Dosen :
Ns. NURLINAWATI, S.Kep, M.Kep
Oleh :
Fajar G1B118061
A. DEFINISI
Secara umum kekerasan didefinisikan se- bagai suatu tindakan yang dilakukan satu indi-
vidu terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan fisik dan atau mental. Dengan
begitu, yang dimaksud anak ialah individu yang belum mencapai usia 18 tahun, maka
dari itu kekerasan terhadap anak adalah tindakan yang dilakukan seseorang atau individu
pada mereka yang belum genap berusia 18 tahun yang menyebabkan kondi- si fisik dan
atau mentalnya terganggu.
Banyak anak belajar perilaku jahat dari orangtua mereka dan kemudian berkembang
men- jadi tindak kekerasan. Jadi, perilaku kekerasan diteruskan antar generasi. Anak–
anak meniru perilaku ini sebagai model ketika mereka menjadi orangtua kelak. Stres
yang ditimbulkan oleh ber- bagai kondisi sosial meningkatkan risiko tindak kekerasan
pada anak dalam sebuah keluarga.
Para orangtua atau pengasuh yang melaku- kan tindak kekerasan pada anak
cenderung kurang bersosialisasi. Beberapa orangtua pelaku kekerasan bahkan
bergabung dengan berbagai or- ganisasi kemasyarakatan, dan kebanyakan kurang
berkomunikasi dengan teman-teman atau kera- batnya. Kurangnya sosialisasi ini
menyebabkan kurangnya dukungan masyarakat pada orangtua pelaku tindak
kekerasan untuk menolong mereka menghadapi ketegangan sosial atau ketegangan
dalam keluarga.
Faktor budaya sering menentukan ban- yaknya dukungan komunitas yang
diterima se- buah keluarga. Komunitas itu berupa para tet- angga, kerabat dan teman-
teman yang membantu pemeliharaan anak ketika orangtuanya tidak mau atau tidak
mampu. Orangtua tunggal lebih sering melakukan tindak kekerasan pada anak-anak
dari- pada bukan orangtua tunggal. Hal ini disebabkan keluarga dengan orangtua
tunggal biasanya lebih sedikit mendapatkan uang daripada keluarga lain- nya,
sehingga hal ini dapat meningkatnya resiko tindak kekerasan. Keluarga dengan
keretakan perkawinan yang kronis atau tindak kekerasan pada pasangannya
mempunyai tingkat tindak ke- kerasan pada anak lebih tinggi daripada keluarga tanpa
masalah seperti ini.
Nusa Tenggara Barat juga dihadapkan den- gan tantangan dari budaya sekitar
yang menem- patkan kaum pria di atas perempuan. Secara tidak langsung ini dinilai
ikut mempengaruhi terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Untuk
mengatasi problematika itu, selain butuh kerjasa- ma banyak pihak juga diperlukan
pendekatan re- ligius, kultural yang diikuti pendekatan struktural. Namun harapan
tersebut belum bisa terwujud karena kekerasan masih sering ditemui dan ter- jadi di
lingkungan keluarga dan mirisnya pelaku bukan hanya orang dewasa tapi kini sampai
ke sesama anak.
SUMBER
DAFTAR PUSTAKA
A. PENGERTIAN
Jika kekerasan terhadap anak didalam rumah tangga dilakukan oleh orang tua, maka hal
tersebut dapat disebut kekerasan dalam rumah tangga. Tindak kekerasan rumah tangga
yang termasuk di dalam tindakan kekerasan rumah tangga adalah memberikan penderitaan
baik secara fisik maupun mental di luar batas-batas tertentu terhadap orang lain yang
berada di dalam satu rumah; seperti terhadap pasangan hidup, anak, atau orang tua dan
tindak kekerasan tersebut dilakukan di dalam rumah.
Sedangkan Child Abuse adalah semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan
oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang
memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya dapat di percaya, misalnya orang tua,
keluarga dekat, dan guru.
