Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PRESENTASI INDIVIDU

POSISI DALAM MENYUSUI


SISTEM REPRODUKSI 2

TUTOR 1

OLVIE LEONITA 220110140004


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
TAHUN 2017

DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN

BAB I
PENDAHULUAN................................................................................... 1

Latar
Belakang.....................................................................................................
1

Rumusan
Masalah................................................................................................ 2

Tujuan
Penulisan.................................................................................................. 2

Manfaat
Penulisan................................................................................................ 2

BAB II ISI &


PEMBAHASAN......................................................................... 3
Konsep
Menyusui................................................................................................ 3

Faktor Risiko Ketidaktepatan Teknik dan Posisi


Menyusui......................................................................................................
..... 14

BAB III
PENUTUP.......................................................................................... 17

Simpulan......................................................................................................
...... 17

Saran.............................................................................................................
..... 17

DAFTAR
PUSTAKA....................................................................................... 18
BAB I

PENDAHULUAN

1 Latar Belakang

Kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu jenis


kekerasan yang menjadi masalah kesehatan global yang berdampak
serius pada kesehatan fisik,mental, dan reproduksi perempuan (world
health organization,2010) menurut WHO (2010), di dunia sekitar 35%
wanita yang mengalami kekerasan fisik ataupun seksual oleh pasangan
mereka. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan kasus pada urutan
pertama kekerasan pada perempuan dengan korban terbanyak adalah
rentang usia 25-45 tahun (Komnas Perempuan,2014). Menurut Stuart
(2007), kekerasan dalam rumah tangga terbagi menjadi kekerasan fisik
dan psikologis yang terjadi antara anggota keluarga yang merupakan
suatu retang perilaku berbahaya, kekerasan ini dapat terjadi pada
pasangan, anak anak, dan orang tua. Kekerasan yang terjadi dalam
rumah tangga sifatnya sangat tertutup dan terjadi secara terus menerus
(Stuart, 2009). kekerasan rumah tangga di indnesia salah satu
penyebabnya adalah budaya patriarki yang mempengaruhi pemahaman
masyarakat dalam menyikapi dan memandang hubungan keluarga yang
terjadi dimana suami memiliki wewenang dan hak yang besar terhadap
istri dan anaknya (Depkes, 2005). Kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) merupakan salah satu jenis kekerasan yang menjadi masalah
kesehatan global. Studi dari berbagai negara menunjukkan, angka
kejadian KDRT berkisar antara 15-71%.2 Di Indonesia, kasus
kekerasan terhadap perempuan cenderung mengalami peningkatan.
Jumlah kasus kekerasan pada tahun 2010 meningkat sekitar 5 kali
dibandingkan tahun 2006. KDRT merupakan kasus yang mendominasi
dalam kasus kekerasan terhadap perempuan yaitu 96% pada 2010.
Dalam catatan tahunan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap
Perempuan tahun 2011, korban KDRT yang terbanyak adalah
perempuan dalam rentang usia produktif (25-40 tahun). Kejadian
KDRT dapat menyebabkan morbiditas, mortalitas, dan tidak menutup
kemungkinan akan mempengaruhi kesehatan mental pada korban.4
Kasus KDRT yang tidak ditangani secara tuntas akan menimbulkan
lingkaran kekerasan. Pola ini berarti kekerasan akan terus berulang,
bahkan korban kekerasan suatu saat dapat menjadi pelaku kekerasan.
Temuan dalamCatatanTahunan 2016 bersumber pada data
kasus/perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama atau Badan
Peradilan Agama (PA-BADILAG) sejumlah 305.535 kasus, dan dari
lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 16.217 kasus.
Terpisah dari jumlah tersebut, ada sejumlah 1.099 kasus yang diadukan
langsung ke Komnas Perempuan melalui Unit Pengaduan untuk
Rujukan (UPR) yang sengaja didirikan Komnas Perempuan untuk
menerima dan merujuk pengaduan korban yang datang langsung
maupun yang masuk lewat surat dan surat elektronik. Unit ini dikelola
oleh divisi pemantauan Komnas Perempuan.

