Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan dan

berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan

kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga memerlukan organisasi tersendiri dan

perlu kepala rumah tangga sebagai tokoh penting yang memimpin keluarga

disamping beberapa anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga terdiri dari Ayah,

ibu, dan anak merupakan sebuah satu kesatuan yang memiliki hubungan yang sangat

baik. Hubungan baik ini ditandai dengan adanya keserasian dalam hubungan timbal

balik antar semua anggota/individu dalam keluarga. Sebuah keluarga disebut

harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai dengan

tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap keadaan (fisik,

mental, emosi dan sosial) seluruh anggota keluarga. Keluarga disebut disharmonis

apabila terjadi sebaliknya.

Ketegangan maupun konflik antara suami dan istri maupun orang tua dengan

anak merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah tangga. Tidak ada

rumah tangga yang berjalan tanpa konflik namun konflik dalam rumah tangga

bukanlah sesuatu yang menakutkan. Hampir semua keluarga pernah mengalaminya.


Yang mejadi berbeda adalah bagaimana cara mengatasi dan menyelesaikan hal

tersebut.

Setiap keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya masing-

masing. Apabila masalah diselesaikan secara baik dan sehat maka setiap anggota

keluarga akan mendapatkan pelajaran yang berharga yaitu menyadari dan mengerti

perasaan, kepribadian dan pengendalian emosi tiap anggota keluarga sehingga

terwujudlah kebahagiaan dalam keluarga. Penyelesaian konflik secara sehat terjadi

bila masing-masing anggota keluarga tidak mengedepankan kepentingan pribadi,

mencari akar permasalahan dan membuat solusi yang sama-sama menguntungkan

anggota keluarga melalui komunikasi yang baik dan lancar. Disisi lain, apabila

konflik diselesaikan secara tidak sehat maka konflik akan semakin sering terjadi

dalam keluarga.

Penyelesaian masalah dilakukan dengan marah yang berlebih-lebihan,

hentakan-hentakan fisik sebagai pelampiasan kemarahan, teriakan dan makian

maupun ekspresi wajah menyeramkan. Terkadang muncul perilaku seperti

menyerang, memaksa, mengancam atau melakukan kekerasan fisik. Perilaku seperti

ini dapat dikatakan pada tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang

diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat

timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau

penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,

pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup

rumah tangga.
B. RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah dari makalah di atas adalah

1. Apa yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga ?

2. Apa saja bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga ?

3. Apakah faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga ?

4. Bagaimana cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga ?

5. Apakah perlindungan bagi korban KDRT?

6. Apakah pengertian KDRT menurut UU?

C. TUJUAN

Tujuan dari rumusan masalah di atas yaitu

1. Menjelaskan yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

2. Menjelaskan apa saja bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga.

3. Menjelaskan faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga.

4. Menjelaskan cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

5. Menjekaskan perlindungan bagi korban KDRT.

6. Menjelaskan pengertian KDRT menurut UU.


BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang

No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, memiliki

arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat

timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau

penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,

pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup

rumah tangga.

Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan perlindungan hukum

dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang antara lain menegaskan bahwa:

a. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebes dari segala

bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Republik

Indonesia tahun 1945.

b. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan dalam rumah tangga merupakan

pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta

bentuk deskriminasi yang harus dihapus.

c. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan,

hal itu harus mendapatkan perlindungan dari Negara dan/atau masyarakat agar

terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau

perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.


d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c,

dan huruf d perlu dibentuk Undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam

rumah tangga.

Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri sebenarnya merupakan

unsur yang berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah KUHP (kitab undang-

undang hukum pidana) pasal 356 yang secara garis besar isi pasal yang berbunyi:

“Barang siapa yang melakukan penganiayaan terhadap ayah, ibu, isteri

atau anak diancam hukuman pidana”

B. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri

dalam rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam :

a. Kekerasan fisik

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka

berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah

menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang,

menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya

perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka

lainnya.

b. Kekerasan psikologis / emosional


Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan

ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa

tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah

penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri,

mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana

memaksakan kehendak.

c. Kekerasan seksual

Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan

batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri,

tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.

Kekerasan seksual berat, berupa:

1. Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual,

mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa

muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.

2. Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak

menghendaki.

3. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau

menyakitkan.

4. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau

tujuan tertentu.
5. Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan

korban yang seharusnya dilindungi.

6. Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang

menimbulkan sakit, luka,atau cedera.

Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal seperti

komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non

verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang

meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan

atau menghina korban. Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat

dimasukkan ke dalam jenis kekerasan seksual berat.

d. Kekerasan ekonomi

Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,

padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian

ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan

menghabiskan uang istri.

Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan

pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:

 Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran.

 Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.


 Mengambi l tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan

atau memanipulasi harta benda korban.

Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang

menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak

terpenuhi kebutuhan dasarnya.

C. Faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur

masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah

tangga (marital violence) sebagai berikut:

a. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki

Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita,

sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.

b. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi

Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan

wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan

maka istri mengalami tindakan kekerasan.

c. Beban pengasuhan anak


Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh

anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan

menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.

d. Wanita sebagai anak-anak

Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan kele-

luasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban

wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang

bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.

e. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki

Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh

suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya

sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum

yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak

dalam konteks harmoni keluarga.

D. Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga, diperlukan cara-

cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga, antara lain:

a. Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada

agamanya sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi

dengan baik dan penuh kesabaran.


b. Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena didalam

agama itu mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang

lain. Sehingga antara anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap pendapat

yang ada.

c. Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah

rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada

keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi

pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.

d. Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya antar

anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika

sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika

tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang

berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.

e. Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam

keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang

minim, sehingga kekurangan ekonomi dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.

E. Perlindungan bagi Korban KDRT.

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dulu dianggap mitos dan persoalan

pribadi (private), kini menjadi fakta dan relita dalam kehidupan rumah tangga.

Dengan berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) maka persoalan KDRT ini menjadi
domain publik. Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan dan pelakunya

adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang

tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban KDRT adalah orang

yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian

dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di rumah ini.

Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terpaut dengan

struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami. Padahal

perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman

terhadap korban serta menindak pelakunya.

UU PKDRT secara substanstif memperluas institusi dan lembaga pemberi

perlindungan agar mudah diakses oleh korban KDRT, yaitu pihak keluarga, advokat,

lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya,baik

perlindungan sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Di sini terlihat,

bahwa institusi dan lembaga pemberi perlindungan itu tidak terbatas hanya lembaga

penegak hukum, tetapi termasuk juga lembaga sosial bahkan disebutkan pihak

lainnya.

Peran pihak lainnya lebih bersifat individual. Peran itu diperlukan karena luasnya

ruang dan gerak tindak KDRT, sementara institusi dan lembaga resmi yang

menangani perlindungan korban KDRT sangatlah terbatas. Pihak lainnya itu adalah

setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya tindak KDRT.

Mereka diwajibkan mengupayakan pencegahan, perlindungan, pertolongan darurat

serta membantu pengajuan permohonan penetapan perlindungan baik langsung


maupun melalui institusi dan lembaga resmi yang ada.Dilihat dari stelsel hukum

pidana, tindak KDRT ini adalah tindak kekerasan sebagaimana diatur dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yakni tindak pidana penganiayaan,

kesusilaan, serta penelantaran orang yang

perlu diberi nafkah dan kehidupan. Lalu mengapa masih diperlukan UU PKDRT?

Memang, tindak kekerasan yang diatur dalam PKDRT ini mempunyai sifat

khas/spesifik, misalnya peristiwa itu terjadi di dalam rumah tangga, korban dan

pelakunya terikat hubungan kekerasan atau hubungan hukum tertentu lainnya, serta

berpotensi dilakukan secara berulang (pengulangan) dengan penyebab (causa) yang

lebih kompleks dari tindak kekerasan pada umumnya. Itu sebabnya, tindak kekerasan

ini lebih merupakan persoalan sosial yang tidak hanya dilihat

dari perspektif hukum. Penyelesaiannya harus dilakukan secara komprehensif,

melalui proses sosial, hukum, psikologi, kesehatan, dan agama, dengan melibatkan

berbagai disiplin, lintas institusi dan lembaga.

Bagaimanakah bentuk dan cara perlindungan itu, serta bagaimanakah hubungan

masing-masing institusi dan lembaga pemberi perlindungan itu secara konkret dan

faktual di lapangan? Itulah pokok persoalan yang perlu dibahas lebih lanjut.

