Andik Wijaya,MD,MRepMed
PENDAHULUAN:
Menuju Legalitas Pernikahan Sejenis adalah spirit yang saya lihat dalam buku “Siapakah
Sesamaku? – Pergumulan Teologi dengan Isu-isu Keadilan Gender”, Stephen Suleeman
– Amadeo D.Udampoh, STFT Jakarta, 2019.
Buku yang terbit di semester-1 2019 tersebut membahas isu LGBT; Sayangnya dalam
buku baru ini tidak ada argumentasi yang benar-benar baru dalam upaya mereka untuk
pembenaran perilaku LGBT. Jadi rekomendasi saya buat seluruh sahabat adalah: don’t
waste your money to buy this book, don’t waste your time to read this book. [maaf saya
suka berterus terang]
Meskipun tidak ada argumentasi yang benar-benar baru, namun buku ini menunjukkan
benang merah gerakan LGBT di Indonesia dan tujuan utama seluruh perjuangan mereka,
yaitu menuju legalitas pernikahan sejenis di Indonesia.
Tulisan ini saya buat untuk melawan lupa dan menyegarkan ingatan seluruh Pemimpin
Rohani dan Orang Percaya di Indonesia bahwa tepat 3 tahun yang lalu, yaitu Tgl 17 Juni
2016, MPH-PGI menyebarkan Surat Pastoral PGI Tentang LGBT. [bit.ly/PastoralLGBT]
Saya tidak setuju dengan isi, agenda dan spirit dibalik penulisan Surat Pastoral PGI
Tentang LGBT tersebut, dan menulis beberapa tanggapan berikut ini:
1. Tanggapan dari Perspektif Biblicomedic Sexology; 21 Juni 2016. [bit.ly/PGI-LGBT-1]
2. MPH PGI, Jangan ada dusta di antara kita!; 23 Juni 2016. [bit.ly/PGI-LGBT-2]
3. 7 Argumentasi Pendukung LGBT; 23 Januari 2017. [bit.ly/MPL-LGBT-1]
4. Pesan Untuk Delegasi Sidang MPL-PGI Tentang Issue LGBT; 27 Januari 2018.[bit.ly/MPL-LGBT-2]
5. Mewaspadai Gerakan LGBT di Dalam Gereja; 17 Juni 2018. [bit.ly/Awas-LGBT]
6. Transgender: Gangguan Mental atau Kondisi Normal?; 21 Juni 2018. [bit.ly/XBT-Trans]
Tentu bukan hanya saya yang menolak Surat Pastoral PGI Tentang LGBT tersebut, tetapi
mayoritas sinode-sinode anggota PGI beserta seluruh Hamba Tuhan yang melayani di
sinode-sinode tersebut dan jutaan orang percaya di Indonesia.
Meskipun penolakan sangat masif namun Surat Pastoral PGI Tentang LGBT tersebut
tidak kunjung dicabut oleh MPH-PGI. Tentu ini memunculkan tanda tanya besar. Praise
the Lord, buku Siapakah Sesamaku, memberi gambaran sangat jelas mengapa Surat
Pastoral PGI Tentang LGBT dibuat dan tidak kunjung dicabut walaupun gelombang
penolakan sangat besar.
Saya ucapkan terima kasih kepada Stephen Suleeman, penggagas dan editor buku
tersebut yang dengan jelas memaparkan hubungan Surat Pastoral PGI Tentang LGBT
Dalam buku tersebut Dé푑é Oetomo menulis bab.11. Peta Jalan Pelibatan Keimanan
dalam Perjuangan LGBTIQ Indonesia. Dia memaparkan pengaruh GAYa Nusantara
terhadap tokoh kristen-katholik dan tokoh muslim, bahkan menceritakan dengan rinci
pengaruhnya terhadap STT Jakarta, dalam hal ini pengaruhnya pada Richard Haskin dan
murid-muridnya yaitu Stepheen Suleeman, Darwita Purba, Emmy Sahertian, Ruth Ketsia
Wangkai dan banyak lagi yang lain, katanya. [hal.130]
Masih di bab yang sama Dé푑é Oetomo menyebut nama biarawan katolik Max Helling
(Bruder Aquino) dari Boawae, Flores yang menjadi kontributor rutin terbitan GAYa
Nusantara, serta menawarkan layanan pastoral konseling untuk para gay Katolik. [Tidak
dijelaskan apakah layanan pastoral konseling yang dilakukan oleh Max Helling ini untuk
membuat mereka bertobat atau agar mereka nyaman dengan kondisinya dan berani
coming out; Supaya tidak ada spekulasi Max Helling atau institusinya perlu memberikan
klarifikasi, karena namanya disebut dalam buku tersebut.]
