Anda di halaman 1dari 53

ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) PERITONITIS

NUZULUL ZULKARNAIN HAQ


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul
mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang sering
berupa tindakan bedah, misalnya pada obstruksi, perforasi, atau perdarahan, infeksi, obstruksi atau strangulasi
jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna
sehingga terjadilah peritonitis.
Peradangan peritoneum (peritonitis) merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran
infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura
saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen.
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri secara inokulasi kecil-kecilan. Kontaminasi
yang terus menerus, bakteri yang virulen, penurunan resistensi, dan adanya benda asing atau enzim pencerna
aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan akan
menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan
penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.

1.2 Rumusan masalah


1) Bagaimana anatomi dari organ peritoneum ?
2) Apa definisi peritonitis ?
3) Bagaimana etiologi pada peritonitis ?
4) Bagaimana klasifikasi dari peritonitis ?
5) Bagaimana patofisiologi dari peritonitis ?
6) Bagaimana manifestasi Klinis pada peritonitis ?
7) Bagaimana pemeriksaan diagnostic pada peritonitis ?
8) Bagaimana penatalaksanaaan pada peritonitis ?
9) Bagaimana komplikasi pada peritonitis ?
10) Bagaimana asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien dengan peritonitis ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
1) Mengetahui anatomi dari organ peritoneum.
2) Mengetahui definisi peritonitis.
3) Mengetahui etiologi peritonitis.
4) Mengetahui klasifikasi dari peritonitis.
5) Mengetahui patofisiologi dari peritonitis.
6) Mengetahui manifestasi Klinis pada peritonitis.
7) Mengetahui pemeriksaan diagnostic pada peritonitis.
8) Mengetahui penatalaksanaaan pada peritonitis.
9) Mengetahui komplikasi pada peritonitis.
10) Mendiskusikan asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien dengan peritonitis.

1.4 Manfaat
1) Memahami anatomi dari organ peritoneum.
2) Memahami definisi peritonitis.
3) Memahami etiologi peritonitis.
4) Memahami klasifikasi dari peritonitis.
5) Memahami patofisiologi dari peritonitis.
6) Memahami manifestasi Klinis pada peritonitis.
7) Memahami pemeriksaan diagnostic pada peritonitis.
8) Memahami penatalaksanaaan pada peritonitis.
9) Memahami komplikasi pada peritonitis.
10) Menyimpulkan asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien dengan peritonitis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Peritoneum


Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial. Pada permulaan, mesoderm
merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom. Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang
merupakan dinding enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm, dorsal dan
ventral usus saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian menjadi peritonium.
Peritoneum terdiri dari dua bagian yaitu peritoneum paretal yang melapisi dinding rongga abdomen dan
peritoneum visceral yang melapisi semua organ yang berada dalam rongga abdomen. Ruang yang terdapat
diantara dua lapisan ini disebut ruang peritoneal atau kantong peritoneum. Pada laki-laki berupa kantong
tertutup dan pada perempuan merupakan saluran telur yang terbuka masuk ke dalam rongga peritoneum, di
dalam peritoneum banyak terdapat lipatan atau kantong. Lipatan besar (omentum mayor) banyak terdapat
lemak yang terdapat disebelah depan lambung. Lipatan kecil (omentum minor) meliputi hati, kurvaturan minor,
dan lambung berjalan keatas dinding abdomen dan membentuk mesenterium usus halus.
Lapisan peritoneum dibagi menjadi 3, yaitu:
1) Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa).
2) Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
3) Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.
Fungsi peritoneum:
1) Menutupi sebagian dari organ abdomen dan pelvis.
2) Membentuk pembatas yang halus sehinggan organ yang ada dalam rongga peritoneum tidak saling
bergesekan.
3) Menjaga kedudukan dan mempertahankan hubungan organ terhadap dinding posterior abdomen.
4) Tempat kelenjar limfe dan pembuluh darah yang membantu melindungi terhadap infeksi.

2.2 Definisi
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum-lapisan membrane serosa rongga abdomen dan meliputi visera
merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis atau kumpulan tanda dan
gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda umum inflamasi.
Pasien dengan peritonitis dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan dan terbatas, atau penyakit berat dan
sistemikengan syok sepsis.
Infeksi peritonitis terbagi atas penyebab perimer (peritonitis spontan), sekunder (berkaitan dengan proses
patologis pada organ visceral), atau penyebab tersier (infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang
adekuat). Infeksi pada abdomen dikelompokkan menjadi pertitonitis infeksi (umum) dan abses abdomen (local
infeksi peritonitis relative sulit ditegakkan dan sangat bergantung dari penyakit yang mendasarinya. Penyebab
peritonitis ialah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hati yang kronik. Penyebab lain peritonitis
sekunder ialah perforasi apendisitis, perforasi ulkus peptikum dan duodenum, perforasi kolon akibat
diverdikulitis, volvulus dan kanker, dan strangulasi kolon asendens. Penyebab iatrogenic umumnya berasal dari
trauma saluran cerna bagian atas termasuk pancreas, saluran empedu dan kolon kadang juga dapat terjadi dari
trauma endoskopi. Jahitan oprasi yang bocor (dehisensi) merupakan penyebab tersering terjadinya peritonitis.
Sesudah operasi, abdomen efektif untuk etiologi noninfeksi, insiden peritonitis sekunder (akibat pecahnya jahitan
operasi seharusnya kurang dari 2%. Operasi untuk penyakit inflamasi (misalnya apendisitis, divetikulitis,
kolesistitis) tanpa perforasi berisiko kurang dari 10% terjadinya peritonitis sekunder dan abses peritoneal. Risiko
terjadinya peritonitis sekunder dan abses makin tinggi dengan adanya kterlibatan duodenum, pancreas perforasi
kolon, kontaminasi peritoneal, syok perioperatif, dan transfuse yang pasif.

2.3 Etiologi

1. Infeksi bakteri
1. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
2. Appendisitis yang meradang dan perforasi
3. Tukak peptik (lambung/dudenum)
4. Tukak thypoid
5. Tukan disentri amuba/colitis
6. Tukak pada tumor
7. Salpingitis
8. Divertikulitis

Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta hemolitik, stapilokokus aurens,
enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium wechii.

1. Secara langsung dari luar.


1. Operasi yang tidak steril
2. Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi peritonitisyang disertai
pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon terhadap benda asing, disebut juga
peritonitis granulomatosa serta merupakan peritonitis lokal.
3. Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati
4. Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula peritonitis
granulomatosa.
2. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran pernapasan
bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama adalah streptokokus atau
pnemokokus.
Bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous bacterial Peritonitis (SBP) dan peritonitis sekunder. SBP
terjadi bukan karena infeksi intra abdomen, tetapi biasanya terjadi pada pasien yang asites terjadi kontaminasi
hingga kerongga peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri munuju dinding perut atau pembuluh limfe
mesenterium, kadang terjadi penyebaran hematogen jika terjadi bakterimia dan akibat penyakit hati yang kronik.
Semakin rendah kadar protein cairan asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses. Ini terjadi
karena ikatan opsonisasi yang rendah antar molekul komponen asites pathogen yang paling sering menyebabkan
infeksi adalah bakteri gram negative E. Coli 40%, Klebsiella pneumoniae 7%, spesies Pseudomonas, Proteus dan
gram lainnya 20% dan bakteri gram positif yaitu Streptococcus pnemuminae 15%, jenis Streptococcus lain 15%,
dan golongan Staphylococcus 3%, selain itu juga terdapat anaerob dan infeksi campur bakteri. Peritonitis
sekunder yang paling sering terjadi disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ
dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal terutama disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari
saluran cerna bagian atas. Peritonitis tersier terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah mendapatkan
terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, bukan berasal dari kelainan organ, pada pasien peritonisis
tersier biasanya timbul abses atau flagmon dengan atau tanpa fistula. Selain itu juga terdapat peritonitis TB,
peritonitis steril atau kimiawi terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan empedu, barium, dan
substansi kimia lain atau prses inflamasi transmural dari organ-organ dalam (Misalnya penyakit Crohn).

2.4 Klasifikasi
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Peritonitis bakterial primer

Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum peritoneum dan tidak
ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus
atau Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Spesifik: misalnya Tuberculosis
b) Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis dan Tonsilitis.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intraabdomen,
imunosupresi dan splenektomi.
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik,
dan sirosis hepatis dengan asites.

1. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa)

Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada
umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme
dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakteri anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar
pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi.
Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis. Kuman dapat
berasal dari:

1. Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum peritoneal.
2. Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan oleh bahan kimia, perforasi
usus sehingga feces keluar dari usus.
3. Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya appendisitis.
4. Peritonitis tersier

Peritonitis tersier, misalnya:

1. Peritonitis yang disebabkan oleh jamur.


2. Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu, getah lambung,
getah pankreas, dan urine.
3. Peritonitis Bentuk lain dari peritonitis:
1. Aseptik/steril peritonitis.
2. Granulomatous peritonitis.
3. Hiperlipidemik peritonitis.
4. Talkum peritonitis.

2.5 Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah
(abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya
sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap
sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit
cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai
mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke
perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi
dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh
permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga
peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen
termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan
suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen,
membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul
peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus
paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus,
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-
lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi
usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik
(sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat
berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat
total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi
yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran
bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.
2.6 Manifestasi Klinis
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda-tanda rangsangan peritonium.
Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara
bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus.
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi dan
penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan
pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan,
bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas,
tes psoas, atau tes lainnya.
Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen (akut abdomen) dengan nyeri yang
tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum visceral) yang makin lama makin jelas lokasinya (peritoneum
parietal). Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien yang sepsis
bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya
memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena
mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang
karena iritasi peritoneum. Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat
pelvic inflammatoru disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita dalam
keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita
dengan penurunan kesadaran (misalnya trauma cranial,ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan
analgesic), penderita dengan paraplegia dan penderita geriatric.
2.7 Pemeriksaan Diagnostik

1. Test laboratorium
1. Leukositosis

Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan
banyak limfosit, basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi
memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan
didapat.

1. Hematokrit meningkat
2. Asidosis metabolic (dari hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien peritonitis didapatkan PH =7.31,
PCO2= 40, BE= -4 )
3. X. Ray

Dari tes X Ray didapat:


Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan:

1. Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.


2. Usus halus dan usus besar dilatasi.
3. Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.

3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam memperkirakan pasien
dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :
1. Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior.
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar dari arah horizontal
proyeksi anteroposterior.
3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal proyeksi anteroposterior.

Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup seluruh abdomen beserta
dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film ukuran 35x43 cm. Sebelum terjadi peritonitis, jika
penyebabnya adanya gangguan pasase usus (ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen 3 posisi
didapatkan gambaran radiologis antara lain:
1) Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya penjalaran. Gambaran yang
diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal daerah obstruksi, penebalan dinding usus, gambaran seperti duri
ikan (Herring bone appearance).
2) Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus. Dari air fluid level dapat diduga
gangguan pasase usus. Bila air fluid level pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika panjang-panjang
kemungkinan gangguan di kolon.Gambaran yang diperoleh adalah adanya udara bebas infra diafragma dan air
fluid level.
3) Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya air fluid level dan step ladder
appearance.

2.8 Penatalaksanaan
Management peritonitis tergantung dari diagnosis penyebabnya. Hampir semua penyebab peritonitis memerlukan
tindakan pembedahan (laparotomi eksplorasi).
Pertimbangan dilakukan pembedahan a.l:

1. Pada pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang meluas, nyeri tekan terutama jika meluas,
distensi perut, massa yang nyeri, tanda perdarahan (syok, anemia progresif), tanda sepsis (panas
tinggi, leukositosis), dan tanda iskemia (intoksikasi, memburuknya pasien saat ditangani).
2. Pada pemeriksaan radiology didapatkan pneumo peritoneum, distensi usus, extravasasi bahan kontras,
tumor, dan oklusi vena atau arteri mesenterika.
3. Pemeriksaan endoskopi didapatkan perforasi saluran cerna dan perdarahan saluran cerna yang tidak
teratasi.
4. Pemeriksaan laboratorium.