Yang lebih penting lagi adalah bagaimana persoalan itu dipahami oleh

masyarakat luas sehingga cita-cita yang hendak dicapai oleh legislator yang

terkandung dalam UU PKDRT dapat terwujud sesuai harapan.

Bentuk perlindungan Korban KDRT atau bahkan lembaga pemberi perlindungan

itu sendiri belum tentu memahami bagaimana perlindungan


itu didapatkan dan bagaimana diberikan. Bagi korban yang status soseknya lebih

tinggi atau institusi dan lembaga yang tugas dan fungsinya selaku penegak hukum,

tentu persoalan mendapatkan dan atau memberikan perlindungan itu bukanlah

masalah. Tetapi bagi institusi dan lembaga di luar itu, perlu mendapatkan

pengetahuan dan keterampilan yang cukup serta akreditasi selaku institusi dan

lembaga pemberi perlindungan terhadap korban KDRT.

UU PKDRT secara selektif membedakan fungsi perlindungan dengan fungsi

pelayanan. Artinya tidak semua institusi dan lembaga itu dapat memberikan

perlindungan apalagi melakukan tindakan hukum dalam rangka pemberian sanksi

kepada pelaku. Perlindungan oleh institusi dan lembaga non-penegak hukum lebih

bersifat pemberian pelayanan konsultasi, mediasi, pendampingan dan rehabilitasi.

Artinya tidak sampai kepada litigasi. Tetapi walaupun demikian, peran masing-

masing institusi dan lembaga itu sangatlah penting dalam upaya mencegah dan

menghapus tindak KDRT.

Selain itu, UU PKDRT juga membagi perlindungan itu menjadi perlindungan

yang bersifat sementara dan perlindungan dengan penetapan pengadilan serta

pelayanan. Perlindungan dan pelayanan diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai

tugas dan fungsinya masing-masing:

a. Perlindungan oleh kepolisian berupa perlindungan sementara yang diberikan paling

lama 7 (tujuh) hari, dan dalam waktu 1 X 24 jam sejak memberikan perlindungan,

kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.

Perlindungan sementara oleh kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama dengan
tenaga kesehatan, sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk

mendampingi korban. Pelayanan terhadap korban KDRT ini harus menggunakan

ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian dengan sistem dan mekanisme kerja

sama program pelayanan yang mudah diakses oleh korban.Pemerintah dan

masyarakat perlu segera membangun rumah aman (shelter) untuk menampung,

melayani dan mengisolasi korban dari pelaku KDRT. Sejalan dengan itu, kepolisian

sesuai tugas dan kewenangannya dapat melakukan penyelidikan, penangkapan dan

penahanan dengan bukti permulaan yang cukup dan disertai dengan perintah

penahanan terhadap pelaku KDRT. Bahkan kepolisian dapat melakukan penangkapan

dan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelanggaran perintah perlindungan,

artinya surat penangkapan dan penahanan itu dapat diberikan setelah 1 X 24 jam.

b. Perlindungan oleh advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum, melakukan

mediasi dan negosiasi di antara pihak termasuk keluarga korban dan keluarga pelaku

(mediasi), dan mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan dalam sidang pengadilan (litigasi), melakukan koordinasi dengan

sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial(kerja sama dan

kemitraan).

c. Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk perintah

perlindungan yang diberikan selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang.

Pengadilan dapat melakukan penahanan dengan surat perintah penahanan terhadap

pelaku KDRT selama 30 (tiga puluh) hari apabila pelaku tersebut melakukan

pelanggaran atas pernyataan yang ditandatanganinya mengenai kesanggupan untuk


memenuhi perintah perlindungan dari pengadilan. Pengadilan juga dapat memberikan

perlindungan tambahan atas pertimbangan bahaya yang mungkin timbul terhadap

korban.

d. Pelayanan tenaga kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya pemberian

sanksi terhadap pelaku KDRT. Tenaga kesehatan sesuai profesinya wajib

memberikan laporan tertulis hasil pemeriksaan medis dan membuat visum et

repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau membuat surat keterangan medis

lainnya yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti.

e. Pelayanan pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling untuk menguatkan dan

memberi rasa aman bagi korban, memberikan informasi mengenai hak-hak korban

untuk mendapatkan perlindungan, serta mengantarkan koordinasi dengan institusi dan

lembaga terkait.

f. Pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban mengenai hak-hak korban

untuk mendapatkan seorang atau beberapa relawan pendamping, mendampingi

korban memaparkan secara objektif tindak KDRT yang dialaminya pada tingkat

penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan, mendengarkan dan memberikan

penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban.

g. Pelayanan oleh pembimbing rohani diberikan untuk memberikan penjelasan

mengenai hak, kewajiban dan memberikan penguatan iman dan takwa kepada korban.