Adapun tokoh muslim yang disebut sebagai pemikir progresif dan diklaim oleh Dé푑é
Oetomo sering bersentuhan dengan dirinya adalah: Lies Marcoes-Natsir, Siti Ruhaini
Dzuhayatin, Siti Musda Mulia, Husein Muhammad, Moh.Yasir Alimi, AD Eridani,
Mohamad Guntur Romli, Nong Andah Darol Mahmada, Neng Dara Affiah, Ahmad Zainul
Hamdi, Imam Nahe’i, Pinar Ilkkaracan, Norhayati Kaprawi, Inayah Rohmaniyah, dan
masih banyak lagi, katanya. [hal.126,129]
Saya tidak tahu secara pasti apa maksut kata bersentuhan yang digunakan oleh Dé푑é
Oetomo dalam kalimat tersebut [mungkin yang dimaksutkannya adalah interaksi?]; Saya
juga tidak tahu apakah tokoh-tokoh di atas telah memiliki pikiran dan agenda yang sama
dengan Dé푑é Oetomo dalam kaitan dengan isu LGBTIQ di Indonesia. Namun menuliskan
nama tokoh-tokoh keimanan dalam bab yang berjudul Peta Jalan Pelibatan Keimanan
dalam Perjuangan LGBTIQ Indonesia, tentu bisa menciptakan persepsi bahwa tokoh-
tokoh ini telah dilibatkan, memiliki pikiran dan agenda perjuangan yang sama dengan
Dé푑é Oetomo dan berjuang di jalur komunitas keimanan mereka. Supaya tidak
menimbulkan spekulasi, ada baiknya tokoh-tokoh yang disebut namanya oleh Dé푑é
SSM
Dalam buku Siapakah Sesamaku? Upaya menuju legalitas pernikahan sejenis [ssm =
same sex marriage] di Indonesia saat ini dilakukan oleh triangular forces seperti grafis
yang saya tunjukkan di atas
Aktifis LGBT sekuler dalam triangular forces di atas dipersonifikasikan oleh Dé푑é
Oetomo, yang perannya sudah sangat jelas seperti dituturkannya sendiri oleh yang
bersangkutan dalam bab.11 buku tersebut.
Dalam kelompok ini ada Teguh Wijaya Mulya, yang menulis bab.16 dalam buku tersebut.
Dari tulisannya terkesan dia Kristen, namun saya tetap menempatkan dia dalam
kelompok aktifis LGBT sekuler [bekerja diluar jalur keimanan]. Dia menyebut dirinya
sebagai seorang tenaga pengajar di suatu universitas di Surabaya. Sewaktu saya telusuri
lebih jauh Teguh Wijaya Mulya ternyata aktif dalam Kelompok Studi Gender dan
Kesehatan [KSKG], Fakultas Psikologi Universitas Surabaya. Apa yang dilakukan oleh
Teguh Wijaya Mulya di KSKG serupa dengan yang dilakukan seniornya Dé푑é Oetomo
beberapa tahun yang lalu di Universitas Airlangga. Apakah KSKG Universitas Surabaya
suatu lembaga dan kelompok studi yang resmi, yang digagas dan didukung sepenuhnya
Apa yang dilakukan oleh Aan Anshori tentu tidak mewakili kelompok muslim mayoritas.
Namun jika kelompok muslim mayoritas yang berpegang pada akidah yang konservatif
tidak melakukan upaya untuk membendung gerakan kelompok muslim pro-LGBT yang
berpikiran progresif [istilah yang digunakan oleh Dé푑é Oetomo] seperti Aan Anshori,
maka dalam beberapa tahun mendatang kelompok pro-LGBT di kalangan muslim
Setidaknya ada 3 hal yang menunjukkan posisi penting Surat Pastoral PGI Tentang
LGBT dalam buku yang memiliki spirit untuk melegalkan pernikahan sejenis di Indonesia
tersebut, yaitu:
Ketiga, Surat Pastoral PGI Tentang LGBT [dalam 2 versi: Inggris dan Indonesia]
dijadikan sebagai lampiran utama buku Siapakah Sesamaku?
Dengan memasukan 3 fakta di atas ke dalam suatu buku yang secara eksplisit
menceritakan upaya menuju legalitas pernikahan sejenis [seperti terlihat di bab.21,
hal.290], saya menangkap kesan Stephen Suleeman ingin menyatakan bahwa Surat
Pastoral PGI Tentang LGBT adalah bagian penting dalam gerakan lintas agama
[kristen – islam] menuju legalitas pernikahan sejenis di Indonesia.
Stephen Suleeman tampak cerdik ketika memilih Aan Anshori untuk menjadi salah satu
kontributornya; Bila ada penolakan yang keras atas perjuangannya menuju legalitas
pernikahan sejenis di Indonesia, setidaknya ada komunitas muslim dari jaringan Aan
Anshori yang akan mendukungnya. It’s a political strategy.
Apakah PGI berperan aktif dalam upaya menuju legalitas pernikahan sejenis di
Indonesia? atau PGI sedang dimanfaatkan oleh GAYa Nusantara? Atau PGI sedang
ditunggangi oleh Stephen Suleeman? Pertanyaan seperti ini bisa muncul dalam pikiran
kita ketika kita membaca dengan kritis buku Siapakah Sesamaku; Setidaknya itulah yang
saya alami ketika saya membaca buku tersebut.
Jika PGI tidak memiliki intensi atau menjadi bagian dari upaya menuju legalitas
pernikahan sejenis di Indonesia, maka dalam pandangan saya PGI harus melakukan
beberapa hal berikut ini:
1. Mencabut Surat Pastoral PGI Tentang LGBT yang ditolak luas oleh sinode-
sinode anggotanya beserta jutaan orang Kristen di seluruh Indonesia.
2. PGI harus menyampaikan protes dan teguran keras kepada Stephen Suleeman
yang mengungkap fakta-fakta terkait dengan PGI dalam buku Siapakah Sesamaku; Dan
melarang pembahasan serta pelampiran Surat Pastoral PGI Tentang LGBT, yang akan
membangun persepsi bahwa PGI memiliki peran penting dalam upaya menuju legalitas
pernikahan sejenis di Indonesia; Konsekuensinya buku Siapakah Sesamaku harus
direvisi total dengan menghilangkan fakta-fakta yang terkait dengan PGI.
