Anda di halaman 1dari 28

1

REFERAT

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

DI SUSUN OLEH
Erla Nurani, S.Ked
61111033
PEMBIMBING
dr. Reinhard JDH, SH, Sp.F, MM
dr. Agung Hadi Pramono, MH

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM
RSUD EMBUNG FATIMAH BATAM
PERIODE 3 OKTOBER 5 NOVEMBER 2016

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kekerasan Dalam Rumah Tangga sering terjadi di Indonesia. Meskipun
jumlah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang selanjutnya disebut
KDRT cenderung turun, jika dibandingkan dengan tahun 2007 jumlahnya
masih 87,32 persen dengan jumlah kasus 284, sehingga belum signifikan.
Hingga Desember 2008, jumlah kasus KDRT masih tinggi yakni 279 kasus
dengan korban perempuan sebanyak 275 kasus. Pelaku KDRT masih
didominasi oleh suami sebesar 76,98 persen dan 6,12 persen dilakukan oleh
mantan suami, sisanya 4,68 persen dilakukan oleh orang tua, anak, dan
saudara dan 9,35 persen oleh pacar atau teman dekat.1
Berdasarkan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (PKDRT) No. 23 tahun 2004 seperti yang tertuang dalam pasal 1 ayat
1 yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.2
Dalam melaksanakan tugas dan profesinya seorang dokter sering kali
dimintai bantuan POLRI untuk melakukan pemeriksaan dan perawatan
korban tindak pidana. Bermacam-macam tindak pidana terhadap manusia
yang tentunya dilakukan juga oleh manusia, jadi dalam hal ini manusia
sebagai pelaku dan korban, dan tidak menutup kemungkinan korban tersebut
adalah pasien kita. Dengan diundangkannya undang-undang Republik
Indonesia No: 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (PKDRT) pada tanggal 22 september 2004 yang merupakan Hukum
Publik yang memuat ancaman pidana penjara atau denda bagi yang
melanggarnya maka masyarakat khususnya kepala rumah tangga terutama

kaum lelaki sebaiknya mengetahui apa itu kekerasan dalam rumah tangga,
demikian juga seorang dokter yang juga disebabkan tugas dan profesinya
harus menangani korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Kasus KDRT menunjukkan kecendrungan yang meningkat. Usaha
penghapusan KDRT mengalami berbagai rintangan, dari segi budaya
terutama di Indonesia karena kejadian KDRT merupakan urusan intern rumah
tangga dan memalukan jika diketahui orang banyak dan KDRT tidak
dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia sehingga perlu
ditutup rapat-rapat.6
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi dari keluarga?
2. Apa definisi dari kekerasan?
3. Apa yang dimaksud dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga?
4. Apa saja bentuk - bentuk kekerasan dalam rumah tangga?
5. Apa saja penyebab terjadinya tindakan Kekeraan Dalam Rumah Tangga?
6. Apa saja tugas dan wewenang dokter dalam mengani kasus kekerasan
dalam rumah tangga?
7. Bagaimanakah tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dipandang dari
aspek hukum?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Mampu menjelaskan tentang kekerasan dalam rumah tangga dalam aspek
medikolegal.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mengetahui definisi dari keluarga
b. Mahasiswa mengetahui definisi dari kekerasan
c. Mahasiswa mengetahui definisi dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga
d. Mahasiswa mengetahui Bentuk - Bentuk Kekerasan Dalam Rumah
Tangga
e. Mahasiswa mengetahui penyebab terjadinya tindakan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga
f. Mahasiswa mengetahui tugas dan wewenang dokter dalam mengani
kasus kekerasan dalam rumah tangga
g. Mahasiswa mengetahui aspek hukum dari Kekerasan Dalam Rumah
Tangga