Ranah Personal atau KDRT/RP Ranah personal atau KDRT/RP


artinya pelaku adalah orang yang memiliki hubungan darah (ayah,
kakak, adik, paman, kakek), kekerabatan, perkawinan (suami) maupun
relasi intim (pacaran) dengan korban. Kasus di ranah KDRT/RP, 60%
atau 6.725 kasus berupa kekerasan terhadap istri, 24% atau 2.734 kasus
kekerasan dalam pacaran, dan 8% atau 930 kasus kekerasan terhadap
anak perempuan. Sedangkan bentuk kekerasan dalam rumah tangga
yang paling banyak terjadi adalah kekerasan fisik menempati peringkat
pertama dengan persentase 38%, diikuti dengan kekerasan seksual
30%, kekerasan psikis 23%, dan ekonomi 9%. Berbeda dari CATAHU
tahun lalu (data 2014) dimana kekerasan seksual menempati peringkat
ketiga, di tahun ini naik kekerasan seksual naik di peringkat kedua.
Bentuk kekerasan seksual tertinggi adalah perkosaan 72% atau 2.399
kasus, pencabulan 18% atau 601 kasus, dan pelecehan seksual 5% atau
166 kasus.

Menurut WHO (2014). Ada beberapa factor resiko terjadinya


kekerasan dalam rumah tangga. Factor resiko tersebut adalah tingkat
pendidikan yang lebih rendah, terpapar peganiayaan saat kecil,
menyaksikan kekerasan dalam keluarga, gangguan kepribadian
antisosial, penggunaan berbahaya dari alcohol, memiliki banyak
pasangan atau diduga oleh pasangan mereka melakukan
perseligkuhan, dan bahwa sikap yang menerima kekerasan dan
ketidakadilan gender. Kekerasan dalam rumah tangga juga bisa
menimbulkan dampak yang tidak hanya pada istri ataupun suami, anak
pun bisa terkena dampak negtif tersebut bahkan akan mengancam
kelangsungan keluarga itu sendiri. Dampak dari kekerasan dalam
rumah tangga yang banyak ternyadi antara lain gangguan kesehata
fisik non- reproduksi, gangguan kesehatan jiwa, kematian atau bunuh
diri. Ketegangan maupun konflik antara suami dan istri maupun orang
tua dengan anak merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga
atau rumah tangga. Tidak ada rumah tangga yang berjalan tanpa
konflik namun konflik dalam rumah tangga bukanlah sesuatu yang
menakutkan. Hampir semua keluarga pernah mengalaminya. Yang
mejadi berbeda adalah bagaimana cara mengatasi dan menyelesaikan
hal tersebut. Setiap keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan
masalahnya masing-masing. Apabila masalah diselesaikan secara baik
dan sehat maka setiap anggota keluarga akan mendapatkan pelajaran
yang berharga yaitu menyadari dan mengerti perasaan, kepribadian
dan pengendalian emosi tiap anggota keluarga sehingga terwujudlah
kebahagiaan dalam keluarga. Penyelesaian konflik secara sehat terjadi
bila masing-masing anggota keluarga tidak mengedepankan
kepentingan pribadi, mencari akar permasalahan dan membuat solusi
yang sama-sama menguntungkan anggota keluarga melalui
komunikasi yang baik dan lancar. Disisi lain, apabila konflik
diselesaikan secara tidak sehat maka konflik akan semakin sering
terjadi dalam keluarga. Penyelesaian masalah dilakukan dengan marah
yang berlebih-lebihan, hentakan-hentakan fisik sebagai pelampiasan
kemarahan, teriakan dan makian maupun ekspresi wajah
menyeramkan. Terkadang muncul perilaku seperti menyerang,
memaksa, mengancam atau melakukan kekerasan fisik. Perilaku
seperti ini dapat dikatakan pada tindakan kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) yang diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga.

2 Rumusan Masalah

a. Apa yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga ?

b. Apa saja bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga ?

c. Apakah faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga ?

d. Apa saja dampak yang ditimbulkan dari kekerasan dalam Rumah


Tangga?

e. Bagaimana cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga ?


