BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
1) Mengetahui anatomi dari organ peritoneum.
2) Mengetahui definisi peritonitis.
3) Mengetahui etiologi peritonitis.
4) Mengetahui klasifikasi dari peritonitis.
5) Mengetahui patofisiologi dari peritonitis.
6) Mengetahui manifestasi Klinis pada peritonitis.
7) Mengetahui pemeriksaan diagnostic pada peritonitis.
8) Mengetahui penatalaksanaaan pada peritonitis.
9) Mengetahui komplikasi pada peritonitis.
10) Mendiskusikan asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien dengan peritonitis.
1.4 Manfaat
1) Memahami anatomi dari organ peritoneum.
2) Memahami definisi peritonitis.
3) Memahami etiologi peritonitis.
4) Memahami klasifikasi dari peritonitis.
5) Memahami patofisiologi dari peritonitis.
6) Memahami manifestasi Klinis pada peritonitis.
7) Memahami pemeriksaan diagnostic pada peritonitis.
8) Memahami penatalaksanaaan pada peritonitis.
9) Memahami komplikasi pada peritonitis.
10) Menyimpulkan asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien dengan peritonitis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Definisi
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum-lapisan membrane serosa rongga abdomen dan meliputi visera
merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis atau kumpulan tanda dan
gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda umum inflamasi.
Pasien dengan peritonitis dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan dan terbatas, atau penyakit berat dan
sistemikengan syok sepsis.
Infeksi peritonitis terbagi atas penyebab perimer (peritonitis spontan), sekunder (berkaitan dengan proses
patologis pada organ visceral), atau penyebab tersier (infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang
adekuat). Infeksi pada abdomen dikelompokkan menjadi pertitonitis infeksi (umum) dan abses abdomen (local
infeksi peritonitis relative sulit ditegakkan dan sangat bergantung dari penyakit yang mendasarinya. Penyebab
peritonitis ialah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hati yang kronik. Penyebab lain peritonitis
sekunder ialah perforasi apendisitis, perforasi ulkus peptikum dan duodenum, perforasi kolon akibat
diverdikulitis, volvulus dan kanker, dan strangulasi kolon asendens. Penyebab iatrogenic umumnya berasal dari
trauma saluran cerna bagian atas termasuk pancreas, saluran empedu dan kolon kadang juga dapat terjadi dari
trauma endoskopi. Jahitan oprasi yang bocor (dehisensi) merupakan penyebab tersering terjadinya peritonitis.
Sesudah operasi, abdomen efektif untuk etiologi noninfeksi, insiden peritonitis sekunder (akibat pecahnya jahitan
operasi seharusnya kurang dari 2%. Operasi untuk penyakit inflamasi (misalnya apendisitis, divetikulitis,
kolesistitis) tanpa perforasi berisiko kurang dari 10% terjadinya peritonitis sekunder dan abses peritoneal. Risiko
terjadinya peritonitis sekunder dan abses makin tinggi dengan adanya kterlibatan duodenum, pancreas perforasi
kolon, kontaminasi peritoneal, syok perioperatif, dan transfuse yang pasif.
2.3 Etiologi
1. Infeksi bakteri
1. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
2. Appendisitis yang meradang dan perforasi
3. Tukak peptik (lambung/dudenum)
4. Tukak thypoid
5. Tukan disentri amuba/colitis
6. Tukak pada tumor
7. Salpingitis
8. Divertikulitis
Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta hemolitik, stapilokokus aurens,
enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium wechii.
2.4 Klasifikasi
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum peritoneum dan tidak
ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus
atau Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
a) Spesifik: misalnya Tuberculosis
b) Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis dan Tonsilitis.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intraabdomen,
imunosupresi dan splenektomi.
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik,
dan sirosis hepatis dengan asites.
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada
umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme
dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakteri anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar
pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi.
Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis. Kuman dapat
berasal dari:
1. Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum peritoneal.
2. Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan oleh bahan kimia, perforasi
usus sehingga feces keluar dari usus.
3. Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya appendisitis.
4. Peritonitis tersier
2.5 Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah
(abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya
sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap
sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit
cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai
mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke
perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi
dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh
permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga
peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen
termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan
suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen,
membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul
peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus
paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus,
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-
lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi
usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik
(sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat
berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat
total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi
yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran
bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.
2.6 Manifestasi Klinis
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda-tanda rangsangan peritonium.
Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara
bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus.
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi dan
penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan
pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan,
bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas,
tes psoas, atau tes lainnya.
Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen (akut abdomen) dengan nyeri yang
tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum visceral) yang makin lama makin jelas lokasinya (peritoneum
parietal). Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau pasien yang sepsis
bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya
memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena
mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan atau tegang
karena iritasi peritoneum. Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat
pelvic inflammatoru disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita dalam
keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita
dengan penurunan kesadaran (misalnya trauma cranial,ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan
analgesic), penderita dengan paraplegia dan penderita geriatric.
2.7 Pemeriksaan Diagnostik
1. Test laboratorium
1. Leukositosis
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan
banyak limfosit, basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi
memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan
didapat.
1. Hematokrit meningkat
2. Asidosis metabolic (dari hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien peritonitis didapatkan PH =7.31,
PCO2= 40, BE= -4 )
3. X. Ray
3. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam memperkirakan pasien
dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :
1. Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior.
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar dari arah horizontal
proyeksi anteroposterior.
3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal proyeksi anteroposterior.
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup seluruh abdomen beserta
dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film ukuran 35x43 cm. Sebelum terjadi peritonitis, jika
penyebabnya adanya gangguan pasase usus (ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen 3 posisi
didapatkan gambaran radiologis antara lain:
1) Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya penjalaran. Gambaran yang
diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal daerah obstruksi, penebalan dinding usus, gambaran seperti duri
ikan (Herring bone appearance).
2) Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus. Dari air fluid level dapat diduga
gangguan pasase usus. Bila air fluid level pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika panjang-panjang
kemungkinan gangguan di kolon.Gambaran yang diperoleh adalah adanya udara bebas infra diafragma dan air
fluid level.
3) Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya air fluid level dan step ladder
appearance.
2.8 Penatalaksanaan
Management peritonitis tergantung dari diagnosis penyebabnya. Hampir semua penyebab peritonitis memerlukan
tindakan pembedahan (laparotomi eksplorasi).
Pertimbangan dilakukan pembedahan a.l:
1. Pada pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang meluas, nyeri tekan terutama jika meluas,
distensi perut, massa yang nyeri, tanda perdarahan (syok, anemia progresif), tanda sepsis (panas
tinggi, leukositosis), dan tanda iskemia (intoksikasi, memburuknya pasien saat ditangani).
2. Pada pemeriksaan radiology didapatkan pneumo peritoneum, distensi usus, extravasasi bahan kontras,
tumor, dan oklusi vena atau arteri mesenterika.
3. Pemeriksaan endoskopi didapatkan perforasi saluran cerna dan perdarahan saluran cerna yang tidak
teratasi.