Nadia (2004) mengartikan kekerasan terhadap anak sebagai bentuk penganiayaan baik fisik
maupun psikis. Penganiayaan fisik adalah tindakan-tindakan kasar yang mencelakakan
anak, dan segala bentuk kekerasan fisik pada anak yang lainnya. Sedangkan penganiayaan
psikis adalah semua tindakan merendahkan atau meremehkan anak. Alva menambahkan
bahwa penganiayaan pada anak-anak banyak dilakukan oleh orangtua atau pengasuh yang
seharusnya menjadi seorang pembimbing bagi anaknya untuk tumbuh dan berkembang.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah segala
bentuk perlakuan baik secara fisik maupun psikis yang berakibat penderitaan terhadap
anak. Child abuse atau perlakuan yang salah terhadap anak didefinisikan sebagai segala
perlakuan buruk terhadap anak ataupun adolens oleh orang tua, wali, atau orang lain yang
seharusnya memelihara, menjaga, dan merawat mereka.
Child abuse adalah suatu kelalaian tindakan atau perbuatan orangtua atau orang yang
merawat anak yang mengakibatkan anak menjadi terganggu mental maupun fisik,
perkembangan emosional, dan perkembangan anak secara umum.
1. Emotional Abuse
Perlakuan yang dilakukan oleh orang tua seperti menolak anak, meneror, mengabaikan
anak, atau mengisolasi anak. Hal tersebut akan membuat anak merasa dirinya tidak
dicintai, atau merasa buruk atau tidak bernilai. Hal ini akan menyebabkan kerusakan
mental fisik, sosial, mental dan emosional anak.
2. Physical Abuse
Cedera yang dialami oleh seorang anak bukan karena kecelakaan atau tindakan yang
dapat menyebabkan cedera serius pada anak, atau dapat juga diartikan sebagai
tindakan yang dilakukan oleh pengasuh sehingga mencederai anak. Biasanya berupa
luka memar, luka bakar atau cedera di kepala atau lengan.
Indikator fisik – luka memar, gigitan manusia, patah tulang, rambut yang tercabut,
cakaran. Indikator perilaku – waspada saat bertemu degan orang dewasa, berperilaku
ekstrem seerti agresif atau menyendiri, takut pada orang tua, takut untuk pulang ke
rumah, menipu, berbohong, mencuri.
3. Neglect
Kegagalan orang tua untuk memberikan kebutuhan yang sesuai bagi anak, seperti
tidak memberikan rumah yang aman, makanan, pakaian, pengobatan, atau
meninggalkan anak sendirian atau dengan seseorang yang tidak dapat merawatnya.
Indikator fisik–kelaparan, kebersihan diri yang rendah, selalu mengantuk, kurangnya
perhatian,masalah kesehatan yang tidak ditangani.
Indikator kebiasaan. Meminta atau mencuri makanan, sering tidur, kurangnya
perhatian pada masalah kesehatan, masalah kesehatan yang tidak ditangani, pakaian
yang kurang memadai ( pada musim dingin ), ditinggalkan.
4. Sexual Abuse
Indikator kebiasaan pengetahuan tentang seksual atau sentuhan seksual yang tidak
sesuai dengan usia, perubahan pada penampilan, kurang bergaul dengan teman sebaya,
tidak mau berpartisipasi dalam kegiatan fisik, berperilaku permisif / berperilaku yang
menggairahkan, penurunan keinginan untuk sekolah, gangguan tidur, perilaku
regressif ( misal: ngompol ).
C. ETIOLOGI
Menurut Helfer dan Kempe dalam Pillitery ada 3 faktor yang menyebabkan child abuse,
yaitu:
1. Orang tua memiliki potensi untuk melukai anak-anak. Orang tua yang memiliki
kelainan mental, atau kurang kontrol diri daripada orang lain, atau orang tua tidak
memahami tumbuh kembang anak, sehingga mereka memiliki harapan yang tidak
sesuai dengan keadaan anak. Dapat juga orang tua terisolasi dari keluarga yang lain,
bisa isolasi sosial atau karena letak rumah yang saling berjauhan dari rumah lain,
sehingga tidak ada orang lain yang dapat memberikan support kepadanya.
