Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN KASUS PADA TN D

POST LAPARATOMI EKPLORASI A/I PERITONITIS DIFFUS EC. PERFORASI


HOLLOW VISCUS (GASTER & DUODENUM) + SYOCK SEPTIC
DI RUANG PERAWATAN GICU
RSHS BANDUNG

ELDESSA VAVA RILLA


220120110521

PROGRAM PASCA SARJANA


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2013

BAB I
TEORI DASAR

1. LAPARATOMI EKSPLORASI

a. Pengertian Laparatomi Eksplorasi

Bedah laparatomi merupakan tindakan operasi pada daerah abdomen, bedah laparatomi
merupakan teknik sayatan yang dilakukan pada daerah abdomen yang dapat dilakukan pada bedah
digestif dan kandungan. Adapun tindakan bedah digestif yang sering dilakukan dengan teknik
sayatan arah laparatomi yaitu: Herniotorni, gasterektomi, kolesistoduodenostomi, hepateroktomi,
splenorafi/splenotomi, apendektomi, kolostomi, hemoroidektomi dan fistulotomi atau fistulektomi.

Tindakan bedah kandungan yang sering dilakukan dengan teknik sayatan arah laparatomi
adalah berbagai jenis operasi uterus, operasi pada tuba fallopi dan operasi ovarium (Prawirohardjo),
yaitu: histerektomi baik itu histerektomi total, histerektomi sub total, histerektomi radikal, eksenterasi
pelvic dan salingo-coforektomi bilateral. Selain tindakan bedah dengan teknik sayatan laparatomi
pada bedah digestif dan kandungan, teknik ini juga sering dilakukan pada pembedahan organ lain,
menurut Spencer (1994) antara lain ginjal dan kandung kemih.

Ada 4 (empat) cara, yaitu :

1. Midline incision
2. Paramedian, yaitu : panjang (12,5 cm) sedikit ke tepi dari garis tengah
3. Transverse upper abdomen incision, yaitu : sisi di bagian atas, misalnya pembedahan
colesistotomy dan splenektomy
4. Transverse lower abdomen incision, yaitu : 4 cm di atas anterior spinal iliaka, insisi melintang di
bagian bawah misalnya : pada operasi appendictomy.

b. Indikasi Laparatomi
1. Trauma abdomen (tumpul atau tajam) / Ruptur hepar
2. Peritonitis
3. Perdarahan saluran pencernaan (Internal Blooding)
4. Sumbatan pada usus halus dan usus besar
5. Masa pada abdomen (Sjamsuhidajat R, Jong WD, 1997)

c. Komplikasi
1. Ventilasi paru tidak adekuat
2. Gangguan kardiovaskuler : hipertensi, aritmia jantung
3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
4. Gangguan rasa nyaman dan kecelakaan

d. Post Laparatomi
Perawatan post laparatomi adalah bentuk pelayanan perawatan yang diberikan kepada pasien-pasien
yang telah menjalani operasi pembedahan perut.

e. Tujuan Perawatan Post Laparatomi


1. Mengurangi komplikasi akibat pembedahan
2. Mempercepat penyembuhan
3. Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi
4. Mempertahankan konsep diri pasien
5. Mempersiapkan pasien pulang
f. Komplikasi Post Laparatomi
1. Tromboplebitis
Tromboplebitis post opersi biasanya timbul 7-14 hari setelah operasi. Bahaya besar tromboplebitis
timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai
emboli ke paru-paru, hati dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi,
ambulatif dini dan kaos kaki TED yang dipakai klien sebelum mencoba ambulatif
2. Infeksi
Infeksi luka sering muncul pada 36-46 jam setelah operasi. Organisme yang paling sering
menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aureus, organisme ;gram positif. Stapilokokus
mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka yang pali penting adalah perawatan
luka dengan mempertahankan aseptik dan antiseptik.
3. Dehisensi Luka atau Eviserasi
Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka adalah keluarnya organ-organ
dalam melalui insisi. Faktor penyebab dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan
menutup waktu pembedahan, ketegangan yang berat pada dinding abdomen sebagai akibat dari
batuk dan muntah.
Proses Penyembuhan Luka :
Fase pertama (Inflamasi)
Berlangsung sampai hari ke 3. Batang lekosit banyak yang rusak/rapuh. Sel-sel darah baru
berkembang menjadi penyembuh dimana serabut-serabut bening digunakan sebagai
kerangka.
Fase kedua (Proliferatif)
Dari hari ke 3 sampai hari ke 14. Pengisian oleh kolagen, seluruh pinggiran sel epitel
timbul sempurna dalam 1 minggu. Jaringan baru tumbuh dengan kuat dan kemerahan.
Fase ketiga (Maturasi)
Sekitar 2 sampai 10 minggu kolagen terus menerus ditimbun, timbul jaringan-jaringan
baru dan otot dapat digunakan kembali.
Fase keempat (fase terakhir)
Pada fase penyembuhan akan menyusut dan mengkerut.
Intervensi untuk Meningkatkan Penyembuhan
o Meningkatkan intake makanan tinggi kalori dan tinggi protein ( TKTP)
o Menghindari obat-obat anti radang seperti steroid
o Pencegahan infeksi
o Pengembalian Fungsi Fisik
o Pengembalian fungsi fisik dilakukan segera setelah operasi dengan latihan nafas dan
batuk efektif, latihan mobilisasi dini. Latiahn-latihan fisik diantaranya latihan nafas
dalam, latihan batuk, menggerakan otot-otot kaki, menggerakan otot-otot bokong.
Latihan alih baring dan turun dari tempat tidur, semuanya dilakukan hari ke 2 post
opersi.

2. ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN LAPARATOMI


a. Asuhan Keperawatan Post Operasi Laparatomi
1) Pengkajian
Pengkajian keperawatan pada klien post laparatomy meliputi :
a) Biodata
Identitas Klien,meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,
alamat, nomor register, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, diagnosa medis,
tindakan medis.
Identitas Penanggungjawab meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan,
pekerjaan, alamat, hubungan dengan klien, sumber biaya.
b) Lingkup Masalah Keperawatan
Keluhan utama : klien dengan post laparatomy ditemukan adanya keluhan nyeri pada luka
post operasi, mual, muntah, distensi abdomen, badan terasa lemas.
c) Riwayat Kesehatan
Riwayat Kesehatan Sekarang. Riwayat kesehatan sekarang ditemukan pada saat
pengkajian yang dijabarkan dari keluhan utama dengan menggunakan teknik PQRST, yaitu
:
P (Provokatif atau Paliatif), hal-hal yang dapat mengurangi atau memperberat. Biasanya
klien mengeluh nyeri pada daerah luka post operasi. Nyeri bertambah bila klien bergerak
atau batuk dan nyeri berkurang bila klien tidak banyak bergerak atau beristirahat dan
setelah diberi obat.
Q (Quality dan Quantity), yaitu bagaimana gejala dirasakan nampak atau terdengar, dan
sejauh mana klien merasakan keluhan utamanya. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk
dengan skala 5 (0-10) dan biasanya membuat klien kesulitan untuk beraktivitas.
R (Regional/area radiasi), yaitu dimana terasa gejala, apakah menyebar? Nyeri dirasakan
di area luka post operasi, dapat menjalar ke seluruh daerah abdomen.
S (Severity), yaitu identitas dari keluhan utama apakah sampai mengganggu aktivitas atau
tidak. Biasanya aktivitas klien terganggu karena kelemahan dan keterbatasan gerak akibat
nyeri luka post operasi.
T (Timing), yaitu kapan mulai munculnya serangan nyeri dan berapa lama nyeri itu hilang
selama periode akut. Nyeri dapat hilang timbul maupun menetap sepanjang hari.
d) Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji apakah klien pernah menderita penyakit sebelumnya dan kapan terjadi. Biasanya
klien memiliki riwayat penyakit gastrointestinal.
e) Riwayat kesehatan Keluarga
Kaji apakah ada anggota keluarga yang memiliki penyakit serupa dengan klien, penyakit
turunan maupun penyakit kronis. Mungkin ada anggota keluarga yang memiliki riwayat
penyakit gastrointestinal.
f) Riwayat Psikologi
Biasanya klien mengalami perubahan emosi sebagai dampak dari tindakan pembedahan
seperti cemas.
g) Riwayat Sosial
Kaji hubungan klien dengan keluarga, klien lain, dan tenaga kesehatan. Biasanya klien
tetap dapat berhubungan baik dengan lingkungan sekitar.

h) Riwayat Spiritual
Pandangan klien terhadap penyakitnya, dorongan semangat dan keyakinan klien akan
kesembuhannya dan secara umum klien berdoa untuk kesembuhannya. Biasanya aktivitas
ibadah klien terganggu karena keterbatasan aktivitas akibat kelemahan dan nyeri luka post
operasi.
i) Kebiasaan Sehari-hari
Perbandingan kebiasaan di rumah dan di rumah sakit, apakah terjadi gangguan atau tidak.
Kebiasaan sehari-hari yang perlu dikaji meliputi : makan, minum, eliminasi Buang Air
Besar (BAB) dan Buang Air Kecil (BAK), istirahat tidur, personal hygiene, dan
ketergantungan. Biasanya klien kesulitan melakukan aktivitas, seperti makan dan minum
mengalami penurunan, istirahat tidur sering terganggu, BAB dan BAK mengalami
penurunan, personal hygiene kurang terpenuhi.

2) Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan Umum
Kesadaran dapat compos mentis sampai koma tergantung beratnya kondisi penyakit yang
dialami, tanda-tanda vital biasanya normal kecuali bila ada komplikasi lebih lanjut, badan
tampak lemas.
b) Sistem Pernapasan
Terjadi perubahan pola dan frekuensi pernapasanmenjadi lebih cepat akibat nyeri,
penurunan ekspansi paru.
c) Sistem Kardiovaskuler
Mungkin ditemukan adanya perdarahan sampai syok, tanda-tanda kelemahan, kelelahan
yang ditandai dengan pucat, mukosa bibir kering dan pecah-pecah, tekanan darah dan nadi
meningkat.
d) Sistem Pencernaan
Mungkin ditemukan adanya mual, muntah, perut kembung, penurunan bising usus karena
puasa, penurunan berat badan, dan konstipasi.
e) Sistem Perkemihan
Jumlah output urin sedikit karena kehilangan cairan tubuh saat operasi atau karena adanya
muntah. Biasanya terpasang kateter.
f) Sistem Persarafan
Dikaji tingkat kesadaran dengan menggunakan GCS dan dikaji semua fungsi nervus
kranialis. Biasanya tidak ada kelainan pada sistem persarafan.
g) Sistem Penglihatan
Diperiksa kesimetrisan kedua mata, ada tidaknya sekret/lesi, reflek pupil terhadap cahaya,
visus (ketajaman penglihatan). Biasanya tidak ada tanda-tanda penurunan pada sistem
penglihatan.
h) Sistem Pendengaran
Amati keadaan telinga, kesimetrisan, ada tidaknya sekret/lesi, ada tidaknya nyeri tekan, uji
kemampuan pendengaran dengan tes Rinne, Webber, dan Schwabach. Biasanya tidak ada
keluhan pada sistem pendengaran.
i) Sistem Muskuloskeletal
Biasanya ditemukan kelemahan dan keterbatasan gerak akibat nyeri.
j) Sistem Integumen
Adanya luka operasi pada abdomen. Mungkin turgor kulit menurun akibat kurangnya
volume cairan.
k) Sistem Endokrin
Dikaji riwayat dan gejala-gejalayang berhubungan dengan penyakit endokrin, periksa ada
tidaknya pembesaran tiroid dan kelenjar getah bening. Biasanya tidak ada keluhan pada
sistem endokrin.
l) Data Penunjang
Pemeriksaan laboratorium :
o Elektrolit : dapat ditemukan adanya penurunan kadar elektrolit akibat kehilangan cairan
berlebihan
o Hemoglobin :dapat menurun akibat kehilangan darah
o Leukosit : dapat meningkat jika terjadi infeksi
m) Terapi
Biasanya klien post laparotomy mendapatkan terapi analgetik untuk mengurangi nyeri,
antibiotik sebagai anti mikroba, dan antiemetik untuk mengurangi rasa mual.
Diagnosa Keperawatan

3) Beberapa diagnosa pada post laparatomy:


Inefektif bersihan jalan nafas b.d efek anastesi
Kerusakan integritas kulit b.d insisi pembedahan, perubahan sensasi
Kekurangan volume cairan b.d kehilangan darah, kehilangan air dengan abnormal.