4. Pemeriksaan laboratorium.
Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus mempersiapkan pasien untuk tindakan bedah
a.l :
1. Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe dan luas dari pembedahan
tergantung dari proses dasar penyakit dan keparahan infeksinya.
2. Pencucian ronga peritoneum: dilakukan dengan debridement, suctioning,kain kassa, lavase, irigasi intra
operatif. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan pus, darah, dan jaringan yang nekrosis.
3. Debridemen : mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan fibrin.
4. Irigasi kontinyu pasca operasi.
1. Pemberian cairan I.V, dapat berupa air, cairan elektrolit, dan nutrisi.
2. Pemberian antibiotic
3. Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produk ngt minimal, peristaltic usus pulih, dan tidak ada
distensi abdomen.
1) Terapi
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena,
pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal,
pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah keluar
dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting. Pengembalian volume intravaskular memperbaiki
perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena
sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.
a. Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik berspektrum luas
diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika
didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga
merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena
bakteremia akan berkembang selama operasi.
b. Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi. Insisi yang dipilih
adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka
serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan
untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada
umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau
mereseksi viskus yang perforasi.
c. Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan larutan kristaloid
(saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan
antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya
terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria
menyebar ketempat lain.
d. Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu dengan segera akan
terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase
berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk
peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
2) Pengobatan
Biasanya yang pertama dilakukan adalah pembedahan eksplorasi darurat, terutama bila terdapat apendisitis,
ulkus peptikum yang mengalami perforasi atau divertikulitis. Pada peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau
penyakit radang panggul pada wanita, pembedahan darurat biasanya tidak dilakukan. Diberikan antibiotik yang
tepat, bila perlu beberapa macam antibiotik diberikan bersamaan.
Keperawatan perioperatif merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan keragaman fungsi
keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman pembedahan pasien yang mencakup tiga fase yaitu :
1. Fase praoperatif dari peran keperawatan perioperatif dimulai ketika keputusan untuk intervensi bedah
dibuat dan berakhir ketika pasien digiring kemeja operasi. Lingkup aktivitas keperawatan selama waktu
tersebut dapat mencakup penetapan pengkajian dasar pasien ditatanan kliniik atau dirumah, menjalani
wawancaran praoperatif dan menyiapkan pasien untuk anastesi yang diberikan dan pembedahan.
Bagaimanapun, aktivitas keperawatan mungkin dibatasi hingga melakukan pengkajian pasien
praoperatif ditempat ruang operasi.
2. Fase intraoperatif dari keperawatan perioperatif dimulai dketika pasien masuk atau dipindah kebagian
atau keruang pemulihan. Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan dapat meliputi: memasang infuse
(IV), memberikan medikasi intravena, melakukan pemantauan fisiologis menyeluruh sepanjang
prosedur pembedahan dan menjaga keselamatan pasien. Pada beberapa contoh, aktivitas keperawatan
terbatas hanyapada menggemgam tangan pasien selama induksi anastesia umum, bertindak dalam
peranannya sebagai perawat scub, atau membantu dalam mengatur posisi pasien diatas meja operasi
dengan menggunakan prinsip-prinsip dasar kesejajaran tubuh.
3. Fase pascaoperatif dimulai dengan masuknya pasien keruang pemulihan dan berakhir dengan evaluasi
tindak lanjut pada tatanan kliniik atau dirumah. Lingkup keperawatan mencakup rentang aktivitas yang
luas selama periode ini. Pada fase pascaoperatif langsung, focus terhadap mengkaji efek dari agen
anastesia dan memantau fungsi vital serta mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian
berfokus pada penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut dan rujukan
yang penting untuk penyembuhan yang berhasil dan rehabilitasi diikuti dengan pemulangan. Setiap fase
ditelaah lebih detail lagi dalam unit ini. Kapan berkaitan dan memungkinkan, proses keperawatan
pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi dan evaluasi diuraikan.
2.9 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi tersebut dapat dibagi
menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu:
1. Komplikasi dini.
1. Septikemia dan syok septic.
2. Syok hipovolemik.
3. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multisystem.
4. Abses residual intraperitoneal.
5. Portal Pyemia (misal abses hepar).
2. Komplikasi lanjut.
1. Adhesi.
2. Obstruksi intestinal rekuren.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
A. Identitas
1. Nama pasien
2. Umur
3. Jenis kelamin
4. Suku /Bangsa
5. Pendidikan
6. Pekerjaan
7. Alamat
8. Keluhan utama:
Keluhan utama yang sering muncul adalah nyeri kesakitan di bagian perut sebelah kanan dan menjalar ke
pinggang.
Peritinotis dapat terjadi pada seseorang dengan peradangan iskemia, peritoneal diawali terkontaminasi material,
sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus, dan sirosis hepatis dengan asites.
Seseorang dengan peritonotis pernah ruptur saluran cerna, komplikasi post operasi, operasi yang tidak steril dan
akibat pembedahan, trauma pada kecelakaan seperti ruptur limpa dan ruptur hati.
Secara patologi peritonitis tidak diturunkan, namun jika peritonitis ini disebabkan oleh bakterial primer, seperti:
Tubercolosis. Maka kemungkinan diturunkan ada.
1. Pemeriksaan Fisik
1. Sistem pernafasan (B1)
Pola nafas irregular (RR> 20x/menit), dispnea, retraksi otot bantu pernafasan serta menggunakan otot bantu
pernafasan.
Klien dengan peritonitis tidak mengalami gangguan pada otak namun hanya mengalami penurunan kesadaran.
Klien akan mengalami anoreksia dan nausea. Vomit dapat muncul akibat proses ptologis organ visceral (seperti
obstruksi) atau secara sekunder akibat iritasi peritoneal. Selain itu terjadi distensi abdomen, bising usus
menurun, dan gerakan peristaltic usus turun (<12x/menit).
Penderita peritonitis mengalami letih, sulit berjalan, nyeri perut dengan aktivitas. Kemampuan pergerakan sendi
terbatas, kekuatan otot mengalami kelelahan, dan turgor kulit menurun akibat kekurangan volume cairan.
G. Pengkajian Psikososial
Interaksi sosial menurun terkait dengan keikutsertaan pada aktivitas sosial yang sering dilakukan.
H. Personal Hygiene
Kelemahan selama aktivitas perawatan diri.
1. Pengkajian Spiritual
2. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
1. Complete Blood Count (CBC), umumnya pasien dengan infeksi intra abdomen menunjukan adanya
luokositosis (>11.000 sel/ L) dengan adanya pergerakan ke bentuk immatur pada differential cell
count. Namun pada pasien dengan immunocompromised dan pasien dengan beberapa tipe infeksi
(seperti fungal dan CMV) keadaan leukositosis dapat tidak ditemukan atau malah leucopenia
2. PT, PTT dan INR
3. Test fungsi hati jika diindikasikan
4. Amilase dan lipase jika adanya dugaan pancreatitis
5. Urinalisis untuk mengetahui adanya penyakit pada saluran kemih (seperti pyelonephritis, renal stone
disease)
6. Cairan peritoneal, cairan peritonitis akibat bakterial dapat ditunjukan dari pH dan glukosa yang rendah
serta peningkatan protein dan nilai LDH
2) Pemeriksaan Radiologi
1. Foto polos
2. USG
3. CT Scan (eg, gallium Ga 67 scan, indium In 111labeled autologous leucocyte scan, technetium Tc
99m-iminoacetic acid derivative scan).
