PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan dan
perlu kepala rumah tangga sebagai tokoh penting yang memimpin keluarga
disamping beberapa anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga terdiri dari Ayah,
ibu, dan anak merupakan sebuah satu kesatuan yang memiliki hubungan yang sangat
baik. Hubungan baik ini ditandai dengan adanya keserasian dalam hubungan timbal
harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai dengan
tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap keadaan (fisik,
mental, emosi dan sosial) seluruh anggota keluarga. Keluarga disebut disharmonis
Ketegangan maupun konflik antara suami dan istri maupun orang tua dengan
anak merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah tangga. Tidak ada
rumah tangga yang berjalan tanpa konflik namun konflik dalam rumah tangga
tersebut.
masing. Apabila masalah diselesaikan secara baik dan sehat maka setiap anggota
keluarga akan mendapatkan pelajaran yang berharga yaitu menyadari dan mengerti
anggota keluarga melalui komunikasi yang baik dan lancar. Disisi lain, apabila
konflik diselesaikan secara tidak sehat maka konflik akan semakin sering terjadi
dalam keluarga.
ini dapat dikatakan pada tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang
rumah tangga.
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
TINJAUAN TEORI
No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, memiliki
rumah tangga.
dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang antara lain menegaskan bahwa:
a. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebes dari segala
b. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan dalam rumah tangga merupakan
pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta
c. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan,
hal itu harus mendapatkan perlindungan dari Negara dan/atau masyarakat agar
terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau
rumah tangga.
unsur yang berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah KUHP (kitab undang-
undang hukum pidana) pasal 356 yang secara garis besar isi pasal yang berbunyi:
a. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka
berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah
perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka
lainnya.
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana
memaksakan kehendak.
c. Kekerasan seksual
1. Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual,
mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa
2. Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak
menghendaki.
3. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau
menyakitkan.
4. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau
tujuan tertentu.
5. Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan
6. Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang
komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non
verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang
meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan
d. Kekerasan ekonomi
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian
Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan
menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak
wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan
anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan
Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan kele-
luasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban
wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh
sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum
yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak
a. Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada
agamanya sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi
agama itu mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang
lain. Sehingga antara anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap pendapat
yang ada.
c. Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah
rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada
keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi
d. Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya antar
anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika
sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika
tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang
e. Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam
keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang
minim, sehingga kekurangan ekonomi dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dulu dianggap mitos dan persoalan
pribadi (private), kini menjadi fakta dan relita dalam kehidupan rumah tangga.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) maka persoalan KDRT ini menjadi
domain publik. Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan dan pelakunya
adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang
tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban KDRT adalah orang
dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di rumah ini.
Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terpaut dengan
struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami. Padahal
perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman
perlindungan agar mudah diakses oleh korban KDRT, yaitu pihak keluarga, advokat,
bahwa institusi dan lembaga pemberi perlindungan itu tidak terbatas hanya lembaga
penegak hukum, tetapi termasuk juga lembaga sosial bahkan disebutkan pihak
lainnya.
Peran pihak lainnya lebih bersifat individual. Peran itu diperlukan karena luasnya
ruang dan gerak tindak KDRT, sementara institusi dan lembaga resmi yang
menangani perlindungan korban KDRT sangatlah terbatas. Pihak lainnya itu adalah
setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya tindak KDRT.
pidana, tindak KDRT ini adalah tindak kekerasan sebagaimana diatur dalam Kitab
perlu diberi nafkah dan kehidupan. Lalu mengapa masih diperlukan UU PKDRT?
Memang, tindak kekerasan yang diatur dalam PKDRT ini mempunyai sifat
khas/spesifik, misalnya peristiwa itu terjadi di dalam rumah tangga, korban dan
pelakunya terikat hubungan kekerasan atau hubungan hukum tertentu lainnya, serta
lebih kompleks dari tindak kekerasan pada umumnya. Itu sebabnya, tindak kekerasan
melalui proses sosial, hukum, psikologi, kesehatan, dan agama, dengan melibatkan
masing-masing institusi dan lembaga pemberi perlindungan itu secara konkret dan
faktual di lapangan? Itulah pokok persoalan yang perlu dibahas lebih lanjut.