D. MANFAAT PENULISAN
1. Menambah pengetahuan tentang kekerasan dalam rumah tangga.
2. Mampu menjelaskan peranan dokter jika dihadapkan pada kasus kekerasan
dalam rumah tangga
3. Mampu menjelaskan pemeriksaan kasus kekerasan dalam rumah tangga
pada korban hidup maupun yang sudah meninggal.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI KELUARGA
Keluarga berasal dari bahasa Sansekerta: kula dan warga "kulawarga"
yang berarti "anggota" "kelompok kerabat". Keluarga adalah lingkungan di
mana beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah, bersatu.
Keluarga inti (nuclear family) terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak mereka.
Menurut UU No. 23 Tahun 2002 Keluarga adalah unit terkecil dalam
masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau
ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis
lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.3
Definsi keluarga menurut Burgess dkk dalam Friedman yang
berorientasi pada tradisi dan digunakan sebagai referensi secara luas :
1. Keluarga terdiri dari orang-orang yang disatukan dengan ikatan
perkawinan, darah dan ikatan adopsi
2. Para anggota sebuah keluarga biasanya hidup bersama -sama dalam satu
rumah tangga, atau jika mereka hidup secara terpisah, mereka tetap
menganggap rumah tangga tersebut sebagai rumah mereka.
3. Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dalam
peran-peran sosial keluarga seperti suami -istri, ayah dan ibu, anak laki laki dan anak perempuan, saudara dan saudari.
4. Keluarga sama-sama menggunakan kultur yang sama, yaitu kultur yang
diambil dari masyarakat dengan beberapa ciri unik tersendiri.
5. Menurut Friedman dalam Suprajitno, mendefinisikan bahwa keluarga
adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan
keterikatan aturan dan emosional dan individu mempunyai peran masingmasing yang merupakan bagian dari keluarga.

B. DEFINISI KEKERASAN
Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik,
dilakukan secara aktif maupun dengan cara pasif (tidak berbuat), dikehendaki
oleh pelaku, dan ada akibat yang merugikan pada korban (fisik atau psikis)
yang tidak dikendaki oleh korban.
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan
jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan dan penderitaan perempuan secara
fisik, seksual, psikologis termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan
atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di
depan umum atau dalam kehidupan pribadi.
Kekerasan terhadap anak adalah semua bentuk perlakuan menyakitkan
secara fisik ataupun emosional, peyalahgunaan seksual, pelalaian, ekploitasi
komersial ataupun lainnya, yang mengakibatkan cedera kerugian nyata
ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh
kembang anak, atau martabat anak, yang dilakukan dalam konteks hubungan
tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan.
Macam kekerasan bisa berupa tindakan kekerasan fisik atau kekerasan
psikologi. Definisi kekerasan Fisik (WHO): tindakan fisik yang dilakukan
terhadap orang lain atau kelompok yang mengakibatkan luka fisik, seksual
dan psikogi. Tindakan itu antara lain berupa memukul, menendang,
menampar, menikam, menembak, mendorong (paksa), menjepit.
Definisi kekerasan psikologi (WHO): penggunaan kekuasaan secara
sengaja termasuk memaksa secara fisik terhadap orang lain atau kelompok
yang mengakibatkan luka fisik, mental, spiritual, moral dan pertumbuhan
sosial. Tindakan kekerasan ini antara lain berupa kekerasan verbal,
memarahi/penghinaan, pelecehan dan ancaman.4
C. DEFINISI DARI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga No. 23 Tahun
2004 Pasal 1 angka 1 (UU PKDRT) memberikan pengertian bahwa:5
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama

perempuan,

yang

berakibat

timbulnya

kesengsaraan

atau

penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah


tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga. Menurut UU RI No. 23 Tahun 2004 Pasal 2 lingkup rumah tangga
meliputi :5,6
1. Suami, isteri, dan anak
2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang suami,
istri, dan anak karena hubungan darah, perkawinan, persusuan,
pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah
tangga tersebut
D. BENTUK - BENTUK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Mengacu kepada UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 5 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga dapat
berwujud :5,6
1. Kekerasan Fisik
2. Kekerasan Psikis
3. Kekerasan Seksual
4. Penelantaran rumah tangga
1. Kekerasan fisik menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 6
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit, atau luka berat. Kekerasan fisik yang dialami korban seperti:
pemukulan menggunakan tangan maupun alat seperti (kayu, parang),
membenturkan kepala ke tembok, menjambak rambut, menyundut dengan
rokok atau dengan kayu yang bara apinya masih ada, menendang,
mencekik leher.
2. Kekerasan psikis menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 7
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Kekerasan psikis berupa makian, ancaman cerai, tidak memberi nafkah,
hinaan, menakut-nakuti, melarang melakukan aktivitas di luar rumah.
3. Kekerasan seksual menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 8

Kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan


terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut,
maupun pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam
lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual seperti memaksa isteri
melakukan hubungan seksual walaupun isteri dalam kondisi lelah dan
tidak siap termasuk saat haid, memaksa isteri melakukan hubu- ngan seks
dengan laki-laki lain.
4. Penelantaran rumah tangga menurut UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 9
Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang
dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain
itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk
bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di
bawah kendali orang tersebut. Penelantaran seperti meninggalkan isteri
dan anak tanpa memberikan nafkah, tidak memberikan isteri uang dalam
jangka waktu yang lama bahkan bertahun-tahun.
E. ETIOLOGI DARI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Adapun faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam
rumah tangga khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri, yaitu :6
1. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri.
Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruk
sedemikian rupa dalam keluarga dan kultur serta struktur masyarakat.
Bahwa istri adalah milik suami oleh karena harus melaksanakan segala
yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini menyebabkan suami menjadi
merasa berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap
istrinya.
2. Ketergantungan ekonomi.
Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa
istri untuk menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa
menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan kepadnya ia tetap

enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan demi


kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anakanaknya. Hal ini
dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada
istrinya.
3. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik.
Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam
rumah tangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari
ketersinggungan,

ataupun

kekecewaan

karena

tidak

dipenuhinya

keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan dengan tujuan istri


dapat memenuhi keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini
didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan rewel maka harus
diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas
membuktikan bahwa suami sering menggunakan kelebihan fisiknya dalam
menyelesaikan problem rumah tangganya.
4. Persaingan
Jika di muka telah diterangkan mengenai faktor pertama kekerasan dalam
rumah tangga adalah ketimpangan hubungan kekuasaan antara suami dan
istri. Maka di sisi lain, perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal
pendidikan, pergaulan, penguasaan ekonomi baik yang mereka alami sejak
masih kuliah, di lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat di mana
mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan selanjutnya dapat
menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di satu
sisi suami tidak mau kalah, sementara di sisi lain istri juga tidak mau
terbelakang dan dikekang.
5. Frustasi
Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena
merasa frustasi tidak bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi
tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada pasangan yang :
a.Belum siap kawin
b.

Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang


mencukupi kebutuhan rumah tangga.

c.Masih serba terbatas dalam kebebasan karena masih menumpang pada


orang tua atau mertua.

10

Dalam kasus ini biasanya suami mencari pelarian kepada mabuk-mabukan


dan perbuatan negatif lain yang berujung pada pelampiasan terhadap
istrinya dengan memarahinya, memukulnya, membentaknya dan tindakan
lain yang semacamnya.
6. Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum
Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah
tangga tidak terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban suami istri. Hal
ini penting karena bisa jadi laporan korban kepada aparat hukum dianggap
bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya kesalahpahaman dalam
keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya KUHAP membicarakan
mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban, karena posisi dia hanya
sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Dalam proses sidang pengadilan,
sangat minim kesempatan istri untuk mengungkapkan kekerasan yang ia
alami.
F. DAMPAK DARI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Karena kekerasan sebagaimana tersebut di atas terjadi dalam rumah
tangga, maka penderitaan akibat kekerasan ini tidak hanya dialami oleh istri
saja tetapi juga anak-anaknya. Adapun dampak kekerasan dalam rumah tangga
yang menimpa istri adalah:8
1. Kekerasan fisik langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan istri
menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan
kekerasan tersebut.
2. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya
gairah seks, karena istri menjadi ketakutan dan tidak bisa merespon secara
normal ajakan berhubungan seks.
3. Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan, shock,
trauma, rasa takut, marah, emosi tinggi dan meledak-ledak, kurang
pergaulan, serta depresi yang mendalam.
4. Kekerasan ekonomi mengakibatkan terbatasinya pemenuhan kebutuhan
sehari-hari yang diperlukan istri dan anak-anaknya.

11

Kekerasan tersebut juga dapat berdampak pada anak-anak. Adapun


dampak-dampak itu dapat berupa efek yang secara langsung dirasakan oleh
anak, sehubungan dengan kekerasan yang ia lihat terjadi pada ibunya,
maupun secara tidak langsung. Bahkan, sebagian dari anak yang hidup di
tengah keluarga seperti ini juga diperlakukan secara keras dan kasar karena
kehadiran anak terkadang bukan meredam sikap suami tetapi malah
sebaliknya.
Menyaksikan kekerasan adalah pengalaman yang amat traumatis bagi
anak-anak. Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami anak-anak membuat
anak tersebut memiliki kecenderungan seperti gugup, gampang cemas ketika
menghadapi masalah, sering ngompol, gelisah dan tidak tenang, jelek
prestasinya di sekolah, mudah terserang penyakit seperti sakit kepala, perut,
dan asma, kejam kepada binatang, Ketika bermain sering meniru bahasa yang
kasar, berperilaku agresif dan kejam, suka minggat, dan suka melakukan
pemukulan terhadap orang lain yang tidak ia sukai.
Kekerasan dalam rumah tangga yang ia lihat adalah sebagai pelajaran
dan proses sosialisasi bagi dia sehingga tumbuh pemahaman dalam dirinya
bahwa kekerasan dan penganiayaan adalah hal yang wajar dalam sebuah
kehidupan berkeluarga. Pemahaman seperti ini mengakibatkan anak
berpendirian bahwa:8
1. Satu-satunya jalan menghadapi stres dari berbagai masalah adalah
dengan melakukan kekerasan
2. Tidak perlu menghormati perempuan
3. Menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan berbagai persoalan
adalah baik dan wajar
4. Menggunakan paksaan fisik untuk mendapatkan sesuatu yang
diinginkan adalah wajar dan baik-baik saja.
Di samping dampak secara langsung terhadap fisik dan psikologis
sebagaimana disebutkan di atas, masih ada lagi akibat lain berupa hubungan
negatif dengan lingkungan yang harus ditanggung anak seperti:13
1. Harus pindah rumah dan sekolah jika ibunya harus pindah rumah
karena menghindari kekerasan.