2. Menurut pandangan orang tua anak terlihat berbeda dari anak lain. Hal ini dapat terjadi
pada anak yang tidak diinginkan atau anak yang tidak direncanakan, anak yang cacat,
hiperaktif, cengeng, anak dari orang lain yang tidak disukai, misalnya anak mantan
suami/istri, anak tiri, serta anak dengan berat lahir rendah (BBLR). Pada anak BBLR
saat bayi dilahirkan, mereka harus berpisah untuk beberapa lama, padahal pada
beberapa hari inilah normal bonding akan terjalin.
3. Adanya kejadian khusus : Stress. Stressor yang terjadi bisa jadi tidak terlalu
berpengaruh jika hal tersebut terjadi pada orang lain. Kejadian yag sering terjadi
misalnya adanya tagihan, kehilangan pekerjaan, adanya anak yang sakit, adanya
tagihan, dll. Kejadian tersebut akan membawa pengaruh yang lebih besar bila tidak
ada orang lain yang menguatkan dirinya di sekitarnya Karena stress dapat terjadi pada
siapa saja, baik yang mempunyai tingkat sosial ekonomi yag tinggi maupun rendah,
maka child abuse dapat terjadi pada semua tingkatan.
Menurut Rusel dan Margolin, wanita lebih banyak melakukan kekerasan pada anak,
karena wanita merupakan pemberi perawatan anak yang utama. Sedangkan laki-laki lebih
banyak melakukan sex abuse, ayah tiri mempunyai kemungkinan 5 sampai 8 kali lebih
besar untuk melakukannya daripada ayah kandung (Smith dan Maurer).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan anak mengalami kekerasan. Baik kekerasan fisik
maupun kekerasan psikis, diantaranya adalah:
a. Fisik berbeda, yang dimaksud dengan fisik berbeda adalah kondisi fisik anak
berbeda dengan anak yang lainnya. Contoh yang bisa dilihat adalah anak
mengalami cacat fisik. Anak mempunyai kelainan fisik dan berbeda dengan anak
lain yang mempunyai fisik yang sempurna.
b. Mental berbeda, yaitu anak mengalami keterbelakangan mental sehingga anak
mengalami masalah pada perkembangan dan sulit berinteraksi dengan lingkungan
di sekitarnya.
c. Temperamen berbeda, anak dengan temperamen yang lemah cenderung
mengalami banyak kekerasan bila dibandingkan dengan anak yang memiliki
temperamen keras. Hal ini disebabkan karena anak yang memiliki temperamen
keras cenderung akan melawan bila dibandingkan dengan anak bertemperamen
lemah.
d. Tingkah laku berbeda, yaitu anak memiliki tingkah laku yang tidak sewajarnya
dan berbeda dengan anak lain. Misalnya anak berperilaku dan bertingkah aneh di
dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya.
e. Anak angkat, anak angkat cenderung mendapatkan perlakuan kasar disebabkan
orangtua menganggap bahwa anak angkat bukanlah buah hati dari hasil
perkawinan sendiri, sehingga secara naluriah tidak ada hubungan emosional yang
kuat antara anak angkat dan orang tua.
2. Stress keluarga
a. Kemiskinan dan pengangguran, kedua faktor ini merupakan faktor terkuat yang
menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak, sebab kedua faktor ini
berhubungan kuat dengan kelangsungan hidup. Sehingga apapun akan dilakukan
oleh orangtua terutama demi mencukupi kebutuhan hidupnya termasuk harus
mengorbankan keluarga.
b. Mobilitas, isolasi, dan perumahan tidak memadai, ketiga faktor ini juga
berpengaruh besar terhadap terjadinya kekerasan pada anak, sebab lingkungan
sekitarlah yang menjadi faktor terbesar dalam membentuk kepribadian dan
tingkah laku anak.
c. Perceraian, perceraian mengakibatkan stress pada anak, sebab anak akan
kehilangan kasih sayang dari kedua orangtua.
d. Anak yang tidak diharapkan, hal ini juga akan mengakibatkan munculnya perilaku
kekerasan pada anak, sebab anak tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh
orangtua, misalnya kekurangan fisik, lemah mental, dsb.
a. Rendah diri, anak dengan rendah diri akan sering mendapatkan kekerasan, sebab
anak selalu merasa dirinya tidak berguna dan selalu mengecewakan orang lain.