Yang lebih penting lagi adalah bagaimana persoalan itu dipahami oleh
masyarakat luas sehingga cita-cita yang hendak dicapai oleh legislator yang
tinggi atau institusi dan lembaga yang tugas dan fungsinya selaku penegak hukum,
masalah. Tetapi bagi institusi dan lembaga di luar itu, perlu mendapatkan
pengetahuan dan keterampilan yang cukup serta akreditasi selaku institusi dan
pelayanan. Artinya tidak semua institusi dan lembaga itu dapat memberikan
kepada pelaku. Perlindungan oleh institusi dan lembaga non-penegak hukum lebih
Artinya tidak sampai kepada litigasi. Tetapi walaupun demikian, peran masing-
masing institusi dan lembaga itu sangatlah penting dalam upaya mencegah dan
pelayanan. Perlindungan dan pelayanan diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai
lama 7 (tujuh) hari, dan dalam waktu 1 X 24 jam sejak memberikan perlindungan,
Perlindungan sementara oleh kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama dengan
tenaga kesehatan, sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk
ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian dengan sistem dan mekanisme kerja
melayani dan mengisolasi korban dari pelaku KDRT. Sejalan dengan itu, kepolisian
penahanan dengan bukti permulaan yang cukup dan disertai dengan perintah
artinya surat penangkapan dan penahanan itu dapat diberikan setelah 1 X 24 jam.
mediasi dan negosiasi di antara pihak termasuk keluarga korban dan keluarga pelaku
sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial(kerja sama dan
kemitraan).
pelaku KDRT selama 30 (tiga puluh) hari apabila pelaku tersebut melakukan
korban.
d. Pelayanan tenaga kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya pemberian
repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau membuat surat keterangan medis
e. Pelayanan pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling untuk menguatkan dan
memberi rasa aman bagi korban, memberikan informasi mengenai hak-hak korban
lembaga terkait.
korban memaparkan secara objektif tindak KDRT yang dialaminya pada tingkat
mengenai hak, kewajiban dan memberikan penguatan iman dan takwa kepada korban.
implementatif dan teknis oparasional yang mudah dipahami, mampu dijalankan dan
diakses oleh korban KDRT. Adalah tugas pemerintah untuk merumuskan kembali
pola dan strategi pelaksanaan perlindungan dan pelayanan dan mensosialisasikan
kebijakan itu di lapangan. Tanpa upaya sungguh-sungguh dari pemerintah dan semua
pihak, maka akan sangat sulit dan mustahil dapat mencegah apalagi menghapus
tindak KDRT di muka bumi Indonesia ini, karena berbagai faktor pemicu terjadinya
Bahwa anggapan orang terjadinya KDRT merupakan akibat dari suatu sebab
perangai dan tabiat pelaku yang kasar, serta gagal dalam karier dan pekerjaan ternyata
tidaklah sepenuhnya benar, karena KDRT justru acapkali dilakukan oleh mereka yang
berpendidikan tinggi.
budaya, hukum, agama dan hak asasi manusia. Upaya menghapus KDRT di muka
bumi Indonesia adalah perjuangan panjang bangsa ini, khususnya kaum perempuan
yang rentan menjadi korban KDRT. Upaya sungguh-sungguh itu diharapkan dapat
mempengaruhi struktur dan karakteristik multi persoalan tadi menjadi nilai yang
diyakini benar dan dapat memberi rasa aman, tenteram, adil dan bermartabat bagi
masyarakat. Pada umumnya orang berpendapat bahwa KDRT adalah urusan intern
keluarga dan rumah tangga. Anggapan ini telah membudaya bertahun, berabad
hukum. Jika seseorang (perempuan atau anak) disenggol di jalanan umum dan ia
minta tolong, maka masyarakat termasuk aparat polisi akan segera menolong dia.
Namun jika seseorang (perempuan dan anak) dipukuli sampai babak belur di dalam
rumahnya, walau pun ia sudah berteriak minta tolong, orang segan menolong karena
Berbagai kasus akibat fatal dari kekerasan orangtua terhadap anaknya, suami
kabar dan media masa. Masyarakat membantu dan aparat polisi bertindak setelah
akibat kekerasan sudah fatal, korbannya sudah meninggal, atau pun cacat. Telah
menjadi satu trend dewasa ini, bahwa masyarakat termasuk aparat penegak hukum
KDRT. Syukurlah Undang-undangnya telah ada yaitu UU No.23 Tahun 2004 tentang
Catatan: Untuk anak telah diatur dalam UU No.23 Tahun 2002 tentang
tangga; dan/atau
(2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud dalam huruf c dipandang sebagai
anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang
bersangkutan.
yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan
pendapat kaum legalistic. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang
lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan
melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat
oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-udangan. Kedua,
faktor, aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses
Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum.
Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial dimana hkum tersebut berlaku
merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya,
cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni ; komponen
kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang lingkup rumah tangganya dengan cara:
rumah tangga.
dalam Pasal 5 huruf a adalah perubahan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit,
atau luka berat. Selanjutnya Pasal 7 memuat pernyataan bahwa, kekerasan psikis
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
dalam Pasal 5 huruf c meliputi: (a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan
terhadap orang menetapkan dalam lingkup rumah tangga tersebut; (b) pemaksaan
hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan
orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku
dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
tersebut.
fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan (Pasal
Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan (Pasal 52). Demikian juga halnya, tindak
pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh
ke dalam ruang kosong dan hampa udara. Ketika sebuah Undang-undang diantarkan
ke suatu arena sosial, maka di dalam arena sosial tersebut sudah penuh dengan
berbagai pengaturan sendiri yang dibuat oleh masyarakat, yang disebut sebagai Self
instrumen hukum yang bertujuan memajukan hak asasi perempuan dan keadilan
Arena sosial itu sendiri memiliki hakekat adanya kapasitas untuk menciptakan
aturan-aturan sendiri beserta sanksinya. Dalam hal ini aturan aturan tersebut tidak
hanya bersumber dari adat, agama dan kebiasaan kebiasaan lain, tetapi juga
mendapatkan pengaruh dari perkembangan dunia global saat ini. Berbagai Self
Regulation dalam arena-arena sosial tersebut sangatlah rumit, karena terjadinya saling
pengaruh dan adopsi di antara berbagai aturan tersebut satu sama lain.
Suatu aturan tidak pernah tidak setelah ditetapkan karena aturan tersebut akan
terus dimodifikasi oleh masyarakat. Itu sebabnya arena sosial tersebut disebut sebagai
Semi- Autonomous Social Field (Moore, 1983). Moore juga mengatakan bahwa di
antara aturan-aturan hukum yang saling bertumpang tindih di dalam arena sosial
tersebut, ada satu hukum yang sangat besar pengaruhnya yaitu hukum negara.
Namun, ini bukan berarti bahwa hukum negara menjadi satu-satunya hukum yang
paling ditaati.
dalam masyarakat, sangat terkait erat dengan budayanya. Aturan-aturan yang ada
dalam masyarakat yang “memberi celah (loop holes)” kepada terjadinya banyak
patriarkhi. Budaya hukum yang patriarkhis ini juga bersemai dalam institusi
penegakan hukum sebagai bagian dari masyarakat. Hukum sangat erat kaitannya
Disini menyatakan bahwa hukum dan budaya bagaikan dua sisi dari satu keping
mata uang yang sama, dalam arti hukum itu merumuskan substansi budaya yang
dianut oleh suatu masyarakat. Bila budaya yang diakomodasi dalam rumusan-
rumusan hukum itu adalah budaya patriarkhis, maka tidak mengherankan apabila
hukum yang dimunculkan adalah hukum yang tidak memberi keadilan terhadap
perempuan. Dalam hal ini, budaya menempatkan perempuan dan laki-laki dalam
berbagai persoalan dalam masyarakat berkenaan dengan apa yang diatur dalam
hukum tersebut, sudah dapat diatasi atau bahkan dianggap selesai. Mereka sangat
mempercayai bahwa hukum yang objektif dan netral akan memberikan keadilan bagi
setiap warga masyarakat. Dalam hal ini mereka mengartikan hukum sebatas Undang-
undang yang dibuat oleh negara. Hukum negara merupakan entitas yang jelas batas-
lain yang menjadi acuan berperilaku tersebut justru diikuti secara efektif oleh
masyarakat, dikarenakan hukum itulah yang mereka kenal, hidup dalam wilayah
sendiri, diwariskan secara turun-temurun dan mudah diikuti dalam praktik sehari-hari.
Sukar untuk mereka bayangkan bahwa ada hukum lain yang lebih dapat diandalkan
daripada hukum yang mereka miliki sendiri, terlebih bila hukum itu datang dari
domain yang “asing”, yang mengklaim diri sebagai otoritas tertinggi yaitu negara.
berlakunya hukum positif yang sekali dibentuk diberlakukan sepanjang waktu dan
kestuan keyakinan umum, yang disebutnya jiwa masyarakat atau jiwa bangsa atau
volksgeist yaitu kesamaan pengertian dan keyakinan terhadap sesuatu. Maka menurut
aliran ini, sumber hukum adalah jiwa masyarakat, dan isinya adalah aturan tentang
kebiasaan hidup masyarakat. Hukum tidak dapat dibentuk melainkan tumbuh dan
PKDRT, secara konseptual, delik aduan merupakan delik atau tindak pidana
Dalam hal suatu tindak pidana dikualifikasikan sebagai delik atau tindak pidana
aduan, maka pihak korban atau keluarganyalah yang harus bersikap proaktif untuk
Pengkualifikasian suatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana sebagai delik
kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan ini lebih bersifat pribadi dari pada publik.
