Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH KEKERASAN DALAM RUMAH

TANGGA

OLEH :
BRATA TAMA UNSANDY
150101006

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA


MEDAN
2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, khalik langit dan bumi. Karena atas
penyertaan-Nya sehinggah saya bisa menyelesaikan makalah kesehatan lingkungan yang
berjudul Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini.
Dengan pembuatan makalah yang berjudul Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini pembaca
diharapkan dapat lebih mengenal tentang apa yang dimaksud dengan polusi udara. Pembaca juga
diharapkan dapat mengambil hikmah dan pelajaran yang berharga.
Makalah ini dibuat semata-mata karena ingin menyelesaikan tugas sekaligus memberikan
contoh yang baik. Selain itu, makalah ini juga dijadikan sebagai sarana untuk menambah
wawasan bagi pembacanya.
Saya berharap makalah ini akan berguna bagi pembelajaran, khususnya pada materi
pencemaran udara. Dan saya sangat berterima kasih dan sangat senang apabila makalah ini dapat
dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam proses kegiatan belajar-mengajar.
Saya tahu bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Olehnya itu, saya sangat
mengharapkan kritik dan saran dari guru, teman-teman, dan atau siapa saja. Saran dan kritikan
yang diberikan akan saya terima dengan lapang dada. Mudah-mudahan makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca dan terutama pada diri saya sendiri. Akhir kata , saya ucapkan banyak
terima kasih.

Medan, 1
0
Februari
BAB I

2016

PENDAHULUAN

1.1
Brata
Tama
Unsandy

Latar belakang

Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis


kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. Tindak
kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban
diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan
bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Pelaku dan
korban tindak kekerasan didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi
oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa.
Bagi masyarakat Indonesia sendiri, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
bukanlah fenomena yang baru. Kenyataan ini diperkuat dengan pernyataan Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan yang mengatakan bahwa 11,4 % dari 217 juta
penduduk Indonesia atau 24 juta terutama di pedesaan pernah mengalami kekerasan
dan terbesar adalah kekerasan dalam rumah tangga (Soedjendro, 2005). Menurut
catatan Mitra Perempuan, hanya 15,2 % perempuan yang mengalami KDRT
menempuh jalur hukum, dan mayoritas (45,2 %) memutuskan pindah rumah dan 10,9
% memilih diam. Berdasarkan studi kasus persoalan Kekerasan Terhadap Istri (KTI)
yang masuk di Rifka Annisa Womens Crisis Center pada tahun 1998, dari 125 kasus
KTI, 11 % diantaranya mengakhiri perkawinannya dengan perceraian, 13 % mengambil
jalan keluar dengan cara melaporkan suami ke polisi, ke atasan suami, atau mengajak
berkonseling, dan mayoritas korban (76 %) mengambil keputusan kembali kepada
suami dan menjalani perkawinannya yang penuh dengan kekerasan (Hayati, 2000).
Statistik Mitra Perempuan Womens Crisis Centre tahun 2009 (hingga 14 Desember)
mencatat jumlah layanan pengaduan dan bantuan diberikan kepada 204 orang
perempuan dan anak-anak yang mengalami kasus kekerasan terutama KDRT (91,67%)
di wilayah Jakarta, Tangerang, Bekasi, Depok, Bogor dan sekitarnya.
Meskipun jumlah perempuan yang baru dibantu layanan Hotline & konseling di 3
tempat layanan Mitra Perempuan (Jakarta, Tangerang & Bogor) di tahun ini menurun
26,88% dibandingkan tahun sebelumnya (2008: 279 orang, 2007: 283 orang), tetapi
jenis kasus dan dampak kekerasan yang dialami oleh korban cukup serius dan terjadi
peningkatan jumlah perempuan yang menempuh upaya hukum sebagai implementasi
Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.

Data diatas membuktikan bahwa angka korban KDRT di Indonesia cukup besar,
dan hanya sedikit korban yang menempuh jalur hukum. Sedangkan sebagian besar
korban lebih memilih kembali pada suami dan melanjutkan hidup dengan kekerasan.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat di telaah melalui beberapa
sudut pandang, bisa melalui telaah pendekatan psikologi, perspektif hukum dan
kriminologi, dan hak asasi manusia.

