universalisme parikularisme ini, banyak Negara di kawasan-kawasan
regional mencoba mendefinisikan ulang hak-hak asasi manusia dengan mencoba menampung
keragaman konsep-konsep local itu dalam konteksnya yang lebih umum dan universal. Pada
tahun 1984 di kawasan ASEAN, pernah dideklarasikan suatu pertanyataan mengenai
Kewajiban-kewajiban Dasar Bagi Masyarakat dan Pemerintah di Negara-negara ASEAN.
Di kairo juga pernah diselenggarakan pertemuan wakil Negara-negara hak-hak asasi manusia
yang universal menurut versi Islam, dan salah satu bersepakat pertemuan tersebut yaitu pada
asasnya akan selalu menjunjung tinggi pelaksana penegakan hak-hak asasi manusia, namun
dengan catatan sejauh hak-hak manusia yang asasi itu tidak bertentangan dengan syariat
Islam. Maka timbullah pertanyaan, manakah yang harus didahulukan untuk sebagai
pegangan, konsep humanistic yang universal ataukah konsep local-nasional yang pertikula?.

Kongres Dunia tentang hak-hak asasi manusia yang diselenggarakan di Wina pada bulan Juni
1993 mencoba menjawab dengan jelas pertanyaan ini. Dalam kongres itu dicapai kesepakatan
untuk mengatasi persoalan universalisme-partikularisme itu dengan menyatakan bahwa
sekalipun diakui adanya keragaman social dan budaya setempat, akan tetapi semua saja
harus tetap mengupayakan berlakunya universalitas hak-hak asasi manusia berikut upayaupaya penegakannya.
Kesepakatan Kongres Wina adalah merupakan refleksi mayoritas wakil-wakil Negara peserta
untuk bertekad mengakui hak-hak asasi manusia sebagai hak-hak yang kodrati yang karena
itu benar-benar bersifat universal, dan yang karena itu pula bukanlah sekali-kali merupakan
hak-hak yang diperoleh karena kebijakan yang pertikular dari para penguasa. Pada
prinsipnya, tak ayal lagi hak-hak asasi manusia tetap universal jugalah sifatnya, sedangkan
keragaman dalam hal pemahamannya itu-yang sering terkesan masih sering bertahan pada
saat ini-hanyalah akibat pengalaman cultural sebagai bangsa yang yang beragam dan
perbedaan tadisi yang particular dari suku ke suku dan dari bangsa ke bangsa tidaklah harus
menghalangi pengakuan bahwa pada prinsipnya hak-hak asasi manusia itu bersifat kodrati
dan universal. Dan untuk menguatkan kesepakatan Wina, ASEAN, dan Kairo, dalam bukunya
Nicel, James W, dalam mukadimah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1984,
bahwa deklarasi ini adalah sebagai standar umum bagi prestasi semua bangsa dan semua
Negara, dengan tujuan agar setiap individu dan setiap organ masyarakat. Dalam pandangan
Indonesia nilai-nilai hak asasi manusia yang universal tersebut yang kita terapkan tanpa
mengabaikan nilai-nilai lokal atau kultural yang melekat di akar budaya bangsa Indonesia.
Kombinasi ini yang menghasilkan nilai-nilai hak asasi manusia yang kita sebut nilai-nilai hak
asasi manusia yang non controversial. Bangsa Indonesia yang memiliki falsafah Pancasila
dalam Pembukaan UUD 1945 yang kemudian dijabarkan ke dalam nilai-nilai hak asasi
manusia yang meliputi bidang hak yang berkaitan dengan persamaan kedudukan warga
negara dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak,
kemerdekaan berserikat dan berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan, kebebasan memeluk agama dan untuk beribadat sesuai dengan agama dan
kepercayaannya serta hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Sejalan dengan
pemikiran tersebut, negara mempunyai kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi
manusia pada setiap warga negara tanpa kecuali. Dalam implementasinya keberadaan
Direktorat Jenderal Perlindungan HAM dan Badan Penelitian dan Pengembangan HAM
menjunjung amanat tersebut.
Maka kita dapat menyiampulkan dari kesepakatan Wina tersebut bahwa hanya dalam keadaan
dan kenyataan-kenyataan tertentu sajalah usaha merealisasi prinsip-prinsip yang universal itu
boleh ditangguhkan atau direservasi. Apabila berdasarkan pertibangan-pertimbangan khusus
yang bersifat sementara dan tak terelakan suatu usaha penegakan hak-hak asasi manusiaatas
dasar klaim universalnya, itu akan menimbulkan akibat yang lebih berkualifikasi mudarat
dari pada manfaat, maka tidaklah bijak untuk memaksakan terteruskannya usaha itu. Dan
untuk menegaskan bahwa universal atas hak-hak asasi manusia tetap harus ditegakkan serta
harus dijunjung tinggi atas dasar prinsip universalisme.

REFRENSI
UU HAM 1999, UU RI No. 39 tentang Hak Asasi Manusia, dilengkapi dengan UU No. 26
Th. 2000 tentang Pengadilan HAM, UU No. 5 Th. 1998, Keppress No. 181 Th. 1998,
Keppres No. 129 Th. 1998, Keppres No. 5 Th. 1993, Inpres No. 26 Th. 1998, Sinar Grafika,
2000.
Nickel, James.W, Hak Asasi Manusia (Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia), PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996.
P.R. Ghandhi, International Human Rights Documents, 2nd Edition, Blacktone Press Limited,
2000.
http://www.bphn.go.id
*** Penulis adalah Mahasiswa Twinning Program (Hukum-Syariah) Universitas
Muhammadiyah Malang
Comment Number:
28
Ditulis oleh:
Ratih Octaviany
Pada tanggal:
3 April 2007 jam 11:48

Ratih Octaviany
04400013
Semester VI / Kelas A
Menurut pendapat saya Universalitas dari Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia
yang dicetuskan oleh PBB sudah tidak diragukan lagi karena setiap Negara di belahan dunia
manapun hampir semuanya sekarang telah mengakui adanya Hak Asasi yang melekat pada
diri seseorang dan apabila sebuah Negara telah meratifikasi Deklarasi Universal tentang Hak
Asasi Manusia, maka Negara tersebut akan merumuskannya ke dalam konstitusi atau
peraturan-peraturan di Negaranya. Contoh kongkrit yang dapat saya berikan ialah dimana
Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mengadopsi berbagai instrumen hak asasi manusia
Internasional ke dalam Tap MPR No. XVII/MPR 1998 dan Negara Indonesia juga telah
mengakui adanya Hak Asasi Manusia dengan mencantumkannya di Pembukaan UUD 1945,
beberapa Pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999,
Perpu No. 1 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Nilai-nilai hak asasi
manusia yang bersifat universal juga pada tataran teoritis dapat diterima oleh semua negara,
akan tetapi pada tataran implementasi selalu terdapat perbedaan antara negara yang satu
dengan negara yang lain disebabkan adanya sudut pandang yang berbeda. Perbedaan sudut

pandang inilah yang merupakan salah satu faktor implementasi nilai-nilai universal hak asasi
manusia tidak seragam. Saya rasa hak asasi manusia juga bersifat universal, yang dimiliki
oleh setiap manusia semata-mata karena ia adalah manusia. Ini menunjukkan secara tidak
langsung bahwa karakteristik seperti ras, jenis kelamin, agama, kedudukan sosial, dan
kewarganegaraan tidak relevan untuk mempersoalkan apakah seseorang memiliki atau tidak
memiliki hak asasinya. Ini juga menyiratkan bahwa hak-hak tersebut dapat diterapkan di
seluruh dunia. Salah satu ciri khusus dari hak asasi manusia yang berlaku sekarang adalah
bahwa itu merupakan hak internasional. Kepatuhan terhadap hak serupa itu telah dipandang
sebagai obyek perhatian dan aksi internasional yang sah.
Sumber Literatur
1. Prof. Dr. H. Djaali, Hak Asasi Manusia (Suatu Tinjauan Teoritis dan Aplikasi), Restu
Agung, 2003;
2. Prof. Dr. H. Muladi, SH., Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep dan Implikasinya Dalam
Perspektif Hukum dan Masyarakat), Refika Aditama, Bandung, 2005;
3. Undang-Undang Dasar 1945;
4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia;
5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak Asasi Manusia;
6. http://www.google.com
7. http://www.hukum.online
Comment Number:
29
Ditulis oleh:
AGUS DIAN VERIANTO
Pada tanggal:
4 April 2007 jam 9:28

agus dian verianto 04400123 / VIC Bahwasanya hak asasi manusia adalah hak yang paling
hakiki yang merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa dan tidak dapat dipaksakan oleh
siapapaun dan karena apapun karena sangat bertentangan dengan norma-norma yang ada.
Kita bisa menengok pada masa-masa kelam bangsa Indonesia sebelum merdeka sudah
banyak peristia yang tidak terhitung jmlahnya dimana sering dijumpai berbagai tindak
kekerasan terhadap hak asasi manusia.Bahkan tidak hanya tejadi di Indonesia saja melainkan
hal serupa tersebut juga terjadi hampir di seluruh negara denga melihat terjadinya Perang
Dunia U dan Perang Dunia II, maka dari itu Majelis Umum PBB membuat aturan-aturan
untuk melindungi hak-hak asasi manusia yang lebih dikenal dengan Deklarasi HAM pada
tahun 1948 atau lebih populer dengan nama DUHAM.Akan tetapi tidak sepenuhnya berlaku
di seluruh negara dengan alasan negara yang tidak ikut merumuska azaz-azaz DUHAM
khususnya padad negarta Indonesia yag merupakan salah satu negara hukum.Dan sebagai
negara hukum harus adanya pengakuan yang tinggi terhadap hak-hak asasi manusia,terlebih
bangsa Indonesia mengalami penjajahan yang oleh bangasa lain yang begitu lama dan

merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dan hanya berselang tiga (3) tahun dari
terumuskannya Deklarasi HAM 1948 dan tentunya masih tersisa bentuk-bentuk penindasan
terhadap hak asasi manusia.Pengakuan secara Universalitas hak-hak manusia harus
diterapakan diseluruh dunia untuk mencegah terjadinya penindasan terhadap hak asasi
manusia.Tetapi tidak semua negara bisa meratifikasi azaz universalitas karena harus
disesuaikan dengan kondisi politik dan sistem negara yang bersangkutan. Ketika Indonesia
Meratifikasi Konvensai Anti Penghilangan Paksa, berarti iNdonesia menjadi negara pihak
(state party)atas Konvensi tersebut.Artinya pula, bahwa Indonesia mengikatkan diri pada
aturan-aturan sebagaimana disebutkan dalam konvensi.Konsekuensi selanjutnya Indonesia
harus menyesuaikan aturan-aturan hukum nasional supaya sejalan dengan Konvensi yang
dimaksud. Pertanyaan kemudian?Sejauh mana Konvensi begitu efektif memerangi
penghilangan secara paksa, mengingat Indonesia sudah berulang kalu meratifikasi berbagai
Konvensi Internasiona,namun tidak terimplementasi secara baik? Pertama,Konvensi
menegaskan tidak ada alasan apapun yang membenarkan bahwa tindak penghilangan
paksa.Konvensi juga mengatakan juga bahwa penghilanga paksa adalah pelanggaran yang
berkelanjutan (continuing offense) dannerupakan bentuk kejahatan terhadap
kemanusiaan.Konvensi juga mengharuskan semua negara pihak untuk menjadikan
penghilangan paksa sebgai tindak pidana tersendiri dalam hukum pidana nasional. Selain
itu,konvensi juga mengharuskan semua negara pihak untuk mengambil langkah-langkah yang
diperlukan dan bekerjasam dalam mencari,menyelidiki dan membebaskan orang-oeang yang
dihilangkan. Bila korban dinyatakan meninggal,negara pihak harus melakukan penggalian
(exhumation), pengidentifikion dan mengembalikan mayat atau kerangka kepada keluarga.
Selanjutnya, disebutkan Konvensi menjamin semua hak anggota keluarga dam masyarakat
untuk mengetahui nasib dan keberadaan korban seta untuk mengetahui kemajuan dan hasil
penyelidikan.Yang tak kalah pentingnya, Konvensi menjamin hak-hak korban atas pemulihan
serta kompensasi yang cepat dan adil. Kedua, untuk memastikan aturan Konvensi dijalankan
oleh negara pihak, konvensi memiliki Badan Pemantau (Monitoring Body) yang bernama
Komite Penghilangan Paksa (Commite on Enforced Disappearances).Kpmite ini
beranggotakan 10 orang ahli yang kompeten,berdedikasi,beritregritas serta mewakkili
wilayah geografis internasional serta secara gender berimbang.Komite inilah yang nantinya
akan melakukan tugas-tugas antara lain menerima,menaggapi dan memberikan rekomendasi
atas laporan negara pihak mengenai langka-langkah yang diambil di tingkat nasional.Komite
juga memiliki wewenang untuk meminta onformasi kepada negara pihak tentang orang yang
dilaporkan hilang,serta melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencari untuk
mencari orang yang hilang.Selain itu, atas persetujuan dari negara pihak ,anggota komitr juga
melakukan kunjungan ke sebuah negara pihak dam melaporakan hasil kunjungan tersebut
kepada komite.Yang tak kalah pentingnya, untuk menjamin efektifitas Konvensi,Komite
Penghilangan Paksa memiliki wewenang untuk membawa ke Sidang Majelis Umum PBB
elalui sekjen PBB apabila terdapat negara pihak yang sama sekali tidak mau bekerjasama ,
dan bila terdapat indikasi bahwa tindakan penghilangan paksa sedang terjadi secara sistematis
atau meluas. Akhir 2006 lalu, tepatnya pada tanggal 20 Desember, Majelis Umum PBB
mengesahkan Konvensi Unternasional untuk Prlindungan Semua Orang dari Penghilangan
Paksa.Konvensi ini merupakan instrumen HAM Internasional tentang penghilangan orang
secara paksa, yang akan secara hukum mengikat (legally binding) negara-negara PBB yang

meratifikasinya.Kabar ini tentu sangat menggembirakan karena telah diperjuangkan oleh


masyarakat internasional,terutema oleh keluarga korban selama hampir 30 tahun. Selanjtnya
pada bulan Juli 2006 Dewan HAM PBB yang baru terbentuk mengesahkan
RancangaKonvensi Anti Penghilangan Paksa tersebut dan memutuskan untuk membawa
rancangan Konvensi untuk disahkan oleh Majelis Umum PBB. Akhirnya, tanggal 20
Desembar 2006, Sudan Majelis Umum PBB di New York benar-benar mengesahkan
Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa.Sejak saat itu, Rancangan Konvensi ini
secara resmi menjadi Konvensi yang segera diberlakukan secara aktif.Tahun 2007 adalah
tahun yang krusial dlam uasha masyarakat global melawan penghilangan paksa, karenapada
tahun 2007, Konvensi Anti Penghilangan Paksa yang beru disahkan itu akan mulai
diratifikasi oleh berbegai negara dan akan diberlakukan secara aktif.Konvensu akan berlaku
seara aktif 30 hari setelah diratifikasi oleh 20 negara.Dibandingkan dengan Statuta Roma
tentang Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang mensyaratkan 60 ratifikasi 60
negara.Komvensi ini dipastikan akan berlaku aktif jauh lebih ceoat yaitu pada bulan maret
2007, mengingat tanggal 2 Februari 2007 sudah terjadi kesepakatan lebih dari 20 negara
Eropa Barat dan Amerika Latin untuk melakukan ratifikasi terbuka di Paris,Perancis. Dalam
konteks nasional, pengesahan Konvensi Anti Panghilangan Paksa oleh Pbb harus dijadikan
momentum dan dorongan bagi pemerintah beserta jajaran penegak hukumnya untuk
menunjukkan komitmennya dalam penegakan HAM.Secara khusus momentum ini harus
dijadikan kesempatan untuk menindak lanjuti hasil penyelidikan Ad Hoc Komnas HAM atas
kasus Penghilangan Paksa tahun 1997-1998 yang sampai saat ini berhenti di Kantor Jaksa
Agung. Disini saya sebagai penulis juga berharap agar Pemerintah Indonesia menjadi salah
satu neara yang melakukan ratifikasi terbuka di Paris, Perancis pada bulan Februaru 2007.
Ratifikasi Indonesia ini akan menjadi tolak ukur konsistensi sikap Indonesia yang
menyatakan Indonesiaakan memprioritaskan perlindungan derogable dan non derogable
rights dan membuang jauh-jauh praktik extrajudicial killing(pembenuhan diluar prosedur
hukum) dan Enforces Disappearances (penghilangan Paksa).Ratifikasi Indonesia juga akan
sejalan dengan sikap Indonesia yang menjadi salah satu negara sponsor pengesahan Konvensi
dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-61 tanggal 20 Desnber 2006 yang lalu. Oleh: Agus
Dian Verianto 04400123 / VI C
Comment Number:
30
Ditulis oleh:
fajrian yustiardi
Pada tanggal:
5 April 2007 jam 3:26

Menurut saya universal HAM sangat luas sekali maknanya hal ini menyangkut hak azazi
manusia diseluruh penjuru dunia.
Pembahasan mengenai universalitas HAM hingga saat ini memang masih merupakan hal

yang menarik dan selalu hangat diperbincangkan setiap orang. karena dalam realitanya di
beberapa negara masih banyak pelanggaran atas Hak Azazi Manusia terjadi karena kurangnya
kepedulian dalam usaha penegakan Hak-hak asasi manusia. Kongres dunia tentang hak-hak
asasi manusia yang diselenggarakan di Wina pada bulan Juni 1993 mengumandangkan bahwa
konsep-konsep atau prinsip-prinsip dasar mengenai hak-hak asasi manusia yang
dikumandangkan melalui DUHAM adalah bersifat universal tanpa menafikan adanya
keragaman social budaya setempat, akan tetapi semua saja harus tetap mengupayakan
berlakunya universalitas hak-hak asasi manusia berikut penegakannya.
Penegak hukum hak asasi manusia di Indonesia di masa transisi ini akan terus-menerus
berada dalam tegangan dinamika interaksi politik antara kelompok-kelompok politik yang
berada dalam di dalam struktur rezim dengan kelompok-kelompok politik di luarnya. Dengan
demikian, kualitas penegakan hukum hak asasi manusia akan dipengaruhi oleh keberhasilan
kelompok-kelompok politik pro-demokrasi dalam mengonsolidasikan hasil-hasil yang
dicapai selama ini dalam menjalankan proses demokratisasi di Indonesia.
Saat ini Indonesia telah memiliki perangkat hukum dan UU yang cukup memadai. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya TAP No. XVII/MPR/1998 tentang HAM, Undang-Undang No.
39 tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26/2000 tentang peradilan HAM yang cukup
memadai. Menurut salah satu wakil ketua DPR RI Soetardjo Sunggoguritno: ini merupakan
tonggak sejarah baru bagi bangsa Indonesia dalam upaya penegakkan HAM di negeri ini.
Lebih lanjut Soertardjo mengatakan: Indonesia perlu berbangga karena baru Indoensia dan
Afrika Selatan yang kini memiliki UU tentang peradilan HAM.
Berbagai deretan perangkat UU, peraturan-peraturan hukum telah di buat oleh pemerintah
Indonesia. Namun sangat disayangkan deretan panjang perangkat hukum mengenai HAM ini
sekan-akan hanya dijadikan sebuah pajangan buku yang disimpan begitu saja, realisasi dan
penerapan dari aturan hukum terebut masih bagaikan jauh panggang dari api. Dengan kata
lain, perangkat hukum tersebut belum mampu menjerat berbagai peristiwa-peristiwa
pelanggaran HAM, dalam bentuk kekerasan fisik maupun kekerasan mental baik itu yang
dilakukan aparat militer maupun kelompok sipil. Pendek kata, peristiwa pelanggaran HAM
dalam bentuk dan manifestasinya masih mewarnai kehidupan sosial politik negeri ini.
Budaya kekerasan yang marak baik dalam dimensi politik, sosial, dan ekonomi tampaknya
makin meruyak di negeri. Hegemoni kekuasaan berupa dominasi kekerasan fisik oleh negara
sebagai peninggalan rezim Orde Baru tampaknya masih mengambil tempat ke tataran
masyarakat, yang kemudian memicu terjadinya konflik horizontal di samping konflik vertikal
yang bersumber dari bipolarisme antara kepentingan rakyat dengan kepentingan kekuasaan.
Selama ini pengakuan, penghormatan, perlindungan dan penegakan terhadap nilai-nilai HAM
yang terjadi di Indonesia dan Jatim pada khususnya masih menunjukkan fakta terjadinya
pelanggaran yang cukup tinggi.Wajah HAM di Indonesia masih kelabu, tuntutan rakyat
terhadap pelaksanaan reformasi total diberbagai bidang kehidupan semakin deras. Dominasi
kekerasan baik yang dilakukan oleh aparat keamanan, sipil maupun militer terhadap rakyat
yang tidak berdaya masih kerap terjadi. Sedangkan peran militer yang tidak proporsional
merupakan kontribusi besar atas sejumlah perkara yang melibatkan masalah HAM
Kalau kita mau melihat dan bercermin ke belakang berkait dengan berbagai pelanggaran

HAM di Indonesia, kasus-kasus pelanggaran HAM di Jatim baru sebagian kecil dari sejumlah
pelanggaran HAM di wilayah Indonesia, terutama yang dilakukan oleh aparat keamanan.
Setiap manusia secara alami sudah mempunyai HAM, sejak lahir yang tidak bisa di kurangi
oleh siapapun, dalam konvenan internasional ada beberapa hal mengenai hak asasi manusia
yang dapat dikurangi demi kepentingan Negara (derogble right ) dan ada juga yang tidak
dapat dikurangi oleh Negara meskipun dalam kondisi Negara yang darurat. ( non derogble
right ), untuk hak yang tidak dapat dikurangi oleh kepentingan Negara adalah hak yang
berkaitan dengan social dan politik, hak ini sifatnya hak yang berada pada internal manusia.
diantaranya seperti hak mendapat kebebasan sehingga lepas dari segala bentuk penyiksaan,
hak untuk hidup, hak mendapatkan martabat, hak lepas dari penghambaan. sedangkan dalam
hak non derogble atau hak yang bisa dikurangi meliputi hak untuk berserikat, hak unruk
berpolitik serta hak untuk mendapatkan pekerjaan dan hak mendapatkan adil dan
merata.tetapi pengurangan hak yang bersifat non derogble ini harus diatur di dalam hukum
agar adanya jaminan kesejahteraan umum.
istilah Derogable Rights dan Non Derogable Rights merupakan istilah yang tidak asing
lagi ditelinga aktivis HAM Namun yang akan saya prioritas utama untuk sedikit terangkan
adalah hak yang bersifat non derogable rights maksudnya adalah hak-hak yang tidak boleh
dilanggar dan dibekukan oleh negara dalam kondisi darurat umum sekalipun. Karena hak-hak
tersebut merupakan hak dasar yang melekat pada diri tiap manusia, bersifat universal dan
wajib dilindungi oleh hukum tanpa mengenal adanya diskriminasi. Hak Politik dan Sipil yang
dimaksud sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Universal tahun 1948 dan Konvenen
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Tahun 1966 adalah hak-hak dasar yang melekat
pada diri manusia secara kodrati.
Daftar Pustaka :
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia;
3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak Asasi Manusia;
4. http://www.google.com
5. http://www.hukum.online
FAJRIAN YUSTIARDI
04400038/ VI A
FAK HUKUM UMM
Comment Number:
31
Ditulis oleh:
Tifani Meidiyantie
Pada tanggal:
5 April 2007 jam 11:53

Silahkan tulis komentar di sini.


Tifani Meidiyantie
04400060
Semester VI/B
Menurut saya sejak adanya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, PBB telah
mengembangkan susunan instrumen dan institusi mengesankan yang ditujuka untuk
melindungi dan mempromosikan hak asasi manusia. Diantara institusi PBB yang berkaitan
dengan hak asasi manusia, tentu harus menyebut Dewan Keamanan dan Majelis Umum.
Meskipun demikian, instrumen dan institusi PBB hanya mempunyai peran terbatas. Situasi
hak asasi manusia yang spesifik dan kecenderungan yang general sejak UDHR
mengisyaratkan bahwa sumbangan PBB perlu dilihat dalam konteks perubahan politik dan
sosial yang lebih besar yang mempengaruhi hak asasi manusia. Jelas bahwa PBB telah
berhasil membujuk dan mengimbau, bahkan mendesak dan menekan para pelaggar hak asasi
manusia. Tetapi ia tidak berada pada posisi mengubah lingkungan dan struktur yang
bertanggungjawab atas terjadiya pelanggaran. Sekali peran PBB dalam menentukan laju
kemajuan dalam bidang hak asasi manusia ditempatkan pada perspektif yang tepat, maka
dimungkinkan untuk melokasikan rintangan-rintangan yang menghambat perjalanannya.
Sumber :
Hak Asasi Manusia Dalam Tata Duia Baru,Menggugat Dominasi Global BaratChandra
Muzaffar,halaman 198
Comment Number:
32
Ditulis oleh:
Indah Mukti Rahayu
Pada tanggal:
5 April 2007 jam 12:03

Oleh :Indah Mukti Rahayu


NIM :04400057
Klas :VI B
menurut saya universalitas HAM itu tidak dapat diterapkan pada setiap negara, karena setiap
negara memiliki batasan-batasan HAM yang berbeda dan setiap HAM yang dimiliki oleh
setiap orang dalam suatu negara selalu dibatasi oleh Undang-Undang yang berlaku pada
negara tersebut. sebagai contoh, kasus aborsi yang sekarang ini sering terjadi di kalangan
masyarakat barat.Banyak di negara-negara barat yang melegalkan aborsi. ini sangat
bertentangan dengan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia.
Comment Number:
33

Ditulis oleh:
indri hapsari
Pada tanggal:
5 April 2007 jam 12:04

Silahkan tulis komentar di sini.


Indri Hapsari
04400064
VI/B
hak asai manusia merupakan universalitas untuk mencegah agar nonwarganegara yang
tertindas,anggota kelompok minoritas,atau golongan yang dikucilkan dari masyarakat tidak
dibiarkan begitu saja tanpa memiliki hak yang dapat dituntut.HAM tidak dapat dicabut
sehingga pemerintah yang menindas tidak dapat seenaknya mengatakan bahwa warga mereka
telah mengorbankanatau secara sukarela menyerahkan hak-haknya.klaim kuat akan
universalitas benar-benar tidak sahih bagi sejumlah besar HAM yang spesifik.beberapa dari
hak-hak yang dinyatakan dalam deklarasi universal tidak dapat menjadi hak yang
universalitas dalam pengertian yang kuat yakni dapat diterapkan untuk seluruh manusia untuk
selama-lamanya,karena hak-hak itu menegaskan bahwa orang berhak mendapatkan
pelayanan-pelayanan yang terikat pada institusi-institusi sosial dan politik yang relatif
mutakhir.bahwa sejak diadakannya konferensi internasional tentang HAM yang disepakati
bahwa DUHAM diakui dan diterima sebagai prinsip-prinsip universal dalam penghormatan
harkat,martabat,dan nilai-nilai manusia oleh seluruh warga meskipun adakalanya terdapat
suatu pemerintah tidak menerimanya.DUHAM secara nyata juga menjadi dasar bagi
pembuatan instrumen-instrumen internasional,perjanjian-perjanjian multilaterl,bilateral
bahkan perumusan konstitusi suatu negara.
sumber bacaan:Hak Asasi Manusia,James W.Nickel,hal 63-70
Comment Number:
34
Ditulis oleh:
A. Rosyid Ruum Hadi
Pada tanggal:
5 April 2007 jam 17:58

Nama : A.Rosyid Ruum Hadi


Nim :04400037
Kelas :A
Semester 6

HAM, ada bukan karena diberikan oleh masyarakat dan kebaikan dari negara, melainkan
berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Pengakuan atas eksistensi manusia menandakan
bahwa manusia sebagai makhluk hidup adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa yang patut
memperoleh apresiasi secara positif. Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makana ganda,
baik ke luar (antar negara-negara) maupun ke dalam (antar negara-bangsa), berlaku bagi
semua bangsa dan pemerintahan di negara-negaranya masing-masing. Makna ke luar adalah
berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat
kemanusiaan antar negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka
peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam,
mengandung pengertian bahwa Deklarasi HAM seduania itu harus senantiasa menjadi kriteria
objektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang
dikelauarkan oleh pemerintahnya.
Bagi negara-negara anggota PBB, Deklarasi itu sifatnya mengikat. Dengan demikian setiap
pelanggaran atau penyimpangan dari Deklarasi HAM sedunia di suatu negara anggota PBB
bukan semata-mata menjadi masalah intern rakyat dari negara yang bersangkutan, melainkan
juga merupakan masalah bagi rakyat dan pemerintahan negara-negara anggota PBB lainnya.
Mereka absah mempersoalkan dan mengadukan pemerintah pelanggar HAM di suatu negara
ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM internasional lainnya
unuk mengutuk bahkan menjatuhkan sanksi internasional terhadap pemerintah yang
bersangkutan. Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal
yang termaktub dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang
berlaku bagi siapapun, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun serta bertempat
tinggal di mana pun di muka bumi ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilainilainya berlaku untuk semua.
Universal Declaration of Human Rights kita akui, hanya saja dalam implementasinya
mungkin tidak sama dengan di negara-negara lain khususnya negara Barat yang latar
belakang sejarah dan budayanya berbeda dengan kita. Memang benar bahwa negara-negara di
dunia (tidak terkecualai Indonesia) memiliki kondisi-kondisi khusus di bidang politik, sosial,
ekonomi, budaya dan lain sebagainya, yang bagaimanapun, tentu saja berpengaruh dalam
pelaksanaan perlindungan HAM. Tetapi, tidak berarti dengan adanya kondisi yang bersifat
khusus tersebut, maka prinsip-prinsip mendasar HAM yang universal itu dapat dikaburkan
apalagi diingkari
Formulasi HAM ke dalam UDHR/DUHAM adalah titik kulminasi pemikiran dan
pengalaman manusia. UDHR merupakan referensi hidup dan kehidupan manusia.
UDHR/DUHAM adalah puncak konseptualisasi pemikiran manusia terhadap dimensi
kemanusiaan manusia itu sendiri, sehingga secara wajar kalau konsep yang tertuang dalam
DUHAM diberlakukan secara universal untuk melindungi Hak Asasi Manusia itu sendiri.
Sumber :
1.http://www.komisihukum.go.id/newsletter.php?act=detil&id=167&PHPSESS
ID=5ab4e740effd1cf650f587d1225a6e8d
Ham, Duham & Ranham Indonesia, oleh : Majda El-Muhtaj (Dosen & Peminat Kajian HAM)
2. http://www.humanrights.go.id/spt_sejarah.asp
3. http://www.vhrmedia.net/home/index.php?id=view&aid=3903&lang=

4. Dasar-Dasar Ilmu Tata Negara : Budiyanto


.
Comment Number:
35
Ditulis oleh:
Arief Rachman Nim : 04400040 Kelas A Semester VI
Pada tanggal:
6 April 2007 jam 1:24

Arief Rachman
04400040
VI / A
Fakultas hukum
Universitas Muhammadiyah Malang
Pendapat Saya :
Seluruh pengalaman dalam menangani masalah hak asasi manusia di tahun 2006 semestinya
menjadi pelajaran bagi semua instansi yang berwenang di bidang hak asasi manusia di tahun
2007 ini, khususnya untuk memperbaiki kekeliruan di tahun lalu atau mengerjakan hal-hal
yang belum sempat dikerjakan. Dalam kesempatan ini Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (ELSAM) ingin memberikan masukan dan berbagi perspektif kepada berbagai
instansi yang berwenang di bidang hak asasi manusia dalam memperbaiki penanganan
persoalan hak asasi manusia baik dalam sisi normatif mau pun dalam sisi
pengimplementasian norma-norma yang ada.
Pemerintahan SBY menghadapi masalah serius dalam hal reformasi kelembagaan. Lembagalembaga HAM menjadi mesin birokrasi baru tanpa bisa mendorong secepat mungkin promosi
dan perlindungan HAM. Pemerintah juga kurang mendukung fungsi lembaga HAM dan tidak
tercatat telah menjalankan kebijakan yang berperspektif HAM.
Belum tertanganinya berbagai bentuk pelanggaran di tahun 2006 bukan karena ketiadaan
norma hukum, melainkan karena masing-masing institusi kenegaraan dan pemerintah tidak
mampu untuk mengimplementasikan norma yang telah ada. Atau tidak ada koherensi
pemahaman antar institusi kenegaraan dalam mengimplementasikan kebijakan di bidang
HAM. Akibatnya persoalan HAM ditangai secara parsial dan serampangan. Ketidakmampuan
mengimplementasikan kebijakan yang berdimensi HAM disebabkan oleh faktor ketiadaan
blueprint atau agenda yang visioner dalam menyikapi persoalan HAM karena masalah HAM
masih dilihat secara sektoral dan business as usual . Artinya sampai tahun 2006 berakhir
belum ada cara kerja yang menunjukan saling keterkaitan antar instansi kenegaraan dalam
menangani masalah pelangaran HAM.