12

2. Tidak bisa berteman atau mempertahankan teman karena sikap ayah


yangmembuat anak terkucil.
3. Merasa disia-siakan oleh orang tua
Kebanyakan anak yang tumbuh dalam rumah tangga yang penuh
kekerasan akan tumbuh menjadi anak yang kejam. Penelitian membuktikan
bahwa 50% - 80% laki-laki yang memukuli istrinya atau anak-anaknya,
dulunya dibesarkan dalam rumah tangga yang bapaknya sering melakukan
kekerasan terhadap istri dan anaknya. Mereka tumbuh dewasa dengan mental
yang rusak dan hilangnya rasa iba serta anggapan bahwa melakukan
kekerasan terhadap istri adalah bisa diterima.8
G. TUGAS DAN WEWENANG DOKTER DALAM MENGANI KASUS
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Dalam pasal 21 UU RI no. 23 th. 2004 disebutkan :
(1) dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga
kesehatan harus:
a. memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya
b. membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan
visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat
keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai
alat bukti
(2) pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di
sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat.
Pasal 40 UU RI no. 23 th. 2004
(1) tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar
profesinya.
(2) Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib
memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban
Maka jelas disini bahwa dalam kasus KDRT seorang dokter, harus:
a. Memberikan pelayanan kesehatan terhadap korban termasuk memeriksa
dan mengobati serta merawat korban baik di rumah sakit ataupun di klinik
milik swasta atau pribadi.
b. Membuat visum et repertum atas dasar SPVR (surat permohonan vsium et
repertum) dari pihak kepolisian

13

c. Berusaha memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban


Untuk membuat visum et repertum jika memungkinkan tergantung atau
sesuai dengan keahlian/spesialisasinya. Misalkan kekerasan fisik oleh dokter
bedah, kekerasan mata oleh dokter mata, kekerasan psikis oleh psikiater,
kekerasan seksual oleh dokter obstetri dan ginekologi. Hal ini akan sulit
dilakukan di daerah terpencil karena dokter spesialis tidak banyak sehingga
dokter umum pun diperbolehkan melakukannya.6
H. PEMERIKSAAN KEDOKTERAN FORENSIK
Dokter dapat dimintakan bantuan untuk melakukan pemeriksaan
forensik terhadap korban kekerasan fisik dan seksual. Seorang dokter tentu
selalu berorientasi pada kesehatan dan keselamatan pasien. Pada kasus yang
berhubungan dengan tindak criminal, kita juga dituntut untuk mampu menjadi
penilai/assessor. Dalam menghadapi kasus dengan kecurigaan KDRT, yang
pertama dapat dilakukan adalah mengupayakan anamnesis lebih mendalam
terhadap korban tanpa didampingi oleh pihak pengantar. Apabila dokter dan
korban berbeda jenis kelamin, sebaiknya didampingi oleh perawat. Yakinkan
pasien bahwa ia dapat bercerita dengan aman tanpa didengar oleh pelaku
(pengantar).7
Setelah itu dapat dilakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh dan
seksama untuk menilai luka-luka yang baru serta mencari kemungkinan lukaluka lama yang dapat menunjukkan adanya kekerasan berulang. Apabila
diperlukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan
kecurigaan seperti pemeriksaan bone-scan pada kasus kekerasan terhadap
anak. Setelah itu, hasilnya dicatat dalam catatan rekam medis yang lengkap
dan mudah dibaca.7
Pada pemeriksaan terhadap korban kekerasan fisik, dalam rangka
pembuatan kesimpulan visum, perlu memperhatikan klasifikasi luka yang
mengacu pada pasal 44 UU PKDRT yaitu:
a. Tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan
jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari.
b. Mengakibatkan jatuh sakit atau luka berat,

