Anda di halaman 1dari 35

LOOGBOOK

TUTOR KASUS 1
BLOK KEPERAWATAN KRITIS

Dosen Pengampu :

Ns. Dini Rudini ,.S.Kep,.M.Kep

Disusun Oleh : Fajar G1B118061

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI 2021


KASUS I

Seorang laki-laki berusia 60 tahun di rawat di unit perawatan intensif (ICU). Sebelumnya di
hari yang sama, pasien ini datang ke IGD dengan keluhan sakit perut. Riwayat penyakit
sebelumnya : hipertensi dengan pengobatan, hiperkolesterol, konsumsi alkohol, dan
gangguan kognitif ringan. Di IGD dia mengeluh mengantuk berat, dan tampak bingung ketika
dibangunkan. Perifer teraba dingin dan sianosis. Tekanan darah arteri 75/50 mmHg, denyut
jantung 125 kali/menit. Perut teraba tegang dan buncit. Pasien diberikan terapi 1 liter cairan
kristaloid melalui Intravena untuk mengembalikan tekanan darah. Di lakukan CT-scan
abdomen menunjukkan adanya gas ekstraluminal dan dugaan feses ekstraluminal yg
konsisten dengan performansi kolon sigmoid. Pasien di bawa ke ruang operasi untuk tindakan
laparatomi. Selama operasi ditemukan adanya peritonitis dengan adanya tinja berasal dari
kolon sigmoid yang berlubang. Pasien dilakukan tindakan reseksi kolon sigmoid dan
pembuatan kolostomi. Pasien di rawat di ruang ICU dalam kondisi tidak sadar, terintubasi,
dan menggunakan ventilasi mekanik dengan fraksi oksigen inspirasi 0.4. tiba di ICU hasil
pemeriksaan fisik TD 88/52 mmHg, frekuensi jantung 120x/menit dalam irama sinus,
tekanan Vena sentral 6 mmHg, suhu 35,6 C. Hasil analisa gas darah arteri pH 7,32 PCO2 28
mmHg, PO2 85 mmHg, HCO3 30 mmol perliter. Pasien terindikasi mengalami syok septic.

Berdasarkan kasus diatas, rencanakan manajemen perawatan yang sesuai!


STEP 1

1. Hiperkolesterol
Jumlah kolestrol tinggi di dalam darah.
2. Performansi kolon
Catatan/outcome dari fungsi usus besar
3. Ekstraluminal
Klasifikasi dari obstruksi usus mekanik, disebabkan adesi postoperative, hernia,
inguinal fermoral, umbilical dan abses intrabdominal
4. Cairan kristaloid
Cairan infus yg mengadung natrium klorida yg digunakan untuk mengembalikan
keseimbang elektrolit dan sebagai cairan resusitasi
5. Sigmoid
Lanjutan dari kolon resenden yg terletak miring di rongga sebelah kiri
6. Fraksi oksigen inspirasi
Konsentrai O2 yang dihirup oleh pasien. fraksi molar atau volumetric oksigen dalam
gas yang dihirup.
7. Ventilasi mekanik
Aalat bantu mekanik yg berfungsi bantuan napas pasien dengan cara jalan napas buatan
Alat mengganti pernapasan secara spontan
8. Peritonitis
9. Peradangan di peritoneum (lapisan jaringan ikat yang mengelilingi organ perut)
Peradangan pada peritoneum yaitu selaput tipis yang membatasi dinding perut bagian
dalam dan organ organ perut. Peradangan ini disebabkan oleh infeksi bakteri/jamur.
10. Kolostomi
Kolostomi (terapi pengalihan usus) adalah jenis operasi besar yang dilakukan guna
mengatasi berbagai penyakit yang berhubungan dengan organ usus besar. Pada
pengerjaannya, dokter akan membuat lubang di perut yang berfungsi sebagai pengganti
usus besar untuk menampung dan mengeluarkan feses.
Kolostomi merupakan sebuah tindakan pembedahan kolon (usus besar) yang diangkat
ke dinding perut yang disebut dengan stoma. Stoma sebagai tempat pengeluaran feses
melalui saluran usus yang akan langsung keluar ke sebuah kantung
STEP 2

1. Bagaimana Tindakan perawat jika pasien mengalami syok septik?


2. Masalah keperawatan utama yang muncul pada kasus ?
3. Apa saja peran perawat kritis dalam kasus tersebut?
4. Dalam keperawatan kritis, pasien seperti apa saja yang dilakukan Tindakan laparotomi?
5. Tujuan Tindakan reseksi kolon sigmoid?
6. Bagaimana mengatasi pasien yang perifer dingin dan sianosis?
7. Apakah Analisa gas darah normal? Dan apa hubungannya dengan diagnosa medis yang
di alami klien di kasus?
8. Jelaskan indikasi dilakukan operasi laparatomi berdasarkan kasus?
9. Ada beberapa prioritas pasien untuk masuk kedalam ruang ICU menurut kasus pasien
termasuk prioritas mana?
STEP 3

1. Langkah- langkah pertama menangani syok


Langkah pertolongan pertama dalam menangani syok menurut Alexander R
H, Proctor H J. Shock., (1993 ; 75 – 94)
1. Posisi Tubuh
2. Pertahankan respirasi
3. Pertahankan sirkulasi

1. Cairan resusitasi segera diberikan dengan cairan yang ada.


2. Cairan koloid lebih dianjurkan untuk resusitasi awal karena mempunyai efek
hemodinamik segera.
3. Infus cairan selanjutnya dapat memakai koloid dan atau kristaloid. Pemberian
cairan dekstrose 5 % tidak dipakai untuk resusitasi, karena akan disebar segera ke
rongga intraseluler. Pada syok septik dianjurkan pemberian cairan bolus 1000 ml
cairan kristaloid atau 500 ml koloid dalam 20-30 menit. Pemberian cairan
berikutnya dilihat dari respon klinik, pemeriksaan auskultasi paru untuk
mendengarkan ronchi, pengukuran ventricular filling pressure dan bila mungkin
penilaian oksigenisasi.
a) Monitor status kardiopulmonal
b) Monitor status oksigenasi
c) Monitor status cairan
d) Monitor tingkat kesadaran dan respon pupil
e) Periksa seluruh permukaan tubuh terhadap adanya dots
f) Monitor kultur