Bentuk perlindungan dan pelayanan ini masih besifat normatif, belum

implementatif dan teknis oparasional yang mudah dipahami, mampu dijalankan dan

diakses oleh korban KDRT. Adalah tugas pemerintah untuk merumuskan kembali
pola dan strategi pelaksanaan perlindungan dan pelayanan dan mensosialisasikan

kebijakan itu di lapangan. Tanpa upaya sungguh-sungguh dari pemerintah dan semua

pihak, maka akan sangat sulit dan mustahil dapat mencegah apalagi menghapus

tindak KDRT di muka bumi Indonesia ini, karena berbagai faktor pemicu terjadinya

KDRT di negeri ini amatlah subur.

Bahwa anggapan orang terjadinya KDRT merupakan akibat dari suatu sebab

konvensional seperti disharmonisasi dari tekanan sosial ekonomi yang rendah,

perangai dan tabiat pelaku yang kasar, serta gagal dalam karier dan pekerjaan ternyata

tidaklah sepenuhnya benar, karena KDRT justru acapkali dilakukan oleh mereka yang

kondisi sosial ekonominya baik, sukses karier dan pekerjaannya, bahkan

berpendidikan tinggi.

KDRT merupakan multi persoalan, termasuk persoalan sosial, ekonomi,

budaya, hukum, agama dan hak asasi manusia. Upaya menghapus KDRT di muka

bumi Indonesia adalah perjuangan panjang bangsa ini, khususnya kaum perempuan

yang rentan menjadi korban KDRT. Upaya sungguh-sungguh itu diharapkan dapat

mempengaruhi struktur dan karakteristik multi persoalan tadi menjadi nilai yang

diyakini benar dan dapat memberi rasa aman, tenteram, adil dan bermartabat bagi

keluarga dan bangsa Indonesia.

F. Pengertian KDRT menurut UU.

KDRT sudah diatur dalam Undang-undang, dan sebaiknya masyarakat

mengetahui apa dan bagaimana Undang-undang ini.


1. KDRT SEBELUM ADANYA UNDANG-UNDANG PENGHAPUSAN KDRT.

Berbagai pendapat, persepsi, dan definisi mengenai KDRT berkembang dalam

masyarakat. Pada umumnya orang berpendapat bahwa KDRT adalah urusan intern

keluarga dan rumah tangga. Anggapan ini telah membudaya bertahun, berabad

bahkan bermilenium lamanya, di kalangan masyarakat termasuk aparat penegak

hukum. Jika seseorang (perempuan atau anak) disenggol di jalanan umum dan ia

minta tolong, maka masyarakat termasuk aparat polisi akan segera menolong dia.

Namun jika seseorang (perempuan dan anak) dipukuli sampai babak belur di dalam

rumahnya, walau pun ia sudah berteriak minta tolong, orang segan menolong karena

tidak mau mencampuri urusan rumah tangga orang lain.

Berbagai kasus akibat fatal dari kekerasan orangtua terhadap anaknya, suami

terhadap istrinya, majikan terhadap pembantu rumahtangga, terkuak dalam surat

kabar dan media masa. Masyarakat membantu dan aparat polisi bertindak setelah

akibat kekerasan sudah fatal, korbannya sudah meninggal, atau pun cacat. Telah

menjadi satu trend dewasa ini, bahwa masyarakat termasuk aparat penegak hukum

berpendapat bahwa diperlukan undang-undang sebagai dasar hukum untuk dapat

mengambil tindakan terhadap suatu kejahatan, demikian pula untuk menangani

KDRT. Syukurlah Undang-undangnya telah ada yaitu UU No.23 Tahun 2004 tentang

PENGHAPUSAN KDRT (UU P KDRT).