4. Scintigraphy
5. MRI
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam memperkirakan pasien
dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu:
1. Tiduran telentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior (AP).
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar horizontal proyeksi AP.
3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal, proyeksi AP.
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup seluruh abdomen beserta
dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film ukuran 35 x 43 cm. Sebelum terjadi peritonitis, jika
penyebabnya adanya gangguan pasase usus (ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen 3 posisi
didapatkan gambaran radiologis antara lain:
1. Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya penjalaran. Gambaran yang
diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal daerah obstruksi, penebalan dnding usus, gambaran seperti
duri ikan (Herring bone appearance).
2. Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus. Dari air fluid level dapat diduga
gangguan pasase usus. Bila air fluid level pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika panjang-
panjang kemungkinan gangguan di kolon. Gambaran yang diperoleh adalah adanya udara bebas infra
diafragma dan air fluid level.
3. Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya air fluid level dan step ladder
appearance. Jadi gambaran radiologis pada ileus obstruktif yaitu adanya distensi usus partial, air fluid
level, dan herring bone appearance.
1. Distensi usus general, dimana pelebaran usus menyeluruh sehingga kadang-kadang susah
membedakan anatara intestinum tenue yang melebar atau intestinum crassum.
2. Air fluid level.
3. Herring bone appearance.
Bedanya dengan ileus obstruktif: pelebaran usus menyeluruh sehingga air fluid level ada yang pendek-pendek
(usus halus) dan panjang-panjang (kolon) karena diameter lumen kolon lebih lebar daripada usus halus. Ileus
obstruktif bila berlangsung lama dapat menjadi ileus paralitik.
Pada kasus peritonitis karena perdarahan, gambarannya tidak jelas pada foto polos abdomen. Gambaran akan
lebih jelas pada pemeriksaan USG (ultrasonografi).
Gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi.
Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus buntu atau karena sebab lain, tanda
utama radiologi adalah:
1. Posisi tiduran, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line menghilang, dan kekaburan pada
cavum abdomen.
2. Posisi duduk atau berdiri, didapatkan free air subdiafragma berbentuk bulan sabit (semilunair shadow).
3. Posisi LLD, didapatkan free air intra peritonial pada daerah perut yang paling tinggi. Letaknya antara
hati dengan dinding abdomen atau antara pelvis dengan dinding abdomen.
Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu adanya kekaburan pada cavum abdomen, preperitonial
fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal.
3) X. Ray
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan :
3.2 Diagnosa
3.3 Intervensi
Intervensi Keperawatan
Tindakan/Intervensi Rasional
Mandiri:
Intervensi
Keperawatan: Tindakan Intervensi Rasional
Mandiri:
Kolaborasi:
1. Ambil contoh/awasi hasil 1. Mengidentifikasikan mikroorganisme
pemeriksaan seri darah, urine, dan membantu dalam mengkaji
kultur luka. keefektifan prigram antimikrobial.
2. Dilakukan untuk membuang cairan
dan untuk mengidentifikasi organisme
infeksi sehingga tetapi antibiotik yang
1. Bantu dalam aspirasi peritoneal, tepat dapat diberikan.
bila diindikasikan. 3. Terapi ditujukan pada bakteri anaerob
dan basil aerob gram negatif.Lavase
dapat digunakan untuk membuang
jaringan nekrotik dan mengobati
inflamasi yang terlokalisasi/menyebar
dengan buruk.
4. Pengobatan pilihan (kuratif) pada
1. Berikan antibiotik, contoh
peritonitis akut atau lokal, contoh
gentacimin (Garamycyin),
untuk drainase abses lokal,
amikasin (amikin), Klindamisin
membuang eksudat peritoneal,
(Cleocin). Lavase pritoneal/IV
membuang rupturapendiks/kandung
empedu, mengatasi perforasi ulkus,
atau reseksi usus.
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia dan muntah.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan nafsu makan dapat timbul kembali dan status nutrisi terpenuhi.
Kriteria Hasil:
Intervensi Keperawatan :
Tindakan Intervensi Rasional
Mandiri:
1. Awasi haluan selang NG, dan catat 1. Jumlah besar dari aspirasi gaster
adanya muntah atau diare. dan muntah atau diare diduga
terjadi obstruksi usus, memerlukan
evaluasi lanjut.
2. Kehilangan atau peningkatan dini
menunjukkan perubahan hidrasi
1. Timbang berat badan tiap hari. tetapi kehilangan lanjut diduga ada
defisit nutrisi.
3. Meskipun bising usus sering tak ada,
inflamasi atau iritasi usus
dapat menyertai
hiperaktivitas usus, penurunan
1. Auskultasi bising usus, catat bunyi
absorpsi air dan diare.
tak ada atau hiperaktif.
4. Adanya kalori (sumber energi) akan
mempercepat proses penyembuhan.
5. Indikasi adekuatnya protein untuk
sistem imun.
6. Menunjukan kembalinya fungsi usus
ke normal
1. Catat kebutuhan kalori yang
dibutuhkan.
2. Monitor Hb dan albumin
Kolaborasi:
Tujuan: Mengidentifikasi intervensi untuk memperbaiki keseimbangan cairan dan meminimalisir proses
peradangan untuk meningkatkan kenyamanan.
Kriteria hasil:
Intervensi keperawatan:
Tindakan Intervensi Rasional
Mandiri:
Kolaborasi:
1. Awasi pemerikasaan laboratorium, 1. Memberikan informasi tentang
contoh Hb/Ht, elektrolit, protein, hidrasi dan fungsi organ.
albumin, BUN, kreatinin.
2. Berikan plasma/darah, cairan,
elektrolit.
1. Mengisi/mempertahankan volume
sirkulasi dan keseimbangan
elektrolit. Koloid (plasma, darah)
membantu menggerakkan air ke
dalam area intravaskular dengan
1. Pertahankan puasa dengan aspirasi meningkatkan tekanan osmotik.
nasogastrik/intestinal 2. Menurunkan hiperaktivitas usus dan
kehilangan dari diare.
1. Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan kedalaman pernafasan sekunder distensi abdomen dan
menghindari nyeri.
Tujuan: Pola nafas efektif, ditandai bunyi nafas normal, tekanan O2 dan saturasi O2 normal.
Kriteria Hasil:
Intervensi Keperawatan:
Tindakan Intervensi Rasional
Mandiri:
Intervensi:
Tindakan/Intervensi Rasional
1. Evaluasi tingkat pemahaman
klien/orang terdekat tentang
diagnosa.