2. Dijadikan LO

3. Peran perawat kritis dalam kasus


a) Pemberi asuhan keperawatan
Sebagai Pemberi Asuhan Keperawatan perawat membantu klien mendaptkan
kembali kesehatannya melalui proses penyembuhan dengan fokus secara Holistik.
b) Pembuat Keputusan Klien
Inti pada praktik keperawatan untuk memberikan perawatan yang efektif, perawat
menggunakan keahliannya berpikir kritis melalui proses keperawatan sehingga
dapat membantu klien dalam pengambilan keputusan.
c) Pelindung dan Advokasi Klien
Sebagai pelindung dan perawat membantu mempertahankan lingkungan yang
aman bagi klien dan mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kecelakaan
serta melindungi klien dari kemungkinan efek yang tidak di inginkan dari suatu
tindakan diagnostik atau pengobatan. Misal, memastikan pasien tidak memiliki
riwayat alergi terhadap suatu obat, memberika informasi tentang kesehatan atau
tindakan-tindakan yang berhubungan dengan proses keperawatan.
d) Manager Koordinasi
Sebagai koordinator aktivitas anggota tim kesehatan lain seperti Ahli Gizi,
Fisioterafis dan lain-lain
e) Rehabilitator
Proses dimana individu kembali ke tingkat fungsi maksimal setelah sakit.,
kecelakaan atau kejadian yang menimbulkan ketidak berdayaan lainnya. Jadi
disini perawat dapat berperan sebagai rehabilitator.
f) Pemberi Kenyaman
Pemberi kenyamanan, sangat jelas apalagi dalam hal perawatan pasien kritis,
dengan bertujuan yang terapeutik bukan memenuhi ketergantungan
4. Pasien seperti apa saja yang dilakukan Tindakan laparotomi :
Laparotomi itu sendiri adalah prosedur medis yang bertujuan untuk membuka dinding
perut agar dapat memiliki akses ke organ perut yang memerlukan tindakan tertentu
atau sebagai prosedur diagnostik . pasien yang harus dilakukan laparotomi adalah
pasien dengan :
1. Penyumbatan / obstruksi usus
2. Perforasi / kebocoran usus
3. Pendarahan rongga perut
4. Pengangkatan tumor ganas di sekitar perut.

5. Tujuan Tindakan reseksi kolon sigmoid


Agar pasien tetap mengeluarkan tinja/angin dari dalam tubuh untuk mencegah
terjadinya infeksi sumbatan pada usus besar
6. Cara mengatasi pasien yang perifer dingin dan sianosis
Menghindari dari tubuh yang kedinginan, makanan sehat, rajin olahraga
Memberikan alat bantu pernafasan, obat dari dokter, menghindari factor penyebab
dari resiko sianosis.

7. Dijadikan LO

8. Indikasi dilakukan operasi laparatomi berdasarkan kasus


Trauma abdomen, peritonitis, saluran pencernaan, sumbatan usus halus dan besar.
Bagian dari penanganan darurat, contoh kondisinya adalah penyumbatan/obstruksi
usus, tumor ganas di sekitar perut.
9. Prioritas pasien untuk masuk kedalam ruang ICU
a) Prioritas 1 (satu): pasien kritis, tidak stabil yang memerlukan terapi intensif seperti
dukungan/bantuan ventilasi, infus obat-obat vasoaktif, kontinyu, dll. Contoh
pasien pasca bedah kardiotoraksik atau pasien shock septic.
b) Prioritas 2 (dua): pasien yang memerlukan pelayanan pemantauan canggih dari
ICU. Jenis pasien yang berisiko dan memerlukan terapi intensif segera, karenanya
pemantauan intensif menggunakan metode seperti pulmonary arterial catheter
sangat menolong. Contoh pada pasien yang menderita penyakit dasar jantung,
paru, atau ginjal akut dan berat atau yang mengalami pembedahan mayor.
c) Prioritas 3 (tiga): pasien jenis ini sakit kritis, dan tidak stabil dimana status
kesehatannya sebelumnnya, penyakit yang mendasarinya, atau penyakit akutnya,
baik masing-masing atau kombinasinya, sangat mengurangi kemungkinan
kesembuhan dan atau mendapat manfaat dari terapi di ICU. Contoh pasien ini
antara lain pasien dengan keganasan metastatik disertai penyulit infeksi,
pericardial temponade, atau sumbatan jalan napas atau pasien menderita penyakit
jantung atau paru paru terminal disertai komplikasi penyakit akut berat. Pasien di
kasus termasuk ke dalam prioritas pertama,karna di kasus pasien tidak sadarkan
diri dan terpasaang intubasi
STEP 4

Laki-laki Usia 60 Tahun

Dirawat di ICU

Datang ke UGD dengan


keluhan sakit perut

DS : DO :
Di IGD mengeluh mengantuk berat Tampak bingung Ketika dibangunkan

Perifer teraba dingin dan ianosis

Tekanan darah arteri 75/50 mmHg

Denyut jantung 125 kali/menit

Riwayat penyakit sebelumnya : Hipertensi dengan pengobatan, hiperkolesterol, konsumsi alcohol,


dan gangguan kognitif ringan

Pasien dibawa ke ruang operasi untuk Tindakan laparatomi, selama operasi ditemukan adanya
peritonitis. Pasien dilakukan Tindakan reseksi kolon sigmoid dan pembuatan kolostomi.

Pasien di Ruang ICU dalam kondisi tidak sadar, terintubasi, dan menggunakan ventilasi mekanik
dengan fraksi oksigen inspirasi 0,4. Hasil pemeriksaan fisik TD 88/52 mmHg, frekuensi jantung
120x/menit dalam irama sinus, tekanan vena sentral 6 mmHg, suhu 35,6 derajat Celsius. Hasil
Analisa gas darah arteri pH 7,32 PC02 28 mmHg, PO2 85 mmHg, HCO3 30 mmol/L.

Terapi 1 liter cairan kristaloid, dilakukan CT-Scan abdomen menunjukkan adanya gas ekstraluminal
dan dugaan feses ekstraluminal.
Perdarahan Saluran Cerna

SYOK SEPTIC
STEP 5

LEARNING OBJEKTIF

3. Masalah keperawatan utama dalam kasus?

Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi

7. Apakah Analisa gas darah normal? Dan apa hubungannya dengan diagnosa medis
yang di alami klien di kasus?

Analisa gas darah dikatakan normal jika :

 pH darah 7,38-7,42
 Tingkat penyerapan oksigen (SaO2): 94-100%
 Tekanan parsial oksigen (PaO2): 75-100 mmHg
 Tekanan parsial karbon dioksida (PaCO2): 38-42 mmHg
 Bikarbonat (HCO3): 22-28 mEq/L

Hasil Analisa gas darah kasus :

 pH 7,32 (rendah)
 HCO3 30 mmol perliter, (tinggi)
 PCO2 28 mmHg( rendah)
 PO2 85 mmHg, (normal)
STEP 6

BLAJAR MANDIRI

2.1 Definisi Perdarahan Saluran Cerna


Perdarahan saluran cerna adalah suatu perdarahan yang bisa terjadi dimana saja
di sepanjang saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus. Bisa berupa di
temukannya darah dalam tinja atau muntuh darah, tetapi gejala bisa juga tersembunyi
dan hanya bisa diketahui melalui pemeriksaan tertentu. Perdarahan yang terjadi di
saluran cerna bila di sebabkan oleh adanya erosi arteri akan mengeluarkan darah
lebih banyak dan tidak dapat  dihentikan dengan penatalaksanaan medis saja.
(Mansjoer,2000).
2.2 Etiologi Perdarahan Saluran Cerna
Penyebab perdarahan saluran bagian atas terbanyak di indonesia adalah karena
pecahnya varises esophagus dengan rata – rata 45-50% seluruh perdarahan saluran
cerna bagian atas.