Tapi saya masih percaya Stephen Suleeman adalah pribadi yang terhormat; Sebagai
pribadi yang terhormat tentu Stephen Suleeman seharusnya sudah berkomunikasi
dengan PGI saat akan memasukan fakta-fakta terkait dengan PGI di bukunya.
Pernyataan Gerrit Singgih di atas membangun persepsi PGI inferior, sehingga perlu
bantuan pihak luar untuk memback-up pernyataan pastoralnya. Apa benar di PGI tidak
ada orang yang memiliki kemampuan untuk memberi argumentasi atas Surat Pastoral
PGI Tentang LGBT yang dibuatnya, sampai meminta bantuan pihak luar untuk memback-
up nya? Lalu bagaimana mereka bisa mengatakan telah melakukan studi dan
pendalaman yang komprehensif sebelum menerbitkan surat pastoral tersebut?
Pernyataan Gerrit Singgih bertentangan dengan pernyataan PGI di pengantar Surat
Pastoral tersebut, yang bisa kita baca berikut ini:
Disadari bahwa sikap dan ajaran gereja mengenai hal ini sangat beragam, dan
pertimbangan-pertimbangan ini tidaklah dimaksudkan untuk menyeragamkannya.
Kalau PGI tidak bermaksut untuk menyeragamkan [semua sinode anggotanya setuju dan
mengikuti isi Surat Pastoral PGI Tentang LGBT], mengapa PGI harus meminta bantuan
Gerrit Singgih untuk menulis buku yang memback-up Surat Pastoral tersebut?
Saya masih percaya PGI adalah institusi yang terhormat dan memiliki integritas, karena
itu saya tidak bisa memahami mengapa PGI diam-diam meminta Gerrit Singgih menulis
buku untuk memback-up Surat Pastoral PGI Tentang LGBT. [supaya diikuti oleh semua
orang, supaya ada penyeragaman pandangan].
Tetapi saya juga percaya Gerrit Singgih adalah akademisi yang terhormat dan memiliki
integritas akademik sehingga kecil kemungkinannya dia menceritakan suatu peristiwa
yang tidak terjadi dalam karya tulisnya.
Jika PGI tidak melakukan klarifikasi atas fakta-fakta di atas, maka persepsi yang
dibangun oleh Stephen Suleeman dalam buku Siapakah Sesamaku seperti yang saya
uraikan di atas akan tetap ada di benak banyak orang.
Saya percaya banyak anggota MPH-PGI yang peduli akan situasi ini, begitu juga dengan
anggota MPL-PGI. Karena itu kita harapkan pada sidang MPH-PGI atau sidang MPL-PGI
atau Sidang Raya PGI yang akan datang masalah ini segera dituntaskan, supaya PGI
kembali dipercaya sebagai institusi yang berpegang pada prinsip-prinsip Firman Allah
dan tidak terseret ke dalam upaya legalitas pernikahan sejenis di Indonesia.
Dalam buku Siapakah Sesamaku, setidaknya ada 5 argumentasi klasik pro-LGBT yang
diajukan untuk membenarkan perilaku LGBT tersebut, yaitu:
1. Biological argument.
2. Progressive theological argument.
3. Victim argument.
4. Human right – democracy argument.
5. Legal argument.
Dalam pernyataan di atas Bambang Subandrio terlihat sangat meyakini ada sebagian
LGBT yang menjadi LGBT karena faktor genetik – bawaan sejak lahir, walaupun dibagian
akhir dia menegaskan: Sebagai seorang teolog biblika, saya hanya akan mendasarkan
pandangan saya pada kesaksian Kitab Suci.
Di halaman 43, Bambang Subandrio kembali mengukuhkan keyakinannya bahwa
sebagian LGBT itu menjadi LGBT karena memang diciptakan seperti itu. Dia menuliskan
keyakinannya seperti ini:
Hal ini sama dengan fakta bahwa tidak seorangpun dapat memutuskan bagi dirinya untuk
dilahirkan berkulit putih atau berkulit hitam, sebagai orang Asia atau Eropa, sebagai laki-
laki atau perempuan atau bukan keduanya, sebagai difabel atau tidak, sebagai orang kidal
atau tidak. Rialitas ini terjadi secara alami sebagai pemberian Allah, yang tidak
seorangpun dapat memilih, tetapi tinggal menerimanya.
Dari ungkapan tersebut saya menangkap persepsi: Bambang Subandrio mengulas LGBT
sebagai seorang teolog biblika yang mendasarkan pandangannya pada kesaksian Kitab
Suci [seperti yang dikatakannya], namun dengan suatu keyakinan awal bahwa sebagian
LGBT itu menjadi LGBT karena bawaan sejak lahir [faktor genetik] seperti warna kulit
seseorang.
Sekarang, mari kita uji keyakinan awal Bambang Subandrio yang menyatakan: sebagian
LGBT itu menjadi LGBT karena bawaan sejak lahir [faktor genetik] seperti warna kulit
seseorang.