b. Waktu kecil mendapat perlakuan salah, orangtua yang mengalami perlakuan salah
pada masa kecil akan melakuakan hal yang sama terhadap orang lain atau anaknya
sebagai bentuk pelampiasan atas kejadian yang pernah dialaminya.
c. Harapan pada anak yang tidak realistis, harapan yang tidak realistis akan membuat
orangtua mengalami stress berat sehingga ketika tidak mampu memenuhi
memenuhi kebutuhan anak, orangtua cenderung menjadikan anak sebagai
pelampiasan kekesalannya dengan melakukan tindakan kekerasan.
Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan
perilaku menyimpang di kemudian hari. Bahkan, Komnas PA (dalam Nataliani, 2004)
mencatat, seorang anak yang berumur 9 tahun yang menjadi korban kekerasan, memiliki
keinginan untuk membunuh ibunya.
1. Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan terhadap anak child
abuse, antara lain;
a. Dampak kekerasan fisik, anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya
akan menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam
kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan anak-anak yang agresif, yang
pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang menjadi agresif. Lawson (dalam
Sitohang, 2004) menggambarkan bahwa semua jenis gangguan mental ada
hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia masih
kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama
akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara
fisik hingga menyebabkan korban meninggal dunia;
b. Dampak kekerasan psikis. Unicef (1986) mengemukakan, anak yang sering
dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru
perilaku buruk (coping mechanism) seperti bulimia nervosa (memuntahkan
makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk), kecanduan
alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri. Menurut Nadia (1991),
kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak
meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik. Jenis kekerasan ini
meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa
bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan,
perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol,
ataupun kecenderungan bunuh diri;
c. Dampak kekerasan seksual. Menurut Mulyadi (Sinar Harapan, 2003) diantara
korban yang masih merasa dendam terhadap pelaku, takut menikah, merasa rendah
diri, dan trauma akibat eksploitasi seksual, meski kini mereka sudah dewasa atau
bahkan sudah menikah. Bahkan eksploitasi seksual yang dialami semasa masih
anak-anak banyak ditengarai sebagai penyebab keterlibatan dalam prostitusi. Jika
kekerasan seksual terjadi pada anak yang masih kecil pengaruh buruk yang
ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak mengompol jadi mengompol,
mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak beralasan, atau bahkan
simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah kulit, dll (dalam Nadia, 1991);
d. Dampak penelantaran anak. Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami hal
ini adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak, Hurlock
(1990) mengatakan jika anak kurang kasih sayang dari orang tua menyebabkan
berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab, dan
selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.
e. Dampak yang lainnya (dalam Sitohang, 2004) adalah kelalaian dalam mendapatkan
pengobatan menyebabkan kegagalan dalam merawat anak dengan baik. Kelalaian
dalam pendidikan, meliputi kegagalan dalam mendidik anak mampu berinteraksi
dengan lingkungannya gagal menyekolahkan atau menyuruh anak mencari nafkah
untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah
E. MANIFESTASI KLINIS
Akibat pada fisik anak, antara lain: Lecet, hematom, luka bekas gigitan, luka bakar, patah
tulang, perdarahan retinaakibat dari adanya subdural hematom dan adanya kerusakan organ
dalam lainnya. Sekuel/cacat sebagai akibat trauma, misalnya jaringan parut, kerusakan
saraf, gangguan pendengaran, kerusakan mata dan cacat lainnya. Kematian.
Akibat pada tumbuh kembang anak. Pertumbuhan dan perkembangan anak yang
mengalami perlakuan salah, pada umumnya lebih lambat dari anak yang normal, yaitu:
1. Pertumbuhan fisik anak pada umumnya kurang dari anak2 sebayanya yang tidak
mendaapat perlakuan salah.
2. Perkembangan kejiwaan juga mengalami gangguan, yaitu:
a) Kecerdasan
b) Emosi
Terdapat gangguan emosi pada: perkembangan kosnep diri yang positif,
atau bermusuh dalam mengatasi sifat agresif, perkembangan hubungan
sosial dengan orang lain, termasuk kemampuan untuk percaya diri.