1. Perdarahan saluran cerna bagian atas di antaranya :


a) Kelainan esophagus : varises , esophagitis, keganasan
b) Kelainan lambung dan duodenum : tukak lambung & duodenum, keganasan
c) Penyakit darah : leukemia, purpura trombositopenia
d) Penyakit sistemik : uremia
e) Pemakaian obat yang ulserogenik : gol. Salisilat, kortokosteroid, alkohol

2. Perdarahan saluran cerna bagian bawah


a) Tumor ganas
b) Polip : pertumbuhan jinak atau polip di usus besar yang umum dan dapat
menyebabkan kanker.
c) Colitis ulseratif : Infeksi, penyakit seperti penyakit Crohn s, kurangnya aliran
darah ke usus besar, dan radiasi dapat menyebabkan kolitis - radang usus besar.
d) Penyakit chron
e) Angiodiplasia : Penuaan menyebabkan angiodisplasia - kelainan pada pembuluh
darah usus.
f) Hemorrhoid (wasir) : Wasir pembuluh darah membesar di anus atau rektum
yang bisa pecah dan berdarah. Fissures, atau bisul, luka atau air mata di daerah
dubur.
g) Hemoragik massif saluran cerna bagian atas (Suparman, 1987)

2.3 Klasifikasi Perdarahan Saluran Cerna


Perdarahansalurancernadibagimenjadi 2 yaitu :
1. Perdarahan saluran cerna bagian atas
2. Perdarahan saluran cerna bagian bawah / lower gastrointestinal bleeding (LGIB).
(Mansjoer, 2000)
2.4 Tanda dan Gejala Perdarahan Saluran Cerna
1. Muntah darah (Hematemesis)
Adalah muntah darah dan biasanya di sebabkan oleh penyakit saluran cerna bagian
atas. Melena adalah keluarnya feses berwarna hitam per rectal yang mengandung
campuran darah biasanya disebabkan oleh perdarahan usus proksimal (Grace &
Borley,2007).
2. Mengeluarkan tinja yang kehitaman (Melena)
Tinja berwarna hitam merupakan akibat dari perdarahan di saluran bagian atas.
Misalnya lambung atau duodenum. Warna hitam terjadi Karena darah tercemar oleh
asam lambung dan pencernaan kuman selama beberapa jam sebelum keluar dari
tubuh. Sekitar 200 gram darah dapat menghasilkan tinja yang berwarna kehitaman.
3. Mengeluarkan darah dari rektum (hematoskezia)
4. Waterbrash merupakan regurgitasi isi lambung kedalam rongga mulut.
Gangguan ini dirasakan terdapat pada tenggorokan sebagai rasa asam atau cairan
panas yang pahit.
5. Pirosis (Nyeri uluhati)
Pirosis sering ditandai sensasi panas. Nyeri uluhati dapat disebabkan oleh refluks
asam lambung atau sekrat empedu kedalam esofahus bagian bawah, keduanya
sangat mengiritasi mukosa.
6. Penderita dengan perdarahan jangka panjang, bisa menunjukkan gejala-gejala
anemia, seperti mudah lelah, terlihat pucat, nyeri dada dan pusing. Jika terdapat
gejala-gejala tersebut, dokter bisa mengetahui adanya penurunan abnormal tekanan
darah, pada saat penderita berdiri setelah sebelumnya berbaring.
7. Gejala yang menunjukan adanya kehilangan darah yang serius adalah denyut nadi
yang cepat, tekanan darah rendah dan berkurangnya pembentukan air kemih. Tangan
dan kaki penderita juga akan teraba dingin dan basah. Berkurangnya aliran darah ke
otak karena kehilangan darah, bisa menyebabkan bingung, disorientasi, rasa
mengantuk dan bahkan syok
8. Pada penderita perdarahan saluran pencernaan yang serius, gejala dari penyakit
lainnya, seperti gagal jantung, tekanan darah tinggi, penyakit paru-paru dan gagal
ginjal, bisa bertmbah buruk. Pada penderita penyakit hati, perdarahan ke dalam usus
bisa menyebabkan pembentukan racun yang akan menimbulkan gejala seperti
perubahan kepribadian, perubahan kesiagaan dan perubahan kemampuan mental
(ensefalopati hepatik). (Sylfia A. Price, 1994 : 359).

2.5 Penatalaksanaan Dan Obat Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas


1. Identifikasi dan antisipasi terhadap terjadinya gangguan hemodinamik harus
dilakukan secara prima di lini terdepan karena keberhasilannya akan
mempengaruhi prognosis pada pasien.
2. Langkah awal untuk menstabilkan kondisi hemodinamik.
a. Pemasangan IV line paling sedikit 2
b. Dianjurkan pemasangan CVP
c. Oksigen sungkup/kanula. Bila ada gangguan A-B perlu dipasang ETT
d. Mencatat intake output, harus dipasang kateter urine
e. Memonitor tekanan darah, nadi, saturasi oksigen dan keadaan lainnya sesuai
dengan komorbid yang ada.
3. Pemasangan NGT (nasogatric tube)
a. Melakukan bilas lambung agar memudahkan dalam melakukan tindakan
endoskopi.
b. Transfusi untuk mempertahankan hematokrit >25%.
4. Pemeriksaan laboratorium segera dibutuhkan pada kasus-kasus yang
membutuhkan transfusi lebih dari 3 unit PRC. Pasien yang stabil setelah
pemeriksaan dianggap cukup stabil, pasien dapat segera dirawat untuk terapi
lanjutan atau persiapan endoskopi.
5. Konsultasi ke dokter spesialis terkait dengan penyebab dari perdarahan.
6. Penatalaksanaan sesuai dengan penyebab perdarahan
7. Tirah baring
8. Puasa/Diet hati/lambung
 Injeksi antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton (PPI)
 Sitoprotektor: sukralfat 3-4x1 gram
 Antasida sirup atau tablet
 Injeksi vitamin K untuk pasien dengan penyakit hati kronis
 Terhadap pasien yang diduga kuat karena ruptura varises gastroesofageal dapat
diberikan: somatostatin bolus 250 ug + drip 250 mikrogram/jam atau oktreotid
bo 0,1mg/2 jam. Pemberian diberikan sampai perdarahan berhenti atau bila
mampu diteruskan 3 hari setelah ligasi varises.
 Propanolol, dimulai dosis 2x10 mg dapat ditingkatkan sampai tekanan
diastolik turun 20 mmHg atau denyut nadi turun 20%.
 Laktulosa 4x1 sendok makan
 Neomisin 4x500 mg

Sebagian besar pasien dengan perdarahan SCBA dapat berhenti sendiri, tetapi
pada 20% dapat berlanjut. Walaupun sudah dilakukan terapi endoskopi pasien dapat
mengalami perdarahan ulang. Oleh karena itu perlu dilakukan assessmen yang lebih
akurat untuk memprediksi perdarahan ulang dan mortalitas.

2.6 Prosedur Bedah Dilakukan Sebagai Tindakan Emergensi Atau Elektif.

Penderita perdarahan saluran cerna bagian atas ditatalaksana secara


nonmedikamentosa dan medikamentosa. Penatalaksanaan non medikamentosa antara
lain bed rest, puasa hingga perdarahan berhenti, dan diet cair. Penatalaksanaan
medikamentosa dengan cairan infus RL 20 tetes/menit, dilakukan pemasangan. NGT,
omeprazole tablet 2x40 mg, transfuse sampai dengan kadar Hb 10 mg/dl. Dilakukan
pemantauan Hb. Pemasangan NGT dilakukan untuk mengevaluasi perdarahan yang
sedang berlangsung. Pada terapi medikamentosa diberikan omeprazole yang
merupakan golongan Proton Pump Inhibitor (PPI). Obat golongan PPI mengurangi
sekresi asam lambung dengan menghambat enzim H+, K+,Adenosine Triphosphatase
(ATPase) yang merupakan enzim pemompa proton.