Peneliti yang menyatakan ada hubungan antara gene dengan homosexuality adalah
Dean Hamer. Hamer menyatakan: menemukan hubungan antara homosexuality dengan
gene yang terdapat dalam chromosome X yang didapat dari ibunya, dan menyatakan
‘lokasi’ gene tersebut adalah Xq28. [Hamer DH, Hu S, Magnuson VL, Hu N, Pattatucci AML.1993. A
linkage between DNA markers on the X-chromosome and male sexual orientation. Science 261:321-7].
Namun dalam penelitian dengan sample yang berbeda dan lebih besar Mustanski yang
melibatkan Hamer menemukan hasil yang tidak konsisten dengan penelitian Hamer
sebelumnya, sehingga Hamer mengakui bahwa sampai saat ini tidak ada gene yang
terbukti menyebabkan seseorang mengalami same sex attraction. [Mustanski BS,
DuPree MG, Nievergelt CM, Bocklandt S, Schork NJ, Hamer DH. 2005. A genome-wide scan of male sexual
orientation. HumanGenetics116:272-8]
Andrea Ganna, a research fellow with the Broad Institute in Cambridge, Massachusetts,
and Harvard Medical School in Boston, and colleagues examined data from hundreds of
Penelitian terbaru yang bertujuan untuk menemukan gay gene dengan sample yang
sangat besar, bahkan terbesar [sampai saat saya menulit artikel ini] yaitu 477.829 orang;
Penelitian ini dipimpin oleh Andrea Ganna, dengan kesimpulan akhir: Tidak ada single
gay gene.
Berdasarkan fakta-fakta publikasi ilmiah ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa titik
pijak Bambang Subandrio dalam mengulas isu LGBT tidak memiliki bukti ilmiah, dengan
kata lain titik pijak Bambang Subandrio yang mengatakan bahwa sebagian LGBT menjadi
LGBT karena bawaan sejak lahir [faktor genetik] salah.
Karena titik pijak yang digunakan salah, maka pemahaman teologi tentang LGBT yang
dibangun oleh Bambang Subandrio berdasarkan titik pijak tersebut pasti salah.
Tetapi bagaimana jika penelitian-penelitian yang akan datang ternyata bisa menemukan
gay gene? Apakah temuan ini membuktikan bahwa LGBT yang disebabkan oleh faktor
genetik itu normal?
Semua yang belajar ilmu kedokteran mengetahui bahwa normal atau tidak normal
ukurannya bukan faktor genetik. Kulit hitam atau kulit putih, rambut keriting atau rambut
lurus, hitam atau pirang, mata hitam atau biru semua memiliki faktor genetik dan
semuanya normal. Buta warna, thalassemia, down syndrome [dan masih banyak kondisi
medis lain] memiliki faktor genetik tetapi ini kondisi tidak normal.
Jadi apa ukuran normal dalam dunia kedokteran? Ukuran normal dalam dunia kedokteran
adalah fungsional dan tidak menimbulkan dampak buruk. Saya sedang mengajak
saudara untuk memahami standar normal tubuh manusia dan fungsi-fungsinya dengan
kaidah simplicity, KISS.
Organ tubuh manusia dikatakan normal jika fungsional; Mata hitam dan mata biru
keduanya normal karena keduanya fungsional, tetapi buta warna tidak normal karena
tidak fungsional [mereka yang buta warna tidak bisa melihat spektrum warna tertentu,
orang seperti ini saat ini tidak bisa masuk di fakultas kedokteran]. Mata hitam – mata biru
dan buta warna semuanya memiliki faktor genetik, tetapi mata hitam – mata biru itu
normal sedangkan buta warna tidak normal. Ukuran normal dalam dunia medis bukan
faktor genetik tetapi fungsi organ yang bersangkutan.
Andaikata ketertarikan seksual sejenis terbukti ditentukan oleh suatu gay gene,
ketertarikan dan hubungan seksual sejenis tetap perilaku yang tidak normal, karena
Tetapi bila suatu saat terbukti ada gay gene maka penyembuhan homoseks jauh lebih
mudah untuk dilakukan, yaitu menggunakan teknologi gene editing, CRISPR - clustered
regularly interspaced short palindromic repeats. Karena itu dunia medis siap menyambut
penemuan gay gene [jika ada], sebab temuan tersebut akan membuat proses
pencegahan dan penyembuhan gay lebih mudah dilakukan.
Dalam dunia medis suatu kondisi atau tindakan yang menimbulkan efek negatif, masuk
dalam kategori tidak normal, walaupun saat awal tidak menimbulkan keluhan tertentu.
Contoh: jika seseorang memiliki tekanan darah diatas 130/80mmHg maka orang tersebut
masuk dalam kategori hypertensi. Jadi seseorang yang memiliki tekanan darah
150/95mmHg walaupun tidak ada keluhan, tekanan darahnya masuk kategori tidak
normal. Jika tidak dikontrol akan banyak efek samping yang bisa dialaminya seperti
stroke maupun gangguan jantung.
Sekarang kita lihat fakta medis berikut ini:
Populasi LGBT di USA adalah 3,4 %, namun dari seluruh penderita HIV di USA sekitar
60 % nya adalah MSM (male who have sex with male), disamping itu 66% infeksi
baru HIV yang terjadi setiap tahun juga terjadi pada MSM. [HIV among Gay and Bisexual
Men, CDC Fact Sheet, September 2015]
Sejak terjadinya kasus pertama pada tahun 1981, lebih dari 360.000 homoseks
meninggal dunia karena HIV-AIDS. [HIV among Gay and Bisexual Men, CDC Fact Sheet, September
2015]
Tingkat penularan HIV baru di USA pada homoseks adalah 44 kali lipat dibandingkan
dengan pria heteroseks. [HIV among Gay and Bisexual Men, CDC Fact Sheet, September 2015]
Hubungan seks sejenis terbukti memiliki dampak yang sangat buruk bagi
pelakunya, karena itu hubungan seks sejenis itu tidak normal. [saya uraikan cukup rinci
dalam buku Biblicomedic Perspective on LGBTIQ, chapter 8: LGBT and Health Problems].