Pembedahan dilakukan bertujuan untuk :

1. Mengeliminasi sumber infeksi.


2. Mengurangi kontaminasi bakteri pada cavum peritoneal
3. Pencegahan infeksi intra abdomen berkelanjutan.

Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus mempersiapkan pasien untuk tindakan bedah
a.l :

1. Mempuasakan pasien untuk mengistirahatkan saluran cerna.


2. Pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.
3. Pemasangan kateter untuk diagnostic maupun monitoring urin.
4. Pemberian terapi cairan melalui I.V.
5. Pemberian antibiotic.

Terapi bedah pada peritonitis a.l :

1. Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe dan luas dari pembedahan
tergantung dari proses dasar penyakit dan keparahan infeksinya.
2. Pencucian ronga peritoneum: dilakukan dengan debridement, suctioning,kain kassa, lavase, irigasi intra
operatif. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan pus, darah, dan jaringan yang nekrosis.
3. Debridemen : mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan fibrin.
4. Irigasi kontinyu pasca operasi.

Terapi post operasi a.l:

1. Pemberian cairan I.V, dapat berupa air, cairan elektrolit, dan nutrisi.
2. Pemberian antibiotic
3. Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produk ngt minimal, peristaltic usus pulih, dan tidak ada
distensi abdomen.

1) Terapi
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena,
pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal,
pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar
dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting. Pengembalian volume intravaskular memperbaiki
perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena
sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.
a. Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik berspektrum luas
diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika
didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga
merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena
bakteremia akan berkembang selama operasi.
b. Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi. Insisi yang dipilih
adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka
serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan
untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada
umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau
mereseksi viskus yang perforasi.
c. Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan larutan kristaloid
(saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan
antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya
terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria
menyebar ketempat lain.
d. Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu dengan segera akan
terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase
berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk
peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
2) Pengobatan
Biasanya yang pertama dilakukan adalah pembedahan eksplorasi darurat, terutama bila terdapat apendisitis,
ulkus peptikum yang mengalami perforasi atau divertikulitis. Pada peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau
penyakit radang panggul pada wanita, pembedahan darurat biasanya tidak dilakukan. Diberikan antibiotik yang
tepat, bila perlu beberapa macam antibiotik diberikan bersamaan.
Keperawatan perioperatif merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan keragaman fungsi
keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman pembedahan pasien yang mencakup tiga fase yaitu :

1. Fase praoperatif dari peran keperawatan perioperatif dimulai ketika keputusan untuk intervensi bedah
dibuat dan berakhir ketika pasien digiring kemeja operasi. Lingkup aktivitas keperawatan selama waktu
tersebut dapat mencakup penetapan pengkajian dasar pasien ditatanan kliniik atau dirumah, menjalani
wawancaran praoperatif dan menyiapkan pasien untuk anastesi yang diberikan dan pembedahan.
Bagaimanapun, aktivitas keperawatan mungkin dibatasi hingga melakukan pengkajian pasien
praoperatif ditempat ruang operasi.
2. Fase intraoperatif dari keperawatan perioperatif dimulai dketika pasien masuk atau dipindah kebagian
atau keruang pemulihan. Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan dapat meliputi: memasang infuse
(IV), memberikan medikasi intravena, melakukan pemantauan fisiologis menyeluruh sepanjang
prosedur pembedahan dan menjaga keselamatan pasien. Pada beberapa contoh, aktivitas keperawatan
terbatas hanyapada menggemgam tangan pasien selama induksi anastesia umum, bertindak dalam
peranannya sebagai perawat scub, atau membantu dalam mengatur posisi pasien diatas meja operasi
dengan menggunakan prinsip-prinsip dasar kesejajaran tubuh.
3. Fase pascaoperatif dimulai dengan masuknya pasien keruang pemulihan dan berakhir dengan evaluasi
tindak lanjut pada tatanan kliniik atau dirumah. Lingkup keperawatan mencakup rentang aktivitas yang
luas selama periode ini. Pada fase pascaoperatif langsung, focus terhadap mengkaji efek dari agen
anastesia dan memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian
berfokus pada penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan rujukan
yang penting untuk penyembuhan yang berhasil dan rehabilitasi diikuti dengan pemulangan. Setiap fase
ditelaah lebih detail lagi dalam unit ini. Kapan berkaitan dan memungkinkan, proses keperawatan
pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi dan evaluasi diuraikan.

2.9 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi tersebut dapat dibagi
menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu:

1. Komplikasi dini.
1. Septikemia dan syok septic.
2. Syok hipovolemik.
3. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multisystem.
4. Abses residual intraperitoneal.
5. Portal Pyemia (misal abses hepar).
2. Komplikasi lanjut.
1. Adhesi.
2. Obstruksi intestinal rekuren.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
A. Identitas

1. Nama pasien
2. Umur
3. Jenis kelamin
4. Suku /Bangsa
5. Pendidikan
6. Pekerjaan
7. Alamat
8. Keluhan utama:

Keluhan utama yang sering muncul adalah nyeri kesakitan di bagian perut sebelah kanan dan menjalar ke
pinggang.

1. Riwayat Penyakit Sekarang

Peritinotis dapat terjadi pada seseorang dengan peradangan iskemia, peritoneal diawali terkontaminasi material,
sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus, dan sirosis hepatis dengan asites.

1. Riwayat Penyakit Dahulu

Seseorang dengan peritonotis pernah ruptur saluran cerna, komplikasi post operasi, operasi yang tidak steril dan
akibat pembedahan, trauma pada kecelakaan seperti ruptur limpa dan ruptur hati.

1. Riwayat Penyakit Keluarga

Secara patologi peritonitis tidak diturunkan, namun jika peritonitis ini disebabkan oleh bakterial primer, seperti:
Tubercolosis. Maka kemungkinan diturunkan ada.

1. Pemeriksaan Fisik
1. Sistem pernafasan (B1)

Pola nafas irregular (RR> 20x/menit), dispnea, retraksi otot bantu pernafasan serta menggunakan otot bantu
pernafasan.

1. Sistem kardiovaskuler (B2)


Klien mengalami takikardi karena mediator inflamasi dan hipovelemia vaskular karena anoreksia dan vomit.
Didapatkan irama jantung irregular akibat pasien syok (neurogenik, hipovolemik atau septik), akral : dingin,
basah, dan pucat.

1. Sistem Persarafan (B3)

Klien dengan peritonitis tidak mengalami gangguan pada otak namun hanya mengalami penurunan kesadaran.

1. Sistem Perkemihan (B4)

Terjadi penurunan produksi urin.

1. Sistem Pencernaan (B5)

Klien akan mengalami anoreksia dan nausea. Vomit dapat muncul akibat proses ptologis organ visceral (seperti
obstruksi) atau secara sekunder akibat iritasi peritoneal. Selain itu terjadi distensi abdomen, bising usus
menurun, dan gerakan peristaltic usus turun (<12x/menit).

1. Sistem Muskuloskeletal dan Integumen (B6)

Penderita peritonitis mengalami letih, sulit berjalan, nyeri perut dengan aktivitas. Kemampuan pergerakan sendi
terbatas, kekuatan otot mengalami kelelahan, dan turgor kulit menurun akibat kekurangan volume cairan.
G. Pengkajian Psikososial
Interaksi sosial menurun terkait dengan keikutsertaan pada aktivitas sosial yang sering dilakukan.
H. Personal Hygiene
Kelemahan selama aktivitas perawatan diri.

1. Pengkajian Spiritual
2. Pemeriksaan penunjang

1) Pemeriksaan Laboratorium

1. Complete Blood Count (CBC), umumnya pasien dengan infeksi intra abdomen menunjukan adanya
luokositosis (>11.000 sel/ L) dengan adanya pergerakan ke bentuk immatur pada differential cell
count. Namun pada pasien dengan immunocompromised dan pasien dengan beberapa tipe infeksi
(seperti fungal dan CMV) keadaan leukositosis dapat tidak ditemukan atau malah leucopenia
2. PT, PTT dan INR
3. Test fungsi hati jika diindikasikan
4. Amilase dan lipase jika adanya dugaan pancreatitis
5. Urinalisis untuk mengetahui adanya penyakit pada saluran kemih (seperti pyelonephritis, renal stone
disease)
6. Cairan peritoneal, cairan peritonitis akibat bakterial dapat ditunjukan dari pH dan glukosa yang rendah
serta peningkatan protein dan nilai LDH

2) Pemeriksaan Radiologi
1. Foto polos
2. USG
3. CT Scan (eg, gallium Ga 67 scan, indium In 111labeled autologous leucocyte scan, technetium Tc
99m-iminoacetic acid derivative scan).
4. Scintigraphy
5. MRI

Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam memperkirakan pasien
dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu:

1. Tiduran telentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior (AP).
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar horizontal proyeksi AP.
3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal, proyeksi AP.

Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup seluruh abdomen beserta
dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film ukuran 35 x 43 cm. Sebelum terjadi peritonitis, jika
penyebabnya adanya gangguan pasase usus (ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen 3 posisi
didapatkan gambaran radiologis antara lain:

1. Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya penjalaran. Gambaran yang
diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal daerah obstruksi, penebalan dnding usus, gambaran seperti
duri ikan (Herring bone appearance).
2. Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus. Dari air fluid level dapat diduga
gangguan pasase usus. Bila air fluid level pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika panjang-
panjang kemungkinan gangguan di kolon. Gambaran yang diperoleh adalah adanya udara bebas infra
diafragma dan air fluid level.
3. Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya air fluid level dan step ladder
appearance. Jadi gambaran radiologis pada ileus obstruktif yaitu adanya distensi usus partial, air fluid
level, dan herring bone appearance.

Sedangkan pada ileus paralitik didapatkan gambaran radiologis yaitu:

1. Distensi usus general, dimana pelebaran usus menyeluruh sehingga kadang-kadang susah
membedakan anatara intestinum tenue yang melebar atau intestinum crassum.
2. Air fluid level.
3. Herring bone appearance.

Bedanya dengan ileus obstruktif: pelebaran usus menyeluruh sehingga air fluid level ada yang pendek-pendek
(usus halus) dan panjang-panjang (kolon) karena diameter lumen kolon lebih lebar daripada usus halus. Ileus
obstruktif bila berlangsung lama dapat menjadi ileus paralitik.
Pada kasus peritonitis karena perdarahan, gambarannya tidak jelas pada foto polos abdomen. Gambaran akan
lebih jelas pada pemeriksaan USG (ultrasonografi).
Gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi.
Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus buntu atau karena sebab lain, tanda
utama radiologi adalah:
1. Posisi tiduran, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line menghilang, dan kekaburan pada
cavum abdomen.
2. Posisi duduk atau berdiri, didapatkan free air subdiafragma berbentuk bulan sabit (semilunair shadow).
3. Posisi LLD, didapatkan free air intra peritonial pada daerah perut yang paling tinggi. Letaknya antara
hati dengan dinding abdomen atau antara pelvis dengan dinding abdomen.
Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu adanya kekaburan pada cavum abdomen, preperitonial
fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal.

3) X. Ray
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan :

1. Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.


2. Usus halus dan usus besar dilatasi.
3. Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.

3.2 Diagnosa

1. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi, demam dan kerusakan jaringan.


2. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia dan muntah.
4. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif.
5. Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan kedalaman pernafasan sekunder distensi abdomen dan
menghindari nyeri.
6. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.

3.3 Intervensi

1. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi, demam dan kerusakan jaringan.

Tujuan: Nyeri klien berkurang


Kriteria hasil :

1. Laporan nyeri hilang/terkontrol


2. Menunjukkan penggunaan ketrampilan relaksasi.
3. Metode lain untuk meningkatklan kenyamanan

Intervensi Keperawatan
Tindakan/Intervensi Rasional
Mandiri:

1. Selidiki laporan nyeri, catat lokasi, 1. Perubahan pada lokasi/intensitas tidak


lama, intensitas (skala 0-10) dan umum tetapi dapat menunjukkan
karakteristiknya (dangkal, tajam, terjadinya komplikasi. Nyeri
cenderung menjadi konstan, lebih
konstan) hebat, dan menyebar ke atas, nyeri
dapat lokal bila terjadi abses. \is
2. Memudahkan drainase cairan/luka
karena gravutasi dan membantu
meminimalkan nyeri karena gerakan.
3. Meningkatkan relaksasi dan mungkin
1. Pertahankan posisi semi Fowler meningkatkan kemampuan koping
sesuai indikasi pasien denagn memfokuskan kembali
perhatian.
4. Menurunkan mual/muntah yang dapat
meningkatkan tekanan atau nyeri
intrabdomen.
1. Berikan tindakan kenyamanan,
contoh pijatan punggung, napas
dalam, latihan relaksasi atau
visualisasi.