sebagai delik aduan di dalam UU PKDRT ini ialah, pihak aparat penegak hukum
hanya dapat bersifat pasif, dan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan
intervensi atau campur tangan dalam suatu urusan warga masyarakat yang secara
undang undang ini lebih banyak bergantung pada kemandirian dari setiap orang yang
bahwa keengganan seorang istri yang menjadi korban kekerasan melaporkan kepada
pihak yang berwajib, dalam hal ini polisi, karena beberapa akibat yang muncul dari
laporan tersebut adalah perceraian, kehilangan nafkah hidup karena suami masuk
Dengan kondisi seperti tersebut maka dilihat dari segi sosiologi hukum, peluang
keberhasilan maksimal.
faktor kesulitan penegakan hukum itu justru bersumber pada komponen substansi
hukumnya sendiri, nilai nilai kultural yang terdapat di dalam masyarakat berkaitan
Dengan Perumusan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dengan segala
tindakan yang mengarah pada upaya pemidanaan pelakunya justru akan mengarah
Oleh karena itu, kembali kepada ide dasar penggunaan hukum pidana sebagai
keberadaan UU PKDRT harus lebih ditekankan pada upaya optimasi fungsi hukum
administrasi negara, dalam kaitan ini yang dimaksudkan adalah upaya untuk
mendidik moralitas seluruh lapisan warga masyarakat ke arah yang lebih positif
berupa terwujudnya masyarakat yang bermoral anti kekerasan dalam rumah tangga.
yang sangat patriarkhis untuk selanjutnya dapat menilai dengan lebih bijak mengenai
langkah lain yang patut diambil untuk dapat membuat keberlakuan UU PKDRT
menjadi efektif di dalam prakteknya dan pada akhirnya dapat berujung pada tujuan
Indonesia.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Seharusnya seorang suami dan istri harus banyak bertanya dan belajar, seperti
membaca buku yang memang isi bukunya itu bercerita tentang bagaimana cara
Di dalam sebuah rumah tangga butuh komunikasi yang baik antara suami dan
istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam
sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah
pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.
Seharusnya seorang suami dan istri bisa mengimbangi kebutuhan psikis, di mana
kebutuhan itu sangat mempengaruhi keinginan kedua belah pihak yang bertentangan.
Seorang suami atau istri harus bisa saling menghargai pendapat pasangannya masing-
masing.
butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya. Begitu juga
halnya dalam rumah tangga harus dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah
ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak
ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih
dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan. Tidak sedikit seorang suami yang
sifat seperti itu, terkadang suami juga melarang istrinya untuk beraktivitas di luar
rumah. Karena mungkin takut istrinya diambil orang atau yang lainnya. jika sudah
begitu kegiatan seorang istri jadi terbatas. Kurang bergaul dan berbaur dengan orang
lain. Ini adalah dampak dari sikap seorang suami yang memiliki sifat cemburu yang
terlalu tinggi. Banyak contoh yang kita lihat dilingkungan kita, kajadian seperti
itu. Sifat rasa cemburu bisa menimbukan kekerasan dalam rumah tangga.
Maka dari itu, di dalam sebuah rumah tangga kedua belah pihak harus sama-
sama menjaga agar tidak terjadi konflik yang bisa menimbulkan kekerasan. Tidak
hanya satu pihak yang bisa memicu konflik di dalam rumah tangga, bisa suami
maupun istri. Sebelum kita melihat kesalahan orang lain, marilah kita berkaca pada
diri kita sendiri. Sebenarnya apa yang terjadi pada diri kita, sehingga menimbulkan
CONTOH KASUS
Contoh kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga yang kami ambil adalah Kekerasan
dalam Rumah Tangga yang dialami oleh Cici Paramida. Dimana dalam kasus
KDRTnya ini, wajah Cici Paramida babak belur akibat peristiwa penabarakan yang
diduga dilakukan suaminya, Suhaebi. Peristiwa itu sendiri berawal ketika Cici yang
hingga ke kawasan puncak, Kabupaten Bogor. Saat kedua mobil tiba di kawasan
Cici kemudian turun dari mobil. “Saat dia mau mendekati mobil itu, tiba-tiba mobil
bagian wajah dan lengan seperti bekas tersenggol. Kemudian atas Kekerasan yang
Dari contoh kasus diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa seorang suami
seharusnya menjaga kepercayaan yang diberikan oleh istrinya. Suatu hubungan akan
pasangannya. Namun kejadian ini tidak akan terjadi apabila sang istri menanyaka
secara baik-baik kepada suaminya. Apakah benar ia bersama perempuan lain atau
Demikian yang dapat kami jelaskan semonga bemanfaat bagi pembaca dan
dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan-kekurangan, oleh karena itu
DAFTAR PUSTAKA