2. PENGERTIAN KDRT MENURUT UNDANG-UNDANG

Menurut UU P KDRT:KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang

terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara


fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasukancaman

untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara

melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 Butir 1).

Catatan: Untuk anak telah diatur dalam UU No.23 Tahun 2002 tentang

PERLINDUNGAN ANAK. Pasal 2 menjabarkan selanjutnya:

(1) Lingkup rumahtangga dalam Undang-undang ini meliputi:

i. suami, istri, dan anak

ii. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga

dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah,

perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah

tangga; dan/atau

iii. orang yang bekerja membantu rumah tanggadan menetap

dalam rumah tangga tersebut

(2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud dalam huruf c dipandang sebagai

anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang

bersangkutan.

G. Penegakan hukum uu KDRT ditinjau dalam perspektif sosiologis hukum.

Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum

yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan

evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan interaksi antara

berbagai perilaku manusia mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam


bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum

tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana

pendapat kaum legalistic. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang

lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan

melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat

mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu menonjol adalah

problema “law in action” bukan pada “law in the books”

Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto , dipengaruhi

oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-udangan. Kedua,

faktor, aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses

pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas.

Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum.

Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial dimana hkum tersebut berlaku

atau diterapkan, berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang

merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya,

cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Sementara itu, Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan

hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen system hukum. Sistem

hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni ; komponen

struktur hukum (legal structure), komponen substansi hukum(legal substance) dan

komponen budaya hukum (legal culture) serta dalam perkembangannya kemudian

ditambahkan dengan komponen struktur hukum (Legal Structure).


Perumusan norma atau kaidah di dalam undang-undang ini, dituangkan di dalam

Pasal-pasal 5 s/d 9. Di dalam Pasal 5 dinyatakan, setiap orang dilarang melakukan

kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang lingkup rumah tangganya dengan cara:

a. kekerasan fisik; b. Kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran

rumah tangga.

Di dalam Pasal 6 dinyatakan bahwa, kekerasan fisik sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 5 huruf a adalah perubahan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit,

atau luka berat. Selanjutnya Pasal 7 memuat pernyataan bahwa, kekerasan psikis

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan

ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa

tidak berdaya, dan /atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

Sementara itu, dalam Pasal 8 dinyatakan, kekerasan seksual sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 5 huruf c meliputi: (a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan

terhadap orang menetapkan dalam lingkup rumah tangga tersebut; (b) pemaksaan

hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan

orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertantu.

Kemudian di dalam Pasal 9 dinyatakan, (1) Setiap orang dilarang menelantarkan

orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku

baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,

perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut; (2) Penelantaran sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan

ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja


yang layak di dalam atau di luar sehingga korban berada di bawah kendali orang

tersebut.

Di dalam Undang-undang ini juga dinyatakan bahwa, tindak pidana kekerasan

fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan (Pasal

51). Demikian juga, tindak pidana kekerasan psikis sebagaimanadimaksud dalam

Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan (Pasal 52). Demikian juga halnya, tindak

pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh

suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakandelik aduan (Pasal 53).

Sosiologi Hukum menggambarkan bahwa mengenalkan hukum ke dalam arena-

arena sosial dalam masyarakat, sama dengan mengantarkan sebuah Undang-undang

ke dalam ruang kosong dan hampa udara. Ketika sebuah Undang-undang diantarkan

ke suatu arena sosial, maka di dalam arena sosial tersebut sudah penuh dengan

berbagai pengaturan sendiri yang dibuat oleh masyarakat, yang disebut sebagai Self

Regulation (Moore, 1983). Ini membuat pembicaraan tentang masuknya suatu

instrumen hukum yang bertujuan memajukan hak asasi perempuan dan keadilan

gender, harus dilakukan secara hati-hati.

Arena sosial itu sendiri memiliki hakekat adanya kapasitas untuk menciptakan

aturan-aturan sendiri beserta sanksinya. Dalam hal ini aturan aturan tersebut tidak

hanya bersumber dari adat, agama dan kebiasaan kebiasaan lain, tetapi juga

mendapatkan pengaruh dari perkembangan dunia global saat ini. Berbagai Self

Regulation dalam arena-arena sosial tersebut sangatlah rumit, karena terjadinya saling

pengaruh dan adopsi di antara berbagai aturan tersebut satu sama lain.
Suatu aturan tidak pernah tidak setelah ditetapkan karena aturan tersebut akan

terus dimodifikasi oleh masyarakat. Itu sebabnya arena sosial tersebut disebut sebagai

Semi- Autonomous Social Field (Moore, 1983). Moore juga mengatakan bahwa di

antara aturan-aturan hukum yang saling bertumpang tindih di dalam arena sosial

tersebut, ada satu hukum yang sangat besar pengaruhnya yaitu hukum negara.