1. Bila penyangkalan ekstem atau
ansietas mempengaruhi kemajuan
penyembuhan, menghadapi itu klien
perlu dijelaskan dan membuka cara
1. Akui rasa takut/masalah klien dan penyelesaiannya.
dorong mengekspresikan perasaan. 2. Takut/ansietas menurun klien mulai
menerima secara positif kenyataan
dan memiliki kemauan untuk hidup
lagi.
3. Dapat membantu memperbaiki
beberapa perasaan
kontrol/kemandirian pada klien
1. Berikan kesempatan untuk bertanya yang merasa tak berdaya dalam
dan jawab dengan jujur. Yakinkan menerima diagnosa dan
bahwa klien dan perawat pengobatan
mempunyai pemahaman yang sama. 4. Klien sulit berfikir dengan baik bila
2. Terima penyangkalan klien tetapi berada dalam kondisi yang tidak
jangan dikuatkan. nyaman
1. Catat komentar perilaku yang
menunjukkan menerima dan/atau
mengurangi strategi efektif
menerima situasi
2. Libatkan klien/orang terdekat dalam
perencanaan perawatan. Berikan
waktu untuk menyiapkan
pengobatan.
A. ANATOMI FISIOLOGI
Peritoneum terdiri dari dua bagian yaitu peritoneum paretal yang melapisi dinding
rongga abdomen dan peritoneum visceral yang melapisi semua organ yang berada dalam
rongga abdomen.Ruang yang terdapat diantara dua lapisan ini disebut ruang peritoneal atau
kantong peritoneum.Pada laki-laki berupa kantong tertutup dan pada perempuan merupakan
saluran telur yang terbuka masuk ke dalam rongga peritoneum, di dalam peritoneum banyak
terdapat lipatan atau kantong. Lipatan besar (omentum mayor) banyak terdapat lemak yang
terdapat disebelah depan lambung. Lipatan kecil (omentum minor) meliputi hati, kurvaturan
minor, dan lambung berjalan keatas dinding abdomen dan membentuk mesenterium usus
halus.Fungsi peritoneum:
1. Menutupi sebagian dari organ abdomen dan pelvis.
2. Membentuk pembatas yang halus sehinggan organ yang ada dalam rongga peritoneum tidak
saling bergesekan.
3. Menjaga kedudukan dan mempertahankan hubungan organ terhadap dinding posterior
abdomen.
4. Tempat kelenjar limfe dan pembuluh darah yang membantu melindungi terhadap infeksi.
B. PENGERTIAN
Peritonitis adalah inflamasi atau peradangan pada selaput peritoneum-lapisan serosa
rongga abdomen. Pasien dengan peritonitis dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan dan
terbatas, atau penyakit berat dan sistemik dengan syok sepsis.Penyebab peritonitis adalah
spontaneus bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hati yang kronik.
C. KLASIFIKASI
Infeksi peritonitis dibagi berdasarkan etiologinya :
a. Peritonitis Primer (spontan)
b. Peritonitis Sekunder
Berkaitan dengan proses patologis pada organ viseral.
c. Peritonitis Tersier
Infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang adekuat.
D. PATOFISIOLOGI
E. ETIOLOGI
1. Infeksi bakteri
a. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
b. Appendisitis yang meradang dan perforasi
c. Tukak peptik (lambung / dudenum)
d. Tukak thypoid
e. Tukak disentri amuba / colitis
f. Tukak pada tumor
g. Salpingitis
h. Divertikulitis
Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta hemolitik,
stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium wechii.
2. Secara langsung dari luar.
Operasi yang tidak steril
Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi peritonitisyang disertai
pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon terhadap benda asing, disebut juga
peritonitis granulomatosa serta merupakan peritonitis lokal.
Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati
Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula peritonitis
granulomatosa.
3. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran
pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama adalah
streptokokus atau pnemokokus.
G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat muncul dari peritonitis adalah :
Eviserasi luka (post operasi)
Pembentukkan abses (post operasi)
Syok akibat septikemi atau hipovolumi
Sepsis .penyebab kematian umum peritonitis
Proses inflamasi dapat menyebabkan obstruksi usus, terutama yang disebabkan oleh
perlekatan usus.
H. PENATALAKSANAAN
a. Penggantian cairan, koloid, dan elektrolit adalah fokus utama penatalaksanaan medis.
Beberapa liter larutan isotonik diberikan. Hipovolemia terjadi karena sejumlah besar cairan
dan elektrolit bergerak dari lumen usus kedalam rongga peritoneal dan menurunkan cairan
dalam ruang vaskuler.
b. Pemberian analgesik untuk mengatasi nyeri.
c. Antiemetik untuk mengatasi mual dan muntah.
d. Intubasi usus dan pengisapan membantu mengurangi distensi abdomen dan meningkatkan
fungsi usus. Cairan dalam rongga abdomen dapat menyebabkan adanya tekanan yang
mengurangi ekspansi paru dehingga menyebabkan distres pernafasan.
e. Terapi oksigen dengan masker atau kanul nasal akan meningkatkan oksigenasi secara
adekuat. Intubasi jalan nafas dan ventilasi kadang dibutuhkan
f. Terpi antibiotik masif biasanya dimulai sejak awal pengobatan peritonitis. Antibiotik
spektrum luas diberikan secara I.V. sampai diketahui organisme penyebab sehingga terapi
antibiotik yang tepat dapat dimulai.
g. Tindakan bedah untuk mengangkat materi yang terinfeksi dan memperbaiki penyebab.
Tindakan diarahkan pada eksisi (apendiks), reseksi dengan atau tanpa anastomosis (usus),
memperbaiki (perforasi), dan drainase (abses). Pada sepsis yang luas peru dibuat diversi
fekal.
I. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Drainase panduan CT-Scan dan USG
Pembedahan
Test laboratorium
Leukositosis
Hematokrit meningkat
Asidosis metabolik
X. Ray
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan :
Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
Usus halus dan usus besar dilatasi.
Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
A. PENGKAJIAN
1. Identitas :
Identitas pasien
Identitas Penanggung Jawab
2. Keluhan utama
Pasien peritonitis mengalami nyeri di perut bagian kanan.
3. Riwayat penyakit
Riwayat penyakit sekarang.
Riwayat kesehatan dahulu.
Riwayat kesehatan keluarga.
4. Pola kesehatan :
Aktivitas / istirahat
Penderita peritonitis mengalami letih, kurang tidur, nyeri perut, dengan aktivitas.
Eliminasi
Pasien mengalami penurunan berkemih
Makan dan cairan
Kehilangan nafsu makan, mual/muntah.
Hygiene
Kelemahan selama aktivitas perawatan diri.
Nyeri / kenyamanan
Kulit lecet, kehilangan kekuatan, perubahan dalam fungsi mental.
Interaksi sosial
Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang biasa dilakukan.
5. Pemeriksaan laboratorium
CT-scan dan USG
Terapi antibiotic
Terapi nutrisi dan metabolic
Terapi modulasi respon peradangan
.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dnegan agen cidera kimia pasca operasi.