3 Tujuan Penulisan

a. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah


tangga.

b. Mengetahui bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga.

c. Mengetahui faktor-fartor apa saja yang menjadi penyebab


Kekerasan dalam Rumah Tangga.

d. Mengetahui Dampak Yang Diakibatkan Kekerasan Dalam Rumah


Tangga.

e. Mengetahui cara penanggulangan kekerasan dalam Rumah Tangga.

4 Manfaat Penulisan
Hasil dari penulisan ini semoga dapat menjadi bahan bagi yang
pembaca dan masyarakat semakin tau tentang kekerasa dalam rumah tangga.
BAB II

ISI

1 Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Kekerasan dalam rumah tangga adalah istilah umum yang merujuk
pada berbagai kekerasan antarpribadi termasuk penganiayaan terhadap
anak, orang tua, saudara kandung, dan pasangan. Kekerasan dalam
Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang No.23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga,
memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.
Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan
perlindungan hukum dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004
yang antara lain menegaskan bahwa:

a. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan


bebes dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila
dan Undang-undang Republik Indonesia tahun 1945.
b. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan dalam rumah
tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan
terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk deskriminasi yang harus
dihapus.
c. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan
adalah perempuan, hal itu harus mendapatkan perlindungan dari
Negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari
kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d perlu dibentuk Undang-undang tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri sebenarnya
merupakan unsur yang berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya
adalah KUHP (kitab undang-undang hukum pidana) pasal 356 yang
secara garis besar isi pasal yang berbunyi: Barang siapa yang
melakukan penganiayaan terhadap ayah, ibu, isteri atau anak
diancam hukuman pidana

2 Bentuk Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan rumah tangga dapat dilakukan dengan berbagaim cara.


Undang undang No 23 tahun 2004 pasal 5 menjelaskan mengenai bentuk
bentuk kekerasa dalam rumah tangga sebagai setiap orang dilarang
melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup
rumah tangganya, dengan cara kekerasan fisik, kekerasan psikis,
kekerasan seksual, atau penelantaran rumah tangga.. Menurut UU
PKDRT (2004), kekerasan fisik yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit
atau luka berat seperti menampar mendorong, menendang, meludah,
mengigit, melempar, meninju, pembakaran, atau penggunaan senjata
misalnya seperti pisau. Kekerasan psikis meliputi perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan /atau penderitaan
psikis berat pada seseorang seperti mengancam, mengurung korban
dirumah, penjagaan yang berlebihan, menghina, mencaci- maki.
Kekerasan seksual yaitu setiap perbuatan yang berupa pemaksaan
hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan tidak wajar dan/
atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk
tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Sedangkan menurut WHO
(2010) kekerasan seksual mencakup pelecehan seksual (termasuk tuntutan
untuk seks untuk pekerjaan), perdagangaan untuk tujuan prostitusi,
dipaksa melakukan pornografi, kehamilan yang dipaksa, sterilisasi yang
dipaksa, aborsi, kawin paksa. Penelantaran rumah tangga seperti tidak
memberi nafkah, membatasi dan/ atau melarang seseorang untuk bekerja
dan sebagainya.
3 Faktor Faktor terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Menurut WHO (2012), factor terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
adalah individu, hubungan masyarakat dan social. Factor individu dapat
timbul dari suami maupun dari istri, factor individu dari suami meliputi
usia muda, tingkat pendidikan yang rendah, menyaksikan atau
pengalaman menjadi korban saat anak-anak, penggunaan alcohol dan obat
obatan, gangguan kepribadian, penerimaan terhadap kekerasan (misalya
kekerasan dapat diterima bagi seorang pria untuk mengatur pasangannya),
pengalaman melakukan tindakan kekerasan sebelumnya. Factor individu
dari istri meliputi tingkat pendidikan yang rendah, terpapar kekerasan dari
orang tua, pelecehan seksual selama masa kanak-kanak, sikap/penerimaan
terhadap kekerasan, dan terpapar bentuk bentuk kekerasan dalam rumah
tangga sebelumnya.
Faktor hubungan meliputi konflik atau ketidakpuasan dalam hubungan
dominasi laki laki dalam keluarga, tekanan ekonomi,perselingkuhan dan
perbedaan tingkat pendidikan, yaitu dimana seorang wanita memiiki
ingkat yang lebih tinggi pendidikan dari pasangan prianta. Faktor
komunitas dan factor social meliputi norma-norma sosial(ketidaksetaraan
gender), kemiskinan, status sosial dan ekonomi perempuan yang lebih
rendah, sanksi hokum lemah terhadap kekerasan dalam pernikahan,
kurangnya hak hak perempuan, termasuk perceraian dan pembatasan
hokum bagi perempuan atau korrban kekerasan atau ketidakadilan
perempuan di dalam hokum pernikahn, sanksi masyarakat lemah terhadap
kekerasan dalam rumah tangga, penerimaan sosial bahwa kekerasan
sebagai cara untuk menyelesaikan konfik dan konflik senjata dalam
masyrakat. Sedangka menurut Strauss A. Murray mengidentifikasi hal
dominasi pria dalam konteks struktur masyarakat dan keluarga, yang
memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital
violence) sebagai berikut:
a) Pembelaan atas kekuasaan laki-laki

Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan


wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.

b) Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi


Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja
mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika
suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.

c) Beban pengasuhan anak


Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai
pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak,
maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam
rumah tangga.

d) Wanita sebagai anak-anak


Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum,
mengakibatkan kele-luasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan
segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk
melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan
terhadap anaknya agar menjadi tertib.

e) Orientasi peradilan pidana pada laki-laki


Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami
kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga
penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim
dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi
suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni
keluarga.
4 Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Menurut Effendi dan Makhfudli (2009), dampak kekerasan


dalam rumah tangga meliputi gangguan kesehatan fisik non-
reproduksi (luka fisik,kecacatan), gangguan kesehatan reproduksi
(penularan penyakit menular seksual, kehamilan yang tidak
diinginkan), gangguan kesehatan jiwa(trauma mental), kematian atau
bunuh diri. Sumber lain mengatakan bahwa dampak dari kekerasan
yang dialami oleh istri secara fisik istri mengalami memar- memar
pada tubuhnya, karena dipukuli, ditampar oleh suami, sedangkan
dampak psikis istri menjadi trauma bila pergi sendirian karena takut
nanti bertemu dengan suaminya, istri menjadi tertekan batinnya.

Menurut WHO (2012),dampak kekerasan terhadap perempuan adalah :

1. Dampak kesehatan fisik, yaitu luka fisik akut atau langsung. Seperti
memar, lecet, luka tusukan benda tajam, luka bakar dan gigitan, serta
patah tulang atau gigi. Cidera yang lebih serius, yang dapat
menyebabkan cacat, termasuk cedera kepala, mata, telinga, dada, dan
perut. Kondisi masalah kesehatan jangka panjang da status kesehatan
yang buruk, termasuk sindrom nyeri kronis. Kematian, termasuk
terbuuh dan kematian karena AIDS.
2. Dampak seksual dan reproduksi, yaitu kehamilan yang tidak
diinginkan, aborsi yang tidak aman, infeksi menular seksual, termasuk
HIV, komplikasi kehamilan/keguguran, perdarahan atau infeksi
vagina, infeksi panggul kronis, rectum,atau keduanya, hubungan
seksual yan menyakitkan dan disfungsi seksual
3. Dampak psikologis yaitu depresi, tidur dan gangguan makan, stress
dan kecemasan gangguan (misalnya pasca trauma stress disorder),
menyakiti diri dan berusaha bunuh diri, harga diri rendah.
4. Dampak perilaku sehari-hari yairtu penggunaan alcohol dan
penggunaan narkoba, memiliki banyak pasangan seksual memilih
pasangan yang memiliki perilaku kasar dikemudian hari, penggunaan
kontrasepsi dan kondom yang rendah.

