Anda di halaman 1dari 2

MAZHAB SEJARAH

Abad kesembilan belas merupakan masa keemasan bagi lahirnya ide-ide baru dan gerakan
intelektual dimana manusia mulai menyadari kemampuannya untuk merubah keadaan dalam
semua lapangan kehidupan. Kesadaran tersebut telah membawa perubahan cara pandang
dalam melihat eksistensi manusia. Pada masa ini manusia dipandang sebagai wujud dinamis
yang senantiasa berkembang dalam lintasan sejarah.

Di bidang hukum, abad kesembilan belas dapat dikatakan sebagai tonggak lahirnya berbagai
macam aliran atau mazhab hukum yang pengaruhnya bisa dirasakan sampai saat ini. Aliran
atau mazhab hukum yang lahir pada masa ini secara sederhana dapat diklasifikasi menjadi
tiga aliran yaitu mazhab positivisme, mazhab utilitarianisme dan mazhab historis atau
sejarah.

Dalam rentang sejarah, perkembangan aliran pemikiran hukum sangat tergantung dari aliran
pemikiran hukum sebelumnya, sebagai sandaran kritik dalam rangka membangun kerangka
teoritik berikutnya. Di samping itu kelahiran satu aliran sangat terkait dengan kondisi
lingkungan tempat suatu aliran itu pertama kali muncul. Dengan kata lain lahirnya satu aliran
atau mazhab hukum dapat dikatakan sebagai jawaban fundamental terhadap kondisi kekinian
pada zamannya. Sebagai contoh dapat dikemukakan kritik positivisme dan aliran sejarah
terhadap aliran hukum alam atau kritik kaum realis terhadap positivistik. Demikian juga
halnya dengan kritik yang ditujukan oleh postmodernisme terhadap kemapanan modernisme.1

Aliran mazhab sejarah muncul karena reaksi terhadap tiga hal yaitu :

1. Rasionalisme abad ke-18 yang didasarkan atas hukum alam, kekuatan akal, dan
prinsipprinsip dasar yang semuanya berperan pada filsafat hukum, dengan
mengandalkan cara berpikir deduktif tanpa memperhatikan fakta sejarah, kekhususan,
dan kondisi nasional.
2. Semangat revolusi Perancis yang menentang wewenang tradisi dengan misi
kosmopolitannya yaitu kepercayaan kepada rasio dan daya kekuatan tekad manusia
untuk mengatasi lingkungannya, yaitu seruan ke segala penjuru dunia.
3. Larangan terhadap hakim dalam menafsirkan undang-undang. Karena undang-undang
dianggap dapat memecahkan semua masalah hukum. Code civil dinyatakan sebagai
kehendak legislatif dan harus dianggap sebagai suatu sistem hukum yang harus

1
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2007, Ilmu Hukum Dan Filsafat Hukum, Syudi Pemikiran
Ahli Hukum Sepanjang Zaman, Yogyakarta, h. 137.
disimpan dengan baik sebagai sesuatu yang suci karena berasal dari alasan-alasan
yang murni.

Selain ketiga alasan di atas mazhab sejarah juga timbul karena adanya kodifikasi hukum di
jerman yang diusulkan oleh Thibaut. Menurutnya hukum yang berdasarkan sejaran itu sukar
untuk diselidiki, sedangkan jumlah sumbernya bertambah banyak sepanjang masa, sehingga
hilanglah keseluruhan gambaran darinya. Karena itulah harus diadakan perubahan yang tegas
dengan jalan penyusunan undang-undang dalam kitab.

Mazhab sejarah juga timbul sejalan dengan gerakan nasionalsime di eropa. Jika sebelumnya
para ahli hukum memfokuskan perhatiannya pada individu, penganut mazhab sejarah sudah
mengarah pada bangsa, tepatnya jiwa bangsa (Volksgeist.) tokoh-tokoh penting mazhab
sejarah adalah Von Savigny, Puchta, dan Henry Sumner Maine.

Dilihat dari filosofi bahwasannya secara hakekat mazhab sejarah muncul dikarenakan filsafat
hukum yang mengandalkan cara berpikir deduktif tanpa memperhatikan fakta sejarah,
kekhususan, dan kondisi nasional, adanya semangat revolusi Prancis dan larangan hakim
dalam menafsirkan undang-undang. Hal ini yang menjadi acuan munculnya aliran Mazhab
Sejarah sebagai aliran hukum. Selanjutnya terhadap metode (epistimologis) yang ada di
dalam Mazhab Sejarah ini muncul karena hukum itu ditentukan dan bukan dibuat, ia
ditentukan dalam kehidupan sosial, ia lahir berkembang dalam masyarakat secara dinamis.
Dan pada akhirnya tujuan (ontologi) dari Mazhab Sejarah yakni hukum sebagai produk
masyarakat yang sifatnya dinamis dan terus berkembang di masyarakat hendaknya digunakan
acuan dalam pembentukan suatu perundang-undagan dalam mengatur masyarakat itu sediri
agar adanya keterkaitan antara jiwa suatu bangsa dengan hukumnya.2

2
Darji Darmodiharjo, 1996, Pokok-Pokok filsafat Hukum; Apa Dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.121.

Anda mungkin juga menyukai