Diagnosa Intervensi Rasional Implementasi Evaluasi


Keperawatan
Ansietas b.d 1. Monitor klien tanda 1. Pengkajian 1.Memonitor tanda S: Klien mengatakan
prosedur dan gejala ansietas saat seksama kondisi dan gejala ansietas masih cemas
pembedahan, pengkajian keperawatan pasien dengan 2.tanyakan pada
prosedur 2. Fokuskan diskusi ansietas klien hal apa yang O: Klien tampak tegang
preoperative. pada stressor yang memungkinkan paling membuat
mempengaruhi kondisi perawat membuat dia cemas A:Masalah belum
Kriteria Hasil: pasien priorotas perawatan. 3.berdiskuisi teratasi
1) Klien akan 3. Diskusikan persepsi 2. Focus diskusi dengan klien
menunjukan klien akan prosedur memfasilitasi mengenai persepsi P: Intervensi
kemampuan pembedahan, ketakutan kemampuan pasien klien dilanjutkan:
focus pada yang berhubungan untuk menyatakan 4. memberikan
pengetahuan dengan operasi ketakutan dan informasi yang -berdiskusi dengan
baru dan skill 4. Berikan informasi perasaan yang dibutuhkan klien klien mengenai
2) Identifikasi prosedur sebelum dirasakan dan persepsinya
gejala sebagai operasi, penyakit klien, membengun -memberikan informasi
indicator dan persiapan operasi. hubungan terapeutik. yang dibutuhkan klien
kecemasan 3. Diskusi akan
sendiri persepsi dan
3) Tidak ketakutan membuat
menunjukan pasien
prilaku agresiv mengekspresikan
4) diri sendiri dan
Berkomunikasi mengeksplore
dan pengetahuannya.
penanganan 4. Tindakan untuk
perasaan menambah
negative pengetahuan dan
dengan tepat reduksi ansietas
5) Rileks dan
nyaman dalam
beraktivitas

Diagnosa Intervensi Rasional Implementasi Evaluasi


Keperawatan
Dx 1: 1. Manajemen jalan 1. Kepatenan jalan 2.melakukan S:
.Inefektif nafas nafas suction
bersihan jalan 2. Suction : mengindikasikan 3.memberikan O: - Pengeluaran
nafas b.d efek pembuangan efektivitas respirasi. terapi O2 sekresi efektif
anastesi 3. Terapi oksigen 2. Pasien yang 4.mengatur posisi - Respirasi dan
4. Atur posisi klien mengalami klien ritme dalam batas
Kriteria Hasil: 5. Pantau respirasi penurunan kesadaran 5.memantau normal
1) Klien akan beresiko terjadi respirasi - Fungsi pulmonali
mempunyai aspirasi saliva dan dalam batas normal
kepatenan pemberian oksigen
jalan nafas tambahan A:Masalah teratasi
2) Pengeluaran diindikasikan dengan
sekresi efektif jalan nafas yang P: Intervensi
3) Respirasi bersih. dihentikan
dan ritme 3. Kerusakan otak
dalam batas irreversible bisa
normal terjadi bila periode
4) Fungsi apneu terjadi lama
pulmonali dan kebutuhan
dalam batas oksigen tidak
normal terpenuhi.
5) Mampu 4.Posisi supine
menyususn meningkatkan resiko
rencana untuk obstruksi jalan nafas
perawatan di oleh lidah, bila
rumah dimiringkan maka
klien akan
mengalami aspirasi.
Semi fowler adalah
pilihan yang tepat
untuk kenyamanan,
pengembangan
ekspansi paru yang
optimal,
menghindari
aspirasi.
Dx 2: 1. Monitor karakteristik 1.Monitor S:
Kerusakan luka, meliputi lokasi, karakteristik luka
integritas kulit ada/tidaknya dan 2.membersihkan O: perawatan luka
b.d insisi karakter eksudat, dan mengganti optimal
pembedahan, ada/tidaknya jaringan balutan (teknik Integritas kulit
perubahan nekrotik, ada/tidaknya steril) adekuat
sensasi tanda-tanda infeksi
Kriteria Hasil: (nyeri, bengkak, A: masalah teratasi
1) Klien akan kemerahan,
menunjukan peningkatan sushu, P: Intervensi
perwatan penurunan fungsi) dihentikan
optimal kulit 2. Bersihkan dan ganti
dan luka secara balutan (wound care)
rutin luka dengan teknik
2) Menunjukan steril
intgritas kulit 3. Minimalisir
dan membrane penekanan pada bagian
mukosa luka
adekuat
( temperature
jaringan,
elastisitas,
hidrasi,
pigmentasi,
dan warna)

Dx 3: 1. Monitor dan perbaiki Rasional 1.Memonitor S:


Kekurangan intake output, antara 1. Terapi diuretik, intake dan output
volume cairan setiap jam dan hipertermia, 2.memonitor hasil O: - elektrolit, Ht, dan
b.d kehilangan perbandingkan. Ukur pembatasan intake LAB serum osmolalitas
darah, dan dokumentasikan cairan dapat 3.memonitor dalam keadaan normal
kehilangan air output urine setiap 1-4 menimbulkan tekanan - urine output
dengan jam. kekurangan cairan. hemodinamika dalam batas normal
abnormal. - urine output lebih dari Pengukuran tiap jam 4memberikan - hemodinamika
Kriteria hasil : 200ml/jam selama 2 dan cairan isotonic dalam batas normal
1) Menunjukan jam perbandingannya
level elektrolit, -urine output kurang dapt mendeteksi A: masalah teratasi
hematokrit dan dari 30ml/jam selama 2 kekurangan.
serum jam 2. Hasil laboratorium P: intervensi
osmolalitas 2. Monitor hasil menambah keadaan dihentikan
dalam keadaan laboratorium sesuai objektif dari
normal. indikasi. ketidakseimbangan.
2) Urine output 3. Monitor tekanan Penurunan
dalam batas hemodinamika secara osmolalitas urine
normal periodic. berhubungan dengan
3) Hasil 4. Berikan terapi sesuai diuresis, peningkatan
hemodinamika indikasi, biasanya serum osmolalitas,
dalam batas cairan isotonic serum sodium dan
normal hematokrit
menunjukan
hemokonsentrasi.
3. Pemantauan
secara periodic
menunjang
peringatan
secepatnya apabila
terjadi kondisi yang
fatal.
4. Cairan isotonic
adalah pengganti
cairan untuk
kehilangan cairan
tubuh. Produk darah,
koloid, atau albmin,
dapat digunakan
untuk peningkatan
MAP. Monitor
digunakan untuk
mencegah overload
volume cairan.

3. ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) PERITONITIS

1.1 Latar Belakang

Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya
timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera
yang sering berupa tindakan bedah, misalnya pada obstruksi, perforasi, atau perdarahan, infeksi, obstruksi
atau strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut
oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.

Peradangan peritoneum (peritonitis) merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat
penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus
gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus
abdomen.

Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri secara inokulasi kecil-kecilan.
Kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, penurunan resistensi, dan adanya benda asing atau
enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.

Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan
akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis
dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

2.1 Anatomi Peritoneum

Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial. Pada permulaan,
mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom. Di antara kedua rongga terdapat
entoderm yang merupakan dinding enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga
mesoderm, dorsal dan ventral usus saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian menjadi
peritonium.

Peritoneum terdiri dari dua bagian yaitu peritoneum paretal yang melapisi dinding rongga
abdomen dan peritoneum visceral yang melapisi semua organ yang berada dalam rongga abdomen.
Ruang yang terdapat diantara dua lapisan ini disebut ruang peritoneal atau kantong peritoneum. Pada laki-
laki berupa kantong tertutup dan pada perempuan merupakan saluran telur yang terbuka masuk ke dalam
rongga peritoneum, di dalam peritoneum banyak terdapat lipatan atau kantong. Lipatan besar (omentum
mayor) banyak terdapat lemak yang terdapat disebelah depan lambung. Lipatan kecil (omentum minor)
meliputi hati, kurvaturan minor, dan lambung berjalan keatas dinding abdomen dan membentuk
mesenterium usus halus.

Lapisan peritoneum dibagi menjadi 3, yaitu:

1) Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa).

2) Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.

3) Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.

Fungsi peritoneum:

1) Menutupi sebagian dari organ abdomen dan pelvis.

2) Membentuk pembatas yang halus sehinggan organ yang ada dalam rongga peritoneum tidak saling
bergesekan.

3) Menjaga kedudukan dan mempertahankan hubungan organ terhadap dinding posterior abdomen.

4) Tempat kelenjar limfe dan pembuluh darah yang membantu melindungi terhadap infeksi.

2.2 Definisi

Peritonitis adalah inflamasi peritoneum-lapisan membrane serosa rongga abdomen dan meliputi
visera merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis atau kumpulan
tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda
umum inflamasi. Pasien dengan peritonitis dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan dan terbatas,
atau penyakit berat dan sistemikengan syok sepsis.

Infeksi peritonitis terbagi atas penyebab perimer (peritonitis spontan), sekunder (berkaitan dengan
proses patologis pada organ visceral), atau penyebab tersier (infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi
awal yang adekuat). Infeksi pada abdomen dikelompokkan menjadi pertitonitis infeksi (umum) dan abses
abdomen (local infeksi peritonitis relative sulit ditegakkan dan sangat bergantung dari penyakit yang
mendasarinya. Penyebab peritonitis ialah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hati
yang kronik. Penyebab lain peritonitis sekunder ialah perforasi apendisitis, perforasi ulkus peptikum dan
duodenum, perforasi kolon akibat diverdikulitis, volvulus dan kanker, dan strangulasi kolon asendens.
Penyebab iatrogenic umumnya berasal dari trauma saluran cerna bagian atas termasuk pancreas, saluran
empedu dan kolon kadang juga dapat terjadi dari trauma endoskopi. Jahitan oprasi yang bocor (dehisensi)
merupakan penyebab tersering terjadinya peritonitis. Sesudah operasi, abdomen efektif untuk etiologi
noninfeksi, insiden peritonitis sekunder (akibat pecahnya jahitan operasi seharusnya kurang dari 2%.
Operasi untuk penyakit inflamasi (misalnya apendisitis, divetikulitis, kolesistitis) tanpa perforasi berisiko
kurang dari 10% terjadinya peritonitis sekunder dan abses peritoneal. Risiko terjadinya peritonitis
sekunder dan abses makin tinggi dengan adanya kterlibatan duodenum, pancreas perforasi kolon,
kontaminasi peritoneal, syok perioperatif, dan transfuse yang pasif.

2.3 Etiologi

Infeksi bakteri
Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
Appendisitis yang meradang dan perforasi
Tukak peptik (lambung/dudenum)
Tukak thypoid
Tukan disentri amuba/colitis
Tukak pada tumor
Salpingitis
Divertikulitis

Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta hemolitik, stapilokokus aurens,
enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium wechii.

Secara langsung dari luar.


Operasi yang tidak steril

Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi peritonitisyang disertai pembentukan


jaringan granulomatosa sebagai respon terhadap benda asing, disebut juga peritonitis granulomatosa serta
merupakan peritonitis lokal.

Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati

Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula peritonitis granulomatosa.
Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran pernapasan bagian
atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama adalah streptokokus atau pnemokokus.

Bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous bacterial Peritonitis (SBP) dan peritonitis
sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi intra abdomen, tetapi biasanya terjadi pada pasien yang asites
terjadi kontaminasi hingga kerongga peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri munuju dinding
perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang terjadi penyebaran hematogen jika terjadi bakterimia dan
akibat penyakit hati yang kronik. Semakin rendah kadar protein cairan asites, semakin tinggi risiko
terjadinya peritonitis dan abses. Ini terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah antar molekul komponen
asites pathogen yang paling sering menyebabkan infeksi adalah bakteri gram negative E. Coli 40%,
Klebsiella pneumoniae 7%, spesies Pseudomonas, Proteus dan gram lainnya 20% dan bakteri gram positif
yaitu Streptococcus pnemuminae 15%, jenis Streptococcus lain 15%, dan golongan Staphylococcus 3%,
selain itu juga terdapat anaerob dan infeksi campur bakteri. Peritonitis sekunder yang paling sering terjadi
disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi bakteri
rongga peritoneal terutama disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas.
Peritonitis tersier terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah mendapatkan terapi SBP atau
peritonitis sekunder yang adekuat, bukan berasal dari kelainan organ, pada pasien peritonisis tersier
biasanya timbul abses atau flagmon dengan atau tanpa fistula. Selain itu juga terdapat peritonitis TB,
peritonitis steril atau kimiawi terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan empedu, barium,
dan substansi kimia lain atau prses inflamasi transmural dari organ-organ dalam (Misalnya penyakit
Crohn).

2.4 Klasifikasi

Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Peritonitis bakterial primer

Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum peritoneum dan tidak
ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli,
Sreptococus atau Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:

a) Spesifik: misalnya Tuberculosis

b) Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis dan Tonsilitis.

Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intraabdomen,
imunosupresi dan splenektomi.

Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus
sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.

Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa)

Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal atau tractus urinarius.
Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari
multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakteri anaerob, khususnya spesies
Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi.

Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis. Kuman dapat
berasal dari:

Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum peritoneal.

Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan oleh bahan kimia, perforasi
usus sehingga feces keluar dari usus.

Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya appendisitis.

Peritonitis tersier

Peritonitis tersier, misalnya:

Peritonitis yang disebabkan oleh jamur.

Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan. Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh
iritan langsung, sepertii misalnya empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.

Peritonitis Bentuk lain dari peritonitis:

Aseptik/steril peritonitis.
Granulomatous peritonitis.

Hiperlipidemik peritonitis.

Talkum peritonitis.

2.5 Patofisiologi

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-
kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan
permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi
menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi
usus.

Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika
defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan
berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga
membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk
mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut
menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi
hipovolemia.

Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem. Oedem
disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan
cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan
oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia
bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.

Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra
abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.

Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat
timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai
timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam
lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk
antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan
mengakibatkan obstruksi usus.

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya gangguan
mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan.
Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah
dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah
sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi
usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.

2.6 Manifestasi Klinis

Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda-tanda rangsangan
peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati bisa
menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat
kelumpuhan sementara usus.
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi dan
penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang
menyebabkan pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita
bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti
palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.

Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen (akut abdomen) dengan
nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum visceral) yang makin lama makin jelas
lokasinya (peritoneum parietal). Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam
tinggi atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi.
Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber
infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk
menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum. Pada wanita dilakukan
pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic inflammatoru disease. Pemeriksaan-
pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya
diabetes berat, penggunaan steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran
(misalnya trauma cranial,ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic), penderita dengan
paraplegia dan penderita geriatric.

2.7 Pemeriksaan Diagnostik

Test laboratorium

Leukositosis

Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan
banyak limfosit, basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara
laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum
hasil pembiakan didapat.

Hematokrit meningkat

Asidosis metabolic (dari hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien peritonitis didapatkan PH =7.31,
PCO2= 40, BE= -4 )

X. Ray

Dari tes X Ray didapat:

Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan:

Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.

Usus halus dan usus besar dilatasi.

Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.

3. Gambaran Radiologis

Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam memperkirakan


pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :

Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior.
Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar dari arah horizontal proyeksi
anteroposterior.

Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal proyeksi anteroposterior.

Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup seluruh abdomen beserta
dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film ukuran 35x43 cm. Sebelum terjadi peritonitis, jika
penyebabnya adanya gangguan pasase usus (ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen 3 posisi
didapatkan gambaran radiologis antara lain:

1) Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya penjalaran. Gambaran yang
diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal daerah obstruksi, penebalan dinding usus, gambaran seperti
duri ikan (Herring bone appearance).

2) Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus. Dari air fluid level dapat
diduga gangguan pasase usus. Bila air fluid level pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika
panjang-panjang kemungkinan gangguan di kolon.Gambaran yang diperoleh adalah adanya udara bebas
infra diafragma dan air fluid level.

3) Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya air fluid level dan step
ladder appearance.

2.8 Penatalaksanaan

Management peritonitis tergantung dari diagnosis penyebabnya. Hampir semua penyebab peritonitis
memerlukan tindakan pembedahan (laparotomi eksplorasi).

Pertimbangan dilakukan pembedahan a.l:

Pada pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang meluas, nyeri tekan terutama jika meluas,
distensi perut, massa yang nyeri, tanda perdarahan (syok, anemia progresif), tanda sepsis (panas tinggi,
leukositosis), dan tanda iskemia (intoksikasi, memburuknya pasien saat ditangani).

Pada pemeriksaan radiology didapatkan pneumo peritoneum, distensi usus, extravasasi bahan kontras,
tumor, dan oklusi vena atau arteri mesenterika.

Pemeriksaan endoskopi didapatkan perforasi saluran cerna dan perdarahan saluran cerna yang tidak
teratasi.

Pemeriksaan laboratorium.

Pembedahan dilakukan bertujuan untuk :

Mengeliminasi sumber infeksi.

Mengurangi kontaminasi bakteri pada cavum peritoneal

Pencegahan infeksi intra abdomen berkelanjutan.

Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus mempersiapkan pasien untuk tindakan
bedah a.l :

Mempuasakan pasien untuk mengistirahatkan saluran cerna.


Pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.

Pemasangan kateter untuk diagnostic maupun monitoring urin.

Pemberian terapi cairan melalui I.V.

Pemberian antibiotic.

Terapi bedah pada peritonitis a.l :

Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe dan luas dari pembedahan
tergantung dari proses dasar penyakit dan keparahan infeksinya.

Pencucian ronga peritoneum: dilakukan dengan debridement, suctioning,kain kassa, lavase, irigasi intra
operatif. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan pus, darah, dan jaringan yang nekrosis.

Debridemen : mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan fibrin.

Irigasi kontinyu pasca operasi.

Terapi post operasi a.l:

Pemberian cairan I.V, dapat berupa air, cairan elektrolit, dan nutrisi.

Pemberian antibiotic

Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produk ngt minimal, peristaltic usus pulih, dan tidak ada
distensi abdomen.

1) Terapi

Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara
intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik
dan intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin
mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.

Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting. Pengembalian volume intravaskular
memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran
urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.

a. Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik berspektrum
luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan
antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum
luas juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan,
karena bakteremia akan berkembang selama operasi.

b. Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi. Insisi yang
dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan
mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik
operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari
saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah
dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.
c. Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan larutan kristaloid
(saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan
antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila
peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat
menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.

d. Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu dengan segera
akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan
eksogen. Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula)
dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.

2) Pengobatan

Biasanya yang pertama dilakukan adalah pembedahan eksplorasi darurat, terutama bila terdapat
apendisitis, ulkus peptikum yang mengalami perforasi atau divertikulitis. Pada peradangan pankreas
(pankreatitis akut) atau penyakit radang panggul pada wanita, pembedahan darurat biasanya tidak
dilakukan. Diberikan antibiotik yang tepat, bila perlu beberapa macam antibiotik diberikan bersamaan.

Keperawatan perioperatif merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan keragaman fungsi
keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman pembedahan pasien yang mencakup tiga fase yaitu :

Fase praoperatif dari peran keperawatan perioperatif dimulai ketika keputusan untuk intervensi bedah
dibuat dan berakhir ketika pasien digiring kemeja operasi. Lingkup aktivitas keperawatan selama waktu
tersebut dapat mencakup penetapan pengkajian dasar pasien ditatanan kliniik atau dirumah, menjalani
wawancaran praoperatif dan menyiapkan pasien untuk anastesi yang diberikan dan pembedahan.
Bagaimanapun, aktivitas keperawatan mungkin dibatasi hingga melakukan pengkajian pasien praoperatif
ditempat ruang operasi.

Fase intraoperatif dari keperawatan perioperatif dimulai dketika pasien masuk atau dipindah kebagian
atau keruang pemulihan. Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan dapat meliputi: memasang infuse
(IV), memberikan medikasi intravena, melakukan pemantauan fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur
pembedahan dan menjaga keselamatan pasien. Pada beberapa contoh, aktivitas keperawatan terbatas
hanyapada menggemgam tangan pasien selama induksi anastesia umum, bertindak dalam peranannya
sebagai perawat scub, atau membantu dalam mengatur posisi pasien diatas meja operasi dengan
menggunakan prinsip-prinsip dasar kesejajaran tubuh.

Fase pascaoperatif dimulai dengan masuknya pasien keruang pemulihan dan berakhir dengan evaluasi
tindak lanjut pada tatanan kliniik atau dirumah. Lingkup keperawatan mencakup rentang aktivitas yang
luas selama periode ini. Pada fase pascaoperatif langsung, focus terhadap mengkaji efek dari agen
anastesia dan memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian
berfokus pada penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan rujukan
yang penting untuk penyembuhan yang berhasil dan rehabilitasi diikuti dengan pemulangan. Setiap fase
ditelaah lebih detail lagi dalam unit ini. Kapan berkaitan dan memungkinkan, proses keperawatan
pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi dan evaluasi diuraikan.

2.9 Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi tersebut dapat
dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu:

Komplikasi dini.
Septikemia dan syok septic.

Syok hipovolemik.

Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multisystem.

Abses residual intraperitoneal.

Portal Pyemia (misal abses hepar).

Komplikasi lanjut.

Adhesi.

Obstruksi intestinal rekuren.

3.2 Diagnosa

Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi, demam dan kerusakan jaringan.

Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan.

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia dan muntah.

Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif.

Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan kedalaman pernafasan sekunder distensi abdomen dan
menghindari nyeri.

Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.

3.3 Intervensi

Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi, demam dan kerusakan jaringan.

Tujuan: Nyeri klien berkurang

Kriteria hasil :

Laporan nyeri hilang/terkontrol

Menunjukkan penggunaan ketrampilan relaksasi.