1. Berikan perawatan mulut dengan


sering. Hilangkan rangsangan
lingkunagan yang tidak
1. Risiko
menyenangkan
tinggi infeksi
berhubungan
Kolaborasi:
dengan trauma
Berikan obat sesuai indikasi: Menurunkan laju metabolik dan iritasi usus
jaringan.
karena toksin sirkulasi/lokal, yang membantu
1. Analgesik, narkotik menghilangkan nyeri dan meningkatkan Tujuan: Mengurangi
2. Antiemetik, contoh hidroksin penyembuhan. infeksi yang terjadi,
(Vistaril) Catatan: Nyeri biasanya berat dan memerlukan meningkatkan
3. Antipiretik, contoh asetaminofen pengontrol nyeri narkotik, analgesik dihindari kenyamanan pasien.
(Tylenol) dari proses diagnosis karena dapat menutupi Kriteria hasil:
gejala.
Menurunkan mual/munta, yang dapt 1. Meningkatn
meningkatkan nyeri abdomen ya penyembuhan
Menurunkan ketidaknyamanan sehubungan pada waktunya,
dengan demam atau menggigil. bebas drainase
purulen atau eritema, tidak demam.
2. Menyatakan pemahaman penyebab individu / faktor resiko.

Intervensi
Keperawatan: Tindakan Intervensi Rasional
Mandiri:

1. Catat faktor risiko individu contoh


trauma abdomen, apendisitis akut,
dialisa peritoneal. 1. Mempengaruhi pilihan intervensi
2. Kaji tanda vital dengan sering,
catat tidak membaiknya atau
berlanjutnya hipotensi, penurunan
tekanan nadi, takikardia, demam,
takipnea.
3. Catat perubahan status mental 1. Tanda adanya syok septik, endotoksin

(contoh bingung, pingsan). sirkulasi menyebabkan vasodilatasi,


kehilangan cairan dari sirkulasi, dan
rendahnya status curah jantung.
2. Hipoksemia, hipotensi, dan asidosis
1. Catat warna kulit, suhu, dapat menyebabkan penyimpangan
kelembaban. status mental.
3. Hangat, kemerahan, kulit kering
adalah tanda dini septikemia.
Selanjutnya manifestasi termasuk
dingin, kulit pucat lembab dan sianosis
sebagai tanda syok.
4. Oliguria terjadi sebagai akibat
1. Awasi haluaran urine. penurunan perfusi ginjal, toksin dalam
sirkulasi mempengaruhi antibiotik.
5. Mencegah meluas dan membatasi
penyebaran organisme
infektif/kontaminasi silang.

1. Pertahankan teknik aseptik ketat


pada perawatan drein abdomen,
luka insisi/terbuka, dan sisi invasif.
Bersihkan dengan Betadine atau
larutan lain yang tepat kemudia
bilas dengan PZ. 1. Memberikan informasi tentang status
2. Observasi drainase pada luka. infeksi.
2. Mencegah penyebaran, membatasi
pertumbuhan bakteri pada traktus
urinarius.
1. Pertahankan teknik steril bila
pasien dipasang kateter, dan
berikan perawatan kateter/ atau
kebersihan perineal rutin. 1. Menurunkan resiko terpajan
2. Awasi/batasi pengunjung dan staf pada/menambah infeksi sekunder
sesuai kebutuhan. Berikan pada pasien yang mengalami tekanan
perlindungan isolasi bila imun.
diindikasikan.

Kolaborasi:
1. Ambil contoh/awasi hasil 1. Mengidentifikasikan mikroorganisme
pemeriksaan seri darah, urine, dan membantu dalam mengkaji
kultur luka. keefektifan prigram antimikrobial.
2. Dilakukan untuk membuang cairan
dan untuk mengidentifikasi organisme
infeksi sehingga tetapi antibiotik yang
1. Bantu dalam aspirasi peritoneal, tepat dapat diberikan.
bila diindikasikan. 3. Terapi ditujukan pada bakteri anaerob
dan basil aerob gram negatif.Lavase
dapat digunakan untuk membuang
jaringan nekrotik dan mengobati
inflamasi yang terlokalisasi/menyebar
dengan buruk.
4. Pengobatan pilihan (kuratif) pada
1. Berikan antibiotik, contoh
peritonitis akut atau lokal, contoh
gentacimin (Garamycyin),
untuk drainase abses lokal,
amikasin (amikin), Klindamisin
membuang eksudat peritoneal,
(Cleocin). Lavase pritoneal/IV
membuang rupturapendiks/kandung
empedu, mengatasi perforasi ulkus,
atau reseksi usus.

1. Siapkan untuk intervensi bedah


bila diindikasikan

1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia dan muntah.

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan nafsu makan dapat timbul kembali dan status nutrisi terpenuhi.
Kriteria Hasil:

1. Status nutrisi terpenuhi


2. Nafsu makan klien timbul kembali
3. Berat badan normal
4. Jumlah Hb dan albumin normal

Intervensi Keperawatan :
Tindakan Intervensi Rasional
Mandiri:

1. Awasi haluan selang NG, dan catat 1. Jumlah besar dari aspirasi gaster
adanya muntah atau diare. dan muntah atau diare diduga
terjadi obstruksi usus, memerlukan
evaluasi lanjut.
2. Kehilangan atau peningkatan dini
menunjukkan perubahan hidrasi
1. Timbang berat badan tiap hari. tetapi kehilangan lanjut diduga ada
defisit nutrisi.
3. Meskipun bising usus sering tak ada,
inflamasi atau iritasi usus
dapat menyertai
hiperaktivitas usus, penurunan
1. Auskultasi bising usus, catat bunyi
absorpsi air dan diare.
tak ada atau hiperaktif.
4. Adanya kalori (sumber energi) akan
mempercepat proses penyembuhan.
5. Indikasi adekuatnya protein untuk
sistem imun.
6. Menunjukan kembalinya fungsi usus
ke normal
1. Catat kebutuhan kalori yang
dibutuhkan.
2. Monitor Hb dan albumin

1. Kaji abdomen dengan sering untuk


kembali ke bunyi yang lembut,
penampilan bising usus normal, dam
kelancaran flatus.

Kolaborasi:

1. Kolaborasi pemasangan NGT jika 1. Agar nutrisi klien tetap terpenuhi.


klien tidak dapat makan dan minum
peroral.
2. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam
diet. 1. Tubuh yang sehat tidak mudah
untuk terkena infeksi (peradangan).
2. Klien dapat berusaha untuk
memenuhi kebutuhan makan
1. Berikan informasi tentang zat-zat dengan makanan yang bergizi.
makanan yang sangat penting bagi 3. Kekurangan volume cairan
keseimbangan metabolisme tubuh berhubungan dengan kehilangan
volume cairan aktif.

Tujuan: Mengidentifikasi intervensi untuk memperbaiki keseimbangan cairan dan meminimalisir proses
peradangan untuk meningkatkan kenyamanan.
Kriteria hasil:

1. Haluaran urine adekuat dengan berat jenis normal,


2. Tanda vital stabil
3. Membran mukosa lembab
4. Turgor kulit baik
5. Pengisian kapiler meningkat
6. Berat badan dalam rentang normal.

Intervensi keperawatan:
Tindakan Intervensi Rasional
Mandiri:

1. Pantau tanda vital, catat adanya 1. Membantu dalam evaluasi derajat


hipotensi (termasuk perubahan defisit cairan/keefektifan
postural), takikardia, takipnea, penggantian terapi cairan dan
demam. Ukur CVP bila ada. respons terhadap pengobatan.
2. Pertahankan intake dan output yang 2. Menunjukkan status hidrasi
adekuat lalu hubungkan dengan keseluruhan.
berat badan harian.
3. Rehidrasi/ resusitasi cairan

1. Untuk mencukupi kebutuhan cairan


dalam tubuh (homeostatis).
1. Ukur berat jenis urine 2. Menunjukkan status hidrasi dan
perubahan pada fungsi ginjal.
3. Hipovolemia, perpindahan cairan,
dan kekurangan nutrisi mempeburuk
1. Observasi kulit/membran mukosa turgor kulit, menambah edema
untuk kekeringan, turgor, catat jarinagan.
edema perifer/sacral. 4. Menurunkan rangsangan pada
2. Hilangkan tanda bahaya/bau dari gaster dan respons muntah.
lingkungan. Batasi pemasukan es
batu.
3. Ubah posisi dengan sering berikan
perawatan kulit dengan sering, dan 1. Jaringan edema dan adanya
pertahankan tempat tidur kering gangguan sirkulasi cenderung
dan bebas lipatan. merusak kulit

Kolaborasi:
1. Awasi pemerikasaan laboratorium, 1. Memberikan informasi tentang
contoh Hb/Ht, elektrolit, protein, hidrasi dan fungsi organ.
albumin, BUN, kreatinin.
2. Berikan plasma/darah, cairan,
elektrolit.

1. Mengisi/mempertahankan volume
sirkulasi dan keseimbangan
elektrolit. Koloid (plasma, darah)
membantu menggerakkan air ke
dalam area intravaskular dengan
1. Pertahankan puasa dengan aspirasi meningkatkan tekanan osmotik.
nasogastrik/intestinal 2. Menurunkan hiperaktivitas usus dan
kehilangan dari diare.

1. Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan kedalaman pernafasan sekunder distensi abdomen dan
menghindari nyeri.

Tujuan: Pola nafas efektif, ditandai bunyi nafas normal, tekanan O2 dan saturasi O2 normal.

Kriteria Hasil:

1. Pernapasan tetap dalam batas normal


2. Pernapasan tidak sulit
3. Istirahat dan tidur dengan tenang
4. Tidak menggunakan otot bantu napas

Intervensi Keperawatan:
Tindakan Intervensi Rasional
Mandiri:

1. Pantau hasil analisa gas darah dan 1. Indikator hipoksemia; hipotensi,


indikator hipoksemia: hipotensi, takikardi, hiperventilasi, gelisah,
takikardi, hiperventilasi, gelisah, depresi SSP, dan sianosis penting
depresi SSP, dan sianosis. untuk mengetahui adanya syok
akibat inflamasi (peradangan).
2. Gangguan pada paru (suara nafas
tambahan) lebih mudah dideteksi
1. Auskultasi paru untuk mengkaji dengan auskultasi.
ventilasi dan mendeteksi komplikasi 3. Posisi membantu memaksimalkan
pulmoner. ekspansi paru dan menurunkan
2. Pertahankan pasien pada posisi upaya pernafasan, ventilasi
semifowler. maksimal membuka area atelektasis
dan meningkatkan gerakan sekret
kedalam jalan nafas besar untuk
dikeluarkan.
4. Oksigen membantu untuk bernafas
secara optimal.

1. Berikan O2 sesuai program


1. Ansietas
berhubungan
dengan perubahan status kesehatan.

Tujuan: Mengurangi ansietas klien


Kriteria hasil:

1. Mengakui dan mendiskusikan masalah


2. Penampilan wajah tampak rileks
3. Mampu menerima kondisinya

Intervensi:
Tindakan/Intervensi Rasional
1. Evaluasi tingkat pemahaman
klien/orang terdekat tentang
diagnosa.
1. Bila penyangkalan ekstem atau
ansietas mempengaruhi kemajuan
penyembuhan, menghadapi itu klien
perlu dijelaskan dan membuka cara
1. Akui rasa takut/masalah klien dan penyelesaiannya.
dorong mengekspresikan perasaan. 2. Takut/ansietas menurun klien mulai
menerima secara positif kenyataan
dan memiliki kemauan untuk hidup
lagi.
3. Dapat membantu memperbaiki
beberapa perasaan
kontrol/kemandirian pada klien
1. Berikan kesempatan untuk bertanya yang merasa tak berdaya dalam
dan jawab dengan jujur. Yakinkan menerima diagnosa dan
bahwa klien dan perawat pengobatan
mempunyai pemahaman yang sama. 4. Klien sulit berfikir dengan baik bila
2. Terima penyangkalan klien tetapi berada dalam kondisi yang tidak
jangan dikuatkan. nyaman
1. Catat komentar perilaku yang
menunjukkan menerima dan/atau
mengurangi strategi efektif
menerima situasi
2. Libatkan klien/orang terdekat dalam
perencanaan perawatan. Berikan
waktu untuk menyiapkan
pengobatan.