Makamah Agung, seperti ditahun-tahun sebelumnya, masih saja membebaskan para terdakwa
dengan dalih para pelaku tidak terbukti melakukan kejahatan yang disangkakan kepadanya.
Sulitnya menghukum para pelaku kejahatan hak asasi manusia di masa lalu semakin lengkap
ketika mekanisme penyelesaian kasus-kasus pelanggaran di masa lalu melalui Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) urung dibentuk karena Undang Undangnya dinyatakan
oleh MK bertentangan dengan Konstitusi dan Hukum Internasional. Secara terang-terangan
pemerintah Indonesia dengan dukungan penuh dari DPR menolak desakan dunia
internasional tentang penggelaran pengadilan internasional atas kasus kejahatan terhadap
kemanusiaan para pejabat militer Indonesia di Timor Leste pada tahun 1999. Dengan berkilah
bahwa Pemerintah RI dan Timor Leste telah sepakat memilih penyelesaian melalui
pembentukan Komisi Perdamaian dan Persahabatan (KKP) pemerintah Indonesia meminta
dunia internasional untuk mengurungkan niatnya.
ELSAM Juga mencatat masih berlanjutnya penggunaan aturan-aturan hukum pidana, dalam
hal ini KUHP, untuk membuat pembatasan-pembatasan hak sipil dan politik warga negara.
Penggunaan hukum pidana dalam kasus-kasus pembatasan kebebasan tersebut ialah:
penggunaan pasal-pasal penghinaan martabat presiden dan wakil presiden, penggunaan pasalpasal penjaga moral seperti: pasal-pasal pornografi, pasal-pasal antikumpul kebo
(samenloven) untuk memberangus kebebasan dan privasi individu, dan pasal-pasal
mengganggu ketertiban umum dan perbuatan tidak menyenangkan.
Perusahaan-perusahan skala besar hingga saat ini masih menikmati impunitas. Gagalnya
reformasi hukum untuk mendorong terciptanya kontrol yang semakin kuat bagi korporasi
serta kebutuhan akan investasi dan devisa yang mendorong pemerintah untuk lebih
mengutamakan terciptanya market friendly policy, menjadi penyebab sulitnya meminta
pertanggungjawaban perusahaan-perusahaan swasta/negara yang terlibat dalam berbagai
tindak pelanggaran hak asasi manusia.
Proses demokratisasi di tingkat daerah berlangsung melalui serangkaian reformasi hukum dan
institusi sosial politik, seperti pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, maupun walikota)
secara langsung (Pilkada) dan penguatan kebijakan desentralisasi, yang diiringi dengan
promosi good governance. Namun desentralisasi yang dimaksudkan untuk mendekatkan
rakyat kepada pengambil keputusan di daerahnya, tampaknya secara empirik tidak
berlangsung seperti idealnya. Selain telah menjadi arena baru yang memungkinkan sejumlah
kelompok yang siap untuk menguasai jabatan-jabatan strategis dalam politik lokal, sistem
demokrasi di tingkat lokal juga mengembalikan, mempertahankan, dan mengakumulasi
modal (modal ekonomi, sosial, kultural, dan simbolik). Akibatnya penduduk kembali menjadi
korban tindak pelanggaran hak asasi manusia baik yang dilakukan oleh aparatus negara,
perusahaan, maupun kelompok-kelompok sipil lain.
Memasuki tahun 2007 kendala besar dalam menangani pelanggaran HAM di Aceh dan Papua
adalah ketiadaan kepastian hukum. Pengadilan HAM di Aceh dan Papua belum dibentuk
sementara Makamah Konstitusi telah menganulir UU KKR yang ditujukan sebagai instrumen
dan mekanisme penanganan pelanggaran HAM di masa lalu. Padahal UU Pemerintahan Aceh

dan UU Otsus Papua memandatkan pemerintah membentuk KKR sesuai dengan konteks
persoalan HAM di Aceh dan Papua.
Comment Number:
36
Ditulis oleh:
Arief Rachman Nim : 04400040 Kelas A Semester VI
Pada tanggal:
6 April 2007 jam 1:30

Arief Rachman
04400040
VI / A
Fakultas hukum
Universitas Muhammadiyah Malang
Pendapat Saya :
Seluruh pengalaman dalam menangani masalah hak asasi manusia di tahun 2006 semestinya
menjadi pelajaran bagi semua instansi yang berwenang di bidang hak asasi manusia di tahun
2007 ini, khususnya untuk memperbaiki kekeliruan di tahun lalu atau mengerjakan hal-hal
yang belum sempat dikerjakan. Dalam kesempatan ini Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (ELSAM) ingin memberikan masukan dan berbagi perspektif kepada berbagai
instansi yang berwenang di bidang hak asasi manusia dalam memperbaiki penanganan
persoalan hak asasi manusia baik dalam sisi normatif mau pun dalam sisi
pengimplementasian norma-norma yang ada.
Pemerintahan SBY menghadapi masalah serius dalam hal reformasi kelembagaan. Lembagalembaga HAM menjadi mesin birokrasi baru tanpa bisa mendorong secepat mungkin promosi
dan perlindungan HAM. Pemerintah juga kurang mendukung fungsi lembaga HAM dan tidak
tercatat telah menjalankan kebijakan yang berperspektif HAM.
Belum tertanganinya berbagai bentuk pelanggaran di tahun 2006 bukan karena ketiadaan
norma hukum, melainkan karena masing-masing institusi kenegaraan dan pemerintah tidak
mampu untuk mengimplementasikan norma yang telah ada. Atau tidak ada koherensi
pemahaman antar institusi kenegaraan dalam mengimplementasikan kebijakan di bidang
HAM. Akibatnya persoalan HAM ditangai secara parsial dan serampangan. Ketidakmampuan
mengimplementasikan kebijakan yang berdimensi HAM disebabkan oleh faktor ketiadaan
blueprint atau agenda yang visioner dalam menyikapi persoalan HAM karena masalah HAM
masih dilihat secara sektoral dan business as usual . Artinya sampai tahun 2006 berakhir
belum ada cara kerja yang menunjukan saling keterkaitan antar instansi kenegaraan dalam
menangani masalah pelangaran HAM.

Makamah Agung, seperti ditahun-tahun sebelumnya, masih saja membebaskan para terdakwa
dengan dalih para pelaku tidak terbukti melakukan kejahatan yang disangkakan kepadanya.
Sulitnya menghukum para pelaku kejahatan hak asasi manusia di masa lalu semakin lengkap
ketika mekanisme penyelesaian kasus-kasus pelanggaran di masa lalu melalui Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) urung dibentuk karena Undang Undangnya dinyatakan
oleh MK bertentangan dengan Konstitusi dan Hukum Internasional. Secara terang-terangan
pemerintah Indonesia dengan dukungan penuh dari DPR menolak desakan dunia
internasional tentang penggelaran pengadilan internasional atas kasus kejahatan terhadap
kemanusiaan para pejabat militer Indonesia di Timor Leste pada tahun 1999. Dengan berkilah
bahwa Pemerintah RI dan Timor Leste telah sepakat memilih penyelesaian melalui
pembentukan Komisi Perdamaian dan Persahabatan (KKP) pemerintah Indonesia meminta
dunia internasional untuk mengurungkan niatnya.
ELSAM Juga mencatat masih berlanjutnya penggunaan aturan-aturan hukum pidana, dalam
hal ini KUHP, untuk membuat pembatasan-pembatasan hak sipil dan politik warga negara.
Penggunaan hukum pidana dalam kasus-kasus pembatasan kebebasan tersebut ialah:
penggunaan pasal-pasal penghinaan martabat presiden dan wakil presiden, penggunaan pasalpasal penjaga moral seperti: pasal-pasal pornografi, pasal-pasal antikumpul kebo
(samenloven) untuk memberangus kebebasan dan privasi individu, dan pasal-pasal
mengganggu ketertiban umum dan perbuatan tidak menyenangkan.
Perusahaan-perusahan skala besar hingga saat ini masih menikmati impunitas. Gagalnya
reformasi hukum untuk mendorong terciptanya kontrol yang semakin kuat bagi korporasi
serta kebutuhan akan investasi dan devisa yang mendorong pemerintah untuk lebih
mengutamakan terciptanya market friendly policy, menjadi penyebab sulitnya meminta
pertanggungjawaban perusahaan-perusahaan swasta/negara yang terlibat dalam berbagai
tindak pelanggaran hak asasi manusia.
Proses demokratisasi di tingkat daerah berlangsung melalui serangkaian reformasi hukum dan
institusi sosial politik, seperti pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, maupun walikota)
secara langsung (Pilkada) dan penguatan kebijakan desentralisasi, yang diiringi dengan
promosi good governance. Namun desentralisasi yang dimaksudkan untuk mendekatkan
rakyat kepada pengambil keputusan di daerahnya, tampaknya secara empirik tidak
berlangsung seperti idealnya. Selain telah menjadi arena baru yang memungkinkan sejumlah
kelompok yang siap untuk menguasai jabatan-jabatan strategis dalam politik lokal, sistem
demokrasi di tingkat lokal juga mengembalikan, mempertahankan, dan mengakumulasi
modal (modal ekonomi, sosial, kultural, dan simbolik). Akibatnya penduduk kembali menjadi
korban tindak pelanggaran hak asasi manusia baik yang dilakukan oleh aparatus negara,
perusahaan, maupun kelompok-kelompok sipil lain.
Memasuki tahun 2007 kendala besar dalam menangani pelanggaran HAM di Aceh dan Papua
adalah ketiadaan kepastian hukum. Pengadilan HAM di Aceh dan Papua belum dibentuk
sementara Makamah Konstitusi telah menganulir UU KKR yang ditujukan sebagai instrumen
dan mekanisme penanganan pelanggaran HAM di masa lalu. Padahal UU Pemerintahan Aceh

dan UU Otsus Papua memandatkan pemerintah membentuk KKR sesuai dengan konteks
persoalan HAM di Aceh dan Papua.
Sumber dan Acuan:
1. C.de Rover To Serve and To Protect Acuan Universal Penegakan HAM, PT Raja
Grafindo,Jakarta,2000
2. Scott Davidson HAK ASASI MANUSIA PT Pustaka Utama Grafiti,Jakarta,1994
3. Litbang Kompas, kasus-kasus pelanggaran HAM.
4. Berita mingguan Pikiran Rakyat, minggu 12 Desember 2004, Tentang Antara Universalitas
HAM dan Asian Values, di Internet
5. Maria hartiningsih dan Subur tjahjono tentang HAM dan Demokrasi Saling
Memperkuat, di internet
6. Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM
Comment Number:
37
Ditulis oleh:
Pandu Nuswantara
Pada tanggal:
6 April 2007 jam 6:58

Silahkan tulis komentar di sini.


Pandu Nuswantara
04400039
Hukum VI A
Pada dasarnya HAM adalah suatu hak dasar yang dimiliki oleh semua manusia di muka
bumi. Lahirnya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948 di Paris merupakan respons dari manusia di
dunia bahwa mereka dilahirkan dengan kebebasan dan memiliki kesamaan dalam derajat
serta di depan hukum. Esensi dari HAM itu sendiri dibuat untuk kepentingan semua umat
manusia di muka Bumi ini. Dalam UDHR 1948 disebutkan secara jelas bahwa every person
is entitled to basic human rights without distinction of any kind, such as race, colour,
language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other
status. Benar, semua manusia punya hak asasi yang harus dihormati tanpa memandang
perbedaan apa pun.
Sejak kelahirannya 57 tahun yang lalu, universalitas HAM telah semakin membumi. Hak
Asasi Manusia (HAM) telah menjadi agenda global seiring dengan kesadaran umat manusia
di dunia ini untuk lebih menghargai sesamanya. HAM kini telah menjadi isu yang ramai
dibicarakan dan kehadirannya telah meresap pada hampir semua aspek kehidupan manusia,
mulai dari persoalan ekonomi, sosial, politik, budaya, dan keamanan.. Deklarasi universal
HAM adalah struktur institusional yang paling mendasar untuk memproteksi hak-hak asasi
manusia yang antara lain hak untuk hidup, hak untuk mengeluarkan pendapat, hak unuk

berekspresi dsb..
Tapi yang menjadi catatan penulis bahwa apakah semua negara-negara di dunia ini telah
benar dalam menerapkan konsep HAM universal yang agendanya menjunjung tinggi hak-hak
dasar setiap manusia dalam segala hal. Salah satu contoh pernah terjadi kasus yang
mengatasnamakan kebebasan berekpresi yakni kasus pemuatan karikatur Nabi Muhammad
beberapa waktu yang lalu oleh sebuah media massa di Denmark. Dengan entengnya media
massa Eropa ( Barat ) menyebut hal ini sebagai kebebasan yang dimiliki setiap orang untuk
berekpresi. Media massa barat tidak melihat bahwa yang mereka gambar adalah panutan
umat Islam di seluruh dunia yang sangat dihormati. Kita tahu bahwa di dalam Islam
menggambar wajah Nabi Muhammad tidak diperbolehkan.
Pada intinya saya setuju dengan adanya universalitas HAM, namun melihat dari contoh diatas
seharusnya universalitas HAM menetapkan batas-batas yang jelas tentang hak asasi manusia
itu sendiri. Menurut pendapat saya, bahwa konsep HAM universal perlu dikaji ulang dengan
memasukkan nilai-nilai atau norma-norma yang ada pada tiap negara di seluruh dunia baik
norma social, budaya, ,maupun agama. Hal ini bertujuan agar konsep HAM universal tidak
bertentangan dengan norma- norma yang ada pada tiap Negara dan agar kasus seperti di atas
tidak terjadi lagi.
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1204/12/0903.htm
http://www.komisihukum.go.id/newsletter.php?
Comment Number:
38
Ditulis oleh:
Prayudha Rudy
Pada tanggal:
6 April 2007 jam 18:14

Nama : Prayudha Rudy


NIM : 04400036
VI/A
Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Malang
Dalam sejarah perkembangannya yang awal di negeri-negeri Barat, proses berkembangnya
ide hak-hak manusia yang asasi berikut segala praksis-praksis implementatifnya terjadi
berseiring benar dengan berkembangnya ide untuk membangun suatu negara bangsa yang
demokratik dan berinfrastruktur masyarakat warga civil society). Ide ini mencita-citakan
terwujudnya suatu komunitas politik manusia sebangsa atas dasar prinsip kebebasan dan
kesamaan derajat serta kedudukan di hadapan hokum dan kekuasaan. Ini berarti bahwa setiap
manusia sebangsa dalam kehidupan komunitas bangsa yang disebut Negara bangsa itu akan

tak lagi boleh dipilah ke dalam golongan mereka yang harus disebut para Gusti dengan segala
hak-hak istimewanya dan golongan mereka yang harus dinisbatkan sebagai para Kawula Alit
dengan segala kewajibannya untuk patuh dan berdisiplin. Tak lagi mengenal dua kelas yang
terpilah secara diskriminatif, masyarakat yang terbentuk itu demikian menurut model
idealnya adalah suatu masyarakat baru yang berhakikat sebagai masyarakat warga yang
pada asasnya berkebebasan, eksis dan bersitegak di atas dasar paham egalitarianisme. Tak
lagi ada kelas ningrat yang atas, tak ada lagi kelas kawula biasa yang bawah, yang ada kini
ini (idealnya yang universal !) adalah kelas tengah. Semua saja tanpa kecualinya memiliki
hak dan kebebasan yang sama. Hak dan kebebasan hanya boleh dibatasi atas dasar
kesepakatan, yang dicapai tanpa rasa keterpaksaan oleh para warga itu sendiri (atau oleh
wakil atau kuasanya). Kesepakatan seperti itu, yang dalam istilah teknisnya disebut
kesepakatan kontraktual, kemudian daripada itu harus dipositifkan dalam wujud kontrakkontrak perjanjian (manakala dalam kehidupan privat) atau akan berbentuk undang-undang
(manakala dalam kehidupan publik).
Itulah suatu perkembangan dalam kehidupan hukum, dari kehidupan dengan hukum yang
tercipta oleh sumber kekuasaan eksternal ke kehidupan baru dengan hukum yang tercipta
oleh sumber kekuasaan yang internal dari para manusia itu sendiri. Diidealkan seperti itu,
maka pada asasnya dan menurut doktrinnya hak-hak para warga yang asasi dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara itu juga pembatasannya dalan wujud kewajiban-kewajiban
mestilah berawal pula dari kesepakatan yang jujur dan ikhlas. Tidaklah sekali-kali dibenarkan
manakala hubungan atas dasar kesepakatan itu terjadi karena suatu pemaksaan atau
keterpaksaan, atau pula karena dikecoh atau disesatkan lewat penipuan. Hak dan kewajiban
yang menjadi dasar dari seluruh tertib hukum di dalam kehidupan bernegara bangsa dan di
dalam kehidupan masyarakat warga itu tidaklah sekali-kali boleh bermula dari kehendak
sepihak yang dipaksakan : dipaksakan oleh dia yang tengah berkekuatan dan berkekuasaan
kepada dia yang tengah berada dalam posisi lemah dan kurang berkeberdayaan. Tatkala hakhak asasi manusia dideklarasikan di New York atas wibawa Perserikatan Bangsa-Bangsa pada
tahun 1948, deklarasi itu tak ayal lagi adalah deklarasi yang pada dasarnya bertolak dari dan
bertumpu pada ide, doktrin dan/atau konsep mengenai kebebasan dan kesetaraan manusia
sebagaimana yang telah lama dimengerti di dunia Barat itu sebagaimana dipaparkan di muka.
Lebih lanjut lagi deklarasi itu bahkan juga mengklaim bahwahak-hak dan seluruh ide dan
doktrin yang mendasarinya itu juga bernilai universal. Kalau semula pada awalnya yang
dimaksudkan dengan universalitas itu adalah universalitas yang masih pada lingkup nasional,
mengatasi partikularisme yang lokal dan/atau etnik dan atau yang sektarian, kini yang
dimaksudkan dengan universalitas itu adalah universalitas yang kemanusiaan, mengatasi
partikularisme kebangsaan. Bukan suatu kebetulan manakala deklarasi itu secara resmi
disebut The Universal Declaration of Human Rights, dengan mengikutkan kata universal
guna mengkualifikasi deklarasi itu sebagai suatu pernyataan yang berkeniscayaan mesti
berlaku umum di negeri manapun, pada kurun masa yang manapun, untuk dan terhadap
sesiapapun dari bangsa manapun.
Yang jelas bagi saya adalah universalitas HAM perlu dikaji ulang sejauh mana relevansi
nilainya setelah konsepsi ini berjalan sekitar tujuh abad lamanya. Relevansi yang dimaksud
adalah mencari terobosan pemikiran baru tentang HAM, yang lebih luwes dan adil

sebagaimana yang tertuang dalam Al Qur n dan Al Sunnah, dalam frame work humanisme,
yang lebih menjamin. Ini mengupayakan lintas pemikiran universalitas HAM , yang tidak
condong membuat vis a vis antara Islam dan Barat, tapi bagaimana dua segmen peradaban
ini, bisa bertemu dalam bingkai moralitas internasional, yang dalam hal ini subtansi utamanya
adalah HAM sebagai nilai universal insaniyah, sebagaimana dikemukakan Dr. Bassam Tibbi
http://www.elsam.or.id/pdf/kursusham/HAM_Historis_Sosiologis
http://www.tripod.com
Comment Number:
39
Ditulis oleh:
PRAJA TEGUH PRAYITNO
Pada tanggal:
7 April 2007 jam 9:28

PRAJA TEGUH PRAYITNO


04400029 / VI-A
Fak Hukum UMM
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia dari tahun 1948 ini segera saja,pada dasawarsa
berikutnya,disusul dengan penyiapan dan pembentukan dua kovenan dan satu
Protokol.Kovenan dan protokolnya ini diterima dengan suara bulat oleh SidangUmum
Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal16 Desember 1966. Kedua kovenan itu ialah The
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan The International
Covenant on Civil and Political Rights,sedangkan yang protokol dikenaldengan nama
Optional Protocol for The Convenant on Civil and Political Rights.Keempat produk satu dari
tahun 1948 dan tiga dari tahun 1966 itu merupakan instrumen hukum Perserikatan Bangsa
Bangsa,dan dikabarkan sebagai International Bill of Human Rights, dengan harapan untuk
segera bisa diratifikasi oleh anggota-anggotanya.Negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa
yang belum dapat meratifikasi konvenan itu karena berbagaialasan pada dasarnya memang
tidak terikat menurut hukum untuk melaksanakannya, namun demikian secara moral tetaplah
saja memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk menghormati pengakuan internasional
akan adanya hak-hak manusia yang asasi itu,dan kemudian daripada itu juga
berkebijaksanaan untuk mengupayakan kemungkinan pelaksanaan realisasinya.Lebih lanjut
dari Deklarasi dari tahun 1948 yang baru bersifat deklarasi,kedua kovenan tersebut di muka
ini lebih tertuju ke maksud mengikat secara yuridis negara-negara peserta yang menyepakati
kovenan-konvenan tersebut.Mukadimah kedua kovenan itu sama-sama menyatakan
pertimbangan bahwa negara-negara peserta sejalan dengan apa yang dituliskan dalam Piagam
Perserikatan Bangsa Bangsa memang berkewajiban untuk memajukan penghormatan secara
universal dan juga untuk menaati hak-hak asasi berikut kebebasan manusia. Mukadimah ini
juga menyatakan kesadaran negara-negara peserta bahwa setiap individu manusia

mempunyai kewajiban di hadapan individu manusia yang lain dan pula kepada komunitas
tempat ia berada, dan oleh sebab itu juga mempunyai tanggungjawab untuk ikut
mengupayakan usaha memajukan serta ikut menaati hak-hak yang telah diakui dalam
kovenan-kovenan ini.Pasal 1,3 dan 5 kedua kovenan tersebut di muka boleh dikatakan
memuat isiketentuan yang hampir sama.Pasal 1 kedua kovenan itu sama-sama menyatakan
bahwa semua bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri; maka demi hak
ini,semua bangsa akan bebas untuk menentukan status politiknya dan untuk secara bebas pula
mengupayakan perkembangan status ekonomi, sosial dan kulturalnya.Pasal 3 kedua kovenan
juga sama-sama menyatakan bahwa negara-negara peserta kovenan berupaya untuk
menjamin persamaan hak antara lelaki dan perempuan dalam menikmati semua hak yang
diatur dalam kovenan.Sementara itu pasal 5 kedua kovenan-seperti mengulang kembali
bunyi pasal 30 Deklarasi,tahun 1948-menyatakan bahwa tidak satupun yang dituliskan
dalam kovenan ini dapat ditafsirkan sebagaipemberian hak kepada negara, kelompok atau
seseorang untuk melakukan atau melibatkan diri ke dalam suatu kegiatan yang bertujuan
merusak hak-hak atau kebebasan yang diakui di dalam kovenan ini.Masih ada satu dokumen
lagi yang melengkapi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang diterima dalam
Sidang Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal 16 Desember 1966. Dokumen yang
dimaksud ini ialah dokumen yang berisiProtokol Optional pada Kovenan Intemasional HakHak Sipil dan Politik yang diterima oleh Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada
hari yang sama dengan diterimanya dua Kovenan Internasional yang telah disebutkan di
muka.Protokol pertama ini,yang di dalam aslinya disebut Optional Protocol to The
International Covenant on Civiland Political Rights,terdiri dari 14 pasal. Protokol disepakati
oleh negara-negara peserta atas dasar pertimbangan bahwa agar dapat mencapai tujuan
Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik lebih jauh,dan pula demi terimplementasinya ketentuanketentuan tersebut dalam Kovenan, layaklah kalau dibuka kemungkinan bagi Komite HakHak Asasi Manusia yang harus dibentuk berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut dalam
bagian IV Kovenan
Guna menerima serta membahas hal-hal yang dikomunikasikan oleh individu-individu yang
mengaku telah menjadi korban pelanggaran hak Asasi Manusia.
SUMBER :
>>>>>WWW.GOOGLE.COM : HUBUNGAN NEGARA DAN MASYARAKAT
DALAMKONTEKS HAK-HAK ASASI MANUSIA:SEBUAH TINJAUANHISTORIK
DARI PERSPEKTIF RELATIVISME BUDAYA POLITIK Oleh: Prof.Soetandyo
Wignjosoebroto,MPA.
Comment Number:
40
Ditulis oleh:
Sofyan Syafril (Fakultas Hukum, IV A - 04400003)
Pada tanggal:

8 April 2007 jam 1:43

Saya coba memandang universalitas HAM dari sudut pandang keislaman, yang menurut saya
isi dari deklarasi HAM 1948 bukan cerminan universalitas HAM yang 100 persen dibuat
untuk menjunjung tinggi HAM yang sebenar-benarnya.
Agama islam merupakan agama yang sangat menjunjung tinggi HAM. Di antara
keistimewaan agama Islam adalah bahwa agama ini selalu selaras dengan semua dimensi
kehidupan manusia, di segala zaman dan segala tempat. Di antara dimensi sosial yang tak
luput dari pandangan Islam adalah masalah hak asasi manusia. Meskipun isu tentang HAM
baru dimunculkan dunia Barat sekitar 60 puluh tahun yang lalu dan Deklarasi HAM baru
ditandatangani tahun 1948, namun sesungguhnya Islam sejak ribuan tahun lalu telah
mengajarkan prinsip-prinsip HAM kepada umat manusia.
Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk yang terbaik dan khalifah Allah di muka bumi.
Atas alasan ini, manusia layak untuk menerima penghormatan serta memiliki hak-hak yang
istimewa. Pada prinsipnya, HAM adalah hak-hak yang dimiliki manusia karena
kedudukannya sebagai manusia. Dalam hal ini, warna kulit, ras, bahasa, dan etnik sama sekali
tidak boleh mempengaruhi terpenuhinya hak-hak tersebut, karena hak-hak itu asasi dan
universal.
Berkaitan dengan hal ini, Hasan Rahimpour Azgadi, seorang cendekiawan Iran mengatakan
sbb. Kita sebagai muslim harus mempercayai bahwa kita dapat memiliki sebuah sistem
HAM yang universal, tanpa memperdulikan etnis atau ras. Karena, nabi-nabi Tuhan termasuk
Nabi Muhamamd SAW adalah nabi bagi semua umat. Alamah Muhamamd Taqi Jafari
almarhum, seorang filsuf asal Iran, menyatakan bahwa ada lima tiang utama yang harus
selalu ditegakkan dalam sepanjang sejarah manusia, yaitu kehidupan yang layak, kemuliaan
manusia, pendidikan dan pengajaran, kebebasan, dan kesetaraan setiap orang di hadapan
hukum.
Keistimewaan HAM dalam pandangan Islam adalah keselarasannya dengan fitrah manusia.
Dengan kata lain, nilai-nilai hak-hak manusia dalam Islam selalu sejalan dengan fitrah
manusia. Sebagian di antara nilai-nilai ini adalah keadilan, sikap baik kepada orang lain,
penghormatan kepada orangtua, usaha untuk mencapai kemerdekaann, dll. Nilai-nilai HAM
yang sesuai dengan fitrah manusia artinya tidak terbatas pada bangsa tertentu saja, dan dapat
diterapkan bagi semua bangsa di dunia.
Oleh karena itu, bila kita menginginkan terbentuknya suatu UU universal berkaitan dengan
HAM, penyusunan UU ini harus memperhatikan kehendak-kehendak fitrah manusia.
Deklarasi dan UU HAM internasional yang saat ini sudah disusun oleh pemerintah Barat
tidak memenuhi syarat ini, meskipun ada juga beberapa sisi positifnya. Sementara itu, UU
HAM produk Barat tidak memiliki landasan yang kokoh dan logis untuk bisa dijadikan
sebagai hukum yang universal dan mengikat seluruh bangsa di dunia. Bahkan, pada
kenyataannya, Deklarasi HAM yang disusun negara-negara Barat pada tahun 1948
merupakan hasil dari transformasi AS dan Eropa pada abad lalu dan mengacu pada paham
liberalisme dan sekularisme.
Ketidakselarasan Deklarasi HAM 1948 dengan budaya dan nilai-nilai yang dianut sebagian
bangsa di dunia telah menyebabkan timbulnya keinginan untuk mengamandemen isi
deklarasi tersebut. Dalam rangka inilah, pada tahun 1980, Dewan Islam telah mengadakan

sidang di London dan menyusun draft Deklarasi HAM Islam Universal. Dalam deklarasi ini
terlihat adanya perbedaan pandangan kaum muslimin terhadap sebagian isi Deklarasi HAM
1948. Dalam draft HAM Islam ini disebutkan bahwa hak asasi manusia dalam pandangan
Islam berakar pada kepercayaan kepada Tuhan dan undang-undang apapun yang dibuat
manusia harus selaras dengan hukum Tuhan.
(http://indonesian.irib.ir/perspektif/2005/juli2005/ham.htm)
Poin penting yang menjadi pembeda antara HAM dalam pandangan Islam dengan HAM
dalam pandangan Barat adalah poin kebebasan. Pada dasarnya, Islam dan Barat memiliki
kesamaan pandangan, yaitu bahwa kebebasan adalah hak asasi manusia. Namun, Islam
memandang bahwa kebebasan adalah alat untuk mencapai kesempurnaan dan kemuliaan
manusia. Tetapi, kebebasan dalam Islam memiliki batasan. Rahimpour Azgadi mengatakan,
Kebebasan dalam pandangan Islam adalah kebebasan bersyarat, yaitu kebebasan tidak boleh
melanggar kebebasan orang lain, kebebasan tidak boleh menyeret manusia kepada kejahatan,
dan kebebasan tidak boleh menghalangi manusia untuk mencapai kesempurnaannya.
Sebaliknya, kebebasan dalam pandangan Barat tidak memiliki batas selain bahwa kebebasan
seseorang tidak boleh melanggar kebebasan orang lain. Akibatnya, di negara-negara Barat,
kebebasan diterapkan tanpa kendali. Dewasa ini, kebebasan itu telah merusak berbagai sendi
kehidupan. Misalnya, hubungan seks antara laik-laki dan perempuan di Barat sedemikian
bebasnya, sehingga sendi-sendi keluarga menjadi hancur, angka perceraian tinggi, dan
banyak anak-anak yang lahir tanpa bapak yang jelas. Selain itu, penyakit akibat pergaulan
bebas, semisal AIDS, merebak luas dan merenggut korban termasuk bayi-bayi tidak berdosa
sekalipun.
Bahkan lebih ironisnya, paham kebebasan dalam kaca mata Barat diterapkan sebagai
kebebasan bagi pemerintah Barat untuk melakukan berbagai perilaku hegemoni, infiltrasi,
invasi, dan penjajahan. Pemerintah negara-negara adidaya Barat tidak saja melanggar HAM
yang selama ini mereka gembar-gemborkan, bahkan juga memanfaatkan HAM sebagai alat
untuk mencapai kepentingan mereka. Dengan standar yang mereka buat sendiri, pemerintah
Barat memberi penilaian tentang pelaksanaan HAM di negara-negara lain dan kemudian
memberikan sanksi, seperti embargo ekonomi atau tekanan politik.
Tentu saja, negara-negara yang menerima tekanan dan bahkan embargo dari Barat dengan
dalih pelanggaran HAM, adalah negara-negara yang tidak mau mematuhi keinginankeinginan Barat. Salah satu contoh dalam hal ini adalah Republik Islam Iran. Selama ini,
Republik Islam Iran selalu menolak campur tangan dan infiltrasi AS dan selama itu pula, Iran
menerima berbagai tekanan, embargo, dan propaganda buruk yang dilancarkan AS. Padahal,
bila dilihat secara objektif, kasus-kasus pelanggaran HAM yang dituduhkan AS terhadap Iran
tidak ada bukti kebenarannya.
Sebaliknya, betapa banyak kita lihat hari ini, pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negaranegara Barat, terutama AS, namun tidak mendapatkan tanggapan yang semestinya. Misalnya,
pelanggaran HAM yang sangat nyata dilakukan oleh AS di Penjara Abu Ghraib dan
Guantanamo, dibiarkan saja oleh negara-negara Barat lainnya. Meskipun ada kecaman dari
berbagai pihak, namun pada prakteknya, tidak ada tindakan nyata apapun yang mereka
lakukan dalam menghentikan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh AS itu. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa HAM dalam pandangan Barat adalah semu belaka.
Sebaliknya, HAM dalam pandangan Islam adalah HAM yang hakiki dan seharusnya

diterapkan oleh umat manusia sedunia.


oleh karena itu, patut kita sadari pula seharusnya kita sebagai umat yang beruntung karena
sejak lahir telah diperkenalkan dan menjadi islam harus kritis terhadap aturan-aturan yang
dibuat oleh manusia terutama yang datangnya dari negara barat. Hendaknya kita kembali
mengkaji apakah aturan itu benar-benar dibuat untuk menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan atau hanya sekedar alat untuk mengejar kekuasaan semata.
Comment Number:
41
Ditulis oleh:
Erfan Nilasmani
Pada tanggal:
8 April 2007 jam 4:00

Nama :Erfan Nilasmani


Kelas:VI A
Nim :o4400047
Fak Hukum
Hak asai Manusia adalah sebagai hak dasar yang dimiliki oleh pribadi manusia sebagai
anugrah tuhan yang dibawa sejak lahir, dan tidak dapat dipisahkan dari eksitensi pribadi
manusia itu sendiri.pada awalnya HAM sendiri baru diakui sejak ditandatanganinya Magna
Charta pada th 1215 oleh raja Lackland.Pada perkembanngannya pada tgl 10 Desember 1948
di Paris PBB telah melahirkan dan mengesahkan Universal Declaration of Human Rights
(UDHR) atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan selanjutnya PBB mengadakan
Konferensi Internasional tentang HAM di Teheran, pada tanggal 22 April sampai 13 Mei
1968.Deklarasi ini memuat pokok-pokok hak asasi manusia dan kebebasan dasar, dan yang
dimaksudkan sebagai acuan umum hasil pencapaian untuk semua rakyat dan bangsa bagi
terjaminnya pengakuan dan penghormatan hak-hak dan kebebasan dasar secara universal dan
efektif,baik di kalangan rakyat negara-negara anggota PBB sendiri maupun dikalangan rakyat
di wilayah-wilayah yang berada di bawah yurisdiksi mereka. Dalam hal ini PBB terlibat
dalam berbagai kegiatan yang bertujuan untuk mencapai salah satu tujuan dasar, yaitu
pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia.Satu hal yang penting adalah kelengkapan
yang kompleks yang dirancang berbagai konvenan dan konvensi-konvensi Internasional.
Adapun tujuannya adalah menetapkan standard , memantau pelaksanaan, memajukan
penataan hak asai manusia dan melakukan investigasi terhadap pelanggaran-pelanggaran hak
asasi manusia.Selain itu PBB juga memberikan bantuan praktis kepada Negar-negara lain
agar mereka berusaha untuk melindungi dan memajukan hak asasi manusia dan memberi
informasi masayarakat tentang haknya.Bagi anggota PBB yang telah meratifikasi deklarasi
ini maka akan terikat dengan peraturan-peraturan dan kesepakatan yang telah disepakati dan
disahkan oleh PBB,apabila suatu negara melanggarnya maka akan mendapatkan sanksi dari
dunia Internasional.Bahkan Negara Indonesia sendiri pernah di Embargo peralatan

persenjataan angkatan udara oleh Amerika Serikat karna Indonesia dianggap belum mampu
menyelesaikan permasalahan-permasalahan HAM yang terjadi di Indonesia.Tetapi pada
implementasinya negara-negara barat sendiri khususnya Amerika Seriakat yang bersuara
lantang agar setiap negara menegakkan hak asasi manusia malah melanggar dan merampas
hak-hak warga sipil negara Irak dan Iran.Amerika mengklaim negara irak memiliki Nuklir
pemusna masal,meski tidak ada bukti-bukti yang kuat negara-negara sekutu
Amerika(Imggris,perancis,Australia,dll)ikut membantu Amerika memerangi Negara
Irak.Pada perang itu jutaan warga sipil Irak menjadi korban dan rumah-rumah penduduk
hancur berkeping-keping.Alhasil setelah pemerintan Adam Husein runtuh tidak diketemukan
adanya nuklir pemusna masal yang telah digembar-gemborkan oleh Amerika.Baru-baru ini
Amerika menyuarakan agar negara Iran menghentikan program Nuklirnya.Padahal Iran
sendiri mengembangkan program nuklir ini bukan untuk alat senjata.Setelah PBB
mengadakan konfrensi negara-negara anggota PBB termasuk Indonesia menyetujui bahwa
negara Iran Dikenai sanksi/Embargo oleh Dunia Internasional yang secara tidak langsung
akan menyengsarakan warga sipil Irak.Sangat menyedihkan sekali Indonesia ikut-ikutan
menyetujui sanksi tersebut.Karna sebelumnya Indonesia mendukung pengembangan program
nuklir yang dicanangkan oleh negara Iran dan sekarang malah mendukung Amerika.Politik
Luar Negeri Indonesia Yang Bebas Aktif kini menjadi kebarat-baratan, mungkin itu
dikarenakan ketergantungan Indonesia kepada IMF.Dalam hal ini Amerika seharusnya
mendapatkan Sanksi, karna melanggar Konvensi Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya yang telah ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum 2200(XXI) teranggal 16
desember 1966 Pasal 1 (1) Semua bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri
berdasarkan hak tersebut mereka dapat secara bebas menentukan status politik mereka dan
secara bebas mengejar kemajuan ekonomi, sosisai, dan budaya mereka (2) Semua bangsa
untuk tujuan-tujuan mereka sendiri, dapat secara bebas mengelola kekayaan dan sumberdaya
alam mereka tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang timbul dari kerjasama ekonomi
internasional berdasarkan asas saling menguntunggkan dan hukum internasional. Dalam hal
apapun tidak dibenarkan untuk merampas hak-hak suatu negara/bangsa atas sumber-sunmber
penghidupannya sendiri.Tetapi pada nyatanya PBB dan negara-negara anggota PBB lainnya
termasuk Indonesia hanya diam saja dan menjadi kuda yang diberi kacamata kuda yang
hannya mampu melihat kedepan dan negara Amerika yang menjadi kusirnya dan dengan
mudahnya untuk mengarahkan kekiri ataupun kekanan.Jadi pendapat saya Universalitas Hak
Asasi Manusia sangat diragukan, karena seperti yang saya paparkan diatas HAM adalah
pemberian dari tuhan yang dimiliki individu masing-masing yang tidak dapat dirampas ole
orang lain maupun negara manapun.
Comment Number:
42
Ditulis oleh:
Tridam Frisnudarma
Pada tanggal:

8 April 2007 jam 4:32

Nama :Tridam Frisnudarma


Kelas : VI A
Nim :0440012
Fak : Hukum
menurut saya azas universalitas HAM pantas di ragukan karena pada saat ini masih bannyak
negara-negara yang masih melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM.Terutama negaranegara Eropa yang mana negara tersebut bersuara lantang menjunjung tinggi penegakkan
HAM.Saya contohkan adalah negara Amerika Dan sekutunya yang memerangi negara
Irak,dengan alasan yang tidak masuk akal(negara Irak memiliki bom pemusna masal) dan
tidak ada bukti yang kuat bahwa Irak memiliki bom tersebut. Dengan bangganya Negara
Amerika dan sekutunya menghujani warga sipil Irak dengan bom-bom dari tank dan pesawat
serta timah panas dari senapan serdadu-serdadu Amerika dan sekutunya.Yang menyebabkan
Ribuan Warga sipil Irak meninggal dan rumah-rumah hancur.Universal Declaration of
Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 10 Desember
1948 di Paris yang telah disepakati dan yang telah disahkan oleh PBB dengan mudahnya
dilanggar oleh Amerika dan sekutunya dengan dalih untuk perdamaian,mana mungkin perang
untuk perdamain?HAM yang digencarkan oleh Amerika adalah semu belaka,karena
hakekatnya HAm yang digembar-gemborkan oleh Amerika dan sekutunya hanyalah politik
untuk mengejar kekuasaan belaka
Comment Number:
43
Ditulis oleh:
surya akbar
Pada tanggal:
8 April 2007 jam 11:57

Nama : Surya Akbar


Kelas : B
Nim : 04400095
Fakultas Hukum
Universalitas HAM, tidak semua orang tau akan apa yang mendasari atau tolak ukur tentang
HAM. Pengakuan untuk memperoleh pengakuan dan jaminan terhadap hak asasi manusia,
selama perlanan hidup manusia selalu pasang surut, mungkin puncak keberhasilan
perjuangan untuk memperoleh pengakuan dan jaminan perlindungan kehidupan terhadap hak
asasi manusia ditandai dengan lahirnya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak
asasi manusia yang dikenal dengan Universal Declaration Of Human Right dan setelah
lahirnya deklarasi itu hak asasi telah menjadi perhatian dunia. Tetapi apakah dalam perjalanan

hidup manusia Universalitas HAM telah berjalan dengan baik sesuai dengan prinsip-prinsip
yang terkandung dalam deklarasi itu. Kita lihat saja sekarang masih saja banyak terjadi
pelanggaran terhadap hak asasi manusia di berbagai Negara, baik di Negara-negara
berkembang maupun di Negara-negara maju yang perlindungan akan hak asasi manusia
tersebut sangat diutamakan. Menurut saya penerapan prinsip-prinsip tentang hak asasi
manusia tidak dapat dipaksakan, karena setiap Negara memiliki perbedaan seperti tata nilai,
kebudayaan, sejarah, politik, social, ekonomi dan lain-lain. Proses universalisasi ham dalam
hal ini akan dipengaruhi oleh perbedaan nilai-nilai setiap Negara, jadi konsep-konsep tentang
HAM di setiap Negara berbeda, seperti pandangan bangsa barat dan pandangan bangsa timur.
Contoh dalam hal ini yang saya ketahui seperti pada pasal 16 ayat (1) Universal Deklaration
Of Human Right yang menyebutkan bahwa seorang laki-laki dan seorang wanita bebas
melakukan perkawinan, tanpa dibatasi oleh suku, bangsa dan agama. Dalam hal ini pasal
tersebut bertentangan sekali dengan orang ketimuran khususnya bagi umat islam, karena
dalam ajaran islam, orang muslim diharamkan menikah dengan orang non muslim, jelas
sekali konsep HAM itu berbeda. Jadi menurut saya dalam proses universalitas HAM dan
dalam penerapannya di setiap negara harus disesuaikan dengan situasi dan nilai-nilai yang
ada di setiap Negara.
Dalam permasalahan tentang Derogable right dan non Derogable right. Setiap manusia
semenjak dilahirkan ke dunia telah memiliki hak asasi manusia yang ada bukan karena
diberikan oleh Negara tapi semata-mata diberikan oleh Tuhan sebagai pencipta alam beserta
isinya sepeti hak untuk hidup, hak bebas dari perbudakan, dan lain-lain. Jadi dengan
demikian hak asasi manusia tidak dapat dikurangi dan tidak dapat dibatasi (non derogable)
walaupun dalam kondisi apapun. Akan tetapi terdapat hak-hak yang dapat dibatasi atau
ditangguhkan (derogable right ) seperti hak untuk bekerja, hak untuk mendapatkan kondisi
kerja yang baik, adil dan lain-lain dengan alasan semata-mata untuk memajukan
kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Jadi intinya menurut saya
hak-hak yang dimiliki oleh setiap manusia di berbagai Negara tidak dapat diremehkan dan
diabaikan walau dengan alasan apapun tanpa adanya suatu Undang - Undang yang mengatur
tentang hal tersebut.
Silahkan tulis komentar di sini.
Comment Number:
44
Ditulis oleh:
surya akbar
Pada tanggal:
8 April 2007 jam 12:32

Nama : Mohammad Hasan


NIM : 04400082
Kelas : B/IV

Dipandang dari segi hukum, dalam sepuluh terakhir ini ada sejumlah kemajuan penting
mengenai upaya bangsa ini untuk melindungi Hak Asasi Manusia. Seperti yang telah
diketahui, ada sejumlah produk politik yang penting tentang HAM. Mulai dari
dikeluarkannya Tap. MPR. No. XVII/1998. kemudian amandemen UUD 1945 yang secara
eksplisit sudah memasukkan pasal-pasal cukup mendasar mengenai Hak-hak asasi manusia,
UU No.39/1999 tentang HAM dan UU No.6/2000 tentang pengadilan HAM.setelah
dilakukan dengan sendirinya UUD 45 sebenarnya sudah dapat dijadikan dasar konstitusional
untuk memperkokoh upaya-upaya peningkatan perlindungan HAM. Semua ini melengkapi
sejumlah konvenan PBB tentang Hak Asasi Manusia. Seperti tentang hak-hak perempuan
hak-hak anak atau konvenan tentang anti diskriminasi serta kovenan tentang anti tindakan
kekejaman yang sudah diratifikasi.
Pendapat saya pribadi, pasal-pasal yang tercantum didalam UUD 1945 sebenarnya kurang
pas. Akan tetapi menurut hemat saya akan lebih baik jika pasal-pasal inti dar DUHAM,
konvenan, Hak Sipil dan politik, konvenan hak ekonomi, sosbud secara komprehesif
dimasukkan kedalam UUD 45. namun demikian, dimasukkannya sejumlah hak dalam UUD
45 tersebut dengan sendirinya mengandung makna simbolik dan menjadi dasar bagi
diratifikasinya. Khususnya dua konvenan yang amat monumental yaitu, konvenan hak sipil
dan politik serta konvenan hak ekonomi, social dan budaya. Berikut protocol-protokolnya
sebagaimana yang sudah diagendakan dalam rencan aksi nasional HAM sejak 1998.
Adanya komisi nasional HAM dan Peradilan HAM patut dicatat sebagai perangkat
kelembagaan dasar peningkatan upaya penghormatan dan perlindungan HAM dengan
peningkatan kelembagaan yang dapat dikaitkan langsung dengan upaya penegakkan hukum.
Saya melihat memang masih banyak kelemahan-kelemahan dari kedua lembaga tersebut,
akan tetapi dengan adanya KOMNASHAM dan peradilan HAM dengan sendirinya upaya
peningkatan penghormatan dan perlindungan HAM ini memiliki pijakan-pijakan penting
yaitu pijakan normatif berupa konstitusi dengan Undang-undang organiknya serta
KOMNASHAM dan peradilan HAM yang memungkinkan berbagai pelanggaran HAM yang
dapat diproses sampai kepengadilan.
Dengan demikian, maka perlindungan HAM dapat diletakkan dalam kerangkan supremasi
hukum. Perjuangan harus dipahami sebagai komitmen nasional yang memperoleh pijakan
legal, konstitusional dan institusional dengan dibentuknya kelembagaan yang berkaitan
dengan HAM dan hukum.
Comment Number:
45
Ditulis oleh:
mohammad hasan
Pada tanggal:
8 April 2007 jam 13:04

Nama : Mohammad Hasan


NIM : 04400082
Kelas : B/IV
Dipandang dari segi hukum, dalam sepuluh terakhir ini ada sejumlah kemajuan penting
mengenai upaya bangsa ini untuk melindungi Hak Asasi Manusia. Seperti yang telah
diketahui, ada sejumlah produk politik yang penting tentang HAM. Mulai dari
dikeluarkannya Tap. MPR. No. XVII/1998. kemudian amandemen UUD 1945 yang secara
eksplisit sudah memasukkan pasal-pasal cukup mendasar mengenai Hak-hak asasi manusia,
UU No.39/1999 tentang HAM dan UU No.6/2000 tentang pengadilan HAM.setelah
dilakukan dengan sendirinya UUD 45 sebenarnya sudah dapat dijadikan dasar konstitusional
untuk memperkokoh upaya-upaya peningkatan perlindungan HAM. Semua ini melengkapi
sejumlah konvenan PBB tentang Hak Asasi Manusia. Seperti tentang hak-hak perempuan
hak-hak anak atau konvenan tentang anti diskriminasi serta kovenan tentang anti tindakan
kekejaman yang sudah diratifikasi.
Pendapat saya pribadi, pasal-pasal yang tercantum didalam UUD 1945 sebenarnya kurang
pas. Akan tetapi menurut hemat saya akan lebih baik jika pasal-pasal inti dar DUHAM,
konvenan, Hak Sipil dan politik, konvenan hak ekonomi, sosbud secara komprehesif
dimasukkan kedalam UUD 45. namun demikian, dimasukkannya sejumlah hak dalam UUD
45 tersebut dengan sendirinya mengandung makna simbolik dan menjadi dasar bagi
diratifikasinya. Khususnya dua konvenan yang amat monumental yaitu, konvenan hak sipil
dan politik serta konvenan hak ekonomi, social dan budaya. Berikut protocol-protokolnya
sebagaimana yang sudah diagendakan dalam rencan aksi nasional HAM sejak 1998.
Adanya komisi nasional HAM dan Peradilan HAM patut dicatat sebagai perangkat
kelembagaan dasar peningkatan upaya penghormatan dan perlindungan HAM dengan
peningkatan kelembagaan yang dapat dikaitkan langsung dengan upaya penegakkan hukum.
Saya melihat memang masih banyak kelemahan-kelemahan dari kedua lembaga tersebut,
akan tetapi dengan adanya KOMNASHAM dan peradilan HAM dengan sendirinya upaya
peningkatan penghormatan dan perlindungan HAM ini memiliki pijakan-pijakan penting
yaitu pijakan normatif berupa konstitusi dengan Undang-undang organiknya serta
KOMNASHAM dan peradilan HAM yang memungkinkan berbagai pelanggaran HAM yang
dapat diproses sampai kepengadilan.
Dengan demikian, maka perlindungan HAM dapat diletakkan dalam kerangkan supremasi
hukum. Perjuangan harus dipahami sebagai komitmen nasional yang memperoleh pijakan
legal, konstitusional dan institusional dengan dibentuknya kelembagaan yang berkaitan
dengan HAM dan hukum.
Comment Number:
46
Ditulis oleh:
sakamuli prentha / 0400020
Pada tanggal:

8 April 2007 jam 15:09

dilihat dari tinjauan yuridis dan sosiologis mengenai pengesahan DUHAM yakni adanya
overlaping dalam menangani atau memproses pelanggaran HAM yang terjadi baik didunia
internasional maupun nasional dikarenakan bahwa pengesahan DUHAM yang diprakarsai
sekaligus didominasikan oleh negara kapital dan imperialisme seperti amerika dan kroncokronconya yang menginginkan tujuan mereka yaitu semata-mata perang dingin dalam
politiknya menguasai dunia, karena terbukti bahwa pelanggaran yang terjadi dinegara irak
yaitu dengan infansi tentara amerika dan kronco-kronconya bukan saja menjatuhkan rejim
sadam yang otoriter melainkan orang sipil juga dirugikan baik dari segi materi maupun
nyawanya, oleh karena itu PBB yang merupakan lembaga Dewan yang terhormat didunia
internasional tidak dapat mengambil tindakan hukum untuk menyelesaikan pelanggaran
HAM yang terjadi di Irak hal ini disebabkan oleh kuatnya intervensi politis negara kapitalis
dan imperialis yang mendominasikan kedudukan dan kewenangan ada ditangan mereka. jika
dilihat dari kajian yuridis sebenarnya dalam dunia internasional diakuinya paham atau sistem
dualisme dalam suatu negara maka dari itu kembali lagi pada negara yang bersangkutan
apakah mau menerima atau tidak deklarasi yang sudah diratifikasi dalam produk hukum,
sebenarnya negara seperti Irak atau Indonesia mempunyai hukum nasional yang
kedudukannya diatas hukum internasional juga masing-masing hukum nasional kedua negara
yang berbeda tetapi tujuan dalam konstitusi hukum nasional yaitu sama-sama menertibkan
dan menanggulangi kejahatan HAM,kedua negara yang mayoritas bangsanya memeluk
agama moslem dapat beralibi dan berani mengatakan untuk tidak untuk mengakui DUHAM
serta kovenan-kovenan yang dibuat oleh negara kapitalis, seandainya menerima dan
mengakui kemungkinan turut serta dalam kejahatan HAM yang terjadi akhir-akhir ini.
Universal Declaration of Human Rights(Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, untuk
selanjutnya disingkatDUHAM)harus diratifikasi oleh negara yang turut serta dalam
pengesahannya hal tersebut baru bisa dikatakan UNIVERSALITAS. dalam ukuran parameter
kaca mata dunia internasional bahwa penjahat HAM yang menyengsarakan sekaligus
ancaman bagi negara di dunia secara komprensif atau fundamental ialah negara yang turut
serta dalam pengesahan DUHAM terbukti saat ini amerika..
Comment Number:
47
Ditulis oleh:
sakamuli prentha / 04400020 / VI B
Pada tanggal:
8 April 2007 jam 15:20

NAMA : sakamuli.p
NIM : 04400020 / VI B

dilihat dari tinjauan yuridis dan sosiologis mengenai pengesahan DUHAM yakni adanya
overlaping dalam menangani atau memproses pelanggaran HAM yang terjadi baik didunia
internasional maupun nasional dikarenakan bahwa pengesahan DUHAM yang diprakarsai
sekaligus didominasikan oleh negara kapital dan imperialisme seperti amerika dan kroncokronconya yang menginginkan tujuan mereka yaitu semata-mata perang dingin dalam
politiknya menguasai dunia, karena terbukti bahwa pelanggaran yang terjadi dinegara irak
yaitu dengan infansi tentara amerika dan kronco-kronconya bukan saja menjatuhkan rejim
sadam yang otoriter melainkan orang sipil juga dirugikan baik dari segi materi maupun
nyawanya, oleh karena itu PBB yang merupakan lembaga Dewan yang terhormat didunia
internasional tidak dapat mengambil tindakan hukum untuk menyelesaikan pelanggaran
HAM yang terjadi di Irak hal ini disebabkan oleh kuatnya intervensi politis negara kapitalis
dan imperialis yang mendominasikan kedudukan dan kewenangan ada ditangan mereka. jika
dilihat dari kajian yuridis sebenarnya dalam dunia internasional diakuinya paham atau sistem
dualisme dalam suatu negara maka dari itu kembali lagi pada negara yang bersangkutan
apakah mau menerima atau tidak deklarasi yang sudah diratifikasi dalam produk hukum,
sebenarnya negara seperti Irak atau Indonesia mempunyai hukum nasional yang
kedudukannya diatas hukum internasional juga masing-masing hukum nasional kedua negara
yang berbeda tetapi tujuan dalam konstitusi hukum nasional yaitu sama-sama menertibkan
dan menanggulangi kejahatan HAM,kedua negara yang mayoritas bangsanya memeluk
agama moslem dapat beralibi dan berani mengatakan untuk tidak untuk mengakui DUHAM
serta kovenan-kovenan yang dibuat oleh negara kapitalis, seandainya menerima dan
mengakui kemungkinan turut serta dalam kejahatan HAM yang terjadi akhir-akhir ini.
Universal Declaration of Human Rights(Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, untuk
selanjutnya disingkatDUHAM)harus diratifikasi oleh negara yang turut serta dalam
pengesahannya hal tersebut baru bisa dikatakan UNIVERSALITAS. dalam ukuran parameter
kaca mata dunia internasional bahwa penjahat HAM yang menyengsarakan sekaligus
ancaman bagi negara di dunia secara komprensif atau fundamental ialah negara yang turut
serta dalam pengesahan DUHAM terbukti saat ini amerika..
Comment Number:
48
Ditulis oleh:
TAUFIQ EFFENDY
Pada tanggal:
8 April 2007 jam 20:34

Silahkan tulis komentar di sini.


TAUFIQ EFFENDY
04400004/HUKUM VIA
Menurut saya mengenai universalitas HAM tidaklah perlu diragukan lagi meskipun hanya
sedikit negara yang merumuskan dalam pembuatan DUHAM dan sedikit juga yang ikut serta

dalam meratifikasinya.Hal ini mungkin karena adanya setiap kepentingan yang dimiliki oleh
setiap negara untuk tidak ikut serta dalam meratifikasinya,entah karena kepentingan
politik,sosial,ekonomi atau budaya.Kita lihat saja sekarang dimana negara adidaya Amerika
yang dengan sengaja tidak ikut meratifikasinya karena adanya kepentingan politiknya dalam
dunia internasional untuk menunjukkan kearogansiannya dengan tidak ikut meratifikasinya
dan melakukan invansi terhadap negara Irak,Afganistan dan yang mungkin akan segera
adalah negara Iran(semoga tidak terjadi!!).Hal ini dilakukan karena adanya kepentingan
ekonomi dimana Amerika ingin menguasai pasar minyak dunia.Dan seharusnya Amerika
yang merupakan negara yang telah memiliki andil mendirikan PBB ikut meratifikasinya
untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa yang selama ini mengaku sebagai
negara yang demokratis dan yang meagung-agungkan sebagai negara yang menjunjung HAM
tapi realitanya dia telah melanggar HAM berat dengan adanya
kebusukan,penghinaan,kejahatan,atau entah apalagi yang dapat saya katakan mengenai nasib
para tahanan muslim yang dipenjara dalam penjara GUANTANAMO yang talah dipenjara
tanpa adanya proses persidangan yang juga diberi stempel atau cap sebagai
TERORIS.Mungkin dengan adanya usaha dari pihak yang telah merumuskan dan yang telah
meratifikasinya maka semua negara yang ikut dalam PBB akan ikut turut serta
meratifikasinya dan usaha yang dimaksud bukan dengan cara Amerika tetapi usaha bahwa
DUHAM dijadikan sebagai dasar dalam membuat perjanjian multilateral maupun
bilateral.Dari penjelasan diatas sebenarnya saya sependapat bahwa universalitas HAM
tidaklah perlu diragukan dan hal yang menghambat dalam universalitas HAM adalah adanya
kepentingan politik,ekonomi,sosial dan budaya dari negara-negara yang belum
meratifikasinya.
TAUFIQ EFFENDY
04400004/HUKUM VIA
Comment Number:
49
Ditulis oleh:
Alfian Pratama
Pada tanggal:
8 April 2007 jam 21:15

Menurut saya, jika kita berbicara masalah HAM berarti kita berbicara tentang kebebasan hak
yang dimiliki oleh setiap manusia. Hak yang dimiliki oleh manusia itu sendiri adalah hak
sosial dan politik, yaitu hak untuk hidup dan hak untuk memperoleh kemerdekaan atau bebas
dari penindasan dan perbudakan.Sedangkan untuk hak ekososbud adalah hak untuk
mendapatkan penghidupan yang layak, hak untuk memperoleh pekerjaan, hak untuk
berorganisasi dll. Dan hal tersebut tertuang dalam UUD 1945.
DUHAM memang mendapatkan suatu pertentangan bagi beberapa negara. Tetapi Indonesia
sebagi negara berkembang harus mempunyai perlindungan HAM agar tercipta kebebasan

dalam bermasyarakat dengan tidak membedakan ras,suku dan agama. Tapi dalam
kenyataannya masih saja kita rasakan tentang pelanggaran terhadap HAM itu sendiri.
Oleh karena itu HAM tersebut perlu adanya sedikit pembenahan untuk dimasa depan. Tetapi
untuk penerapan Azas Universalitas sepertinya masih patut dipertanyakan atau masih
disangsikan,karena hal tersebut harus disesuaikan dengan keadaan perpolitikan dan sistem
suatu negara yang meratifikasinya, sedangkan kita DUHAM ada sejak tahun 1948 sedangkan
indonesia sendiri meratifikasinya baru pada tahun 1999.
Comment Number:
50
Ditulis oleh:
utami dini suryanita(03400073/VI-A)
Pada tanggal:
9 April 2007 jam 6:47

Berbicara tentang HAM tentu takkan lepas Lahirnya Universal Declaration of Human Rights
(UDHR) atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948 di Paris yang
merupakan respons dari umat manusia di dunia bahwa mereka dilahirkan dengan kebebasan
dan memiliki kesamaan dalam derajat serta di depan hukum. Namun, walaupun hampir 59
tahun berlalu sejak diproklamirkannya HAM masih saja terdengar selentingan-selentingan
yang mempermasalahkan ke universalan berlakunya HAM itu sendiri.
Banyak alasan yang dikemukakan oleh masing-masing pihak baik yang pro ataupun yang
kontra terhadap sifat universalitas HAM, dan argumen yang mereka keluarkan sama-sama
memiliki landasan hukum yang pasti. Berikut ini adalah beberapa argumen yang
dikemukakan oleh kalangan yang pro maupun yang kontra terhadap universalitas HAM:
Beberapa penulis yang mendukung bahwasanya HAM berlaku secara universal adalah:
1. HUMAN rights must be considered in the context of a dynamic and evolving process of
international norm-setting, bearing in mind the significance of national and regional
peculiarities and various historical, cultural, and religious backgrounds. (Dikutip dari The
Bangkok Governmental Declaration 1993).
Meski dari sejarahnya konsep HAM universal ini diwarnai oleh sejarah Barat, tetapi esensi
dari HAM itu sendiri tidak dibuat untuk memenuhi kepentingan Barat melainkan kepentingan
semua umat manusia di muka Bumi ini. Dalam UDHR 1948 disebutkan secara jelas bahwa
every person is entitled to basic human rights without distinction of any kind, such as race,
colour, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth
or other status. Benar, semua manusia punya hak asasi yang harus dihormati tanpa
memandang perbedaan apa pun.
secara jelas bahwa every person is entitled to basic human rights without distinction of any
kind, such as race, colour, language, religion, political or other opinion, national or social
origin, property, birth or other status. Benar, semua manusia punya hak asasi yang harus

dihormati tanpa memandang perbedaan apa pun.


Perlindungan HAM ini penting agar dignity (kehormatan) manusia tidak tercabik-cabik.
Tidak heran jika banyak negara mengadopsi deklarasi HAM universal itu ke dalah hukum
domestik mereka.
Begitu juga dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mewajibkan semua anggotanya
melaksanakan UDHR 1948. Pada Piagam PBB pasal 55 ayat c disebutkan bahwa PBB wajib
mempromosikan penghargaan dan pelaksanaan HAM serta hak-hak fundamental lainnya,
seperti kebebasan untuk semua orang, tanpa memandang ras, jenis kelamin, bahasa, dan
agama yang dianutnya. Dengan demikian, negara anggota PBB harus mengikuti apa yang
dideklarasikan dalam UDHR 1948. UDHR 1948 adalah dokumen hidup yang menempatkan
perlindungan terhadap nilai kemanusiaan sebagai komitmen universal seluruh umat manusia.
Jadi tidak dapat disangkal, sejak kelahirannya 59 tahun yang lalu, universalitas HAM telah
semakin membumi. Hak Asasi Manusia (HAM) telah menjadi agenda global seiring
dengan kesadaran umat manusia di dunia ini untuk lebih menghargai sesamanya. HAM kini
telah menjadi isu yang ramai dibicarakan dan kehadirannya telah meresap pada hampir semua
aspek kehidupan manusia, mulai dari persoalan ekonomi, sosial, politik, budaya, dan
keamanan. Dalam kaitannya dengan eksistensi HAM yang universal, kita tidak bisa
menafikan keberadaan UDHR 1948 itu sendiri karena deklarasi inilah yang menjadi landasan
untuk menjadikan HAM sebagai sesuatu hal yang universal. Dengan kata lain, sistem HAM
internasional yang berdasarkan atas UDHR merupakan fondasi sekaligus simbol agung yang
memaknai HAM itu sendiri. Deklarasi universal HAM adalah struktur institusional yang
paling mendasar untuk memproteksi hak-hak asasi manusia.
Jadi, dengan universalitasnya itu, tidak dapat disangkal, HAM kini menjadi subjek pada
beragam topik pembicaraan. Apalagi, seiring dengan derasnya literatur mengenai HAM,
sebagaimana diungkapkan Adam Watson dalam bukunya terbitan Routhledge yang berjudul
The Limits of Independence : Relations Between States in the Modern World, telah membuat
HAM semakin membumi di kalangan umat manusia sedunia.
ARTIKEL (Huminca Sinaga/PR), Pikiran Rakyat Minggu, 12 Desember 2004
Memperingati Hari HAM Internasional Ke-56
Antara Universalitas HAM dan Asian Values
2. HAM dianggap bersifat universal, yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena ia
adalah manusia. Pandangan ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa karakteristik
seperti ras, jenis kelamin, agama, kedudukan sosial, dan kewarganegaraan tidak relevan untuk
mempersoalkan apakah seseorang memiliki atau tidak memiliki hak asasi manusia. Ini juga
menyiratkan bahwa hak-hak tersebut dapat diterapkan di seluruh dunia. Salah satu ciri khusus
dari hak asasi manusia yang berlaku sekarang adalah bahwa itu merupakan hak internasional.
Kepatuhan terhadap hak serupa itu telah dipandang sebagai obyek perhatian dan aksi
internasional yang sah.
Hak Asasi Manusia, oleh James W. Nickel, IDE KONTEMPORER TENTANG HAK ASASI
MANUSIA
Judul asli:Making Sense of Human RightsPhilosophical Reflection on the Universal
Declaration of Human RightsBy James W. Nickel The Regents of the University of

California, 1987
Penerjemah: Titis Eddy AriniDiterbitkan pertama kali dalam terjemahan Bahasa Indonesia
oleh Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI, Jakarta, 1996.
3. Pelanggaran HAM tidak lagi dipandang sebagai persoalan domestik tapi menjadi masalah
global. Bahkan lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia
menjadikan HAM sebagai salah satu syarat mendasar pengucuran dana bantuan.
Kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh negara atau militer seperti yang terjadi di Timor
Timur pasca jajak pendapat misalnya atau peristiwa penembakan terhadap mahasiswa pada
kasus Semanggi tidak lagi dipandang sebagai tindakan kriminal biasa tapi merupakan
pelanggaran HAM berat. Ini menunjukkan kesadaran bangsa In-donesia sebagai bagian dari
masyarakat dunia serta berusaha menghayati nilai-nilai yang berlaku universal.
Benar bahwa Deklarasi Universal tentang HAM dirumuskan di Barat dan mengandung nilainilai kebudayaan Barat. Tapi ini bukan alasan mendasar untuk menolak penerapannya di
kebudayaan lain. Yang menentukan apakah nilal-nilai budaya tertentu diterima atau ditolak di
kebudayaan lain bukan asal-usulnya, tapi entahkah norma-norma bersangkutan sungguh dibutuhkan oleh kebudayaan penerima (Ignas Kleden). Yang menolak pemberlakuan HAM
biasanya hanyalah penguasa atau kelompok yang diuntungkan dengan penolakan tersebut,
sementara masyarakat korban terus memperjuangkannya. Untuk konteks Indonesia, argumen
para penganut absolutisme budaya juga tidak dapat diterima karena negara dan masyarakat
Indonesia modern sudah lama meninggalkan tradisi masyarakat tradisional. Proses
modernisasi yang melanda bangsa Indonesia telah menghancurkan adat-istiadat tradisional.
Melalui teknologi informasi mutakhir masyarakat Indonesia sangat dipengaruhi oleh
peradaban dan gaya hidup global.
Sinar Harapan, Sabtu, 21 Juli 2001, Hak Asasi Manusia: Manifestasi Solidaritas Sosial, Oleh:
Otto Gusti Nd. Madung Penulis adalah rohaniwan dan bekerja di Institut Sosial Jakarta.
4. Menurut Wakil Gubernur Kalbar, diwakili Asisten I, Drs. Ignatius Lyong MM, kebebasan
setiap manusia dibatasi oleh hak asasi orang lain. Ini berarti setiap orang mengemban
kewajiban mengakui dan menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban ini juga berlaku bagi
setiap organisasi pada tataran manapun terutama negara dan pemerintah. Dengan demikian
harus bertanggung jawab untuk menghormati, membela, melindungi, dan menjamin hak asasi
manusia setiap warga negara dan penduduknya tanpa diskriminasi.
Begitu pentingnya upaya perwujudan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia karena
sesungguhnya permasalahan hak asasi manusia telah menjadi perhatian dan perjuangan umat
manusia. Untuk itu maka universalitas hak asasi manusia tidak bisa diingkari, meskipun
dalam perkembangannya terkadang sering bersentuhan dengan pemahaman yang berkarakter
partikulistik. (syn/*)
Pontianak Post Rabu, 28 Maret 2007