Dengan cara kerja secara selektif pada selsel parietal. Enzim pompa proton bekerja
memecah KH+ ATP yang kemudian akan menghasilkan energi yang digunakan untuk
mengeluarkan asam dari kanalikuli sel parietal ke dalam lumen lambung. Ikatan
antara bentuk aktif obat dengan gugus sulfhidril dari enzim ini yang menyebabkan
terjadinya penghambatan terhadap kerja enzim. Kemudian dilanjutkan dengan
terhentinya produksi asam lambung.8,10,13 Diberikan transfusi sebagai terapi anemia
sampai dengan kadar Hb mencapai 10 mg/dl. Untuk mencegah terjadinya kegagalan
sirkulasi dan mencukupi suplai

2.7 Cara Penanganan Pertama dan Lanjutan Pada Saluran Cerna Atas
a. Penanganan Pertama Pada Saluran Cerna Atas

Seperti dalam menghadapi pasien pasien gawat darurat lainnya dimana


dalam melaksanakan prosedur diagnosis tidak harus selalu melakukan anamnesis
yang sangat cermatdan pemeriksaan fisik yang sangat detil, dalam hal ini yang
diutamakan adalah penanganan A -B –C ( Airway –Breathing –Circulation )
terlebih dahulu. Bila pasien dalam keadaan tidak stabil yang didahulukan adalah
resusitasi ABC. Setelah keadaan pasien cukup stabil maka dapat dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lebih seksama.

b. Penanganan Lanjutan

pasien cukup stabil maka dapat dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang lebih seksama. Pada anamnesis yang perlu ditanyakan adalah riwayat
penyakit hati kronis, riwayat dispepsia, riwayat mengkonsumsi NSAID, obat
rematik, alkohol, jamu–jamuan,obat untuk penyakit jantung, obat stroke.
Kemudian ditanya riwayat penyakit ginjal,riwayat penyakit paru dan adanya
perdarahan ditempat lainnya. Riwayat muntah -muntah sebelum terjadinya
hematemesis sangat mendukung kemungkinan adanya sindroma Mallory Weiss.

Dalam pemeriksaan fisik yang pertama harus dilakukan adalah penilaian


ABC, pasien-pasien dengan hematemesis yang masif dapat mengalami aspirasi
atau sumbatan jalan nafas, hal ini sering ini sering dijumpai pada pasien usia tua
dan pasien yang mengalami penurunan kesadaran. Khusus untuk penilaian
hemodinamik(keadaan sirkulasi) perlu dilakukan evaluasi jumlah perdarahan.

a. Perdarahan < 8% hemodinamik stabil


b. Perdarahan 8%-15% hipotensi ortostatik
c. Perdarahan 15-25% renjatan (shock)
d. Perdarahan 25%- 40% renjatan + penurunan kesadaran
e. Perdarahan >40% moribund

Pemeriksaan fisik lainnya yang penting yaitu mencari stigmata penyakit hati
kronis(kterus,spider nevi, asites, splenomegali, eritema palmaris, edema
tungkai),masa abdomen, nyeri abdomen, rangsangan peritoneum, penyakit paru,
penyakit jantung, penyakit rematik dll. Pemeriksaan yang tidak boleh dilupakan
adalah colok dubur.Warna feses ini mempunyai nilai prognostik. Dalam prosedur
diagnosis ini penting melihat aspirat dari Naso Gastric Tube (NGT).Aspirat berwarna
putih keruh menandakan perdarahan tidak aktif, aspirat berwarna merah marun
menandakan perdarahan masif sangat mungkin perdarahan arteri. Seperti halnya
warna feses maka warna aspiratpun dapat memprediksi mortalitas pasien.Walaupun
demikian pada sekitar 30% pasien dengan perdarahan tukak duodeni ditemukan
adanya aspirat yang jernih pada NGT. Dalam prosedur diagnostik ini perlu dilakukan
beberapa pemeriksaan penunjang antara lain :

a. Laboratorium
b. Darah Lengkap,
c. Faal Hemostasis,
d. Faal Hati, Faal Ginjal ,
e. Gula Darah ,
f. Elektrolit,
g. Golongan Darah,
h. Rö Dada ,Dan
i. Elektrokardiografi

Dalam prosedur diagnosis ini pemeriksaan endoskopi merupakan gold


standard tindakan endoskopi selain untuk diagnostik dapat dipakai pula untuk terapi.
Prosedur ini tidak perlu dilakukan segera( bukanprosedur emergensi), dapat dilakukan
dalam kurun waktu 12 -24jam setelah pasien masuk dan keadaan hemodinamik stabil.
Tidak ada keuntungan yang nyata bila endoskopi dilakukan dalam keadaan darurat.
Dengan pemeriksaan endoskopi ini lebih dari 95% pasienpasien dengan hemetemesis,
melena atau hematemesis –melena dapat ditentukan lokasi perdarahan dan penyebab
perdarahannya.Lokasi dan sumber perdarahan:

a. Esofagus :Varises, erosi, ulkus, tumor


b. Gaster :Erosi, ulkus, tumor, polip, angio displasia, Dilafeuy, varises, gastropati
kongestif
c. Duodenum :Ulkus, erosi, tumor, divertikulitis.
d. Untuk kepentingan klinik biasanya dibedakan perdarahan karena ruptur varises
dan perdarahan bukan karena ruptur varises (variceal bleeding dan non variceal
bleeding). Identifikasi varises biasanya memakai cara red whale marking. Yaitu
denganmenentukan besarnya varises(F1-F2-F3), jumlah kolom(sesuai jam),lokasi
di esofagus(Lm,Li,Lg) dan warna (biru, cherryred,hematocystic).Untuk ulkus
memakai kriteria Forrest.
1. Forrest Ia : Tukak dengan perdarahan aktif dari arteri
2. Forrest Ib :Tukak dengan perdarahan aktif berupa oozing
3. Forrest IIa :Tukak dengan visible vessel
4. Forrest IIb :Tukak dengan ada klot diatasnya yang sulit dilepas
5. Forrest IIc :Tukak dengan klot diatasnya yang dapat dilepas
6. Forrest III :Tukak dengan dasar putih tanpa klot.

Pada beberapa keadaan dimana pemeriksaan endoskopi tidak dapat dilakukan,


pemeriksaan dengan kontras barium( OMD) mungkin dapat membantu.Untuk pasien
yang tidak mungkin dilakukan endoskopi dapat dilakukan pemeriksaan dengan
angiografi atau skintigrafi. Hasil pemeriksaan endoskopi untuk pasien-pasien
perdaahan non varises mempunyai nilai prognostik. Dengan menganalisis semua data
yang ada dapat ditentukan strategi penanganan yang lebih adekwat.Dari berbagai
pemeriksaan diatas harus dilakukan pemilahan pasien apakah berada pada kelompok
risiko tinggi atau bukan.Pengelolaan pasien dengan perdarahan akut SCBA meliputi
tindakan umum dan tindakan khusus.