Kita dipanggil untuk mengasihi sesama kita, karena itu ketika kita mengetahui perilaku
LGBT berdampak sangat buruk pada pelakunya maka dengan penuh kasih kita harus
menyampaikan pada mereka bahwa perilaku mereka salah, namun dalam Tuhan Yesus
ada pengharapan dan pemulihan yang sejati.
Dalam kisah good Samaritan yang tercatat dalam Lukas 10: 29 - 37, pertanyaan
siapakah sesamaku diajukan oleh para ahli Taurat [jaman sekarang: orang tertentu
yang ahli teologia] untuk membenarkan dirinya.
Kita bersyukur Tuhan Yesus menjawab dengan penuh hikmat pertanyaan tersebut dan
membungkam mulut para ahli Taurat itu.
Membiarkan orang-orang LGBT tetap dalam perilaku seksualnya yang menyimpang
[yang berdampak sangat buruk bagi dirinya sendiri] adalah sikap yang sama dengan
sikap imam dan orang lewi dalam kisah tersebut:
Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia
melewatinya dari seberang jalan. Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika
ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. [Lukas 10: 31-32]
Dalam menghadapi orang-orang LGBT, kita dipanggil untuk bersikap dan bertindak
seperti orang Samaria dalam kisah di atas, dimulai dengan menolong mereka untuk
menyadari bahwa perilaku mereka adalah perilaku yang menyimpang dan sangat
berbahaya bagi diri mereka sendiri, karena itu mereka harus mau bertobat dan berubah.
Jika ada tafsir terhadap bagian tertentu dari Firman Allah, dan ternyata tafsir tersebut
bertentangan dengan sifat-sifat Allah, kita tidak perlu ragu untuk mengatakan tafsir
tersebut pasti salah, karena pasti dihasilkan dari proses hermeunetic yang salah. KISS.
Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman
itu adalah Allah. [Yohanes 1:1]
Karena Firman Allah dan Allah itu satu adaNya maka tidak mungkin ada pertentangan
antara Allah [dan sifat-sifatNya] dengan Firman Allah [dengan semua tasfirnya]. Mari kita
perhatikan salah satu sifat Allah berikut ini.
It is an Essential Property of his Nature, whereby he is absolutely and perfectly good in
himself, and the Fountain of all communicated goodness to the creature. Psalm 119:68.
Thou art good, and dost good, teach my thy statutes. [John Flavel, Westminster Shorter
Catechism Project, Of God’s Goodness, A.1]
Allah itu baik, tidak ada sesuatu yang buruk dalam diriNya, tidak ada sesuatu yang
buruk yang bisa keluar dari diriNya. Sekarang mari kita uji homosexuality dengan sifat
Allah ini.
Mungkinkah hal-hal yang tidak baik ini dirancang oleh Allah yang baik? Mungkinkah hal-
hal tidak baik ini diciptakan oleh Allah yang baik? Semua orang yang telah mengalami
dan memahami kebaikan Allah dengan sangat mudah berkata: tidak mungkin. Perilaku
seksual LGBT berdampak sangat buruk bagi pelakunya; Perlaku LGBT tidak mungkin
dirancang dan diciptakan oleh Allah yang baik. Allah yang baik dan penuh kasih tidak
mungkin menciptakan manusia sebagai LGBT.
Progressive theology yang menyatakan: sebagian LGBT diciptakan oleh Allah, dan
karena itu biarlah mereka menjalani hidupnya sebagai dan berperilaku LGBT jelas
merupakan ajaran [tafsir] yang bertentangan dengan sifat Allah yang baik, karena itu
ajaran [tafsir] tersebut pasti salah. KISS.
Victim argument. Salah satu strategi yang dilakukan oleh aktifis lgbt untuk membangun
gelombang dukungan pada perilaku lgbt adalah: menghadirkan pelaku lgbt di forum-
forum publik [atau menuliskan kisahnya dalam buku] untuk menceritakan ‘penderitaan’
mereka dan membangun persepsi bahwa mereka adalah victims. Lalu forum atau tulisan
tersebut diakhiri dengan satu pesan dan kesimpulan: penderitaan tersebut akan hilang
bila perilaku mereka tidak lagi ‘dihukum’ sebagai berilaku yang salah, menyimpang, tidak
bermoral dan berdosa.
Manusia normal memiliki affection – kecenderungan emosi untuk membela yang lemah,
yang tertindas, dan menderita. Karena itu mereka yang mendengar kisah-kisah ‘pilu’
LGBT cenderung akan jatuh belas kasihan, lalu ingin membela bahkan akhirnya
membenarkan perilaku mereka. Maka strategi ini dipilih untuk membangun dukungan
pada kelompok lgbt dan perilaku seksualnya.