5. Dalam konteks legal formal, Hukum Hak Asasi Manusia Internasinal (International Law of
Human Rights) adalah perjanjian (treaty) antar negara. Karena merupakan perjanjian antar
negara, maka dalam hukum asasi manusia internasional, negara adalah subyek hukum.
Dengan pengertian, negara-negara peserta (states parties) perjanjian mempunyai kewajiban
(obligation) dan tanggung-jawab (accountability), yaitu kewajiban yang harus diberikan
kepada warga negara yang meliputi tiga kewajiban pokok (core obligation): Pertama. Negara
berkewajiban menghormati (to respect) hak asasi manusia warganya; Kedua. Negara
berkewajiban melindungi (to protect) hak asasi manusia warganya; Ketiga. Negara
berkewajiban memenuhi (to fulfil) hak asasi manusia warganya.
04 April 2006 18:49:37 Policy Paper 2005: Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) Langsung
2005, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia.www.pbhi.or.id
sebagai sumber
Beberapa penulis yang kurang sepakat tentang keuniversalan berlakunya HAM adalah:
1. universal ternyata tidak sepenuhnya didukung oleh semua warga dunia. Ada sejumlah
negara, khususnya yang berada di kawasan Asia, menganggap HAM bukan sesuatu yang
universal. Menurut mereka yang berpaham antiuniversalitas HAM itu, pengakuan
universalitas HAM berarti mengingkari adanya relativisme kultural yang ada di bumi ini.
Oleh karena itu, sejumlah negara di Asia tidak mau mengakui HAM sebagai hal yang
universal. Ini bisa dilihat dari keengganan sejumlah negara di Asia untuk memasukkan HAM
universal ke dalam konstitusi atau perundang-undangan di negara mereka. Mereka
menganggap bahwa HAM adalah produk negara-negara Barat sehingga keberadaannya tidak
kompatibel dengan kultur orang-orang Asia (Pamela A. Jefferies : 2000). Menurut mereka,
Asia punya nilai-nilai khas Asia (Asian values) yang tidak bisa disamakan dengan nilai-nilai
yang diadopsi oleh negera-negara Barat. Asian values adalah keunikan yang harus dihormati
oleh semua warga dunia.
Konsekuensi dari adanya ketidaksetujuan sejumlah negara Asia menetapkan HAM sebagai
hal yang universal, telah menyebabkan pembicaraan mengenai universalitas HAM menjadi
pusat perhatian dari sejumlah politisi dan pemikir di seluruh dunia. Tak diragukan lagi, debatdebat mengenai Asian values pun berkembang pesat dan bermunculan di mana-mana,
memenuhi ruang-ruang kehidupan manusia di era globalisasi. Bahkan di negara-negara Barat,
Asian values yang juga kerap disebut sebagai kepribadian Timur itu, menjadi bahan
perbincangan yang hangat di antara para pemikir dan politisi di sana.
Perbedaan persepsi tentang universalitas HAM ini mendapat komentar beragam dari sejumlah
masyarakat dunia. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa debat panas tentang universalitas
HAM adalah tantangan berat yang harus dihadapi oleh pergerakan HAM yang ada di dunia
ini karena Asian values mengingkari universalitas HAM. Sedangkan sebagian lainnya
menganggap klaim debat ketidaksetujuan mengimplementasikan HAM secara universal
adalah suatu respons yang normal. Pasalnya, keragaman budaya adalah keseharian yang amat
lazim kita saksikan di dunia ini. Diversitas budaya ini menjadi alasan bagi sebagian
masyarakat dunia untuk menolak universalitas HAM.
Karena debat tersebut berkaitan dengan eksistensi nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat
Asia, tidak heran jika sejumlah politisi dan kaum intelektual Asia pun terjun secara intens

dalam debat-debat panjang mengenai HAM. Di antara mereka yang begitu terkenal dengan
kevokalannya menyuarakan ketidaksetujuan mereka terhadap implementasi HAM yang
universal adalah mantan PM Malaysia Mahathir Mohamad, dan politikus kawakan Singapura,
Lee Kwan Yew. Mereka berdua ini dapat disebut sebagai promotor utama konsep Asian
values. Baik Lee maupun Mahathir telah membantu memprovokasi ide-ide Asian values
menjadi isu global yang sangat panas dan ramai diperbincangkan sepanjang tahun 1990-an
ketika sebagian masyarakat di luar Asia takjub dengan keajaiban Asia. Pada masa itu,
sejumlah negara seperti Taiwan, Korea Selatan, Singapura dikenal luas sebagai negara-negara
ajaib karena kemapanan ekonomi mereka bisa disejajarkan dengan kemapanan ekonomi di
sejumlah negara Barat.
ARTIKEL (Huminca Sinaga/PR), Pikiran Rakyat Minggu, 12 Desember 2004
Memperingati Hari HAM Internasional Ke-56
Antara Universalitas HAM dan Asian Values
2. HAM merupakan salah satu produk kebudayaan barat yang individualistis dan tidak sesuai
dengan kepribadian bangsa Indonesia yang mengutamakan asas kekeluargaan dan gotong
royong. Argumen ini selalu digunakan oleh rezim Soeharto untuk menolak HAM di Indonesia, dengan demikian berhasil mendomestikasi kejahatan kemanusiaan yang dilakukan rezim
Orde Baru terhadap masyarakat.
Menurut penganut prinsip absolutisme budaya, seseorang dari luar tidak pernah boleh
mengkritik praktek budaya yang bukan budayanya. Dengan demikian setiap usaha
internasional untuk mempersoalkan pelanggaran HAM di Indonesia dianggap sebagai
intervensi ideologis terhadap urusan da-lam negeri. Tindakan intervensi tidak dapat
dibenarkan karena masyarakat Indonesia mempunyai kebudayaannya atau konsep HAM
sendiri. Paham hak asasi manusia universal dianggap tidak relevan untuk budaya-budaya
yang tidak menganut nilai-nilai dan budaya Barat. Sebab HAM adalah produk khas
kebudayaan Barat dan tidak mungkin bersifat universal.
Sinar Harapan, Sabtu, 21 Juli 2001, Hak Asasi Manusia: Manifestasi Solidaritas Sosial, Oleh:
Otto Gusti Nd. Madung Penulis adalah rohaniwan dan bekerja di Institut Sosial Jakarta.
3. pelaksanaan HAM di Indonesia harus sesuai dengan latar belakang budaya Indonesia.
Artinya, Universal Declaration of Human Rights kita akui, hanya saja dalam
implementasinya mungkin tidak sama dengan di negara-negara lain khususnya negara Barat
yang latar belakang sejarah dan budayanya berbeda dengan kita. Memang benar bahwa
negara-negara di dunia (tidak terkecualai Indonesia) memiliki kondisi-kondisi khusus di
bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya, yang bagaimanapun, tentu saja
berpengaruh dalam pelaksanaan HAM. Universalitas HAM tidak identik dengan
penyeragaman. Sama dalam prinsip-prinsip mendasar, tetapi tidak mesti seragam dalam
pelaksanaan.
Jagat-0isu, Senin, 11 Desember 2006, Dyan Yustisia, SH, Pokja Praktisi Hukum Bogor
4. Dr. Jamalud Athiyah dalam mendekatkan pandangannya tentang HAM yang berangkat dari
kehormatan dan kebebasan manusia, dengan dalil-dalil al Qurn dan al Had st yang kuat.
Lebih dari itu dalam melihat HAM ini beliau bermula dari pandangan kekhilafahan manusia,

yang mempunyai tangung jawab sosial lebih-lebih moral terhadap terciptanya perdamaian
masyarakat global.(24) Selain itu pendekatan lain dalam menjiwai nilai moralitas agama
Islam sangatlah menonjol ketimbang tawaran-tawaran lain dalam rekonstruksi pemahaman
universalitas HAM. Seakan-akan pemikir Islam keberatan bila sendainya konsep itu
dikonvergensikan dengan konsepsi Islam sendiri. Artinya pada akhir pembahasan HAM
universal semakin diabaikan, karena melihat persoalan perbedaan landasan dan defrensiasi
blue print HAM sebagaimana diterangkan dalam materi-materi yang sudah ada. Ini semakin
diperkuat oleh beberapa pemikiran yang belakngan ini muncul sebagai sikap antagonistik
dalam hal ini.(25) Peletakan manusia sebagai unsur kedua setelah Allah (baca: Kholifah)
dalam pandangan Islam telah memberikan perbedaan yang mendasar dalam teori HAM versi
Islam. Lebih-lebih kebebasan mutlak yang dikantonginya. Yang salah kaprah kadang-kadang
mengasumsikan kuatnya penafsiran ayat ini dengan kekuasaan.
Dalam kaitannya dengan HAM ada beberapa pemikiran yang dilemparkan kepada kita.
Pertama: Karena ada satu tuntutan mendesak untuk mempertemukan antara Barat dan Islam,
maka harus ada jalan yang ditempuh dalam rangka dialog tersebut yaitu, apa yang disebut
dengan moralitas internasional sebagi dasar lintas budaya. Artinya walaupun konsep HAM itu
ditinjau secara historis lahir dari Eropa pada hakekatnya ia bertujuan untuk semua manusia
tanpa melihat dan memperhatikan agama warna kulit. Kedua: Sekularisasi terbatas terhadap
syariah, Yang perlu diperjelas dalam masalah sekularsisasi dan sekularisme bahwa yang
pertama adalah merupakan jalan proses ke arah pengakuan nilai-nilai universal HAM itu
sendiri. Sementara seklurisme merupakan satu paham Barat yang sengaja untuk memisahkan
nilai sosial dan nilai moral agama ansich.
HAK ASASI MANUSIA DARI MORALITAS AGAMA MENUJU UNIVERSALITAS
NILAI
Oleh: Tholak Imam M.
5. Bahwa DUHAM adalah sebuah kompromi (yang bersifat internasional) bisa disimpulkan
berdasarkan argumentasi logis, tetapi bisa juga berdasarkan argumentasi historis. Secara
logis, adalah sebuah utopia mempunyai kesepakatan yang bulat utuh, seperti juga tidak ada
lingkaran yang sepenuhnya bulat.
Secara historis, juga dicatat dalam sejarah bahwa rumusan DUHAM itu bukan sebuah
kalimat-kalimat yang datang begitu saja dari langit, melainkan hasil sebuah proses
pembicaraan yang panjang. Ada beberapa kubu ideologis yang terlibat dalam proses itu, di
antaranya adalah kubu liberal, sosialis, marxis. Ada beberapa aliran religious yang juga
tampil ke depan, antara lain Kristen, Islam, Hindu, Buddha, dan juga atheis. Kata kompromi
menyiratkan aspek minimal di dalamnya. Artinya, yang tertampung dalam rumusan
kompromis itu tidak mungkin memuaskan semua pihak secara penuh, terutama jika dilihat
dari sudut paham masing-masing. Ada dua jengkal jarak antara paham setiap paham ideologis
dengan rumusan kompromi itu. Jengkal pertama adalah jarak antara paham ideologis yang
penuh dengan paham kompromis itu. Jengkal kedua adalah antara hasil kompromi dengan
rumusannya, yang tentu saja mengandaikan memakai bahasa tertentu dan tidak bisa
menghindarkan reduksi semantis. Dalam perspektif inilah DUHAM terlihat sebagai sebuah
paham keadilan yang minimal karena tidak bisa menampung segala paham ideologis. Secara
negatif, DUHAM tampak sebagai rumusan yang tidak mencukupi.

Menimbang Kembali HAM Oleh Al Andang L. Binawan, Sinar Harapan Selasa, 10


Desember 2002 No. 4282.
6. Kelompok konservatif menolak untuk memaksakan standar Barat diterapkan pada
masalah-masalah publik masyarakat Muslim. Bagi mereka, urusan publik dalam masyarakat
Islam telah diatur secara jelas oleh norma agama. Bagi kelompok ini, universalitas HAM
yang digembor-gemborkan oleh PBB dan negara-negara Barat adalah ancaman bagi
kelangsungan hidup masyarakat Muslim. Meskipun demikian, kelompok ini tidak serta-merta
menolak seluruh konsep tentang HAM yang ditawarkan Barat, mereka menawarkan solusi
dengan penekanan pada perlunya masyarakat Islam merumuskan konsep HAM dengan
bingkai yang Islami.The Universal Islamic Declaration of Human Rights yang dirumuskan
oleh Islamic-Council Eropa pada tahun 1981 dan Cairo Declaration of Human Rights in
Islam yang diadopsi oleh Organisasi Konferensi Islam pada Agustus 1991, sebagai acuan
HAM dalam Islam. Dalam deklarasi ini terlihat adanya perbedaan pandangan kaum Muslimin
terhadap sebagian isi Deklarasi HAM 1948. Dalam draft HAM Islam ini disebutkan bahwa
hak asasi manusia dalam pandangan Islam berakar pada kepercayaan kepada Tuhan.
Sedangkan undang-undang apapun yang dibuat manusia harus selaras dengan hukum Tuhan.
Masyarakat Modern Butuh HAM, Dede Setiawan - Mahasiswa Sastra Arab Unpad,Pikiran
Rakyat Edisi Cetak - Kamis, 11 Januari 2007
Setelah membaca dan mencermati beberapa cobntoh argument/pendapat tentang universalitas
HAM diatas, dapat kita simpulkan bahwa masing-masing pihak tersebut memiliki landasan
hukum yang riil, dan untuk bersikap pro ataupun kontra terhadap sifat universal HAM adalah
HAM itu sendiri, kareka kebebasan mengeluarkan pendapat merupakan hak asasi selama
mereka dapat menunjukkan bukti dan alas an yang riil (masuk akal) dan konkrit untuk
menunjang argument mereka dan hal terseburt dapat mereka pertanggung jawabkan, maka
argument yang seperti itu tidaklah masalah.
Namun disini saya lebih cenderung untuk berkata sepakat pada kalangan yang pro terhadap
universalitas HAM, tapi hal ini bukan berarti saya mengesampingkan kelompok yang kontra.
Setelah saya membaca dan beberapa argument dari masing-masing pihak saya berkesimpulan
bahwasanya para pihak yang kontra terhadap universalitas HAM pada umumnya adalah
Negara-negara timur (Asia dan Afrika) juga para pemeluk agama islam, namun dalam hal ini
mereka bukannya anti terhadap penegakan hak asasi itu sendiri karena seperti di Negaranegara islam, mereka telah memiliki The Universal Islamic Declaration of Human Rights
yang dirumuskan oleh Islamic-Council Eropa pada tahun 1981 dan Cairo Declaration of
Human Rights in Islam yang diadopsi oleh Organisasi Konferensi Islam pada Agustus 1991,
sebagai acuan HAM dalam Islam dan di Negara Indonesia contohnya telah mengakui HAM 3
tahun sebelum Lahirnya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948 di Paris, yang dituangkan dalam
pembukaan UUD 1945. para pihak yang kontra terhadap HAM umumnya tidak sepakat
terhadap proses pembuatannya dimana menurut pendapat mereka rumusan yang terdapat
pada HAM merupakan budaya barat yang dituangkan oleh para perumusnya dalam butir-butir
UDHR. Resistensi terhadap universalitas HAM atas dasar kekhasan cultural sebuah

masyarakat lahir sebagai akibat dari penafsiran yang terlalu ekstrem atas teori relativisme
budaya. Rhoda E. Howard mendefinisikan relativisme budaya sebagal suatu metode analisis
ilmu sosial yang mempersepsi dan memaparkan gejala sosial dan budaya dari jarak ilmiah
tertentu atau dari perspektif para penganut budaya bersangkutan. Metode analisis Ini
berkembang pada awal abad kedua puluh sebagai reaksi penolakan atas keyakinan Barat pada
abad ke.19 bahwa masyarakat kulit putih memiliki derajat lebih tinggi ketimbang semua
masyarakat lainnya. Keyakinan akan superioritas kebudayaan Barat melegitimasi secara
antropologis usaha penanaman nilai-nilai misionaris dan beradab atas kebudayaan primitif
atau pribumi. Para antropologi yang yakin akan superioritas kebudayaan Barat jelas
mendukung imperialisme Barat. Dalam situasi ketertindasan masyarakat terjajah, relativisme
budaya lahir sebagal sebuah pembelaan masyarakat pribumi terhadap serangan dan
penghancuran oleh kaum kolonialis dan misionaris. Di sini relativisme budaya berkembang
dari sebuah metode menjadi sikap etis. Secara etis relativisme budaya menun-jukkan bahwa
tidak ada satu kebudayaan pun boleh mendominasi adat-istiadat dan nilai budaya lain. Setiap
kebudayaan memiliki derajat yang sama. Penulis adalah rohaniwan dan bekerja di Institut
Sosial Jakarta. HAM, Civil Society, dan Demokrasi Oleh Aloys Budi Purnomo
Menurut pendapat saya hal itu tidak dapat disalahkan, karena pada tahun 1948 memang
Negara-negara barat (Eropa) lah yang sedang menguasai dunia/memiliki kekuasaan,
sedangkan bangsa-bangsa timur (Asia-Afrika) dan Negara-negara islam pada saat itu
merupakan Negara jajahan bangsa eropa, atau Negara tersebut sedang menata pemerintahan
dan kehidupan didalam negerinya sendiri. Contohn ya Indonesia yang pada waktu itu baru
saja merdeka dan sedang menata pemerinttahan, di Afrika sekitar tahun 1948-1993
terbelenggu oleh Apharteid.
Benar bahwa Deklarasi Universal tentang HAM dirumuskan di Barat dan mengandung nilainilai kebudayaan Barat. Tapi ini bukan alasan mendasar untuk menolak penerapannya di
kebudayaan lain. Yang menentukan apakah nilal-nilai budaya tertentu diterima atau ditolak di
kebudayaan lain bukan asal-usulnya, tapi entahkah norma-norma bersangkutan sungguh dibutuhkan oleh kebudayaan penerima (Ignas Kleden). Yang menolak pemberlakuan HAM
biasanya hanyalah penguasa atau kelompok yang diuntungkan dengan penolakan tersebut,
sementara masyarakat korban terus memperjuangkannya. Penulis adalah rohaniwan dan
bekerja di Institut Sosial Jakarta. HAM, Civil Society, dan Demokrasi Oleh Aloys Budi
Purnomo. Beberapa alasan yang mereka kemukakan seharusnya tidaklah menjadi harga mati
untuk menolak HAM. Sebagaimana dikatakan hak tersebut dipandang bukan sebagai hak-hak
hukum (legal rights) melainkan sebagai hak-hak moral yang berlaku secara universal
(universal moral rights) (Hak Asasi Manusia: Manifestasi Solidaritas Sosial Oleh: Otto Gusti
Nd. Madung).. Jadi jika negara-negara yang kontra tersebut meratifikasi HAM, seharusnya
mereka dapat memahami esensi dan ruh dari UDHR, kemudian menyesuaikan UDHA
tersebut dengan ideology dan budaya bangsanya masing-masing agar dapat diterima dan
ditaati oleh masyarakatnya. Karena pada esensinya hak-hak yang diatur dalam UDHR juga
tak jauh beda dengan apa yang terkandung dalam budaya mereka sendiri.
Comment Number:
51

Ditulis oleh:
wike listyowati untung
Pada tanggal:
9 April 2007 jam 15:16

Wike Listyowati Untung


04400059
VI/B
Menurut saya standart umum tentang HAM masih relevan digunakan karena standart umum
tentang HAM tersebut tertulis secara explisit dan terinci tertuang dlam konstitusi negara.
Rumusan konstitusi akan menjadi ukuran atau takaran untuk membatasi kekuasaan
pemerintah, dan kekuasaan negara. Aturan normatif memang tidak dengan sendirirnya
berefek membatasi kekuasaan negara, akan tetapi apa yang tertuang dalam konstitusi bisa
menjadi dasar dan instrumen bagi masyarakat sipil, rakyat untuk menilai bergerak dan
melakukan tuntutan terhadap negara.
Sumber :
Implementasi Perlindungan HAM dan Supremasi Hukum oleh DR. IUR. ADNAN BUYUNG
NASUTION.
Comment Number:
52
Ditulis oleh:
Lita Anggraini
Pada tanggal:
9 April 2007 jam 23:35

Berkaitan dengan universalitas hak asasi manusia, Pokok-pokok fundamental dari hak asasi
manusia (HAM) yang perlu dikedepankan di sini adalah :
Amanat HAM bersifat positif dan negatif sekaligus. Bukan hanya negatif (berisi laranganlarangan) belaka sebagaimana banyak dikira. HAM berisi amanat untuk membangun
kehidupan manusia menuju ideal.
Rumusan HAM adalah rumusan dari suatu generasi tentang apa yang minimal harus
dipertahankan pada kondisi manusia. HAM bersifat dinamis (harus dikembangkan terusmenerus), dan mendinamisasi pembangunan manusia seutuhnya.
Dengan demikian, menilik bahwa konsep HAM memiliki relativitas dalam hal sifat positif
negatif, dapat dikatakan bahwa keberlakuan konsep HAM tersebut tidak dapat dikatakan
universal, karena sedikit banyak pasti akan dipengaruhi oleh adat istiadat, sosial budaya
masyarakat setempat dimana konsep tersebut diberlakukan. Seperti misalnya di negaranegara Timur Tengah yang mayoritas beragama Islam dan berdasar atas Islam. Sikap negara
tersebut yang cenderung menolak adanya agama lain tidak dapat dianggap sebagai suatu

pembatasan atas hak asasi manusia di wilayah tersebut. Itu merupakan konsekwensi budaya
pada suatu wilayah. Jadi dapat dikatakan bahwa HAM tidaklah berlaku secara universal,
melainkan tergantung kesepakatan sosial dan kultur yang mempengaruhinya.
Comment Number:
53
Ditulis oleh:
Nyawiji
Pada tanggal:
9 April 2007 jam 23:37

Banyak yang berpendapat bahwa konsep hak asasi manusia tidak dapat diberlakukan secara
universal dikarenakan perbedaan budaya dan adat istiadat pada wilayah yang memberlakukan
ketentuan Hak Asasi manusia tersebut. Hal ini mungkin nampak jelas pada pasal 4 UU No.39
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan hasil ratifikasi dari Declaration of
Human Rights, dimana hak manusia yang mendasar dikatakan adalah hak untuk hidup dan
hak untuk memeluk agama, akan tetapi bila mengacu pada peraturan perundangan yang
berlaku di Indonesia, tampak adanya pembatasan dalam hal agama yang diakui pemerintah,
sehingga kebebasan yang dimaksud sifatnya masih terbatas. Kemudian hak untuk hidup juga
bersifat relatif, karena dalam undang-undang yang lain, masih terlihat adanya praktek
hukuman mati, yang mana merupakan indikasi bahwa hak untuk hidup juga bersifat relatif.
Pemikiran demikain merupakan bagian dari pemikiran filsafat komunal yang menganggap
bahwa tidak ada kebenaran yang sifatnya universal. Hal ini merupakan suatu kesalahan
karena sebenarnya yang perlu ditetapkan terlebih dahulu adalah kebenaran tersebut, baru
menapak pada pembetulan peraturan lainnya. Jadi jelaslah bahwa mengenai kebebasan
beragama, yang harus diperjuangkan adalah penyadaran bagi bangsa ini tentang mutlak
perlunya HAM dan bahwa Hak Asasi Manusia adalah memang Haq (Benar). Filsafat
komunalisme yang menolak samasekali kebenaran universal itu jelas mengalami kekeliruan
mendasar. Karena bagaimana mereka bisa mengatakan bahwa sesuatu itu benar untuk
komunitas tertentu jika tak ada parameter untuk menentukan mana yang benar dan salah?
Parameter yang bisa menilai mana yang benar dan salah itu harus sudah ada lebih dahulu,
maka tentu harus bersifat universal.
Comment Number:
54
Ditulis oleh:
Siska Retno
Pada tanggal:
9 April 2007 jam 23:38

Universalitas Hak asasi manusia merupakan sesuatu yang tidak terbantahkan. Karena pada
dasarnya, apa yang disebut sebagai hak asasi itu merupakan hak dasar yang telah dimiliki
sejak kita dilahirkan. Karena itu pengakuan terhadap adanya hak asasi tersebut, meskipun
mungkin datangnya terlambat, merupakan sesuatu yang menuju ke arah positif. Bila nampak
adanya pertentangan dengan kultur hukum setempat, maka yang harus dibenahi bukannya
konsep dasar dari hak asasi tersebut, bukan juga merupakan suatu bukti bahwa hak asasi
manusia berlaku secara relatif dan bukannya universal. Akan tetapi kita perlu membenahi
berbagai peraturan hukum yang sebenarnya tadinya melenceng dan tidak memperhatikan
konsep hak asasi manusia. Misalnya adalah adanya hukuman mati dalam KUHP. Dengan
memperhatikan adanya hak untuk hidup sebagai hak dasar yang tidak dapat diganggu gugat,
maka akan lebih baik hendaknya bila hukuman mati tersebut dihapuskan dan digantikan
dengan bentuk hukuman yang lebih manusiawi dengan memperhatikan hak dasar manusia.
Penyesuaian hukum ini tentu saja memerlukan waktu yang tidak singkat, akan tetapi perlu
untuk dilakukan demi terciptanya penegakan peraturan hukum di masyarakat yang sesuai
dengan hak asasi manusia.
Siska Retno Anggraini
04400014
Comment Number:
55
Ditulis oleh:
Muhammad Riogam
Pada tanggal:
10 April 2007 jam 1:20

Universalitas HAM????
Suatu problem yang mungkin tidak akan selesai apabila kita tetap memahami universalitas
HAM menurut subyektifitas kita saja.
Pemaknaan yang setengah2 terhadap DUHAM menyebabkan kita seringkali salah dalam
mempersepsikan DUHAM tersebut.
Mungkin saya kurang sependapat dengan alasan2 (penolakan terhadap universalitas HAM)
yang disebutkan diatas. Menurut saya sesuai dengan realitas yang ada, penolakan terhadap
konsepsi HAM yang ada dalam DUHAM sebenarnya berakar pada perbedaan kultur pada
tiap2 negara. Hal ini yang seringkali menjadi perdebatan oleh para ahli, apakah konsepsi
HAM yang ada didalam DUHAM bisa diterapkan diseluruh negara? jawabannya tentu
tidak!!!!
Hal ini dikarenakan kondisi sosio-kultural masyarakat tiap negara yang berbeda-beda, untuk
membahas masalah ini sebenarnya telah diadakan lokakarya tentang HAM tanggal 26-28
Januari 1993 di Jakarta untuk Kawasan Asia Pasifik. Dalam lokakarya ini membahas
mengenai pengertian HAM, pengertian dimaksud bukan sekedar dalam perspektif kita saja
tetapi bukan juga pemahaman barat. Akan tetapi rumusan pengertian HAM yang sesuai

dengan watak semua bangsa, sesuai dengan kondisi sosio-kultural masyarakat. Memang
kenyataanya ada perbedaan persepsi antara kita dengan barat, di barat lebih menitikberatkan
pada manusia sebagai individu sedangkan kita lebih menitik beratkan pada manusia secara
sosial tanpa mengabaikannya secara individu. Perbedaan tersebut sebenarnya tidak perlu
dipertentangkan, yang terpenting adalah bagaimana antara kita dan barat dapat bekerjasama.
Hal ini sesuai dengan pendapat Satjipto Raharjo Untuk menuju dunia yang lebih damai dan
bahagia, maka dalam permasalahan dan pelaksanaan HAM sebaiknya bangsa2 didunia
bekerjasama, saling tolong-menolong. Sikap bangsa dan negara yang memaksakan
doktrinnya mengenai HAM kepada bangsa lain sesungguhnya tidak layak.
Mungkin ini dulu yang baru bisa saya tulis disini, apabila ada kekurangan saya mohon maaph
ya.
Comment Number:
56
Ditulis oleh:
maliki
Pada tanggal:
10 April 2007 jam 8:28

BAGAIMANA INDONESIA ?
Oleh: Maliki (kelas IVB) 05400050
Dalam aspek hukum dan politis akibat amandemen UUD 1945 persoalan HAM ini sedah
diatur dalam konstitusi kita, tepatnya pada BAB X A pasal 28 A-J. hal ini mengindikasikan
bahwa Indonesia meratifikasi tentang DUHAM ini melalui konstitusinya. Hal ini menarik
kita kaji lebih jauh karena akibat adanya amandemen ini kehidupan demokrasi kita lebih
terjamin dengan prinsip otonomi daerah dengan desentralisasi, dekonsentrasi, dan
medebewind. Sebagai akibatnya munculah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan peraturan-peraturan lainnya yang berhubungan. Secara umum maka ada beberapa
hal yang perlu kita catat sehubungan dengan hal-hal yang mana jadi kewenangan Pemerintah
Daerah dan mana yang jadi kewenangan Pemerintah Pusat. Yang jelas kewenangan
Pemerintah Daerah lebih luas untuk mengurusi kepentingannya sendiri dengan
menyeimbangkan antara kebutuhan riil masyarakat daerah tersebut terhadap segala aspek
hukum dan politisnya.
Akan tetapi bukan berarti kewenangan atau kebebasan ini mutlak dimiliki oleh daerah, karena
ada 5 hal yang secara mutlak tidak boleh diatur sendiri oleh Pemerintah Daerah. 5 hal yang
diatur langsung oleh Pemerintah Pusat Adalah persoalan pertahanan keamanan, fiskal
moneter, urusan luar negeri, peradilan, dan Agama. 3 dari yang pertama sudah jelas menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat dengan pertimbangan kepentiangan dan stabilitas nasional.

Para masalah peradilan, baik pada lembaga-lembaga strukturalnya dan regulasi-regulasinya


masih banyak hal-hal yang perlu banyak kaji ulang dengan mempertimbangkan adanya
hierarkhi peraturan perundang-undangan UU No. 10 Tahun 2004. Hal pokok yang harus kita
ketahui bersama bahwa aturan-aturan yang posisinya lebih rendah tidak boleh menyalahi dari
aturan-aturan yang diatasnya. Hal ini yang memberikan tidak adanya kepastian hukum seperti
yang diatur dalam pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Hal ini disebabkan adanya mekanisme dari
lembaga Peradilan dengan berbenturan kepentingan umum di masyarakat dengan
mengajukan juidicial review atas suatu perundangan atau peraturan dengan mengajukan ke
Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. Kita lihat saja rame-ramenya para pejabat
Kepala Desa ke Mahkamah Agung di Jakarta untuk demo merevisi hak-hak politis mereka
dalam berserikat dan mengembangkan aspirasi mereka. Atau kita lihat tentang UU Komisi
Yudisial dan Pengadilan Tipikor yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Yang terbaru
adalah tentang UU kesehatan yang sekarang ini dalam proses persidangan Mahkamah
Konstitusi.
Masalah agama, dalam hal pengaturan agama yang masih menjadi kewenangan pemerintah
pusat untuk mengaturnya sudah jelas menyalahi hak dasar dari manusia. Hal ini menyalahi
dari pasal 28 E ayat (1) dan (2). Dalam pasal ini disebutkan garis besarnya bahwa setiap
orang bebas untuk menyakini dan menjalankan kepercayaan sesuai dengan hati nuraninya.
Persoalan ini menjadi suatu dilematis sekali karena pada satu sisi tidak ada peraturan
pelengkap dari pasal ini. Hal ini menyebabkan sering terjadi kekacuan persoalan SARA
terutama yang disebabkan persoalan keyakinan suatu golongan terhadap haknya untuk
menjalankan keyakinan dan kepercayaannya secara bebas yang mana harus dilindungi
hukum.
Comment Number:
57
Ditulis oleh:
anita puji lestari
Pada tanggal:
10 April 2007 jam 12:51

Silahkan tulis komentar di sini.


saya sependapat dengan apa yang telah dipaparkan oleh saudara ratih octaviani, Universalitas
dari Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang dicetuskan oleh PBB sudah tidak
diragukan lagi karena setiap Negara di belahan dunia manapun hampir semuanya sekarang
telah mengakui adanya Hak Asasi yang melekat pada diri seseorang dan apabila sebuah
Negara telah meratifikasi. memang pada waktu disahkannya Declaration of human right pada
tanggal 10 desember 1948 sebagai standar umum penghargaan hak asasi manusia hanya di
ikuti oleh 48 negara ( majelis ulama PBB )dan di setujui oleh 40 negara, namun negara negara yang sekarang menjadi bagian dari PBB yaitu sekitar lebih kurang 160 negara yang
dulunya tidak mengikuti atau mengesahkan declaration of human right tersebut, namun

negara - negara tersebut terikat oleh aturan tersebut karena declaration of human right
merupakan bersifat universal. seperti halnya apa yang telah di contohkan oleh saudara ratih
bahwasannya indonesia telah mengadopsi berbagai instrumen hak asasi manusia
Internasional ke dalam Tap MPR No. XVII/MPR 1998 dan Negara Indonesia juga telah
mengakui adanya Hak Asasi Manusia dengan mencantumkannya di Pembukaan UUD 1945,
beberapa Pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999,
Perpu No. 1 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Nilai-nilai hak asasi
manusia yang bersifat universal juga pada tataran teoritis dapat diterima oleh semua negara,
akan tetapi pada tataran implementasi selalu terdapat perbedaan antara negara yang satu
dengan negara yang lain disebabkan adanya sudut pandang yang berbeda.
hal ini diakrenakan juga oleh latar belakang sejarah dan budayanya negara - negara lain
berbeda dengan kita. Memang benar bahwa negara-negara di dunia (tidak terkecualai
Indonesia) memiliki kondisi-kondisi khusus di bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan
lain sebagainya, yang bagaimanapun, tentu saja berpengaruh dalam pelaksanaan
perlindungan HAM. Tetapi, tidak berarti dengan adanya kondisi yang bersifat khusus
tersebut, maka prinsip-prinsip mendasar HAM yang universal itu dapat dikaburkan apalagi
diingkari
sumber referensi
1.Djaali,H, Hak Asasi Manusia (Suatu Tinjauan Teoritis dan Aplikasi), Restu Agung,
2003;ndang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia;
3. http://www.google.com
Comment Number:
58
Ditulis oleh:
fathul ulum
Pada tanggal:
11 April 2007 jam 22:40

Oleh : fathulu ulum


Nim : 04400121/ VI C
Bahwa HAM bukan nilai suci yang mampu membangunkan keyakinan pada semua Negara.
banyak pihak meragukan kembali unversalisme HAM ditengah panggung kemrosotan
solidaritas dan tanggung jawab antar sesama negara bahkan kemrosotan itu terus berlangsung
semakin parah jika diukur dari sejak pertama munculnya deklarasi unversal. Kemiskinan,
pengagguran, rasisme serta seksisme yang munculnya dibeberapa kawasan seperti mimpi
buruk yang menghantui penegakan HAM. Dan memang seperti apa yang terjadi ditanah air
HAM bukan saja sebagai parameter bagi sebuah pemerintahan melainkan juga menjadi
pranata hukum yang dituntut penerapanya secara konsekuen. Dalam perkembangan sejak
kelahiran deklarasi PBB telah melengkapi beberapa atauran penting yang menyangkut

tentang penegakan HAM dan melalui PBB pula kini dituntut untuk menciptakan sebuah
tatanan dunia yang lebih sejajar. Karena ketimpangan bisa jadi sebagai faktor penyebab
utama munculnya pelanggaran HAM. Karenaya mulai kesejajaran itulah nilai HAM tidak
saja bermangfaat tapi juga mampu membuktikan semanggat keuniversalanya dalam seluruh
ketimpangan yang kini makin mengerikan HAM bukan saja butuh terjemahan idiologis
melainkan juga mengambil fungsi sebagai penstabil terhadap sistem politik yang makin jatuh
kredibilitasnya dan dikelola secara diskriminatif.
Kemunculan deklarasi universal pada hakekatnya memiliki kelebihan dibanding dengan
gagasan-gagasan mengenai HAM pada priode sebelumnya secara ide lebih Maju ketimbang
ketemuan dalam hukum kodrat yang mengikat semua orang dimana mengharuskan semua
perlakuan yang sama. Dalam banyak muatan jelas ide dalam deklarasi melampui tulisan
Locke dan Jefferson yang termuat dalam deklarasi hak asasi manusia dan hak warga negara
(Declaration Of The Rights Of Man The Citizen) di prancis dan pernyataan HAM di Amerika
serikat (Bill Of Rights) karena itulah beberapa kalangan menyebut deklarasi universal
sebagai buah dari beberapa idiologi yang menjadi titik temu bermacam-macam konsepsi
tentang manusia dan masyarakat. Wakil cina pada komisi PBB memberi sebutan deklarasi itu
dapat mendamaikan antara Onfusius dan thomas aquinas. Bahkan peraih Nobel Nadine
Gordimer melukiskan deklarasi sebagaiDokumen Essensial, Batu Ujian, Keyakinan
Mengenai Kemanusiaan Yang Tentu Saja Merangkum Semua Keyakinan Lain Yang Mengacu
Pada Perilaku Manusia anggapan itulah yang menjadikan deklarasi universal ini mewakili
pandangan yang lebih kontemporer, yakni sifatnya lebih egalitarian, kurang individualistis
dan memiliki fokus yang lebih international.
Perumusan deklarasi Unifersal HAM (Unifersal Declaration Of Human Rights) tahun 1948,
primus interpares hak-hak asasi manusia adalah dignity of man, kemulian manusia padanan
kata inggris dignity didalam bahasa Indonesia adalah derajat atau yang lebih tepat adalah
martabat. Martabat adalah sesuatu yang lebih melekat dalam diri manusia oleh sebab itu
kalau kita perhatikan seluruh konvensi dan atau konvenan internasional berikut protokolnya
tampak bahwa seluruh hak-hak yang masuk dalam hak asasi manusia terkait dan dirumuskan
dalam kerangka melindungi, menghormati, atau meninggikan. Martabat manusia
Masalah martabat dan inti kemuliaan manusia itu sudah dipikirkan sejak abad ke 12, bahkan
lebih subur lagi mulia abad ke 15 dan 16 dalam sejarah eropa. Tumbuh kembangnya
pemikiran ini terkait dengan absolutisme kekuasaan raja-raja yang menindas dan sewenangwenang kesepakatan internasional tentang HAM yang termuat dalam DUHAM dicapai
karena adanya keprihatinan bersama mengenai terinjak-injaknya martabat manusia dalam dua
kali perang dunia, terutama dalam perang dunia II. Sebaliknya terhinanya martabat manusia
Indonesia terkait dengan kejamnya penguasa colonial yang di mulai abad ke-15 justru pada
saat di eropa negara asal para penjajah dunia ketiga sedang tumbuh pemikiran mengenai hakhak asasi manusia untuk memuliakan manusai.
Bangkitnya kesadaran nasional sebagai embiro pergerakan kemerdekaan dapat dilihat sebagai
awal bangkitnya nasionalisme Indonesia. Tetapi dari sudut yang lebih mendasar tumbuhnya
kesadaran nasional tersebut merupakan awal dari berkembangnya kesadaran tentang martabat
manusia Indonesia sebagai reaksi atas penindasan penguasa colonial inilah akar
menumbuhkan cita-cita bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari kolonialisme. Pada
dasarnya sifat dari pada DUHAM adalah sangat mengikat pada semua negara dan bangsa

indonesiapun mencita-citakan penegakan HAM.