2.8 Tindakan umum:

Tindakan umum terhadap pasien diutamakan untuk ABC. Terhadap pasien yang
stabil setelah pemeriksaan dianggap memadai ,pasien dapat segera dirawat untuk terapi
lanjutan atau persiapan endoskopi. Untuk pasien-pasien risiko tinggi perlu tindakan lebih
agresif seperti:

1. Pemasangan IV line paling sedikit 2 dengan jarum(kateter) yang besar minimal no


18. Hal ini penting untuk keperluan transfusi. Dianjurkan pe
2. masangan CVP
3. Oksigen sungkup/ kanula.Bila ada gangguan A-B perlu dipasang ETT
4. Mencatat intake output,harusdipasang kateter urine
5. Memonitor Tekanan darah, Nadi,saturasi oksigen dan keadaan lainnya sesuai dengan
komorbid yang ada.
6. Melakukan bilas lambung agar mempermudah dalam tindakan endoskopi dalam
melaksanakan tindakaumum ini,terhadap pasien dapat diberikan terapi
7. Transfusi untuk mempertahankan hematokrit > 25%
8. Pemberian vitamin K
9. Obat penekan sintesa asam lambung (PPI)
10. Terapi lainnya sesuai dengan komorbid terhadap pasien yang diduga kuat karena
ruptura varises gastroesofageal dapat diberikan oktreotid bolus 50 g dilanjutkan
dengan drip 50 g tiap 4 jam.

Sebagian besar pasien dengan perdarahan SCBA dapat berhenti sendiri, tetapi
pada 20% dapat berlanjut. Walaupun sudah dilakukan terapi endoskopi pasien dapat
mengalami perdarahan ulang. Oleh karena itu perlu dilakuka assessmen yang lebih
akurat untuk memprediksi perdarahan ulang dan mortalitas.

2.9 Terapi khusus


1. Varises gastroesofageal
Terapi medikamentosa dengan obat vasoaktif.
a. Otreotid
b. Somatostatin
c. Glipressin (Terlipressin)

Terapi mekanik dengan balon Sengstaken Blackmore atau Minesota

a. Terapi endoskopi
b. Skleroterapi
c. Ligasi
Terapi secara radiologik dengan pemasangan TIPS( Transjugular Intrahepatic
Portosystemic Shunting) dan Perkutaneus obliterasi spleno –porta.

Terapi pembedahan

a. Shunting
b. Transeksi esofagus + devaskularisasi + splenektomi
c. Devaskularisasi + splenektomi.

Outcome pasien ruptura varises gastroesofageal sangat bergantung pada berbagai faktor
antara lain :

a. Beratnya penyakit hati (Kriteria Child-Pugh)


b. Ada tidak adanya varises gaster, walupun disebutkan dapat di
c. atasi dengan semacam glue(histoakrilat)
d. Komorbid yang lain seperti ensefalopati,koagulopati, hepato renal
e. sindrom dan infeksi

2. Tukak peptik
a. Terapi medikamentosa
1. PPI
2. Obat vasoaktif
b. Terapi endoskopi
1. Injeksi (adrenalin-saline, sklerosan,glue,etanol)
2. Termal (koagulasi, heatprobe,laser
3. Mekanik (hemoklip,stapler)
c. Terapi bedah.

Untuk pasien-pasien yang dilakukan terapi nonbedah perlu dimonitor akan


kemungkinan perdarahan ulang. Second look endoscopy masih kontroversi.
Realimentasi bergantung pada hasil endoskopi.

Pasien-pasien bukan risiko tinggi dapat diberikan diit segera setelah endoskopi
sedangkan pasien dengan risiko tinggi perlu puasa antara 24-48 jam, kemudian
baru diberikan makanan secara berthap. Pencegahan perdarahan ulang
4. Varises esofagus :
1. Terapi medik dengan betabloker nonselektif
2. Terapi endoskopi dengan sklero terapi atau ligasi
3. Tukak peptik
4. Tukak gaster PPI selama 8-12 minggu dan tukak duodeni PPI 6-8 minggu
5. Bila ada infeksi helicobacter pilory perlu dieradikasi
6. Bila pasien memerlukan NSAID,diganti dulu dengan analgetik dan kemudian
dipilih NSAID selektif(non selektif)+ PPI atau misoprost
2.10 Penatalaksanaan Syok Septik 

 Penatalaksanaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan resusitasi


yang perludilakukan sesegera mungkin. Resusitasi dilakukan secara intensif dalam 6
jam pertama,dimulai sejak pasien tiba di unit gawat darurat. Tindakan mencakup
airway: a) breathing; b)circulation; c) oksigenasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik,
dan transfusi bila diperlukan.Pemantauan dengan kateter vena sentral sebaiknya
dilakukan untuk mencapai tekanan venasentral (CVP) 8-12 mmHg, tekanan arteri
rata-rata (MAP)>65 mmHg dan produksi urin >0,5ml/kgBB/jam

a. Oksigenasi

Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat disfungsi atau
kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi maupun perfusi. Transpor
oksigen ke jaringan juga dapat terganggu akibat keadaan hipovolemik dan
disfungsi miokard menyebabkan penurunan curah jantung. Kadar hemoglobin
yang rendah akibat perdarahan menyebabkan daya angkut oleh eritrosit
menurun. Transpor oksigen ke jaringan dipengaruhi juga oleh gangguan perfusi
akibat disfungsi vaskuler, mikrotrombus dan gangguan penggunaan oksigen
oleh jaringan yang mengalami iskemia.

Oksigenasi bertujuan mengatasi hipoksia dengan upaya meningkatkan saturasi


oksigen di darah, meningkatkan transpor oksigen dan memperbaiki utilisasi
oksigen di jaringan.

b. Terapi cairan

Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian cairan baik
kristaloid maupun koloid. Volume cairan yang diberikan perlu dimonitor
kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih. Secara klinis respon terhadap
pemberian cairan dapat terlihat dari peningkatan tekanan darah, penurunan
ferkuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan ekstremitas, produksi
urin, dan membaiknya penurunan kesadaran. Perlu diperhatikan tanda kelebihan
cairan berupa peningkatan tekanan vena jugular, ronki, gallop S3, dan
penurunan saturasi oksigen.

Pada keadaan serum albumin yang rendah (< 2 g/dl) disertai tekanan hidrostatik
melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan. Transfusi
eritrosit (PRC) perlu diberikan pada keadaan perdarahan aktif, atau bila kadar
Hb rendah pada keadaan tertentu misalnya iskemia miokardial dan renjatan
septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis dipertahankan pada 8-10 g/dl.

c. Vasopresor dan inotropik

Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan


pemberian cairan secara adekuat, tetapi pasien masih mengalami hipotensi.
Terapi vasopresor diberikan mulai dosis rendah secara titrasi untuk mencapai
MAP 60 mmHg, atau tekanan sistolik 90 mmHg. Untuk vasopresor dapat
digunakan dopamin dengan dosis >8 mcg/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5
mcg/kg/menit, fenileferin 0,5-8 mcg/kg/menit atau epinefrin 0,1-0,5
mcg/kg/menit. Inotropik yang dapat digunakan adalah dobutamin dosis 2-28
mcg/kg/menit, dopamin 3-8 mc/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit atau
inhibitor fosfodiesterase (amrinon dan milrinon).

d. Bikarbonat

Secara empirik, bikarbonat dapat diberikan bila pH <7,2 atau serum bikarbonat
<9 meq/l, dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.

e. Disfungsi renal

Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis maupun
hemofiltrasi kontinu (continuous hemofiltration). Pada hemodialisis digunakan
gradien tekanan osmotik dalam filtrasi substansi plasma, sedangkan pada
hemofiltrasi digunakan gradien tekanan hidrostatik. Hemofiltrasi dilakukan
kontinu selama perawatan, sedangkan bila kondisi telah stabil dapat dilakukan
hemodialisis.
f. Nutrisi

Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein, asam lemak, cairan,
vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan pemberian
secara enteral dan bila tidak memungkinkan beru diberikan secara parenteral.

g. Kortikosteroid

Saat ini terapi kortikosteroid diberikan hanya pada indikasi insufisiensi adrenal,
dan diberikan secara empirik bila terdapat dugaan keadaan tersebut.
Hidrokortison dengan dosis 50mg bolus intravena 4 kali selama 7 hari pada
pasien renjatan septik menunjukkan penurunan mortalitas dibanding kontrol.
(Chen dan Pohan, 2007).