Pertanyaannya, ketika perilaku lgbt tidak lagi ‘dihukum’ sebagai perilaku yang salah,
menyimpang, tidak bermoral dan berdosa apakah ‘penderitaan’ mereka dengan
sendirinya akan hilang? Untuk menjawabnya mari kita pelajari kasus transgender,
sebagai contoh kasus. (bit.ly/XBT-Trans)
Kini dalam buku DSM V, transgender tidak lagi ‘dihukum’ sebagai gangguan mental,
tetapi disebut sebagai suatu variasi normal dari gender identity seseorang. Lalu apakah
‘penderitaan’ mereka hilang dengan sendirinya karena perubahan tersebut? Realitanya
mereka masih harus berjuang mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk pengobatan
hormonal, operasi payudara [mengangkat atau ‘membuat’] bahkan operasi ganti kelamin.
Bukankah hal ini suatu bentuk penderitaan? Sebagian kecil mereka mampu melakukan
itu, sebagian besar tidak mampu melakukannya. Tetapi setelah melakukan semua
prosedur tersebut mengapa banyak diantara mereka yang menyesalinya? Mengapa
angka bunuh diri tinggi pada transgender yang sudah melakukan operasi ganti kelamin?
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa ‘penderitaan’ mereka tidak hilang setelah mereka
tidak lagi ‘dihukum’ sebagai pengidap gangguan mental. Jadi jelas sumber penderitaan
mereka bukan karena mereka didiagnosa mengidap suatu gangguan mental. Sumber
penderitaan mereka adalah proses kehidupan [gangguan mental] yang menyebabkan
mereka menjadi transgender tersebut. [saya bahas detil di buku Biblicomedic Perspective on
LGBTIQ; chapter.7; LGBT Formation]
Sekarang saya akan tunjukkan kepada saudara bahwa APA [American Psychiatric
Association] telah menabrak kaidah dasar medis, saat merubah kriteria diagnosa
transgender dari mental disorder menjadi normal gender identity, dan oleh karena itu
psikolog dan psikiater Indonesia yang memiliki kemandirian akademik-profesional,
berpegang pada kaidah dasar medis, tidak tunduk pada APA, akan tetap menyatakan
transsexuality adalah mental disorder.
Di semester pertama semua mahasiswa kedokteran diajari oleh para gurunya kaidah
dasar medis yang harus diingat dan dihidupi saat menjalani profesi sebagai dokter, yaitu:
Primum non nocere; First, do no harm. [Hippocrates]; Dalam menjalankan profesi medis,
yang pertama harus diingat oleh seorang dokter adalah: jangan pernah melakukan
sesuatu yang berdampak buruk pada pasien.
Seorang pasien datang ke dokter bedah dan meminta sang dokter untuk mengamputasi
jari kelingkingnya; Dokter memeriksa dan tidak menemukan alasan medis untuk
melakukan hal tersebut, sebab jari kelingkingnya sehat dan berfungsi baik; Dokter bedah
menolak melakukan amputasi karena berpegang pada kaidah primum non nocere; Pasien
bersikukuh minta jari kelingkingnya diamputasi, karena pingin punya empat jari saja
supaya keren; Dokter bedah berkonsultasi ke koleganya seorang Psikiater; Psikiater
Permintaan amputasi jari kelingking yang sehat saja harus ditolak karena kaidah primum
non nocere; Lalu mengapa ada anjuran dan panduan agar dokter melakukan amputasi
penis [yang sehat dan berfungsi] pada orang tertentu yang memintanya? Mengapa pula
ada anjuran dan panduan agar dokter melakukan pengangkatan payudara [yang tidak
memiliki masalah medis] pada orang tertentu yang menginginkannya?
Meminta amputasi jari kelingking yang sehat saja sudah mengarah pada diagnose
gangguan mental, namanya Body Dismorphic Disorder; Sungguh aneh jika ada
seseorang meminta penisnya dipotong [padahal tidak ada masalah medis] dan orang
tersebut tetap dinyatakan kondisi mentalnya normal, tidak mengalami mental disorder;
Sungguh aneh jika ada seseorang minta payudaranya dipotong [padahal tidak ada
masalah medis] dan orang tersebut tetap dinyatakan memiliki kondisi mental yang
normal, tidak mengalami mental disorder. Sangat jelas di sini APA menabrak kaidah
dasar medis saat merubah kriteria diagnosa trasgender pada buku DSM.
Perubahan kriteri diagnosa transgender di buku DSM, memiliki dasar yang sama dengan
perubahan kriteria diagnosa homosexuality; Perubahan tersebut bukan didasarkan pada
scientific decision, tetapi suatu political decision karena tekanan organisasi LGBT.
Tekanan politik aktifis LGBT terhadap institusi medis menyebabkan komunitas LGBT
berada dalam situasi yang semakin sulit untuk ditolong. Sebab perubahan dalam DSM
menyebabkan orang LGBT kini merasa normal; Orang sakit yang tidak merasa sakit tidak
mungkin memerlukan bantuan pengobatan, maka mereka akan sangat sulit mengalami
kesembuhan.
Sesunguhnya, LGBT bisa ditolong, LGBT bisa berubah, LGBT bisa dipulihkan. Apakah
prosesnya mudah? Tidak mudah, butuh waktu yang panjang, tetapi bisa. Namun saat ini
aktifis LGBT selalu menyuarakan LGBT tidak mungkin berubah, sehingga banyak mereka
yang putus harapan dan tidak lagi mencari pertolongan, tetap berada dalam perilakunya
yang sangat berbahaya dan berakhir sangat tragis.