Menurut Champbell et al, (2002) ada bukti bahwa kekerasan


dalam rumah tangga (KDRT) memiliki konsekuensi negatif jangka
panjang bagi korban bahkan setelah kekerasan tersebut telah berakhir.
Hal ini dapat berpengaruh pada status kesehatan yang lebih rendah dan
kualitas hidup yang rendah dibandingkan wanita yang tidak
dilecehkan. Perempuan korban kekerasan memiliki 50-70 % masalah
ginekologi, masalah system saraf pusat dan masalah stress kronis.
Dampak kesehata yang paling mungkin untuk dilaporkan oleh wanita
yang telah mengalami kekerasan fisik dan sekdual dalam berhubungan
intim mereka. Masalah yang berhubungan dengan stress kronis yang
dapat terjadi termasuk fungsional gangguan pencernaan, kehilangan
nafsu makan dan infeksi virus seperti pilek dan flu. Masalah system
saraf pusat termasuk sakit kepala, sakit punggung, pingsan atau
kejang.

5 Penanggulangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Upaya penanganan KDRT pada hakekatnya secara psikologis


dan pedagogis ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk
menangani KDRT, yaitu pendekatan kuratif dan preventif.

Pendekatan kuratif :
Menyelenggarakan pendidikan orangtua untuk dapat
menerapkan cara mendidik dan memperlakukan anak-anaknya
secara humanis.
Memberikan keterampilan tertentu kepada anggota keluarga
untuk secepatnya melaporkan ke pihak lain yang diyakini
sanggup memberikan pertolongan, jika sewaktu-waktu terjadi
KDRT.
Mendidik anggota keluarga untuk menjaga diri dari perbuatan
yang mengundang terjadinya KDRT.
Membangun kesadaran kepada semua anggota keluarga untuk
takut kepada akibat yang ditimbulkan dari KDRT.
Membekali calon suami istri atau orangtua baru untuk
menjamin kehidupan yang harmoni, damai, dan saling
pengertian, sehingga dapat terhindar dari perilaku KDRT.
Melakukan filter terhadap media massa, baik cetak maupun
elektronik, yang menampilkan informasi kekerasan.
Mendidik, mengasuh, dan memperlakukan anak sesuai dengan
jenis kelamin, kondisi, dan potensinya.
Menunjukkan rasa empati dan rasa peduli terhadap siapapun
yang terkena KDRT, tanpa sedikitpun melemparkan kesalahan
terhadap korban KDRT.
Mendorong dan menfasilitasi pengembangan masyarakat
untuk lebih peduli dan responsif terhadap kasus-kasus KDRT
yang ada di lingkungannya.

Pendekatan Preventif :

Memberikan sanksi secara edukatif kepada pelaku KDRT


sesuai dengan jenis dan tingkat berat atau ringannya
pelanggaran yang dilakukan, sehingga tidak hanya berarti
bagi pelaku KDRT saja, tetapi juga bagi korban dan
anggota masyarakat lainnya.
Memberikan incentive bagi setiap orang yang berjasa
dalam mengurangi, mengeliminir, dan menghilangkan
salah satu bentuk KDRT secara berarti, sehingga terjadi
proses kehidupan yang tenang dan membahagiakan.
Menentukan pilihan model penanganan KDRT sesuai
dengan kondisi korban KDRT dan nilai-nilai yang
ditetapkan dalam keluarga, sehingga penyelesaiannya
memiliki efektivitas yang tinggi.
Membawa korban KDRT ke dokter atau konselor untuk
segera mendapatkan penanganan sejak dini, sehingga tidak
terjadi luka dan trauma psikis sampai serius.
Menyelesaikan kasus-kasus KDRT yang dilandasi dengan
kasih sayang dan keselamatan korban untuk masa
depannya, sehingga tidak menimbulkan rasa dendam bagi
pelakunya.
Mendorong pelaku KDRT untuk sesegera mungkin
melakukan pertaubatan diri kepada Allah swt, akan
kekeliruan dan kesalahan dalam berbuat kekerasan dalam
rumah tangga, sehingga dapat menjamin rasa aman bagi
semua anggota keluarga.
Pemerintah perlu terus bertindak cepat dan tegas terhadap
setiap praktek KDRT dengan mengacu pada UU tentang
PKDRT, sehingga tidak berdampak jelek bagi kehidupan
masyarakat.