2. Hipertermi berhubungan dengan medikasi/anastesi.
3. Infeksi risiko tinggi berhbungan dengan trauma jaringan.
4. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan medikasi.
5. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak mampu
dalam mencerna makanan.
6. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif.
7. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
8. Kurang pengetahuan berhubungan dengan salah interpretasi informasi.
C. INTERVENSI
No Diagnosa Tujuan & Kriteris Intervensi Rasional
Keperawatan Hasil
1 Nyeri akut Setelah diberikan
1. Kaji tanda vital 1. Memantau perubahan
b.d cedera tindakan keperawatan dengan sering dan suhu pasien.
kimia pasca selama 3x24 jam catat warna kulit,
2. Membantu mengurangi
operasi. diharapkan nyeri suhu dan demam.
berkurang dengan kelembaban. 3. Memberikan informasi
kriteria: 2. Berikan kompres tentang status infeksi.
TTV normal hangat.
Pasien tampak rileks3. Observasi drainase
Mampu beraktivitas pada luka.
Dapat melakukan
relaksasi
2 Resiko Setelah dilakukan1. Observasi warna 1. Mengindikasikan
kerusakkan tindakan keperawatan dan karakteristik adanya obstruktif.
integritas selama 3x24 jam drainase. 2. Tanda dugaan adanya
kulit b.d diharapkan luka
2. Observasi kulit. abses/pembentukan
medikasi. sembuh dengan fistula yang
kriteria: memerlukan intervensi
Tingkat medik.
penyembuhan luka
cepat.
Kerusakkan kulit
dapat diccegah.
3 Kekurangan Setelah dilakukan1. Tambahkan diet
1. Meningkatkan
volume tindakan keperawatan sesuai toleransi. penggunaan nutrein dan
cairan b.d selama 3x24 jam 2. Timbang berat keseimbangan nitrogen
kehilangan diharapkan luka badan dengan positif pada pasien yang
volume sembuh dengan teratur. tak mampu
cairan aktif kriteria: 3. Observasi kulit/ mengasimilasi nutrein
Pasien dapat membrane turgor dengan normal.
mencerna makanan kulit. 2. Kehilangan /
dengan baik. peningkatan dini
Pasien tidak menunjukkan
mual/muntah. perubahan hidrasi tetapi
kehilangan lanjut
diduga ada deficit
nutrisi.
3. Hipovolemia,
perpindahan cairan &
kekurangan nutrisi
memperburuk turgor
kulit, menambah edema
jaringan.
4 Intoleransi Setelah dilakukan1. Periksa TTV 1. Dapat menunjukkan
aktivitas b/d tindakan keperawatan 2. Evaluasi peningkatan
kelemahan selama 3x24 jam peningkatan toleran dekompesasi
secara diharapkan pasien aktifitas. peritoneum daripada
menyeluruh mencapai peningkatan 3. Berikan bantuan kelebihan aktivitas.
toleransi aktivitas dalam aktivitas
2. Membantu dalam
dengan kriteria: perwatan diri evaluasi derajat
Memenuhi kebutuhan sesuai indikasi. toleransi.
perawatan diri sendiri. 3. Pemenuhan kebutuhan
perawatan diri pasien.
5 Ansietas b.d Setelah dilakukan1. Evaluasi tingkat
1. Ketakutan menjadi
perubahan tindakan keperawatan ansietas. nyeri hebat.
status sosial selama 3x24 jam 2. Berikan informasi 2. Mengetahui apa yang
diharapkan pasien tentang proses diharapkan dapat
mencapai peningkatan penyakit dan menurunkan antesias.
toleransi aktivitas antisipasi tindakan.3. Membatasi kelemahan,
dengan kriteria : 3. Jadwalkan istirahat menghemat energi &
Rasa takut menjadi adekuat dan meningkatkan
berkurang. periode kemampuan koping
Tampak rileks. menghentikan tidur
Tampak sehat
6 Kurang Setelah dilakukan1. Kaji ulang proses
1. Memberikan dasar
pengetahuan tindakan keperawatan penyakit dasar & pengetahuan pada
b.d salah satu selama 3x24 jam harapan untuk pasien yang
interpretasi diharapkan pasien sembuh. memungkinkan
informasi mencapai peningkatan 2.Diskusikan membuat pilihan
toleransi aktivitas program berdasarkan informasi.
dengan kriteria: pengobatan & efek 2. Antibiotik dapat
pasien memahami samping. dilanjutkan setelah
sakit yang dialaminya. 3.Anjurkan pulang, tergantung lama
Pasien mengetahui melakukan perawatan.
cara mengobati aktivitas biasa
3. Mencegah kelemahan,
penyakitnya secara bertahap. meningkatkan perasaan
4.Kaji ulang sehat.
pembahasan 4. Menghindari
aktivitas. peningkatan
5. Lakukan intraabdomen &
penggantian tegangan otot.
balutan secara
5. Menurunkan resiko
aseptic. kontaminasi.
6. Identifikasi gejala
6. Pengenalan dini &
yang memerlukan pengobatan terjadinya
evaluasi medik komplikasi dapat
mencegah cedera
serius.
Asuhan Keperawatan pada pasien peritonitis
Posted on 8 Juni 2012 by cinehel Standar
Rate This
BAB 1
PENDAHULUAN
Reaksi inflamasi
Peritonitis (generalisata)
Ileus Paralitik
Usus atonia
Distensi abdomen
Tekanan intralumen
Iskemia jaringan/usus
Nosiseptor
Mediator inflamatori
Nekrosis
Nyeri
Respons mual/muntah
Septikemia
Tujuan:
Pola nafas efektif atau adekuat dalam 124 jam
Kriteria hasil:
- Dispneu (-), irama reguler
- RR:12-20x/menit
- SaO2 :>95%.
- BGA dalam batas normal
- TTV dalam batas normal.
- Cianosis (-).
Tujuan:
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan dapat dicegah atau diatasi dalam 224 jam
Kriteria hasil:
- BBR:90-100%
- Alb:3,5-5,5 g/dl
- Hb :11-17 g/dl
- Peristatik usus (+)
- Bising usus (+).
- Vomitting (-)
1. Identifikasi tingkat perubahan nutrisi, dan kebutuhan kalori.
2. Kolaborasi pemberian nutrisi enteral (sonde) sesuai dengan tingkat toleransi pencernaan.
3. Kolaborasi pemberian nutrisi panenteral.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.M
DENGAN PERITONITIS GENERALISATA e.c. ILEUS OBSTRUKSI e.c HERNIA
UMBILIKALIS INKARSERATA + SHOCK SEPSIS dengan PEMASANGAN VENTILATOR
DI RUANG OBSERVASI INTENSIF (ROI) IRD
RSUD. Dr. SOETOMO SURABAYA
3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas Klien
Nama :Ny.M
Umur :44 Tahun
Alamat :Jln. Dupak Magersari Sby
Suku/bangsa :Jawa/Indonesia
Agama :Islam
Pendidikan :SLTA
3.1.2 Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama: tidak terkaji, pasien terpasang ETT (Endo Tracheal Tube) dengan bantuan
ventilator.
b. Riwayat penyakit sekarang:
Anamnesa (pre operatif) :klien datang ke RS.Adi Husada dengan keluhan nyeri perut dan ada
benjolan di pusar yang muncul sejak 6 hari yang lalu disertai nyeri, klien muntah-muntah, BAB
dan flatus terakhir 3 hari yang lalu. Klien MRS di RS. Adi Husada tanggal 9 Maret 2010
kemudian keluarga meminta dirujuk ke RSUD.Dr.Soetomo Surabaya.
c. Riwayat penyakit dahulu:
Pasien mengatakan sebelumnya tidak pernah keluar benjolan di pusar, dan tidak memiliki riwayat
gastritis atau mag.
d. Riwayat penyakit keluarga
Klien dan keluarganya mengatakan bahwa, tidak ada anggota keluarganya yang menderita seperti
penyakit klien saat ini, riwayat hipertensi (-), DM (-).