1. Berikan kenyamanan fisik klien


2. Pasien dan orang terdekat
mendengar dan mengasimilasi
informasi baru yang meliputi
perubahan ada gambaran diri dan
pola hidup.
3. Dukungan memampukan klien mulai
membuka/menerima kenyataan
infeksi peritonium dan
pengobatannya. Klien mungkin perlu
waktu untuk mengidentifikasi
perasaan maupun
mengekspresikannya.
4. Membuat kepercayaan dan
menurunkan kesalahan
persepsi/interpretasi terhadap
informasi.

DOWNLOAD : WOC ASKEP PERITONITIS


asuhan keperawatan dengan klien peritonitis
PERITONITIS

A. ANATOMI FISIOLOGI
Peritoneum terdiri dari dua bagian yaitu peritoneum paretal yang melapisi dinding
rongga abdomen dan peritoneum visceral yang melapisi semua organ yang berada dalam
rongga abdomen.Ruang yang terdapat diantara dua lapisan ini disebut ruang peritoneal atau
kantong peritoneum.Pada laki-laki berupa kantong tertutup dan pada perempuan merupakan
saluran telur yang terbuka masuk ke dalam rongga peritoneum, di dalam peritoneum banyak
terdapat lipatan atau kantong. Lipatan besar (omentum mayor) banyak terdapat lemak yang
terdapat disebelah depan lambung. Lipatan kecil (omentum minor) meliputi hati, kurvaturan
minor, dan lambung berjalan keatas dinding abdomen dan membentuk mesenterium usus
halus.Fungsi peritoneum:
1. Menutupi sebagian dari organ abdomen dan pelvis.
2. Membentuk pembatas yang halus sehinggan organ yang ada dalam rongga peritoneum tidak
saling bergesekan.
3. Menjaga kedudukan dan mempertahankan hubungan organ terhadap dinding posterior
abdomen.
4. Tempat kelenjar limfe dan pembuluh darah yang membantu melindungi terhadap infeksi.

B. PENGERTIAN
Peritonitis adalah inflamasi atau peradangan pada selaput peritoneum-lapisan serosa
rongga abdomen. Pasien dengan peritonitis dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan dan
terbatas, atau penyakit berat dan sistemik dengan syok sepsis.Penyebab peritonitis adalah
spontaneus bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hati yang kronik.

C. KLASIFIKASI
Infeksi peritonitis dibagi berdasarkan etiologinya :
a. Peritonitis Primer (spontan)
b. Peritonitis Sekunder
Berkaitan dengan proses patologis pada organ viseral.
c. Peritonitis Tersier
Infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang adekuat.

D. PATOFISIOLOGI
E. ETIOLOGI
1. Infeksi bakteri
a. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
b. Appendisitis yang meradang dan perforasi
c. Tukak peptik (lambung / dudenum)
d. Tukak thypoid
e. Tukak disentri amuba / colitis
f. Tukak pada tumor
g. Salpingitis
h. Divertikulitis
Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta hemolitik,
stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium wechii.
2. Secara langsung dari luar.
Operasi yang tidak steril
Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi peritonitisyang disertai
pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon terhadap benda asing, disebut juga
peritonitis granulomatosa serta merupakan peritonitis lokal.
Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati
Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula peritonitis
granulomatosa.
3. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran
pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama adalah
streptokokus atau pnemokokus.

F. TANDA DAN GEJALA


Syok (neurogenik, hipovolemik atau septik) terjadi pada beberpa penderita peritonitis umum.
Demam
Distensi abdomen
Nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus, atrofi umum, tergantung pada perluasan
iritasi peritonitis.
Bising usus tak terdengar pada peritonitis umum dapat terjadi pada daerah yang jauh dari
lokasi peritonitisnya.
Nausea
Vomiting
Penurunan peristaltik (ileus paralitik)
Peningkatan suhu dan nadi
Peningkatan jumlah leukosit

G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat muncul dari peritonitis adalah :
Eviserasi luka (post operasi)
Pembentukkan abses (post operasi)
Syok akibat septikemi atau hipovolumi
Sepsis .penyebab kematian umum peritonitis
Proses inflamasi dapat menyebabkan obstruksi usus, terutama yang disebabkan oleh
perlekatan usus.

H. PENATALAKSANAAN
a. Penggantian cairan, koloid, dan elektrolit adalah fokus utama penatalaksanaan medis.
Beberapa liter larutan isotonik diberikan. Hipovolemia terjadi karena sejumlah besar cairan
dan elektrolit bergerak dari lumen usus kedalam rongga peritoneal dan menurunkan cairan
dalam ruang vaskuler.
b. Pemberian analgesik untuk mengatasi nyeri.
c. Antiemetik untuk mengatasi mual dan muntah.
d. Intubasi usus dan pengisapan membantu mengurangi distensi abdomen dan meningkatkan
fungsi usus. Cairan dalam rongga abdomen dapat menyebabkan adanya tekanan yang
mengurangi ekspansi paru dehingga menyebabkan distres pernafasan.
e. Terapi oksigen dengan masker atau kanul nasal akan meningkatkan oksigenasi secara
adekuat. Intubasi jalan nafas dan ventilasi kadang dibutuhkan
f. Terpi antibiotik masif biasanya dimulai sejak awal pengobatan peritonitis. Antibiotik
spektrum luas diberikan secara I.V. sampai diketahui organisme penyebab sehingga terapi
antibiotik yang tepat dapat dimulai.
g. Tindakan bedah untuk mengangkat materi yang terinfeksi dan memperbaiki penyebab.
Tindakan diarahkan pada eksisi (apendiks), reseksi dengan atau tanpa anastomosis (usus),
memperbaiki (perforasi), dan drainase (abses). Pada sepsis yang luas peru dibuat diversi
fekal.

I. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Drainase panduan CT-Scan dan USG
Pembedahan
Test laboratorium
Leukositosis
Hematokrit meningkat
Asidosis metabolik
X. Ray
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan :
Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
Usus halus dan usus besar dilatasi.
Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN PERITONITIS

A. PENGKAJIAN
1. Identitas :
Identitas pasien
Identitas Penanggung Jawab
2. Keluhan utama
Pasien peritonitis mengalami nyeri di perut bagian kanan.
3. Riwayat penyakit
Riwayat penyakit sekarang.
Riwayat kesehatan dahulu.
Riwayat kesehatan keluarga.
4. Pola kesehatan :
Aktivitas / istirahat
Penderita peritonitis mengalami letih, kurang tidur, nyeri perut, dengan aktivitas.
Eliminasi
Pasien mengalami penurunan berkemih
Makan dan cairan
Kehilangan nafsu makan, mual/muntah.
Hygiene
Kelemahan selama aktivitas perawatan diri.
Nyeri / kenyamanan
Kulit lecet, kehilangan kekuatan, perubahan dalam fungsi mental.
Interaksi sosial
Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang biasa dilakukan.
5. Pemeriksaan laboratorium
CT-scan dan USG
Terapi antibiotic
Terapi nutrisi dan metabolic
Terapi modulasi respon peradangan
.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dnegan agen cidera kimia pasca operasi.
2. Hipertermi berhubungan dengan medikasi/anastesi.
3. Infeksi risiko tinggi berhbungan dengan trauma jaringan.
4. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan medikasi.
5. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak mampu
dalam mencerna makanan.
6. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif.
7. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
8. Kurang pengetahuan berhubungan dengan salah interpretasi informasi.

C. INTERVENSI
No Diagnosa Tujuan & Kriteris Intervensi Rasional
Keperawatan Hasil
1 Nyeri akut Setelah diberikan
1. Kaji tanda vital 1. Memantau perubahan
b.d cedera tindakan keperawatan dengan sering dan suhu pasien.
kimia pasca selama 3x24 jam catat warna kulit,
2. Membantu mengurangi
operasi. diharapkan nyeri suhu dan demam.
berkurang dengan kelembaban. 3. Memberikan informasi
kriteria: 2. Berikan kompres tentang status infeksi.
TTV normal hangat.
Pasien tampak rileks3. Observasi drainase
Mampu beraktivitas pada luka.
Dapat melakukan
relaksasi
2 Resiko Setelah dilakukan1. Observasi warna 1. Mengindikasikan
kerusakkan tindakan keperawatan dan karakteristik adanya obstruktif.
integritas selama 3x24 jam drainase. 2. Tanda dugaan adanya
kulit b.d diharapkan luka
2. Observasi kulit. abses/pembentukan
medikasi. sembuh dengan fistula yang
kriteria: memerlukan intervensi
Tingkat medik.
penyembuhan luka
cepat.
Kerusakkan kulit
dapat diccegah.
3 Kekurangan Setelah dilakukan1. Tambahkan diet
1. Meningkatkan
volume tindakan keperawatan sesuai toleransi. penggunaan nutrein dan
cairan b.d selama 3x24 jam 2. Timbang berat keseimbangan nitrogen
kehilangan diharapkan luka badan dengan positif pada pasien yang
volume sembuh dengan teratur. tak mampu
cairan aktif kriteria: 3. Observasi kulit/ mengasimilasi nutrein
Pasien dapat membrane turgor dengan normal.
mencerna makanan kulit. 2. Kehilangan /
dengan baik. peningkatan dini
Pasien tidak menunjukkan
mual/muntah. perubahan hidrasi tetapi
kehilangan lanjut
diduga ada deficit
nutrisi.
3. Hipovolemia,
perpindahan cairan &
kekurangan nutrisi
memperburuk turgor
kulit, menambah edema
jaringan.
4 Intoleransi Setelah dilakukan1. Periksa TTV 1. Dapat menunjukkan
aktivitas b/d tindakan keperawatan 2. Evaluasi peningkatan
kelemahan selama 3x24 jam peningkatan toleran dekompesasi
secara diharapkan pasien aktifitas. peritoneum daripada
menyeluruh mencapai peningkatan 3. Berikan bantuan kelebihan aktivitas.
toleransi aktivitas dalam aktivitas
2. Membantu dalam
dengan kriteria: perwatan diri evaluasi derajat
Memenuhi kebutuhan sesuai indikasi. toleransi.
perawatan diri sendiri. 3. Pemenuhan kebutuhan
perawatan diri pasien.
5 Ansietas b.d Setelah dilakukan1. Evaluasi tingkat
1. Ketakutan menjadi
perubahan tindakan keperawatan ansietas. nyeri hebat.
status sosial selama 3x24 jam 2. Berikan informasi 2. Mengetahui apa yang
diharapkan pasien tentang proses diharapkan dapat
mencapai peningkatan penyakit dan menurunkan antesias.
toleransi aktivitas antisipasi tindakan.3. Membatasi kelemahan,
dengan kriteria : 3. Jadwalkan istirahat menghemat energi &
Rasa takut menjadi adekuat dan meningkatkan
berkurang. periode kemampuan koping
Tampak rileks. menghentikan tidur
Tampak sehat
6 Kurang Setelah dilakukan1. Kaji ulang proses
1. Memberikan dasar
pengetahuan tindakan keperawatan penyakit dasar & pengetahuan pada
b.d salah satu selama 3x24 jam harapan untuk pasien yang
interpretasi diharapkan pasien sembuh. memungkinkan
informasi mencapai peningkatan 2.Diskusikan membuat pilihan
toleransi aktivitas program berdasarkan informasi.
dengan kriteria: pengobatan & efek 2. Antibiotik dapat
pasien memahami samping. dilanjutkan setelah
sakit yang dialaminya. 3.Anjurkan pulang, tergantung lama
Pasien mengetahui melakukan perawatan.
cara mengobati aktivitas biasa
3. Mencegah kelemahan,
penyakitnya secara bertahap. meningkatkan perasaan
4.Kaji ulang sehat.
pembahasan 4. Menghindari
aktivitas. peningkatan
5. Lakukan intraabdomen &
penggantian tegangan otot.
balutan secara
5. Menurunkan resiko
aseptic. kontaminasi.
6. Identifikasi gejala
6. Pengenalan dini &
yang memerlukan pengobatan terjadinya
evaluasi medik komplikasi dapat
mencegah cedera
serius.
Asuhan Keperawatan pada pasien peritonitis
Posted on 8 Juni 2012 by cinehel Standar