Metode lain untuk meningkatklan kenyamanan

Intervensi Keperawatan
Tindakan Intervensi Rasional

Mandiri:
Tindakan/Intervensi Rasional
Catat faktor risiko individu contoh Mempengaruhi pilihan intervensi
trauma abdomen, apendisitis akut,
Mandiri:
dialisa peritoneal.
Selidiki laporan nyeri, catat lokasi, Perubahan pada lokasi/intensitas tidak
Kaji
lama,tanda vital dengan
intensitas sering,
(skala 0-10) catat
dan umum tetapi dapat menunjukkan
tidak membaiknya
karakteristiknya atau berlanjutnya
(dangkal, tajam, terjadinya komplikasi. Nyeri cenderung
hipotensi,
konstan) penurunan tekanan nadi, menjadi konstan, lebih hebat, dan
takikardia, demam, takipnea. Tanda adanya
menyebar syoknyeri
ke atas, septik, endotoksin
dapat lokal bila
sirkulasiabses.
terjadi menyebabkan vasodilatasi,
Catat perubahan status mental (contoh kehilangan cairan dari sirkulasi, dan
bingung, pingsan). Memudahkan
rendahnya status drainase
curah cairan/luka
jantung. karena
gravutasi dan membantu meminimalkan
Hipoksemia,
nyeri hipotensi, dan asidosis dapat
karena gerakan.
Pertahankan posisisuhu,
Catat warna kulit, semikelembaban.
Fowler sesuai menyebabkan penyimpangan status
indikasi Meningkatkan
mental. relaksasi dan mungkin
meningkatkan kemampuan koping pasien
Hangat, memfokuskan
denagn kemerahan, kulit keringperhatian.
kembali adalah
tanda dini septikemia. Selanjutnya
Menurunkan mual/muntah
manifestasi termasuk dingin,yang
kulitdapat
pucat
meningkatkan tekanan
lembab dan sianosis atau nyeri
sebagai tanda syok.
Berikan tindakan kenyamanan, contoh
intrabdomen.
pijatan punggung, napas dalam, latihan Oliguria terjadi sebagai akibat penurunan Risiko tinggi infeksi
relaksasi atau visualisasi. berhubungan dengan trauma
Awasi haluaran urine. perfusi ginjal, toksin dalam sirkulasi
jaringan.
mempengaruhi antibiotik.
Tujuan: Mengurangi infeksi
Mencegah meluas dan membatasi
Berikan perawatan mulut dengan yang terjadi, meningkatkan
penyebaran organisme
sering. Hilangkan rangsangan kenyamanan pasien.
infektif/kontaminasi silang.
lingkunagan yang tidak menyenangkan
Kriteria hasil:
Kolaborasi:
Pertahankan teknik aseptik ketat pada
perawatan drein abdomen, luka Meningkatnya penyembuhan
Berikan obat sesuai indikasi: Menurunkan laju metabolik dan iritasi pada waktunya, bebas
insisi/terbuka, dan sisi invasif.
usus karena toksin sirkulasi/lokal, yang drainase purulen atau eritema,
Bersihkan dengan
Analgesik, narkotikBetadine atau membantu menghilangkan nyeri dan tidak demam.
larutan lain yang tepat kemudia bilas
Antiemetik, meningkatkan penyembuhan.
dengan PZ. contoh hidroksin (Vistaril) Menyatakan pemahaman
Memberikan
Catatan: Nyeriinformasi
biasanyatentang status
berat dan penyebab individu / faktor
Antipiretik, contoh asetaminofen
Observasi drainase pada luka. infeksi.
memerlukan pengontrol nyeri narkotik, resiko.
(Tylenol)
analgesik dihindari dari proses diagnosis
Mencegah penyebaran, membatasi
karena dapat menutupi gejala.
Pertahankan teknik steril bila pasien pertumbuhan bakteri pada traktus
dipasang kateter, dan berikan urinarius.
Menurunkan mual/munta, yang dapt
perawatan kateter/ atau kebersihan meningkatkan nyeri abdomen
perineal rutin.
Menurunkan ketidaknyamanan
Menurunkan resiko terpajan
Awasi/batasi pengunjung dan staf sehubungan dengan demam atau
pada/menambah infeksi sekunder pada
sesuai kebutuhan. Berikan menggigil.
pasien yang mengalami tekanan imun.
perlindungan isolasi bila diindikasikan.
Perubahan nutrisi kurang dari
Kolaborasi: kebutuhan berhubungan
dengan anoreksia dan muntah.
Ambil contoh/awasi hasil pemeriksaan Mengidentifikasikan mikroorganisme dan
seri darah, urine, kultur luka. membantu dalam mengkaji keefektifan
prigram antimikrobial.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan nafsu makan dapat timbul kembali dan status nutrisi terpenuhi.

Kriteria Hasil:

Status nutrisi terpenuhi

Nafsu makan klien timbul kembali

Berat badan normal

Jumlah Hb dan albumin normal

Intervensi Keperawatan :

Tindakan Intervensi Rasional

Mandiri:

Awasi haluan selang NG, dan catat Jumlah besar dari aspirasi gaster dan
adanya muntah atau diare. muntah atau diare diduga terjadi
obstruksi usus, memerlukan evaluasi
lanjut.

Kehilangan atau peningkatan dini


Timbang berat badan tiap hari. menunjukkan perubahan hidrasi tetapi
kehilangan lanjut diduga ada defisit
nutrisi.

Meskipun bising usus sering tak ada,


inflamasi atau iritasi usus dapat
menyertai hiperaktivitas usus,
Auskultasi bising usus, catat bunyi tak penurunan absorpsi air dan diare.
ada atau hiperaktif.
Adanya kalori (sumber energi) akan
mempercepat proses penyembuhan.

Indikasi adekuatnya protein untuk


sistem imun.

Menunjukan kembalinya fungsi usus ke


Catat kebutuhan kalori yang dibutuhkan. normal

Monitor Hb dan albumin

Kaji abdomen dengan sering untuk


kembali ke bunyi yang lembut,
penampilan bising usus normal, dam
kelancaran flatus.

Kolaborasi:

Kolaborasi pemasangan NGT jika klien Agar nutrisi klien tetap terpenuhi.
tidak dapat makan dan minum peroral.
Kolaborasi dengan ahli gizi dalam diet.

Tubuh yang sehat tidak mudah untuk


terkena infeksi (peradangan).
Berikan informasi tentang zat-zat
makanan yang sangat penting bagi Klien dapat berusaha untuk memenuhi
keseimbangan metabolisme tubuh kebutuhan makan dengan makanan
yang bergizi.

Kekurangan volume cairan berhubungan


dengan kehilangan volume cairan aktif.

Tujuan: Mengidentifikasi intervensi untuk memperbaiki keseimbangan cairan dan meminimalisir proses
peradangan untuk meningkatkan kenyamanan.

Kriteria hasil:

Haluaran urine adekuat dengan berat jenis normal,

Tanda vital stabil

Membran mukosa lembab

Turgor kulit baik

Pengisian kapiler meningkat

Berat badan dalam rentang normal.

Intervensi keperawatan:

Tindakan Intervensi Rasional

Mandiri:

Pantau tanda vital, catat adanya Membantu dalam evaluasi derajat defisit
hipotensi (termasuk perubahan cairan/keefektifan penggantian terapi
postural), takikardia, takipnea, demam. cairan dan respons terhadap
Ukur CVP bila ada. pengobatan.

Pertahankan intake dan output yang Menunjukkan status hidrasi keseluruhan.


adekuat lalu hubungkan dengan berat
badan harian.

Rehidrasi/ resusitasi cairan Untuk mencukupi kebutuhan cairan


dalam tubuh (homeostatis).

Menunjukkan status hidrasi dan


Ukur berat jenis urine perubahan pada fungsi ginjal.

Hipovolemia, perpindahan cairan, dan


kekurangan nutrisi mempeburuk turgor
Observasi kulit/membran mukosa untuk kulit, menambah edema jarinagan.
kekeringan, turgor, catat edema
perifer/sacral. Menurunkan rangsangan pada gaster
Hilangkan tanda bahaya/bau dari dan respons muntah.
lingkungan. Batasi pemasukan es batu.

Ubah posisi dengan sering berikan


Jaringan edema dan adanya gangguan
perawatan kulit dengan sering, dan
pertahankan tempat tidur kering dan sirkulasi cenderung merusak kulit
bebas lipatan.

Kolaborasi:

Awasi pemerikasaan laboratorium, Memberikan informasi tentang hidrasi


contoh Hb/Ht, elektrolit, protein, dan fungsi organ.
albumin, BUN, kreatinin.

Berikan plasma/darah, cairan, elektrolit.

Mengisi/mempertahankan volume
sirkulasi dan keseimbangan elektrolit.
Koloid (plasma, darah) membantu
menggerakkan air ke dalam area
intravaskular dengan meningkatkan
tekanan osmotik.
Pertahankan puasa dengan aspirasi
nasogastrik/intestinal Menurunkan hiperaktivitas usus dan
kehilangan dari diare.

Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan kedalaman pernafasan sekunder distensi abdomen dan menghindari
Tindakan Intervensi Rasional nyeri.

Mandiri: Tujuan: Pola nafas efektif,


ditandai bunyi nafas normal,
Pantau hasil analisa gas darah dan Indikator hipoksemia; hipotensi, tekanan O2 dan saturasi
indikator hipoksemia: hipotensi, takikardi, hiperventilasi, gelisah, depresi O2 normal.
takikardi, hiperventilasi, gelisah, depresi SSP, dan sianosis penting untuk
SSP, dan sianosis. mengetahui adanya syok akibat inflamasi Kriteria Hasil:
(peradangan).
Pernapasan tetap dalam batas
Gangguan pada paru (suara nafas normal
Auskultasi paru untuk mengkaji ventilasi tambahan) lebih mudah dideteksi
dan mendeteksi komplikasi pulmoner. dengan auskultasi. Pernapasan tidak sulit

Pertahankan pasien pada posisi Istirahat dan tidur dengan


Posisi membantu memaksimalkan
semifowler. tenang
ekspansi paru dan menurunkan upaya
pernafasan, ventilasi maksimal membuka Tidak menggunakan otot bantu
area atelektasis dan meningkatkan napas
gerakan sekret kedalam jalan nafas besar
untuk dikeluarkan. Intervensi Keperawatan:

Oksigen membantu untuk bernafas


secara optimal.

Berikan O2 sesuai program


4. Syok Septik
Syok septic adalah infasi aliran darah oleh beberapa organisme mempunyai potensi untuk
menyebabkan reaksi pejamu umum toksin ini. Hasilnya adalah keadaan ketidak adekuatan perfusi
jaringan yang mengancam kehidupan (Brunner & Suddarth vol. 3 edisi 8, 2002).
Menurut M. A Henderson (1992) Syok septic adalah syok akibat infeksi berat, dimana
sejumlah besar toksin memasuki peredaran darah. E. colli merupakan kuman yang sering
menyebabkan syok ini.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa syok septic adalah infasi aliran darah oleh beberapa
organisme mempunyai potensi untuk menyebabkan reaksi pejamu umum toksin. Hasilnya adalah
keadaan ketidak adekuatan perfusi jaringan yang mengancam kehidupan

Tanda Klinis Syok Septik


Fase dini: terjadi deplesi volume, selaput lendir kering, kulit lembab dan kering.
Post resusitasi cairan: gambaran klinis syok hiperdinamik: takikardia, nadi keras dengan
tekanan nadi melebar, precordium hiperdinamik pada palpasi, dan ekstremitas hangat.
Disertai tanda-tanda sepsis.
Tanda hipoperfusi: takipnea, oliguria, sianosis, mottling, iskemia jari, perubahan status
mental
Tanda dan Gejala :

a. Airway

Sumbatan Jalan Nafas terjadi vasodilatasi pada tahap awal dan vasokontriksi pada tahap
akhir

b. Breathing

Takhipneu

o Terjadi vasokontriksi saluran nafas akibat reaksi kimia dari virus atau mikroorganisme

Crakles

c. Circulation

Peningkatan HR

Penurunan TD

Peningkatan temperature

Peningkatan cardiac output dan cardiac index

Penurunan SVR

Penurunan tekanan atrium kanan


Penurunan tekanan arteri pulmonalis

Penurunan curah ventrikel kiri


Flushed Skin (kemerahan sebagai akibat vasodilatasi)
Perubahan sensori
Penurunan urine output
Peningkatan temperature

d. Dissabilty

Status Mental

o Penurunan Kesadaran sampai koma, karena reaksi virus menurunkan kadar O2 dalam
Hb

Hasil Pemeriksaan Lab

o Penurunan PaO2

o Penurunan PaCO2 kemudian lama kelamaan berubah menjadi peningkatan PaCO2

o Penurunan HCO3

o WBC > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3 atau 10% bentuk immature

o Hiperglikemia > 120 mg/dl

o Peningkatan Plasma C-reaktif protein

o Peningkatan plasma procalcitonin.