Terjadi pseudomaturitas emosi. Beberapa anak menjadi agresif atau
bermusuhan dengan orang dewasa, sedang yang lainnya menjadi menarik
diri/menjauhi pergaulan. Anak suka ngompol, hiperaktif, perilaku aneh,
kesulitan belajar, gagal sekolah, sulit tidur, tempretantrum, dsb.
c) Konsep diri
Anak yang mendapat perlakuan salah merasa dirinya jelek, tidak dicintai,
tidak dikehendaki, muram, dan tidak bahagia, tidak mampu menyenangi
aktifitas dan bahkan ada yang mencoba bunuh diri.
d) Agresif
e) Hubungan social
Pada anak sering kurang dapat bergaul dengan teman sebayanya atau
dengan orang dewasa. Mereka mempunyai sedikit teman dan suka
mengganggu orang dewasa, misalnya dengan melempari batu atau
perbuatan2 kriminal lainnya.
1. Tanda akibat trauma atau infeksi lokal, misalnya nyeri perianal, sekret vagina, dan
perdarahan anus.
2. Tanda gangguan emosi, misalnya konsentrasi berkurang, enuresis, enkopresis,
anoreksia, atau perubahan tingkah laku.
3. Tingkah laku atau pengetahuan seksual anak yang tidak sesuai dengan umurnya.
Pemeriksaan alat kelamin dilakuak dengan memperhatikan vulva, himen, dan anus
anak.
F. POHON MASALAH
G. MEKANISME KOPING.
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stress, termasuk
upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk
melindungi diri. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien untuk melindungi diri
antara lain :
1. Sublimasi : Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata masyarakat
untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya secara normal.
Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada obyek lain
seperti meremas adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
2. Proyeksi :Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang
tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai
perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya
tersebut mencoba merayu, mencumbunya.
3. Represi : Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam
sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak
disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil
bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan,
sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakannya.
4. Reaksi formasi : Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan
melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya sebagai
rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan
orang tersebut dengan kasar.
5. Displacement : Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada obyek
yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi
itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman
dari ibunya karena menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-
perangan dengan temannya.
Konsep Asuhan Keperawatan
A. PENGKAJIAN
Perawat seringkali menjadi orang yang pertamakali menemui adanya tanda adanya
kekerasan pada anak (lihat indicator fisik dn kebiasaan pada macam-macam child abuse di
atas). Saat abuse terjadi, penting bagi perawat untuk mendapatkan seluruh gambarannya,
bicaralah dahulu dengan orang tua tanpa disertai anak, kemudian menginterview anak.
1. Identifikasi orang tua yang memiliki anak yang ditempatkan di rumah orang lain atau
saudaranya untuk beberapa waktu.
2. Identifikasi adanya riwayat abuse pada orang tua di masa lalu, depresi, atau masalah
psikiatrik.
3. Identifikasi situasi krisis yang dapat menimbulkan abuse
4. Identifikasi bayi atau anak yang memerlukan perawatan dengan ketergantungan
tinggi (seperti prematur, bayi berat lahir rendah, intoleransi makanan,
ketidakmampuan perkembangan, hiperaktif, dan gangguan kurang perhatian)
5. Monitor reaksi orang tua observasi adanya rasa jijik, takut atau kecewa dengan jenis
kelamin anak yang dilahirkan.
6. Kaji pengetahuan orang tua tentang kebutuhan dasar anak dan perawatan anak.
7. Kaji respon psikologis pada trauma
8. Kaji keadekuatan dan adanya support system
9. Situasi Keluarga.
Fokus pengkajian secara keseluruhan untuk menegakkan diagnosa keperawatan berkaitan dengan
child abuse, antara lain:
1) Psikososial
Fraktur
Dislokasi
Keseleo (sprain)
3) Genito Urinaria
4) Integumen
Lesi sirkulasi (biasanya pada kasus luka bakar oleh karena rokok)
Luka bakar pada kulit, memar dan abrasi
Adanya tanda2 gigitan manusia yang tidak dapat dijelaskan
Bengkak.