Namun, ini bukan berarti bahwa hukum negara menjadi satu-satunya hukum yang

paling ditaati.

Dalam Socio-Legal Perspectives, sangat disadari bahwa aturan-aturan yang hidup

dalam masyarakat, sangat terkait erat dengan budayanya. Aturan-aturan yang ada

dalam masyarakat yang “memberi celah (loop holes)” kepada terjadinya banyak

kasus tentang kekerasan terhadap perempuan, secara khusus di dalam kehidupan

rumah tangga, dikarenakan himpitan hukum negara dengan kentalnya budaya

patriarkhi. Budaya hukum yang patriarkhis ini juga bersemai dalam institusi

penegakan hukum sebagai bagian dari masyarakat. Hukum sangat erat kaitannya

dengan budaya di mana hukum itu berada.

Disini menyatakan bahwa hukum dan budaya bagaikan dua sisi dari satu keping

mata uang yang sama, dalam arti hukum itu merumuskan substansi budaya yang

dianut oleh suatu masyarakat. Bila budaya yang diakomodasi dalam rumusan-

rumusan hukum itu adalah budaya patriarkhis, maka tidak mengherankan apabila

hukum yang dimunculkan adalah hukum yang tidak memberi keadilan terhadap

perempuan. Dalam hal ini, budaya menempatkan perempuan dan laki-laki dalam

hubungan kekuasaan yang timpang dan hukum melegitimasinya.


Sebagian Sarjana Hukum percaya, bahwa bila hukum sudah dibuat, maka

berbagai persoalan dalam masyarakat berkenaan dengan apa yang diatur dalam

hukum tersebut, sudah dapat diatasi atau bahkan dianggap selesai. Mereka sangat

menjunjung tinggi nilai-nilai objektivitas dan netralitas dalam hukum, dengan

mempercayai bahwa hukum yang objektif dan netral akan memberikan keadilan bagi

setiap warga masyarakat. Dalam hal ini mereka mengartikan hukum sebatas Undang-

undang yang dibuat oleh negara. Hukum negara merupakan entitas yang jelas batas-

batasnya, berkedudukan superior dan terpisah dari hukum-hukum yang lain.

Pendekatan Sosiologi Hukum menunjukkan bahwa hukum negara bukanlah satu-

satunya acuan berperilaku dalam masyarakat. Dalam kenyataannya, “hukum-hukum”

lain yang menjadi acuan berperilaku tersebut justru diikuti secara efektif oleh

masyarakat, dikarenakan hukum itulah yang mereka kenal, hidup dalam wilayah

sendiri, diwariskan secara turun-temurun dan mudah diikuti dalam praktik sehari-hari.

Sukar untuk mereka bayangkan bahwa ada hukum lain yang lebih dapat diandalkan

daripada hukum yang mereka miliki sendiri, terlebih bila hukum itu datang dari

domain yang “asing”, yang mengklaim diri sebagai otoritas tertinggi yaitu negara.

Frederich von Savigny tidak dapat menerima kebenaran anggapan tentang

berlakunya hukum positif yang sekali dibentuk diberlakukan sepanjang waktu dan

tempat. Menurut Savigny, masyarakat merupakan kesatuan organis yang memiliki

kestuan keyakinan umum, yang disebutnya jiwa masyarakat atau jiwa bangsa atau

volksgeist yaitu kesamaan pengertian dan keyakinan terhadap sesuatu. Maka menurut

aliran ini, sumber hukum adalah jiwa masyarakat, dan isinya adalah aturan tentang
kebiasaan hidup masyarakat. Hukum tidak dapat dibentuk melainkan tumbuh dan

berkembang bersama dengan kehidupan masyarakat.