14

c. Mengakibatkan mati.
Pada pemeriksaan terhadap korban kekerasan seksual, dalam rangka
pembuatan kesimpulan visum, selain mencari bukti-bukti adanya hubungan
seksual dan tanda-tanda kekerasan, harus pula dinilai apakah korban7 :
a. Mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali
b. Mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya 4
minggu terus-menerus atau satu tahun tidak berturut-turut
c. Gugur atau matinya dalam kandungan
d. Akibat tindakan tersebut mengalami tidak berfungsinya alat reproduksi.
Korban yang datang dengan laporan bahwa mereka mengalami
KDRT belum tentu bersedia untuk melaporkan tindak pidana tersebut kepada
yang berwajib. Alasan yang sering dikemukakan adalah wilayah domestic,
cinta, takut kehilangan sosok kepala keluarga, anak, dsb.7
UU PKDRT tidak menyebutkan secara jelas bahwa tenaga kesehatan
yang menemukan kasus harus melaporkannya. Ia hanya menyatakan bahwa
setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya KDRT
wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk
mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan pada
korban, memberikan pertolongan darurat, serta membantu proses pengajuan
permohonan penetapan perlindungan.7
UU no 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban memang
sudah ditetapkan. Ia memberikan perlindungan pada saksi dan korban dalam
semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan. Di
dalamnya terdapat pasal-pasal yang mengatur bahwa saksi, korban, dan
pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas
laporan, kesaksian yang akan, sedang dan telah diberikannya. Proses
perlindungan dilakukan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) yang saat ini sedang dalam proses pembentukan.7
I. KLASIFIKASI LUKA
Dikenal 3 macam kualifikasi luka :

15

1. KUHAP pasal 352: penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau


halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian.
2. KUHAP pasal 351 ayat 1: penganiayaan yang menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian
3. KUHAP pasal 351 ayat 2: penganiayaan yang menimbulkan luka berat
Menurut KUHAP pasal 90 maka luka berat berarti:
1. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh
sama sekali atau yang menimbulkan bahaya maut
2. Tidak mampu secara terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau
3.
4.
5.
6.
7.

pekerjaan pencaharian
Kehilangan salah satu panca indera
Mendapat cacat berat
Menderita sakit lumpuh
Terganggu daya pikir selama 4 minggu lebih
Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan
Kata penganiayaan merupakan istilah hukum dan tidak dikenal dlaam

istilah kedokteran. Dan karena penganiayaan biasanya menimbulkan luka,


maka dalam kesimpulan visum et repertum kata penganiayaan diganti dengan
kata luka.
Menurut UU RI No 23 tahun 2004 beberapa tindak pidana yang merupakan
delik aduan adalah
a. Pasal 51: kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau
sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan, atau mata pencaharian atau kegiatan
sehari-hari.
b. Pasal 52: kekerasan psikis yang dilakukan oleh suami kepada istri atau
sebaliknya yang itdak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan seharihari.
c. Pasal 53: kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau
sebaliknya
Jadi dalam hal ini jika tidak ada laporan atau pengaduan, atau dicabut
laporannya oleh salah satu pihak maka tidak bias diproses atau dituntut secara
hukum.

16

Jika kekerasan tersebut menimbulkan penyakit atau halangan untuk


menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan seharihari maka ini termasuk delik aduan. Dalam hal pemaksaan hubungan seksual
dengan tujuan komersil juga merupakan delik (pasal 47). Dalam hal ini walau
tidak ada laporan/pengaduan dari korban maka polisi harus mengusutnya.6

17

J. PEMULIHAN KORBAN
Yang dimaksud dengan upaya pemulihan korban Peraturan Pemerintah
RI No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan
Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga pada Pasal 1 ayat 1 ialah :
Segala upaya untuk penguatan korban kekerasan dalam rumah tangga agar
lebih berdaya baiksecara fisik maupun psikis.10
PP PKPKKDRT Pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa Penyelenggaraan
pemulihan ialah : Segala tindakan yang meliputi pelayanan dan
pendampingan korban KDRT.
PP PKPKKDRT Pasal 2 ayat 1 menyebutkan : Bahwa penyelenggaraan
pemulihan terhadap korban dilaksanakan oleh instansi pemerintahdan
pemerintah daerah serta lembaga sosial sesuai dengan tugas dan fungsi
masing-masing, termasuk menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk
pemulihan korban.
Hal yang sama disebutkan dalam PP RI Pasal 19 yang menyebutkan : Untuk
penyelenggaraan pemulihan, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai
dengan tugas dan fungsi masing-masing dapat melakukan kerjasama dengan
masyarakat atau lembaga sosial, baik nasional maupun internasional yang
pelaksanaannya sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan.
Dari ketentuan ini, lembaga sosial mendapat kesempatan untuk
berperan dalam melakukan upaya pemulihan korban KDRT.
PP PKPKDRT Pasal 4 menyebutkan Penyelenggaraan kegiatan pemulihan
korban meliputi :10
a.
b.
c.
d.
e.