o Serum laktat > 1 mMol/L

o Creatinin > 0,5 mg/dl

o INR > 1,5

o APTT > 60

o Trombosit < 100.000/mm3

o Total bilirubin > 4 mg/dl

o Biakan darah, urine, sputum hasil positif


5. PENILAIAN KLINIS DAN MANAJEMEN SYOK SEPTIK
6. Sepsis dan Syok Septik
Definisi
Systemic inflammatory response syndrome adalah pasien yang memiliki dua atau lebih dari kriteria
berikut:
Suhu > 38C atau < 36C
Denyut jantung >90 denyut/menit
Respirasi >20/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau >10% sel imatur
Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui. Meskipun SIRS, sepsis dan syok sepsis
biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus terdapat bakteriemia.
Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan hipoperfusi, atau hipotensi.
Kelainan hipoperfusi meliputi:
Asidosis laktat
Oliguria
Atau perubahan akut pada status mental
Terdapat beberapa kriteria diagnostik baru untuk sepsis, diantaranya memasukkan pertanda biomolekuler
yaitu procalcitonin (PCT) dan C-reactive protein, sebagai langkah awal dalam diagnosis sepsis.
(Hermawan, 2007).
Syok merupakan keadaan dimana terjadi gangguan sirkulasi yang menyebabkan perfusi jaringan menjadi
tidak adekuat sehingga mengganggu metabolisme sel/jaringan. Syok septik merupakan keadaan dimana
terjadi penurunan tekanan darah (sistolik < 90mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik > 40mmHg)
disertai tanda kegagalan sirkulasi, meski telah dilakukan resusitasi secara adekuat atau perlu vasopressor
untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ (Chen dan Pohan, 2007).
Etiologi
Penyebab terbesar adalah bakteri gram negatif. Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah
lipopolisakarida (LPS), yang merupakan komponen terluar dari bakteri gram negatif. LPS merupakan
penyebab sepsis terbanyak, dapat langsung mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral, yang dapat
menimbulkan gejala septikemia. LPS tidak toksik, namun merangsang pengeluaran mediator inflamasi
yang bertanggung jawab terhadap sepsis. Bakteri gram positif, jamur, dan virus, dapat juga menyebabkan
sepsis dengan prosentase yang lebih sedikit. Peptidoglikan yang merupakan komponen dinding sel dair
semua kuman, dapat menyebabkan agregasi trombosit. Eksotoksin dapat merusak integritas membran sel
imun secara langsung (Hermawan, 2007).
Patogenesis
Sepsis melibatkan berbagai mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin. Sitokin proinflamasi dan
antiinflamasi terlibat dalam patogenesis sepsis. Termasuk sitokin proinflamasi adalah TNF, IL-1,
interferon (IFN-) yang membantu sel menghancurkan mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk
sitokin antiinflamasi adalah interleukin 1 reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10, yang bertugas untuk
memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang berlebihan. Apabila terjadi ketidakseimbangan
kerja sitokin proinflamasi dengan antiinflamasi, maka menimbulkan kerugian bagi tubuh.
Endotoksin dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama membentuk LPSab (Lipo Poli Sakarida
antibodi). LPSab dalam serum penderita kemudian dengan perantara reseptor CD14+ akan bereaksi
dengan makrofag, dan kemudian makrofag mengekspresikan imunomodulator. Hal ini terjadi apabila
mikroba yang menginfeksi adalah bakteri gram negatif yang mempunyai LPS pada dindingnya.
Eksotoksin, virus dan parasit yang merupakan superantigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag
yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC), kemudian ditampilkan dalam APC. Antigen ini
membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari Major Histocompatibility Complex (MHC).
Antigen yang bermuatan pada peptida MHC kelas II akan berikatan dengan CD4+ (limfosit Th1 dan Th2)
dengan perantaraan TCR (T cell receptor).
Limfosit T kemudian akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai immunomodulator
yaitu: IFN-, IL-2 dan M-CSF (Macrophage Colony stimulating factor). Limfosit Th2 akan
mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. IFN- merangsang makrofag mengeluarkan IL-1 dan
TNF-. IFN-, IL-1 dan TNF- merupakan sitokin proinflamasi, pada sepsis terdapat peningkatan kadar
IL-1 dan TNF- dalam serum penderita. Sitokin IL-2 dan TNF- selain merupakan reaksi sepsis, dapat
merusakkan endotel pembuluh darah, yang mekanismenya sampai saat ini belum jelas. IL-1 sebagai
imunoregulator utama juga mempunyai efek pada sel endotel, termasuk pembentukan prostaglandin E2
(PG-E2) dan merangsang ekspresiintercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Dengan adanya ICAM-1
menyebabkan neutrofil yang telah tersensitisasi oleh granulocyte-macrophage colony stimulating
factor (GM-CSF) akan mudah mengadakan adhesi. Interaksi neutrofil dengan endotel terdiri dari 3
langkah, yaitu:
Bergulirnya neutrofil P dan E selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan L-selektin neutrofil dala
mengikat ligan respektif
Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan aktivasi neutrofil yang mengikat intergretin CD-11
atau CD-18, yang melekatkan neutrofil pada endotel dengan molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh
endotel
Transmigrasi neutrofil menembus dinding endotel.
Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisozyme yang melisiskan dinding endotel,
akibatnya endotel terbuka. Neutrofil juga termasuk radikal bebas yang mempengaruhi oksigenasi pada
mitokondria dan siklus GMPs, sehingga akibatnya endotel menjadi nekrosis, dan rusak. Kerusakan
endotel tersebut menyebabkan vascular leak, sehingga menyebabkan kerusakan organ multipel. Pendapat
lain yang memperkuat pendapat tersebut bahwa kelainan organ multipel disebabkan karena trombosis dan
koagulasi dalam pembuluh darah kecil sehingga terjadi syok septik yang berakhir dengan kematian.
Untuk mencegah terjadinya sepsis yang berkelanjutan, Th2 mengekspresikan IL-10 sebagai sitokin
antiinflamasi yang akan menghambat ekspresi IFN-, TNF- dan fungsi APC. IL-10 juga memperbaiki
jaringan yang rusak akibat peradangan. Apabila IL-10 meningkat lebih tinggi, maka kemungkinan
kejadian syok septik pada sepsis dapat dicegah.
(Hermawan, 2007).
Patofisiologi Syok Septik
Endotoksin yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses inflamasi yang melibatkan berbagai
mediator inflamasi, yaitu sitokin, neutrofil, komplemen, NO, dan berbagai mediator lain. Proses inflamasi
pada sepsis merupakan proses homeostasis dimana terjadi keseimbangan antara inflamasi dan
antiinflamasi. Bila proses inflamasi melebihi kemampuan homeostasis, maka terjadi proses inflamasi
yang maladaptif, sehingga terjadi berbagai proses inflamasi yang destruktif, kemudian menimbulkan
gangguan pada tingkat sesluler pada berbagai organ.
Terjadi disfungsi endotel, vasodilatasi akibat pengaruh NO yang menyebabkan maldistribusi volume
darah sehingga terjadi hipoperfusi jaringan dan syok. Pengaruh mediator juga menyebabkan disfungsi
miokard sehingga terjadi penurunan curah jantung.
Lanjutan proses inflamasi menyebabkan gangguan fungsi berbagai organ yang dikenal sebagai
disfungsi/gagal organ multipel (MODS/MOF). Proses MOF merupakan kerusakan pada tingkat seluler
(termasuk difungsi endotel), gangguan perfusi jaringan, iskemia reperfusi, dan mikrotrombus. Berbagai
faktor lain yang diperkirakan turut berperan adalah terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi
(myocardial depressant substance), malnutrisi kalori protein, translokasi toksin bakteri, gangguan pada
eritrosit, dan efek samping dari terapi yang diberikan (Chen dan Pohan, 2007).
Gejala Klinis Sepsis
Tidak spesifik, biasanya didahului demam, menggigil, dan gejala konsitutif seperti lemah, malaise,
gelisah atau kebingungan. Tempat infeksi yang paling sering: paru, tractus digestivus, tractus urinarius,
kulit, jaringan lunak, dan saraf pusat. Gejala sepsis akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut,
penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan pasien dengan granulositopenia.
Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi:
Sindrom distress pernapasan pada dewasa
Koagulasi intravaskular
Gagal ginjal akut
Perdarahan usus
Gagal hati
Disfungsi sistem saraf pusat
Gagal jantung
Kematian
(Hermawan, 2007).
Diagnosis
Riwayat
Menentukan apakah infeksi berasal dari komunitas atau nosokomial, dan apakah pasien
immunocompromise. Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:
Demam atau tanda yang tidak terjelaskan disertai keganasan atau instrumentasi
Hipotensi, oliguria, atau anuria
Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab yang jelas
Perdarahan
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk mencari lokasi dan penyebab infeksi dan inflamasi yang terjadi,
misalnya pada dugaan infeksi pelvis, dilakukan pemeriksaan rektum, pelvis, dan genital.
Laboratorium
Hitung darah lengkap, dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, urea darah, nitrogen,
kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri, elektrokardiogram, dan rontgen
dada. Biakan darah, sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi harus dilakukan.
Temuan awal lain: Leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia, hiperbilirubinemia, dan proteinuria.
Dapat terjadi leukopenia. Adanya hiperventilasi menimbulkan alkalosis respiratorik. Penderita diabetes
dapat mengalami hiperglikemia. Lipida serum meningkat.
Selanjutnya, trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu trombin, penurunan fibrinogen, dan
keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC. Azotemia dan hiperbilirubinemia lebih dominan.
Aminotransferase meningkat. Bila otot pernapasan lelah, terjadi akumulasi laktat serum. Asidosis
metabolik terjadi setelah alkalosis respiratorik. Hiperglikemia diabetik dapat menimbulkan ketoasidosis
yang memperburuk hipotensi.
(Hermawan, 2007).
Penatalaksanaan
Tiga prioritas utama dalam penatalaksanaan sepsis:
Stabilisasi pasien langsung
Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU. Tanda vital pasien harus dipantau. Pertahankan
curah jantung dan ventilasi yang memadai dengan obat. Pertimbangkan dialisis untuk membantu fungsi
ginjal. Pertahankan tekanan darah arteri pada pasien hipotensif dengan obat vasoaktif, misal dopamin,
dobutamin, dan norepinefrin.
Darah harus cepat dibersihkan dari mikroorganisme
Perlu segera perawatan empirik dengan antimikrobial, yang jika diberikan secara dini dapat menurunkan
perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah sampel didapatkan dari pasien, diperlukan regimen
antimikrobial dengan spektrum aktivitas luas. Bila telah ditemukan penyebab pasti, maka antimikrobial
diganti sesuai dengan agen penyebab sepsis tersebut (Hermawan, 2007).
Sebelum ada hasil kultur darah, diberikan kombinasi antibiotik yang kuat, misalnya antara golongan
penisilin/penicillinaseresistant penicillin dengan gentamisin.
Golongan penicillin
- Procain penicillin 50.000 IU/kgBB/hari im, dibagi dua dosis
- Ampicillin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-10 hari
Golongan penicillinaseresistant penicillin
- Kloksasilin (Cloxacillin Orbenin) 41 gram/hari iv selama 7-10 hari sering dikombinasikan dengan
ampisilin), dalam hal ini masing-masing dosis obat diturunkan setengahnya, atau menggunakan preparat
kombinasi yang sudah ada (Ampiclox 4 x 1 gram/hari iv).
- Metisilin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-14 hari.
Gentamycin
Garamycin, 5 mg/kgBB/hari dibagi tiga dosis im selama 7 hari, hati-hati terhadap efek nefrotoksiknya.
Bila hasil kultur dan resistensi darah telah ada, pengobatan disesuaikan. Beberapa bakteri gram negatif
yang sering menyebabkan sepsis dan antibiotik yang dianjurkan:

Bakteri Antibiotik Dosis

Escherichia coli Ampisilin/sefalotin - Sefalotin: 1-2 gram tiap 4-6 jam,


biasanya dilarutkan dalam 50-100 ml
Klebsiella, Gentamisin cairan, diberikan per drip dalam 20-30
Enterobacter menit untuk menghindari flebitis.
- Kloramfenikol: 6 x 0,5 g/hari iv
Proteus mirabilis Ampisilin/sefalotin
Pr. rettgeri, Pr. Gentamisin
morgagni, Pr.
vulgaris

Mima-Herellea Gentamisin - Klindamisin: 4 x 0,5 g/hari iv

Pseudomonas Gentamisin

Bacteroides Kloramfenikol/klindamisin

(Purwadianto dan Sampurna, 2000).