Evaluasi diagnostik
Diagnostik perlakuan salah dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik
yang teliti, dokumentasi riwayat psikologik yang lengkap, dan laboratorium.
a. Luka memar, terutama di wajah, bibir, mulut, telinga, kepala, atau punggung.
b. Luka bakar yang patogomonik dan sering terjadi: rokok, pencelupan kaki-tangan
dalam air panas, atau luka bakar berbentuk lingkaran pada bokong. Luka bakar
akibat aliran listrik seperti oven atau setrika.
c. Trauma kepala, seperti fraktur tengkorak, trauma intrakranial, perdarahan retina,
dan fraktur tulang panjang yang multipel dengan tingkat penyembuhan yang
berbeda.
d. Trauma abdomen dan toraks lebih jarang dibanding trauma kepala dan tulang
pada penganiayaan anak. Penganiayaan fisik lebih dominan pada anak di atas usia
2 tahun.
2) Pengabaian
a. Pengabaian non organic failure to thrive, yaitu suatu kondisi yang mengakibatkan
kegagalan mengikuti pola pertumbuhan dan perkembangan anak yang seharusnya,
tetapi respons baik terhadap pemenuhan makanan dan kebutuhan emosi anak.
b. Pengabaian medis, yaitu tidak mendapat pengobatan yang memadai pada anak
penderita penyakit kronik karena orangtua menyangkal anak menderita penyakit
kronik. Tidak mampu imunisasi dan perawatan kesehatan lainnya. Kegagalan
yang disengaja oleh orangtua juga mencakup kelalaian merawat kesehatan gigi
dan mulut anak sehingga.
3) Penganiayaan seksual. Tanda dan gejala dari penganiayaan seksual terdiri dari:
a. Nyeri vagina, anus, dan penis serta adanya perdarahan atau sekret di vagina.
b. Disuria kronik, enuresis, konstipasi atau encopresis.
c. Pubertas prematur pada wanita
d. Tingkah laku yang spesifik: melakukan aktivitas seksual dengan teman sebaya,
binatang, atau objek tertentu. Tidak sesuai dengan pengetahuan seksual dengan
umur anak serta tingkah laku yang menggairahkan.
e. Tingkah laku yang tidak spesifik: percobaan bunuh diri, perasaan takut pada
orang dewasa, mimpi buruk, gangguan tidur, menarik diri, rendah diri, depresi,
gangguan stres post-traumatik, prostitusi, gangguan makan, dsb.
b) Laboratorium
Jika dijumpai luka memar, perlu dilakuak skrining perdarahan. Pada penganiayaan seksual,
dilakukan pemeriksaan:
a. Swab untuk analisa asam fosfatase, spermatozoa dalam 72 jam setelah
penganiayaan seksual.
b. Kultur spesimen dari oral, anal, dan vaginal untuk genokokus
c. Tes untuk sifilis, HIV, dan hepatitis B
d. Analisa rambut pubis
c) Radiologi
Ada dua peranan radiologi dalam menegakkan diagnosis perlakuan salah pada anak, yaitu
untuk identifiaksi fokus dari jejas, dokumentasi,Pemeriksaan radiologi pada anak di bawah
usia 2 tahun sebaiknya dilakukan untuk meneliti tulang, sedangkan pada anak diatas 4-5
tahun hanya perlu dilakukan jika ada rasa nyeri tulang, keterbatasan dalam pergerakan
pada saat pemeriksaan fisik. Adanya fraktur multiple dengan tingkat penyembuhan adanya
penyaniayaan fisik.
a. CT-scan lebih sensitif dan spesifik untuk lesi serebral akut dan kronik, hanya
diindikasikan pada pengniayaan anak atau seorang bayi yang mengalami trauma
kepala yang berat.
b. MRI (Magnetik Resonance Imaging) lebih sensitif pada lesi yang subakut dan
kronik seperti perdarahan subdural dan sub arakhnoid.
c. Ultrasonografi digunakan untuk mendiagnosis adanya lesi visceral
d. Pemeriksaan kolposkopi untuk mengevaluasi anak yang mengalami penganiayaan
seksual.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perilaku kekerasan berhubungan dengan keluarga tidak harmonis ,harga diri rendah.