3.1.3 Pemeriksaan fisik
B1 (Breath)
Pernafasan dengan ETT No.7,0 dibantu dengan ventilator raphael Mode PCV, dengan seeting
PC:14, PEEP:8, F:18X/menit, Trigger:2, I:E:1:2 FiO2:100%.Saturasi perifer 95%, tanda-tanda
vital:RR;22X/menit, irreguler/dangkal, Ronchi +/+, Wheezing:-/-, gerakan dada simetris, sputum
encer, warna pink proty, tidak berbau, reflek batuk (+).
Masalah: Ketidak efektifan bersihan jalan nafas
- Gangguan pertukaran gas
- Ketidakefektifan pola nafas
B2 (Blood)
Klien post op hari ke-0, suara jantung S1/S2 Tunggal, Murmur (-), gallop (-), akral dingin kering,
CRT>2, sianosis (-), anemis (+), Hb:7,5g/dl, TD:93/77 mmHg, N:109X/menit, lemah irreguler,
S:33C (axila), CVP:10 cmH2O/7,6mmHg.
Balance cairan:
Intake
Out put
WB : 400 cc
RL : 1500cc
Pz : 200cc
2100cc
Urine :1420cc
Drain : 250cc
Dekompresi(NGT): 200cc
1870cc
Terpasang double lumen subclavia dextra.
Masalah : Hipotermia
Gangguan perfusi jaringan (anemis)
Resiko Infeksi
B3 (Brain)
Klien nampak lemah, GCS :2X3, convulsion (-), pupil isokor 4/4mm, reflek cahaya(-),
lateralisasi (-).
Darah lengkap :
- Hb :7,5g/dl (11-18g/dl)
- WBC :7,3X103 (5-10103 )
- Ly :21
- Hct :25,6 (35-60)
- MCV :25,6 (80-99)
- MCHC :29,3g/dl (33-37)
- Plt :704 (150-350 x103)
- Pct :515H%
Faal Hemostasis:
- PT :16,6 C:12,1
- APTT :24,8 C:25,6
Kimia klinik/RFL/LFT:
- Creat :4,1mg/dl (0,6-1,1)
- BUN :74 (5-23)
- AST :45 IU/L (5-34)
- ALT :15 IU/L (11-60)
- Tprot :6,0g/dl (3,6-8,3)
- Alb :2,5 g/dl (3,8-5,4)
- T.Bil :0,7 mg/dl
- Dbil :0,2
- In Bil :0,5
- Cl :83,4mmol/L
- Na :130,8
- K :3,03
- Ca :7,8 mg/dl
- Ureum :158,4
- Glob :3,5
c. Radiologi:
USG:(pra operatif)
Tedapat:
- Sludge Gall Bladder
- Myoma Uteri Sub serosa (uk.8,76,4cm)+intramural (uk.2,62,3cm)+adnesa kanan nampak
kista (uk.4,192,64cm)
- Distensi sedang usus dengan penebalan dinding mukosanya, susp.causa inflamation process
serta minimal ascites.
- Hernia umbilikalis
Foto Thorak: Kardio megali dan oedem paru, CTR 63%
S:-
O:
- Dispneu
- Ronci basah +/+
- RR:22x/menit
- Sekret +, encer, warna pink proty
- Terpasang ETT no.7
- Refleks batuk menurun.
- GCS:2X3
Benda asing
Respons inflamasi
(Kesadaran menurun)
Akumulasi sekret
S:-
O:
- Dispneu
- RR:22x/menit
- Terpasang ventilator:Mode PCV, PC:14, PEEP:8,FiO2 :100%
- SpO2 :95%.
Oedem paru
11-03-2010
S:-
O:
- Dispneu
- RR:22x/menit, irreguler,dangkal.
- Terpasang ventilator:Mode PCV, PC:14, PEEP:8,FiO2 :100%, I :E=1 :2
Oedem paru
S:-
O:
- BB:45 Kg
- Alb:2,5 g/dl
- Hb :7,5g/dl
- Pasien puasa.
- NGT(dekompresi):200cc.
- Bising usus (-)
- Peristaltik usus (-)
Ekspl.Laparotomy
3.3 Intervensi
No
Diagnosa Keperawatan
Intervensi
Tujuan/Kriteria hasil
Rencana Tindakan
Rasional
1
Ketidak efektifan bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekret sekunder terhadap penurunan reflek
batuk dan pemasangan ETT.
Tujuan:
Bersihan jalan nafas efektif dalam 15 menit
Kriteria hasil:
- Sekret berkurang
- Ronchi -/-
- Refleks batuk adekuat
- RR dalam batas 12-20x/menit.
- TTV dalam batas normal.
2
Gangguan pertukaran Gas b.d akumulasi cairan interstisiil di alveoli.
Tujuan:
Pertukaran gas efektif atau adekuat dalam 30 menit
Kriteria hasil:
- Dispneu (-), irama reguler
- RR:12-20x/menit
- SpO2 :>95%.
- BGA dalam batas normal
- TTV dalam batas normal.
- Cianosis (-).
2. Kolaborasi pemberian nutrisi enteral (sonde) sesuai dengan tingkat toleransi pencernaan.
3. Kolaborasi pemberian nutrisi panenteral dan tranfusi albumin.
4. Kolaborasi pemeriksaan kimia klinik (albumin post tranfusi).
5. Ukur Berat Badan bila memungkinkan.
11-03-2010/
Pkl :01.00-01.30
1. Melakukan observasi suara nafas, irama, kedalaman, produksi sputum dan saturasi oksigen.
2. Memberi posisi slight head up/semifowler.
3. Melakukan fisioterapi nafas dan suctioning
4. Kolaborasi mempertahankan setting ventilator (PCV, PC:14, PEEP:8, F:18X/menit, Trigger:2,
I:E=1:2, FiO2:100%)
11-03-2010/
Pkl :02.00-02.15
S:-
O:
- Dispneu
- Ronci basah +/+
- RR:18x/menit
- Sekret +, encer, warna pink proty
- SpO2 :95%.
- Refleks batuk menurun.
- GCS:23
A:Masalah belum teratasi
P:Intervensi no:1,2,3,5 dipertahankan.