Dari masing-masing sudut pandang akan

melengkapi arti daripada kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri, dari dampak yang
diakibatkan sampai penaggulangan serta jalur hukum bagi pelaku tindak kekerasan.
Kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi di setiap keluarga dan biasanya menimpa
kaum ibu, Hal ini dapat dilihat dari laporan yang masuk ke kepolisian dari semua kasus
semua menimpa kaum ibu. Sebagaimana diketahui kekerasan dalam rumah tangga
hampir terjadi didalam lapisan kehidupan yang bisa berdampak pada perkembangan
perempuan sebagai korban kekerasan.

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1

Pengertian dan Jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Mave Cormack dan Stathern (1990) menjelaskan terbentuknya dominasi laki-laki

atas perempuan ditinjau dari teori nature and culture. Dalam proses transformasi dari
nature ke culture sering terjadi penaklukan. Laki-laki sebagai culture mempunyai
wewenang menaklukan dan memaksakan kehendak kepada perempuan (nature).
Secara kultural laki-laki ditempatkan pada posisi lebih tinggi dari perempuan, karena itu
memiliki legitimasi untuk menaklukan dan memaksa perempuan. Dari dua teori ini
menunjukkan gambaran aspek sosiokultural telah membentuk social structure yang
kondusif bagi dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga mempengaruhi prilaku
individu dalam kehidupan berkeluarga.
Menurut La Pona dkk (Sugihastuti, 2007:172) kekerasan terhadap perempuan
adalah tindakan seorang laki-laki atau sejumlah laki-laki dengan mengerahkan
kekuatan tertentu sehingga menimbulkan kerugian dan penderitaan secara fisik,
seksual, atau psikologis pada seorang perempuan atau sekelompok perempuan,
termasuk tindakan yang bersifat memaksa, mengancam, dan/atau berbuat sewenangwenang, baik terjadi dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan
pribadi di ruang domestik dan publik.
Berdasarkan Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada pasal 1 butir 1 menyebutkan bahwa Kekerasan
Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga juga juga berarti
segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang
berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi, termasuk ancaman,
perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga. Selain itu,

hubungan antara suami dan istri diwarnai dengan penyiksaan secara verbal, tidak
adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan menggunakan kekuasaan untuk
mengendalikan istri.
Setelah membaca pengertian kekerasan dalam rumah tangga kita mengerti
bahwa kekerasan tidak hanya dalam bentuk fisik saja, tetapi juga dalam bentuk psikis,
seksual, dan ekonomi. Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga yaitu antara lain :
a. Kekaerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit
atau luka berat (Pasal 6). Adapun kekerasan fisik dapat diwujudkan dengan
perilaku di antaranya: menampar, menggigit, memutar tangan, menikam,
mencekek, membakar, menendang, mengancam dengan suatu benda atau
senjata, dan membunuh. Perilaku ini sungguh membuat anak-anak menjadi
trauma dsalam hidupnya, sehingga mereka tidak merasa nyaman dan aman.
b. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,
dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7). Adapun tindakan
kekerasan psikis dapat ditunjukkan dengan perilaku yang mengintimidasi dan
menyiksa, memberikan ancaman kekerasan, mengurung di rumah, penjagaan
yang berlebihan, ancaman untuk melepaskan penjagaan anaknya, pemisahan,
mencaci maki, dan penghinaan secara terus menerus. Kekerasan psikis ini,
apabila sering terjadi maka dapat mengakibatkan istri semakin tergantung pada
suami meskipun suaminya telah membuatnya menderita. Di sisi lain, kekerasan
psikis juga dapat memicu dendam dihati istri.
c. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan
seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak
disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual meliputi (pasal 8): (a) Pemaksaan

hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup
rumah tangga tersebut; (b) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah
seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan/atau tujuan tertentu.
d. Penelataran Rumah Tangga
Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam
lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan,
atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku
bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara
membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar
rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9).
Penelantaran rumah tangga dapat dikatakan dengan kekerasan ekonomik yang
dapat diindikasikan dengan perilaku di antaranya seperti : penolakan untuk
memperoleh keuangan, penolakan untuk memberikan bantuan yang bersifat
finansial, penolakan terhadap pemberian makan dan kebutuhan dasar, dan
mengontrol pemerolehan layanan kesehatan, pekerjaan, dan sebagainya.
2.2

Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Di Indonesia, kekerasan dalam rumah tangga sudah banyak dilakukan oleh

suami kepada istri. masyarakat sendiri tidak sadar bahwa kekerasan dalam rumah
tangga sudah membudaya di Indonesia. Ada beberapa penyebab terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga. Disini akan dibahas penyebab kekerasan dalam rumah tangga
dilihat dari tiga aspek, yaitu aspek ekonomi, aspek sosial-budaya, dan aspek politik.
1. Aspek Ekonomi
Dilihat dari aspek ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga bisa disebabkan
karena :
a. Kemiskinan
b. Pendapatan istri lebih besar daripada suami

Jika pendapatan istri lebih besar daripada suami, dapat terjadi kecemburuan
antara suami dan istri. Sehingga suami merasa disepelekan dan melakukan
kekerasan. ini juga dipengaruhi oleh psikologi suami.
c. Istri terlalu bergantung pada suami dalam hal ekonomi
Istri yang terlalu bergantung akan membuat suami semena-mena terhadap
istrinya. Karena dia merasa bahwa istrinya tidak bisa berbuat apa-apa tanpa dia.
Sehingga suami bisa berbuat kekerasan kepada istrinya.
d. Suami pengangguran dan tidak mau bekerja
Suami hanya menunggu hasil kerja dari istri dan merelakan istrinya di eksploitasi
demi uang.
2. Aspek Sosial-budaya
Dilihat dari aspek sosial-budaya, kekerasan dalam rumah tangga bisa terjadi
karena :
a. Persepsi pada masyarakat bahwa kekerasan dalam rumah tangga harus ditutupi.
Ketika masyarakat memiliki persepsi seperti itu, korban kekerasan dalam rumah
tangga akan menjadi rahasia keluarga sehingga mereka tidak mau melaporkan
kepada pihak yang berwenang dan akhirnya kekerasan tersebut terus berlanjut.
b. Laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat.
c. Kebiasaan masyarakat mendidik anak laki-laki dengan menumbuhkan keyakinan
bahwa anak laki-laki harus kuat, berani, dan tidak toleran.
d. Budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.
e. Adanya budaya patriarki
Perempuan telah ditanamkan kepatuhan dan pelayanan terhadap suami. Suami
menenkankan hal ini kepada istri sebagai pembenaran atas kekerasan yang
telah dilakukan. Suami memaksa istri untuk melakukan hal-hal yang tidak disukai
atau bahkan menyakiti hati istri. Namun, banyak istri yang beranggapan bahwa
ini adalah bentuk kepatuhan istri kepada suami sehingga istri tidak menyadari
bahwa ini adalah bentuk kekerasan psikologis terhadap dirinya.
3. Aspek Politik

Dilihat dari aspek sosial-budaya, kekerasan dalam rumah tangga bisa terjadi
karena :
a. Pengambilan keputusan dalam keluarga yang didominasi oleh salah satu pihak.
b. Tidak adanya demokrasi dalam keluarga.
c. Adanya budaya feodal.
Ada juga penyebab-penyebab lain yang dapat menimbulkan kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT), yaitu :
a. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama mengenai cara mendidik istri,
kepatuhan istri terhadap suami, penghormatan posisi suami sebagai kepala
keluarga, sehingga muncul persepsi bahwa suami boleh menguasai istri dan
berakibat suami semena-mena kepada istrinya.
b. Kepribadian dan kondisi psikologi suami yang tidak stabil.
c. Tidak dapat mengendalikan emosi.
d. Melakukan imitasi
Hal ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki yang hidup dalam keluarga yang tidak
harmonis dan sering melihat ataupun mengalami kekerasan dalam keluarga yang
dilakukan oleh ayahnya sehingga anak tersebut meniru kebiasaan ayahnya.
e. Ketidakmampuan mencari solusi masalah yang terjadi dalam rumah tangga karena
kurangnya komunikasi antar anggota keluarga, antara suami dan istri.
f. Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh
anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan
menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
Penyebab diatas bisa memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang
sebagian besar korbannya adalah istri. Untuk itu, istri harus tahu penyebab kekerasan
dalam rumah tangga. Begitu juga denggan suami. Pelaku kekerasan dalam rumah
tangga sebagian besar dilakukan oleh suami. Sehingga suami harus tahu bahwa
kekerasan dalam rumah tangga merupakan kesalahan karena telah melanggar Hak
Asasi Manusia (HAM) dan telah melanggar hukum
2.3