Pelayanan kesehatan
Pendampingan korban
Konseling
Bimbingan rohani
Resosialisasi
Pemulihan korban berdasarkan kepada Undang-undang No. 23 tahun

2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga :11


UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 39
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:

18

a.
b.
c.
d.

Tenaga kesehatan;
Pekerja sosial;
Relawan pendamping; dan/atau
Pembimbing rohani.
UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 40
1. Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar
profesinya
2. Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib
memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban.
UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 42
Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial,
relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan kerja
sama.

K. ASPEK HUKUM DARI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA


Semakin besarnya peranan lembaga-lembaga sosial atau WCC dalam
menanamkan kesadaran akan hak dan memberikan pendampingan serta
perlindungan kepada korban kasus KDRT dipengaruhi oleh lahirnya
peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Lahirnya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT,
Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan
Kerjasama Pemulihan Korban KDRT, Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005
tentang Komisi Nasional Terhadap Perempuan, Undang-Undang No. 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan peraturan
perundangan lainnya yang memberikan tugas dan fungsi kepada lembagalembaga yang terkoordinasi memberikan perlindungan hukum terhadap kasus
KDRT dan termasuk lembaga-lembaga sosial yang bergerak dalam
perlindungan terhadap perempuan. Bahkan dalam rencana pembentukan
peraturan perundang-undangan tersebut tidak terlepas dari peran lembaga
sosial.
1. Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga yang selanjutnya disebut sebagai UU PKDRT

19

diundangkan tanggal 22 September 2004 dalam Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 2004 No. 95. Fokus UU PKDRT ini ialah
kepada upaya pencegahan, perlindungan dan pemulihan korban kekerasan
dalam rumah tangga. UU PKDRT Pasal 3 menyebutkan Penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan :
a. Penghormatan hak asasi manusia
b. Keadilan dan kesetaraan gender
c. Nondiskriminasi
d. Perlindungan korban.
UU PKDRT Pasal 4 menyebutkan Penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga bertujuan :
a.Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
b.

Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga

c.Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga


Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.5

d.

2. Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti


Kekerasan terhadap Perempuan
Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti
Kekerasanterhadap Perempuan yang selanjutnya disebut sebagai Perpres
Komnas Perempuan ialah merupakan penyempurnaan Keputusan Presiden
No. 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan. Perpres Komnas Perempuan Pasal 24 telah mencabut dan
menyatakan tidak berlaku Keppres No. 181 Tahun 1998 tentang Komisi
Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Komnas Perempuan ini
dibentuk berdasarkan prinsip negara hukum yang menyadari bahwa setiap
bentuk kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk
pelanggaran atas hak-hak asasi manusia sehingga dibutuhkan satu usaha
untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kekerasan terhadap
perempuan.
Pengertian delik
Perbuatan pidana atau delik ialah perbuatan yang dilarang oleh aturan
hukum dan barangsiapa yang melanggar larangan tersebut dikenakan sanksi
pidana. Selain itu perbuatan pidana dapat dikatakan sebagai perbuatan yang

20

oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, perlu diingat bahwa
larangan ditujukan pada perbuatan, sedangkan ancaman pidananya ditujukan
pada orang yang menimbulkan perbuatan pidana itu. Menurut VanHamel,
delik adalah suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain.
Sedangkan menurut Prof. Simons, delik adalah suatu tindakan melanggar
hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh
undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan atau perbuatan yang
dapat dihukum.9
Delik biasa yaitu delik yang mempunyai bentuk pokok yang disertai
unsur memberatkan atau juga mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur
yang meringankan. Delik biasa atau dalam istilah Bareskrimnya adalah
Kriminal murni, yaitu semua tindak pidana yang terjadi yang tidak bisa
dihentikan prosesnya dengan alasan yang bisa dimaklumi dalam delik aduan.
Misalnya penipuan. Meskipun korban sudah memaafkan atau pelaku
mengganti kerugian, proses hukum terus berlanjut sampai vonis karena ini
merupakan delik murni yang tidak bisa dicabut. Delik aduan adalah delik
yang proses penuntutannya berdasarkan pengaduan korban. Delik aduan
terjadi apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban
tindak pidana.
Misalnya pemerkosaan, pencurian dalam keluarga dan pencurian dalam
waktu pisah meja-ranjang (schidding van tavel en bed). Delik aduan bisa
ditarik kembali apabila si pelapor menarik laporannya misalnya karena ada
perdamaian atau perjanjian damai yang diketahui oleh penyidik bila telah
masuk tingkat penyidikan, oleh jaksa bila telah masuk tingkat penuntutan atau
oleh hakim bila masuk persidangan tetapi belum divonis. Penarikan aduan
atau laporan biasanya terjadi dalam kasus perkosaan di mana si korban
merasa malu atau si pelaku mau menikahi korban. Dalam kasus pencurian
dalam keluarga atau pisah meja ranjang, biasanya alasan keluarga.9
Ketentuan pidana