2
Gangguan pertukaran Gas b.d akumulasi cairan interstisiil di alveoli.
11-03-2010/
Pkl :02.15 02.40
1. Mempertahankan patensi jalan nafas.
2. Mempertahankan posisi semifowler.
3. Kolaborasi mempertahankan ventilasi mekanik (PCV, PC:14, PEEP:8, F:18X/menit, Trigger:2,
I:E=1:2, FiO2:100%).
4. Monitoring tanda-tanda vital dan saturasi perifer.
5. Mengambil darah untuk pemeriksaan BGA dan elektrolit.
11-03-2010/
Pkl :02.40-02.50
S:-
O:
- Dispneu
- RR:19x/menit
- N:100X/menit
- TD:113/77mmHg
- Terpasang ventilator:Mode PCV, PC:14, PEEP:8,FiO2 :100%
- SpO2 :95%.
3
Resiko tinggi Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d Perubahan fungsi pencernaan
sekunder terhadap pembedahan
11-03-2010/
Pkl :03.00-03.20
1. Identifikasi tingkat perubahan nutrisi.
2. Kolaborasi pemberian nutrisi panenteral D5%.
3. Kolaborasi memberikan injeksi Ranitidin 50 mg (bolus) dan Alinamin F 1 amp (bolus).
4. Mempertahankan NGT (dekompresi).
Observasi fungsi pencernaan.
6. Monitor tanda-tanda vital.
11-03-2010/
Pkl :03.30-03.20
S:-
O:
- Klien puasa
- Bising usus (-)
- Peristaltik usus (-)
- BB:45 Kg
- Alb:2,5 g/dl
- Hb :7,5g/dl
- NGT(dekompresi):200cc.
A:Masalah belum teratasi
P:Intervensi No.2,3,4,5,6& dilanjutkan.
3
Resiko tinggi Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d Perubahan fungsi pencernaan
sekunder terhadap pembedahan
12-03-2010/
Pkl :08.00-14.00
2. Kolaborasi pemberian nutrisi panenteral D5%.
3. Kolaborasi memberikan injeksi Ranitidin 50 mg (bolus) dan Alinamin F 1 amp (bolus).
4. Mempertahankan NGT (dekompresi).
5. Observasi fungsi pencernaan.
6. Monitor tanda-tanda vital.
7. Kolaborasi dalam pemberian Albumin 20% 100 cc.
8. Kolaborasi dalam pemberian transfusi PRC 2 kalf (per kalf 350 cc).
12-03-2010/
Pkl :11.00
S:-
O:
- Klien puasa
- Bising usus (-)
- Peristaltik usus (-)
- BB:45 Kg
- Alb:3,0 g/dl
- Hb :10,0 g/dl
- NGT(dekompresi):200cc.
A:Masalah teratasi
P:Intervensi dipertahankan
BAB 4
PEMBAHASAN
BAB 5
PENUTUP
5.1 |Kesimpulan
Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
1. Masalah ketidak efektifan bersihan jalan nafas sudah teratasi sebagian dan rencana tindakan
dilanjutkan.
2. Gangguan pertukaran gas sudah membaik setelah oedem parunya menunjukkan perbaikan.
3. Ketidakefektifan pola nafas sudah menunjukkan perbaikan.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan dapat dicegah, dan intervensi dipertahankan.
5.2 Saran
1. Laporan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi dan acuan dalam melakukan asuhan
keperawatan pada klien dengan peritonitis generalisata post op eksplorasi laparotomy.
2. Instansi rumah sakit mampu menggunakan laporan asuhan keperawatan perawat pelatihan ICU
sebagaimana mestinya, dan guna menunjang pelayanan keperawatan yang optimal.
3. Perawat pelatihan ICU selanjutnya diharapkan dapat memberikan asuhan keperawatan pada
klien peritonitis generalisata post op eksplorasi laparotomy dengan pertimbagan ALOS (Average
Lenght Of Stay) yang lebih pendek dan meminimalkan INOS (Infeksi Nosokomial).
Melakukan Asuhan Keperawatan (Askep) merupakan aspek legal bagi seorang perawat
walaupun format model asuhan keperawatan di berbagai rumah sakit berbeda-beda. Seorang
perawat Profesional di dorong untuk dapat memberikan Pelayanan Kesehatan seoptimal
mungkin, memberikan informasi secara benar dengan memperhatikan aspek legal etik yang
berlaku. Metode perawatan yang baik dan benar merupakan salah satu aspek yang dapat
menentukan kualitas asuhan keperawatan (askep) yang diberikan yang secara langsung
maupun tidak langsung dapat meningkatkan brand kita sebagai perawat
profesional.Pemberian Asuhan keperawatan pada tingkat anak, remaja, dewasa, hingga
lanjut usia hingga bagaimana kita menerapkan manajemen asuhan keperawatan secara tepat
dan ilmiah diharapkan mampu meningkatkan kompetensi perawat khususnya di indonesia
ASUHAN KEPERAWATAN PERITONITIS
PENGERTIAN
Peradangan peritoneum, suatu lapisan endotelial tipis yang kaya akan vaskularisasi dan aliran
limpa.
ETIOLOGI
1. Infeksi bakteri
Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
Appendisitis yang meradang dan perforasi
Tukak peptik (lambung / dudenum)
Tukak thypoid
Tukan disentri amuba / colitis
Tukak pada tumor
Salpingitis
Divertikulitis
Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus dan hemolitik,
stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah clostridium wechii.
2. Secara langsung dari luar.
Operasi yang tidak steril
Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi peritonitisyang
disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon terhadap benda
asing, disebut juga peritonitis granulomatosa serta merupakan peritonitis lokal.
Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati
Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula
peritonitis granulomatosa.
3. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran
pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama
adalah streptokokus atau pnemokokus.
GEJALA DAN TANDA
Syok (neurogenik, hipovolemik atau septik) terjadi pada beberpa penderita peritonitis
umum.
Demam
Distensi abdomen
Nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus, atrofi umum, tergantung pada
perluasan iritasi peritonitis.
Bising usus tak terdengar pada peritonitis umum dapat terjadi pada daerah yang jauh dari
lokasi peritonitisnya.
Nausea
Vomiting
Penurunan peristaltik.
PATOFISIOLOGI
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi rongga abdomen ke dalam rongga abdomen,
biasanya diakibatkan dan peradangan iskemia, trauma atau perforasi tumor, peritoneal
diawali terkontaminasi material.
Awalnya material masuk ke dalam rongga abdomen adalah steril (kecuali pada kasus
peritoneal dialisis) tetapi dalam beberapa jam terjadi kontaminasi bakteri. Akibatnya timbul
edem jaringan dan pertambahan eksudat. Caiaran dalam rongga abdomen menjadi keruh
dengan bertambahnya sejumlah protein, sel-sel darah putih, sel-sel yang rusak dan darah.
Respon yang segera dari saluran intestinal adalah hipermotil tetapi segera dikuti oleh ileus
paralitik dengan penimbunan udara dan cairan di dalam usus besar.
