Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kekerasan Dalam Rumah Tangga sering terjadi di Indonesia. Meskipun


jumlah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang selanjutnya disebut
KDRT cenderung turun, jika dibandingkan dengan tahun 2007 jumlahnya
masih 87,32 persen dengan jumlah kasus 284, sehingga belum signifikan.
Hingga Desember 2008, jumlah kasus KDRT masih tinggi yakni 279 kasus
dengan korban perempuan sebanyak 275 kasus. Pelaku KDRT masih
didominasi oleh suami sebesar 76,98 persen dan 6,12 persen dilakukan oleh
mantan suami, sisanya 4,68 persen dilakukan oleh orang tua, anak, dan saudara
dan 9,35 persen oleh pacar atau teman dekat.1

Anggota keluarga yang sering menjadi korban adalah kaum wanita dan
anak-anak. Kaburnya definisi KDRT sendiri menjadi masalah di negara ini.
Adanya delik pengaduan yang merupakan syarat diusutnya KDRT merupakan
masalah berikutnya yang belum ditangani. Delik yang belum tentu diajukan
oleh pihak keluarga merupakan alasan mengapa angka KDRT di Indonesia
disebut fenomena gunung es. Adapun alasan keengganan keluarga untuk
mengajukan delik bisa beragam, antara lain karena masih ada budaya maupun
anggapan bahwa KDRT merupakan permasalahan rumah tangga yang bersifat
domestik dan menjadi rahasia rumah tangga masing-masing.1,2

Penanganan kasus yang termasuk dalam tindak pidana ini belum tuntas
karena adanya kerancuan penggunaan dasar hukum yang mengaturnya.
Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam
tumah tangga, selanjutnya disebut UU PKDRT yang telah disahkan seharusnya
menjadi dasar hukum namun pada kenyataannya penanganan kasus KDRT
seringkali masih menggunakan KUHP sebagai dasar pemberian sanksi kepada
pelaku tindak KDRT. Sanksi yang diberikan kepada pelaku juga lebih ringan
karena masih menggunakan KUHP, bukan berdasarkan UU PKDR T.1,2

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Kekerasan Dalm Rumah Tangga?

2. Bagaimana aspek hukum dalam Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah


Tangga?

3. Bagaimana sanksi pidana pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga?

1.3 Tujuan

4. Untuk mengetahui pengertian dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga

5. Untuk mengetahui aspek hukum dalam penghapusan kekerasan dalam


rumah tanga

6. Untuk mengetahui sanksi pidana pada kekerasan dalam rumah tangga

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
2.1.1 Definisi Keluarga
Keluarga yang merupakan bagian dari masyarakat sesungguhnya
mempunyai peranan yang sangat penting dalam membentuk budaya
dan perilaku sehat. Dari keluargalah pendidikan kepada individu
dimulai, tatanan masyarakat yang baik diciptakan, budaya dan
perilaku sehat dapat lebih dini ditanamkan. Oleh karena itu, keluarga
mempunyai posisi yang strategis untuk dijadikan sebagai unit
pelayanan kesehatan karena masalah kesehatan dalam keluarga saling
berkaitan dan saling mempengaruhi antar anggota keluarga, yang pada
akhirnya juga akan mempengaruhi juga keluarga dan masyarakat yang
ada disekitarnya. Banyak ahli menguraikan pengertian keluarga sesuai
dengan perkembangan sosial masyarakat. Berikut ini definisi keluarga
menurut beberapa ahli dalam (Jhonson R, 2010):
1. Raisner

Keluarga adalah sebuah kelompok yang terdiri dan dua orang atau
lebih masing-masing mempunyai hubungan kekerabatan yang
terdiri dari bapak, ibu, kakak, dan nenek.

2. Duval

Menguraikan bahwa keluarga adalah sekumpulan orang dengan


ikatan perkawinan, kelahiran dan adopsi yang bertujuan untuk
menciptakan, mempertahankan budaya dan meningkatkan
perkembangan fisik, mental, emosional serta sosial dari setiap
anggota keluarga.

3. Spradley and Allender

3
Satu atau lebih yang tinggal bersama, sehingga mempunyai ikatan
emosional dan mengembangkan dalam interelasi sosial, peran dan
tugas.

4. Departemen Kesehatan RI

Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri


dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan
tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling
ketergantungan.

2.1.2 Definisi Rumah Tangga


Menurut Undang-undang Republik Indonesia nomor 23
Tahun 2004 Pasal 2, lingkup rumah tangga meliputi:
e. Suami, istri dan anak
f. orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang
menetao dalam rumah tangga dan/atau
g. orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap
dalam rumah tangga tersebut
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah seorang atau
sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan
fisik/sensus, dan biasanya makan bersama dari satu dapur. Yang
dimaksud dengan makan dari satu dapur adalah mengurus
kebutuhan sehari-hari bersama menjadi satu. Rumah tangga
dipimpin oleh kepala rumah tangga yaitu seseorang yang
dianggap/ditunjuk untuk bertanggung jawab atas kebutuhan sehari-
hari rumah tangga tersebut.
2.1.3 Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kekerasan adalah
perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan
cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik

4
atau barang orang lain. Rumah tangga adalah yang berkenaan
dengan urusan kehidupan dalam rumah atau berkenaan dengan
keluarga. Kekerasan dalam rumah tangga adalah perbuatan
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.3
Berdasarkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (PKDRT) No. 23 tahun 2004 seperti yang
tertuang dalam pasal 1 ayat 1 yang dimaksud dengan kekerasan
dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga.1
Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga tidak
hanya yang terjadi di dalam rumah tangga, bisa saja kejadiannya di
luar rumah. Yang terpenting adalah baik pelaku maupun korbannya
adalah berada dalam ikatan rumah tangga atau anggota rumah
tangga.2

2.2 EPIDEMIOLOGI
Kekerasan dalam rumah tangga memiliki tren yang terus
meningkat dari tahun ke tahun. Data yang diperoleh dari Catatan Tahunan
Komnas Perempuan, menunjukkan bahwa ada 259.150 kasus kekerasan
terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2016,
yang terdiri dari 245.548 kasus bersumber pada data kasus/perkara yang
ditangani oleh 359 Pengadilan Agama, serta 13.602 kasus yang ditangani