2.11 Mean Arterial Pressure (MAP)


1. Konsep dasar MAP
Mean arterial pressure adalah tekanan arteri rata-rata selama satu siklus denyutan
jantung yang didapatkan dari pengukuran tekanan darah systole dan tekanan darah
diastole. Niai normal dari MAP adalah berkisar antara 70-100 mmHg (Potter &
Perry,2005).
Sedangkan mean arterial pressure didapatkan dari rumus sebagai berikut :

MAP = D + 1/3 (S-D)


Keterangan:

D : Diastolik

S : Sistolik.

Pada penghitungan MAP akan didapatkan gambaran penting dalam tekanan darah
yaitu : tekanan sistolik adalah tekanan maksimal ketika darah dipompakan dari
ventrikel kiri, batas normal dari tekanan sistolik adalah 100-140 mmHg, tekanan
diastolik adalah tekanan darah pada saat relaksasi, batas normal dari tekanan diastolik
adalah 60-80 mmHg.
Tekanan diastolik menggambarkan tahanan pembuluh darah yang harus dicapai oleh
jantung (Potter & Perry, 2005). Tidak ada ukuran pasti mengenai nilai MAP normal
pada anak-anak berkisar 70 mmHg, kemudian pada remaja yang lebih tua sekitar 80
mmHg. Dengan bertambanya umur, tekanan systolik akan lebih besar dari pada tekanan
diastolik, karena itu tekanan nadi meningkat seiring bertambahnya umur. Perbedaan
kecil tampak pada laki-laki dan wanita.
Wanita memiliki tekanan nadi yang sedikit lebih rendah daripada laki-laki yang sama
umurnya (Klabunde & Richard 2012).

2. Faktor–faktor yang mempengaruhi MAP Hasil dari pengukuran MAP ditentukan oleh
pengukuran tekanan darah. Hasil pengukuran tekanan darah tidaklah menunjukkan
hasil yang konstan pada setiap saat. Meskipun data kondisi yang paling baik sekalipun,
hasil tekanan darah dapat berubah-ubah. Menurut Potter & Perry (2005), tidak
konstannya hasil pengukuran tekanan darah dipengaruhhi oleh berbagai faktor, antara
lain : usia, jenis kelamin, stress, ras, medikasi, elastisitas arteri, curah jantung, tekanan
pembuluh darah perifer, volume darah dan viskositas darah

2.12 Mode ventilator

Ventilator (ventilasi mekanik) adalah alat yang digunakan untuk membantu pasien yang
mengalami gagal napas. Pada prinsipnya ventilator adalah suatu alat yang bisa
menghembuskan gas (dalam hal ini oksigen) ke dalam paru-paru pasien. Saat
menghembuskan gas, ventilator bisa tidak tergantung otot pernapasan dalam hal ini
ventilator menggantikan sepenuhnya kerja otot pernapasan atau ventilator bersifat
membantu otot pernapasan sehingga kerja otot pernapasan diperkuat.

Pemasangan ventilator bertujuan untuk memberikan kekuatan secara mekanis pada


sistem paru dalam mempertahankan ventilasi yang fisiologis, mengurangi kerja otot
jantung yang dilakukan dengan cara mengurangi kerja pada paru-paru, dan juga
memanipulasi jalannya tekanan udara dan juga corak ventilasi untuk mengatasi
efisiensi ventilasi serta oksigenasi.

Mode Nama Deskripsi Keuntungan


ACV Assisted Controlled Dirangsan oleh inspirasi pasien, Meningkatkan pernapasan
Ventilation namun pada keadaan tidak ada spontan, tidak ada
inspirasi, akan berputar sesuai penurunan tonus otot, baik
kecepatan yang telah diset. untuk meningkatkan kadar
CO2, Tv (Tidal Volume)
mekanik penuh
Pasien mencetuskan ventilator,
Tv deprogram namun pasien
AV Assusted Ventilation yang menyediakan napas
menentukan frekuensi
bertekanan positif
Tv dan RR sudah diset
Ventilator menyalurkan
sebelumnya . untuk apnea
pernapasan yang telah
dan henti napas akibat obat
CV Controlled Ventilation deprogram tanpa
dan status asmatikus,
mempertimbangkan usaha napas
penurunana usaha bernapas
pasien
pasien
Volume dan kecepatan tidak
tergantung pada usaha
pasien, memungkinkan
Menggabungkan spontan dan
penyaluran gas yang
Intermittent CV, pasien dapat bernapas
IMV dilembabkan, membantu
Mandatory  Ventilation spontan di antara napas ventilasi
hiperventilasi persisten,
yang diberikan.
penurunan ansietas,
penurunana barotrauma,
membantu dengn PEEP.
Digunakan sebagai
cadangan SIMV, lebih
Menyediakan napas bertekanan
nyaman karena kecepatan
Pressure Support positif yang levelnya sudah
PSV pemberian ditentukan oleh
Ventilation diset sebelumnya, hanya selama
pasien, paling baik untuk
siklus inspirasi
melatih pernapasan mandiri
(weaning).
Sama seperti IMV dengan
pernapasan yang lebih
Menggambungkan spontan dan terkontrol, nyaman, dan
Synchronous ACV, memberikan napas efisien, mencegah atrofi
SIMV Intermittent Mandatory bantuan tekanan positif pada otot, kembali ke IMV jika
Ventilation interval tertentu denganusaha tidak ada usaha pasien,
pasien. mencegah penyaluran Tv
yang ganda, lebih umum
digunakan untuk PEEP.
Meningkatkan VA 
(Alveolar Ventilation),
peningkatan FRC (fungsi
Pemeliharaan tekanan “super-
Positive End residual capacity);
PEEP atmosfir” buatan pada akhir
Expiratory Pressure pencegahan atelectasis;
ekspirasi
digunakan pada edema paru
dan ARDS, digunakan
dengan SIMV
Menggunakan napas pasien
Tekanan positif selama inspirasi
Continous Positive seluruhnya, berguna untuk
CPAP dan ekspirasi tanpa bantuan
Airway Pressure weaning atau sebelum
ventilator
ekstubasi.