Undang-undang dibentuk hanya untuk mengatur hubungan masyarakat atas

kehendak masyarakat itu melalui negara. Bahwa dengan ditetapkannya berbagai

perbuatan sebagai tindak pidana (dikategorikan sebagai delik aduan ) di dalam UU

PKDRT, secara konseptual, delik aduan merupakan delik atau tindak pidana

penuntutannya di pengadilan digantungkan pada adanya inisiatif dari pihak sikorban.

Dalam hal suatu tindak pidana dikualifikasikan sebagai delik atau tindak pidana

aduan, maka pihak korban atau keluarganyalah yang harus bersikap proaktif untuk

mempertimbangkan apakah peristiwa yang baru dialaminya akan diadukan kepada

pihak berwajib untuk dimintakan penyelesaian menurut ketentuan hukum pidana.

Pengkualifikasian suatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana sebagai delik

aduan, menunjukkan pendirian pembentuk undang-undang Indonesia bahwa

kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan ini lebih bersifat pribadi dari pada publik.

Konsekuensi logis dari perumusan perbuatan kekerasan dalam rumah tangga

sebagai delik aduan di dalam UU PKDRT ini ialah, pihak aparat penegak hukum

hanya dapat bersifat pasif, dan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan

intervensi atau campur tangan dalam suatu urusan warga masyarakat yang secara

yuridis dinyatakan sebagai masalah domestik, dan penegakan ketentuan di dalam

undang undang ini lebih banyak bergantung pada kemandirian dari setiap orang yang

menjadi sasaran perlindungan hukum undang-undang ini.


Permasalahan yang muncul dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah

bahwa keengganan seorang istri yang menjadi korban kekerasan melaporkan kepada

pihak yang berwajib, dalam hal ini polisi, karena beberapa akibat yang muncul dari

laporan tersebut adalah perceraian, kehilangan nafkah hidup karena suami masuk

penjara, masa depan anak-anak terancam dan lain-lain.

Dengan kondisi seperti tersebut maka dilihat dari segi sosiologi hukum, peluang

keberhasilan penegakan hukum UU PKDRT ini sanagat sulit untuk mencapai

keberhasilan maksimal.

Merujuk pada teori sistem Friedman, sebagaimana disebutkan di bagian depan,

faktor kesulitan penegakan hukum itu justru bersumber pada komponen substansi

hukumnya sendiri, nilai nilai kultural yang terdapat di dalam masyarakat berkaitan

dengan kehidupan rumah tangga itu.

Dengan Perumusan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dengan segala

kompleksitas permasalahannya sebagai tindak pidana aduan, menjadikan tindakan-

tindakan yang mengarah pada upaya pemidanaan pelakunya justru akan mengarah

pada timbulnya dampak-dampak kontra produktif terhadap tujuan dasar pembentukan

UU PKDRT itu sendiri.

Oleh karena itu, kembali kepada ide dasar penggunaan hukum pidana sebagai

sarana terakhir dalam upaya penanggulangan kejahatan (ultimum remedium), maka

keberadaan UU PKDRT harus lebih ditekankan pada upaya optimasi fungsi hukum

administrasi negara dalam masyarakat. Upaya mengoptimalkan fungsi hukum

administrasi negara, dalam kaitan ini yang dimaksudkan adalah upaya untuk
mendidik moralitas seluruh lapisan warga masyarakat ke arah yang lebih positif

berupa terwujudnya masyarakat yang bermoral anti kekerasan dalam rumah tangga.

Negara sepatutnya kembali melihat pada kenyataan dalam masyarakat Indonesia

yang sangat patriarkhis untuk selanjutnya dapat menilai dengan lebih bijak mengenai

langkah lain yang patut diambil untuk dapat membuat keberlakuan UU PKDRT

menjadi efektif di dalam prakteknya dan pada akhirnya dapat berujung pada tujuan

pengundangan UU PKDRT, yaitu menghapuskan atau setidaknya meminimalisir

kasus-kasus KDRT terhadap perempuan dalam kehidupan bermasyarakat di

Indonesia.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Seharusnya seorang suami dan istri harus banyak bertanya dan belajar, seperti

membaca buku yang memang isi bukunya itu bercerita tentang bagaimana cara

menerapkan sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah.

Di dalam sebuah rumah tangga butuh komunikasi yang baik antara suami dan

istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam

sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah
pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.

Seharusnya seorang suami dan istri bisa mengimbangi kebutuhan psikis, di mana

kebutuhan itu sangat mempengaruhi keinginan kedua belah pihak yang bertentangan.