Rate This

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Peritonium merupakan mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epithelial. Pada permulaan,
mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom. Dari kedua rongga terdapat
entoderm yang merupakan dinding enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi usus. Kedua
rongga mesoderm, dorsal dan ventral usus saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut
kemudian menjadi peritoneum. Peritonium merupakan rongga tempat melekatnya organ-organ
dalam khususnya organ-organ pencernaan. Berdasarkan sifat (vaskularisasi) dan fungsi dari
peritonium, maka dengan adanya kelainan pada organ-organ yang terdapat pada rongga
peritonium, akan mempengaruhi dinding atau rongga peritonium itu sendiri, seperti pada
apendisitis perforasi, perdarahan intraabdomen, obstruksi dan strangulasi jalan cerna. Pada
keadaan atau penyakit tersebut, sering menampakkan adanya gejala akut yang sering disebut
gawat abdomen, keadaan ini memerlukan penaggulangan segera yang sering berupa tindakan
pembedahan.
Peritonitis merupakan peradangan peritonium, selaput tipis yang melapisi dinding abdomen dan
meliputi organ-organ dalam, peradangan sering disebabkan oleh bakteri atau infeksi jamur
membran ini. Peritonium primer disebabkan oleh penyebaran infeksi dari darah atau kelenjar
getah bening ke peritonium, pada kasus primer ini, 90% kasus infeksi disebabkan oleh mikroba,
40% oleh bakteri gram negative, E.Coli 7%, Klebsiela, pneumonia, spesies pseudomonas, proteus
dan gram negatif lain sebanyak 20%, sementara bakteri gram positif yakni 15%, jenis
steptococus, dan golongan stapylococus 3%. Jenis yang lebih umum dari peritonitis, yang disebut
peritonitis sekunder, disebabkan oleh infeksi gastrointestinal (apendisitis perforasi, perforasi
ulkus peptikum, dan duodenum, perforasi kolon) atau saluran bilier, kedua kasus peritonitis
sangat serius dan dapat mengancam kehidupan jika tidak dirawat dengan cepat.
Pada keadaan normal, peritonium resisten terhadap infeksi bakteri, tetapi adanya keadaan seperti
kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, resistensi yang menurun dan adanya benda
asing atau enzim pecerna aktif, merupakan faktor yang mempermudah terjadinya peritonitis.
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan
akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Ketepatan
diagnosis dan penaggulangan tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
2.2 Rumusan Masalah
Apakah pengertian peritonitis?
Apa penyebab atau etiologi dari peritonitis?
Bagaimanakah tanda dan gejala dari peritonitis?
Bagaimana perjalanan penyakit atau patofisiologi dari peritonitis?
Pemeriksaan diagnostik pada peritonitis?
Bagaimana penatalaksanaan pada peritonitis?
2.3 Tujuan
2.3.1 Tujuan Umum
Perawat dapat memberikan asuhan keperawatan dengan tepat, cermat dan benar pada kasus
peritonitis.
2.3.2 Tujuan Khusus
Dapat melakukan pengkajian, analisis dan sintesis masalah keperawatan.
Menentukan rencana tindakan atau intervensi keperawatan secara tepat.
Melakukan tindakan keperawatan dengan baik dan benar.
Mampu mengevalusai tindakan keperawatan yang telah diberikan secara lengkap, akurat dan
relevan.
BAB 2
LAPORAN PENDAHULUAN

2.1 Kosep Dasar Peritonitis


2.1.1 Pengertian
Peradangan peritoneum, suatu lapisan endotelial tipis yang kaya akan vaskularisasi dan aliran
limpa.
Peritonitis adalah suatu respons inflamasi atau supurasi dari peritoneum yang disebabkan oleh
iritasi kimiawi atau invasi bakteri.
2.1.2 Etiologi
a. Infeksi bakteri
Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal, misalnya :
1. Appendisitis yang meradang dan perforasi
2. Tukak peptik (lambung / dudenum)
3. Tukak thypoid
4. Tukan disentri amuba / colitis
5. Tukak pada tumor
6. Salpingitis
7. Divertikulitis
Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus dan b hemolitik, stapilokokus
aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium wechii.
b. Secara langsung dari luar.
1. Operasi yang tidak steril
2. Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi peritonitisyang disertai
pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon terhadap benda asing, disebut juga
peritonitis granulomatosa serta merupakan peritonitis lokal.
3. Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa.
4. Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula peritonitis
granulomatosa.
5. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran
pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama adalah
streptokokus atau pnemokokus.
2.1.3 Klasifikasi
Ditinjau dari penyebab, peritonitis dibagi menjadi:
a. Penyebab primer (peritonitis spontan)
90% kasus infeksi disebabkan oleh mikroba, 40% oleh bakteri gram negative, E.Coli 7%,
Klebsiela, pneumonia, spesies pseudomonas, proteus dan gram negative lain sebanyak 20%,
sementara bakteri gram positif yakni 15%, jenis steptococus, dan golongan stapylococus 3%.
b. Penyebab sekunder
Seperti perforasi apendisitis, perforasi ulkus peptikum, dan duodenum, perforasi kolon akibat
kanker, hernia inkaserata.
2.1.4 Gejala Dan Tanda
a. Syok (neurogenik, hipovolemik atau septik) terjadi pada beberpa penderita peritonitis umum.
b. Demam
c. Distensi abdomen
d. Nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus, atrofi umum, tergantung pada perluasan
iritasi peritonitis.
e. Bising usus tak terdengar pada peritonitis umum dapat terjadi pada daerah yang jauh dari lokasi
peritonitisnya.
f. Nausea
g. Vomiting
h. Penurunan peristaltik.

2.1.5 WOC (Web Of Caution)

Inflamasi, iskemia, infeksi, trauma/perforasi tumor

Kebocoran isi rongga abdomen ke peritoneum

Proliferasi kuman (bakteri)

Menyebar dipermukaan peritoneum

Reaksi inflamasi

Peritonitis (generalisata)

Penurunan fungsi pencernaan

(peristaltic dan bising usus menurun)

Ileus Paralitik

Usus atonia

Distensi abdomen

Tekanan intralumen

Merangsang respons myenterik dan otonomik

Iskemia jaringan/usus
Nosiseptor

Mediator inflamatori

Nekrosis

Nyeri

Gangguan passage usus

Respons mual/muntah

Penyebaran kuman ke peritoneum dan sirkulasi

Septikemia

Demand n supply O2 Inbalance (debt O2)

2.1.6 Test Diagnostik


a. Test laboratorium
1. Leukositosis
2. Hematokrit meningkat
3. Asidosis metabolik
b. X. Ray
1. Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan : Illeus merupakan
penemuan yang tak khas pada peritonitis, usus halus dan usus besar dilatasi, udara bebas (air fluid
level) dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
2.1.7 Penatalaksanaan
a. Pemberian cairan koloid dan kristaloid
b. Pemberian obat symptomatik
c. Dekompresi dan pengisapan membantu dalam menurunkan distensi abdomen.
d. Terapi oksigen sesuai indikasi
e. Tindakan pembedahan
2.1.8 Prognosis
a. Mortalitas tetap tinggi antara 10 % 40 %.
b. Prognosa lebih buruk pada usia lanjut dan bila peritonitis sudah berlangsung lebih dari 48 jam.
c. Lebih cepat diambil tindakan lebih baik prognosanya.
2.1.9 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial atau sekunder, dimana komplikasi tersebut
dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu:
a. Komplikasi dini
1. Septikemia dan syok septik
2. Syok hipovolemik
3. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapt dikontrol dengan kegagalan multi sistem
4. Abses residual intraperitonial
5. Portal Pyemia
b. Komplikasi lanjut
Adhesi
Obstruksi intestinal rekuren
2.2 Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pada Peritonitis.
2.2.1 Pengkajian
a. Identitas Klien: meliputi nama, pendidikan, pekerjaan dan usia biasanya lebih sering terjadi
pada usia dewasa.
b. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama: Klien dengan Peritonitis biasanya mengeluhkan perut kembung, disertai mual
dan muntah serta demam.
b. Riwayat penyakit sekarang:
Sebagian besar atau penyebab terbanyak peritonitis adalah infeksi sekunder dari apendisitis
perforasi, perforasi ulkus peptikum, typhus abdominalis, klien biasanya nampak lemah dengan
disertai demam dan mual, muntah.
c. Riwayat penyakit dahulu:
Klien dengan peritonitis sering terdapat riwayat penyakit saluran cerna atau organ dalam
pencernaan.
d. Riwayat penyakit keluarga
Tidak terdapat korelasi kasus pada anggota keluarga terhadap kejadian peritonitis.
c. Pemeriksaan fisik
B1 (Breath)
Klien dengan peritonitis bisanya menampakkan gejala dispneu, nafas dangkal dan cepat, Ronchi
(-), whezing (-), perkusi sonor, taktil fremitus tidak ada gerakan tertinggal.
B2 (Blood)
Biasanya menampakkan adanya peningkatan nadi, penurunan tekanan darah (pre syok), perfusi
dingin kering, suara jantung normal, S1/S2 tunggal, perkusi pekak pada lapang paru kiri ICS 3-5,
iktus kordis ICS 4-5, balance cairan deficit.
B3 (Brain)
Klien nampak lemah, biasanya mengalami penurunan kesadaran, convulsion (-), pupil isokor,
lateralisasi (-).
B4(Bladder)
Klien nampak mengalami penurunan nafsu makan dan minum, oliguri,distensi/retensi (-).
B5 (Bowel)
Klien nampak mengalami penurunan nafsu makan, abdomen nampak distended, bising usus dan
peristaltik usus menurun, perubahan pola BAB, klien nampak mual dan muntah.
B6 (Bone)
Klien dengan peritonitis biasanya nampak letih dan lesu, klien nampak bedrest, mengalami
penurunan masa dan kekuatan otot.
d. Pemeriksaan Penunjang
1. Test laboratorium
Leukositosis
Hematokrit meningkat
Asidosis metabolik
2. X-Ray
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan : Illeus merupakan
penemuan yang tak khas pada peritonitis, usus halus dan usus besar dilatasi, udara bebas (air fluid
level) dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
e. Masalah Keperawatan Yang Mungkin
Ketidakefektifan pola nafas
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
Hipertermia
Syok hipovolemik atau septik.
Gangguan perfusi jaringan (anemis)
Kerusakan integritas kulit
Defisit perawatan diri
Intoleransi aktifitas.
2.2.2 Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin
Ketidakefektifan pola nafas b.d Demand and supply O2 Inbalance
Resiko tinggi Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d Perubahan fungsi pencernaan
sekunder terhadap pembedahan.
Syok hipovolemik b.d intake in adekuat.
Hipertermia b.d bakterimia atau proses inflamasi sistemik.
2.2.3 Intervensi Keperawatan
No
Diagnosa Keperawatan
Intervensi
Tujuan/Kriteria hasil
Rencana Tindakan
Rasional
1
Gangguan pola nafas b.d Demand and supply O2 Inbalance

Tujuan:
Pola nafas efektif atau adekuat dalam 124 jam
Kriteria hasil:
- Dispneu (-), irama reguler
- RR:12-20x/menit
- SaO2 :>95%.
- BGA dalam batas normal
- TTV dalam batas normal.
- Cianosis (-).

1. Pertahankan patensi jalan nafas.


2. Identifikasi tingkat kebutuhan oksigenasi.
3. Kolaborasi pemberian O2 masker.
4. Monitoring tanda-tanda vital dan saturasi perifer.