Fokus infeksi awal harus diobati
Hilangkan benda asing. Salurkan eksudat purulen, khususnya untuk infeksi anaerobik. Angkat organ yang
terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang gangren (Hermawan, 2007).
Penatalaksanaan Syok Septik
Penatalaksanaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan resusitasi yang perlu dilakukan sesegera
mungkin. Resusitasi dilakukan secara intensif dalam 6 jam pertama, dimulai sejak pasien tiba di unit
gawat darurat. Tindakan mencakup airway: a) breathing; b) circulation; c) oksigenasi, terapi cairan,
vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan. Pemantauan dengan kateter vena sentral sebaiknya
dilakukan untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8-12 mmHg, tekanan arteri rata-rata (MAP)>65
mmHg dan produksi urin >0,5 ml/kgBB/jam.
Oksigenasi
Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat disfungsi atau kegagalan sistem
respirasi karena gangguan ventilasi maupun perfusi. Transpor oksigen ke jaringan juga dapat terganggu
akibat keadaan hipovolemik dan disfungsi miokard menyebabkan penurunan curah jantung. Kadar
hemoglobin yang rendah akibat perdarahan menyebabkan daya angkut oleh eritrosit menurun. Transpor
oksigen ke jaringan dipengaruhi juga oleh gangguan perfusi akibat disfungsi vaskuler, mikrotrombus dan
gangguan penggunaan oksigen oleh jaringan yang mengalami iskemia.
Oksigenasi bertujuan mengatasi hipoksia dengan upaya meningkatkan saturasi oksigen di darah,
meningkatkan transpor oksigen dan memperbaiki utilisasi oksigen di jaringan.
Terapi cairan
Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian cairan baik kristaloid maupun koloid.
Volume cairan yang diberikan perlu dimonitor kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih. Secara
klinis respon terhadap pemberian cairan dapat terlihat dari peningkatan tekanan darah, penurunan
ferkuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan ekstremitas, produksi urin, dan membaiknya
penurunan kesadaran. Perlu diperhatikan tanda kelebihan cairan berupa peningkatan tekanan vena jugular,
ronki, gallop S3, dan penurunan saturasi oksigen.
Pada keadaan serum albumin yang rendah (< 2 g/dl) disertai tekanan hidrostatik melebihi tekanan onkotik
plasma, koreksi albumin perlu diberikan. Transfusi eritrosit (PRC) perlu diberikan pada keadaan
perdarahan aktif, atau bila kadar Hb rendah pada keadaan tertentu misalnya iskemia miokardial dan
renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis dipertahankan pada 8-10 g/dl.
Vasopresor dan inotropik
Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan pemberian cairan secara
adekuat, tetapi pasien masih mengalami hipotensi. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis rendah secara
titrasi untuk mencapai MAP 60 mmHg, atau tekanan sistolik 90 mmHg. Untuk vasopresor dapat
digunakan dopamin dengan dosis >8 mcg/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit, fenileferin 0,5-8
mcg/kg/menit atau epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit. Inotropik yang dapat digunakan adalah dobutamin
dosis 2-28 mcg/kg/menit, dopamin 3-8 mc/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit atau inhibitor
fosfodiesterase (amrinon dan milrinon).
Bikarbonat
Secara empirik, bikarbonat dapat diberikan bila pH <7,2 atau serum bikarbonat <9 meq/l, dengan disertai
upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.
Disfungsi renal
Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu
(continuous hemofiltration). Pada hemodialisis digunakan gradien tekanan osmotik dalam filtrasi
substansi plasma, sedangkan pada hemofiltrasi digunakan gradien tekanan hidrostatik. Hemofiltrasi
dilakukan kontinu selama perawatan, sedangkan bila kondisi telah stabil dapat dilakukan hemodialisis.
Nutrisi
Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein, asam lemak, cairan, vitamin dan mineral perlu
diberikan sedini mungkin, diutamakan pemberian secara enteral dan bila tidak memungkinkan beru
diberikan secara parenteral.
Kortikosteroid
Saat ini terapi kortikosteroid diberikan hanya pada indikasi insufisiensi adrenal, dan diberikan secara
empirik bila terdapat dugaan keadaan tersebut. Hidrokortison dengan dosis 50mg bolus intravena 4 kali
selama 7 hari pada pasien renjatan septik menunjukkan penurunan mortalitas dibanding kontrol.
(Chen dan Pohan, 2007)
LAPORAN KASUS PADA TN D

POST LAPARATOMI EKPLORASI A/I PERITONITIS DIFFUS


EC. PERFORASI HOLLOW VISCUS (GASTER &
DUODENUM) + SYOCK SEPTIC

DI RUANG PERAWATAN GICU

RSHS BANDUNG

1. PENGKAJIAN

Identitas Pasien
Nama : Tn. D
Usia : 15 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SLTP
Pekerjaan : Siswa
Suku : Sunda
Alamat : Kp. Sindang Lengo RT 04 RW 01 Kec Banjaran Kel Taraju Sari Kab Bandung
Diagnosa Medis : Post laparatomi ekplorasi a/i peritonitis diffus ec. Perforasi hollow viscus (gaster
& duodenum) + syock septic
No. Medrec : 0001284375
Tgl Masuk RS : 02-06-2013
Tgl Pengkajian : 05-06-2013

2. Riwayat Kesehatan

a. Keluhan Utama
Walaupun pada hari pertama keluhan utama klien belum bisa dikaji karena penurunan kesadaran
tetapi setelah hari ke tiga pasien mengeluh nyeri pada abdomen

b. Alasan Masuk Rumah Sakit

Menurut keterangan dari keluarga pada tanggal 01 Juni 2013 jam 15.00 sore klien ditemukan
tergeletak di semak semak perkebunan kelapa menurut tetangga yang melihat klien terjatuh dari
pohon kelapa dengan ketinggian kurang lebih 8 M, lalu klien dibawa ke sarana kesehatan terdekat
yaitu bidan, di bidan klien diinfus dan dirujuk ke RSUD Soreang klien masih sadarkan diri dan
mengeluh nyeri dilakukan perawatan sementara di RSUD karena peralatan yang tidak memadai
maka klien dirujuk ke RSHS dan tiba pada hari minggu tanggal 02 Juni 2103. Klien mengalami
pingsan, muntah, luka memar di muka kanan, jejas pada dada, setelah pemeriksaan lanjutan di
RSHS klien dilakukan operasi sito dengan jenis pembedahan laparatomi eksplorasi dengan
indikasi perforasi gaster dan duodenum.

c. Riwayat Kesehatan Sekarang

Saat dikaji dihari ketiga post operasi dengan GSS E4M6VT dan klien sudah kooperatif saat
ditanya klien menunjukan nyeri pada bagian perut yang telah dilakukan laparatomi. Klien
meringis kesakitan saat sedang dilakukan perawatan luka dan ganti verban dan nyeri berkurang
saat klien beristirahat dan diberi obat analgetik. Saat ditnya apakah nyeri seperti ditusuk tusuk
klien menjawab ya dengan menganggukan kepala, skala nyeri saat dikaji dengan memilih rentang
0-10 dan dijelaskan kategori dari setiap rentang itu klien memilih rentang angka 6-7 artinya nyeri
sedang mengarah ke berat mengganggu sedikit aktivitas. Nyeri dirasakan pada abdomen kanan
pada luka drainage yeyenum dan menyebar ke perut tengah pada luka post op laparatomi
sepanjang 20 cm.

d. Riwayat Kesehatan Terdahulu

Klien tidak pernah mengalami sakit berat seperti ini, tidak memiliki riwayat penyakit lain seperti
TBC, Asma, penyakit jantung dan penyakit yang lainnya..

e. Riwayat Kesehatan Keluarga

Menurut keluarga di dalam keluarga klien tidak ada yang mempunyai penyakit menular seperti
TB namun memiliki penyakit keturunan seperti Hipertensi, penyakit gula (DM) .
f. Data Sosial

Menurut keluarga klien adalah anak rajin dan suka membantu pekerjaan orang tua misalnya
berkebun dll, walaupun sedikit nakal tetapi klien tidak pernah terlibat kenalan remaja seperti
narkoba, tawuran dsb.

g. Data Psikologis

Keluarga mengatakan sangat sedih atas apa yang dialami anggota kelurganya. Keluarga sangat
berharap pasien segera sembuh dan bisa kumpul bersama keluarga.

h. Pola Aktivitas Sehari-hari

Pola Aktivitas Di Rumah Di RS


Makan
- Frekuensi 2-3x/hari Susu saring Via
- Menu Lauk pauk & sayuran jejenustomi
- Jumlah - 1 porsi 6x/hari 200 cc
Minum
- Frekuensi 4-5 gelas/hari
- Menu Air putih, teh

Eliminasi BAB 1x/hari Saat pengkajian klien


Eliminasi BAK Tidak terkaji BAB 1 x/hr lembek
50cc/ jam
Aktivitas Klien melakukan kegiatan Bedrest Total
dirumah tanpa hambatan
Personal Hygiene :
- Mandi 2x/hari Tiap pagi
- Gosok gigi 2x/hari Tiap hari oral hygiene
dengan povidon iodine
2%
- Potong kuku 1 minggu sekali -
a. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Penampilan : klien terlihat lemah
Kesadaran : saat hari pertama pengkajian GCS E4M6V5 namun dihari ketiga pengkajian
ventilator dipasang kembali sehingga GCS E4M6V5
b. Sistem pernapasan
Inspeksi : Terpasang ETT dengan kedalaman 6,5/19, terpasang mayo, hipersalivasi, akumulasi
sekret sangat kental dan berwarna kekuningan kurang lebih 20 cc/hari, terpasang alat bantu
pernapasan atau ventilator saat 1 hari post operasi, dihari kedua dilakukan wening dan
ekstubasi dan mendapat bantuan oksigen via NRM 10 liter/menit, namun diganti kembali
memakai alat bantu nafas ventilator dengan seting :
Tanggal 05-06-13
o Tipe : CPAPPS
o IPL :8
o PEEP :8

o FIO2 : 50%

o PEEK PRESSURE : 19

Tanggal 06-06-13
o Tipe : PS
o TV : 227
o IPL : 10
o PEEP :5

o FIO2 : 80%
o PEEK PRESSURE : 15
Tanggal 07-06-13
o Tipe : SIMV PS
o RR :8
o TV : 656
o IPL : 10
o PEEP :5

o FIO2 : 50%

o PEEK PRESSURE : 14
Tanggal 08-06-13
o Tipe : PCV
o RR : 18
o TV : 565
o IPL : 10
o PEEP :5

o FIO2 : 45%

o PEEK PRESSURE : 16

Tanggal 10-06-13
o Tipe : PCV
o RR : 12
o TV : 382
o IPL : 10
o PEEP :5

o FIO2 : 45%

o PEEK PRESSURE : 12
Tanggal 11-06-13
o Tipe : SIMV PS
o RR : 10
o TV : 581
o IPL :6
o PEEP :5