2. Isolasi social berhubungan dengan koping keluarga inefektif, keluarga yang tidak
harmonis.
3. Koping keluarga inefektif berhubungan dengan keluarga tidak harmonis.
4. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan berhubungan dengan perilaku
kekerasan.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Tujuan.
Klien dapat mengontrol perilaku kekerasan pada saat berhubungan dengan orang
lain.
Kriteria hasil:
Intervensi :
2. Isolasi social berhubungan dengan perilaku kekerasan, keluarga yang tidak harmonis.
Tujuan
Kriteria hasil
Intervensi
1. Psikoterapeutik.
a. Bina hubungan saling percaya
Buat kontrak dengan klien : memperkenalkan nama perawat dan waktu
interaksi dan tujuan.
Ajak klien bercakap-cakap dengan memanggil nama klien, untuk
menunjukkan penghargaan yang tulus.
Jelaskan kepada klien bahwa informasi tentang pribadi klien tidak akan
diberitahukan kepada orang lain yang tidak berkepentingan.
Selalu memperhatikan kebutuhan klien.
b. Berkomunikasi dengan klien secara jelas dan terbuka
Bicarakan dengan klien tentang sesuatu yang nyata dan pakai istilah yang
sederhana
Gunakan komunikasi verbal dan non verbal yang sesuai, jelas dan teratur.
Bersama klien menilai manfaat dari pembicaraannya dengan perawat.
Tunjukkan sikap empati dan beri kesempatan kepada klien untuk
mengungkapkan perasaanya
c. Kenal dan dukung kelebihan klien
Tunjukkan cara penyelesaian masalah (koping) yang bisa digunakan klien,
cara menceritakan perasaanya kepada orang lain yang terdekat/dipercaya.
Bahas bersama klien tentang koping yang konstruktif
Dukung koping klien yang konstruktif
Anjurkan klien untuk menggunakan koping yang konstruktif.
d. Bantu klien mengurangi cemasnya ketika hubungan interpersonal
Batasi jumlah orang yang berhubungan dengan klien pada awal terapi.
Lakukan interaksi dengan klien sesering mungkin.
Temani klien beberapa saat dengan duduk disamping klien.
Libatkan klien dalam berinteraksi dengan orang lain secara bertahap,
dimulai dari klien dengan perawat, kemudian dengan dua perawat,
kemudian ditambah dengan satu klien dan seterusnya.
Libatkan klien dalam aktivitas kelompok.
2. Pendidikan kesehatan
a. Jelaskan kepada klien cara mengungkapkan perasaan selain dengan kata-kata
seperti dengan menulis, menangis, menggambar, berolah-raga, bermain musik,
cara berhubungan dengan orang lain : keuntungan berhubungan dengan orang
lain.
b. Bicarakan dengan klien peristiwa yang menyebabkan menarik diri.
c. Jelaskan dan anjurkan kepada keluarga untuk tetap mengadakan hubungan
dengan klien.
d. Anjurkan pada keluarga agar mengikutsertakan klien dalam aktivitas
dilingkungan masyarakat.
3. Kegiatan hidup sehari-hari
a. Bantu klien dalam melaksanakan kebersihan diri sampai dapat melaksanakannya
sendiri.
b. Bimbing klien berpakaian yang rapi
c. Batasi kesempatan untuk tidur
d. Sediakan sarana informasi dan hiburan seperti : majalah, surat kabar, radio dan
televisi.
e. Buat dan rencanakan jadwal kegiatan bersama-sama klien.
4. Lingkungan Terapeutik
a. Pindahkan barang-barang yang dapat membahayakan klien maupun orang lain
dari ruangan.
b. Cegah agar klien tidak berada didalam ruangan yang sendiri dalam jangka
waktu yang lama.
c. Beri rangsangan sensori seperti : suara musik, gambar hiasan di ruangan.
3. Koping keluarga inefektif berhubungan dengan keluarga tidak harmonis.
Tujuan
Kriteria hasil
Intervensi
Tujuan.
Kriteria hasil:
Intervensi :
1. Bina hubungan saling percaya. Salam terapeutik, perkenalan diri, beritahu tujuan
interaksi, kontrak waktu yang tepat, ciptakan lingkungan yang aman dan tenang,
observasi respon verbal dan non verbal, bersikap empati.