Askep Kasus

KASUS I

Seorang laki-laki berusia 60 tahun di rawat di unit perawatan intensif (ICU). Sebelumnya di
hari yang sama, pasien ini datang ke IGD dengan keluhan sakit perut. Riwayat penyakit
sebelumnya : hipertensi dengan pengobatan, hiperkolesterol, konsumsi alkohol, dan
gangguan kognitif ringan. Di IGD dia mengeluh mengantuk berat, dan tampak bingung ketika
dibangunkan. Perifer teraba dingin dan sianosis. Tekanan darah arteri 75/50 mmHg, denyut
jantung 125 kali/menit. Perut teraba tegang dan buncit. Pasien diberikan terapi 1 liter cairan
kristaloid melalui Intravena untuk mengembalikan tekanan darah. Di lakukan CT-scan
abdomen menunjukkan adanya gas ekstraluminal dan dugaan feses ekstraluminal yg
konsisten dengan performansi kolon sigmoid. Pasien di bawa ke ruang operasi untuk tindakan
laparatomi. Selama operasi ditemukan adanya peritonitis dengan adanya tinja berasal dari
kolon sigmoid yang berlubang. Pasien dilakukan tindakan reseksi kolon sigmoid dan
pembuatan kolostomi. Pasien di rawat di ruang ICU dalam kondisi tidak sadar, terintubasi,
dan menggunakan ventilasi mekanik dengan fraksi oksigen inspirasi 0.4. tiba di ICU hasil
pemeriksaan fisik TD 88/52 mmHg, frekuensi jantung 120x/menit dalam irama sinus,
tekanan Vena sentral 6 mmHg, suhu 35,6 C. Hasil analisa gas darah arteri pH 7,32 PCO2 28
mmHg, PO2 85 mmHg, HCO3 30 mmol perliter. Pasien terindikasi mengalami syok septic.

Berdasarkan kasus diatas, rencanakan manajemen perawatan yang sesuai!


ASKEP
Pengkajian
A. Identitas
Identitas Klien
Nama : Tn.S
Umur : 60 tahun
Agama : Tidak terkaji
Pendidikan : Tidak terkaji
Alamat : Tidak terkaji
Suku bangsa : Tidak terkaji
Pekerjaan : Tidak terkaji
Status perkawinan : Tidak terkaji
Ruang rawat : Tidak terkaji
Diagnosa medis : Tidak terkaji
Tanggal masuk : Tidak terkaji
Tanggal pengkajian : Tidak terkaji

Identitas Penanggung Jawab


1. Nama : Tidak terkaji
2. Umur : Tidak terkaji
3. Jenis Kelamin : Tidak terkaji
4. Agama : Tidak terkaji
5. Alamat : Tidak terkaji
6. Hubungan : Tidak terkaji

B. Alasan Masuk Rumah Sakit


Klien masuk rumah sakit dengan keluhan sakit perut

C. Riwayat Kesehatan
1. Riwayat Kesehatan Dulu
Klien mengalami hipertensi dengan pengobatan, hiperkolesterol, konsumsi alkohol,
dan gangguan kognitif ringan. Di IGD dia mengeluh mengantuk berat, dan tampak
bingung ketika dibangunkan. Perifer teraba dingin dan sianosis. Tekanan darah arteri
75/50 mmHg, denyut jantung 125 kali/menit. Perut teraba tegang dan buncit. Pasien
diberikan terapi 1 liter cairan kristaloid melalui Intravena untuk mengembalikan
tekanan darah. Di lakukan CT-scan abdomen menunjukkan adanya gas
ekstraluminal dan dugaan feses ekstraluminal yg konsisten dengan performansi
kolon sigmoid.
2. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien di rawat di ruang ICU dalam kondisi tidak sadar, terintubasi, dan
menggunakan ventilasi mekanik dengan fraksi oksigen inspirasi 0.4. tiba di ICU
hasil pemeriksaan fisik TD 88/52 mmHg, frekuensi jantung 120x/menit dalam irama
sinus, tekanan Vena sentral 6 mmHg, suhu 35,6 C. Hasil analisa gas darah arteri pH
7,32 PCO2 28 mmHg, PO2 85 mmHg, HCO3 30 mmol perliter. Pasien terindikasi
mengalami syok septic.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
Tidak terkaji
4. Riwayat Alergi
Tidak terkaji

D. Riwayat Kebiasaan Sehari-hari


1. Pola Nutrisi
Tidak terkaji
2. Pola Eliminasi
a. BAK
Tidak terkaji
b. BAB
Terpasang kolostomi
3. Pola Personal Higiene
Tidak terkaji
4. Pola Istirahat Dan Tidur
Tidak terkaji
5. Pola Aktivitas Dan Latihan
Tidak terkaji
6. Pola kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan
Klien mengkonsumsi alkohol
7. Pola Nilai dan Keyakinan
Tidak terkaji
8. Pola Seksual
Tidak terkaji
9. Pola Peran dan Hubungan
Tidak terkaji
10. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Tidak terkaji
11. Pola Koping-Toleransi Stress
Tidak terkaji
12. Pola Kognitif-Persepsi
Klien mengalami gangguan kognitif ringan
13. Pola Persepsi Kesehatan
Tidak terkaji

E. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan Umum
a. Keadaan umum : Kondisi klien tidak sadar, terintubasi, dan
menggunakan ventilasi mekanik dengan fraksi oksigen inspirasi 0.4
b. Kesadaran : Klien dalam keadaan tidak sadar
c. Tanda –Tanda Vital :
TD 88/52 mmHg
Frekuensi jantung 120x/menit dalam irama sinus
Suhu 35,6 C
2. Pemeriksaan Fisik Review Of System (ROS)
1) Sistem Pernafasan
a. Respirasi : Tidak terkaji
b. Keluhan : Tidak terkaji
Sekret : Tidak terkaji
Konsistensi : Tidak terkaji
Warna : Tidak terkaji
Bau : Tidak terkaji
c. Penggunaan otot bantuh nafas : Tidak terkaji
d. PCH : Tidak terkaji
e. Irama nafas : Sinus
f. Pleura friction : Tidak terkaji
g. Pola nafas : Tidak terkaji
h. Suara nafas : Tidak terkaji
i. Alat bantuh nafas : Ventilasi mekanik dengan fraksi
oksigen inspirasi 0.4
j. Penggunaan WSD : Tidak terkaji
k. Trocheostomi : Tidak terkaji
2) Sistem Kardiovaskuler
a. TD : 88/52 mmHg
b. Nadi : 120 x/menit
c. Keluhan nyeri dada : Tidak terkaji
d. Irama jantung : Tidak terkaji
e. Bunyi jantung : Tidak terkaji
f. Letus : Tidak terkaji
g. CRT : Tidak terkaji
h. JVP : Tidak terkaji
i. CVP : 6 mmHg
j. CTR : Tidak terkaji
k. EGC & Interpretasinya : Tidak terkaji
l. Lain –lain :-
3) Sistem Persyarafan
a. GCS : Tidak terkaji
b. Refleks psikologis : Tidak terkaji
c. Refleks patologis : Tidak terkaji
d. Keluhan pusing : Tidak terkaji
e. Pemeriksaan saraf kranial
NI : Tidak terkaji
N II : Tidak terkaji
N III IV VI : Tidak terkaji
NV : Tidak terkaji
N VII : Tidak terkaji
N VIII : Tidak terkaji
N IX : Tidak terkaji
NX : Tidak terkaji
N XI : Tidak terkaji
N XII : Tidak terkaji
f. Kekuatan otot : Tidak terkaji
g. Pupil : Tidak terkaji
h. Sklera : Tidak terkaji
i. Konjungtiva : Tidak terkaji
j. Istirahat/tidur : Tidak terkaji
4) Sistem Perkemihan
a. Kebersihan getelia : Tidak terkaji
b. Sekret : Tidak terkaji
c. Ulkus : Tidak terkaji
d. Kebersihan meatus uretra : Tidak terkaji
e. Keluhan kencing : Tidak terkaji
f. Produksi urine : Tidak terkaji
g. Kandung kemih : Tidak terkaji
h. Nyeri tekan : Tidak terkaji
i. Intake cairan oral : Tidak terkaji
j. Balance cairan : Tidak terkaji
5) Sistem Pencernaan
a. TB :- BB :-
b. IMT :- Interprestasi: -
c. Mulut : Tidak terkaji
d. Membran mukosa : Tidak terkaji
e. Tenggorokan : Tidak terkaji
f. Abdomen : Tidak terkaji
g. Nyeri tekan : Tidak terkaji
h. Luka operasi : Tidak terkaji
i. Peristaltik : Tidak terkaji
j. BAB : Terpasang kolostomi
k. Konsentrasi : Tidak terkaji
l. Warna feses : Tidak terkaji
m. Diet : Tidak terkaji
n. Diet khusus : Tidak terkaji
o. Nafsu makan : Tidak terkaji
p. Porsi makan : Tidak terkaji
q. Lain-lain : Tidak terkaji
6) Sistem Penglihatan : Tidak terkaji
7) Sistem Pendengaran : Tidak terkaji
8) Sistem Muskuloskeletal
a. Pergerakan sendi : Tidak terkaji
b. Kekuatan otot : Tidak terkaji
c. Kelainan ekstremitas : Tidak terkaji
d. Kelainan tulang belkang : Tidak terkaji
e. Fraktur : Tidak terkaji
f. Fraksi : Tidak terkaji
g. Penggunaan spak/gips : Tidak terkaji
h. Keluhan nyeri : Tidak terkaji
i. Sirkulasi perifer : Tidak terkaji
j. Kompartemen syndrome : Tidak terkaji
k. Luka operasi : Tidak terkaji
l. ROM : Tidak terkaji
m. Lain-lain :-
9) Sistem Integumen : Tidak terkaji
10) Sistem Endokrin : Tidak terkaji
3. Pemeriksaan Penunjang
CT-scan abdomen menunjukkan adanya gas ekstraluminal dan dugaan feses
ekstraluminal yg konsisten dengan performansi kolon sigmoid.
Hasil analisa gas darah arteri pH 7,32 PCO2 28 mmHg, PO2 85 mmHg, HCO3 30
mmol perliter.
4. Terapi Saat Ini
a. Cairan kristaloid melalui Intravena 1 liter
b. Reseksi kolon sigmoid
c. Pembuatan kolostomi
d. Ventilasi mekanik dengan fraksi oksigen inspirasi 0.4