5
oleh 233 lembaga mitra pengada layanan, tersebar di 34 Provinsi. Tahun
2017 Komnas Perempuan mengirimkan 674 lembar formulir kepada
lembaga mitra Komnas Perempuan di seluruh Indonesia dengan tingkat
respon pengembalian mencapai 34%, yaitu 233 formulir. Data Pengadilan
Agama sejumlah 245.548 adalah kekerasan terhadap istri yang
berujung pada perceraian. Sementara dari 13.602 kasus yang masuk dari
lembaga mitra pengaduan layanan, kekerasan yang terjadi di ranah personal
tercatat 75% atau 10.205 kasus. Data pengaduan langsung ke Komnas
Perempuan lewat juga menunjukkan tren yang sama, KDRT lain menempati
posisi kasus yang paling banyak diadukan yaitu sebanyak 903 kasus (88%)
dari total 1.022 kasus yang masuk. Untuk kekerasan di ranah rumah tangga.4

Kekerasan Terhadap Istri (KTI)


menempati peringkat pertama 5.784 kasus (56%). Presentase tertinggi
adalah kekerasan fisik 42% (4.281kasus), diikuti kekerasan seksual 34%
(3.495 kasus), kekerasan psikis 14% (1.451 kasus) dan kekerasan ekonomi
10% (978 kasus). Untuk kekerasan seksual di ranah KDRT tahun
ini, perkosaan menempati posisi tertinggi sebanyak 1.389 kasus, diikuti
pencabulan sebanyak 1.266 kasus.5

2.3 BENTUK-BENTUK KEKERASAN


Bentuk kekerasan yang termasuk ke dalam kategori kekerasan
dalam rumah tangga meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan
seksual, dan penelantaran rumah tangga (pasal 5).2

UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 5


Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga
terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:
h. kekerasan fisik;
i. kekerasan psikis;

6
j. kekerasan seksual; atau
k. penelantaran rumah tangga.

Definisi dari masing-masing kekerasan ini diatur dalam undang-


undang pasal 6 sampai pasal 9.2 Kekerasan fisik adalah perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (pasal 6).2 Kekerasan
yang termasuk luka berat mendasarkan pada ketentuan pasal 90 KUHP,
berarti yang termasuk luka berat antara lain jatuh sakit atau mendapatkan
luka yang tidak diharapkan akan sembuh secara sempurna, atau
menimbulkan bahaya maut, untuk selamanya tidak mampu menjalankan
tugas jabatan atau pekerjaan yang merupakan mata pencaharian, kehilangan
salah satu panca indera, mendapat cacat berat, mendapat sakit lumpuh,
terganggunya daya pikir selama lebih dari empat minggu, gugurnya atau
terbunuhnya kandungan seorang perempuan.5

UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 6


Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah
perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,


hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kesempatan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7). 2
Istri menjadi tertekan, lalu depresi, karena ruang geraknya menjadi terbatas
dan tidak lagi merasakan kebebasannya sebagai individu, contohnya
pernyataan suami kepada istrinya untuk tidak keluar rumah, kalau
melanggar harus menanggung akibatnya.6

UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 7


Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah
perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,

7
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang.

Kekerasan seksual adalah pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan


terhadap orang yang menetap dalam lingkungan tersebut atau pemaksaan
hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya
dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (pasal 8).2
Maraknya peredaran VCD atau media lain yang mengajarkan teknik
berhubungan seks terkadang membuat suami ingin menerapkannya tanpa
kesepakatan sang istri lebih dulu. Akibatnya istri mengalami tekanan batin.
Disatu sisi, mereka merasa jijik, tapi disisi lain takut jika ditinggalkan suami
jika menolak.6

UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 8


Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi:
a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut;
b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Penelantaran yang dimaksud dalam pasal 9 ayat 1 dan 2 yaitu jika orang
yang menurut hukum atau karena perjanjian atau persetujuan menelantarkan
kewajibannya untuk memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan
kepada orang-orang dalam lingkup rumah tangga atau orang yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau
melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga
korban berada di bawah kendali orang terebut.2,6 Tindak pidana kekerasan
fisik, kekerasan psikis, dan kekerasan seksual merupakan delik aduan.2

UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 9

8
(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut.
(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah
sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

2.4 PENYEBAB KDRT


Faktor- faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga yaitu:6

1. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan


istri.

Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah


terkonstruk sedemikian rupa dalam keluarga dan kultur serta struktur
masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh karena harus
melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini
menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan akhirnya bersikap
sewenang-wenang terhadap istrinya.

2. Ketergantungan ekonomi

Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami


memaksa istri untuk menuruti semua keinginan suami meskipun istri
merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan kepada
istri tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan
pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-
anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-
wenang kepada istrinya.

3. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik

9
Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan
dalam rumah tangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai
pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena tidak
dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan
dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak
melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika
perempuan rewel maka harus diperlakukan secara keras agar ia
menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering
menggunakan kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan problem
rumah tangganya.

4. Persaingan

Perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan,


pergaulan, penguasaan ekonomi baik yang mereka alami sejak masih
kuliah, di lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat di mana
mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan selanjutnya dapat
menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di
satu sisi suami tidak mau kalah, sementara di sisi lain istri juga tidak
mau terbelakang dan dikekang.

5. Frustrasi

Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya


karena merasa frustasi tidak bisa melakukan sesuatu yang semestinya
menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada pasangan yang:

l. Belum siap kawin

m. Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang


mencukupi kebutuhan rumah tangga.

n. Masih serba terbatas dalam kebebasan karena masih menumpang


pada orang tua atau mertua. Dalam kasus ini biasanya suami
mencari pelarian kepada mabuk-mabukan dan perbuatan negatif

10
lain yang berujung pada pelampiasan terhadap istrinya dengan
memarahinya, memukulnya, membentaknya dan tindakan lain
yang semacamnya.

6. Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum

Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam


rumah tangga tidak terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban
suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi laporan korban kepada
aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya
kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya
KUHAP membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri sebagai
korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi
korban. Dalam proses sidang pengadilan, sangat minim kesempatan
istri untuk mengungkapkan kekerasan yang ia alami.

2.5 DAMPAK KDRT


Karena kekerasan sebagaimana tersebut di atas terjadi dalam
rumah tangga, maka penderitaan akibat kekerasan ini tidak hanya dialami
oleh istri saja tetapi juga anak-anaknya. Adapun dampak kekerasan
dalam rumah tangga yang menimpa istri adalah:8
7. Kekerasan fisik langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan
istri menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat
tindakan kekerasan tersebut.

8. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya


gairah seks, karena istri menjadi ketakutan dan tidak bisa merespon
secara normal ajakan berhubungan seks.

9. Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan, shock,


trauma, rasa takut, marah, emosi tinggi dan meledak-ledak, kuper,
serta depresi yang mendalam.