Kekerasan Dalam Rumah Tangga Ditinjau dari Psikologi Kesehatan

Perempuan terus mengalami KDRT akibat peran yang disandang, yang


menjadikan perempuan berada pada posisi yang lebih rendah. Kesadaran dan
keinginan para korban untuk berkonsultasi masih kurang, kalaupun konsultasi justru
pada pihak yang netral / tidak berkompeten. Dari sekian banyaknya kasus kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT) hanya beberapa yang melaporkan kejadian tersebut, dan
masih banyak yang tidak melaporkan kekerasan yang diterima dengan alasan :
1. Mereka malu karena memiliki pasangan yang abusive
2. Kehilangan kepercayaan diri akibat kebebasan diri mereka dikekang atau dipasung
pasangannya.
3. Takut dipersalahkan sebagai istri yang tidak sabar, kurang pengertian, kurang tabah,
tidak becus mengurus suami/keluarga.
4. Perempuan sering berada didalam posisi ketergantungan pada pasangannya, baik
secara emisional maupun ekonomi.
5. Takut sudah melapor, justru disuruh berdamai (menyelesaikan secara kekeluargaan,
karena dianggap selisih paham antara suami istri sudah merupakan hal biasa.
Kekerasan dalam rumah tangga psikologis/mental merupakan taraf kekerasan
yang akibatnya tidak terlihat jelas, kekerasan ini dilakukan dalam bentuk kekerasan
psikologis atau mental. Kekerasan psikologis ini merupakan kekerasan yang dapat
dilakukan dengan berkata kasar dengan intonasi yang tinggi, dapat berupa tingkah laku
yang posesive berlebihan, mengurung korban dirumah dan tidak memberikan nafkah
atau sumber kehidupan, meracuni konsep diri dan harga diri dengan sikap dan katakata yang selalu negatif.
Dari kekerasan yang diterima istri secara terus menerus akan dapat berakibat
pada perkembangan perilaku istri, istri akan kehilangan rasa kepercayaan diri secara
menetap dan perasaan takut terus menerus karena jiwanya merasa terancam. Selain
itu juga yang pasti kekerasan yang diterima akan berdampak secara fisik saja
melainkan juga secara psikologis, seksual, sosial dan ekonomi. Secara psikis akibat
yang dirasakan oleh istri adalah perasaan hampa, merasa gersang dan tidak memiliki
gaya hidup, merasa hidup tidak berarti, jenuh, dan apatis.

2.4

Dampak Psikologis Pada Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Berdasarkan penelitian Kristi Poerwandari, Ketua Program Studi Kajian Wanita

UI bersama Ester Lianawati mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga, penjabaran


perilaku konkret yang umumnya ditampilkan korban sebagai perwujudan dampak psikis
dari kekerasan yang dialami. Ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat
dapat tampil dalam perilaku-perilaku berikut ini :
1. Kehilangan minat untuk merawat diri, yang tampil dalam perilaku menolak atau
enggan makan/minum, makan tidak teratur, malas mandi atau berdandan, tampil
berantakan seperti rambut kusut, pakaian awut-awutan.
2. Kehilangan minat untuk berinteraksi dengan orang lain, yang tampil dalam perilaku
mengurung diri di kamar, tidak mau berhubungan dengan orang lain, cenderung
diam, dan enggan bercakap-cakap.
3. Perilaku depresif, tampil dalam bentuk pandangan mata kosong seperti menatap
jauh ke depan, murung, banyak melamun, mudah menangis, sulit tidur atau
sebaliknya terlalu banyak tidur, dan berpikir tentang kematian.
4. Terganggunya aktivitas atau pekerjaan sehari-hari, seperti sering menjatuhkan
barang tanpa sengaja, kurang teliti dalam bekerja yang ditunjukkan dengan
banyaknya kesalahan yang tidak perlu, sering datang terlambat atau tidak masuk
bekerja, tugas-tugas terlambat tidak sesuai tenggat waktu, tidak menyediakan
makanan untuk anak padahal sebelumnya hal-hal ini dilakukannya secara rutin.
5. Ketidakmampuan melihat kelebihan diri, tidak yakin dengan kemampuan diri, dan
kecenderungan membandingkan diri dengan orang lain yang dianggapnya lebih
baik. Contohnya menganggap diri tidak memiliki kelebihan meski fakta yang ada
menunjukkan hal sebaliknya, atau sering bertanya apakah yang ia lakukan sudah
benar atau belum.
6. Kehilangan keberanian untuk melakukan tindakan yang ditunjukkan dengan tidak
berani mengungkapkan pendapat atau tidak berani mengingatkan pelaku jika
bertindak salah.
7. Stres pascatrauma, yang tampil dalam bentuk mudah terkejut, selalu waspada;
sangat takut bila melihat pelaku, orang yang mirip pelaku, benda-benda atau situasi
yang mengingatkan akan kekerasan, gangguan kilas balik (flash back) seperti tiba-