21

Ketentuan pidana terhadap pelanggaran KDRT diatur oleh Undangundang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT
sebagai berikut :11
UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 44
1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup
rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (Lima) tahun atau denda paling
banyak Rp 15.000.000,- (Lima belas juta rupiah).
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
korban jatuh sakit atau luka berat, dipidanakan penjara paling lama 10
tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,- (Tiga puluh juta rupiah).
3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan
matinya korban, dipadana penjara paling lama 15 (Lima belas) tahun atau
denda paling banyak Rp45.000.000,-(Empat puluh lima juta rupiah).
4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian
atau kegiatan sehari-harian, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,-(Lima juta rupiah).
UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 45
1. Setiap orang yang melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp
9.000.000,- (Sembilanjuta rupiah).
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian atau
kegiatan sehari-hari, dipidanakan penjara paling lama 4 (empat) bulan atau
denda paling banyak Rp3.000.000,- (Tiga juta rupiah).
UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 46
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling

22

lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp36.000.000,- (Tiga
puluh enam juta rupiah).
UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 47
Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf
b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit
Rp 12.000.000,00-(dua belas juta rupiah) atau paling banyak Rp
300.000.000,00-(tiga ratus juta rupiah).
UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 48
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan 47
mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan
sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu)
tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan,
atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling
lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00(dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00- (lima
ratus juta rupiah).
UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda
paling banyak Rp 15.000.000,00-(lima belas juta rupiah), setiap orang
yang:
a. Menelantarkan

orang

lain

dalam

lingkup

rumah

tangganya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);


b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2).
UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 50
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini hakim dapat
menjatuhkan pidana tambahan berupa :

23

a. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan


pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun
pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
b. Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan
lembaga tertentu.9

24

CONTOH ILUSTRASI KASUS


Batam, 31 Oktober 2016
VISUM ET REPERTUM
Nomor

: 140 / 199 / IF / RSUD-EF

Lampiran

: --

Hal

: Hasil VeR a/n Abdullah

PRO JUSTISIA
PENDAHULUAN
Kami yang bertandatangan di bawah ini yaitu dr.Reinhard JD.Hutahaean,SH.,SpF,
NIP: 19760902 200502 1 002, selaku koordinator pelayanan VeR / Kepala
Instalasi Kedokteran Forensik dan Medikolegal (IKFM), serta dr. Harri Prawira,
NIP: 198303052011011002, selaku dokter pemeriksa pada Instalasi Gawat
Darurat (IGD), keduanya pada RSUD Embung Fatimah kota Batam, yang
berdasarkan surat permintaan Visum et Repertum (VeR) dari Polsek Sagulung Polres Kota Barelang, Nomor: LP-B / 882 / X / 2016, tertanggal 28 Oktober 2016,
yang ditandatangani oleh SPK II Bripka Gogo Leo Lisa, NRP: 81080993, atas
nama Kapolsek Sagulung, telah memeriksa seorang korban dengan nomor rekam
medik 138231, yang masuk IGD pada hari Rabu, tanggal 28 Oktober 2016, pukul
01:30 wib, atas nama Abdullah, jenis kelamin Laki-laki, tempat lahir Bandung,
tanggal lahir 14 juli 1978, kewarganegaraan Indonesia, Agama Islam, pekerjaan
Pedagang dan alamat Kav. Lama Blok D.7 No 09, Kec.Sagulung, Kota Batam,
dengan keterangan bahwa orang tersebut diduga korban tindak pidana KDRT
yang terjadi pada hari Rabu, tanggal 28 Oktober 2015 sekira pukul 00:30 wib di
Perum Akasia, Kec.Sagulung, Kota Batam.

25

PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Umum :
Korban datang dengan kesadaran penuh dan dalam keadaan umum baik. Dengan
hasil pemeriksaan fisik tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi nadi 82 kali
permenit, frekuensi pernafasan 20 kali permenit, suhu 36oC.
Pemeriksaan Luka :
-

Dijumpai luka robek pada daerah dahi kanan yang berjarak 3 cm dari atas
alis kanan dan 7 cm dari garis tengah sumbu tubuh, berukuran panjang 2
cm, lebar 0.6 cm.