11
10. Kekerasan ekonomi mengakibatkan terbatasinya pemenuhan
kebutuhan sehari-hari yang diperlukan istri dan anak-anaknya.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa kekerasan tersebut juga
dapat berdampak pada anak-anak. Adapun dampak-dampak itu dapat
berupa efek yang secara langsung dirasakan oleh anak, sehubungan
dengan kekerasan yang ia lihat terjadi pada ibunya, maupun secara
tidak langsung. Bahkan, sebagian dari anak yang hidup di tengah
keluarga seperti ini juga diperlakukan secara keras dan kasar karena
kehadiran anak terkadang bukan meredam sikap suami tetapi malah
sebaliknya.

Menyaksikan kekerasan adalah pengalaman yang amat traumatis


bagi anak-anak. Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami anak-anak
membuat anak tersebut memiliki kecenderungan seperti gugup, gampang
cemas ketika menghadapi masalah, sering ngompol, gelisah dan tidak
tenang, jelek prestasinya di sekolah, mudah terserang penyait seperti
sakit kepala, perut, dan asma, kejam kepada binatang, Ketika bermain
sering meniru bahasa yang kasar, berperilaku agresif dan kejam, suka
minggat, dan suka melakukan pemukulan terhadap orang lain yang tidak
ia sukai. Kekerasan dalam rumah tangga yang ia lihat adalah sebagai
pelajaran dan proses sosialisasi bagi dia sehingga tumbuh pemahaman
dalam dirinya bahwa kekerasan dan penganiayaan adalah hal yang wajar
dalam sebuah kehidupan berkeluarga. Pemahaman seperti ini
mengakibatkan anak berpendirian bahwa:8

11. Satu-satunya jalan menghadapi stres dari berbagai masalah adalah


dengan melakukan kekerasan

12. Tidak perlu menghormati perempuan

13. Menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan berbagai persoalan


adalah baik dan wajar

12
14. Menggunakan paksaan fisik untuk mendapatkan sesuatu yang
diinginkan adalah wajar dan baik-baik saja.

Di samping dampak secara langsung terhadap fisik dan psikologis


sebagaimana disebutkan di atas, masih ada lagi akibat lain berupa
hubungan negatif dengan lingkungan yang harus ditanggung anak
seperti:10

15. Harus pindah rumah dan sekolah jika ibunya harus pindah rumah
karena menghindari kekerasan.

16. Tidak bisa berteman atau mempertahankan teman karena sikap ayah
yang membuat anak terkucil.

17. Merasa disia-siakan oleh orang tua. Kebanyakan anak yang tumbuh
dalam rumah tangga yang penuh kekerasan akan tumbuh menjadi
anak yang kejam. Penelitian membuktikan bahwa 50% - 80% laki-
laki yang memukuli istrinya atau anak-anaknya, dulunya dibesarkan
dalam rumah tangga yang bapaknya sering melakukan kekerasan
terhadap istri dan anaknya. Mereka tumbuh dewasa dengan mental
yang rusak dan hilangnya rasa iba serta anggapan bahwa melakukan
kekerasan terhadap istri adalah bisa diterima.

2.6 ASPEK HUKUM TENTANG KDRT


Semakin besarnya peranan lembaga-lembaga sosial atau WCC
(Woman Care Center) dalam menanamkan kesadaran akan hak dan
memberikan pendampingan serta perlindungan kepada korban kasus
KDRT dipengaruhi oleh lahirnya peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Lahirnya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
KDRT, Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2006 tentang
Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban KDRT, Peraturan
Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Terhadap

13
Perempuan, Undang- Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, dan peraturan perundangan lainnya yang memberikan
tugas dan fungsi kepada lembaga-lembaga yang terkoordinasi
memberikan perlindungan hukum terhadap kasus KDRT dan termasuk
lembaga-lembaga sosial yang bergerak dalam perlindungan terhadap
perempuan. Bahkan dalam rencana pembentukan peraturan perundang-
undangan tersebut tidak terlepas dari peran lembaga sosial.6
o. Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga yang selanjutnya disebut sebagai UU
PKDRT diundangkan tanggal 22 September 2004 dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 95. Fokus UU PKDRT ini
ialah kepada upaya pencegahan, perlindungan dan pemulihan korban
kekerasan dalam rumah tangga.
UU PKDRT Pasal 1 menyebutkan Penghapusan Kekerasaasan
Dalam Rumah Tangga dilaksanakan berdasarkan:
1. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

2. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang


diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan
melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.

3. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman


kekerasan dalam lingkup rumah tangga.

14
4. Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan
rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga,
advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau
pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan
pengadilan.

5. Perlindungan Sementara adalah perlindungan yang langsung


diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain,
sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan.

6. Perintah Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh


Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban.

7. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya


dibidang pemberdayaan perempuan.

UU PKDRT Pasal 2 menyebutkan Penghapusan Kekerasan Dalam


Rumah Tangga dilaksanakan berdasarkan:

1) Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi :

a. Suami, isteri, dan anak;

b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang


sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah,
perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang
menetap dalam rumah tangga; dan/atau

c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam


rumah tangga tersebut.

2) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud pada huruf c dipandang


sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam
rumah tangga yang bersangkutan.

15
Pembahasan pasal 2 undang-undang nomor 23 tahun 2004
disebutkan bahwa lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini
meliputi : suami, isteri, dan anak. Suami adalah seorang pelaku
dalam pernikahan yang berjenis kelamin pria yang berikrar, berucap
janji untuk memperistri wanitanya. Seorang pria biasanya menikah
dengan seorang wanita dalam suatu upacara pernikahan sebelum
diresmikan statusnya sebagai seorang suami dan pasangannya sebgai
seorang istri. Istri adalah seorang pelaku pernikahan yang berjenis
kelamin wanita seorang wanita biasanya menikah dengan seorang
pria dalam suatu upacara pernikahan. Dan yang dimaksud anak
adalah seorang laki atau perempuan yang belum dewasa atau belum
mengalami masa pubertas. Dan menurut psikologi adalah periode
perkembangan merentang dari masa bayi sampai usia 6 tahun. Yang
termasuk dalam ruang lingkup keluarga adanya hubungan darah,
perkawinan laki dan perempuan, persusuan, pengasuhan ( seperti
pembantu rumah tangga), perwalian dan seseorang yang menetap
dalam rumah tangga tersebut. Atau orang yang bekerja dalam
membantu rumah tangga tersebut dan orang itu menetap dalam
rumah tangga tersebut.

UU PKDRT Pasal 3 menyebutkan Penghapusan Kekerasan Dalam


Rumah Tangga dilaksanakan berdasarkan :
• Penghormatan hak asasi manusia

• Keadilan dan kesetaraan gender

• Nondiskriminasi

• Perlindungan korban.

Pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang tercan-


tum adalah penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan
berdasarkan asas: a. penghormatan hak asasi manusia, b. keadilan dan ke-

16
setaraan gender; c. non diskriminasi; dan d. perlindungan korban.Di awal
telah disebutkan bahwa kaum perempuan mempunyai hak asasi yang
sama dengan hak asasi kaum laki-laki. Adapun yang dimaksudkan den-
gan “kesetaraan gender” adalah suatu keadaan dimana perempuan dan
laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama
untuk mewujudkan secara penuh hak-hak asasi manusia dan potensinya
bagi keutuhan dan kelangsungan rumah tangga secara proporsional.

Selanjutnya asas yang ke-3 adalah nondiskriminasi. Dengan dirati-


fikasinya konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan dan kemudian dimuat dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1984, diharapkan masyarakat tidak melakukan diskrimi-
nasi terhadap perempuan ,baik di ranah domestik,maupun diranah publik.

Diskriminasi terhadap wanita (perempuan) berarti setiap pembe-


daan, pengecualian atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin,
yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau mengha-
puskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia
dan kebebasan-kebebasan dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil
atau apapun lainnya oleh kaum wanita, terlepas dari status perkawinan
mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita

UU PKDRT Pasal 21 menyebutkan Penghapusan Kekerasan


Dalam Rumah Tangga dilaksanakan berdasarkan:
2. Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga
kesehatan harus :
a. memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya;

b. membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban


dan visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau
surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang
sama sebagai alat bukti.

17
3. Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau
masyarakat.

UU PKDRT Pasal 39 menyebutkan tentang Pemulihan Korban


dalam Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dilaksanakan
berdasarkan:

Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan


dari :

a. Tenaga kesehatan;

b. Pekerja sosial;

c. Relawan pendamping; dan/atau

d. Pembimbing rohani.

UU PKDRT Pasal 40 menyebutkan tentang Pemulihan Korban


dalam Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dilaksanakan
berdasarkan:

1. Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar


profesinya.

2. Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib


memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.

UU PKDRT Pasal 41 menyebutkan tentang Pemulihan Korban dalam


Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dilaksanakan
berdasarkan:

Pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani


wajib memberikan pelayanan kepada korban dalam bentuk pemberian
konseling untuk menguatkan dan/atau memberikan rasa aman bagi
korban.

18
UU PKDRT Pasal 42 menyebutkan tentang Pemulihan Korban dalam
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dilaksanakan
berdasarkan:

Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja


sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat
melakukan kerja sama.

2.7 KETENTUAN PIDANA


Ketentuan pidana terhadap pelanggaran KDRT diatur oleh Undang-
undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
KDRT sebagai berikut :6
• UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 44
1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam
lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf
a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta
rupiah).

3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)


mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp
45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).

4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari,

19
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau
denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

• UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 45


2) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp
9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).

3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

• UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 46

Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana
penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp
36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

• UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 47


Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah
tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
atau denda paling sedikit Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) atau
denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

• UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 48


Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan
Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi
harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir
atau kejiwaan sekurangkurangnya selama 4 (empat) minggu terus

20
menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya
janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat
reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda
paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

• UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 49

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau


denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap
orang yang :

c. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya


sebgaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
d. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(2).
• UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 50
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat
menjatuhkan pidana tambahan berupa :

a. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan


pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun
pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;

b. Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah


pengawasan lembaga tertentu.

• UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 51


Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
ayat (4) merupakan delik aduan.

• UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 52

21
Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
ayat (2) merupakan delik aduan.

• UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 53


Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakan
delik aduan.

2.8 PEMULIHAN KORBAN KDRT

Pemulihan korban berdasarkan kepada Undang-undang No. 23


tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga : 11

• UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 39

Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh


pelayanan dari:

p. Tenaga kesehatan;

q. Pekerja sosial;

r. Relawan pendamping; dan/atau

s. Pembimbing rohani.

• UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 40

8. Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar


profesinya

9. Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib


memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.

• UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 42

22
Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan,
pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat
melakukan kerja sama.

Yang dimaksud dengan upaya pemulihan korban Peraturan


Pemerintah RI No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan
Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga pada
Pasal 1 ayat 1 ialah :

Segala upaya untuk penguatan korban kekerasan dalam rumah tangga


agar lebih berdaya baik secara fisik maupun psikis. 11

• PP PKPKKDRT Pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa Penyelenggaraan


pemulihan ialah:

Segala tindakan yang meliputi pelayanan dan pendampingan korban


KDRT.

• PP PKPKKDRT Pasal 2 ayat 1 menyebutkan :

Bahwa penyelenggaraan pemulihan terhadap korban dilaksanakan


oleh instansi pemerintah dan pemerintah daerah serta lembaga sosial
sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing, termasuk
menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk pemulihan korban. Hal
yang sama disebutkan dalam PP RI Pasal 19 yang menyebutkan :

Untuk penyelenggaraan pemulihan, pemerintah dan pemerintah


daerah sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing dapat
melakukan kerjasama dengan masyarakat atau lembaga sosial, baik
nasional maupun internasional yang pelaksanaannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dari ketentuan ini, lembaga sosial mendapat kesempatan untuk


berperan dalam melakukan upaya pemulihan korban KDRT.

23
• PP PKPKDRT Pasal 4 menyebutkan Penyelenggaraan kegiatan
pemulihan korban meliputi:10

c. Pelayanan kesehatan

d. Pendampingan korban

e. Konseling

f. Bimbingan rohani

g. Resosialisasi

2.9 PERAN KEDOKTERAN FORENSIK DALAM UNDANG-UNDANG


PKDRT

2.9.1 Kedudukan Visum Et Repertum dalam Pembuktian Tindak Pidana


Kekerasan Dalam Rumah Tangga12

Visum et Repertum sangat penting sekali dalam pembuktian tindak


pidana kekerasan dalam rumah tangga karena dengan adanya visum
tersebut maka perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dapat terbukti
dan terdakwa dapat dihukum karena perbuatannya tersebut.

Terhadap kekerasan fisik, akan dilakukan Visum et Repertum. Vi-


sum ini berguna sebagai salah satu alat bukti otentik bahwa telah ter-
jadi kekerasan fisik, diakibatkan oleh apa, dan ukuran lukanya. Bi-
asanya korban yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga akan
terlihat lebam atau pun luka di tubuhnya. Luka tersebut kemudian akan
diperiksa oleh pihak rumah sakit yang akan mengeluarkan visum
nantinya. Visum terhadap kekerasan dalam rumah tangga berupa kek-
erasan fisik memang sebaiknya dilakukan sesegera mungkin, seketika
setelah kekerasan dalam rumah tangga terjadi. Hal ini agar tanda-tanda
fisik bekas penganiayaan tidak keburu hilang.