Rasional : Hubungan saling percaya memungkinkan terbuka pada perawat dan
sebagai dasar untuk intervensi selanjutnya.
2. Beri kesempatan pada klien untuk mengugkapkan perasaannya.
Rasional : Informasi dari klien penting bagi perawat untuk membantu kien dalam
menyelesaikan masalah yang konstruktif.
3. Bantu untuk mengungkapkan penyebab perasaan jengkel / kesal
Rasional : pengungkapan perasaan dalam suatu lingkungan yang tidak mengancam
akan menolong pasien untuk sampai kepada akhir penyelesaian persoalan.
4. Anjurkan klien mengungkapkan dilema dan dirasakan saat jengkel.
Rasional : Pengungkapan kekesalan secara konstruktif untuk mencari penyelesaian
masalah yang konstruktif pula.
5. Observasi tanda perilaku kekerasan pada klien.
Rasional : mengetaui perilaku yang dilakukan oleh klien sehingga memudahkan
untuk intervensi.
6. Simpulkan bersama tanda-tanda jengkel / kesan yang dialami klien.
Rasional : memudahkan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan.
7. Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Rasional : memudahkan dalam pemberian tindakan kepada klien.
8. Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Rasional : mengetahui bagaimana cara klien melakukannya.
9. Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien lakukan masalahnya selesai.
Rasional : membantu dalam memberikan motivasi untuk menyelesaikan
masalahnya.
10. Bicarakan akibat / kerugian dan perilaku kekerasan yang dilakukan klien.
Rasional : mencari metode koping yang tepat dan konstruktif.
11. Bersama klien menyimpulkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukan.
Rasional : mengerti cara yang benar dalam mengalihkan perasaan marah.
12. Tanyakan pada klien “apakah ia ingin mempelajari cara baru yang sehat”.
Rasional : menambah pengetahuan klien tentang koping yang konstruktif.
13. Berikan pujian jika klien mengetahui cara yang sehat.
Rasional : mendorong pengulangan perilaku yang positif, meningkatkan harga diri
klien.
14. Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat.
15. Secara fisik : tarik nafas dalam / memukul botol / kasur atau olahraga atau
pekerjaan yang memerlukan tenaga.
16. Secara verbal : katakan bahwa anda sering jengkel / kesal.
17. Secara sosial : lakukan dalam kelompok cara-cara marah yang sehat, latihan asertif,
latihan manajemen perilaku kekerasan.
18. Secara spiritual : anjurkan klien berdua, sembahyang, meminta pada Tuhan agar
diberi kesabaran.
Rasional : dengan cara sehat dapat dengan mudah mengontrol kemarahan klien.
19. Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk klien.
Rasional : memotivasi klien dalam mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku
kekerasan.
20. Bantu klien mengidentifikasi manfaat yang telah dipilih.
Rasional : mengetahui respon klien terhadap cara yang diberikan.
21. Bantu klien untuk menstimulasikan cara tersebut.
Rasional : mengetahui kemampuan klien melakukan cara yang sehat.
22. Beri reinforcement positif atas keberhasilan klien menstimulasi cara tersebut.
Rasional : meningkatkan harga diri klien.
23. Anjurkan klien untuk menggunakan cara yang telah dipelajari saat jengkel / marah.
Rasional : mengetahui kemajuan klien selama diintervensi.
24. Identifikasi kemampuan keluarga dalam merawat klien dari sikap apa yang telah
dilakukan keluarga terhadap klien selama ini.
Rasional : memotivasi keluarga dalam memberikan perawatan kepada klien.
25. Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat klien.
Rasional : menambah pengetahuan bahwa keluarga sangat berperan dalam
perubahan perilaku klien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Stuart, Gail Wiscarz. 1998. Buku Saku Kperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
2. Penny Naluria Utami. 2018. Pencegahan kekerasan terhadap anak dalam persfektif hak atas
rasa aman di NTB. Pusat penelitian dan pengembangan HAM.
http://dx.doi.org/10.30641/ham.2018.9.1-17. 1 November.