Pilihan tindakan preventif dan kuratif yang tepat sangat tergantung pada
kondisi riil KDRT, kemampuan dan kesanggupan anggota keluarga untuk
keluar dari praketk KDRT, kepedulian masyarakat sekitarnya, serta ketegasan
pemerintah menindak praktek KDRT yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

Di dalam sebuah rumah tangga butuh komunikasi yang


baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga
yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga
tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah
pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan
dalam rumah tangga. Seharusnya seorang suami dan istri bisa
mengimbangi kebutuhan psikis, di mana kebutuhan itu sangat
mempengaruhi keinginan kedua belah pihak yang
bertentangan. Seorang suami atau istri harus bisa saling
menghargai pendapat pasangannya masing-masing.
Seperti halnya dalam berpacaran. Untuk
mempertahankan sebuah hubungan, butuh rasa saling percaya,
pengertian, saling menghargai dan sebagainya. Begitu juga
halnya dalam rumah tangga harus dilandasi dengan rasa saling
percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi
kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan
maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih
dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan. Tidak
sedikit seorang suami yang sifat seperti itu, terkadang suami
juga melarang istrinya untuk beraktivitas di luar rumah. Karena
mungkin takut istrinya diambil orang atau yang lainnya. jika
sudah begitu kegiatan seorang istri jadi terbatas. Kurang bergaul
dan berbaur dengan orang lain. Ini adalah dampak dari sikap
seorang suami yang memiliki sifat cemburu yang terlalu tinggi.
Banyak contoh yang kita lihat dilingkungan kita, kajadian
seperti itu. Sifat rasa cemburu bisa menimbukan kekerasan
dalam rumah tangga.
Maka dari itu, di dalam sebuah rumah tangga kedua
belah pihak harus sama-sama menjaga agar tidak terjadi konflik
yang bisa menimbulkan kekerasan. Tidak hanya satu pihak yang
bisa memicu konflik di dalam rumah tangga, bisa suami
maupun istri. Sebelum kita melihat kesalahan orang lain,
marilah kita berkaca pada diri kita sendiri. Sebenarnya apa yang
terjadi pada diri kita, sehingga menimbulkan perubahan sifat
yang terjadi pada pasangan kita masing-masing.

3.2 Saran
Demikian yang dapat saya jelaskan semonga bemanfaat
bagi pembaca dan dalam makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan-kekurangan, oleh karena itu kami senantiasa
menerima saran dan kritik yang sifatnya membangun.
DAFTAR PUSTAKA

World Health Organization. 2010. Diakses tanggal 2 April 2017 pukul 14.00 WIB
available at http://www.who.int/gho/women _and_health.
World Health Organization. 2005. Intimate Partner Violence. Diakses tanggal 2 April
2017 pukul 14.00 WIB availableat http://www.who.int/gho/women _and_health.
Stuart, G.W.2007. Buku saku Keperawatan Jiwa edisi 5.
Jakarta : EGC

Kompas Perempuan. 2014. Dalam kegentingan kekerasan


Seksual: Lemahnya 2015 pukul 10.04 WIB available at
http://www.komnas perempuan.or.id/2014/11/catatan-tahunan-
komnas-perempuan-2014-kegentingan-kekerasan-seksual-
lemahnya-upaya-penanganan-negara/

Depkes. 2005. Available at www.depkes.go.id

Efendi dan Makhfudli.2009. Keperawatan Kesehatan


Komunitas: Teori dan Praktik dalam Keperawatan.
Jakarta:Salemba Medika.

Campbell, J., Jones, A. S., Dienemam, J., Kub,


J.,Schollenberger, J., OCampo, P., Gielen, A. C. & Wyene,C,
2002. Intimate partner violence and pshysicalhealth
consequences, Archives of internal Medicine, vol 162, no. 10,
pp.1157-1163.

Anda mungkin juga menyukai