Mengatakan LGBT tidak mungkin bisa merubah, tidak perlu berubah, tidak perlu bertobat
adalah suatu bentuk pembiaran, seperti sikap imam dan orang lewi yang membiarkan
orang terkapar di pinggir jalan dalam kisah orang Samaria yang baik hati.
LGBT menjadi korban dari pilihan perilakunya sendiri yang salah [dan juga proses
tumbuh kembang, interaksi sosial dan spiritualitas yang salah]; Kita dipanggil untuk
menyatakan belas kasihan pada kelompok LGBT seperti yang dilakukan oleh orang
Samaria; Ungkapan kasih kita kepada kelompok LGBT adalah dengan jujur mengatakan
Tetapi mari kita lihat sedikit lebih jauh. Sesungguhnya tujuan utama dari human right
adalah untuk melindungi human dignity. Benarkah perilaku LGBT akan membuat mereka
memiliki human dignity? Lihatlah berbagai dampak buruk perilaku lgbt terhadap
pelakunya. Jelas sekali perilaku lgbt menghancurkan human dignity pelakunya, oleh
karena itu jelas perilaku lgbt justru bertentangan dengan human rights, karena itu demi
kebaikan mereka, demi menjaga human dignity mereka maka keluarga, gereja, sekolah
bahkan negara harus melarangnya, setidaknya tidak membenarkannya. KISS.
LGBT sekarang dikaitkan dengan democracy, sebuah sistem politik yang memiliki prinsip
dasar one people, one vote, dan vox populi, vox dei. Suara mayoritas adalah pilihan yang
akan diikuti.
LGBT adalah suatu kondisi medis jadi seharusnya dikaji dengan prinsip-prinsip scientific
bukan dengan kaidah politik. Ketika American Psychiatric Association [APA] melepaskan
jatidirinya sebagai scientific community dan berubah menjadi “political organization”,
maka kriteria diagnosa homosexuality dan transsexuality dalam buku Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder dirubah bukan berdasarkan kajian ilmiah tetapi
melalui voting layaknya organisasi politik.
Tekanan aktifis LGBT pada APA untuk merubah kriteria diagnosa homosexuality dan
transsexuality pada buku DSM sebenarnya sangat merugikan kelompok LGBT itu sendiri,
sebab APA kini berhenti mencari cara untuk penyembuhan yang efektif bagi kaum LGBT.
Diagnosa dan therapy yang tepat tidak didasarkan pada prinsip democracy melainkan
pada fakta-fakta scientific. Di suatu kampung masyarakatnya mungkin memiliki
keyakinan tertentu untuk mengobati sakit tertentu; Jika mengikuti prinsip demokrasi maka
dokter yang bekerja di kampung tersebut harus mengikuti keyakinan mayoritas
masyarakat di situ saat melakukan pengobatan; Dokter yang baik tidak tunduk pada
keyakinan mayoritas, tetapi tunduk pada kaidah-kaidah ilmiah dalam pengobatan
penyakit tertentu. Prinsip democracy tidak boleh dijadikan sebagai dasar pendekatan
kasus LGBT, sebab LGBT adalah masalah yang terkait erat dengan dunia medis. KISS.
Yang harus kita tahu, hukum di suatu negara dibuat dengan tujuan untuk melindungi
semua warga negaranya dari hal-hal buruk yang bisa menimpanya. Pertanyaannya,
apakah legalitas pernikahan sejenis akan melindungi semua warga negara dari hal-hal
buruk yang terkait dengan itu?
Belajar dari negara-negara yang telah melegalkan pernikahan sejenis, kita tahu
setidaknya ada 4 hal buruk yang akan mengikuti legalitas pernikahan sejenis.
Pertama, mereka yang telah menikah secara legal akan menuntut beberapa hak lain
seperti: reproductive rights, foster parents right, dan adoption right. Akibatnya akan
banyak anak-anak yang dibesarkan dan diasuh oleh orang tua sejenis. Mereka yang
dibesarkan oleh orang tua sejenis, saat dewasa ternyata memiliki potensi untuk memiliki
ketertarikan seks sejenis 10 – 40 kali lipat dibandingkan anak-anak yang dibesarkan oleh
orang tua heteroseks. Dampak negatif yang lain masih sangat banyak. [saya tulis cukup detil
dalam buku Biblicomedic Perspective on LGBTIQ, chapter.10: Same Sex Marriage and Parenting]
Legalitas pernikahan sejenis melanggar hak asasi anak, yaitu hak asasi untuk memiliki
dan diasuh oleh ayah dan ibu. Legalitas pernikahan sejenis berdampak sangat buruk
pada anak-anak yang dibesarkan oleh pasangan sejenis. Legalitas pernikahan sejenis
membuat anak-anak tidak terlindungi dari hal-hal buruk akibat dibesarkan oleh pasangan
sejenis. Mengingat undang-undang seharusnya dibuat untuk melindungi semua warga
negara, maka legalitas pernikahan sejenis harus dilarang demi kaidah dasar pembuatan
undang-undang itu sendiri. Pernikahan sejenis tidak boleh dilegalkan karena akan
merampas hak asasi anak-anak.