Seorang suami atau istri harus bisa saling menghargai pendapat pasangannya masing-

masing.

Seperti halnya dalam berpacaran. Untuk mempertahankan sebuah hubungan,

butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya. Begitu juga

halnya dalam rumah tangga harus dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah

ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak

ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih

dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan. Tidak sedikit seorang suami yang

sifat seperti itu, terkadang suami juga melarang istrinya untuk beraktivitas di luar

rumah. Karena mungkin takut istrinya diambil orang atau yang lainnya. jika sudah

begitu kegiatan seorang istri jadi terbatas. Kurang bergaul dan berbaur dengan orang

lain. Ini adalah dampak dari sikap seorang suami yang memiliki sifat cemburu yang

terlalu tinggi. Banyak contoh yang kita lihat dilingkungan kita, kajadian seperti

itu. Sifat rasa cemburu bisa menimbukan kekerasan dalam rumah tangga.

Maka dari itu, di dalam sebuah rumah tangga kedua belah pihak harus sama-

sama menjaga agar tidak terjadi konflik yang bisa menimbulkan kekerasan. Tidak

hanya satu pihak yang bisa memicu konflik di dalam rumah tangga, bisa suami

maupun istri. Sebelum kita melihat kesalahan orang lain, marilah kita berkaca pada
diri kita sendiri. Sebenarnya apa yang terjadi pada diri kita, sehingga menimbulkan

perubahan sifat yang terjadi pada pasangan kita masing-masing.

CONTOH KASUS

Contoh Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga yang terjadi dimasyarakat :

Contoh kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga yang kami ambil adalah Kekerasan

dalam Rumah Tangga yang dialami oleh Cici Paramida. Dimana dalam kasus

KDRTnya ini, wajah Cici Paramida babak belur akibat peristiwa penabarakan yang

diduga dilakukan suaminya, Suhaebi. Peristiwa itu sendiri berawal ketika Cici yang

mencurigai suaminya membawa perempuan lain mencoba mengejar mobil suaminya

hingga ke kawasan puncak, Kabupaten Bogor. Saat kedua mobil tiba di kawasan

Gang Semen, Jalan Raya Puncak, Cisarua, mobil Cici menyalip.

Cici kemudian turun dari mobil. “Saat dia mau mendekati mobil itu, tiba-tiba mobil

digas sehingga menyerempet Cici. Akibatnya Cici Paramida tampak terluka di

bagian wajah dan lengan seperti bekas tersenggol. Kemudian atas Kekerasan yang

dilakukan oleh Suhebi, Cici melaporkan tindakan kekerasan itu polisi.

Dari contoh kasus diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa seorang suami

seharusnya menjaga kepercayaan yang diberikan oleh istrinya. Suatu hubungan akan

berjalan harmonis apabila sebuah pasangan dilandasi dengan percaya kepada

pasangannya. Namun kejadian ini tidak akan terjadi apabila sang istri menanyaka

secara baik-baik kepada suaminya. Apakah benar ia bersama perempuan lain atau

hanya sekedar rekan kerjanya.


B. SARAN

Demikian yang dapat kami jelaskan semonga bemanfaat bagi pembaca dan

dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan-kekurangan, oleh karena itu

kami senantiasa menerima saran dan kritik yang sifatnya membangun.

DAFTAR PUSTAKA

Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang, Suryandaru


utama.
Fakih, Mansour, 1998, Diskriminasi dan Beban Kerja Perempuan: Perspektif
Gender, Yogyakarta: CIDESINDO.
Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional , Bandung: Alumni.
Otje Salman, Anton F. Susanto, Beberapa Asoek Sosiologi Hukum, Bandung,
Alumni.
Undang-undang tentang Penghapusan KDRT No. 23 tahun 2004, Kenapa Laki-
Laki Melakukan Tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)?
http://www.erwinmiradi.com/kenapa-laki-l... #erwinmiradi.com
Kekerasan pada Istri dalam rumah tangga
http://maureenlicious.wordpress.com/2011/04/28/kekerasan-pada-istri-dalam-rumah-
tangga/
KDRT Cici Paramida, Suheaby diperiksa Polisi
http://syscomnet.info/kdrt-cici-paramida-suhaeby-diperiksa-polisi.html/

Anda mungkin juga menyukai