KESIMPULAN
Telah diperiksa seorang korban laki-laki, berusia 38 tahun, yang datang dalam
keadaan kesadaran penuh. Dari hasil pemeriksaan luar disimpulkan bahwa korban
mengalami luka robek pada dahi kanan yang disebabkan kekerasan (trauma)
tumpul. Luka tersebut diharapkan tidak mengakibatkan bahaya maut, dan dapat
sembuh sempurna. Luka tidak mengakibatkan terganggunya korban dalam
menjalankan pekerjaan dan aktifitas sehari-hari.
PENUTUP
Demikianlah visum et repertum ini kami perbuat dengan keilmuan yang sebaikbaiknya atas sumpah dan jabatan kami sebagai dokter, berdasarkan KUHAP pasal
133 serta lembaran negara nomor 350 tahun 1937, untuk kiranya dapat
dipergunakan bila mana diperlukan.
Mengetahui,
Dokter Koordinator VeR/ Ka. lKFM

dr.Reinhard JD. Hutahaean., SH, SpF


NIP: 19760902 200502 1 002

Dokter Pemeriksa,
Dokter IGD

dr. Harri Prawira


NIP: 198303052011011002

Halaman 2 dari 2

26

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Keluarga adalah lingkungan di mana beberapa orang yang masih memiliki
hubungan darah, bersatu.
2. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik,
dilakukan secara aktif maupun dengan cara pasif (tidak berbuat),
dikehendaki oleh pelaku, dan ada akibat yang merugikan pada korban
(fisik atau psikis) yang tidak dikendaki oleh korban.
3. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.
4. Mengacu kepada UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 5 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah tangga dapat berwujud : Kekerasan Fisik,
Kekerasan Psikis, Kekerasan Seksual, Penelantaran rumah tangga.
5. Faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah
tangga : Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami
dan istri, Ketergantungan ekonomi, Kekerasan sebagai alat untuk
menyelesaikan konflik, Persaingan, Frustasi.
6. Tugas dan wewenang dokter Memberikan pelayanan kesehatan terhadap
korban termasuk memeriksa dan mengobati serta merawat korban baik di
rumah sakit ataupun di klinik milik swasta atau pribadi, Membuat visum et
repertum atas dasar SPVR (surat permohonan vsium et repertum) dari
pihak kepolisian, Berusaha memulihkan dan merehabilitasi kesehatan
korban
7. Aspek hukum terkait dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini yaitu
UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga dan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi
Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Sedangkan Ketentuan

27

pidana terhadap pelanggaran KDRT diatur oleh Undang-undang Republik


Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.
B. SARAN
Bagi proses pembelajaran di stase forensik, referat ini agar dapat
menjadi bahan bacaan guna menambah wawasan ilmu bagi dokter muda
dalam menjalani kepaniteraan klinik dan bagi staf dalam menjalankan tugas.

28

DAFTAR PUSTAKA
1. Kasus KDRT dilakukan suami (cited on 2012 July 26). Available from :
URL
:http://www.kompas.com/read/xml/2012/12/13/14412492/7698.persen.kasus.
kdrt.dilakukan.suami
2. Irianto, Sulistyowati. Isu KDRT dan Perspektif Pluralisme Hukum. Cetakan
Pertama. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 2012.
3. Bangun, M., 2013. Pembuktian Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah
Tangga

Kaitannya

dengan

Visum

et

Repertum.

http://jurnal.usu.ac.id/index.php/jmpk/article/view/3535/1687

Diakses

dari

pada

30

September 2013
4. http://www.who.int/violenceprevention/approach/definition/en/index.html,
akses 18 Agustus 2010
5. Putri, dkk, 2010. Aspek Medikolegal Kekerasan dalam Rumah Tangga.
diakses dari http://eprints.undip.ac.id/22097/ pada 30 September 2013
6. Hoediyanto-Hariadi A, 2012. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal edisi 8. Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.
7. Savitry, Oktavinda. Kekerasan Dalam Rumah tangga. Dalam penerapan Ilmu
Kedokteran forensik dalam Peoses Penyidikan. Jakarta : Sagung Seto; 2012
8. Ratna Batara Munti (ed.), Advokasi Legislatif Untuk Perempuan: Sosialisasi
Masalah dan Draft Rancangan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah
Tangga, Jakarta: LBH APIK, 2000
9. http://hukumpidana.bphn.go.id/ akses : 20 Agustus 2014
10. Peraturan Pemerintah RI No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan
Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004, tentang

11. Undang-Undang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Anda mungkin juga menyukai