Kedua, sesuatu yang legal cenderung akan dianggap benar, tidak memiliki resiko dan
tidak berbahaya. Ketika narkotika cocain telah legal untuk diperjual belikan di beberapa
negara bagian di Amerika, maka banyak remaja di negara-negara bagian tersebut mati
overdose karena cocain. Sesuatu yang legal cenderung dianggap benar dan tidak
berbahaya. Legalitas pernikahan sejenis akan membangun persepsi hubungan tersebut
benar dan tidak menimbulkan dampak buruk. Anak-anak dan remaja yang dibesarkan di
negara-negara seperti itu akan cenderung menganggap pernikahan sejenis itu benar dan
tidak berbahaya, karena itu mereka bisa memikirkannya sebagai suatu alternatif pola
pernikahan. Legalitas pernikahan sejenis harus dilarang karena memiliki dampak sangat
buruk buat anak-anak dan generasi muda.
Homo-transphoria terlihat sangat jelas saat mereka mengelar LGBT Pride Parade di
berbagai tempat pada musim LGBT Pride Month yang mereka tetapkan pada bulan Juni.
Homo-transphoria juga terlihat di pusat-pusat komunitas LGBT di berbagai kota. Bahkan
saat ini mereka sedang test the water, mengekspresikan homo-transphoria di ruang-
ruang publik kita [mall, caffee, restaurant]. Bila silence majority tetap diam, maka ruang-
ruang publik kita akan dibanjiri dengan homo-transphoria; Ketika kita tidak lagi bisa
leluasa dan nyaman membawa anak-anak kita ke ruang-ruang publik, bukankah kita telah
terpinggirkan?
Sebagai contoh: Karena tekanan aktifis LGBT, kurikulum pendidikan baru di Inggris
mewajibkan pelajaran Relationship and Sexuality Education [RSE] untuk primary and
secondary schools [sekolah dasar dan menengah] yang isinya adalah variasi relasi
seksual apapun termasuk homoseks, biseksual, transeksual.
Anak sekolah dasar dan sekolah menengah dipaksa belajar perilaku seperti ini? Dan ini
disebut peradaban yang modern?
Meskipun Stephen Suleeman adalah Pendeta Emeritus GKI, saya yakin tulisan Stephen
Suleeman bukan pandangan Sinode GKI, karena itu tulisan saya hanya sebatas
tanggapan pada buku yang ditulis Stephen Suleeman.
Tulisan ini adalah tanggapan akademik atas buku Siapakah Sesamaku. Ketika suatu
karya tulis sudah dipublikasikan, maka publik boleh menanggapinya. Dan sebagai bagian
dari publik yang telah membaca buku Siapakah Sesamaku, maka saya memiliki hak
bahkan kewajiban untuk menanggapi gagasan dan spirit dari buku ini.
Mereka yang membaca buku Siapakah Sesamaku bisa menangkap kaitan yang dibuat
oleh Stephen Suleeman tersebut. Mengingat ada penulis muslim yang memiliki jaringan
sangat luas dalam buku tersebut, maka bisa dipastikan buku tersebut akan dibaca oleh
banyak kalangan muslim, yang mayoritas memegang kaidah konservatif, yaitu tidak
menyetujui perilaku LGBT apalagi pernikahan sejenis.
Mengingat PGI adalah organisasi aras yang dikenal paling luas, maka suara PGI bisa
dipersepsikan sebagai suara seluruh umat Kristen di Indonesia. Karena itu persepsi yang
terbangun dari buku Siapakah Sesamaku bisa memiliki dampak tidak baik buat umat
Kristen secara luas.
2.MPH-PGI segera mencabut Surat Pastoral PGI Tentang LGBT untuk menggugurkan
persepsi yang dibangun oleh Stephen Suleeman dalam buku Siapakah Sesamaku, dan
memberikan teguran keras kepada Stephen Suleeman disertai perintah untuk merevisi
PENUTUP:
Fakta-fakta diatas semakin menyadarkan kita bahwa ideologi dan gerakan LGBT adalah
ancaman yang sangat serius buat keluarga, sekolah, gereja, bahkan bangsa dan negara.
Karena itu kita harus serius merespon ancaman ini.
YADA Institute telah mengembangkan materi pelatihan intensif agar kita bisa mengenali,
mencegah dan menolong LGBT melalui kelas Biblicomedic Perspective on LGBTIQ.
Sekelompok pribadi yang mengasihi Allah dan mengasihi sesamanya, bergabung dalam
XBT-G2028 Catalyst Team, berjuang mengupayakan scholarship agar banyak pemimpin
masa depan bisa mengikuti pelatihan Biblicomedic Perspective on LGBTIQ; Scholarship
diberikan kepada kelompok prioritas berikut ini:
Jika saudara adalah pemimpin salah satu kelompok prioritas di atas dan ingin mendapat
scholarship untuk mengikuti pelatihan intensif Biblicomedic Perspective on LGBTIQ, atau
saudara terbeban untuk mendukung program scholarship buat kelompok prioritas di atas,
silahkan hubungi: missiondirector.xbt@gmail.com
Untuk membenarkan dirinya, ahli Taurat bertanya kepada Tuhan Yesus: Siapakah
Sesamaku Manusia? Kini untuk membenarkan perilaku LGBT, Steephen Suleeman
menulis buku Siapakah Sesamaku? Mari kita jawab pertanyaan ini dengan melakukan
kasih sejati, kasih yang tidak berpura-pura, kasih yang tidak takut untuk menegur dosa.
______________________________________________________________________
LAMPIRAN:
1.Nashville Statement: A Coalition For Biblical Sexuality. bit.ly/XBT-Nashville-Statement
2.Male and Female He Created Them. bit.ly/XBT-Vatican-Gender