o FIO2 : 40%

o PEEK PRESSURE : 13
Tanggal 12-06-13
o Tipe : SIMV PS
o RR : 12
o TV : 413
o IPL :6
o PEEP :5

o FIO2 : 40%

o PEEK PRESSURE : 13
Tanggal 13-06-13
o Tipe : SIMV PS
o RR :8
o TV : 533
o IPL :5
o PEEP :5

o FIO2 : 40%

o PEEK PRESSURE : 14

Pengembangan dada simetris, terdapat jejas pada dada sebelah kiri, pada tanggal 10 -06-13
terpasang kasa yang dibentangkan pada dada dengan tujuan media kompres dingin dengan
disemprotkan air 15 menit sekali, saturasi O2 terendah 77% dan tertinggi 100% dan rata-rata
96-99%
Auskultasi : Bunyi napas ronchi, gargling (+) paru-paru sebelah kanan, RR : terendah 15
x/menit tertinggi 33 x/menit
Perkusi : Redup, dulnes
Palpasi : sedikit bengkak pada dada kanan
c. Sistem kardiovaskuler
Inspeksi : Terpasang infus RL 20 x/menit, terpasang CVP dengan nilai terendah 3 cmH20 dan
tertinggi 14 cmH20, MAP : 90 mmHg, konjungtiva anemis, tidak ada pembesaran KGB, tidak
ada peningkatan JVP, dada sebelah kanan tampak bengkak, terpasang monitir EKG dengan
gambaran sistem tachikardi.
Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 murni reguler, murmur (-), Gallop (-)
Palpasi : Tidak ada benjolan pada rongga dada, terendah TD : 60/90 mmHg tertinggi , CRT
terendah 2 detik pengkajian terakhir 3 detik, rata-rata HR : 110x/menit, Akral dingin
Perkusi : redup, dulnes
d. Sistem pencernaan
Inspeksi : Mukosa bibir kering peceh-pecah, terdapat lesi di tepi mulut akibat plester
pemasangan ETT, kebersihan mulut kotor, terdapat banyak sekret sangat kental berwarna
kekuningan di mulut di antara selang ETT dan mayo, muntah (-), ada pembesaran abdomen.
Terpasang selang NGT via jejenustomy, terdapat luka operasi post laparatomy eksplorasi
dengan jahitan sepanjang 20 cm terletak ditengah melewati pusar, terdapat luka jahitan
drainage dipasang selang yang bermuara dari duodenum perut kanan bawah, terdapat luka
jahitan dengan terpasang selang sebelah kiri bawah jejenustomy. Keadaan luka basah luka
bagian tengan terdapat rembesan sejumlah kurang lebih 3cc/hari berwarna kekuningan, dan
rembesan di jejenustomy dengan warna kuning kehijauan. Pada tanggal 08-06-13 drainage
abdomen kanan bawah terputus sehingga abdomen tampak berlubang dan ditutupi dengan
kasa steril dengan diberikan salep antibiotik. Pada tanggal 10-06-13 luka jahitan post
laparatomy terbuka sedikit (dehisiensi) kemudian pada tanggal 11-06-13 semua luka jahitan
post laparatomy terbuka seluruhnya (eviserasi). Luka hanya dengan jahitan terbuka hanya
ditutup dengan kasa steril. Feses kuning pekat konsistensi cair dan berbau obat, 2-3 kali/hari
Perkusi : Tidak dikaji karena klien mengeluh nyeri pada abdomen
Auskultasi : sebelum luka jahitan post laparatomy BU (+), BU 12x/menit
Palpasi : Tidak ada pembesaran limpa dan hepar
e. Sistem perkemihan
Inspeksi : Terpasang Dower Cateter, urine berwarna kuning pekat, jumlah urine 50 cc/jam,
tidak ada distensi kandung kemih, diuresis (+), hematuri (+) dihari pertama pengkajian namun
(-) dihari kedua
Palpasi : Tidak ada masa dan benjolan
f. Sistem integumen
Inspeksi : Kulit sawo matang, terdapat lesi ditepi mulut pada perlekatan plester ETT,
terpasang infus RL 20x/mnt, terpasang CVP. Terdapat luka jahitan post op laparatomy terletak
ditengah abdomen sepanjang 20 cm, terpasang selang drainage diabdomen bawah kanan,
terpasang jejenustomy di abdomen bawah kiri.
Palpasi : Suhu 38 C (febris), turgor kulit kurang baik.
g. Sistem endokrin
Tidak ada pembesaran KGB dan hepar
h. Sistem muskuloskeletal
Inspeksi : Tidak terdapat edema ekstremitas atas dan bawah, terpasang restrain pada tangan
kanan dan kiri, infus ditangan kanan

ROM 4 4
5 5
i. Sistem Persarafan
Status mental (orientasi, atensi, memori, berhitung) tidak dapat dikaji. GCS E4M6VT , pupil
bulat ishokor. Semua kerja nervus baik, refleks baik tidak ada gangguan yang signifikan pada
sistem persyarafan.
j. Kualitas Keseimbangan Cairan
o Pada tanggal 06-06-13 setelah dihitung selisih intake dan output = - 687
o Pada tanggal 07-06-13 setelah dihitung selisih intake dan output = + 367
o Pada tanggal 08-06-13 setelah dihitung selisih intake dan output = - 175
o Pada tanggal 09-06-13 setelah dihitung selisih intake dan output = +600
o Pada tanggal 10-06-13 setelah dihitung selisih intake dan output = - 300
o Pada tanggal 11-06-13 setelah dihitung selisih intake dan output = + 547
o Pada tanggal 12-06-13 setelah dihitung selisih intake dan output = + 972
o Pada tanggal 13-06-13 setelah dihitung selisih intake dan output = + 400

k. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium : Tanggal 05-06 -2013
A. Hematologi
Darah rutin Hasil Nilai Rujukan
Hb 12,1/dl 11,5-13,5 g/dL
Ht 30% 34-40 %
Leukosit 8,900/mm3 5000-14500/mm3
Eritrosit 3.51 juta /ml 3,95-5,26 juta/UL
Trombosit 120.000/mm3 150.000-450000/mm3
Index Eritrosit Hasil Nilai Rujukan
MCV 84,6 fL 75-87 fL
MCH 28,8 pg 26-30 pg
MCHC 34,0 % 31-37 %
Kimia Klinik Hasil Nilai Rujukan
Kreatinin 0,34 0,24-0,41 mg/dl
GDS 143 <140 mg/dl
Natrium (Na) 138 135-145 meq/dl
Kalium (K) 3,3 3,6-5,5 meq/dl
Klorida (Cl) 103 98-108
Kalsium (Ca Bebas) 4,95 4,7-5,2
Magnesium (Mg) 1,79 1,70-2,55

Pemeriksaan Laboratorium : Tanggal 11-06 -2013


B. Hematologi
Darah rutin Hasil Nilai Rujukan
Hb 8,3/dl 11,5-13,5 g/dL
Ht 25% 34-40 %
Leukosit 31,500/mm3 5000-14500/mm3
Eritrosit 2,96 juta /ml 3,95-5,26 juta/UL
Trombosit 743.000/mm3 150.000-450000/mm3
Index Eritrosit Hasil Nilai Rujukan
MCV 85,1 fL 75-87 fL
MCH 28,0 pg 26-30 pg
MCHC 32,9 % 31-37 %
Kimia Klinik Hasil Nilai Rujukan
GDS 128 <140 mg/dl
Natrium (Na) 137 135-145 meq/dl
Kalium (K) 3,9 3,6-5,5 meq/dl
Klorida (Cl) 100 98-108
Kalsium (Ca Bebas) 4,68 4,7-5,2
Magnesium (Mg) 2,21 1,70-2,55

Pemeriksaan Laboratorium : Tanggal 12-06 -2013


C. Hematologi
Darah rutin Hasil Nilai Rujukan
Hb 9,1/dl 11,5-13,5 g/dL
Ht 27% 34-40 %
Leukosit 30,900/mm3 5000-14500/mm3
Eritrosit 3,18 juta /ml 3,95-5,26 juta/UL
Trombosit 952,000/mm3 150.000-450000/mm3
Index Eritrosit Hasil Nilai Rujukan
MCV 84,3 fL 75-87 fL
MCH 28,6 pg 26-30 pg
MCHC 34,0 % 31-37 %
Kimia Klinik Hasil Nilai Rujukan
GDS 98 <140 mg/dl
Natrium (Na) 130 135-145 meq/dl
Kalium (K) 4,9 3,6-5,5 meq/dl
Klorida (Cl) 95 98-108
Kalsium (Ca Bebas) 4,73 4,7-5,2
Magnesium (Mg) 1,99 1,70-2,55

Tanggal 04-06-13
Analisa Gas Darah Hasil Nilai Rujukan
PH 7,31 7,35-7,45
PCO2 47 mmHg 32-42 mmHg
PO2 178 mmHg 80-108 mmHg
HCO3 23 mmol/L 22-26 mEq/L
TCO2 24 mmol/L 22-29 mmol/L
Base Excess (-2) (-2)~(+3) mEq/L (Asidosis)
Saturasi O2 99 % 95-98 %

Tanggal 05-06-13
Arteri
Analisa Gas Darah Hasil Nilai Rujukan
PH 7,34 7,35-7,45
PCO2 47 mmHg 32-42 mmHg
PO2 231 mmHg 80-108 mmHg
HCO3 25 mmol/L 22-26 mEq/L
Base Excess (-1) (-2)~(+3) mEq/L (Asidosis)
Saturasi O2 100 % 95-98 %
Vena
Analisa Gas Darah Hasil Nilai Rujukan
PH 7,32 7,33-7,43
PCO2 49 mmHg 35-45 mmHg
PO2 47 mmHg 34-49 mmHg
HCO3 24 mmol/L 24-28 mEq/L
Base Excess (-2) 0-+4
Saturasi O2 79 % 70-75 %
Kimia Klinik Hasil Nilai Rujukan
GDS 143 <140 mg/dl
Natrium (Na) 138 135-145 meq/dl
Kalium (K) 3,3 3,6-5,5 meq/dl
Klorida (Cl) 103 98-108
Kalsium (Ca Bebas)4,95 4,7-5,2
Magnesium (Mg) 1,73 1,70-2,55

Tanggal 08-06-13
Arteri
Analisa Gas Darah Hasil Nilai Rujukan
PH 7,44 7,35-7,45
PCO2 47,4 mmHg 32-42 mmHg
PO2 85 mmHg 80-108 mmHg
HCO3 31,9 mmol/L 22-26 mEq/L
TCO2 61,5 mmol/l 22-29 mmol/L
Base Excess (2) (-2)~(+3) mEq/L
Saturasi O2 98 % 95-98 %
Vena
Analisa Gas Darah Hasil Nilai Rujukan
PH 7,49 7,33-7,43
PCO2 53 mmHg 35-45 mmHg
PO2 38,8 mmHg 34-49 mmHg
HCO3 33 mmol/L 24-28 mEq/L
Base Excess (2) 0-+4
Saturasi O2 73 % 70-75 %
Kimia Klinik Hasil Nilai Rujukan
GDS 143 <140 mg/dl
Natrium (Na) 136 135-145 meq/dl
Kalium (K) 3,8 3,6-5,5 meq/dl
Klorida (Cl) 93 98-108
Kalsium (Ca Bebas)4,85 4,7-5,2
Magnesium (Mg) 1,82 1,70-2,55