24
Pada pemeriksaan kasus perlukaan atau korban yang mengalami
kekerasan fisik , maka dokter akan menentukan jenis luka yang ada
pada tubuh korban, dan dari jenis luka tersebut maka dokter kemudian
dapat mengetahui jenis kekerasan yang menyebabkan luka atau alat
apa yang digunakan oleh pelaku.

Setelah melakukan pemeriksaan terhadap korban yang mengalami


kekerasan fisik maka dalam rangka membuat kesimpulan mengenai
hasil visum tersebut dokter harus memperhatikan terlebih dahulu kuali-
fikasi luka yang ada.

Hal ini mengacu pada Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yaitu:

1. Tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan


pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari;

2. Mengakibatkan jatuh sakit atau luka berat;

3. Mengakibatkan kematian.

Visum et Repertum mempunyai daya bukti dalam suatu perkara pi-


dana apabila kalau bunyi visum tersebut telah dibacakan dimuka
sidang pengadilan. Apabila tidak, maka visum tersebut tidak berarti
apa pun. Hal ini karena visum dibuat dengan sumpah jabatannya. Vi-
sum merupakan tanda bukti, sedangkan korban yang diperiksa adalah

12
bahan bukti.

Pasal 55 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pengha-


pusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga memberikan pengecualian
mengenai pembuktian tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga,
dimana bahwa keterangan seorang saksi korban saja bisa membuktikan

25
bahwa terdakwa telah terbukti bersalah. Alat bukti yang sah dalam ka-
sus pembuktian kekerasan seksual adalah keterangan dari terdakwa.
Hal ini diterapkan karena melihat bahwa pembuktian mengenai kek-
erasan dalam rumah tangga ini dapat dikatakan sulit karena kasus
tersebut terjadi di dalam lingkup rumah tangga dan biasanya para
tetangga enggan untuk ikut campur.

Terhadap pengaduan kekerasan psikis, berupa perbuatan yang


mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya ke-
mampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan
psikis berat pada seseorang juga sebaiknya ditindak lanjuti oleh pene-
gak hukum. Untuk menambah alat bukti dan memperkuat penyidikan
penegak hukum dapat meminta ahli (psikiater/psikolog) untuk dimintai
pendapatnya mengenai kekerasan psikis ini. Polisi, Jaksa dan Hakim
tidak memiliki legitimasi yuridis dan keilmuan untuk menentukan se-
cara persis mengenai bentuk dan penyebab kekerasan fisik demikian.
dokterlah yang memiliki legitimasi yuridis dan keilmuan untuk men-
geluarkan visum demikian.

Pada hakikatnya dalam suatu perkara pidana Visum et Repertum itu


berfungsi sebagai berikut:

1. Membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan


pemeriksaan;

2. Untuk mementukan arah penyelidikan;

3. Menentukan tugas selanjutnya bagi Penuntut Umum dan Hakim di


pengadilan;

4. Menggantikan sepenuhnya Corpus Delicti (pengganti barang bukti)


karena barang bukti yang berasal dari tubuh manusia seperti luka
maupun jenazah akan berubah.

26
Melalui hasil pemeriksaan Dokter terhadap Korban yang di-
tuangkan dalam bentuk Visum et Repertum sebagai pengganti barang
bukti, maka Penuntut Umum dapat lebih mempertajam tuntutannya
serta menerapkan Pasal-Pasal dari KUHP atau undang-undang lainnya
terutama dalam peristiwa pidana yang dilakukan dengan kekerasan
bahkan Jaksa selaku Penuntut Umum maupun Hakim setelah mem-
pelajari isi dari Visum et Repertum dapat membayangkan bagaimana
keadaan barang bukti pada saat terjadinya peristiwa pidana.

Dengan adanya visum ini, maka penyidikan tindak pidana yang


menyangkut kesehatan ataupun nyawa manusia akan menjadi lancar
dan berfungsi guna menggantikan sepenuhnya Corpus Delicti dan apa-
bila tanda bukti suatu perkara pidana merupakan suatu bentuk benda
tajam dan lain-lain pada umumnya selalu dapat diajukan di muka
sidang sebagai alat bukti.

Jika Corpus Delicti yang berupa tubuh manusia, misalnya berupa


luka-luka pada tubuh seseorang selalu berubah-ubah yaitu mungkin
akan sembuh, membusuk atau menimbulkan kematian, maka secara
mutlak akan dipergunakan Visum et Repertum karena Corpus Delicti
yang demikian tidak mungin dibawa ke persidangan.

Pemeriksaan oleh Hakim di persidangan apakah ada atau tidak ada


Visum et Repertum, maka perkara yang bersangkutan harus diperiksa
dan diputus. Kelengkapan Visum et Repertum dalam berkas perkara
Terdakwa yang diperiksa oleh Hakim, diserahkan kepada Penuntut
Umum yang mulai diserahkan kepadanya berkas perkara, Pro Justisia
tersebut oleh Penyidik, Penuntut Umum memang berusaha untuk
membuktikannya dalam sidang agar Majelis Hakim dapat membuk-
tikan perkara tersebut.

Visum et Repertum mempunyai nilai hukum apabila kesimpulan


yang diberikan oleh dokter dapat diterima oleh Hakim. Hakim dapat

27
menerima hasil kesimpulan dari Visum et Repertum sebagai alat bukti
surat dan mengambil alih kesimpulan tersebut yang didukung oleh pal-
ing sedikit satu alat bukti lain ditambah dengan keyakinan Hakim
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan bahwa Terdakwalah yang
bersalah.

2.9.2 Pemeriksaan Fisik pada Korban KDRT12

1. Tujuan pemeriksaan fisik pada korban KDRT

Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor


23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga Pasal 21 yang menyatakan bahwa:
1) Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban,
tenaga kesehatan harus:

a. Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar


profesinya;

b. Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap


korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik
kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki
kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.

2) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dilakukan disarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah
daerah, atau masyarakat.