TEST DIAGNOSTIK
1. Test laboratorium
Leukositosis
Hematokrit meningkat
Asidosis metabolik
2. X. Ray
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan :
Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
Usus halus dan usus besar dilatasi.
Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
PROGNOSIS
Mortalitas tetap tinggi antara 10 % - 40 %.
Prognosa lebih buruk pada usia lanjut dan bila peritonitis sudah berlangsung lebih dari 48
jam.
Lebih cepat diambil tindakan lebih baik prognosanya.
LAPARATOMI
Pengertian
Pembedahan perut sampai membuka selaput perut.
Ada 4 cara, yaitu;
1. Midline incision
2. Paramedian, yaitu ; sedikit ke tepi dari garis tengah ( 2,5 cm), panjang (12,5 cm).
3. Transverse upper abdomen incision, yaitu ; insisi di bagian atas, misalnya pembedahan
colesistotomy dan splenektomy.
4. Transverse lower abdomen incision, yaitu; insisi melintang di bagian bawah 4 cm di atas
anterior spinal iliaka, misalnya; pada operasi appendictomy.
Indikasi
1. Trauma abdomen (tumpul atau tajam) / Ruptur Hepar.
2. Peritonitis
3. Perdarahan saluran pencernaan.(Internal Blooding)
4. Sumbatan pada usus halus dan usus besar.
5. Masa pada abdomen
Komplikasi
1. Ventilasi paru tidak adekuat
2. Gangguan kardiovaskuler : hipertensi, aritmia jantung.
3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
4. Gangguan rasa nyaman dan kecelakaan
Latihan-latihan fisik
Latihan napas dalam, latihan batuk, menggerakan otot-otot kaki, menggerakkan otot-otot
bokong, Latihan alih baring dan turun dari tempat tidur. Semuanya dilakukan hari ke 2 post
operasi.
POST LAPARATOMI
Perawatan post laparatomi adalah bentuk pelayanan perawatan yang diberikan kepada pasien-
pasien yang telah menjalani operasi pembedahan perut.
Tujuan perawatan post laparatomi;
1. Mengurangi komplikasi akibat pembedahan.
2. Mempercepat penyembuhan.
3. Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi.
4. Mempertahankan konsep diri pasien.
5. Mempersiapkan pasien pulang.
Komplikasi post laparatomi;
1. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah operasi. Bahaya besar
tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah vena dan ikut
aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati, dan otak.
Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif dini dan kaos kaki
TED yang dipakai klien sebelum mencoba ambulatif.
2. Buruknya intergriats kulit sehubungan dengan luka infeksi.
Infeksi luka sering muncul pada 36 - 46 jam setelah operasi. Organisme yang paling
sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aurens, organisme; gram positif.
Stapilokokus mengakibatkan pernanahan.
Untuk menghindari infeksi luka yang paling penting adalah perawatan luka dengan
memperhatikan aseptik dan antiseptik.
3. Buruknya integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau eviserasi.
Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka.
Eviserasi luka adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi.
Faktor penyebab dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu
pembedahan, ketegangan yang berat pada dinding abdomen sebagai akibat dari batuk dan
muntah.
Proses penyembuhan luka
Fase pertama
Berlangsung sampai hari ke 3. Batang lekosit banyak yang rusak / rapuh. Sel-sel darah
baru berkembang menjadi penyembuh dimana serabut-serabut bening digunakan sebagai
kerangka.
Fase kedua
Dari hari ke 3 sampai hari ke 14. Pengisian oleh kolagen, seluruh pinggiran sel epitel
timbul sempurna dalam 1 minggu. Jaringan baru tumbuh dengan kuat dan kemerahan.
Fase ketiga
Sekitar 2 sampai 10 minggu. Kolagen terus-menerus ditimbun, timbul jaringan-jaringan
baru dan otot dapat digunakan kembali.
Fase keempat
Fase terakhir. Penyembuhan akan menyusut dan mengkerut.
Intervensi untuk meningkatkan penyembuhan
1. Meningkatkan intake makanan tinggi protein dan vitamin c.
2. Menghindari obat-obat anti radang seperti steroid.
3. Pencegahan infeksi.
Pengembalian Fungsi fisik.
Pengembalian fungsi fisik dilakukan segera setelah operasi dengan latihan napas dan batuk
efektf, latihan mobilisasi dini.
Mempertahankan konsep diri.
Gangguan konsep diri : Body image bisa terjadi pada pasien post laparatomy karena adanya
perubahan sehubungan dengan pembedahan. Intervensi perawatan terutama ditujukan pada
pemberian support psikologis, ajak klien dan kerabat dekatnya berdiskusi tentang perubahan-
perubahan yang terjadi dan bagaimana perasaan pasien setelah operasi.
Pengkajian
Perlengkapan yang dilakukan pada pasien post laparatomy, adalah;
1. Respiratory
Bagaimana saluran pernapasan, jenis pernapasan, bunyi pernapasan.
2. Sirkulasi
Tensi, nadi, respirasi, dan suhu, warna kulit, dan refill kapiler.
3. Persarafan : Tingkat kesadaran.
4. Balutan
Apakah ada tube, drainage ?
Apakah ada tanda-tanda infeksi?
Bagaimana penyembuhan luka ?
5. Peralatan
Monitor yang terpasang.
Cairan infus atau transfusi.
6. Rasa nyaman
Rasa sakit, mual, muntah, posisi pasien, dan fasilitas ventilasi.
7. Psikologis : Kecemasan, suasana hati setelah operasi.
Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman, abdomen tegang sehubungan dengan adanya rasa nyeri di
abdomen.
2. Potensial terjadinya infeksi sehubungan dengan adanya sayatan / luka operasi laparatomi.
3. Potensial kekurangan caiaran sehubungan dengan adanya demam, pemasukkan sedikit dan
pengeluaran cairan yang banyak.
Tindakan keperawatan post operasi:
1. Monitor kesadaran, tanda-tanda vital, CVP, intake dan output
2. Observasi dan catat sifat darai drain (warna, jumlah) drainage.
3. Dalam mengatur dan menggerakan posisi pasien harus hati-hati, jangan sampai drain
tercabut.
4. Perawatan luka operasi secara steril.
Evaluasi
1. Tanda-tanda peritonitis menghilang yang meliputi :
Suhu tubuh normal
Nadi normal
Perut tidak kembung
Peristaltik usus normal
Flatus positif
Bowel movement positif
2. Pasien terbebas dari rasa sakit dan dapat melakukan aktifitas.
3. Pasien terbebas dari adanya komplikasi post operasi.
4. Pasien dapat mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit dan mengembalikan pola
makan dan minum seperti biasa.
5. Luka operasi baik.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Dr. Sutisna Himawan (editor). Kumpulan Kuliah Patologi. FKUI
Brunner / Sudart. Texbook of Medical Surgical Nursing Fifth edition IB. Lippincott
Company.Philadelphia. 1984.
Soeparman, dkk. Ilmu Penyakit Dalam : Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1987, Edisi II.
ARTIKEL BERKAITAN