F. Analisa data
Data Etiologi Problem
DS : - Ketidakseimbangan ventilasi Gangguan Pertukaran Gas
DO :
- PCO2 28 mmHg
- PO2 85 mmHg
- pH 7,32
- Sianosis
DS : - Adanya luka bekas operasi di
Resiko infeksi
DO : perut dan anus
- Perubahan sekresi
pH
- tindakan
kolostomi

3.1 Diagnosa Keperawatan :


1. Gangguan Pertukaran Gas berhubungan dengan Ketidakseimbangan ventilasi
2. Resiko infeksi berhubungan dengan Adanya luka bekas operasi di perut dan anus
3.2 Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Intervensi
. Keperawatan Kriteria hasil
1. Gangguan NOC: NIC:
Pertukaran Gas - Respiratory status : 1. Posisikan pasien untuk
berhubungan Ventilation memaksimalkan ventilasi
dengan - Respiratory status : 2. Pasang mayo bila perlu
Ketidakseimba Gas exchange 3. Lakukan fisioterapi dada jika
ngan ventilasi - Keseimbangan perlu
asam basa 4. Keluarkan sekret dengan batuk
elektrolit atau suction
- Vital sign Status 5. Auskultasi suara nafas, catat
Setelah dilakukan adanya suara tambahan
tindakan 6. Berikan bronkodilator
keperawatan 7. Barikan pelembab udara
ganguan pertukaran 8. Atur intake untuk cairan
gas pasien teratasi, mengoptimalkan
dibuktikan dengan keseimbangan.
kriteria hasil: 9. Monitor respirasi dan status
- Mendemonstrasika O2
n peningkatan 10. Catat pergerakan dada,amati
ventilasi dan kesimetrisan, penggunaan
oksigenasi yang otot tambahan, retraksi otot
adekuat supraclavicular dan
- Memelihara intercostal
kebersihan paru 11. Monitor suara nafas, seperti
paru dan bebas dari dengkur
tanda tanda distress 12. Monitor pola nafas :
pernafasan bradipena, takipenia,
- Mendemonstrasika kussmaul, hiperventilasi,
n batuk efektif dan cheyne stokes, biot
suara nafas yang 13. Auskultasi suara nafas, catat
bersih, tidak ada area penurunan / tidak
sianosis dan adanya ventilasi dan suara
dyspnea (mampu tambahan
mengeluarkan 14. Monitor TTV, AGD,
sputum, mampu elektrolit dan ststus mental
bernafas dengan 15. Observasi sianosis khususnya
mudah, tidak ada membran mukosa
pursed lips) 16. Jelaskan pada pasien dan
- Tanda tanda vital keluarga tentang persiapan
dalam rentang 17. tindakan dan tujuan
normal penggunaan alat tambahan
- AGD dalam batas (O2, Suction, Inhalasi)
normal
- Status neurologis
dalam batas normal
2. Resiko infeksi Tujuan : Setelah NIC:
berhubungan dilakukan tindakan Kontrol infeksi
dengan keperawatan, 1. Bersihkan lingkungan setelah
Adanya luka diharapkan infeksi dipakai pasien lain
bekas operasi tidak tejadi. 2. Pertahankan teknik isolasi
di perut dan NOC: Pengendalian 3. Batasi pengunjung bila perlu
anus Infeksi. 4. Instruksikan pada pengunjung
Kriteria Hasil : untuk mencuci tangan saat
- Klien bebas dari berkunjung dan setelah
tanda dan gejala berkunjung meninggalkan
infeksi pasien
- Mendeskripsikan 5. Gunakan sabun anti mikroba
proses penularan untuk cuci tangan
penyakit, factor 6. Cuci tangan setiap sebelum
yang dan sesudah tindakan
mempengaruhi keperawatan
penularan serta 7. Gunakan sarung tangan
penatalaksanaanny sebagai alat pelindung
a, 8. Pertahankan lingkungan
- Menunjukkan aseptik selama pemasangan
kemampuan untuk alat
mencegah 9. Tingkatkan intake nutrisi
timbulnya infeksi 10. Berikan terapi antibiotik bila
- Jumlah leukosit perlu.
dalam batas
Proteksi terhadap infeksi
normal 1. Monitor tanda dan gejala
- Menunjukkan infeksi sistemik dan lokal
perilaku hidup 2. Monitor hitung granulosit,
sehat leukosit

DAFTAR PUSTAKA
1. Jackson, M & Jackson L, 2011. Seri Panduan Keperawatan Klinis. Penerbit Erlangga:
Jakarta
2. https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwiZm8u3
zNXaAhWIOY8KHeVbDzkQFggnMAA&url=http%3A%2F%2Fperdici.org%2Fwp-
content%2Fuploads%2Fmkti%2F2012-02-01%2Fmkti2012-0201-
042043.pdf&usg=AOvVaw2wYEhE0CL9U3DSlkQ2e27T
3. https://www.medicalogy.com/blog/jenis-dan-mode-ventilator-paru-paru
4. Chen K dan Pohan H.T. 2007. Penatalaksanaan Syok Septik dalam Sudoyo, Aru W.

Anda mungkin juga menyukai