si yang telah di buat oleh indonesia sedikit banyak dalm subtansinya termuat apa yang ada
dalam DUHAM
Comment Number:
59
Ditulis oleh:
fathul ulum
Pada tanggal:
11 April 2007 jam 22:45

Oleh : fathulu ulum


Nim : 04400121/ VI C
Bahwa HAM bukan nilai suci yang mampu membangunkan keyakinan pada semua Negara.
banyak pihak meragukan kembali unversalisme HAM ditengah panggung kemrosotan
solidaritas dan tanggung jawab antar sesama negara bahkan kemrosotan itu terus berlangsung
semakin parah jika diukur dari sejak pertama munculnya deklarasi unversal. Kemiskinan,
pengagguran, rasisme serta seksisme yang munculnya dibeberapa kawasan seperti mimpi
buruk yang menghantui penegakan HAM. Dan memang seperti apa yang terjadi ditanah air
HAM bukan saja sebagai parameter bagi sebuah pemerintahan melainkan juga menjadi
pranata hukum yang dituntut penerapanya secara konsekuen. Dalam perkembangan sejak
kelahiran deklarasi PBB telah melengkapi beberapa atauran penting yang menyangkut
tentang penegakan HAM dan melalui PBB pula kini dituntut untuk menciptakan sebuah
tatanan dunia yang lebih sejajar. Karena ketimpangan bisa jadi sebagai faktor penyebab
utama munculnya pelanggaran HAM. Karenaya mulai kesejajaran itulah nilai HAM tidak
saja bermangfaat tapi juga mampu membuktikan semanggat keuniversalanya dalam seluruh
ketimpangan yang kini makin mengerikan HAM bukan saja butuh terjemahan idiologis
melainkan juga mengambil fungsi sebagai penstabil terhadap sistem politik yang makin jatuh
kredibilitasnya dan dikelola secara diskriminatif.
Kemunculan deklarasi universal pada hakekatnya memiliki kelebihan dibanding dengan
gagasan-gagasan mengenai HAM pada priode sebelumnya secara ide lebih Maju ketimbang
ketemuan dalam hukum kodrat yang mengikat semua orang dimana mengharuskan semua
perlakuan yang sama. Dalam banyak muatan jelas ide dalam deklarasi melampui tulisan
Locke dan Jefferson yang termuat dalam deklarasi hak asasi manusia dan hak warga negara
(Declaration Of The Rights Of Man The Citizen) di prancis dan pernyataan HAM di Amerika
serikat (Bill Of Rights) karena itulah beberapa kalangan menyebut deklarasi universal
sebagai buah dari beberapa idiologi yang menjadi titik temu bermacam-macam konsepsi
tentang manusia dan masyarakat. Wakil cina pada komisi PBB memberi sebutan deklarasi itu
dapat mendamaikan antara Onfusius dan thomas aquinas. Bahkan peraih Nobel Nadine
Gordimer melukiskan deklarasi sebagaiDokumen Essensial, Batu Ujian, Keyakinan
Mengenai Kemanusiaan Yang Tentu Saja Merangkum Semua Keyakinan Lain Yang Mengacu

Pada Perilaku Manusia anggapan itulah yang menjadikan deklarasi universal ini mewakili
pandangan yang lebih kontemporer, yakni sifatnya lebih egalitarian, kurang individualistis
dan memiliki fokus yang lebih international.
Perumusan deklarasi Unifersal HAM (Unifersal Declaration Of Human Rights) tahun 1948,
primus interpares hak-hak asasi manusia adalah dignity of man, kemulian manusia padanan
kata inggris dignity didalam bahasa Indonesia adalah derajat atau yang lebih tepat adalah
martabat. Martabat adalah sesuatu yang lebih melekat dalam diri manusia oleh sebab itu
kalau kita perhatikan seluruh konvensi dan atau konvenan internasional berikut protokolnya
tampak bahwa seluruh hak-hak yang masuk dalam hak asasi manusia terkait dan dirumuskan
dalam kerangka melindungi, menghormati, atau meninggikan. Martabat manusia
Masalah martabat dan inti kemuliaan manusia itu sudah dipikirkan sejak abad ke 12, bahkan
lebih subur lagi mulia abad ke 15 dan 16 dalam sejarah eropa. Tumbuh kembangnya
pemikiran ini terkait dengan absolutisme kekuasaan raja-raja yang menindas dan sewenangwenang kesepakatan internasional tentang HAM yang termuat dalam DUHAM dicapai
karena adanya keprihatinan bersama mengenai terinjak-injaknya martabat manusia dalam dua
kali perang dunia, terutama dalam perang dunia II. Sebaliknya terhinanya martabat manusia
Indonesia terkait dengan kejamnya penguasa colonial yang di mulai abad ke-15 justru pada
saat di eropa negara asal para penjajah dunia ketiga sedang tumbuh pemikiran mengenai hakhak asasi manusia untuk memuliakan manusai.
Bangkitnya kesadaran nasional sebagai embiro pergerakan kemerdekaan dapat dilihat sebagai
awal bangkitnya nasionalisme Indonesia. Tetapi dari sudut yang lebih mendasar tumbuhnya
kesadaran nasional tersebut merupakan awal dari berkembangnya kesadaran tentang martabat
manusia Indonesia sebagai reaksi atas penindasan penguasa colonial inilah akar
menumbuhkan cita-cita bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari kolonialisme. Pada
dasarnya sifat dari pada DUHAM adalah sangat mengikat pada semua negara dan bangsa
indonesiapun mencita-citakan penegakan HAM.
Comment Number:
60
Ditulis oleh:
Bara Khalim
Pada tanggal:
12 April 2007 jam 4:51

say sangat sependap dengan apa yang disampaikanoleh penulis bahwa tidak ada alasan lagi
bagi negara manapun untuk menganggap bahwa DUHAM tidak memiliki hukum yang tetap
dan memikat semua negara, hal ini berkaitan bahwasanya semua manusia memiliki jiwa
sosial serta berkeinginan untuk hidup sebagai manusia yang dimanusiakan.selain itu bahwa
Semua mahluk manusia dilahirkan secara bebas dan memiliki martabat dan hak yang sama.
Mereka mempunyai kenalaran (reason) dan kesedaran (conscience) dan kewajiban untuk
bertindak antara yang satu dan lainnya dalam semangat persaudaraan (in a spirit of

brotherhood)..untuk itulah kiranya semua negara harus mengakui bahwa DUHAM


merupakan hukum internasional yang harus diakui oleh semua negara. akan tetapi yang
sangat disayangkan bahwa DUHAM cenderung kurang sosialisai termasuk juga di Indonesia
harus dipertanyakan lagi pengenalan DUHAM terutama oleh para perangkat hukum dan
petinggi negara ini. Kalau sama-sama kita amati apa yang sedang terjadi dewasa ini di negara
kita, maka memang kita bisa bertanya-tanya : apakah Deklarasi Universal HAM PBB itu
sudah dikenal secara luas di negara kita? Sebab, kalau kita sudah menyimak kembali
dokumen internasional yang penting ini (teks lengkapnya ada di bawah), maka mungkin kita
bisa terperanjat atas keterbelakangan pola berfikir yang masih dianut oleh banyak orang di
Indonesia dewasa ini.Untuk bisa melihat gejala-gejalanya secara lebih jelas, marilah samasama kita cermati ucapan dan tindakan para tokoh penting negeri kita, baik para menteri,
anggota DPR/MPR, pimpinan partai politik, pejabat tinggi pemerintahan, pimpinan militer,
tokoh di kalangan agama, di kalangan intelektual, di kalangan media massa, mau pun dalam
masyarakat. Kemudian, sudilah kiranya membandingkannya, atau mengukurnya, atau
menghubungkannya dengan teks dan jiwa Deklarasi Universal HAM. Maka, kita bisa
menarik berbagai kesimpulan bahwa, umpamanya, dan antara lain : 1) Deklarasi Universal
HAM (DUHAM) belum begitu dikenal secara baik oleh para tokoh kita. 2) Mereka sudah
pernah membaca, tetapi sudah dilupakan saja. 3) Mereka tidak lupa DUHAM, tetapi tidak
mempedulikannya. 4) Hati-nurani mereka sudah begitu dikotori oleh macam-macam fikiran
yang kurang beradab, sehingga tidak bisa membaca arti dan jiwa DUHAM. 5) Tingkat
kebudayaan mereka yang masih belum cukup.
Comment Number:
61
Ditulis oleh:
AGUS SANUSI
Pada tanggal:
12 April 2007 jam 20:58

AGUS SANUSI
04400113
C/VI
Saya sepakat.
Bila DUHAM dijadikan sebagai prinsip universal dalam menghormati harkat, martabat dan
nilai-nilai manusia. Seperti kita ketahui bersama, Negara ideal adalah Negara yang
memegang teguh terhadap kedaulatan rakyat untuk mencapai atau membentuk Negara
hokum, oleh Julis Stahl, dicirikan dengan adanya jaminan terhadap hak asasi manusia
(grondrechten). Dan oleh Soetandyo Wignjosoebroto, bahwa HAM merupakan hak-hak yang
diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakekat dan
kodrat kelahirannya sebagai manusia. Yaitu sepanjang hak-hak manusia yang asasi yaitu tidak
bertentangan dengan syareat Islam (kesepakatan di Kairo oleh Negara-negara Islam, 1984).

Secara De Facto semenjak DUHAM PBB dideklarasikan pada tahun 1948 dengan dua
kovenannya, 20 tahun berikutnya dijadikan sebagai prinsip universal (1968), akan diakui
keniscayaannya dalam menjunjung hak manusia yang asasi oleh semua Negara, baik yang
terlibat langsung dalam perumusannya maupun tidak atau baik yang meratifikasinya maupun
hanya mengeksesinya, sebab di semua negara modern (Negara hokum) perlindungan HAM
merupakan prioritas utama dalam pembangunan dalam segala aspek.
Namun, yang tidak boleh kita lupakan dalam penegakan dan penerapan (meratifikasinya)
DUHAM di berbagai Negara adalah latar belakang dan pengalaman atau partikularisme dan
relativisme kultur yang ada dalam Negara tersebut. Sehingga ada pengakuan secara de facto
(meratifikasinya) tidak diakui secara de jure.
Saya tidak sepakat.
Apabila dikatakan DUHAM secara universal tidak bias dihindari kekuatan hukumnya
sehingga akan mengikat setiap Negara karena keabsahannya, yaitu melalui konferensi
internasional tahun 1968 yang dihadiri oleh hamper seluruh anggota PBB. Karena beberapa
hal seperti yang diutarakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto antara lain, apakah ide dan
konsep DUHAM secara universal harus bersifat universalistic dalam artiannya yang mutlak?.
Lalu di manakah partikularism suatu negara harus memposisikan pada saat universalism
DUHAM berhadapan dengannya ? Artinya, adakah hak-hak asasi manusia itu harus
ditegakkan di mana saja dan kapan saja dalam pengertiannya yang sama sebagaimana
modelnya yang klasik dari barat itu, sedangkan masing-masing Negara memiliki kedaulatan
dan kultur yang berbeda-beda dalam mengkonsep DUHAM. Bukan suatu kebetulan
manakala Deklarasi tersebut secara resmi disebut The Universal Declaration of Human
Rights guna mengkualifikasi deklarasi itu sebagai suatu pernyataan yang berkeniscayaan
mesti berlaku umum di Negara manapun, pada kurun masa yang manapun, untuk dan
terhadap siapapapun dari bangsa manapun.
Comment Number:
62
Ditulis oleh:
Totok Hari F.
Pada tanggal:
15 April 2007 jam 8:53

Oleh:
TOTOK HARI F
04400074/B
FAK. HUKUM.
Deklarasi Universal HAM menegaskan bahwa hak -hak yang terdapat dalam deklarasi
tersebut hendaknya dapat dirasakan oleh setiap orang diseluruh dunia. Yang mana ini
membutuhkan baik penyerapan maupun institusionlisasi, penyerapan disini artinya disemua
masyarakat bangsa,semua hak yang terkandung dalam deklarasi tersebut hendaknya diakui

sebagai janji-janji yang dapat dicapai untuk dilaksanakan dalam hukum dan pelayanan
nasional, dan melalui reformasi-reformasi sosial dan politik yang perlu. Institusionalisasi
global yang artinya sebagai pengembangan mekanisme pada tingkat internasional yang
memungkinkan pada satu sisi, dapat mengawasi pelaksanaan hak asasi tersebut secara
mendunia, dan pada sisi lain dapat membangkitkan kerjasama yang perlu dalam bidang
ekonomi, sosial dan budaya yang diperlukan untuk membentuk kondisi-kondisi bagi
terpenuhinya hak-hak tersebut secara menyeluruh.
Deklarasi Universal HAM pertama-tama merupakan ekspresi ideal tentang hak-hak yang
hendak dicapai. Proses membuat dan menerjemahkannya kedalam hukum positif pada tingkat
internasional dimulai dengan dua kovenan yang diadopsi pada tahun 1966,dan diikuti oleh
sejumlah konvensi yang lebih spesifik. Kewajiban-kewajiban yang di laksanakan oleh setiap
negara di bawah konvensi-konvensi ini termasuk mengambil langkah-langkah dengan tujuan
bagi pelaksanaan hak-hak tersebut secara progresif, tersmasuk melalui langkah-langkah
hukum. Diadopsinya perundang-undangan semacam itu merupakan suatu proses menuju
dijadikannya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai bagian dari hukum positif pada
tingkat nasional. Akan tetapi, transformasi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya kedalam
hukum positif, baik di Undang-Undang Dasar maupun dalam hukum resmi, tidak cukup.
Hak-hak tersebut harus dilaksanakan dalam kenyataan, yang mungkin membutuhkan
langkah-langkah administratif dan aksi-aksi sosial yang lebih komprehensif. Suksesnya
proses trasformasi itu sangat tergantung pada evolusi kebudayaan HAM, dimana setiap
individu dapat menerima hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka sendiri dalam
masyarakat yang akan menjadi dasar pengenyaman hak tersebut.
Referensi:
a.Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus, HAK EKONOMI, SOSIAL,
BUDAYA.,Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM),2001,Jakarta.
b. http://WWW.Pikiran Rakyat.com
Comment Number:
63
Ditulis oleh:
Totok Hari F.
Pada tanggal:
15 April 2007 jam 9:20

Oleh:
TOTOK HARI F
04400074
VI/B
FAK. HUKUM.

Deklarasi Universal HAM menegaskan bahwa hak -hak yang terdapat dalam deklarasi
tersebut hendaknya dapat dirasakan oleh setiap orang diseluruh dunia. Yang mana ini
membutuhkan baik penyerapan maupun institusionlisasi, penyerapan disini artinya disemua
masyarakat bangsa,semua hak yang terkandung dalam deklarasi tersebut hendaknya diakui
sebagai janji-janji yang dapat dicapai untuk dilaksanakan dalam hukum dan pelayanan
nasional, dan melalui reformasi-reformasi sosial dan politik yang perlu. Institusionalisasi
global yang artinya sebagai pengembangan mekanisme pada tingkat internasional yang
memungkinkan pada satu sisi, dapat mengawasi pelaksanaan hak asasi tersebut secara
mendunia, dan pada sisi lain dapat membangkitkan kerjasama yang perlu dalam bidang
ekonomi, sosial dan budaya yang diperlukan untuk membentuk kondisi-kondisi bagi
terpenuhinya hak-hak tersebut secara menyeluruh.
Deklarasi Universal HAM pertama-tama merupakan ekspresi ideal tentang hak-hak yang
hendak dicapai. Proses membuat dan menerjemahkannya kedalam hukum positif pada tingkat
internasional dimulai dengan dua kovenan yang diadopsi pada tahun 1966,dan diikuti oleh
sejumlah konvensi yang lebih spesifik. Kewajiban-kewajiban yang di laksanakan oleh setiap
negara di bawah konvensi-konvensi ini termasuk mengambil langkah-langkah dengan tujuan
bagi pelaksanaan hak-hak tersebut secara progresif, tersmasuk melalui langkah-langkah
hukum. Diadopsinya perundang-undangan semacam itu merupakan suatu proses menuju
dijadikannya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai bagian dari hukum positif pada
tingkat nasional. Akan tetapi, transformasi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya kedalam
hukum positif, baik di Undang-Undang Dasar maupun dalam hukum resmi, tidak cukup.
Hak-hak tersebut harus dilaksanakan dalam kenyataan, yang mungkin membutuhkan
langkah-langkah administratif dan aksi-aksi sosial yang lebih komprehensif. Suksesnya
proses trasformasi itu sangat tergantung pada evolusi kebudayaan HAM, dimana setiap
individu dapat menerima hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka sendiri dalam
masyarakat yang akan menjadi dasar pengenyaman hak tersebut.
Referensi:
a.Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus, HAK EKONOMI, SOSIAL,
BUDAYA.,Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM),2001,Jakarta.
b. http://WWW.Pikiran Rakyat.com
Comment Number:
64
Ditulis oleh:
Danu Setiyoso
Pada tanggal:
16 April 2007 jam 20:55

UNIVERSALITAS HAM

Bahwa hak asasi manusia sering kali dianggap eksis secara independen sebagai UndangUndang. Hak asasi manusia tak lebih dari sekedar keinginan-keinginan atau aspirasi-aspirasi,
kita mengatakan bahwa hak asasi manusia hanya ada dalam pikiran orang, hak asasi manusia
harus jauh lebih berarti dari pada keinginan atau aspirasi belaka. Sekarang ini hak asasi
manusia telah diundangkan didalam banyak sistem hukum baik nasional maupun
internasional, kalangan positivis mengkhawatirkan bahwa hak-hak moral yang tidak
ditegakkan menjadi tidak menentukan lagi bagi penggunaan hak secara serius. Maka seperti
yang diamati Louis Henkin,kekuatan-kekuatan politik telah memperdebatkan keberadaankeberadaan filosofis yang mendasar, menjembatani jurang antara hukum alam dan dan
hukum positif dengan mengubah hak asasi manusia ilmiah menjadi hak hukum positif.
Hak asasi manusia adalah Universal sekaligus tak dapat dicabut. Jadi DUHAM harus diakui
oleh semua negara yang ada dibawah naungan PBB, termasuk juga Indonesia. Hal ini untuk
menegaskan bahwa hak asasi manusia adalah universal, untuk mencegah agara nonwarga
negara yang tertindas, anggota kelompok minoritas, atau golongan yang dikucilkan dari
masyarakat tidak dibiarkan begitu saja tanpa memiliki hak yang dapat dituntut. kita
menegaskan bahwa hak asasi manusia tidak dapat dicabut sehingga pemerintah yang
menindas tidak dapat seenaknya mengatakan bahwa warga negara mereka tidak
mengorbankan atau secara sukarela menyerahkan hak-haknya.
Jadi disini DUHAM sebenarnya sangat penting untuk melindungi manusia dan apapun yang
menindas mereka. Karena itu setiap negara harus mematuhi peraturan DUHAM tersebut
walupun ada negara yang masih melanggar aturan yang ada di DUHAM.
Referensi : James W. Nikel, Hak Asasi Manusia, PT Gramedia Utama, Jakarta 1996.
Nama: Danu Setiyoso
Nim: 04400093
Kelas: VI B
Comment Number:
65
Ditulis oleh:
Rayno Dwi Adityo
Pada tanggal:
18 April 2007 jam 12:54

Universalitas ham sangatlah dipertanyakan karena jika terkait dengan hak veto yang menjadi
kesewenang-wenangan dari negara-negara yang mempunyai hak ini. Ini ketika saya
mengikuti seminar tentang DK PBB yang diadakan UMM fak HI, dimana sering terjadinya
pelanggaran ham oleh negara yang memiliki hak veto.Yang menjadi pertanyaan saya
adalah.pertama siapa pencetus hak ini?seperti yang kita ketahui hak ini diliki secara warisan
dari negara-negara yang memenangkan perang dunia 1&2,lalu hik ini sangatlah merugikan
negara lain. Dan dalam seminar DK itu dijelaskan DK mempunyai hak-hak tentang negara

mana yang berhak diserang, bukankah ini akan menjadi momok diskresi DK
semata.kesimpulan saya selama negara ini memiliki hak veto universalitas ham tidak akan
terwujud.
Comment Number:
66
Ditulis oleh:
prastyo sigit P.
Pada tanggal:
22 April 2007 jam 20:00

Prastyo sigit.p
04400124/Vl B
Dengan duduknya Indonesia dalam anggota DK PBB, maka otomatis Indonesia akan pula
menjadi perhatian bagi seluruh negara negara di dunia. PBB.SekaligusIndonesia diharapkan
menjadi penengah dalam menciptakan perdamaian dunia dalam masa 2 (dua) tahun
keanggotaanya. Sebab selain merupakan salah satu anggota GNB, Indonesia sebagai negara
dengan jumlah muslim terbesar di dunia, akan juga dianggap sebagai wakil negara-negara
ketiga yang tergabung di dalam OKI (Organisasi Konferensi Islam), di mana beberapa
diantaranya sedang mengalami konflik senjata yang tak kunjung selesai, misalnya konflik
ditimur tengah dan konflik masalah nuklir korea utara.
Namun demikian, yang masih tetap akan menjadi persoalan besar sampai saat ini ialah,
apakah ide dan konsep segala kebijakan dan upaya penegakan hak hak asasi manusia didalam
kehidupan yang berskalah telah global itu harus bersifat universalistik , dalam artian yang
mutlak ataukah sekalipun deklarasi itu telah diterimah oleh wakil negara bangsa di dunia ini,
masikah ada juga tafsir tafsir yang bersifat partikularistik, artinya adakah hak-hak asasi
manusia itu harus ditegakkan, kapan saja dimana saja dalam pengertian yang sama
sebagaimana modelnya yang klasikdari barat itu? Atauka hak asasi manusia itu hanya bisa
dipandang sebagai sesuatu yang universal.dalam hal prinsip-prinsipnya saja?
Dewan Keamanan (DK) PBB, Mengingat resolusi-resolusi DK PBB dengan pernyataanpernyataan Presiden DK PBB mengenai situasi di Timor Timur, khususnya pernyataannya
pada tanggal 3 Agustus 2000 yang memuat pernyataan keprihatinan mendalam dalam atas
keberadaan pengungsi yang berkepanjangan dalam jumlah besar di kamp-kamp pengungsi di
Timor Barat dan atas kehadiran secara berkelanjutan para milisi di kamp-kamp pengungsi
serta atas tindakan intimidasi oleh para milisi kepada para pengungsi dan para staf Komisi
Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR),
Mengutuk tindakan kejam dan keji terhadap staf internasional yang tidak bersenjata yang
berada di Timor Barat membantu para pengungsi dan menegaskan kembali pernyataan
kutukan DK PBB atas pembunuhan dua anggota Pemelihara Perdamaian Pemerintahan
Transisi PBB di Timtim (UNTAET) dan berbagai serangan terhadap keberadaan PBB di
Timor Timur,

Comment Number:
67
Ditulis oleh:
Bambang Nur. W
Pada tanggal:
22 April 2007 jam 20:58

Nama = Bambang nur wahit .


Kelas = VI b/04400091.
Menurut komentar saya, bahwa terkait dengan pengesahan DUHAM pada tanggal 10
desember 1948 diU.S /PBB tidak semua negara ikut dalam pengesahan( rumusan asas-asas
DUHAM) tersebut. akan tetapi hal ini bukan berarti negara-negara yang tidak mau ikut dalam
perumusan asas-asas DUHAM enggan memberikan saran dan masukannya,akan tetapi negara
tersebut sedang mengalami masalah stabilitas yang ada di negara tersebut tidak
aman.misalnya saja indonesia dimana pada saat DUHAM tersebut di buat atau disahkan
kondisi atau stabilitas keamanan di indonesia tidak memungkinkan, yaitu karana di indonesia
pada saat itu terjadi penjajahan oleh oleh bangsa eropa (belanda). bahwa sejak diadakannya
Konferensi Internasional tentang HAM di Teheran tertanggal 22 April sampai 13 Mei 1968
(20 Tahun sejak DUHAM dideklarasikan) yang dihadiri oleh hampir seluruh anggota PBB
telah disepakati bahwa DUHAM diakui dan diterima sebagai prinsip-prinsip universal dalam
penghormatan harkat, martabat dan nilai-nilai manusia oleh seluruh negara meskipun
adakalanya terdapat suatu pemerintahan tidak menerimanya.jadi dari sini dapat disimpulkan
bahwa Akan tetapi setelah indonesia stabilitas keamanannya sudah mulai membaik negara
indonesia ikut meratifikasi terhadap isi dari DUHAM tersebut meskipun indonesia pada saat
DUHAM tersebut dirancang indonesia tidak ikut andil didalamnya.DUHAM tersebut
keberadaannya di bawah bendera PBB sehingga negara yang mau meratifikasi DUHAM
(declaration of human rights) tersebut stabilitas keamanannya harus terjamin dalam artian
aman dari segala konflik atau peperangan baik antar negara maupun antar suku dan adat.
Perlu diketahui bahwa di negara indonesia ada sejumlah kemajuan penting mengenai upaya
bangsa ini untuk melindungi HAM seperti diketahui ada sejumlah produk politik yang
penting tentang HAM. Tercatat mulai dikeluarkannya TAP MPR N0.XVII/ 1998, kemudian
amandemen UUD 1945 yang secara implisit sudah memasukkan pasal-pasal yang cukup
mendasar mengenai hak-hak asasi manusia, UU NO, 39/1999 tentang hak-hak asasi manusia,
dan UU 26/2000 tentang pengadilan HAM. Setelah dilakukan amandemen dengan sendirinya
UU 1945 sebenarnya sudah dapat dijadikan dasar konstitusional untuk memperkokoh upayaupaya perlindungan HAM. Adanya undang-undang tentang HAM dan peradilan HAM,
merupakan perangkat organik untuk menegakkan hukum dalam kerangka perlindungan HAM
dan peradilan HAM.Semua ini melengkapi sejumlah konvenan PBB tentang HAM seperti
tentang hak-hak perempuan hak anak atau kovenan tentang anti diskriminasi serta kovenan
tentang anti tindakan kekejaman yang sudah diratifikasi. Dan perlu saya singgung ! bahwa

peran-peran kalangan diluar negara tetap dan akan tetap penting dalam penegakan HAM,
termasuk dalam penegakan supremasi hukum, sekalipun negara mulai menjalankan fungsi
dan kewajibannya untuk menjamin dan melindungi HAM. Dalam perspektif konstitualisme,
penegakan HAM dan supremasi hukum yang menjadi yang menjadi kewajiban imperatif
negara tidak akan dengan sendirinya direalisasikan manakala tidak didukung dan tidak
memperoleh desakan efektif masyarakat. Oleh sebab itu peran masyarakat menjadi penting,
dan akan terus penting mengingat masyarakat juga berkepentingan dengan penegakan
supremasi hukum dan HAM.
Dari sini saya dapat menarik suatu kesimpulan bahwa suatu HAM disuatu negara harus diliat
dari cita-cita bangsa untuk harkat dan martabat manusia. Sejarah menunjukkan bahwa
penyalah gunaan kekuasaan negara (abuse of power) merupakan ancaman paling efektif
terhadap hak-hak asasi yang merendahkan martabat manusia oleh penguasa kurang lebih 30
tahun terakhir. Adanya perlakuan terhadap hak-hak asasi manusia oleh penguasa dalam 30
tahun terakhir, baik apa dalam masa orde lama maupun orde baru, sudah menyimpang dari
cita-cita bangsa untuk mengangkat martabat manusia.
Contoh-contoh pelanggaran oleh penguasa yang menyalah gunakan haknya sebagai penguasa
namun ia dapat diadili dan ada pula yang lolos dikarenakan adanya HAM. HAM kasus tanjun
priok yang melibatkan MAYJEND TNI Pranowo, Mayjen SRIYANTO yang yang mana
mereka pada tanggal 10 dan 12 agustus 2004 telah bebas. selanjutnya dalam kasus pelanggran
kasus Abepura yang melibatkan Brigjen johny wainal Usman dkk. yang pada tanggal
8/9/2005 bebas. pelanggaran kasus jajak pendapat di TIM-TIM yang melibatkan Abilio jose
suares mantan gubernur TIM-TIM pada tgl 4/11/2004 telah bebas selain itu dalam kasus ini
juga melibatkan pra petinggi TNI- POLRI misal Mayjen Adam Damiri, MAYJEN Timbul
Silaen yang mana mereka pada tanggal 29/9/2004 dan pada bulan desember 2003 mereka
telah bebas.dari ptinngi POLRI melibatkan AKBP. Adios salova bebas 19/5/2005. dari kasus
kasus pelanggran Ham tersebut notabenenya dilakukan oleh Para petinggi TNI dan POLRI
yang mana mereka asdalah para aparat penegak hukum yang seharusnya harus bisa
menegakkan hukum di negeri ini kususnya dalam masalah HAM. dan sebetulnya masih
banyak lagi pelanggran- pelanggran HAM yang dilakukan oleh pejabat tinggi TNI maupaun
POLRI yang sampai saat ini belum bisa di seret kepengadialn HAM sebut saja mantan KSAD
JENDRAL WIRANTO, dan yang mampu diseret kepengadilan hanya staf-stafnya saja
.
Comment Number:
68
Ditulis oleh:
Bambang Nur Wahit
Pada tanggal:
22 April 2007 jam 21:35

Nama = Bambang nur wahit .