5. Kolaborasi pemeriksaan BGA serial.

1. Menjamin ventilasi tetap adekuat


2. Menentukan pemberian bantuan oksigenasi
3. Memenuhi kebutuhan oksigenasi.
4. Memantau perubahan tanda2 kardinal dan oksigenasi.
5. Memantau status oksigenasi.
2
Resiko tinggi Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d Perubahan fungsi pencernaan
sekunder terhadap pembedahan.

Tujuan:
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan dapat dicegah atau diatasi dalam 224 jam
Kriteria hasil:
- BBR:90-100%
- Alb:3,5-5,5 g/dl
- Hb :11-17 g/dl
- Peristatik usus (+)
- Bising usus (+).
- Vomitting (-)
1. Identifikasi tingkat perubahan nutrisi, dan kebutuhan kalori.

2. Kolaborasi pemberian nutrisi enteral (sonde) sesuai dengan tingkat toleransi pencernaan.
3. Kolaborasi pemberian nutrisi panenteral.

4. Kolaborasi pemeriksaan kimia klinik (albumin).


5. Pengukuran BB setiap hari.

6. Observasi fungsi pencernaan.

7. Monitor tanda-tanda vital.


1. Menentukan tingkat toleransi dan kebutuhan nutrisi.
2. Melatih toleransi fungsi pencernaan dan memenuhi kebutuhan nutrisi.

3. Memenuhi kebutuhan nutrisi yang tida tercover via enteral.


4. Memantau biochemical/status nutrisi.
5. Memantau perubahan tingkat pemenuhan nutrisi.
6. Memantau perubahan fungsi pencernaan.
7. Memantau perubahan tanda-tanda kardinal.

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.M
DENGAN PERITONITIS GENERALISATA e.c. ILEUS OBSTRUKSI e.c HERNIA
UMBILIKALIS INKARSERATA + SHOCK SEPSIS dengan PEMASANGAN VENTILATOR
DI RUANG OBSERVASI INTENSIF (ROI) IRD
RSUD. Dr. SOETOMO SURABAYA

Tanggal pengkajian :10 Maret 2010, Pukul: 23.00WIB


Tanggal MRS :10 Maret 2010, Pukul: 13.00 WIB
Tanggal masuk ROI :10 Maret 2010, Pukul: 22.00WIB
NO.REG :11031470
Diagnosa MRS : Hernia Umbilikalis Inkarserata + Ileus Obstruksi + Shock Sepsis

Operasi/tindakan ost Op Explorasi Laparotomy + Herniotomy

3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas Klien
Nama :Ny.M
Umur :44 Tahun
Alamat :Jln. Dupak Magersari Sby
Suku/bangsa :Jawa/Indonesia
Agama :Islam
Pendidikan :SLTA
3.1.2 Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama: tidak terkaji, pasien terpasang ETT (Endo Tracheal Tube) dengan bantuan
ventilator.
b. Riwayat penyakit sekarang:
Anamnesa (pre operatif) :klien datang ke RS.Adi Husada dengan keluhan nyeri perut dan ada
benjolan di pusar yang muncul sejak 6 hari yang lalu disertai nyeri, klien muntah-muntah, BAB
dan flatus terakhir 3 hari yang lalu. Klien MRS di RS. Adi Husada tanggal 9 Maret 2010
kemudian keluarga meminta dirujuk ke RSUD.Dr.Soetomo Surabaya.
c. Riwayat penyakit dahulu:
Pasien mengatakan sebelumnya tidak pernah keluar benjolan di pusar, dan tidak memiliki riwayat
gastritis atau mag.
d. Riwayat penyakit keluarga
Klien dan keluarganya mengatakan bahwa, tidak ada anggota keluarganya yang menderita seperti
penyakit klien saat ini, riwayat hipertensi (-), DM (-).
3.1.3 Pemeriksaan fisik
B1 (Breath)
Pernafasan dengan ETT No.7,0 dibantu dengan ventilator raphael Mode PCV, dengan seeting
PC:14, PEEP:8, F:18X/menit, Trigger:2, I:E:1:2 FiO2:100%.Saturasi perifer 95%, tanda-tanda
vital:RR;22X/menit, irreguler/dangkal, Ronchi +/+, Wheezing:-/-, gerakan dada simetris, sputum
encer, warna pink proty, tidak berbau, reflek batuk (+).
Masalah: Ketidak efektifan bersihan jalan nafas
- Gangguan pertukaran gas
- Ketidakefektifan pola nafas
B2 (Blood)
Klien post op hari ke-0, suara jantung S1/S2 Tunggal, Murmur (-), gallop (-), akral dingin kering,
CRT>2, sianosis (-), anemis (+), Hb:7,5g/dl, TD:93/77 mmHg, N:109X/menit, lemah irreguler,
S:33C (axila), CVP:10 cmH2O/7,6mmHg.
Balance cairan:
Intake
Out put
WB : 400 cc
RL : 1500cc
Pz : 200cc
2100cc
Urine :1420cc
Drain : 250cc
Dekompresi(NGT): 200cc
1870cc
Terpasang double lumen subclavia dextra.
Masalah : Hipotermia
Gangguan perfusi jaringan (anemis)
Resiko Infeksi

B3 (Brain)
Klien nampak lemah, GCS :2X3, convulsion (-), pupil isokor 4/4mm, reflek cahaya(-),
lateralisasi (-).

Masalah enurunan kesadaran


B4(Bladder)
Klien menggunakan Foley Catheter No.16, Hari ke-1, balon fiksasi 15cc, produksi urin
300cc/jam(22.00-23.00wib),kuning jernih, urogenital bersih dan kering, distensi/retensi (-).
Masalah :Resiko infeksi.
B5 (Bowel)
Klien puasa, terpasang NGT No.14, terdapat luka post op eksplorasi laparotomy + herniotomy,
drain satu selang, produksi NGT (+) fecal, produksi drain 400cc (mulai dipasang/op), bising
usus (-), peristaltik(-), luka post op nampak bersih dn tidak nampak rembesan, distended (+), BB
:45 kg.
Masalah: Resiko Tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
Resiko Infeksi sekunder
B6 (Bone)
Klien bed rest (supinasi), oedem ektremitas sup (-), Inf(+), deformity(-), terdapat luka post op di
abdomen, Dekubitus(-)
Masalah: Kerusakan integritas kulit
Defisit perawatan diri
3.1.4 Data pemeriksaan penunjang
a. Terapi: tanggal 10 maret 2010
- Ceftriaxone 21grm
- Ranitidin 350 mg
- Ondancentron 34 mg
- Vascon (0,1mg/cc)1,8cc/jam via S.P
- Tramadol 3x100mg (drip dlm Pz 100cc)
- Alinamin F 31 amp
- Vit C 31 amp
- Mo 1mg/jam/SP
- Lasix 1 mg/jam/SP

b. Laboratorium : tanggal 10 Maret 2010 jm.14.13WIB


BGA:
- PH :7,44
- PCO2 :34mmHg
- PO2 :190mmHg
- HCO3 :23,1mmol/L
- TCO2 :24,1
- BEecf :-1,1
- SaO2 :100%

Darah lengkap :
- Hb :7,5g/dl (11-18g/dl)
- WBC :7,3X103 (5-10103 )
- Ly :21
- Hct :25,6 (35-60)
- MCV :25,6 (80-99)
- MCHC :29,3g/dl (33-37)
- Plt :704 (150-350 x103)
- Pct :515H%
Faal Hemostasis:
- PT :16,6 C:12,1
- APTT :24,8 C:25,6

Kimia klinik/RFL/LFT:
- Creat :4,1mg/dl (0,6-1,1)
- BUN :74 (5-23)
- AST :45 IU/L (5-34)
- ALT :15 IU/L (11-60)
- Tprot :6,0g/dl (3,6-8,3)
- Alb :2,5 g/dl (3,8-5,4)
- T.Bil :0,7 mg/dl
- Dbil :0,2
- In Bil :0,5
- Cl :83,4mmol/L
- Na :130,8
- K :3,03
- Ca :7,8 mg/dl
- Ureum :158,4
- Glob :3,5

c. Radiologi:
USG:(pra operatif)
Tedapat:
- Sludge Gall Bladder
- Myoma Uteri Sub serosa (uk.8,76,4cm)+intramural (uk.2,62,3cm)+adnesa kanan nampak
kista (uk.4,192,64cm)
- Distensi sedang usus dengan penebalan dinding mukosanya, susp.causa inflamation process
serta minimal ascites.
- Hernia umbilikalis
Foto Thorak: Kardio megali dan oedem paru, CTR 63%

3.1.5 Analisis Data


TGL
DATA
ETIOLOGI
MASALAH
11-03-2010

S:-
O:
- Dispneu
- Ronci basah +/+
- RR:22x/menit
- Sekret +, encer, warna pink proty
- Terpasang ETT no.7
- Refleks batuk menurun.
- GCS:2X3

Operasi besar (eksplorasi laparotomy)

Definitive airway (ETT)

Benda asing

Respons inflamasi

(Kesadaran menurun)

Refleks batuk menurun

Akumulasi sekret

Ketidak efektifan bersihan jalan nafas


Ketidak efektifan bersihan jalan nafas
11-03-2010

S:-
O:
- Dispneu
- RR:22x/menit
- Terpasang ventilator:Mode PCV, PC:14, PEEP:8,FiO2 :100%
- SpO2 :95%.

- BGA H :7,44, pCO2 :34, pO2 :190, HCO3 :23,BEecf :-1,1

Oedem paru

Akumulasi cairan interstisiil alveoli

Gangguan difusi O2 dan CO2

Gangguan pertukaran Gas

Gangguan pertukaran Gas

11-03-2010

S:-
O:
- Dispneu
- RR:22x/menit, irreguler,dangkal.
- Terpasang ventilator:Mode PCV, PC:14, PEEP:8,FiO2 :100%, I :E=1 :2

Oedem paru

Akumulasi cairan interstisiil alveoli

Gangguan difusi O2 dan CO2

Gangguan pertukaran Gas

Demand and supply O2 Inbalance

Ketidakefektifan pola nafas


Ketidakefektifan pola nafas
11-03-2010

S:-
O:
- BB:45 Kg
- Alb:2,5 g/dl
- Hb :7,5g/dl
- Pasien puasa.
- NGT(dekompresi):200cc.
- Bising usus (-)
- Peristaltik usus (-)

Ekspl.Laparotomy

Perubahan fungsi pencernaan(digestif, absorbsi)

Pemenuhan metabolisme sel/jaringan

Pembongkaran depo lemak dan atau protein

Resiko tinggi Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


Resiko tinggi Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

3.1.6 Masalah Keperawatan


1. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas
2. Gangguan pertukaran gas
3. Ketidakefektifan pola nafas
4. Hipotermia
5. Gangguan perfusi jaringan (anemis)
6. Resiko infeksi sekunder.
7. Resiko Tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
8. Kerusakan integritas kulit
9. Defisit perawatan diri
3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekret sekunder terhadap penurunan
reflek batuk dan pemasangan ETT.
2. Gangguan pertukaran Gas b.d akumulasi cairan interstisiil alveoli.
3. Ketidakefektifan pola nafas b.d Demand and supply O2 Inbalance
4. Resiko tinggi Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d Perubahan fungsi pencernaan
sekunder terhadap pembedahan.

3.3 Intervensi

No
Diagnosa Keperawatan
Intervensi
Tujuan/Kriteria hasil
Rencana Tindakan
Rasional
1
Ketidak efektifan bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekret sekunder terhadap penurunan reflek
batuk dan pemasangan ETT.

Tujuan:
Bersihan jalan nafas efektif dalam 15 menit
Kriteria hasil:
- Sekret berkurang
- Ronchi -/-
- Refleks batuk adekuat
- RR dalam batas 12-20x/menit.
- TTV dalam batas normal.