Tujuan pemeriksaan fisik pada kasus KDRT adalah untuk


memberikan keterangan tentang kondisi korban sebagai salah satu
bagian dari pembuatan visum et repertum yang akan digunakan se-
bagai bukti yang sah yang termasuk dalam keterangan ahli,se-
hingga proses hukum bisa dijalankan.
2. Karakteristik kasus dan korban KDRT

28
Banyak wanita menganggap kekerasan dalam rumah tangga
sebagai suatu hal yang tabu. Itulah mengapa mereka cenderung
menutupi penderitaan fisik dan psikologis yang dilakukan
pasangannya. Adanya sikap posesif terhadap korban ataupun perilaku
mengisolasi korban dari dunia luar dapat dilihat sebagai tanda awal
KDRT. Korban biasanya tampak depresi, sangat takut pada
pengunjung/pasien lainnya dan yang merawatnya, termasuk pegawai
rumah sakit. Perhatikan perubahan sikap korban. Mereka akan
cenderung menarik diri dari lingkungan sosialnya. Mereka umumnya
tak ingin orang sekitarnya melihat tanda-tanda kekerasan pada diri
mereka. Kontak mata biasanya buruk. Korban menjadi pendiam.
Korban harus diperiksa secara menyeluruh untuk memeriksa dengan
teliti tanda-tanda kekerasan yang pada umumnya tersembunyi. Sebagai
contoh, kulit kepala dapat menunjukkan tanda tanda kekerasan.
Korban juga akan mencoba untuk menyembunyikan atau menutupi
luka-lukanya dengan memakai riasan wajah tebal, leher baju yang
tinggi, rambut palsu atau perhiasan.

3. Karakteristik Luka Pada Korban KDRT

Orang yang mendapat siksaan fisik dari pasangannya tak jarang


mengalami cedera. Hanya saja mereka cenderung menutupinya dengan
mengatakan bahwa luka tersebut akibat terjatuh, atau kecelakaan
umum. Untuk membedakannya, perlu diketahui ciri-ciri khusus luka
akibat kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga. Karakteristik
luka yang disebabkan oleh adanya KDRT, biasanya menunjukkan
gambaran sebagai berikut:

1) Luka bilateral, terutama pada ekstremitas.

2) Luka pada banyak tempat.

3) Kuku yang tergores, luka bekas sundutan rokok yang terbakar, atau
bekas tali yang terbakar.

29
4) Luka lecet, luka gores minimal, bilur.

5) Perdarahan subkonjungtiva yang diduga karena adanya pukulan


pada bagian mata sehingga melukai struktur dalam mata, bisa juga
terjadi jika berlaku perlawanan yang kuat antara korban dengan
pelaku sehingga secara tidak sengaja melukai korban.

4. Bentuk-Bentuk Luka

Adanya bentukan luka memberi kesan adanya kekerasan. Bentukan


luka merupakan tanda, cetakan atau pola yang timbul dengan segera di
bawah epitel oleh senjata penyebab luka. Bentuk luka dapat karena
benda tumpul, benda tajam (goresan atau tikaman) atau karena panas.

1) Kekerasan Tumpul

Kekerasan tumpul yang melukai kulit merupakan luka yang paling


sering terjadi, berupa luka memar, lecet dan luka goresan. Adanya
luka memar yang sirkuler ataupun yang linier memberi kesan
adanya penganiayaan. Luka memar parallel dengan sentral yang
bersih memberi kesan adanya penganiayaan dari objek linear.
Adanya bekas tamparan dengan bentukan jari juga harus dicatat.
Luka memar sirkuler dengan diameter 1 – 1,5 cm dengan tekanan
ujung jari mungkin terlihat sama dengan bentuk penjambretan.
Bentukan-bentukan tersebut sering tampak pada lengan atas bagian
dalam dan area-area yang tidak terlihat waktu pemeriksaan fisik.
Penganiayaan dengan menggunakan ikat pinggang atau kawat
menyebabkan luka memar yang datar,dan penganiayaan dengan sol
atau hak sepatu akan menyebabkan luka memar pada korban yang
ditendang.

2) Memar

Beberapa faktor mempengaruhi perkembangan luka memar,


meliputi kekuatan kekerasan tumpul yang diterima oleh kulit,

30
kepadatan vaskularisasi jaringan, kerapuhan pembuluh darah, dan
jumlah darah yang keluar ke dalam jaringan sekitar. Luka memar
yang digunakan untuk identifikasi umur dan penyebab luka, tidak
selalu menunjukkan kesamaan warna pada tiap orang dan tidak
dapat berubah dalam waktu yang sama antara satu orang dengan
orang lain. Beberapa petunjuk dasar tentang penampakan luka
memar sebagai berikut:

a. Waktu merah, biru, ungu, atau hitam dapat terjadi kapan saja
dalam waktu 1 jam setelah trauma sebagai resolusi dari memar.
Gambaran warna merah tidak dapat digunakan untuk
memperkirakan umur memar.

b. Memar dengan gradasi warna kuning umurnya lebih dari 18


jam.

c. Meskipun warna memar kuning, coklat, atau hijau merupakan


indikasi luka yang lama, tetapi untuk mendapatkan waktu yang
spesifik sulit.

3) Bekas Gigitan

Merupakan bentuk luka lain yang sering ada pada domestic


violence. Beberapa bentukan gigitan ini sulit untuk dikenali,
misalnya penampakan memar semisirkuler yang non spesifik, luka
lecet, atau luka lecet memar, dan masih banyak lagi gambaran yang
dapat dikenali karena lokasi anatomi dari gigitan dan pergerakan
tidak tetap pada kulit.

4) Bekas Kuku

Ada 3 macam tanda bekas kuku yang mungkin terjadi, bisa tunggal
atau kombinasi, yaitu sebagai berikut:

a) Impression marks

31
Bentukan ini merupakan akibat patahnya kuku pada kulit.
Bentuknya seperti koma atau setengah lingkaran.

b) Scratch marks

Bentuk ini superficial dan memanjang, kedalamannya sama


dengan kedalaman kuku. Bentukan ini terjadi karena wanita
yang menjadi korban berkuku panjang.

c) Claw marks

Bentukan ini terjadi ketika kulit terkoyak, dan tampak lebih


menyeramkan.

5) Strangulasi

Hanging, ligature, atau manual adalah 3 tipe dari strangulasi


(penjeratan). Dua tipe terakhir mungkin berhubungan dengan
domestic violence.

a) Ligature strangulation (garroting) dan Manual strangulation


(throttling)

Ligature strangulation (garroting) merupakan bentuk


strangulasi dengan menggunakan tali, seperti kabel telepon atau
tali jemuran. Sedangkan Manual strangulation (throttling)
biasanya menggunakan tangan, dilakukan dengan tangan depan
sambil berdiri atau berlutut di depan tenggorokan korban.

b) Strack dan McLane melakukan penelitian pada 100 wanita yang


dilaporkan mengalami pencekikan oleh pasangan mereka
dengan tangan kosong, lengan ataupun menggunakan alat (kabel
listrik, ikat pinggang, tali, peralatan mandi). Petugas kepolisian
melaporkan luka tidak tampak pada 62% wanita, luka tampak
minimal pada 22% dan luka yang signifikan seperti warna
merah, memar ataupun bekas tali yang terbakar pada 16%

32
sisanya. Hampir 50% dari para korban mengalami perubahan
suara dari disfonia sampai afonia.