Kelas = VI b/04400091.
Menurut komentar saya, bahwa terkait dengan pengesahan DUHAM pada tanggal 10
desember 1948 diU.S /PBB tidak semua negara ikut dalam pengesahan( rumusan asas-asas
DUHAM) tersebut. akan tetapi hal ini bukan berarti negara-negara yang tidak mau ikut dalam
perumusan asas-asas DUHAM enggan memberikan saran dan masukannya,akan tetapi negara
tersebut sedang mengalami masalah stabilitas yang ada di negara tersebut tidak
aman.misalnya saja indonesia dimana pada saat DUHAM tersebut di buat atau disahkan
kondisi atau stabilitas keamanan di indonesia tidak memungkinkan, yaitu karana di indonesia
pada saat itu terjadi penjajahan oleh oleh bangsa eropa (belanda). bahwa sejak diadakannya
Konferensi Internasional tentang HAM di Teheran tertanggal 22 April sampai 13 Mei 1968
(20 Tahun sejak DUHAM dideklarasikan) yang dihadiri oleh hampir seluruh anggota PBB
telah disepakati bahwa DUHAM diakui dan diterima sebagai prinsip-prinsip universal dalam
penghormatan harkat, martabat dan nilai-nilai manusia oleh seluruh negara meskipun
adakalanya terdapat suatu pemerintahan tidak menerimanya.jadi dari sini dapat disimpulkan
bahwa Akan tetapi setelah indonesia stabilitas keamanannya sudah mulai membaik negara
indonesia ikut meratifikasi terhadap isi dari DUHAM tersebut meskipun indonesia pada saat
DUHAM tersebut dirancang indonesia tidak ikut andil didalamnya.DUHAM tersebut
keberadaannya di bawah bendera PBB sehingga negara yang mau meratifikasi DUHAM
(declaration of human rights) tersebut stabilitas keamanannya harus terjamin dalam artian
aman dari segala konflik atau peperangan baik antar negara maupun antar suku dan adat.
Perlu diketahui bahwa di negara indonesia ada sejumlah kemajuan penting mengenai upaya
bangsa ini untuk melindungi HAM seperti diketahui ada sejumlah produk politik yang
penting tentang HAM. Tercatat mulai dikeluarkannya TAP MPR N0.XVII/ 1998, kemudian
amandemen UUD 1945 yang secara implisit sudah memasukkan pasal-pasal yang cukup
mendasar mengenai hak-hak asasi manusia, UU NO, 39/1999 tentang hak-hak asasi manusia,
dan UU 26/2000 tentang pengadilan HAM. Setelah dilakukan amandemen dengan sendirinya
UU 1945 sebenarnya sudah dapat dijadikan dasar konstitusional untuk memperkokoh upayaupaya perlindungan HAM. Adanya undang-undang tentang HAM dan peradilan HAM,
merupakan perangkat organik untuk menegakkan hukum dalam kerangka perlindungan HAM
dan peradilan HAM.Semua ini melengkapi sejumlah konvenan PBB tentang HAM seperti
tentang hak-hak perempuan hak anak atau kovenan tentang anti diskriminasi serta kovenan
tentang anti tindakan kekejaman yang sudah diratifikasi. Dan perlu saya singgung ! bahwa
peran-peran kalangan diluar negara tetap dan akan tetap penting dalam penegakan HAM,
termasuk dalam penegakan supremasi hukum, sekalipun negara mulai menjalankan fungsi
dan kewajibannya untuk menjamin dan melindungi HAM. Dalam perspektif konstitualisme,
penegakan HAM dan supremasi hukum yang menjadi yang menjadi kewajiban imperatif
negara tidak akan dengan sendirinya direalisasikan manakala tidak didukung dan tidak
memperoleh desakan efektif masyarakat. Oleh sebab itu peran masyarakat menjadi penting,
dan akan terus penting mengingat masyarakat juga berkepentingan dengan penegakan
supremasi hukum dan HAM.
Dari sini saya dapat menarik suatu kesimpulan bahwa suatu HAM disuatu negara harus diliat
dari cita-cita bangsa untuk harkat dan martabat manusia. Sejarah menunjukkan bahwa

penyalah gunaan kekuasaan negara (abuse of power) merupakan ancaman paling efektif
terhadap hak-hak asasi yang merendahkan martabat manusia oleh penguasa kurang lebih 30
tahun terakhir. Adanya perlakuan terhadap hak-hak asasi manusia oleh penguasa dalam 30
tahun terakhir, baik apa dalam masa orde lama maupun orde baru, sudah menyimpang dari
cita-cita bangsa untuk mengangkat martabat manusia.
Contoh-contoh pelanggaran oleh penguasa yang menyalah gunakan haknya sebagai penguasa
namun ia dapat diadili dan ada pula yang lolos dikarenakan adanya HAM. HAM kasus tanjun
priok yang melibatkan MAYJEND TNI Pranowo, Mayjen SRIYANTO yang yang mana
mereka pada tanggal 10 dan 12 agustus 2004 telah bebas. selanjutnya dalam kasus pelanggran
kasus Abepura yang melibatkan Brigjen johny wainal Usman dkk. yang pada tanggal
8/9/2005 bebas. pelanggaran kasus jajak pendapat di TIM-TIM yang melibatkan Abilio jose
suares mantan gubernur TIM-TIM pada tgl 4/11/2004 telah bebas selain itu dalam kasus ini
juga melibatkan pra petinggi TNI- POLRI misal Mayjen Adam Damiri, MAYJEN Timbul
Silaen yang mana mereka pada tanggal 29/9/2004 dan pada bulan desember 2003 mereka
telah bebas.dari ptinngi POLRI melibatkan AKBP. Adios salova bebas 19/5/2005. dari kasus
kasus pelanggran Ham tersebut notabenenya dilakukan oleh Para petinggi TNI dan POLRI
yang mana mereka asdalah para aparat penegak hukum yang seharusnya harus bisa
menegakkan hukum di negeri ini kususnya dalam masalah HAM. dan sebetulnya masih
banyak lagi pelanggran- pelanggran HAM yang dilakukan oleh pejabat tinggi TNI maupaun
POLRI yang sampai saat ini belum bisa di seret kepengadialn HAM sebut saja mantan KSAD
JENDRAL WIRANTO, dan yang mampu diseret kepengadilan hanya staf-stafnya saja
.
Comment Number:
69
Ditulis oleh:
farid elmalaki
Pada tanggal:
24 April 2007 jam 12:35

Farid Elmalaki
04400088/VIB
fak. hukum
UNIVERSALITAS HAM
Lahirnya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia pada 10 Desember 1948 di Paris merupakan respons dari umat manusia di
dunia bahwa mereka dilahirkan dengan kebebasan dan memiliki kesamaan dalam derajat
serta di depan hukum.
Meski dari sejarahnya konsep HAM universal ini diwarnai oleh sejarah Barat, tetapi esensi
dari HAM itu sendiri tidak dibuat untuk memenuhi kepentingan Barat melainkan kepentingan
semua umat manusia di muka Bumi ini. Perlindungan HAM ini penting agar dignity

(kehormatan) manusia tidak tercabik-cabik. Tidak heran jika banyak negara mengadopsi
deklarasi HAM universal itu ke dalam hukum domestik mereka.
Begitu juga dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mewajibkan semua anggotanya
melaksanakan UDHR 1948. Jadi tidak dapat disangkal, sejak kelahirannya 56 tahun yang
lalu, universalitas HAM telah menjadi agenda global seiring dengan kesadaran umat manusia
di dunia ini untuk lebih menghargai sesamanya. Dalam kaitannya dengan eksistensi HAM
yang universal, kita tidak bisa menafikan keberadaan UDHR 1948 itu sendiri karena
deklarasi inilah yang menjadi landasan untuk menjadikan HAM sebagai sesuatu hal yang
universal. Namun demikian, pengakuan bahwa HAM itu adalah universal ternyata tidak
sepenuhnya didukung oleh semua warga dunia. Ada sejumlah negara, khususnya yang berada
di kawasan Asia, menganggap HAM bukan sesuatu yang universal. Menurut mereka yang
berpaham antiuniversalitas HAM itu, pengakuan universalitas HAM berarti mengingkari
adanya relativisme kultural yang ada di bumi ini.
Oleh karena itu, sejumlah negara di Asia tidak mau mengakui HAM sebagai hal yang
universal. Ini bisa dilihat dari keengganan sejumlah negara di Asia untuk memasukkan HAM
universal ke dalam konstitusi atau perundang-undangan di negara mereka. Mereka
menganggap bahwa HAM adalah produk negara-negara Barat sehingga keberadaannya tidak
kompatibel dengan kultur orang-orang Asia. Menurut mereka, Asia punya nilai-nilai khas
Asia (Asian values) yang tidak bisa disamakan dengan nilai-nilai yang diadopsi oleh negeranegara Barat. Asian values adalah keunikan yang harus dihormati oleh semua warga dunia.
Perbedaan persepsi tentang universalitas HAM ini mendapat komentar beragam dari sejumlah
masyarakat dunia. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa debat panas tentang universalitas
HAM adalah tantangan berat yang harus dihadapi oleh pergerakan HAM yang ada di dunia
ini karena Asian values mengingkari universalitas HAM. Sedangkan sebagian lainnya
menganggap klaim debat ketidaksetujuan mengimplementasikan HAM secara universal
adalah suatu respons yang normal. Pasalnya, keragaman budaya adalah keseharian yang amat
lazim kita saksikan di dunia ini. Diversitas budaya ini menjadi alasan bagi sebagian
masyarakat dunia untuk menolak universalitas HAM.
Selain alasan-alasan diatas, Penolakan terhadap universaliatas HAM. Dikarenakan banyak
terjadinya kasus pelanggaran HAM, yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Sekutusekutunya dan telah menyebabkan sejumlah korban rakyat sipil. Contoh yang telah nyata
terjadi adalah pelanggaran HAM yang terjadi dinegara Irak. Tentara Amerika C.s menginfasi
Negara Irak. Bukan saja menjatuhkan rezim Saddam Husein yang otoriter melainkan orang
sipil juga dirugikan baik dari segi materi maupun nyawanya. Oleh karena itu, seharusnya
PBB yang merupakan lembaga Dewan yang terhormat didunia internasional, dapat
mengambil tindakan hukum untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang terjadi di Irak.
Karena bila tidak cepat diselesaikan, akan semakin banyak negara yang akan
mempertanyakan Universalitas dan Efektifitas HAM itu sendiri
Oleh karena itu, momen ini bisa dijadikan alarm bagi pemerintah untuk kembali menguatkan
komitmennya terhadap penyelesaian sejumlah kasus pelanggaran HAM, yang telah
menyebabkan sejumlah korban kasus tersebut mengalami penderita kemanusiaan yang sangat
berat. (Huminca Sinaga/PR)***
Sumber:
- Atmasasmita,Romli, Reformasi, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum, C.V Mandar

Maju, Bandung, 2001


-www.Elsam.Com
http://www.hukum.online
Comment Number:
70
Ditulis oleh:
M.Tanzil Multazam
Pada tanggal:
3 May 2007 jam 20:21

HAM dikenal luas dan mengikat dan secara yuridis adalah saat ditetapkannya DUHAM oleh
negara-negara anggota PBB yang dilatarbelakangi turunnya penghargaan manusia akan hakhak mereka khususnya saat perang dunia I dan II berkecamuk. Tapi sejatinya substansi HAM
sudah dikenal sejak dulu,hal itu bisa dilihat di landasn-landasan-landasan hukum masyarakat
terdahulu semisal Piagam Madinah bagi orang islam, Talmud bagi orang Yahudi, Code Civil
bangsa prancis dan sebagainya. Meski tidak secara rinci hal itu dibahas, akan tetapi dapat
menjadi sebuah bukti bahwa hak asasi manusia sebenarnya telah tertanam sejak dulu dalam
sanubari setiap manusia dan mereka menyadari akan adanya hak itu.
Kemudian yang menjadi persoalan adalah Bagaimana agar hak-hak tersebut dapat lebih
mengikat seluruh umat manusia(mankind), sehingga timbul suatu kepastian hukum (legality).
DHR (declaration of human rights) diputuskan sebagai instrumen umum yang tepat bagi misi
tersebut.Dengan substansi yang disusun dan disetujui oleh negara-negara anggota PBB pada
tahun 1948, dan dilanjutkan dengan persetujuan oleh anggota-anggota baru PBB pada tahun
1968 tanpa adanya perubahan pada substansi DHR. DHR menjelma menjadi momok bagi
negara-negara berkembang (disebut barat sebagai dunia ketiga), karena kebanyakan dari
negara-negara tersebut belum terdapat suatu stbilitas nasional yang meliputi Politik, Hukum,
Ekonomi, Budaya dan sebagainya. Sungguh suatu dilema ketika suatu negara miskin yang
dinyatakan oleh PBB sebagai salah satu pelangar HAM berat karena tidak dapat mengontrol
masyarakatnya untuk menghargai sesama, padahal dengan adanya cap seperti itu dapat
menjatuhkan kredibilitas negara tersebut dimata internasional, yang kemudian dapat
menyebabkan turunnya investasi,buntunya kerjasama ekonomi,inflasi tinggi,banyaknya
pengangguran (high unemployment) dan turunnya kesejahteraan masyarkat.
Universalitas HAM disatu sisi merupakan pelindung atau cahaya di masa dunia sudah
memasuki tahap tanpa kenal batas, karena semua memiliki hak yang sama. Tetapi menjadi
pedang yang siap mengancam siapa saja yang kemudian di cap pelanggar HAM berat oleh si
empunya HAM (PBB dan Polisinya).
Tetapi ada yang perlu digaris bawahi, DHR sebagai Instrumen umum HAM belum tentu
menjadi ketentuan yang tidak dapat dirubah atau bahkan dicabut. Sebagaimana sejarah waktu
ditetapkannya dulu. (Hanya Hukum ALLAH yang tidak dapat dirubah)

M.Tanzil.Multazam
04400078
6/B
Comment Number:
71
Ditulis oleh:
indah puspita sari
Pada tanggal:
15 March 2008 jam 13:04

sperti di jelaskan dalam artikel diatas bahwa saat ini dunia internasional beramai-ramai
mendeklarasikan dirinya sebagai negara yg melindungi hak asasi manusia yakni melalui
deklarasi universal hak asasi manusia atau dikenal dengan DUHAM pd tgl 10 desember
1948. indonesiapun tidak mau kalah dan indonesiapun telah meratifikasi berbagai konvensi
berkenaan dengan HAM sehingga saat ini di indonesia sudah ada aturan hukum yakni UU
HAM no.39 tahun 1999 dan UU PENGADILAN HAM no.26 thn 2000. seperti yg saya
peroleh dari perkuliahan hukum internasional fak hukkum Universitas muhammadiyah
malang yg di ajar oleh ibu.cekli maka semua perangkat hukum yg berkenaan dengan HAM di
indonesia telah sesuai dengan prinsip2 yakni universal karena dalam setiap peraturan negara
melindungi HAM warga negaranya maupun warga negara lain yg sedang berada disuatu
negara hal ini dapat dilihat dari berbagai bunyi pasal yg biasanya menggunakan kata
SETIAP ORANG ini menunjukkan prinsip universal namun dalam pasal24 ayat 2 UU
HAM no.39 thn 1999 baru menggunakan kata SETIAP WARGA NEGARA atau kelompok
masyarakat berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi
lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara
sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. jika melihat pasal ini maka dpt ditafsirkan yg bisa
mendirikan partai politik atau yg bisa berperan sbg aparatur negara hanyalah yg mempunyai
styatus WARGA NEGARA jelas sekali disini pemerintah sangat jeli dalam membentuk segala
peraturan yg mengatur HAM di indonesia dan sperangkat aturan hukum indonesia inipun
secara kontekstual (bahasa)sangat sesuai dengan prinsip2 lainnya yakni prinsip setiap orang
memiliki hak yang sama (equality) dan tanpa diskriminasi non-discrimination dan Prinsip
Pengakuan indivisibility and interdependence of different rights.namun yg perlu
dipertanyakan adalah bagaimanakah aplikasi atau penerapan berbagai peraturan ini di
indonesia karena setelah saya cermati UU no.39 tahun 1999 dan UU no.26 thn 2000 disitu
sangat jelas apa itu yg dimaksud Hak asasi manusia bagaimana seharusnya..namun
KNAPA INSTRUMEN HUKUM INI TIDAK ADA SANKSI YANG AKAN DIKENAKAN
TERHADAP PELANGGARNYABUKANKAH HUKUM TANPA SANKSI AKAN SIA2
BAGAIKAN MAKAN TANPA GARAM ATAU BAGAI TIDUR TANPA BANTAL ATAU
BAGAI PISTOL TANPA PELURU..BU.CEKLI CUMA ITU YANG BISA SAYA

KOMENTARI SEMENTARA INI HEHEHEHE KARNA SAYA HANYA SEMPET BACA


UU NYA AJA SAMA SITUS INI DUHHHHH BANGGA DEH PUNYA DOSEN KAYAK
BU.CEKLI KAYAKNYA KULIAH IN GAK SIA-SIA KALO DOSENNYA KAYAK BU
CEKLI HEHEHEHEHE BUKAN MERAYU LO BU.YAHHH CUMA PENGEN BUAT
IBU GR AJA HEHEHEHEHE MAAF YA BU KLO ADA SALAH
INDAH PUSPITA SARI 06400131
Comment Number:
72
Ditulis oleh:
sheila fatimah
Pada tanggal:
15 March 2008 jam 20:07

Ass bu..
Menurut saya munculnya DUHAM memberikan dampak yang positif bagi perkembangan
pengakuan dan perlindungan HAM di setiap negara.Sesuai dengan artikel diatas pada
Konferensi Internasional yang diadakan di Teheran juga telah disepakati bahwa DUHAM
diakui dan diterima sebagai prinsip universal dalam penghormatan harkat dan martabat
manusia di seluruh negara.
Jika berbicara mengenai Hak Asasi Manusia, maka negara Indonesia kita ini juga merupakan
negara yang mengakui HAM. Hal ini dapat dilihat dalam :
UUD 45
permasalahan HAM ini terdapat dalam bab XA, pasal 28A-J.
Ps 28A mengatakan bahwa setiap orang berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya,ini bukti bahwa kita telah menganut prinsip Universalitas. Prinsip equality
dan tanpa diskriminasi yang dapat dilihat dalam pasal 28J (2) yang menyatakan bahwa setiap
orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif dan mendapat perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif.
UU No 39 th 1999 tentang HAM
UU ini juga telah menerapkan prinsip universalitas yang dapat dilihat dalam pasal
3,4,5,7,98,10,11,12,13,14,dll yang menggunakan kata setiap orang...
Prinsip equality dan tanpa diskriminasi juga dapat dilihat dalam pasal 48 yang memberikan
hak yang sama bagi wanita utk mendapat pendidikan dan pengajaran,49 dan 54
Perlindungan terhadap HAM ini dibuktikan dengan adanya Pengadilan HAM dalam UU No
26 th 2000, dalam ps 34 dapat dilihat bahwa UU ini memberikan perlindungan bagi setiap
orang.. yang menjadi korban dan saksi dalam pelanggaran HAM berat.
Yang terpenting dalam menegakan HAM adalah bagaimana upaya untuk melakukan
penegakan yang tegas terhadap setiap pelanggaran HAM yang terjadi.

( Oh iya bu, yang saya herankan mengapa sebagai negara yang mengaku sebagai Pembela
HAM, Amerika justru sering melakukan pelanggaran terhadap HAM ya??, misalnya Invansi
yang dilakukan Amerika dan sekutunya terhadap Irak, bukan berarti karena Amerika
merupakan negara yang adi kuasa dan memiliki hak veto mereka bisa berbuat sewenang wenang kan??? hehehe.. )
wss.
Comment Number:
73
Ditulis oleh:
Naning Wijayanti
Pada tanggal:
17 March 2008 jam 10:17

Pasal 27 ayat 1
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya
Pasal 28,
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya di tetapkan dengan undang-undang
Pasal 29 ayat 2
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu
Pasal 30 ayat 1
Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan
Pasal 31 ayat 1
Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
Dan untuk prinsip-prinsip HAM yang ada di negara kita, saya rasa sudah memenuhi.
Meskipun perlu adanya penambahan-penambahan untuk memberikan yang jauh lebih baik
lagi bagi warga negara kita.
Tapi yang membuat saya berfikir yakni, sudah berapa banyakkah orang yang mengetahui
tentang DUHAM?? Pasti hanya segelintir orang yang tahu tentang hal itu. Deklarasi
Universal HAM (DUHAM) belum begitu dikenal secara baik oleh para tokoh kita.
Sekarang kita menggembor-gemborkan DUHAM, tapi berapa di antara kita yang tahu akan
itu??
Terima kasih Buat Bu. Cekli, mohon bimbingannya lagi..
Dosen Friendly seperti anda sangat di senangi mahasiswa. Semangat Bu!!
Naning Wijayanti
06400169

Comment Number:
74
Ditulis oleh:
Naning Wijayanti
Pada tanggal:
17 March 2008 jam 10:20

Dari Prinsip - Prinsip Perlindungan HAM yang sudah di paparkan, jelas terlihat bahwa
negara manapun telah berusaha untuk melindungi setiap hak asasi manusia yang telah di
miliki seseorang sejak ia lahir. Hendardi TIGA tahun seusai Perang Dunia II, komunitas
internasional menyuarakan pencerahan nurani dengan
memproklamasikan hak asasi manusia universal 10 Desember 1948. Upaya untuk
menghormati, melindungi, memenuhi hak
asasi manusia, dan meninggikan martabat telah dimulai secara universal.
(Tuesday, 09 December 2003) - Contributed by Kompas Penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM dimajukan setelah terjadi transformasi
dari komitmen moral menjadi
komitmen hukum internasional. Transformasi ini menemukan wujudnya melalui penerimaan
atas dua perjanjian
internasional pada 16 Desember 1966.
Kedua perjanjian itu adalah Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya, yakni CESCR(Covenant on Economic, Social and Cultural Rights ) serta Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yakni CCPR (COVENANT ON CIVIL AND
POLITICAL RIGHTS) . Sebagian besar inspirasi kedua perjanjian ini bersumber dari
Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Dari pemikiran yang di peroleh atas DUHAM
yang telah memunculkan CCPR dan CESCR, Undang-Undang di Indonesia yang mengatur
tentang hak asasi manusia juga tertuang dalam UU No.39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun
2006 tentang Pengadilan HAM, serta tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia,
seperti pada :
Pasal 27 ayat 1
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya
Pasal 28,
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya di tetapkan dengan undang-undang
Pasal 29 ayat 2
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu
Pasal 30 ayat 1
Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan

Pasal 31 ayat 1
Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan
Dan untuk prinsip-prinsip HAM yang ada di negara kita, saya rasa sudah memenuhi.
Meskipun perlu adanya penambahan-penambahan untuk memberikan yang jauh lebih baik
lagi bagi warga negara kita.
Tapi yang membuat saya berfikir yakni, sudah berapa banyakkah orang yang mengetahui
tentang DUHAM?? Pasti hanya segelintir orang yang tahu tentang hal itu. Deklarasi
Universal HAM (DUHAM) belum begitu dikenal secara baik oleh para tokoh kita.
Sekarang kita menggembor-gemborkan DUHAM, tapi berapa di antara kita yang tahu akan
itu??
Terima kasih Buat Bu. Cekli, mohon bimbingannya lagi..
Dosen Friendly seperti anda sangat di senangi mahasiswa. Semangat Bu!!
Naning Wijayanti
06400169
Comment Number:
75
Ditulis oleh:
yuke nindya kirana
Pada tanggal:
18 March 2008 jam 13:10

Silahkan tulis komentar di sini.


menurut saya meskipun masih banyak keraguan atas kekuatan yang mengikat DUHAM dan
juga masih banyak yang melakukan pelanggaran yang membuat efektifitas perlindungan dan
penegakkan HAM terganggu, ini bukan berarti HAM tidak diakui oleh seluruh negara.
karena, tidak ada negara yang menginginkan masyarakatnya kehilangan Hak Asasinya.
Meskipun suatu negara tidak ikut merumuskan asas dalam DUHAM bukan berarti negara itu
boleh melakukan sesuatu seenakanya saja tanpa menghiraukan keinginan masyarakatnya dan
tidak menghormati harkat dan martabat.
Dalam sila ke-2 Pancasila yang berbunyi kemanusian adil yang beradad . Dalam sila ke-2
ini terkandung nilai-nilai :
1. mengakui dan memberlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabat.
2. mengakui persamaan derajat hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membedakan
ras dll.
3. mengembangakan sikap tenggangrasa dan saling menyayangi, saling menghormati.
Indonesia juga membuat serta menhesahkan UU no.39 th 1999 pasal 2 Di Indonesia telah
mengakui dan menjujung tinggi HAM dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara

kodarati melekat padadan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus di lindungi, di hormati,
dan di tegakkan
Dan UU no.26 th 2000 Pengadilan HAM demi melindungi, mempertahankan, menjaga HAM
dari sebuah perampasan HAM.
Comment Number:
76
Ditulis oleh:
rima firizky
Pada tanggal:
18 March 2008 jam 13:53

HAM AMERUPAKAN HAK2 yang seharusnya diakui secara universal sebagai hak2 yang
melekat pada manusia, karena hakekat dan kodratnya sebagai manusia, bersifat universalitas
atau tanpa melihat ras, suku, agama, jenis kelamin,dll.
Selain itu berdasarkan prinsip2 HAM yakni, prinsip universalitas yang menyatakan :
setiap orang dilahirkan secara bebas(bukan karena diberi kekuasaan apapun)dan tidak
memandang perbedaan. Kemudian dalam DUHAM juga menganut prinsip setiap orang
memiliki hak yang sama dan tanpa diskriminasi, maka jelas bahwa HAM ini sifatnya
universal dan patut dilindungi, di hormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan,
dikurangi, maupun dirampas oleh siapapun.
Sehingga jika dilihat dalam seperangkat hukum indonesia yang mengatur mengenai HAM ,
maka prinsip2 tersebut telah dianut pemerintah indonesia sejak tahun 1945 yang terdapat
pada pembukaan UUD45 amandemen alenia ke empat, yang dalam isinya terdapat visi
pemerintah indonesia untuk melindungi bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah
indonesia.maka jelas pemerintah indonesia ingin melindungi, menghormati,
mempertahankan HAM yang ada di Indonesia tanpa mendiskriminasikan.
Dan karena Indonesia merupakan anggota PBB dan meretifikasi ICCR & CESR maka
indonesia mengemban tanggung jawab moral dan hukum, serta melaksanakan DUHAM.
Oleh karenanya pemerintah Indonesiaberkewajiban baik secara hukum maupun secara
politik, ekonomi, sosial dan moral, untuk melindungi dan memajukan serta mengambil
langkah2 konkret demi tegaknya HAM, maka di berlakukan prinsip2 DUHAM yang telah
diwujudkan dalam UU NO.39 TAHUN 1999, tentang HAM yang salah satunya terdapat
dalam ps.5, yakni:
-setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh
perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya didepan
hukum.
setiap orany ini artinya tidak hanya ditujukan pada WNI saja namun juga WNA yang ada di
indonesia.
pd ps. 3 ayat 2 dan 3 yang intinya NRI memberi hak pengekuan, jaminan ,perlindungan dan
perlakuan hukum yang adil dalam kepastian hukum dan diberi perlakuan yang sama didepan

hukum. Dan juga diberi hak atas perlindungan HAM dan kebebasan dasar manusia tanpa
diskriminasi baik WNI maupun WNA yang ada di wilayah NRI.
Sedang dalam UU no. 26 tahun 2000 terdapat dalam pasal 1 ayat 1 yang menjelaskan HAM
tersebut.
Ps.34 ayt 1
setiap korban dan saksi dalam pelanggaran HAM berat berhak atas perlindungan fisik dan
mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.
ayat 2 perlindungan sebagaimana ayat satu wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum
dan aparat keamanan secara cuma2.
Comment Number:
77
Ditulis oleh:
Reni Haryanti N (06400167)
Pada tanggal:
18 March 2008 jam 14:13

Silahkan tulis komentar di sini.


meurut saya universalitas duham dalam pelaksanaan HAM d indonesia secara kontektual
sudah diberlakukan secara efektif.
efektifitas inidapat dilihat dalam produk2 perundang-undangan indonesia, yang telah
memiliki UU sendiri HAM dalam perkembangannya. d
di indonesia telah ada UU no 39 tahun 1999 tentang HAM, dalam UU ini kita dapat melihat
bahwa kita telah menerapkan prinsip universalitas, misalnya dalam:
pasal 2 UU no 39 tahun 1999 yang mengatakan bahwa negara republik indonesia mengakui
dan menjunjung tinggi HAM dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati
melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan
ditegakkan, demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan,
kecerdasan, serta keadilan.
dalam pasal ini kita dapat menyimpulkan bahwa ndonesia mengakui dan menjunjung tinggi
HAM, hal ini berarti pasal tersebut sudah bersifat secara universal karena berlaku untuk
semua orang. UU ini juga menunjukan bahwa kita sudah menganut prinsip equality dan tanpa
diskriminasi.
hal ini dapat kita lihat dalam pasal:
5 ayat 1: setiap orang diakui sebagai menusia pribadiyang berhak menuntut dan berhak
menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat
kemanusiannya di depan hukum. dan pasal 48 yang mengatakan bahwa wanita berhak
memperoleh pendidikan dan pengajaran.
upaya menegakkan HAM di indonesia juga didukung UU no 26 tahun 2000.

menurut saya pengadilan HAM ini merupakan salah satu upaya dalam lebih mengefektifkan
perlindungan HAM di indonesia, tapi satu hal yang lebih penting adalah bagaimana
keseriusan dalam menangani berbagai pelanggaran HAM yang terjadi.
Comment Number:
78
Ditulis oleh:
aniesha M A
Pada tanggal:
18 March 2008 jam 14:21

berdasarkan artikel ibu diatas saya berpendapat bahwa keberlakuan DUHAM di indonesia
sudah cukup membantu penertiban HAM di indonesia, tapi sangat di sayangkan masih
banyak pelanggaran HAM yag terjadi di indonesia dan tidak ditangani dengan baik, seperti
masih banyaknya terjadi human trafickking dan diliat dari keefektifitasan DUHAM di
indonesia peraturan tersebut masih jauh dari kata efektif. Karena u/ meningkatkan efektifitas
peraturan tersebut diperlukan peran serta dari semua pihak seperti masyarakat itu sendiri dan
tidak hanya diserahkan pada pemerintah.
Berdasarkan prinsip universalitas bahwa perlindungan terhadap HAM tidak memandang ras,
jenis kelamin, warna kulit, dll.Prinsip universal melindungi seluruh manusia tanpa
memandang bulu seperti pada UU HAM NO 39 TH 1999, PS 3 menjelaskan bahwa setiap
orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dengan sederajat serta
dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam
semangat persaudaraan
Comment Number:
79
Ditulis oleh:
Leni Bahesti
Pada tanggal:
18 March 2008 jam 15:31

Silahkan tulis komentar di sini.


Jika menilik kembali tentang prinsip universalitas yang berkaitan dengan ham jelas bahwa
setiap orang mempunyai kesamaan hak tanpa membedakan suku,ras,agama,jenis kelamin
dan sebagainya.Hal ini juga dikuatkan di dalam Konvensi HAM dan DUHAM.Tetapi tidak
menuntut kemungkinan hal semacam itu masih banyak orang yang melanggarnya entah itu di
tempat maupun di dalam dunia EKOSOSBUD.Seperti yang dicantumkan di dalam dokumen
DUHAM yang lahir pada tanggal 10 desember 1948 yang menyatakan bahwa deklarasi itu

bersifat deklaratur yang menyatakan bahwa deklarasi ini hanya merupakan seruan moral
kepada negara-negara peserta untuk memajukan dan menghormati secara universalitas hakhak asasi manusia.Di dalam deklarasi ini juga terdapat sifat moral binding yang artinya
mengikat secara moral untuk negara-negara peserta.Yang menyatakan ingin dikatakan bahwa
deklarasi ini dapat digunakan sebagai standar umum,tolak ukur dan fundamental norm
sebagai pedoman bagi negara internasional.Sedangkan di Indonesia Undang-undang HAM
baru diadakan pada tahun 1999,dan indonesia tidak ikut dalam pengesahan DUHAM,hal ini
menunjukan bahwa eksistensi pada waktu sebelumnya masih banyak didapati adanya
pelanggaran HAM.Kenapa pada waktu pengesahan indonesia tidak ikut?karena pada waktu
itu indonesia berpendapat bahwa prinsip seperti itu tidak hanya dalam
penjunjungan,pengakuan,dan penghormatan hak asasi manusia melainkan akan kebih
efisiensinya ke arah pengakuan adanya kedaulatan hukum.
Jika memang HAM itu sangat penting dalam kehidupan di masyarakat,kenapa Amerika dan
negara-negara maju lainnya masih ingin sekali menguasai wilayah-wilayah yang menjadi
target dalam kepentingan pemerintahanya tanpa melihat adanya sisi HAM yang
menyebabkan secara tidak langsung negara tersebut telah melanggarnya.Apakah hal seperti
itu masih adanya perlindungan kepada HAM?dan apakah negara seperti itu masih memegang
adanya prinsip universalitas?.Dari kesimpulan diatas penulis menyimpulkan bahwa prinsip
universalitas yang tertera di dalam Konvensi HAM dan DUHAM hanya sebagai konsep yang
menjadi standar umum, tolak ukur untuk negara internasional agar dijadikan pedoman dan
diakui oleh dunia internasional.
Comment Number:
80
Ditulis oleh:
Anwar Affandi
Pada tanggal:
18 March 2008 jam 22:11

Hak Asasi Manusia adalah hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta
yaitu hak-hak yang bersifat kodrati. Oleh karenanya tidak ada kekuasaan apapun di dunia
yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian bukan berarti dengan hak-haknya itu dapat
berbuat semau-maunya. Sebab apabila seseorang melakukan sesuatu yang dapat
dikategorikan melanggar hak asasi orang lain, maka ia harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya.
(Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Harkristuti Harkrisnowo ).
Hak asasi manusia seperti yang dijelaskan di atas memang benar adanya, dan hak tersebut
memang di akui secara universal.
Prinsip utama dari universalitas HAM adalah kemerdekaan, kesetaraan dan kemandirian.
Namun dalam DUHAM juga ditambahkan dengan prinsip persaudaraan. Prinsip persaudaraan
ini terbangun dari prinsip fraternite yang menjadi bagian dari prinsip yang diusung dalam

revolusi Perancis. (Guru Besar STF Driyarkara, Prof Dr Franz Magnis Suseno, Guru Besar
Universitas Islam Negeri Jakarta, Prof Dr Siti Musdah Mulia dan moderator Prof Dr Melanie
Budianta.)
Dari DUHAM yang telah di cetuskan juga melahirkan 2 Convenant, yakni tentang Kovenan
SIPOL dan EKOSOSBUD (CCPR dan CESCR).
Di Indonesia ada UU HAM yakni UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Di situ juga telah tertuang tentang hak asasi manusia
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan
setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Tentang DUHAM tersebut adalah sebuah deklarasi. Di mana deklarasi tidak dapat di katakan
mengikat, tetapi di katakan sebuah pengumuman belaka. Untuk sebuah pelaksanaan HAM
sendiri saat ini memang sangat sulit, banyak sekali pelanggaran-pelanggaran HAM yang
merugikan semua orang atas tangan-tangan orang yang tidak beradab. Tentunya pemerintah
telah berusaha sekuat tenaga untuk mengantisipasinya. Juga peran serta masyarakat memang
sangat di perlukan saat ini untuk membantu kinerja pemerintah. Jadi ada hubungan timbal
balik antara keduanya.
Anwar Affandi /06400160
Comment Number:
81
Ditulis oleh:
rusdianto hadi sarosa
Pada tanggal:
19 March 2008 jam 12:51

perlindungan merupakan hal yang penting dan diharapkan oleh setiap manusia,,bahkan bisa
dilihat sekarang ini hampir dari semua negara telah ikut meratifikasi berbagai perjanjian /
konvensi tentang perlidungan HAM termasuk negara Indonesia.
prinsip perlindungan HAM ternyata memiliki manfaat yang sangat besar,hal ini dapat dilihat
dari beberapa contoh seperti yang telah disebutkan pada artikel di atas salah satu diantaranya
adalah,dengan prinsip perlindungan HAM dapat menghilangkan perbedaan warna kulit / ras.
Indonesia sendiri telah melakukan berbagai upaya untuk menegakkan prinsip perlindungan
HAM,hal itu dapat kita lihat dari adanya Undang - undang no.39 yang berisi tentang hak
asasi manusia.
selain itu kita juga dapat mengetahuinya melalui terbentuknya UU No.26 yahun 2000 yang
mengatur tentang pengadilan HAM.
selain dari kedua UU yang ada di atas,kita juga dapat melihat dari pembukaan UUD 1945
yang telah mencerminkan upaya negara Indonesia untuk menegakkan hak asasi manusia.
kesimpulannya,menurut saya prinsip perlindungan HAM di Indonesia sudah cukup bagus dan
tidak kalah dari negara lain,hal ini juga didukung oleh asas retro aktif dalam penegakan
HAM,sehingga bisa menindak kasus pelanggaran HAM di masa lalu.

emmm saya rasa cukup dech,,moga aja bu cekli yang baik hati dan tidak sombong ngasi good
mark buat rusdi,,,,hehehe ^o^
Rusdianto HS
06400138
Comment Number:
82
Ditulis oleh:
ahmad hidayat
Pada tanggal:
19 March 2008 jam 22:13

ass..bu cekli..
komentar saya terhadap
A.UUD RI 1945
1.menganut prinsip universal.terdapat dalam pasal 28G bag ke (2)
2.menganut prinsip orang memiliki hak sama (equality) dan tampak diskriminasi karena hal
ini adalah menyangkut hak pokok yang melekat pada manusia karna hakeket dan kodratnya
sebagai manusia terdapat dalam pasal 28A,28B bag ke 2 Dll.
namun menyangkut undang undang dasar ini pada intinya semua menganut universal tetapi
berlaku mengikat bangsa indonesia saja.
B.UU NO 39 tahun 1999 Tentang HAM
1.menganut asas universal terdapat dalam pasal 2,3 dll
2.menganut prinsip orang memiliki hak yang sama (equality) tanpa diskriminasi terdapat
dalam pasal 3 Bag 2 dan 3.
C.UU NO 26 tahun 2000 tentang peradilan HAm
1.menganut prinsip universal
2.Menganut prinsiporang memiliki hak yang sama (equality)tanpa diskriminasi
karna hak asasi manusia adalah sprangkat hak yang melekat pada hakekatnya keberadaan
manusia sebagai mahkluk tuhan yang maha esa dan merupakan anugrah yang harus dihormati
di jujnjung tinggi dan di lindungi oleh negara,hukum ,pemerintah,dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia maka 3 buah prodak aturan
hukum semua menganut apa yang trcantum dalam deklarasi human raights
bu segini saja komenternya,bagi bagi dong ilmu yang dari
USA.Makacihhhhhhhhhh..NIm.06400135
Comment Number:
83
Ditulis oleh:

Surya perdana
Pada tanggal:
19 March 2008 jam 23:09

NIm :06400152
Ass..BuCekli..
komentar saya tentang Universalitas HAM dalam undang undang 1945,yaitu undang undang
1945 secara tersurat menyatakan kalau hak asasi manusia itu diperuntukan bagi setiap warga
negara indonesia akan tetapi sekarang ada undang undang no 39 tahun 1999 tentang human
raight yang lebih mempertegas seperti dalam pasal 1 ayat 1 yang berisi
Hak Asasi Manusia adalah seprearangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Mha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukun, Pemerintahan, dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
disini jelas bahwa yang menjadi objek perlindungan hak asasi manusia bukan warga negara
RI saja tetapi setiap orang sejak ia dilahirkan sampai mati.serta dijelaskan juga dalam pasal 3
ayat 1,2,3.
sedangkan menurut DUHAM hak asasi manusia it adalah Hak Asasi Manusia adalah
seprearangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tugas
Yang Mha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara hukun, Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia dengan menimbang bahwa mengabaikan dan
memandang rendah hak-hak asasi manusia telah mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis
yang menimbulkan rasa kemarahan hati nurani umat manusia, dan terbentuknya suatu dunia
tempat manusia akan mengecap kenikmatan kebebasan berbicara dan beragama serta
kebebasan dari ketakutan dan kekurangan telah dinyatakan sebagai cita-cita tertinggi dari
rakyat biasa,
Menimbang bahwa hak-hak asasi manusia perlu dilindungi oleh peraturan hukum supaya
orang tidak akan terpaksa memilih pemberontakan sebagai usaha terakhir guna menentang
kelaliman dan penindasan,
Menimbang bahwa pembangunan hubungan persahabatan antara negara-negara perlu
digalakkan,
Menimbang bahwa bangsa-bangsa dari Perserikatan Bangsa-Bangsa sekali lagi telah
menyatakan di dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa kepercayaan mereka akan hak-hak
dasar dari manusia, akan martabat dan nilai seseorang manusia dan akan hak-hak yang sama
dari pria maupun wanita, dan telah bertekad untuk menggalakkan kemajuan sosial dan taraf
hidup yang lebih baik di dalam kemerdekaan yang lebih luas,

Menimbang bahwa Negara-Negara Anggota telah berjanji untuk mencapai kemajuan dalam
penghargaan dan penghormatan umum terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasankebebasan asasi, dengan bekerjasama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa,
dengan mengacu pada universal deklarations of reight.
sedangkan menurut undang undang no 26 tahun 2000 mengenai peradilan ham yaitu
menyangkut wewenang dari perdilan ham yang ditegas kan dalam pasal 2 tentang kedudukan
dan kedudukan pengadilan ham serta pasal 4,5,6,7,8,9 tentang kewenangan pengdilan ham
yang hanya berwenang menangani kasus ham berat seperti tindakan genocida.
hanya ini bu yang bisa saya komentari tentang universalitas hak asasi manusia..bu mohon
bimbingannya ya.agar saya bisa jadi pakar hukum yang mampu membawa hukum di
indonesia lebih baik lagi dari sekarang.Amindoain ya bu.makacihhhh.
Comment Number:
84
Ditulis oleh:
agung permadi sindhi
Pada tanggal:
20 March 2008 jam 21:19

Agung Permadi Sindhi


06400148
Fak. Hukum
ass bu cekli
Menurut saya, hak asasi manusia merupakan hak dasar yang sudah melekat pada manusia
semenjak manusia itu ada dan hidup di dunia Dan juga hak asasi yang dimiliki oleh manusia
itu harus di akui oleh dunia scara universal. Hal yang seperti ini, biasanya negara - negara
yang menganggap dirinya sebagai negara hukum, mengutamakan Hak Asasi manusia yaitu
dengan melindungi, menghormati,menjaga hak hak dasar yang dimiliki oleh manusia.
Mengutip tentang prinsip universalitas, bahwa prinsip universalitas itu sendiri sangat erat
hubungannya dengan HAM yang dapat diartikan bahwa setiap individu atau orang memiliki
kesamaan terhadap ras, agama, suku bangsa, jenis kelamin dan juga adanya kesetaraan dan
kemerdekaan . Jadi dari prinsip universailtas tersebut jelas bahwa HAM harus dilindungi
secara utuh. Akan Tetapi kemungkinan yang pasti akan terjadi, adanya orang atau individu
yang akan melanggarnya baik hanya di satu tempat saja maupun didunia.
Di Indonesia sendiri juga keberadaan HAM juga menjadi sesuatu yang sangat penting. Ini
jelas seperti yang tercantum di dalam Undang - undang No.39 tahun 1999 pasal 1, Hak Asasi

Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia, dan juga yang terdapat pada
pasal 3, bahwa Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
manusia, tanpa diskriminasi.
Demikian pula pada Undang - undang No.26 tahun 2000 pada pasal 1, dikatakan bahwa hak
asasi menusia merupakan hak dasar secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat
universal dan langgeng , oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak
boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh sipapun.
Jadi, mengingat tentang Hak Asasi Manusia menjadi sesuatu hal yang penting, maka seluruh
dunia wjib dan harus melindungi dari adanya HAM tersebut. Secara tidak langsung memang
benar bahwa negara yang menganggap dirinya sbagai negara hukum mengutamakan hak
asasi manusia yaitu dengan melindungi, menghormati, serta menjaga hak dasar yang dimiliki
oleh manusia. Akan tetapi saya masih ragu, apakah benar negara hukum tersebut memang
mengutamakan Hak Asasi manusia dan juga apakah kepastiannya sudah final dan tak perlu
diragukan lagi.?
Bu cekli., cuma itu koment dari saya, Tapi saya juga minta bantuan mengenai
pertanyaan saya, coz saya misah ragu dengan hubungannya HAM denga negara hukum.
Trima kasih. =)
Comment Number:
85
Ditulis oleh:
wisnu wibowo
Pada tanggal:
22 February 2009 jam 14:00

jika kita membahas konsep HAM sesuai dengan DUHAM, memang saat ini terjadi
pertentangan tentang asas universalitas.
Deklarasi DUHAM merupakan suatu deklarasi internasional yang memiliki legally binding
yang mengikat kepada seluruh negara yang menandatanganinya, termasuk Indonesia. Seperti
yang kita ketahui bahwa Indonesia telah melakukan ratifikasi deklarasi DUHAM tersebut ke
dalam peraturan perundang-undangan UU RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
dan Undang-undang lain. Tetapi jika kita membahas masalah asas universalitas daripada
HAM tersebut, kita juga harus melihat bangsa dan negara kita yang bersifat kepalauan dan
terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Jika kita pelajari tentang kesukubangsaan yang ada
akan kita temui adanya suatu pluralisme hukum yang ada, dimana hukum disini berfungsi
sebagai pembatas hak asasi manusia seseorang agar tidak melanggar hak asasi orang lain.
Pluralisme hukum ada di setiap komunitas, yang akan memberikan hak untuk menentukan

pilihan hukum mana yang akan seseorang pilih dalam menyelesaikan sengketanya dengan
orang lain. terdapat sebuah teori yang berlaku di Asia yaitu cultural relativity theory, dimana
pakar nya Donnelly. yang menekankan bahwa universalitas HAM tergatung pula kepada
budaya dimana Ham itu ditegakkan. Salah satu paribahasa kita Dimana bumi dipijak disitu
Langit dijunjung
Sumber : Koespramono Irsan, dkk.2008. Hak Asasi Manusia dan Kepolisian.Jakarta : PTIK
Press.
Comment Number:
86
Ditulis oleh:
bima adhyatma
Pada tanggal:
18 March 2009 jam 14:23

komentar saya..
memang benar mengenai asas universalitas sangat perlu dipertanyakan karna keadaan
masyarakat ataupun negara negara di dunia yang tak akan sama. dapat dilihat dari segala hal,
baik itu dari kultur budaya, sosial politik, hankam dan sistem hukum dll.
namun jika hal itu adalah sesuatu yang dipaksakan. akan berbeda apabila asas universalitas
tsb hanya diteerapkan pada negara negara yang mau meratifikasi atau telah menyetujui
DUHAM tsb.
negara negara anggota PBB, khususnya yang ikut serta dalam perumusan dan diskusi dalam
pembuatan DUHAM tsb memang tidak akan atau dapat dikatakan bahwa mereka tak akan
mengalami kesulitan dalam menerapkanya di negara mereka. itu dapat dikarenakan mereka
telah memasukkan keinginan dan membuang yang akan menjadi kendala, sementara itu
berbeda halnya dengan negara yang tidak mengikuti dalam pembuatan DUHAM tsb,
contohnya indonesia, yang tidak ikut andil dalam DUHAM. namun itu jika indonesia
menerapkan secara utuh aturan2 yang ada dalam DUHAM tsb.
namun dapat dilihat disini bahwasanya PBB dalam hal ini tidak terlalu memaksakan kepada
setiap negara untuk menerapkan DUHAM di negaranya masing2. namun apabila ada negara
yang ingin menerapkanya maka negara tersebut dapat meratifikasi DUHAM untuk kemudian
dijadikan sebagai aturan hukum di negaranya.
indonesia, dalam hal ini telah meratifikasi DUHAM dan menjadikanya dalam suatu peraturan
perundang-undangan, tentu saja indonesia tidak serta merta menerapkan DUHAM tsb secara
utuh, melainkan melakukan harmonisasi dengan hukum,budaya,sosial,politik dll yang ada di
indonesia. dan juga tentunya indonesia telah memasukkan instrumen-instrumen nasional
kedalamnya.sehingga dalam penerapanya nanti tidak akan terjadi kendala yang akan
menghambat.
Comment Number:

87
Ditulis oleh:
Leni Bahesti
Pada tanggal:
18 March 2009 jam 21:04

Jika membicarakan mengenai universalitas HAM tentunya tidak akan pernah lepas dari suatu
perdebatan adanya suatu pandangan dari beberapa orang atau individu terhadap HAM itu
sendiri.Sepintas definisi dari pada universalitas HAM adalah setiap orang punya kesamaan
hak tanpa harus ada perbedaan suku,agama,budaya,jenis kelamin,bahasa dan lain
sebagainya.Karena HAM itu sendiri ialah hak yang diakui secara universal karena hak yang
melekat pada manusia sebagai kodratnya dan martabatnya dan perolehannya bukan diberi
dari negara atau pemerintah melainkan ia lahir murni dari diri manusia yang diberikan oleh
tuhan.
Banyak sebagian negara yang ikut dalam partisipasinya untuk melindungi sebuah adanya
HAM melalui DUHAM.Namun jika diteliti kembali banyak adanya suatu keraguan di
dalamnya mengenai parisipasi atau hanya sekedar follower yang dilakukan oleh banyak
negara yang ikut di dalamnya.Menurut hemat saya,deklarasi tersebut hanyalah sebuah ajang
keikut sertaan di beberapa negara agar negara tersebut dapat dipandang bahwa negara
tersebut secara real melindungi hak-hak yang melekat pada setiap orang. Akan tetapi pada
kenyataanya pendeklarasian tersebut masih minim di dalam prakteknya.Dan mungkin di
kebanyakan di beberapa negara ada yang ikut pendeklarasian namun tidak ikut untuk
merumuskan isinya sehingga bagi negara tersebut berpandangan akan sedikit tanggung jawab
yang diembannya hanya karena tidak ikut merumuskan isi dari pada deklarasi
tersebut,kemudian deklarasi tersebut juga hanya sebuah pernyataan umum yang tidak
mengikat kepada negara-negara hukum.
Di dalam deklarasi ini juga bersifat moral binding yang artinya mengikat secara moral
untuk negara-negara peserta saja.Yang mana negara yang ikut serta di dalamnya ingin
dikatakan bahwa deklarasi ini dapat digunakan sebagai standar umum,tolak ukur dan
fundamental norm sebagai pedoman bagi negara internasional.Sedangkan Indonesia sendiri
merupakan negara yang tidak ikut andil dalam peserta perumusan deklarasi HAM.Dan
Indonesia sendiri baru memiliki UU mengenai perlindungan HAM pada tahun 1999,dari sini
dapat disimpulkan bahwa pada waktu itu Indonesia masih memandang banyak adanya
pelanggaran HAM sehingga persiapan untuk kedepan masih harus diperdebatkan lagi.Dan
negara Indonesia mempunyai pandangan bahwa sifat dari pada deklarasi tersebut hanya
sebatas pada suatu cerminan negara yang memandang agar negara tersebut menjadi negara
yang berdaulat hukum,bukan kearah penjunjungan,pengakuan,dan penghormatan hak asasi
manusia.Jika memang negara-negara yang ikut dalam perumusan deklarasi tersebut misalnya
Amerika adalah negara yang bisa menghormati adanya hak-hak asasi manusia kenapa sampai
sekarang masih ada peperangan di berbagai negara,dan kekerasan yang timbul karena konflik
kekuasaan?apakah masih pantas negara yang demikian dikatakan negara yang menghormati
hak-hak asasi manusia?

Dan terakhir isi dari kesimpulan diatas menurut saya adalah unversalitas di dalam isi
DUHAM hanyalah sebuah instrument patokan atau ukuran standarisasi umum agar negaranegara yang ikut serta di dalamnya tersebut dapat berpedoman dengan apa yang sudah
disepakati bersama dan dapat diakui di mata dunia internasional.
LENI BAHESTI
06400132 / VI-C
HUKUM DAN HAM
Comment Number:
88
Ditulis oleh:
heri yuli purnomo
Pada tanggal:
18 March 2009 jam 22:47

Silahkan tulis komentar di sini.


menurut pendapat saya,kalau saya melihat dari dari pengertian ,batasan ,ruang lingkup
HAM.hak asasi manusia pada diri manusia karena kodratnya sebagai manusia bersifat
universal.
Melekat artinya in herent, bukan karena pemberian kekuasaan. Universal artinya tidak
membedakan, memandang , ras ,suku , agama, kepercayaan, warna kulit, jenis kelamin, umur
dan lain-lain. kalo kita melihat pengertian tersebut diatas saya berpendapat bahwa suatu hak
asasi manusia itu muncul bukan karena dari kekuasaan (undang-undang)jadi suatu hak asasi
manusia itu merupakan pemberian TUHAN YME undang-undang hanya sebagai penegak
dari HAM apabila terjadi pelanggaran HAM itu terjadi karena pada diri manusia terdapat
aklak yang lemah.
Kalau kita mengacu pada prinsip-prisip hukum dan ham, UNIVERSAL adalah tidak karena
status sebagai warga negara namun melainkan kodratnya sebagai manusia itu sendiri
( CCPR ), yang kedua setiap oramg memiliki hak yang sama (equality) dan tanpa
diskriminasi ( non discrination).Dalm prinsip ini yang lebih ditekankan adalah perbuatannya.
Sebenarnya ketegangan universalitas versus partikularitas penegakan HAM terselesaikan
dengan diratifikasinya Universal Declaration of Human Right (DUHAM), Covenant on Civil
and Political Rights (Perjanjian mengenai Hak-hak Sipil dan Politik), Covenant on Economic,
Social and Cultural Rights (Perjanjian mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) oleh
pemerintah Indonesia. Penerimaan norma-norma internasional itu juga diakomodasikan ke
dalam Perubahan Kedua UUD 1945, dibuatnya Ketetapan (Tap) MPR No.XVII/MPR/1998
tentang HAM, Undang-Undang (UU) No.39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No.26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM. Namun ternyata, mengapa universalitas dan artikularitas
HAM masih saja diembuskan oleh sekelompok masyarakat tertentu? dan saya kira kita semua
sepakat jawabannya pasti karena kepentingan politik orang-orang tertentu yang sarat dengan
kepentingan pribadi.

Menyoal dualisme HAM, universalitas versus partikularitas, tidak lebih merupakan persoalan
substansi dan relevansi HAM itu sendiri.Kita sepertinya melihat ada pertentangan keduanya
dan ini yang sering dimanfaatkan oleh orang-orang dan kelompok-kelompok tertentu untuk
kepentingan pribadi atau golongan .Oleh karena itu, saya menganggap persoalan universalitas
versus partikularitas HAM lebih merupakan persoalan dualitas daripada dualisme. Dualisme
HAM, dua sisi mata koin yang sama, secara analitis memang berbeda tetapi keduanya saling
terkait.
Dimensi universalitas HAM adalah menyangkut isi hak-hak asasi manusia itu sendiri.
Universalitas terletak pada faham bahwa manusia, karena ia manusia, memiliki hak-hak
tertentu
Comment Number:
89
Ditulis oleh:
triyatningsih
Pada tanggal:
19 March 2009 jam 8:23

Mempertanyakan Universalitas HAM


Pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III), Deklarasi Universalitas HAM
diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB. Dan pada tahun itu, bangsa indonesia
masih dalam tahap bangkit dari kondisi yang mengenaskan seusai proklamasi kemerdekaan
atas penjajahan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Namun tidak berarti hal
tersebut membuat Indonesia untuk tidak turut serta meratifikasi Undang-undang yang berisi
30 pasal dan semua isinya berkisar pada isu kebebasan pribadi, kemerdekaan bernegara, hak
untuk hidup, perlindungan dari pengangguran (pasal 23), demokrasi, kebebasan bergerak,
berkomunikasi, berdiam di dalam batas-batas setiap negara, menyampaikan dan menerima
informasi tanpa hambatan, tanpa memandang batas-batas wilayah negara (regardless of
frontiers) melalui segala macam media yang tersedia, memiliki pendapat dan memberikan
pendapat (pasal 13 dan 19). Tetapi kebebasan tiap orang tidak boleh merugikan kebebasan
orang lain (pasal 29 ayat 2). Setiap orang juga berhak atas perlindungan dari pengangguran
(pasal 23). Juga tak seorangpun boleh dirampas hartanya dengan semena-mena (pasal 17).
Dalam setiap pasal yang terdapat dalam Deklarasi Universal hampir selalu didahului oleh
kalimat semua orang, setiap orang, atau tidak seorangpun hal ini menunjukkan bahwa
deklarasi ini bersifat Universal. Dimana tidak terdapat pengecualian pada diri tiap-tiap
manusia untuk mendapatkan hak nya sejajar dengan manusia lainnya.
Namun sejujurnya, saya juga merasa ragu dengan asas universalitas yang di cetuskan,
dirumuskan dan disah kan oleh PBB tersebut. Nyatanya PBB yang mencetuskan DUHAM
justru sering melanggarnya sendiri atas kehendak Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.
Pada level internasional tak ada demokrasi karena hanya 5 negara yang mempunyai hak veto
di PBB. AS dan Inggris misalnya, dengan leluasa merampas harta negara-negara lain atas

dukungan PBB. Seperti misalnya, melucuti dan memusnahkan persenjataan Irak. Hanya AS
dan sekutu-sekutunya yang boleh memiliki senjata nuklir. Negara-negara lain tidak boleh
memiliki harta berupa senjata seperti itu (melanggar pasal 17 DUHAM). Juga Indonesia yang
saat ini praktis telah dijajah oleh AS dan sekutu-sekutunya. Paling tidak, semua keinginan AS
cs harus dipatuhi oleh Indonesia. Misalnya saja pemerintah Indonesia selalu menyatakan
Indonesia bukan sarang teroris. Tetapi Perpu anti terorisme cenderung membantah pernyataan
pemerintah itu dan membenarkan tudingan AS cs. Padahal dalam Deklarasi Universal HAM
telah dengan nyata menyabutkan bahwasanya Semua orang dilahirkan merdeka dan
mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Dan pelanggaran-pelanggaran hak manusia
tidak hanya dilakukan oleh PBB dan para sekutunya saja. Negara kita, Indonesia tercinta ini
juga merupakan sebuah negara yang telah ikut meratifikasi DUHAM serta mengesahkan
Undang-Undang HAM no. 39 pada tahun 1999 juga masih melakukan banyak pelanggaran
atas HAM. Hal itu jelas kelihatan pada kasus DOM di Aceh, kasus Tanjung Priok. Kasus
Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II, kasus Timika, kasus pembunuhan Ketua Dewan Papua,
kasus-kasus tahanan politik dan kasus-kasus penghilangan/ penculikan orang terutama pada
zaman Orde Baru dan kasus Marsinah. Lembaga-lembaga HAM memang berjuang matimatian menegakkan HAM. Tetapi seakan-akan terbentur pada tembok raksasa yang amat
kuat. Lembaga-lembaga HAM sering mengungkap kejahatan kemanusiaan di Indonesia
seperti itu. Tetapi hampir selalu gagal membawanya ke pengadilan HAM, karena itu tadi,
selalu terbentur tembok besar yang sangat kuat. Lagi pula supremasi hukum seakan-akan
sudah menjadi alat pelanggaran HAM.
Comment Number:
90
Ditulis oleh:
retno febriyanti / 06400187
Pada tanggal:
19 March 2009 jam 9:10

Silahkan tulis komentar di sini.


Deklarasi Universal of Hak Asasi Manusia(DUHAM), Diterima dan diumumkan oleh Majelis
Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III).
Majelis Umum, Memproklamasikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai suatu
standar umum untuk keberhasilan bagi semua bangsa dan semua negara, dengan tujuan agar
setiap orang dan setiap badan di dalam masyarakat, dengan senantiasa mengingat Deklarasi
ini, akan berusaha dengan cara mengajarkan dan memberikan pendidikan guna
menggalakkan penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan tersebut, dan dengan
jalan tindakan-tindakan yang progresif yang bersifat nasional maupun internasional,
menjamin pengakuan dan penghormatannnya yang
universal dan efektif, baik oleh bangsa-bangsa dari Negara-negara Anggota sendiri maupun
oleh

bangsa-bangsa dari wilayah-wilayah yang ada di bawah kekuasaan hukum mereka. hak asasi
manusia dipandang sebagai norma-norma yang penting. Meski tidak seluruhnya bersifat
mutlak dan tanpa perkecualian, hak asasi manusia cukup kuat kedudukannya sebagai
pertimbangan normatif untuk diberlakukan di dalam benturan dengan norma-norma nasional
yang bertentangan, dan untuk membenarkan aksi internasional yang dilakukan demi hak asasi
manusia. Hak-hak yang dijabarkan di dalam Deklarasi tersebut tidak disusun menurut
prioritas; bobot relatifnya tidak disebut. Tidak dinyatakan bahwa beberapa di antaranya
bersifat absolut.Deklarasi Universal menyatakan bahwa hak-hak ini berakar di dalam
martabat dan harkat manusia, serta di dalam syarat-syarat perdamaian dan keamanan
domestik maupun internasional. Dalam penyebarluasan Deklarasi Universal sebagai sebuah.
standar pencapaian yang bersifat umum, PBB tidak bermaksud untuk menjabarkan hak-hak
yang telah diakui di mana-mana atau untuk mengundangkan hak-hak ini di dalam hukum
intemasional. Justru Deklarasi tersebut mencoba untuk mengajukan norma-norma yang ada di
dalam moralitas-moralitas yang sudah mengalami pencerahan. Meski tujuan sejumlah besar
partisipan Deklarasi itu adalah untuk menampilkan hak-hak ini di dalam sistem hukum
domestik maupun internasional, hak tersebut dipandang bukan sebagai hak-hak hukum
melainkan sebagai hak-hak moral yang berlaku secara universal.Alasan optimisme yang bisa
dipakai untuk menilai deklarasi ini ialah kecenderungan negara-negara menganut paham
demokrasi sebagai pilar kehidupan politik. Sejak runtuhnya kekuasaan komunisme, lebih satu
dekade lalu, puluhan negara berubah wajah menjadi negara demokratis. Jika realitas ini
dipakai sebagai patron, Deklarasi Universal HAM 1948 kian sah ke depan sebab nilai-nilai
HAM hanya bisa bersemai dalam lahan demokrasi.
Comment Number:
91
Ditulis oleh:
Mariana ulfa
Pada tanggal:
19 March 2009 jam 9:20

NAMA :MARIANA ULFA


KELAS :VI D
NIM :06400226
UNIVERSALITAS HAM
DUHAM (Deklarasi Universal HAM) dapat dijadikan acuan penegakan HAM sekalipun
banyak negara tau masyarakat yang meragukan kekuatan mengikat DUHAM secara universal
karena aspek keabsahan dari DUHAM itu sendiri maupun dari sifatnya seperti yang ditulis
oleh penulis. Adapun yang dimaksud aspek keabsahan adalah ketidakturutan negara-negara
dalam perumusan substansi DUHAM. DUHAM diterima oleh Majelis PBB pada tanggal 10
Desember 1948. adapun yang dimaksud dengan sifat nyata dan terbukti disini adalah bahwa

DUHAM telah dijadikan dasar keputusan yang diambil oleh Majelis PBB juga menjadi dasar
pembuatan instrumen Internasional , perjanjian-perjanjian Internasional , dll. Alasan
dilaksanakan DUHAM adalah adanya banyak pelanggaran-pelanggaran terhadap Hak Asasi
Manusia ( seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi,
dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindunga harkat dan martabat manusia ) , misalkan saja adanya penyiksaan san perlakuan /
penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi selain itu memandang rendah martabat
manusia yang masih banyak terjadi di berbagai dunia. Dapat dijadikan contoh negara kita
sendiri, Negara Indonesia. Negara ini tidak itkut merumuskan substansi DUHAM karena
kondisi negara pada saat itu sedang tidak memungkinkan ( negara sedang dalam kondisi tidak
aman ), namun Indonesia turut meratifikasi DUHAM tersebut karena Indonesia adalah negara
hukum yang mengakui adanya penegakan HAM. Indonesia juga mempunyai UUHAM yaitu
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dijadikan acuan dalam penegakan
hukum di Negara Republik Indonesia. Selain itu, Indonesia juga termasuk dalam masyarakat
Internasional yang tentunya mematuhi aturan hukum yang berlaku secara Internasional untuk
mewujudkan kesejahteraan dan ketertiban masyarakat. Tentang pelanggaran-pelanggaran
HAM yang banyak terjadi adalah karena masyarakat itu sendiri. Diperlukan adanya
kesadaran dari diri masyarakat itu sendiri untuk menghargai dan menghormati Hak-Hak dari
masyarakat yang lain juga peran serta dari masyarakat untuk mewujudkan konsep dari
DUHAM tersebut.
Comment Number:
92
Ditulis oleh:
melarita endrias(07400043)
Pada tanggal:
28 March 2010 jam 18:31

adakah sebuah aturan yang melahirkan diskriminasi?


dalam hal ini saya mengangkat topik tentang pernikahan, yaitu yang peraturanya telah diatur
dalam undang-undang pernikahan no 1 tahun 74, yang mana hingga saat ini pernikahan antar
beda agama masih belum dapat dilakukan di Indonesia mengacu pada pasal 1 UU tahun 1974
adalah Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan pasal 2 adalah
(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing masing agama dan
kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
berdasarkan 2 pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat Indonesia adalah
mayoritas beragamakan islam yang menuntut pernikahan yang satu agama. dan karena

kebudayaan yang melekat pada masing-masing individu untuk menerapkan budaya tersebut,
oleh sebab itu banyak tejadi fenomena pindah agama untuk melangsungkan pernikahan
tersebut. namun, pada hakekatnya pernikahan merupakan hak yang hakiki setiap manusia,
namun karena telah diatur oleh UU dan kebudayaan itu sendiri yang seolah membatasi setiap
individu untuk melangsungkan pernikahan.
terkadang individu yang melangsungkan pernikahannya tetap dengan kepercayaan mereka
masing dengan cara menikah di luar negeri. namun pada faktanya, biaya ke luar negeri
amatlah sangat mahal. oleh karena itu mereaka berinisiatif untuk mengganti status agama
mereka dalam KTP (kartu Tanda Penduduk) hanya sebagai formalitas agar pernikahan
mereka lancar.
hal ini adalah sebagai contoh limitnya hak mereka untuk melaksanakan pernikahan yang
terkandunng dalam UU pasal 1 dan 2 tahun 1974.
Comment Number:
93
Ditulis oleh:
zainul afriansyah (07400180)
Pada tanggal:
31 March 2010 jam 14:59

Bahwa perumusan ulang terhadap pasal 156 dan 157 KUHP melalui Pasal 286 dan 287
Rancangan KUHP secara umum kurang memadai jika dilihat dari konteks perkembangan
norma-norma hukum internasional, perkembangan KUHP-KUHP di negara lain yang
memiliki akar kesejarahan yang sama dengan KUHP Indonesia, maupun wacana hukum
ditingkat nasional di mana diskursus mengenai diskriminasi rasial telah mengerucut pada
sebuah rancangan undang-undang. Dalam kerangka perbaikan atas kebijakan kriminalisasi
dan penyempurnaan rumusan pasal dalam Rancangan KUHP, beberapa usulan pemikiran
akan dipaparkan dalam beberapa bagian melalui uraian di bawah ini. Diperlukan keberanian
untuk melakukan pembongkaran konstruksi perumusan perbuatan pidana dengan
menempatkan perkembangan norma internasional mengenai diskriminasi rasial secara lebih
utuh. Bahwa konsep legal mengenai cakupan diskriminasi dalam hukum nasional pasti
beragam dan bergantung dengan wawasan politik kebijakan masing-masing negara, namun
harus diingat dalam hal prinsip-prinsip umum telah terdapat beberapa acuan yang bisa dilihat
dari perkembangan norma internasional yang mengatur mengenai penghapusan segala bentuk
praktik diskriminasi rasial. Hukum mengenai diskriminasi hanya akan efektif jika acuannya
untuk disepakati dengan berbagai bentuk inequalities yang dikembangkan dalam masyarakat
yang akan dijadikan acuan.
Pada tahun 1965 melalui Undang-undang Nomor 29 Tahun 1999 Indonesia. Konsekwensi
logisnya adalah bahwa Indonesia sebagai negara pihak akan mematuhi perintah-perintah
konvensi baik dalam tataran pelembagaan hukumdomestiknya maupun pada aspek-aspek
administrasi pelaksanaannya. Bahwa Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Praktik

Diskriminasi Rasial memuat lima perbuatan inti yang seharusnya dimuat dalam hukum
pidana nasional, negara pihak: penyebaran pemikiran yang berdasarkan atas supremasi ras
atau kebencian; hasutan untuk melakukan diskriminasi rasial; hasutan melakukan kekerasan
terhadap ras kelompok perorangan dari warna kulit atau asal usul etnik yang lain; pemberian
bantuan terhadap kegiatan-kegiatan rasis; dan partisipasi dalam organisasi-organisasi atau
kegiatan-kegiatan yang rasis. Sedangkan KUHP yang saat ini berlaku dan Rancangan KUHP
hanya mengatur perbuatan mengenai pernyataan dan penyebarluasan perasaan permusuhan,
kebencian, dan penghinaan. Bahwa perumusan ulang terhadap pasal 156 dan 157 KUHP
melalui Pasal 286 dan 287 Rancangan KUHP secara umum kurang memadai jika dilihat dari
konteks perkembangan norma-norma hukum internasional, perkembangan KUHP-KUHP
dinegara lain yang memiliki akar kesejarahan yang sama dengan KUHP Indonesia.
Menyimak rumusan pada Pasal 286 dan 287 Rancangan KUHP, disimpulkan bahwa:
Pertama, adanya kecenderungan tidak berubahnya konstruksi perbuatan dalam Pasal 286 dan
Pasal 287 Rancangan KUHP, artinya dalam hal ini tim perumus Rancangan KUHP kurang
merespon perkembangan diluar garis berpikir KUHP yang saat ini berlaku.Kedua, beberapa
perubahan yang dilakukan pada Pasal 286 dan Pasal 287 Rancangan KUHP khususnya
mengenai perluasan perbuatan tidak signifikan sebagai sebuah perkembangan yang lebih
maju dari KUHP yang saat ini berlaku. Ketiga, bahwa Pasal 286 dan Pasal 287 Rancangan
KUHP yang dikonstruksikan sebagai delik materiil adalah kurang tepat jika dipahami sebagai
salah satu langkah pendemokrasian pasal yang dikategorikan sebagai delik hatzaaiartikelen.
Bahwa pertimbangan demokratisasi pasal-pasal hatzaai artikelen tidak serta merta harus
berbanding lurus dengan cara perumusannya menjadi delik materiil sebagaimana Pasal286
dan 287 dirumuskan. Dalam hal ini argumen yang dibangun para perumus Rancangan KUHP
tidak tepat, tim perumus dalam hal ini tidak melihat konteks permasalahan kepentingan yang
akan dilindungi oleh sebuah tindak pidana, sebagai salah satu bobot pertimbangan yang
cukup krusial untuk menentukan cakupan perbuatan apa saja yang akan diatur berikut
sanksinya serta bagaimana merumuskannya agar sarana pidana berdayaguna dalam
memerangi perbuatan-perbuatan diskriminasi rasial. Keempat, Konstruksi delik materiil tidak
tepat pula diletakkan dalam kerangka bobot kejahatan tindak pidana diskriminasi rasial, di
mana tingkat ancamannya bagi tertib sosial kemasyarakatan, sebagai salah satu perbuatan
yang merupakan musuh semua umat manusia adalah termasuk kategori berat. Kelima,
karakter khusus seperti bobot ancaman dari perbuatan-perbuatan yang termasuk sebagai
praktik diskriminasi rasial yang memiliki karakter sebagai norma internasional jus cogens
sepertinya tidak cukup kuat diperhitungkan dalam pertimbangan untuk merumuskan tindak
pidana dalam Rancangan KUHP.
Comment Number:
94
Ditulis oleh:
m.adib(07400011)
Pada tanggal:

31 March 2010 jam 15:30

Bangsa Indonesia yakin bahwa kemerdekaan yang dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus
1945 bukan semata-mata perjuangan rakyat, namun semua itu tidak akan pernah terwujud
jika Tuham Yang Maha Kuasa tidak menghendakinya dan Kemudian dalam batang tubuh
UUD 1945 Pasal 29 diperkuat lagi pengakuan negara atas kekuatan Tuhan Dengan melihat
ketentuan tersebut bukan berarti Indonesia adalah negara agama atau negara yang didasarkan
pada agama tertentu UUD 1945 berlaku dan setelah diamandemen 4 kali, dalam Penjelasan
UUD 1945 tetap dinyatakan secara tegas bahwa:Indonesia adalah negara hukum (rerchstaat)
bukan negara kekuasaan (maachstaat). Jadi jelas bahwa Indonesia bukan negara agama
melainkkan negara hukum.bahwa Undang-Undang dibuat oleh lembaga legislatif yaitu
Dewan Perwakilan Rakyat, dan Anggota DPR terdiri dari berbagai suku, etnis, agama, jenis
kelamin dan sebagainya. Hukum di Indonesia tidak diabuat oleh kelompok agama. Jadi
agama tidak pernah mengatur negara, begitu juga sebaliknya negara tidak semestinya
mengatur kehidupan beragama seseorang.
Comment Number:
95
Ditulis oleh:
imam sayuti
Pada tanggal:
31 March 2010 jam 19:02

Sejauh ini terdapat empat macam pandangan tentang HAM yang berkembang dalam
masyarakat Indonesia. Pertama, pandangan universal absolut yang menganggap bahwa nilainilai HAM bersifat universal sehingga implementasinya tanpa harus memperhitungkan
kondisi-kondisi sosial budaya lokal setempat. Kedua, pandangan universal relatif yang
melihat HAM selain sebagai persoalan universal namun demikian masih harus
memperhitungkan aturan-aturan internasional yang sudah berlaku sebelumnya. Ketiga,
pandangan partikularistik absolut yang memaknai HAM sebagai persoalan masing-masing
bangsa yang tidak dapat dicampuri oleh negara-negara lain. Pandangan ini sering
menimbulkan kesan antara lain chauvinistik dan egoistik. Keempat, pandangan partikularistik
relatif, yang melihat HAM selain sebagai nilai-nilai universal juga merupakan masalah
masyarakat setempat dalam arti dalam penerapannya masih harus memperhatikan kondisi
sosial budaya lokal.
Terlepas dari keempat pandangan tersebut, implementasi nilai-nilai HAM yang
universalitistik dalam realitanya pasti akan mengalami proses persentuhan dengan nilai-nilai
budaya lokal yang masih bercorak tradisional. Agar dalam proses persentuhan tersebut tidak
menimbulkan konflik-konflik peradaban maka sudah seharusnya nilai-nilai HAM bertumpu
pula pada konsep pluralisme budaya. Sebab, dalam konsep pluralisme budaya terdapat makna

pengakuan dan apresiasi yang sama terhadap eskistensi setiap nilai-nilai budaya dari
masyarakat mana pun.
Meskipun demikian, secara empirik faham pluralisme akan menghapadi paling tidak tiga
bentuk reaksi, yaitu (1) etnosentrisme adalah bentuk reaksi yang tidak mau tahu tentang nilai
budaya lain dan kebenaran hanya ada pada nilai-nilai budaya sendiri, pandangan ini bisa
disebut juga sebagai fundamentalisme budaya; (2) relativisme budaya adalah bentuk reaksi
yang menganggap bahwa setiap nilai-nilai budaya pada dasarnya baik dan cocok bagi
pendukungnya. Namun sekiranya nilai-nilai budaya lain dianggap baik dan cocok dengan
nilai budaya sendiri tidak ada salahnya jika nilai-nilai budaya tersebut dicerap dan begitu pula
sebaliknya; (3) sinkretisme budaya merupakan reaksi yang mencampur adukkan semua nilainilai budaya yang ada sebagai satu-satunya referensi. Hal ini berbeda dengan relativisme
budaya, disini seakan telah terjadi proses dialektis karena sosok masing-masing nilai-nilai
budaya tidak tampak lagi tapi berubah menjadi sosok budaya baru.
Comment Number:
96
Ditulis oleh:
bayu mandiri
Pada tanggal:
31 March 2010 jam 22:53

Pada tahun 1948, umat manusia di bumi ini untuk pertama kali
memproklamasikan penghormatan dan keyakinan mereka tentang Hak-hak Asasi
Manusia (HAM). Seluruh bangsa bersepakat untuk mendeklarasikan kesamaan martabat,
nilai dan pengakuan bahwa setiap manusia di bumi ini memiliki hak-hak yang sama, tidak
peduli jenis kelamin, lelaki atau perempuan, tanpa membedakan warna kulitnya, merah,
coklat, putih ataukah hitam. Hak asasi yang berlaku bagi semua, apakah bangsa besar,
kaya dan maju, ataukah dari bangsa kecil, terbelakang, miskin dan primitif. Saat itulah
mereka bersepakat untuk membuat bumi menjadi lebih manusiawi, humanis dan egaliter
dengan penghormatan terhadap hak-hak kemanusiaan yang paling dasar.
Saat ini, setelah Deklarasi HAM Universal digaungkan lebih dari setengah abad,
konsep-konsep HAM telah memasuki seluruh sendi kehidupan umat manusia. Dalam
tataran apapun, kita pasti akan menemukan perbincangan mengenai HAM, yang universal
dan yang bersifat borderless (tanpa batas). Setiap bangsa didunia, setiap titik singgung
budaya ataupun setiap diskursus mengenai kebebasan dan keadilan semesta, HAM selalu
menjadi awal pijakan. Kebebasan untuk berbicara dan mengemukakan pendapat,
kebebasan dari rasa takut, kebebasan dari penindasan sampai pada kebebasan yang paling
dasar: untuk hidup dan menentukan nasib sendiri, adalah anak-anak yang lahir dari rahim
seorang wanita yang bernama HAM.