1. Identifikasi derajat ketidakefektifan jalan nafas, karakteristik sekret, suara nafas.


2. Kolaborasi nebulisasi (sesuai indikasi).

3. Berikan fisioterapi nafas (fibrasi) dan suctioning.

4. Berikan mobilisasi setiap 2 jam.

5. Kolaborasi mempertahankan pemberian ventilasi mekanik.

1. Menentukan arah tindakan pembebasan airway


2. Mengencerkan dan mengeliminir sekret.
3. Memberi efek fibrasi terhadap sekret dan mengeluarkan sekret
4. Meningkatkan toleransi otot pernafasan dan mencegah atelektasis paru.
5. Memberikan control atau support ventilasi dan oksigenasi

2
Gangguan pertukaran Gas b.d akumulasi cairan interstisiil di alveoli.

Tujuan:
Pertukaran gas efektif atau adekuat dalam 30 menit
Kriteria hasil:
- Dispneu (-), irama reguler
- RR:12-20x/menit
- SpO2 :>95%.
- BGA dalam batas normal
- TTV dalam batas normal.
- Cianosis (-).

1. Pertahankan patensi jalan nafas.


2. Identifikasi tingkat kebutuhan oksigenasi.
3. Kolaborasi mempertahankan ventilasi mekanik.
4. Monitoring tanda-tanda vital dan saturasi perifer.

5. Kolaborasi pemeriksaan BGA serial.

1. Menjamin ventilasi tetap adekuat


2. Menentukan pemberian bantuan oksigenasi
3. Mengontrol atau support ventilasi terhadap klien.
4. Memantau perubahan tanda2 kardinal dan oksigenasi.
5. Memantau status oksigenasi.
3
Resiko tinggi Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d Perubahan fungsi pencernaan
sekunder terhadap pembedahan.
Tujuan:
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan dapat dicegah atau diatasi dalam 224 jam
Kriteria hasil:
- BBR:90-100%
- Alb:3,5-5,5 g/dl
- Hb :11-17 g/dl
- Peristatik usus (+)
- Bising usus (+).
- Klien dapat BAB.
- Retensi NGT (-)
- Vomitting (-)

1. Identifikasi tingkat perubahan nutrisi, dan kebutuhan kalori.

2. Kolaborasi pemberian nutrisi enteral (sonde) sesuai dengan tingkat toleransi pencernaan.
3. Kolaborasi pemberian nutrisi panenteral dan tranfusi albumin.
4. Kolaborasi pemeriksaan kimia klinik (albumin post tranfusi).
5. Ukur Berat Badan bila memungkinkan.

6. Observasi fungsi pencernaan.

7. Monitor tanda-tanda vital.


1. Menentukan tingkat toleransi dan kebutuhan nutrisi.
2. Melatih toleransi fungsi pencernaan dan memenuhi kebutuhan nutrisi.

3. Memenuhi kebutuhan nutrisi yang tida tercover via enteral.


4. Memantau biochemical/status nutrisi.

5. Memantau perubahan tingkat pemenuhan nutrisi.


6. Memantau perubahan fungsi pencernaan.
7. Memantau perubahan tanda-tanda kardinal.

3.4 Implementasi Dan Evaluasi


No
Diagnosa Kep.
Tanggal/Jam
Implementasi
Tanggal/Jam
Evaluasi
TTD
1
Ketidak efektifan bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekret sekunder terhadap penurunan reflek
batuk dan pemasangan ETT.

11-03-2010/
Pkl :01.00-01.30
1. Melakukan observasi suara nafas, irama, kedalaman, produksi sputum dan saturasi oksigen.
2. Memberi posisi slight head up/semifowler.
3. Melakukan fisioterapi nafas dan suctioning
4. Kolaborasi mempertahankan setting ventilator (PCV, PC:14, PEEP:8, F:18X/menit, Trigger:2,
I:E=1:2, FiO2:100%)
11-03-2010/
Pkl :02.00-02.15
S:-
O:
- Dispneu
- Ronci basah +/+
- RR:18x/menit
- Sekret +, encer, warna pink proty
- SpO2 :95%.
- Refleks batuk menurun.
- GCS:23
A:Masalah belum teratasi
P:Intervensi no:1,2,3,5 dipertahankan.

2
Gangguan pertukaran Gas b.d akumulasi cairan interstisiil di alveoli.

11-03-2010/
Pkl :02.15 02.40
1. Mempertahankan patensi jalan nafas.
2. Mempertahankan posisi semifowler.
3. Kolaborasi mempertahankan ventilasi mekanik (PCV, PC:14, PEEP:8, F:18X/menit, Trigger:2,
I:E=1:2, FiO2:100%).
4. Monitoring tanda-tanda vital dan saturasi perifer.
5. Mengambil darah untuk pemeriksaan BGA dan elektrolit.

11-03-2010/
Pkl :02.40-02.50
S:-
O:
- Dispneu
- RR:19x/menit
- N:100X/menit
- TD:113/77mmHg
- Terpasang ventilator:Mode PCV, PC:14, PEEP:8,FiO2 :100%
- SpO2 :95%.

- BGA H :7,41,pCO2 :58, pO2 :77, ,BEecf:12,2


A:Masalah belum teratasi
P:Intervensi No:1,2,3,4 dilanjutkan.

3
Resiko tinggi Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d Perubahan fungsi pencernaan
sekunder terhadap pembedahan
11-03-2010/
Pkl :03.00-03.20
1. Identifikasi tingkat perubahan nutrisi.
2. Kolaborasi pemberian nutrisi panenteral D5%.
3. Kolaborasi memberikan injeksi Ranitidin 50 mg (bolus) dan Alinamin F 1 amp (bolus).
4. Mempertahankan NGT (dekompresi).
Observasi fungsi pencernaan.
6. Monitor tanda-tanda vital.
11-03-2010/
Pkl :03.30-03.20
S:-
O:
- Klien puasa
- Bising usus (-)
- Peristaltik usus (-)
- BB:45 Kg
- Alb:2,5 g/dl
- Hb :7,5g/dl
- NGT(dekompresi):200cc.
A:Masalah belum teratasi
P:Intervensi No.2,3,4,5,6& dilanjutkan.

3
Resiko tinggi Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d Perubahan fungsi pencernaan
sekunder terhadap pembedahan
12-03-2010/
Pkl :08.00-14.00
2. Kolaborasi pemberian nutrisi panenteral D5%.
3. Kolaborasi memberikan injeksi Ranitidin 50 mg (bolus) dan Alinamin F 1 amp (bolus).
4. Mempertahankan NGT (dekompresi).
5. Observasi fungsi pencernaan.
6. Monitor tanda-tanda vital.
7. Kolaborasi dalam pemberian Albumin 20% 100 cc.
8. Kolaborasi dalam pemberian transfusi PRC 2 kalf (per kalf 350 cc).
12-03-2010/
Pkl :11.00
S:-
O:
- Klien puasa
- Bising usus (-)
- Peristaltik usus (-)
- BB:45 Kg
- Alb:3,0 g/dl
- Hb :10,0 g/dl
- NGT(dekompresi):200cc.
A:Masalah teratasi
P:Intervensi dipertahankan

BAB 4
PEMBAHASAN

4.1 Ketidakefektifan bersihan jalan nafas


Saluran pernafasan dari hidung sampai bronkhiolus dilapisi oleh membran mukosa yang bersilia.
Ketika udara masuk ke dalam rongga hidung udara tersebut disaring, dihangatkan dan
dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari
epitel toraks bertingkat, bersilia dan bersel goblet. Permukaan epitel diliputi oleh lapisan mukus
yang disekresi oleh sel goblet dan kelenjar mukosa. Trakea disokong oleh cincin tulang rawan
berbentuk seperti sepatu kuda yang panjangnya kurang lebih 5 inci. Permukaan posterior agak
pipih dan letaknya tepat didepan esofagus. Akibatnya, jika suatu pipa endotrakeal (ET) bulat yang
kaku dengan balon yang digembungkan dimasukkan selama ventilasi mekanik, dapat timbul erosi
di posterior dan membentuk fistula trakeoesofagel. Responas inflamasi terhadap erosi saluran
nafas, akan menyebabkan produksi sekret yang banyak, hal ini akan menyebabkan sumbatan
jalan nafas (parsial atau total), terutama pada pasien dengan penurunan kesadaran dan refleks
batuk.
Fungsi utama respirasi adalah pertukaran O2 dan CO2 antara darah dan udara pernafasan. Fungsi
tambahan ialah pengendalian keseimbangan asam basa, metabolisme hormon dan pembuangan
partikel. Untuk dapat menilai fungsi respirasi adekuat atau ada gangguan, hal yang perlu
diperhatikan adalah bersihan jalan nafas (airway) merupakan hal terpenting yang perlu
diperhatikan sebelum akhirnya menilai fungsi pernafasan dan sirkulasi, karena dengan adanya
sumbatan jalan nafas, suplai atau ventilasi gas akan terganggu, yang pada akhirnya akan
mempengaruhi ketersediaan O2 paru dan mengakibatkan ketidak seimbangan penggunaan O2
(perspirasi) dan suplai O2, yang berikutnya menyebabkan perubahan keseimbangan asam basa
cairan tubuh. Pemasangan ETT merupakan langkah pembebasan jalan nafas secara definitif
(definitive airway), dengan bantuan atau kontrol fungsi pernafasan dengan ventilasi mekanik,
disisi lain yang perlu diperhatikan adalah ketepatan pemasangan ETT, adanya milking atau
kingking dari ETT, serta efek pemasangan ETT terhadap airway. Klien dengan penurunan
kesadaran yang disertai penurunan refleks batuk seperti pada pasien operasi besar saluran
pecernaan (eksplorasi laparotomy), akan mudah mengalami gangguan saluran jalan nafas
(akumulasi sekret). Berbekal pengetahuan yang memadai, perawat akan mampu berfikir secara
komprehensif (memadukan pengetahuan teknikal dan intelektual) dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien. Klien dengan peritonitis generalisata post op eksplorasi laparotomy
merupakan tantangan bagi perawat untuk dapat mengaktualisasi kemampuannya dalam
memberikan asuhan mkeperawatan, karena klien dengan post operasi besar, membutuhkan
perawatan total, yang melibatkan semua sistem tubuh. Berbekal terminologi keperawatan yang
terdiri dari lima proses keperawatan, perawat dapat memberikan asuhan keperawatan secara
paripurna, dengan memperhatikan unsur specific, measurable, achievable, reasonable dan timing,
artinya tindakan keperawatan yang diberikan adalah spesifik terhadap masalah yang dihadapi
klien, tindakan yang dilakukan dapat diukur dan dapat dievaluasi, tindakannnya beralasan dan
terdapat target waktu dalam mengevaluasi. Mengevaluasi untuk melihat sejauh mana tingkat
keberhasilan tindakan yang telah diberikan, apakah perlu dilanjutkan, dimodifikasi atau
dihentikan.
Pada kasus kelolaan, didapatkan bahwa klien mengalami ketidakefektifan bersihan jalan nafas
berhubungan dengan akumulasi sekret sekunder terhadap penurunan kesadaran (refleks batuk),
yang dipersulit dengan adanya odem paru, setelah diberikan asuhan keperawatan selama 2 hari
klien menampakkan adanya kemajuan pada refleks batuk, meskipun demikian klien tetap dibantu
fisioterapi nafas berupa fibrasi dan suctioning, namun yang perlu diperhatikan adalah adanya
oedem paru, akan sangat kontradiksi artinya semakin sering disuction (disedot), cairan paru atau
sekret akan semakin banyak, oleh karena itu suctioning diberikan sesuai indikasi dan oedem
parunya dikoreksi.
4.2 Gangguan Pertukaran Gas
Proses fisiologi pernafasan yaitu proses O2 dipindahkan dari udara ke dalam jaringan-jaringan,
dan CO2 dikeluarkan ke udara ekspirasi. Secara fisiologi sistem respirasi dibagi menjadi bagian
konduksi dari ruang hidung sampai bronkioli terminalis dan bagian respirasi terdiri dari bronkioli
respiratorius sampai alveoli. Paru kanan terdiri dari tiga lobus (atas, tengah dan bawah) dan paru
kiri dua lobus (atas dan bawah). Oksigen pada proses pernafasan dipindahkan dari udara luar ke
dalam jaringan melalui tiga stadium, stadium pertama adalah ventilasi yaitu masukya campuran
gas-gas kedalam dan keluar paru. Stadium kedua adalah transportasi yang ditinjau dari beberapa
aspek yaitu difusi gas-gas antara alveoli dan kapiler paru dan antara darah sistemik dan sel-sel
jaringan, distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan penyesuaiannya dengan distribusi udara
dalam alveolus-alveolus, reaksi kimia dan fisis dari O2 dan CO2 dengan darah. Stadium ketiga
adalah Respirasi sel atau respirasi interna yaitu saat zat-zat dioksidasi untuk mendapatkan energi,
dan CO2 terbentuk sebagai sampah proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru (Price &
Wilson, 2006:743).
Pada kasus kelolaan, didapatkan bahwa klien mengalami gangguan pertukaran gas, hal ini dapat
dilihat dari hasil analisa gas darah, dan saturasi perifer. Klien menggunakan ventilasi mekanik
dengan mode kontrol, yang artinya klien tidak dapat bernafas secara sendiri (belum adekuat).
Dengan menjaga patensi jalan nafas dan setelah odem parunya terkoreksi dengan baik,
diharapkan fungsi difusi atau pertukaran gas dapat kembali secara adekuat. Dengan adanya
kolaborasi yang intens antara perawat dengan tim medis, untuk mempertahankan patensi jalan
nafas dan bantuan ventilasi mekanik, klien akan menunjukkan perubahan klinis yang baik.