Tanggal 11-06-13
Arteri
Analisa Gas Darah Hasil Nilai Rujukan
PH 7,38 7,35-7,45
PCO2 41 mmHg 32-42 mmHg
PO2 95 mmHg 80-108 mmHg
HCO3 24 mmol/L 22-26 mEq/L
TCO2 47,5 mmol/l 22-29 mmol/L
Base Excess (-0,3) (-2)~(+3) mEq/L
Saturasi O2 97 % 95-98 %
Vena
Analisa Gas Darah Hasil Nilai Rujukan
PH 7,36 7,33-7,43
PCO2 42 mmHg 35-45 mmHg
PO2 37,5 mmHg 34-49 mmHg
HCO3 23,6 mmol/L 24-28 mEq/L
Base Excess (-1) 0-+4
Saturasi O2 69 % 70-75 %
Kimia Klinik Hasil Nilai Rujukan
GDS 128 <140 mg/dl
Natrium (Na) 137 135-145 meq/dl
Kalium (K) 3,9 3,6-5,5 meq/dl
Klorida (Cl) 100 98-108
Kalsium (Ca Bebas)4,68 4,7-5,2
Magnesium (Mg) 2,21 1,70-2,55
Tanggal 12-06-13
Arteri
Analisa Gas Darah Hasil Nilai Rujukan
PH 7,43 7,35-7,45
PCO2 27 mmHg 32-42 mmHg
PO2 136 mmHg 80-108 mmHg
HCO3 18 mmol/L 22-26 mEq/L
TCO2 19 mmol/l 22-29 mmol/L
Base Excess (-5) (-2)~(+3) mEq/L
Saturasi O2 99 % 95-98 %
Vena
Analisa Gas Darah Hasil Nilai Rujukan
PH 7,42 7,33-7,43
PCO2 33 mmHg 35-45 mmHg
PO2 37 mmHg 34-49 mmHg
HCO3 22 mmol/L 24-28 mEq/L
Base Excess (-2) 0-+4
Saturasi O2 76 % 70-75 %
Kimia Klinik Hasil Nilai Rujukan
GDS 89 <140 mg/dl
Natrium (Na) 130 135-145 meq/dl
Kalium (K) 4,9 3,6-5,5 meq/dl
Klorida (Cl) 95 98-108
Kalsium (Ca Bebas)4,73 4,7-5,2
Magnesium (Mg) 1,99 1,70-2,55

Tanggal 13-06-13
Arteri
Analisa Gas Darah Hasil Nilai Rujukan
PH 7,39 7,35-7,45
PCO2 39 mmHg 32-42 mmHg
PO2 148 mmHg 80-108 mmHg
HCO3 23 mmol/L 22-26 mEq/L
TCO2 25 mmol/l 22-29 mmol/L
Base Excess (-1) (-2)~(+3) mEq/L
Saturasi O2 99 % 95-98 %
Vena
Analisa Gas Darah Hasil Nilai Rujukan
PH 7,36 7,33-7,43
PCO2 42 mmHg 35-45 mmHg
PO2 43 mmHg 34-49 mmHg
HCO3 23 mmol/L 24-28 mEq/L
Base Excess (-1) 0-+4
Saturasi O2 77 % 70-75 %
Kimia Klinik Hasil Nilai Rujukan
GDS 114 <140 mg/dl
Natrium (Na) 133 135-145 meq/dl
Kalium (K) 4,2 3,6-5,5 meq/dl
Klorida (Cl) 97 98-108
Kalsium (Ca Bebas)4,85 4,7-5,2
Magnesium (Mg) 2,02 1,70-2,55

2. Foto Thorax
Tanggal 02/06/2013
o Kesan : Foto cervical dalam batas normal
o Kesan : Foto pelvis dalam batas normal
Tanggal 07/06/2013
o Kesan
o Efusi pleura kiri
o Suspek pneumonia kiri
o Ujung selang CVC setinggi parafertebra thorakal VII-VIII kanan
o Ujung ETT setinggi corpus vertebrata thorakal lll
o Ujung NGT setinggi paravertebra thorakal XII-lumbal I kiri

3. Kultur darah
Tanggal 11-6-2013
o Ditemukan kuman=acinetobacter

4. Penatalaksanaan Terapi
Tanggal 6-6-2013
o MO 1cc/jam (20mgr/kgbb/jam)
o Noradrenalin 5cc/jam (0,3mgr/kgbb/jam)
o NaCl 50cc/jam
o Metronidazole 1x1500mg/hari
o Ceftriaxome 1x2gm
o Paracetamol 3x1gr p.o
o Omz 1x40mg p.o
o Nebulizer bisolvon 2x1mg
o Zalf mata
o Gelofusin
Tanggal 11-6-2013
o MO 1cc/jam (20mgr/kgbb/jam)
o Noradrenalin 5cc/jam (0,3mgr/kgbb/jam)
o NaCl 50cc/jam
o ceftazidine 3x2gr
o lefovoxacim 1x500mg
o Paracetamol 3x1gr p.o
o Omz 1x40mg p.o
o Vit B 2x1tab
o Vit C 2X100mg
o Brudiar 3x2tab
o Meropenem 3x1gm
ANALISA DATA
Nama : Tn. D
Ruang : GICU RSHS
No Reg : 0001284375

TGL/
NO DATA FOKUS ETIOLOGI MASALAH
JAM
1 06-06-13 DS : Inflamasi, iskemia, Nyeri
10.00 Klien meringis kesakitan saat infeksi,
dilakukan perawatan luka post trauma/perforasi
laparatomi
Saat ditanya apakah klien Kebocoran isi rongga
mengeluh nyeri klien menjawab abdomen ke
iya dengan cara menganggukan peritoneum
kepala dan menunjukan
kebagian perut tengah dan kanan Proliferasi kuman
bawah sebagai tempat nyeri (bakteri)
dirasakan
DO : Menyebar
Skala nyeri 7-8 dari 10 dipermukaan
HR = 113 x/menit peritoneum
R = 34 x/menit
Luka basah, rembesan berwarna Reaksi inflamasi
kuning kehijauan
Peritonitis
Leukosit 36.000 /mm3
(generalisata)
Abdomen tampak bengkak

Eviserasi (jahitan post lalaratomi Penurunan fungsi
terbuka) pencernaan
Ditemukan
kuman=acinetobacter (peristaltic dan bising
usus menurun)

Distensi abdomen

Tekanan intralumen

Merangsang respons
myenterik dan
otonomik

Iskemia jaringan/usus
Mediator inflamatori

N
ekrosis

Nyeri

Insersi laparatomi
kerusakan permukaan
jaringan tubuh
reaksi radang
pelepasan mediator
kimia (prostaglandin,
TNF, Histamin, dll)
stimulasi nosiseptor
nyeri : akut.

2 07/06/13 DS: - Trauma abdomen Gangguan


DO:
15.00 pemenuhan oksigen
Terpasang mayo Perforasi duodenum,
Terpasang ETT dengan gaster
kedalaman 6,5/19
Hipersalivasi Peritonitis
Akumulasi sekret sangat kental
dan berwarna kekuningan Laparatomi eksplorasi
kurang lebih 20 cc/hari
Terpasang alat bantu pernapasan Kerusakan permukaan
atau ventilator saat 1 hari post jaringan
operasi, dihari kedua dilakukan
wening dan ekstubasi dan Proses inflamasi
mendapat bantuan oksigen via
NRM 10 liter/menit, namun Menghasilkan
diganti kembali memakai alat endotoksin
bantu nafas ventilator dengan
seting : Sistem pernafasan
Tanggal 05-06-13 terganggu
o Tipe :
CO2 tertahan dalam
CPAPPS
tubuh
o IPL :8
o PEEP :8
Peningkatan HCO3
o FIO2 : 50%
Asidosis Respiratori
o PEEK PRESSURE : 19 Hipoventilasi
Tanggal 06-06-13
Gangguan pemenuhan
o Tipe : PS
oksigen
o TV : 227
o IPL : 10
o PEEP :5

o FIO2 : 80%

o PEEK PRESSURE : 15
Tanggal 07-06-13
o Tipe :
SIMV PS
o RR :8
o TV : 656
o IPL : 10
o PEEP :5

o FIO2 : 50%

o PEEK PRESSURE : 14
Tanggal 08-06-13
o Tipe : PCV
o RR : 18
o TV : 565
o IPL : 10
o PEEP :5

o FIO2 : 45%

o PEEK PRESSURE : 16
Tanggal 10-06-13
o Tipe : PCV
o RR : 12
o TV : 382
o IPL : 10
o PEEP :5

o FIO2 : 45%

o PEEK PRESSURE : 12
Tanggal 11-06-13
o Tipe :
SIMV PS
o RR : 10
o TV : 581
o IPL :6
o PEEP :5

o FIO2 : 40%

o PEEK PRESSURE : 13
Tanggal 12-06-13
o Tipe :
SIMV PS
o RR : 12
o TV : 413
o IPL :6
o PEEP :5

o FIO2 : 40%

o PEEK PRESSURE : 13
Tanggal 13-06-13
o Tipe :
SIMV PS
o RR :8
o TV : 533
o IPL :5
o PEEP :5

o FIO2 : 40%

o PEEK PRESSURE : 14
Terdapat jejas pada dada sebelah
kiri
Bunyi napas ronchi, gargling (+)
paru-paru sebelah kanan
RR : terendah 15 x/menit
tertinggi 33 x/menit
Hasil AGD menunjukan dari 8
hari pengkajian klien mengalami
Asidosis Respiratorik
Kompensasi penuh dengan
peningkatan PCO2 dan HCO3
Hasil foto thoraks
o Efusi pleura kiri
o Suspek pneumonia kiri

3 08-06-13 DO: Trauma abdomen Gangguan


14.00 DS: pemenuhan cairan
Hipotensi TD rata-tara Perforasi duodenum,
70/100mmHg gaster
Nadi 113 x/menit
Suhu 38 derajat celsius Peritonitis
CVP rata-rata 7 cm H2O
Laparatomi eksplorasi
Terdapat rembesan sebanyak
kurang lebih 5cc/jam pada luka
Kerusakan permukaan
post op pemasangan drainage
jaringan
jejenustomi
Eviserasi jahitan terbuka post
Proses inflamasi
laparatomi
Turgor kulit jelek Menghasilkan
Mukosa bibir lembab endotoksin
Natrium (Na) 130 meq/dl
Bakteremia &
septicemia

Dianggap benda asing

Reaksi imunologic

Hipertermi

Diaporesis

Output berlebih

Gangguan pemenuhan
cairan

Trauma abdomen

Perforasi duodenum,
gaster

Peritonitis

Laparatomi eksplorasi

Kerusakan permukaan
jaringan

Proses inflamasi

Menghasilkan
endotoksin

Bakteremia &
septicemia

Dianggap benda asing

Reaksi imunologic

Hipertermi

Peningkatan reabsorbsi
Na dan H2O

Permeabilitas membran
meningkat

Renjatan hipovolemik
dan hipotensi

Kebocoran plasma

Gangguan Pemenuhan
Cairan
4 09-06-13 DO : Inflamasi, iskemia, Infeksi
infeksi,
DS :
trauma/perforasi tumor
Hipotensi TD rata-tara
70/100mmHg Kebocoran isi rongga
Nadi 113 x/menit abdomen ke
Suhu 38 derajat celsius
peritoneum
CVP rata-rata 7 cm H2O

Terdapat rembesan sebanyak
kurang lebih 5cc/jam pada luka Proliferasi kuman
post op pemasangan drainage (bakteri)
jejenustomi
Eviserasi jahitan terbuka post Menyebar dipermukaan
laparatomi peritoneum
Leukosit 36.000 /mm3
Ditemukan Reaksi inflamasi
kuman=acinetobacter

Peritonitis
(generalisata)

Distensi abdomen

Tekanan intralumen

Merangsang respons
myenterik dan
otonomik

Iskemia jaringan/usus
Nosiseptor

Mediator inflamatori


Nekrosis

Nyeri


Gangguan passage usus

Respons mual/muntah

Penyebaran kuman ke
peritoneum dan
sirkulasi

Septikemia

PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi, demam dan kerusakan jaringan.

2. Gangguan oksigenasi berhubungan dengan hipoventilasi, PCO2 tertahan


3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif.
4. Infeksi berhubungan dengan invasi virus pada peredaran darah

Anda mungkin juga menyukai