Ideal yang berubah


Sayang, dalam perkembangan selanjutnya, konsep-konsep HAM yang universal,
agung dan luhur tersebut mengalami kekacauan identifikasi dan menghadiahkan kepada
manusia suatu ruang dan waktu dimana telah terjadi kekeliruan kecil peradaban. Secara
sederhana dapat dikatakan kalau HAM telah mengalami utopia tata global yang hanyalah
khayalan hampa (Picht, 1980).
Perkembangan HAM universal inisalah arah, salah kaprah dan berbahaya karena
HAM telah memposisikan diri sebagai sesuatu yang latenbahkan dikatakan oleh
Gustavo Esteva dan Madhu Suri Prakash sebagai kuda Troya rekolonisasi, memang dapat
diibaratkan membawa manusia ke dalam lumpur kebebasan di tengah padang. Dengan
predikat sebagai agama baru, sebagai agama sipil, karena konsep dan tata nilai berdaya
ikat tinggi tersebut mengikat secara semesta seluruh umat manusia, HAM muncul sebagai
kekuatan baru yang tak terbendung dan menyerbu dengan senjata globalisasi.
Beberapa hal berikut akan memperlihatkan mengapa HAM telah kehilangan
idealnya, serta perlu dikaji ulang.
Pertama, konsep universal HAM sendiri, sebenarnya perlu dirumuskan ulang
terlebih dahulu. Apakah HAM itu benar-benar universal? Pollis dan Schwab, penganut
relativisme kultural dan pengkritik HAM universal, mengatakan bahwa karena secara
historis HAM muncul di Eropa Barat dan Amerika Utara, maka HAM pada dasarnya
terkait dengandan memang terbatas padakonsep-konsep kultural dan filosofis dari
tradisi oksidental. Jadi, seja lan dengan Huntington (1996), satu-satunya cara untuk
mencapai HAM adalah menerima esensi-esensi Barat dan karenanya beralih secara diamdiam
ke peradaban Barat (Bielefeld t, 2000). Terlepas dari valid tidaknya pendapat
tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa HAM sendiri tidaklah tunggal dan
homogen.
Kedua, penghancuran dan pemusnahan identitas dan tradisi kesukuan jagatmajemuk
(pluriverse) oleh paksaan semesta (universe) yang terkait dengan
monokulturalisme dalam gagasan HAM. Banyak terjadi penindasan global yang terjadi
atas nama HAM, sebagai contoh, terjadi penjajahan budaya karena perluasan makna
HAM di negara-negara ketiga (Asia dan Amerika Latin misalnya), seringkali HAM
menjadi pemerkosa dan perampas hak-hak tradisional kaum adat (bandingkan dengan
pernyataan Rigoberta Menchu, Guatemala) dengan alasan kebudayaan mereka tidak
sesuai dengan nilai-nilai universal umat manusia.
Ketiga, kemenduaan dan pemutarbalikan logika berpikir mengenai konsep HAM.
Saat ini kita berpikir karena sifat HAM yang universal, maka mendorong keberpihakan
bagi seluruh umat manusia terutama kaum lemah dan tertindas, akan tetapi dalam
kenyataannya HAM hanyalah menjadi penjaga bagi kepentingan mereka yang punya
uang, kuasa dan pengaruh. Kerangka hak-hak asasi saat ini telah menjadi kerangkeng
bagi kaum lemah untuk menuntut hak-haknya, karena pemutarbalikan logika terjadi
dengan asumsi hanya negara dan institusi tertentu yang berhak menentukan secara sah

siapa yang melanggar HAM dan siapa yang menjadi pahlawan HAM. Sama ketika
dengan logika HAM, LSM membela anak-anak kelaparan di Aceh, di lain pihak juga
dengan logika HAM seorang komandan militer membela anak buahnya yang melakukan
pembantaian.
Keempat, terkait dengan konsep perekonomian neo-liberal dan pasar yang
didasarkan pada model yang homogen dan semesta sebagai pondasi dari HAM universal.
Penyeragaman suatu mekanisme akan menyebabkan globalisasi di segala bidang
kehidupan dan melalui pembangunan yang hanya berorientasi pada pasar, kaum tertindas
akan kehilangan jam inan hidup (minimal) yang mereka miliki. Hutan-hutan akan
ditebangi, tambang akan digali, adat budaya akan dieksploitasi demi konsumerisme,
sebagai akibat impresi modal lintas -negara (Wilfred, 1998).
Kebutuhan tak berujung-berbatas manusiahomo economicusdalam konteks
universalitas, justru akan mencabut ekonomi dan kebutuhan manusia dari adat istiadat,
komunitas dan budayanya sendiri. Dan ini linier dengan pengingkaran terhadap HAM itu
sendiri.
Membawa HAM ke Jalan Terang
Tentu saja, HAMseperti juga adat budayaadalah sesuatu yang tidak bisa
dilepaskan oleh manusia dalam perjalanan sejarah panjang peradaban yang masih harus
ditempuh. Nilai-nilai monumental dalam HAM yang menyangkut esensi kehadiran
manusia di dunia, misalnya mengutip Kitab Kejadian 1:27 bahwa segenap manusia
adalah sama-sama diciptakan menurut rupa Allah, yang berarti mengakui kedudukan
istimewa seluruh umat manusia yang tidak dapat diambil oleh orang lain, maka HAM
sekali lagi memang telah melekat dalam diri manusia, siapapun dia, dimanapun dia dan
sekalipun dia berbeda dariku.
Oleh karena itu, pemahaman HAM sebagai suatu konsensus lintas budaya,
mengutip pendapat Bielefeldt, adalah syarat mutlak adanya pengertian yang universal.
Artinya, penyampingan esensialisme kultural dalam memahami HAM universal
hendaklah dipahami sebagai bukan penyingkiran. Budaya, sebagai hasil cipta, rasa, dan
karsa manusia mutlak ada, hidup dan dilestarikan dalam HAM universal, mengingat
bahwa justru dengan pelenyapan unsur sosiokultural tertentu, konsep agung dan luhur
HAM akan terjebak dalam situasi bunuh diri.
Dalam konsep lintas budaya, kesetaraan dan kerjasama adalah poin substansial
yang harus menjadi mainstream dalam terbukanya ruang konseptual bagi pluralitas
pandangan, ideologi, agama, keyakinan, doktrin dan hal-hal yang berlainan. Secara
normatif, ketika HAM dipandang sebagai suatu aturan semesta seluruh umat manusia,
maka egosentrisme kesukuan mutlak menepi terlebih dahulu, dengan asumsi HAM
tersebut tidak berlaku sebagai penjajah feodal yang kaku. Ini mengandung permintaan
yang dalam bagi kedua belah pihak, pelaku dan budaya sasaran. Para aktivis HAM

dituntut untuk lebih toleran terhadap pluralisme budaya sasaran, sedang sebaliknya,
pemilik budaya hendaknya tidak membutakan mata terhadap intisari HAM sebenarnya.
Hal lain yang perlu dipikirkan mengenai HAM adalah kembalinya HAM kepada
fokus keadilan legal dan politis. HAM bukanlah etika global yang menangkar semua
hal, atau juga agama sipil yang mengikat secara global. Setiap tradisi, agama dan
keyakinan, adat dan kebiasaan masyarakat tradisional yang selama ini menjadi korban
internasionalisme, hendaklah tidak lagi menjadi sasaran tembak para aktivis -misionaris
HAM.
Namun, dibalik universalisme hak asasi manusia dan kekhususan budaya, suatu
wacana lain yang tak kalah penting adalah pengembalian arti dan keberpihakan HAM
terhadap kaum miskin dan tertindas. Pola pemikiran seperti ini sederhana saja yaitu ketika
HAM dekat dan bersinggungan dengan masalah-masalah praktis dan konkrit, serta
mampu melindungi kaum miskin dan terpinggirkan, ia akan semakin tumbuh dan berarti
dalam universalitasnya.
Akhir kata, ketika HAM telah menemukan jalan terang untuk mengabdi kepada
kemanusiaan, melalui pelestarian tradisi dan adat istiadat serta tata ekonomi global yang
lebih humanis dalam pendekatan praksistidak hanya menjadi budak dan topeng
globalisasimaka HAM akan kembali ke fitrahnya, membuat manusia menjadi manusia.

17

adil bagi setiap individu secara rasional. Menurut teori universalis, HAM
berangkat dari konsep universalisme moral dan kepercayaan akan keberadaan
kode-kode moral universal yang melekat pada seluruh umat manusia.
Universalisme moral meletakkan keberadaan kebenaran moral yang bersifat
lintas budaya dan lintas sejarah yang dapat diidentifikasikan secara rasional. 52
Secara singkat, teori universalis berpandangan bahwa HAM bersifat
universal, sehingga HAM dimiliki oleh individu terlepas dari nilai-nilai atau

budaya yang dimiliki oleh suatu masyarakat atau pun yang ada pada suatu
negara. Oleh karena itu HAM tidak memerlukan pengakuan dari otoritas
manapun, seperti negara atau penguasa tertentu.
Isu relativisme budaya (cultural relativism) baru muncul menjelang akhir
Perang Dingin sebagai respons terhadap klaim universal dari gagasan HAM
internasional. Gagasan tentang relativisme budaya mendalilkan bahwa
kebudayaan merupakan satu-satunya sumber keabsahan hak atau kaidah moral.
Karena itu HAM dianggap perlu dipahami dari konteks kebudayaan masingmasing negara. Semua kebudayaan mempunyai hak hidup serta martabat yang
sama yang harus dihormati. Berdasarkan dalil ini, para pembela gagasan
relativisme budaya menolak universalisasi HAM, apalagi bila ia didominasi oleh
suatu budaya tertentu.53
Teori relativisme budaya pada intinya berpandangan bahwa HAM harus
diletakkan dalam konteks budaya tertentu dan menolak pandangan adanya hak
yang bersifat universal. Dengan perkataan lain HAM harus dilihat dari
perspektif budaya suatu masyarakat atau negara.
Perdebatan di atas dapat dicarikan titik temu dengan cara mengkaji HAM
dilihat dariesensinya danaktualisasinya. Hal ini secara sederhana dapat dimulai
dengan menjelaskan pengertian HAM. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa
pengertian HAM yang sekarang dipahami berasal dari pandangan universalis.
Sebenarnya hingga saat ini belum ada suatu definisi HAM yang baku dan
bersifat otoritatif (mengikat). Berkaitan dengan hal itu, H. Victor Cond
mengatakan bahwa belum ada definisi HAM yang diterima secara universal dan
otoritatif. Banyak yang mendefinisikannya sebagai suatu klaim yang dapat
dipaksakan secara hukum atau hak yang dimiliki oleh manusiavis--vis
pemerintahan negara sebagai perlindungan terhadap martabat manusia yang
bersifat melekat dari manusia.54 Definisi HAM lainnya yang telah dikenal yaitu,
52Ib

id ., hlm. 19.
id ., hlm. 20.
54 H. Victor Cond, A Handbook of International Human Rights Terminology, Lincoln N.E.: University
of Nebraska Press, 1999, hlm. 15. Hal itu dinyatakan sebagai berikut: There is no universally accepted
and authoritative definition of human rights. Many define it as a legally enforceable claim or entitlement
that is held by an individual human beingvis- -vis the state government for the protection of the inherent
human dignity of the human being.
53Ib

18

HAM secara umum dapat didefinisikan sebagai hak-hak yang melekat pada diri
manusia dan tanpa hak tersebut kita tidak dapat hidup sebagai manusia. 55
Berdasarkan kedua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwaesensi HAM
merupakan suatu hal yang bersifatuniversal, mengingat sifatnya yang melekat
(inherent). Konsekuensi dari hal tersebut yaitu, karena HAM merupakan karunia
dari Tuhan dan bukan merupakan pemberian dari orang atau penguasa, maka
orang atau penguasa tersebut tidak berhak untuk merampas atau mencabut HAM
seseorang. Di samping itu, HAM mengatasi batas-batas geografis maupun
adanya perbedaan-perbedaan ras, jenis kelamin, agama, bahasa atau budaya
yang melekat pada diri seseorang.
Sedangkan mengenaiaktualisasi HAM-nya adalah bersifatpartikular,
artinya pelaksanaannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan yang
bersifat lokal. Sifat partikular HAM merupakan kompleksitas HAM yang
multidimensi, artinya HAM mengandung banyak elemen di dalamnya, seperti

politik, hukum, ekonomi, sosial maupun budaya. Oleh karena itu pelaksanaanya
pun disesuaikan dengan elemen-elemen tersebut yang bersifat lokal.
Dengan demikian masalahuniversalitas HAM adalah menyangkutesensi
dari HAM, sedangkanpartikularitas HAM adalah masalahaktualisasi dari
HAM. Kedua hal itu harus dipahami dengan baik, karena pemaknaan yang
keliru terhadap dua masalah tersebut akan menimbulkan pandangan yang salah.
Berkaitan dengan hal di atas, Franz Magnis Suseno berpendapat bahwa:
Antara kontekstualitas dan universalitas HAM tidak ada pertentangan.
Universalitas menyangkut isi HAM, sedangkan kontekstualitas menyangkut
relevansinya. HAM memang berlaku universal, jadi segenap orang harus
diperlakukan sesuai dengan hak-hak itu....
Oleh karena esensi HAM bersifat universal, maka pandangan yang
menyatakan bahwa HAM berasal dari budaya Barat sehingga bertentangan
dengan budaya Timur adalah keliru. Sesunguhnya, persoalan HAM bukanlah
masalah budaya Barat berhadapan dengan budaya Timur, sehingga tesis
yang menghadapkan kedua hal tersebut dan kemudian mempertentangkannya
adalah tidak sesuai dengan sifat melekat dan universal dari HAM.
Dapat dicatat di sini, bahwa revolusi yang tejadi di Inggris, Amerika
Serikat dan Prancis pada abad ke-17 dan ke-18 dapat dianggap sebagai asal-usul
konsep HAM yang modern. Namun demikian hal tersebut tidak berarti bahwa
HAM berasal dari (bangsa) Barat atau Eropa. Berdasarkan fakta sejarah, HAM
muncul karena adanya penindasan terhadap manusia oleh penguasa yang tiran,
sehingga menimbulkan kesadaran menyangkut harkat dan martabat manusia.
The United Nations, Human Rights Questions and Answers, New York; the United Nations
Department of Public Information, 1988, hlm. 4. Yaitu dinyatakan: Human rights could be generally
defined as those rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as human
being.
55

19

Meskipun pengertian HAM baru dirumuskan secara eksplisit pada abad ke-18,
asal mula pendapat dari segi hukum dan prinsip dasarnya sudah lebih dahulu
eksis jauh ke belakang dalam sejarah.

TENTANG HAM
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perjuangan umat manusia untuk merebut krmbali hak-hak asasi yang dibawanya
dari tangan-tangan penguasa tidak saja dimulai sejak Raja John dari Inggris pada
tahun 1215. Perjuangan tersebut telah dirintis dan diperjuangkan oleh para Nabi
dan utusan Allah dengan gigihnya beberapa ribu tahun sebelum masehi.
Ssesungguhnya, bahwa seluruh Rasul Allah dan Para Nabi, baik yang namanya
disebut dalam Al-Quran ataupun yang tidak disebutkan semuanya adalah
pejuang-pejuang penegak hak-hak asasi manusia yang paling gigih. Mereka tidak

sekedar membawa serangkaian pernyataan-pernyataan akan hak asasi manusia


sebagaimana yang termuat dalam Kitab suci seperti Zabur, Taurat, Injil, dan AlQuran. Akan tetapi sekaligus memperjuangkannya dengan penuh kesungguhan
dan pengorbanan.
B. Rumusan Masalah
Penulis hanya membatasi pada pembahasan: Hak asasi Mnusia dalam
pandangan Islam yang termuat didalamnya mengenai pengertian Hak asasi
manusia, Konsep Hak asai manusia dalam Islam, Perbedaan Konsep HAM barat
dengan Islam, Piagam Madinah.
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui arti atau definisi hak asasi manusia
1. Mengetahui sejarah hak asasi manusia dalam Islam
2. Memahami perbedaan konsep HAM antara Barat dengan Islam
3. Mengetahui Sejaran Piagam Madinah

BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian HAM
Hak asasi manusia adalah hak - hak yang dipunyai semua orang sesuai dengan
kondisi yang manusiawi. Hak mnusia adalah hak manusia yang paling mendasar
dan melekat padanya dimanapun ia berada, hak manusia adalah suatu tuntunan
yang secrara moral dapat dipertanggungjawabkan,seseuatu hal yang sewajarnya
mendapat perlindungan hukum.
Hak asasi dalam islam berbeda dengan hak asasi menurut pengrtian yang umum
di kenal.Sebab seluruh hak merupakan kewajiban bagi Negara maupun individu
yang tidak boleh di ababikan. Maka negara bukan saja menahan diri dari
menyentuh hak-hak asasi ini, melainkan mempunyai kewajiban memberikan dan
menjamin hak-hak ini.
Sebagai contoh, Negara berkewajiban menjamin perlindungan sosial bagi setiap
individu tanpa ada perbedaabjenis kelamin, tidak juga perbedaab muslim dan
non-muslim. Islam tidak hanya menjadikan itu sebagai kewajiban Negara,
melainkan Negara di perintahkan untuk berperang demi melindungi hak-hak ini.
Dari sinilah kaum muslimin di bawah pimpinan Abu Bakar memerangi orangorang yang tidak mau membayar zakat
Negara juga menjamin tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak ini dari pihak
individu. Sebab pemerintah mempunyai tugas sosial yang apabila tidak di
laksanakan berarti tidak berhak untuk tetap memerintah.

Konsep Hak Asasi Manusia Dalam Islam


Hak asasi manusia dalam islam tertuang secara tersenden untuk kepentingan
manusia, lewat syariah islam yang diturunkan melalui wahyu. Menurut syariah
manusia adalah makhluk bebas yang mempunyai tugas dan tanggung jawab dan
karenanya ia juga mempunyai tugas dan tanggungjawab.
Hak asasi dalam islam berbeda dengan hak asasi menurut pengertian umum
yang dikenal.Sebab seluruh hak merupakan kewajiban bagi Negara maupun
individu yang tidak boleh di abaikan.
Rasululluah saw pernah bersabda : sesungguhnya darahmu,hartamu,dan
kehormatanmu haram atas kamu. ( HR.Bukhori dan muslim).
Maka Negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi
ini,melainkan mempunyai kewajiban memberikan dan menjamin hak-hak ini.
Contohnya : Negara berkewajiban menjamin perlindungan sosial bagi setiap
individu tanpa ada perbedaan jenis kelamin,tidak juga perbedaan muslim dan
non muslim. Islam tidak hanya menjadikan itu kewajiban Negara,melainkan
Negara di perintahkan untuk berperang demi melindungi hak-hak ini. Dari sinilah
kaum muslimin di bawah syaidina Abu bakar memerangi orang-orang yang tidak
mau membayar zakat.
Negara juga menjamin tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak ini dari pihak
individu. Sebab pemerintah mempunyai tugas social yang apabila tidak di
laksanakan berarti tidak berhak untuk tetap memerintah.
ALLAH berfirman :
yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukannya di muka
bumi,niscaya mereka menegakkan shalat,menunaikan zakat, menyuruh berbuat
maruf dan mencegah perbuaan mungkar.Dan kepada Allah lah semua urusan
(QS.24:27-28)
Islam berbeda dengan system lain dalam hal bahwa hak-hak manusia sebagai
hamba Allah tidak boleh diserahkan bergantung pada penguasa dan undangundangnya. Tetapi semua harus mengacu pada hukum Allah.
Hak hak dalam islam ada beberapa macam, yaitu :
Hak hidup.
Allah menjamin kehidupan, diantaranya dengan melarang pembunuhan dan
meng-qisas pembunuh,bahkan hak mayi pun dijaga oleh Allah. Misalnya hadist
nabi : Apabila seseorang mengkafani mayat saudaranya, hendaklah ia
mengkafani dengan baik.
Sedangkan di katakan di hadist lain Hadist lain
Janganlah kamu mencaci maki orang yang sudah mati, sebab mereka telah
melewati apa yang telah mereka kerjakan, ( HR.Bukhari )
Hak kebebasan beragama dan kebebasan pribadi
Kebebasan pribadi adalah hak paling asasi bagi manusia dan kebebasan paling
suci adalah kebebasan beragama dan menjalankan agamanya, selama tudak

menggangu hak hak oang lain.


Firman Allah : Dan seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman orang
di muka bumi seluruhnya. Apakah kamu memaksa manusia supaya mereka
menjadi orang beriman semuanya.? (QS. 10 : 99 )
Di surat lain dikatakan : Tidak ada paksaan dalam beragama ( QS. 5 : 7)
Hak bekerja
Islam tidak hanya menempatkan bekerja sebagai hak tetapi juga kewajiban.
Bekerja merupakan kehormatan yang perlu di jamin. Nabi Muhammad SAW
bersabda : Tidak ada makanan yang lebih baik yang di makan seseorang
daripada makanan yang di hasilkan dari usaha tanganya sendiri
( HR. Bukhari )
Dan Islam juga menjamin hak pekerja, seperti dalam hadist : Berilah pekerja itu
upahnya sebelum kering keringatnya ( HR. Ibnu majah )
Hak pemilikan
Islam menjamin hak pemilikan yang sah dan mengharamkan penggunaan cara
apapun untuk mendapatkan harta orang lain yang bukan haknya, sebagaimana
firman Allah : Dan janganlah sebagian kamu memekan harta sebagian yang
lain diantara kamu dengan jalan bathil dan janganlah kamu bawa urusan harta
itu kepada hakim agar kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain
itu dengan jalan berbuat dosa padahal kamu mengetahuinya. ( QS. 2 : 188 )
Oleh karena itu Islam melarang riba dan setiap upaya yang merugikan hajat
manusia. Islam juga melarang penipuan dalam perniagaan.
Hak berkeluarga
Allah menjadikan perkawinan sebagai sarana mendapat ketentraman. Bahkan
Allah memerintahkan para wali mengawinkan orang orang yang bujangan di
bawah perwaliannya.Pada tingkat Negara dan keluarga menjadi kepemimpinan
pada kepala keluarga yaitu laki laki. Tetapi dalam hak dan kewajiban masing
masing mempunyai beban yang sama. Dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang denagan kewajibanya menurut cara yang maruf, akan tetapi para
suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari istrinya. ( QS. 2 : 228)
Hak keamanan
Dalam islam keamanan tercermin dalam jaminan keamanan mata pencahariaan
dan jaminan keamanan jiwa serta harta benda.
Firman Allah : Allah yang telah memberi makanan kepada mereka untuk
menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.
( QS.Quraisy: 34)
Diantara jenis keamanan adalah di larangnya memasuki rumah tanpa izin. Jika
warga Negara tidak memiliki tempat tinggal, Negara berkewajiban menyediakan
baginya. Bagi para tepidana mempunyai jaminan keamanan untuk tidak di siksa
atau tidak di perlakukan semena mena. Peringatan Rosulullah SAW :
Sesungguhnya Allah akan menyiksa orang yang menyiksa manusia di dunia.
( HR.Khamsah ).

Hak keadilan dan persamaan


Diantara hak setiap orang adalah hak megikuti aturan syariah dan diberi
putusan hukum sesuai dengan syariah. Dalam hal ini juga hak setiap orang
untuk membela diri dari tindakan tidak adil yang di terima.
Bagi penguasa muslim wajib menegakkan keadilan dan memberikan jaminan
keadilan yang cukup. Sabda Rosulullah SAW : Pemimpin itu sebuah tameng,
berperang dibaliknya berlindung dengannya ( HR. Bukhari dan Muslim ).
Allah juga memerintahkan Rosulullah untuk melakukan perubahan sosial dan
keadilan bagi seluruh umat manusia. Dalam islam manusia semuanya sama di
mata hukum Sabda Rosulullah : Seandainya Fatimah anak Muhammad mencuri,
pasti aku potong tangannya (HR. Bukhari dan Muslim )
Hak saling membela dan menolong
Kesempurnaan iman diantaranya ditunjukan dengan menyampaikan hak kepada
pemiliknya sebaik mungkin dan saling tolong menolong dalam membela hak
dan mencegah kedzaliman. Bahkan Rosul melarang sikap mendiamkan sesame
muslim, memutus hubungan relasi dan saling berpaling muka. Sabda Rosulullah
SAW : Hak musli terhadap muslim ada lima : menjawab salam, menjenguk yang
sakit, mengantar ke kubur, memenuhi undangan dan mendoakan bila bersin.
(HR.Bukhari dan Muslim ).
C. Perbedaan Konsep HAM antara Barat dan Islam
Dalam Hak asasi manusia Islam ternyata antara Islam dan Barat memiliki
perbedaan yang sangat mendasar. A.K.Brohi, seorang ilmuan dan negarawan
dari Pakistan yang cukup terkenal dalam tulisannya yang berjudul Islam dan
hak-hak asasi manusia dinyatakan bahwa ada sebuah perbedaan penting
diantara sudut-sudut pandang Islam dengan Barat terhadap hak-hak asasi
manusia, sudut pandang barat pada umumnya dapat disebut sebagai bersifat
antrophosentris dengan pengertian bahwa manusia dipandang sebagai ukuran
bagi segala sesuatu, karena ia adalah titik tolah dari semua pemikiran dan
perbuatan. Sudut pandang Islam bersifat teosentris, sadar kepada Allah. Disini
yang mutlak adalah yang terpenting, sedangkan manusia itu ada hanya untuk
mengabdi kepada sang pencipta yang maha kuasa.
Dari pandangan teoritis ini seakan-akan tampak bahwa seolah-olah manusia
tidak mempunyai hak-hak dasar, dan hanya mempunyai kewajiban-kewajiban
saja, karena di dalam totalitas kewajiban manusia kepada Allah mencakup
kewajibannya kepada masyarakat dan kepada setiap individu lainnya, sehingga
secara paradoks hak-hak setiap manusia dilindungi oleh kewajiban-kewajiban
semua manusia di bawah hokum Allah.
Penegasan adanya perbedaan konsep HAM antara Islam dan dunia barat
dikemukakan juga oleh Roger Garaudy bahwa Persamaan dalam Islam,
sebagaimana kemerdekaan yang mempunyai dasar yang berbeda secara radikal
dengan apa yang ada dalam konsep Barat. Persamaan bukannya sifat-sifat
individu yang hidup sendirian, akan tetapi ekspresi dan konsekuensi dari rasa
terikat pada dzat yang mutlak, ekspresi dan kehadiran ilahi dalam jiwa manusia
dan kehadiran itulah yang memungkinkan manusia untuk mengangkat diri
setinggi-tingginya diatas segala kemauan untuk berkuasa.

Al-Quran Secara tegas menyatakan dan sungguh kami telah memuliakan anak
keturunan adam, kami angkut mereka didaratan dan dilautan, dan kami telak
rizkikan kepada mereka dengan makanan-makanan yang baik, dan kami lebihkan
atau utamakan mereka (manusia) dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang kami ciptakan (QS.-17:70).
Dalam teori islam, misalnya , hak hak asasi manusia mendapat tempat yang
terhormat dan pantas di catat bahwa tidak saja hak hak politik tetapi juga hak
hak sosial ekonomi diberi pengesahan. Berdasarkan hak dasar akan martabat
manusia, Al Quran mengatakan

D. Piagam Madinah
Konsep dasar yang tertuang dalam piagam yang lahir di masa Nabi Muhammad
saw ini adalah adanya pernyataan atau kesepakatan masyarakat Madinah untuk
melindungi dan menjamin hak-hak sesama warga masyarakat tanpa
memandang latar belakang,suku dan agama.Piagam Madinah Mista:qu alMadinah yang di deklarasi-kan oleh Rasulullah saw pada tahun 622 M,merupakan
kesepakatan-kesepakatan tentang aturan-aturan yang berlaku bagi masyarakat
Madinah yang di pimpin oleh Nabi.
Terdapat dua landasan pokok bagi kehidupan bermasyarakat yang diatur dalam
piagam Madinah,yaitu:
Semua pemeluk islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku dan
bangsa.
Hubungan antara komunitas Muslim dan non Muslim didasarkan pada prinsipprinsip:
Berinteraksi secara baik dengan sesame tetangga.
Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama.
Membela mereka yan teraniaya.
Saling menasehati.
Menghormati kebebasan beragama
Menurut ahli sejarah, piagam ini adalah naskah otentik (asli) yang tidak
diragukan keaslianya .Secara sosiologis piagam ini merupakan antisipasi dan
jawaban terhadap realitas sosial masyarakatnya.Dengan demikian,piagam
Madinah menjadi alat legimitasi Rasulullah saw untuk menjadi pemimpin bukan
saja kaum muslimin (Muhajirin dan Anshar), tetapi bagi seluruh penduduk
madinah (Pasal 23-24). Secara substansial, piagam ini bertujuan untuk
menciptakan keserasian poitik dan mengembangkan toleransi sosial religious
dan budaya seluas-luasnya
Piagam ini bersifat revolusioner, karena menentang tradisi kesukuan orang-orang
arab pada saat itu. Tidak ada satupun suku yang memilki keistimewaan dan
kelebihan dengan susku lain, jadi dalam piagam tersebut sangat ditekankan akan
kesamaan dan kesetaraan.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari uraian di atas kita bisa menyimpulkan beberapa hal di antaranya :
Pandangan HAM dalam islam berbeda dengan pandangan HAM
Barat.
Islam sangat menjunjung tinggi HAM, bahkan mengaturnya secara detail.
Manusia di mata Islam semua sama walaupun berbeda keturunan, kekayaan,
jabatan atau jenis kelamin. Ketakwaanlah yang membedakan mereka. Rakyat
dan penguasa juga memiliki kesamaan dalam islam.
HAM dalam Islam di atur oleh Allah sehingga kebenaran dan keadilannya mutlak.

Anda mungkin juga menyukai