BAB 5
PENUTUP

5.1 |Kesimpulan
Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
1. Masalah ketidak efektifan bersihan jalan nafas sudah teratasi sebagian dan rencana tindakan
dilanjutkan.
2. Gangguan pertukaran gas sudah membaik setelah oedem parunya menunjukkan perbaikan.
3. Ketidakefektifan pola nafas sudah menunjukkan perbaikan.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan dapat dicegah, dan intervensi dipertahankan.
5.2 Saran
1. Laporan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi dan acuan dalam melakukan asuhan
keperawatan pada klien dengan peritonitis generalisata post op eksplorasi laparotomy.
2. Instansi rumah sakit mampu menggunakan laporan asuhan keperawatan perawat pelatihan ICU
sebagaimana mestinya, dan guna menunjang pelayanan keperawatan yang optimal.
3. Perawat pelatihan ICU selanjutnya diharapkan dapat memberikan asuhan keperawatan pada
klien peritonitis generalisata post op eksplorasi laparotomy dengan pertimbagan ALOS (Average
Lenght Of Stay) yang lebih pendek dan meminimalkan INOS (Infeksi Nosokomial).
Melakukan Asuhan Keperawatan (Askep) merupakan aspek legal bagi seorang perawat
walaupun format model asuhan keperawatan di berbagai rumah sakit berbeda-beda. Seorang
perawat Profesional di dorong untuk dapat memberikan Pelayanan Kesehatan seoptimal
mungkin, memberikan informasi secara benar dengan memperhatikan aspek legal etik yang
berlaku. Metode perawatan yang baik dan benar merupakan salah satu aspek yang dapat
menentukan kualitas asuhan keperawatan (askep) yang diberikan yang secara langsung
maupun tidak langsung dapat meningkatkan brand kita sebagai perawat
profesional.Pemberian Asuhan keperawatan pada tingkat anak, remaja, dewasa, hingga
lanjut usia hingga bagaimana kita menerapkan manajemen asuhan keperawatan secara tepat
dan ilmiah diharapkan mampu meningkatkan kompetensi perawat khususnya di indonesia
ASUHAN KEPERAWATAN PERITONITIS
PENGERTIAN
Peradangan peritoneum, suatu lapisan endotelial tipis yang kaya akan vaskularisasi dan aliran
limpa.
ETIOLOGI
1. Infeksi bakteri
Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
Appendisitis yang meradang dan perforasi
Tukak peptik (lambung / dudenum)
Tukak thypoid
Tukan disentri amuba / colitis
Tukak pada tumor
Salpingitis
Divertikulitis
Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus dan hemolitik,
stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium wechii.
2. Secara langsung dari luar.
Operasi yang tidak steril
Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi peritonitisyang
disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon terhadap benda
asing, disebut juga peritonitis granulomatosa serta merupakan peritonitis lokal.
Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati
Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula
peritonitis granulomatosa.
3. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran
pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama
adalah streptokokus atau pnemokokus.
GEJALA DAN TANDA
Syok (neurogenik, hipovolemik atau septik) terjadi pada beberpa penderita peritonitis
umum.
Demam
Distensi abdomen
Nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus, atrofi umum, tergantung pada
perluasan iritasi peritonitis.
Bising usus tak terdengar pada peritonitis umum dapat terjadi pada daerah yang jauh dari
lokasi peritonitisnya.
Nausea
Vomiting
Penurunan peristaltik.
PATOFISIOLOGI
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi rongga abdomen ke dalam rongga abdomen,
biasanya diakibatkan dan peradangan iskemia, trauma atau perforasi tumor, peritoneal
diawali terkontaminasi material.
Awalnya material masuk ke dalam rongga abdomen adalah steril (kecuali pada kasus
peritoneal dialisis) tetapi dalam beberapa jam terjadi kontaminasi bakteri. Akibatnya timbul
edem jaringan dan pertambahan eksudat. Caiaran dalam rongga abdomen menjadi keruh
dengan bertambahnya sejumlah protein, sel-sel darah putih, sel-sel yang rusak dan darah.
Respon yang segera dari saluran intestinal adalah hipermotil tetapi segera dikuti oleh ileus
paralitik dengan penimbunan udara dan cairan di dalam usus besar.
TEST DIAGNOSTIK
1. Test laboratorium
Leukositosis
Hematokrit meningkat
Asidosis metabolik
2. X. Ray
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan :
Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
Usus halus dan usus besar dilatasi.
Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
PROGNOSIS
Mortalitas tetap tinggi antara 10 % - 40 %.
Prognosa lebih buruk pada usia lanjut dan bila peritonitis sudah berlangsung lebih dari 48
jam.
Lebih cepat diambil tindakan lebih baik prognosanya.
LAPARATOMI
Pengertian
Pembedahan perut sampai membuka selaput perut.
Ada 4 cara, yaitu;
1. Midline incision
2. Paramedian, yaitu ; sedikit ke tepi dari garis tengah ( 2,5 cm), panjang (12,5 cm).
3. Transverse upper abdomen incision, yaitu ; insisi di bagian atas, misalnya pembedahan
colesistotomy dan splenektomy.
4. Transverse lower abdomen incision, yaitu; insisi melintang di bagian bawah 4 cm di atas
anterior spinal iliaka, misalnya; pada operasi appendictomy.
Indikasi
1. Trauma abdomen (tumpul atau tajam) / Ruptur Hepar.
2. Peritonitis
3. Perdarahan saluran pencernaan.(Internal Blooding)
4. Sumbatan pada usus halus dan usus besar.
5. Masa pada abdomen
Komplikasi
1. Ventilasi paru tidak adekuat
2. Gangguan kardiovaskuler : hipertensi, aritmia jantung.
3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
4. Gangguan rasa nyaman dan kecelakaan
Latihan-latihan fisik
Latihan napas dalam, latihan batuk, menggerakan otot-otot kaki, menggerakkan otot-otot
bokong, Latihan alih baring dan turun dari tempat tidur. Semuanya dilakukan hari ke 2 post
operasi.
POST LAPARATOMI
Perawatan post laparatomi adalah bentuk pelayanan perawatan yang diberikan kepada pasien-
pasien yang telah menjalani operasi pembedahan perut.
Tujuan perawatan post laparatomi;
1. Mengurangi komplikasi akibat pembedahan.
2. Mempercepat penyembuhan.
3. Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi.
4. Mempertahankan konsep diri pasien.
5. Mempersiapkan pasien pulang.
Komplikasi post laparatomi;
1. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah operasi. Bahaya besar
tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah vena dan ikut
aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati, dan otak.
Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif dini dan kaos kaki
TED yang dipakai klien sebelum mencoba ambulatif.
2. Buruknya intergriats kulit sehubungan dengan luka infeksi.
Infeksi luka sering muncul pada 36 - 46 jam setelah operasi. Organisme yang paling
sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aurens, organisme; gram positif.
Stapilokokus mengakibatkan pernanahan.
Untuk menghindari infeksi luka yang paling penting adalah perawatan luka dengan
memperhatikan aseptik dan antiseptik.
3. Buruknya integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau eviserasi.
Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka.
Eviserasi luka adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi.
Faktor penyebab dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu
pembedahan, ketegangan yang berat pada dinding abdomen sebagai akibat dari batuk dan
muntah.
Proses penyembuhan luka
Fase pertama
Berlangsung sampai hari ke 3. Batang lekosit banyak yang rusak / rapuh. Sel-sel darah
baru berkembang menjadi penyembuh dimana serabut-serabut bening digunakan sebagai
kerangka.
Fase kedua
Dari hari ke 3 sampai hari ke 14. Pengisian oleh kolagen, seluruh pinggiran sel epitel
timbul sempurna dalam 1 minggu. Jaringan baru tumbuh dengan kuat dan kemerahan.
Fase ketiga
Sekitar 2 sampai 10 minggu. Kolagen terus-menerus ditimbun, timbul jaringan-jaringan
baru dan otot dapat digunakan kembali.
Fase keempat
Fase terakhir. Penyembuhan akan menyusut dan mengkerut.
Intervensi untuk meningkatkan penyembuhan
1. Meningkatkan intake makanan tinggi protein dan vitamin c.
2. Menghindari obat-obat anti radang seperti steroid.
3. Pencegahan infeksi.
Pengembalian Fungsi fisik.
Pengembalian fungsi fisik dilakukan segera setelah operasi dengan latihan napas dan batuk
efektf, latihan mobilisasi dini.
Mempertahankan konsep diri.
Gangguan konsep diri : Body image bisa terjadi pada pasien post laparatomy karena adanya
perubahan sehubungan dengan pembedahan. Intervensi perawatan terutama ditujukan pada
pemberian support psikologis, ajak klien dan kerabat dekatnya berdiskusi tentang perubahan-
perubahan yang terjadi dan bagaimana perasaan pasien setelah operasi.
Pengkajian
Perlengkapan yang dilakukan pada pasien post laparatomy, adalah;
1. Respiratory
Bagaimana saluran pernapasan, jenis pernapasan, bunyi pernapasan.
2. Sirkulasi
Tensi, nadi, respirasi, dan suhu, warna kulit, dan refill kapiler.
3. Persarafan : Tingkat kesadaran.
4. Balutan
Apakah ada tube, drainage ?
Apakah ada tanda-tanda infeksi?
Bagaimana penyembuhan luka ?
5. Peralatan
Monitor yang terpasang.
Cairan infus atau transfusi.
6. Rasa nyaman
Rasa sakit, mual, muntah, posisi pasien, dan fasilitas ventilasi.
7. Psikologis : Kecemasan, suasana hati setelah operasi.
Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman, abdomen tegang sehubungan dengan adanya rasa nyeri di
abdomen.
2. Potensial terjadinya infeksi sehubungan dengan adanya sayatan / luka operasi laparatomi.
3. Potensial kekurangan caiaran sehubungan dengan adanya demam, pemasukkan sedikit dan
pengeluaran cairan yang banyak.
Tindakan keperawatan post operasi:
1. Monitor kesadaran, tanda-tanda vital, CVP, intake dan output
2. Observasi dan catat sifat darai drain (warna, jumlah) drainage.
3. Dalam mengatur dan menggerakan posisi pasien harus hati-hati, jangan sampai drain
tercabut.
4. Perawatan luka operasi secara steril.
Evaluasi
1. Tanda-tanda peritonitis menghilang yang meliputi :
Suhu tubuh normal
Nadi normal
Perut tidak kembung
Peristaltik usus normal
Flatus positif
Bowel movement positif
2. Pasien terbebas dari rasa sakit dan dapat melakukan aktifitas.
3. Pasien terbebas dari adanya komplikasi post operasi.
4. Pasien dapat mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit dan mengembalikan pola
makan dan minum seperti biasa.
5. Luka operasi baik.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Dr. Sutisna Himawan (editor). Kumpulan Kuliah Patologi. FKUI
Brunner / Sudart. Texbook of Medical Surgical Nursing Fifth edition IB. Lippincott
Company.Philadelphia. 1984.
Soeparman, dkk. Ilmu Penyakit Dalam : Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1987, Edisi II.
ARTIKEL BERKAITAN

Anda mungkin juga menyukai