tiba disergap bayangan kejadian yang telah dialami, mimpi-mimpi buruk dan atau
gangguan tidur.
8. Kebingungan-kebingungan dan hilangnya orientasi, yang tampil dalam bentuk
merasa sangat bingung, tidak tahu hendak melakukan apa atau harus bagaimana
melakukannya, seperti orang linglung, bengong, mudah lupa akan banyak hal,
terlihat tidak peduli pada keadaan sekitar, tidak konsentrasi bila diajak berbicara.
9. Menyakiti diri sendiri atau melakukan percobaan bunuh diri.
10. Perilaku berlebihan dan tidak lazim seperti tertawa sendiri, bercakap-cakap sendiri,
terus berbicara dan sulit dihentikan, pembicaraan kacau; melantur, berteriak-teriak,
terlihat kacau tak mampu mengendalikan diri, berulang-ulang menyebut nama
tertentu, misalnya nama pelaku tanpa sadar.
11. Perilaku agresif, seperti menjadi kasar atau mudah marah terhadap anak/pekerja
rumah tangga/staf atau rekan kerja, membalas kekasaran pelaku seperti
mengucapkan kata-kata kasar, banyak mengeluhkan kekecewaan terhadap pelaku.
12. Sakit tanpa ada penyebab medis (psikosomatis), seperti infeksi lambung, gangguan
pencernaan, sakit kepala, namun dokter tidak menemukan penyebab medis, mudah
merasa lelah, seperti tidak bertenaga, dan pegal/sakit/ngilu, tubuh sering gemetar.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga berakibat ke anak karena secara
tidak langsung si anak akan melihat kekerasan yang dilakukan oleh ayahnya kepada
ibunya atau pun sebaliknya. Hal ini diiyakan oleh Dra. Henny E. Wirawan, M.Hum., Psi,
QIA., psikolog dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Anak yang
melihat langsung ibu atau ayahnya dipukul bisa mengalami shock dan ketakutan,
terutama pada anak balita, jelasnya.
Kalau kekerasan ini disaksikan setiap hari besar kemungkinan dia menjadi
traumatis, cenderung pendiam, sering marah hingga menangis. Dan lama kelamaan
sifatnya menjadi general, artinya bukan hanya melihat teriakan atau pukulan
orangtuanya saja, tetapi juga saat ia melihat hal itu dilakukan orang lain. Bahkan bukan
tidak mungkin ia akan marah dengan orang lain yang belum tentu ada hubungannya
dengan dia. Selain si anak menjadi traumatis kemungkinan besar juga si anak akan
meniru perilaku orangtuanya untuk menyelaesaikan suatu masalah bila dia si anak itu
sudah berkeluarga. Hal ini terjadi karena anak memperoleh model dalam cara
menyelesaikan masalah. Misalnya ia melihat orang tuanya bertengkar dan kemudian
melihat salah satu orang tuanya menggunakan kekerasan, pengalaman tersebut akan

selalu membekas dalam dirinya, dan menjadi salah satu referensinya saat
menyelesaikan masalah. Berdasarkan situasi tersebut fenomena KDRT dapat menular
kepada orang lain sehingga KDRT tidak akan pernah menghilang dilingkungan keluarga
atau akan selalu mengancam tiap-tiap keluarga.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat akibat dari tindak kekerasan dalam
rumah tangga dalam segi si anak, antara lain :
a. Anak akan mencontoh apa yang telah disaksikan selama bertahun-tahun bersama
dengan orang tuanya. Pada tingkat ekstrim akan mengubah kepribadian anak.
b. Efek psikologis dapat berlangsung seumur hidup dan mencakup perasaan rendah
diri, ketidakmampuan untuk berhubungan dengan kawan sebaya, konsentrasi
berkurang, dan kemunduran prestasi dalam belajar.
c. Penyakit psikis, seperti depresi, sangat gelisah, atau kekacauan identitas, selain
meningkatkan risiko bunuh diri. Masalah-masalah perilaku sering muncul setelah
tindak kekerasan, termasuk tindakan pelanggaran dan kriminalitas pada anak-anak
muda.
2.5

Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Dalam menghadapi masalah kekerasan dalam rumah tangga, harus diselesaikan

secara preventif dan kuratif. Preventif bertujuan untuk mengurangi KDRT di


masyarakat, sedangkan kuratif bertujuan untuk mengurangi dan menyembuhkan
trauma pada korban KDRT.
Kita dapat melakukan pencegahan (pendekatan preventif) KDRT dengan cara:
a. Menyelenggarakan pendidikan orangtua untuk dapat menerapkan cara mendidik
dan memperlakukan anak-anaknya secara humanis.
b. Mendidik anggota keluarga agar bisa menjaga diri dan terhindar dari KDRT.
c. Memberikan pendidikan tentang HAM dan pemberdayaan perempuan.
d. Membiasakan diri menolak kekerasan sebagai jalan menyelesaikan masalah.
e. Mengadakan penyuluhan untuk mencegah kekerasan.
f. Memberikan pembekalan bagi suami, istri, calon suami, dan calon istri bagaimana
membina hubungan yang baik dan harmonis.
g. Mendorong dan menfasilitasi pengembangan masyarakat untuk lebih peduli dan
responsif terhadap kasus-kasus KDRT yang ada di lingkungannya.

Sedangkan untuk korban KDRT itu sendiri, diatasi dengan menggunakan


pendekatan kuratif, yaitu:
a. Memberikan sanksi edukatif kepada pelaku KDRT
b. Membawa korban KDRT ke dokter
c. Memberikan perlindungan bagi korban KDRT
d. Melaporkan kepada yang berwenang
e. Melakukan konsultasi dengan psikologi
f. Memberikan pendampingan bagi korban KDRT
g. Peduli pada korban KDRT dan tidak menyalahkan.

BAB 3
PENUTUP
2.5 Kesimpulan
1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga.
2. Penyebab kekerasan dalam rumah tangga dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu
aspek ekonomi, aspek sosial-budaya, dan aspek politik. Selain itu, ada juga
penyebab-penyebab lainnya yang dapat memicu terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga.
3. Kekerasan yg dilakukan dalam bentuk kekerasan psikologis atau mental
merupakan kekerasan yang dapat dilakukan dengan berkata kasar dengan
intonasi yang tinggi, dapat berupa tingkah laku yang posesive berlebihan,
mengurung korban dirumah dan tidak memberikan nafkah atau sumber
kehidupan, meracuni konsep diri dan harga diri dengan sikap dan kata-kata
yang selalu negatif.
4. kekerasan dalam rumah tangga akan berdampak secara fisik, psikologis,
seksual, sosial dan ekonomi. Dampak psikis dari kekerasan yang dialami
akan menimbulkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis
berat. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga dapat berakibat ke anak
karena secara tidak langsung si anak akan melihat kekerasan yang dilakukan
oleh ayahnya kepada ibunya atau pun sebaliknya
5. Implikasi keperawatan yang harus dilakukan adalah sesuai dengan peran
perawat antara lain mesupport secara psikologis korban, melakukan
pendamping-an, melakukan perawatan fisik korban dan merekomendasikan
crisis women centre.

3.2

Saran
Dengan disahkan undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga, pemerintah dan masyarakat lebih berupaya menyadarkan dan membuka mata
serta hati untuk tidak berdiam diri bila ada kasus kekerasan dalam rumah tangga lebih
ditingkatkan pengawasannya.
Meningkatkan peran perawat untuk ikut serta menangani kasus kekerasan dalam
rumah tangga dan menekan dampak yang terjadi dengan memfasilitasi setiap Rumah
Sakit

memiliki

ruang

perlindungan

korban

mendampingi dan memulihkan kondisi psikisnya.

kekerasan

dalam

rumah

tangga,

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah


Tangga
http://atyckdhina.blogspot.com/2012/05/kekerasan-dalam-rumah-tangga-kdrt.html
(diakses tanggal 4 November 2013)
http://esterlianawati.wordpress.com/2011/06/25/dampak-psikis-kekerasan-dalamrumah-tangga/ (diakses tanggal 4 November 2013)
http://psikologi.or.id/psikologi-klinis/sudut-pandang-kdrt-dalam-psikologi-klinis.htm
(diakses tanggal 4 November 2013)
http://staff.uny.ac.id Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Perspektif Psikologis dan
Edukatif Rochmat Wahab (diakses tanggal 4 November 2013)

Anda mungkin juga menyukai