V. HISTORISITAS HUKUM
A. Visi Idealistis-Spiritualistis
Pada jaman dahulu pandangan idealis-spiritiualis tersebut ditemukan
misalnya pada Plato, yang menganggap ide tersebut memiliki derajat kenyataan
yang lebih daripada materi, pada Aristoteles, yang mengadakan perbedaan antara
keadilan alam dan keadilan perundang-undangan, pada kaum Stoicein (Zeno),
pada Cicero, di dalam pandangan hukum moralistis Ulpianus (honeste vivere
alterum non laedere, suum culque tribuere).
Perwujudan pandangan-pandangan hukum yang paling melukiskan sifatsifat khas adalah berbagai deklarasi hak-hak manusia yang dikumandangkan
sebagai akibat revolusi-revolusi tersebut dan gerakan-gerakan kodifikasi, yang
mencapai titik kulminasinya dengan diterbitkannya empat buah Kitab Undangundang Napoleon dari tahun 1804-1810.
B. Visi Materialistis-Sosiologis
Selama hukum itu dipandang sebagai suatu produk rasio, yang per defenisi
dimana-mana dan senantiasa identik, maka selama itu pula kita dapat menemukan
suatu klarifikasi yang memadai bagi besarnya keanekaragaman norma-norma
hukum.
1. Mazhab Historis
Hukum tidak berakar dan bersumber dari asas-asas yang serba abstrak, betapa
rasional pun, tetapi pada tradisi-tradisi yurudis nasional. Oleh sebab itu
mazhab historis tersebut pun menentang kodifikasi-kodifikasi rasional dan
mendalami kedua cabang tradisi hukum nasional Jerman:
a. Hukum Romawi yang sejak akhir abad XV secara resmi diterima (Von
Savigny, Hugo; dan
b. Hukum kebiasaan lama Jerman (Grimm, Von Stein).
Mazhab sejarah tersebut bergabung dengan tradisi rasionalistis, karena akhirnya ia
bermuara juga pada perkembangan suatu ilmu pengetahuan hukum sistematis
dengan pengaruh romanistis yang kuat, yakni Pandekten-wissenchaft, yang
menyebabkan tersusunnya suatu kodifikasi baru, yakni Burgerliche Gesetzbuch
Jerman tahun 1896, yang mulai berlaku pada Januari 1900.