c) Disfagia, odinofagia, hiperventilasi, dispneu, dan apneu


dilaporkan atau ditemukan. Dengan catatan, laporan
menunjukkan bahwa beberapa korban dengan keadaan awal
ringan, dapat meninggal dalam waktu 36 jam setelah
strangulasi.

d) Pada ligature strangulation sering tampak petechiae. Petechiae


pada konjungtiva terlihat sama banyaknya dengan petechiae
pada daerah jeratan, seperti wajah dan daerah periorbita.

e) Pada leher mungkin ditemukan goresan dan luka lecet dari


kuku korban atau kombinasi dari luka yang dibuat oleh pelaku
dan korban. Lokasi dan luas bervariasi dengan posisi pelaku
(depan atau belakang) dan apakah korban atau pelaku
menggunakan satu atau dua tangan. Pada Manual strangulation
korban sering merendahkan dagunya dalam upaya melindungi
leher, hal ini akan mengaakibatkan luka lecet pada dagu korban
dan tangan pelaku.

f) Luka memar tunggal atau area eritematous sering terlihat pada


ibu jari pelaku. Area dari luka memar dan eritema sering
terlihat bersama, berkelompok pada bagian samping leher,
sepanjang mandibula, bagian atas dagu, dan di bawah area
supraklavikula.

g) Ligature mark terlihat dari halus sampai keras. Menyerupai


lipatan kulit. Tanda (misalnya pola seperti gelombang kabel
telepon, seperti jalinan pita dari tali) dapat memberi kesan
korban telah dicekik. Sifat dan sudut pola ini diperlukan untuk
membedakan penggantungan dengan Ligature strangulation.
Pada Ligature strangulation, penekanan dari penjeratan

33
biasanya horizontal pada level yang sama dengan leher, dan
tanda penjeratan biasanya di bawah kartilago thyroid dan sering
tulang hyoid patah. Pada penggantungan, penekanan cenderung
vertical dan berbentuk seperti air mata, di atas kartilago
thyroid, dengan simpul pada daerah tengkuk, di bawah dagu,
atau langsung di depan telinga. Tulang hyoid biasanya masih
utuh.

h) Keluhan lainnya termasuk kehilangan kesadaran, defekasi,


muntah yang tidak terkontrol, mual dan kehilangan ingatan.

5. Distribusi Luka

Luka-luka pada KDRT biasanya mempunyai distribusi tertentu,


sebagai berikut:

1) Luka pada domestic violence biasanya sentral.

2) Tempat luka yang umum adalah daerah yang biasanya tertutup


oleh pakaian (misalnya dada, payudara dan perut).

3) Wajah, leher, tenggorokan dan genitalia juga tempat yang sering


mengalami perlukaan.

4) Lebih dari 50% luka disebabkan karena kekerasan pada kepala dan
leher. Pelaku laki-laki menghindari untuk menyerang wajah, tetapi
kemudian memukul kepala bagian belakang.

5) Luka pada wajah dilaporkan pada 94% korban domestic violence.

6) Trauma pada maxillofacial termasuk luka pada mata dan telinga,


luka pada jaringan lunak, kehilangan pendengaran, dan patah pada
mandibula, patah tulang hidung, orbita dan zygomaticomaxillary
complex.

34
Luka karena perlawanan, misalnya patah tulang, dislokasi sendi,
keseleo, dan atau luka memar dari pergelangan tangan atau lengan
bawah dapat mendukung adanya tanda dari korban untuk menangkis
pukulan pada wajah atau dada. Termasuk luka pada bagian ulnar dari
tangan dan telapak tangan (yang mungkin digunakan untuk menahan
serangan). Luka lain yang umum ada termasuk luka memar pada
punggung, tungkai bawah, bokong, dan kepala bagian belakang (yang
disebabkan karena korban membungkuk untuk melindungi diri). Luka
lecet yang banyak atau luka memar pada tempat yang berbeda sering
terjadi memperkuat kecurigaan adanya domestic violence. Peta tubuh
dapat membantu penemuan fisik adanya kekerasan termasuk dengan
memperhatikan kemungkinan tanda-tanda kekerasan pada daerah-
daerah yang tersembunyi. Terdapatnya luka yang banyak dengan tahap
penyembuhan yang bervariasi memperkuat dugaan adanya KDRT
yang berulang.

6. Peran Dokter dan Dokter Forensik


1) Peran Dokter
 Melakukan anamnesa yang terarah
 Menemukan tanda kekerasan
 Lakukan dokumentasi temuan
 Menilai keselamatan pasien/korban
 Memberikan pilihan yang realistik
2) Peran Dokter Forensik
 Mengobati korban dalam segala aspeknya.
 Mengumpulkan bukti biologis secara umum.
 Membuktikan adanya persetubuhan dan tanda kekerasan :
perlukaan, status generalis dan status lokalis.
 Menilai usia korban dan kondisi khusus korban : gangguan
kesadaran, keadaan kejiwaan & penyulit fisik akibat
persetubuhan-paksanya.

35
 Membantu penyidik: dugaan saat & lokasi persetubuhan serta
dugaan jatidiri pria pemerkosa.
 Membuat & serahkan visum et repertum korban.
 Memeriksa pria tersangka pelaku kekerasan atau perkosaan
 Memberikan keterangan atau kesaksian di pengadilan (sebagai
saksi ahli) atau forum lain dalam rangka penegakan keadilan.
7. Anamnesa
 Pengantar
“Banyak diantara pasien kami mengalami ketegangan dalam
hubungannya dengan suami, ...dst”
 Tak Langsung
“Gejala yang ibu alami mungkin akibat stress. Apakah ibu dan suami
sedang bertengkar?”
 Langsung
a. “Apakah suami pernah menyakiti?”
b. “Apa yang terjadi apabila terjadi ketidaksepakatan antara anda
dengan suami?”
c. “Apakah anda merasa aman dan tentram bila di rumah?”
d. “Pernakah anda ke dokter karena luka akibat kekerasan?”
e. “Pernakah anda takut bahwa anda akan disakiti orang dekat
anda?”
8. Pemeriksaan Fisik
 Menyeluruh
 Pemeriksaan status generalis
 Pemeriksaan status lokalis
 Pemeriksaan Ginekologis
 Pemeriksaan penunjang : Radiologi, USG, dll
 Luka Spesifik
- Nilai derajat keparahan, lokasi, jumlah, bentuk yang khas
- Marginal hematom

36
- Jejak ikatan, Jerat, Cekikan
- Luka tusuk, bacok, tembak
- Luka bakar : rokok, setrika
- Patah tulang
 Kulit dan Rambut
1) Cedera : Memar, lecet, luka terbuka, dll
2) Jaringan parut
3) Alopecia
 Wajah
- Hematom, edem, krepitasi
- Fraktur tulangwajah
 Mata
Perdarahan, kelainan korena, visus, lapang pandang, dll
 Telinga
Luka, membran timpani robek
 Hidung
Fraktur, perdarahan
 Mulut
Perdarahan, luka lama, keutuhan gigi

 Dada dan Perut


Kelainan kulit, nyeri, fraktur iga, hepar, hematom intra muskulatur,
retro-peritoneal, intra-abdominal
 Sistem Syaraf Pusat
- Syaraf pusat sensoris, motorik
- Uji awal kemampuan kognitif dan status mental
- Riwayat amnesia, pusing, sakit kepala, muntah, mual, dll
- CT scan bila ada indikasi
 Ginekologis
- Usahakan agar selalu dilakukan (harus ada inform consent)

37
- Dysuri, gangguan menstruasi, perdarahan pervaginam, masalah
seks, nyeri dubur
- Cedera dibagian luar: pubis, V/V, perieum, anus

38
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan salah satu bentuk


kekerasan terhadap perempuan karena korban KDRT pada umumnya ialah
perempuan. Kekerasan terhadap perempuan berarti kekerasan yang
melanggar hak asasi perempuan yang berarti juga kekerasan yang
melanggar hak asasi manusia.

Dengan dikeluarkannya UU PKDRT No. 23 Tahun 2004, masalah KDRT


tidak lagi menjadi masalah privat tetapi sudah menjadi masalah publik. Hal
ini dibuktikan dengan meningkatnya angka KDRT yang dilaporkan.
Peningkatan angka KDRT yang dilaporkan tersebut merupakan salah satu
perubahan cara pandang masyarakat Indonesia yang tidak lagi menganggap
KDRT merupakan masalah pribadi yang orang lain tidak boleh
mengetahuinya. Peningkatan data yang dilaporkan dan perubahan cara
pandang masyarakat mengenai KDRT adalah merupakan hasil kerja keras
beberapa pihak, salah satunya ialah lembaga sosial.

Perlindungan korban berarti perlindungan untuk tidak menjadi korban


tindak pidana dan perlindungan terhadap korban setelah terjadi tindak
pidana. Bahkan tujuan penghapusan KDRT mengandung pengertian
tersebut yaitu mencegah terjadinya KDRT, melindungi korban KDRT.

Sikap pelaku kekerasan yang melanggar perjanjian yang telah disepakati


bersama antara korban, pelaku, keluarga, dan/atau lembaga sosial menjadi
kendala bagi lembaga sosial untuk mengerjakan peran yang dimilikinya.
Pandangan masyarakat secara khusus laki-laki yang tidak percaya kepada
lembaga sosial, anggapan masyarakat bahwa lembaga sosial mengajari
perempuan untuk melawan suami, dan instansi lain seperti pengadilan dan

39
kejaksaan yang sulit untuk bekerjasama menjadi adalah alasan-alasan
eksternal yang menghambat lembaga sosial untuk mewujudkan tercapainya
tujuan penghapusan KDRT Untuk mengatasi kendala yang dihadapi
lembaga sosial baik internal maupun eksternal, lembaga sosial melakukan
beberapa tindakan untuk mengatasinya. Upaya-upaya mengatasi kendala
tersebut lebih bersifat kondisional, maksudnya berdasarkan kasus yang
terjadi. Untuk mengatasi kendala yang berasal dari dalam lembaga ialah
memperluas jaringan kerjasama dengan lembaga donor atau lembaga sosial
lainnya, menanamkan visi perjuangan kaum feminis kepada aktivis-aktivis
muda dan menantang untuk berkorban demi kepentingan korban.

Untuk mengatasi kendala dari luar lembaga ialah memberi ketegasan


kepada korban untuk melakukan dan memilih pilihan yang baik menurutnya
dan melakukan pilihan tersebut, memberdayakan korban dengan
menumbuhkan rasa percaya diri kepada korban dan keberanian untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapinya, memperkenalkan lembaga
kepada masyarakat dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada
lembaga.

3.2 SARAN

Setelah mengkaji beberapa aspek tentang kekerasan dalam rumah tangga,


maka kami menyarankan :

18. Bagi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga


Pada umumnya dapat berbagi dengan anggota keluarga, teman, atau
melapor ke LSM bahkan langsung ke pihak berwajib mengenai apa yang
sudah dialaminya. Korban dapat bercerita dengan pihak yang dianggapnya
mampu untuk menjaga dan membantu memecahkan masalah yang sedang
dihadapi. Bagi Masyarakat yang mengetahui adanya tindak kekerasan
diharapkan dapat membantu. Masyarakat mengadakan kesepakatan antar
warga untuk mengatasi masalah-masalah kekerasan dalam rumah tangga

40
yang terjadi di lingkungan sekitar, melalui penyuluhan warga. Masyarakat
dapat membantu korban untuk melaporkan kepada ketua RT dan polisi.

19. Bagi Instansi Terkait seperti, LSM, LBH, dan Kepolisian

Agar dapat cepat tanggap mengatasi masalah korban kekerasan. Hal


tersebut diharapkan dapat membantu korban-korban kekerasan untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi.

41
DAFTAR PUSTAKA

8. Irianto, Sulistyowati. Isu KDRT dan Perspektif Pluralisme Hukum.


Cetakan Pertama. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 2012.
9. Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 Tentang
PKDRT.
10. Alwi, Hasan. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama.
11. Sekilas Tentang Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (Cited on 2012 July 26). Available from : URL :
http://www.lbh-apik.or.id/fact-58.htm
12. Wijayanti, Asri SH MH. KDRT dan Perlindungan Anak. 25 Juli 2012.
Available from : URL:
http://www.gagasanhukum.wordpress.com/2012/06/08/kdrt-dan
perlindungan-anak-bagian-iii/
13. Karisma F dkk. 2010. Aspek Medikolegal Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. Semarang. Universitas Diponegoro.
14. Konsiderans Perpres No. 65 Tahun 2005 tentang Komnas Perempuan
15. Diana Ribka, Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam
Keluarga, Hasil Penelitian di Jakarta, Jakarta: Program Studi Kajian
Wanita Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 1998
16. Peraturan Pemerintah RI No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan
dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
17. Ratna Batara Munti (ed.), Advokasi Legislatif Untuk Perempuan:
Sosialisasi Masalah dan Draft Rancangan Undang-Undang Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, Jakarta: LBH APIK, 2000
18. Tim Kalyanamitra, Menghadapi Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
Jakarta: Kalyanamitra, Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan,
1999
19. Purwadianto, Agus. Pemeriksaan Medis Korban Kekerasan Dalam
Rumah Tangga

42

Anda mungkin juga menyukai