Anda di halaman 1dari 21

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada
Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas
makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Agama Islam.

Agama sebagai sistem kepercayaan dalam kehidupan umat manusia dapat dikaji melalui
berbagai sudut pandang. Islam sebagai agama yang telah berkembang selama empat belas abad
lebih menyimpan banyak masalah yang perlu diteliti, baik itu menyangkut ajaran dan pemikiran
keagamaan maupun realitas sosial, politik, ekonomi dan budaya.

Terima Kasih terutama untuk rekan – rekan kelas D dan tentu saja ter untuk Ibu dosen
yang selalu membimbing kami dalam kuliah pengantar ilmu hukum, yang banyak membantu
kami agar lebih mengerti tentang ilmu hukum.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Untuk itu, kepada dosen Mata Kuliah Pengantar Ilmu
Hukum saya meminta masukannya demi perbaikan dalam pembuatan makalah saya
selanjutnya dan mengharapkan kritik serta saran yang dapat membangun dari para pembaca agar
makalah selanjutnya lebih baik lagi .
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rumusan Masalah

Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga

Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Peraturan Perundang-Undangan dan Hukum Islam Tentang Kekerasan (Fisik) Terhadap Istri

Dalam Rumah Tangga

Menurut Hukum Pidana

Menurut Hukum Islam

Solusi Untuk Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Saran

DAFAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarRakat yang berperan dan
berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan
kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga memerlukan organisasi tersendiri dan
perlu kepala rumah tangga sebagai tokoh penting yang memimpin keluarga disamping
beberapa anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga terdiri dari Ayah, ibu, dan anak
merupakan sebuah satu kesatuan yang memiliki hubungan yang sangat baik.
Hubungan baik ini ditandai dengan adanya keserasian dalam hubungan timbal balik
antar semua anggota/individu dalam keluarga. Sebuah keluarga disebut harmonis
apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai dengan tidak adanya
konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap keadaan (fisik, mental, emosi
dan sosial) seluruh anggota keluarga. Keluarga disebut disharmonis apabila terjadi
sebaliknya.

Setiap keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya masing-masing.


Apabila masalah diselesaikan secara baik dan sehat maka setiap anggota keluarga
akan mendapatkan pelajaran yang berharga yaitu menyadari dan mengerti perasaan,
kepribadian dan pengendalian emosi tiap anggota keluarga sehingga terwujudlah
kebahagiaan dalam keluarga. Penyelesaian konflik secara sehat terjadi bila masing-
masing anggota keluarga tidak mengedepankan kepentingan pribadi, mencari akar
permasalahan dan membuat solusi yang sama-sama menguntungkan anggota keluarga
melalui komunikasi yang baik dan lancar. Disisi lain, apabila konflik diselesaikan secara
tidak sehat maka konflik akan semakin sering terjadi dalam keluarga.

Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga ?


2. Apa saja bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga ?
3. Apakah faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga ?
4. Bagaimana cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga?
Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah tangga.
2. Mengetahui bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga
3. Mengetahui cara penanggulangan kekerasan dalam Rumah Tangga.
BAB II
PEMBAHASAN
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga
terutama digunakan untuk mengontrol seksualitas perempuan dan peran reproduksi mereka. Hal ini
sebagaimana biasa terjadi dalam hubungan seksual antara suami dan istri di mana suami adalah pihak
yang membutuhkan dan harus dipenuhi kebutuhannya, dan hal ini tidak terjadi sebaliknya.

Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan perlindungan hukum dalam Undang-undang
Nomor 23 tahun 2004 yang antara lain menegaskan bahwa:

1. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebes dari segala bentuk
kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Republik Indonesia tahun 1945.
2. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan dalam rumah tangga merupakan
pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk
deskriminasi yang harus dihapus.
3. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan, hal itu harus
mendapatkan perlindungan dari Negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari
kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan
martabat kemanusiaan.
4. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d
perlu dibentuk Undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri sebenarnya merupakan unsur yang berat dalam
tindak pidana, dasar hukumnya adalah KUHP (kitab undang-undang hukum pidana) pasal 356 yang
secara garis besar isi pasal yang berbunyi:
“Barang siapa yang melakukan penganiayaan terhadap ayah, ibu, isteri
atau anak diancam hukuman pidana”.
Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah
tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam :

1. Kekerasan fisik

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Prilaku
kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik
rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan
sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas
luka lainnya.

2. Kekerasan psikologis / emosional

Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis
berat pada seseorang.
Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-
komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam
atau ,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.

3. Kekerasan seksual

Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa
melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.

4. Kekerasan ekonomi

Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum
yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan
atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah
istri, bahkan menghabiskan uang istri.

5. Penelantaran rumah tangga

Seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang
berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang
mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang
layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Adapun faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya yang
dilakukan oleh suami terhadap istri telah diungkap dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Diana
Ribka, juga oleh Istiadah yang dapat diringkaskan sebagai berikut:

1. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri.

Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruk sedemikian rupa dalam keluarga
dan kultur serta struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh karena harus melaksanakan
segala yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan
akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya.

2. Ketergantungan ekonomi.

Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk menuruti semua
keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan kepadnya ia
tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya
dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-wenang
kepada istrinya.

3. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik.

Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya
kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena tidak
dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan dengan tujuan istri dapat memenuhi
keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan
rewel maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan
bahwa suami sering menggunakan kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan problem rumah tangganya.

Jika di muka telah diterangkan mengenai faktor pertama kekerasan dalam rumah tangga adalah
ketimpangan hubungan kekuasaan antara suami dan istri. Maka di sisi lain, perimbangan antara suami dan
istri, baik dalam hal pendidikan, pergaulan, penguasaan ekonomi baik yang mereka alami sejak masih
kuliah, di lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal, dapat menimbulkan
persaingan dan selanjutnya dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di satu
sisi suami tidak mau kalah, sementara di sisi lain istri juga tidak mau terbelakang dan dikekang.

Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa frustai tidak bisa melakukan
sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada pasangan yang :

1. Belum siap kawin.


2. Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan rumah
tangga.
3. Masih serba terbatas dalam kebebasan karena masih menumpang pada orang tua atau mertua.

Dalam kasus ini biasanya suami mencari pelarian kepada mabuk-mabukan dan perbuatan negatif lain
yang berujung pada pelampiasan terhadap istrinya dengan memarahinya, memukulnya, membentaknya
dan tindakan lain yang semacamnya.

Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum


Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak terlepas dari
pembicaraan hak dan kewajiban suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi laporan korban kepada aparat
hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini
juga terlihat dari minimnya KUHAP membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban,
karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Dalam proses sidang pengadilan, sangat
minim kesempatan istri untuk mengungkapkan kekerasan yang ia alami.
Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Karena kekerasan sebagaimana tersebut di atas terjadi dalam rumah tangga, maka penderitaan akibat
kekerasan ini tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi juga anak-anaknya. Adapun dampak kekerasan
dalam rumah tangga yang menimpa istri adalah:

1. Kekerasan fisik langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan istri menderita rasa sakit fisik
dikarenakan luka sebagai akibat tindakan kekerasan tersebut.
2. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya gairah seks, karena istri
menjadi ketakutan dan tidak bisa merespon secara normal ajakan berhubungan seks.
3. Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan, shock, trauma, rasa takut, marah,
emosi tinggi dan meledak-ledak, kuper, serta depresi yang mendalam.
4. Kekerasan ekonomi mengakibatkan terbatasinya pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang
diperlukan istri dan anak-anaknya.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa kekerasan tersebut juga dapat berdampak pada anak-anak.
Adapun dampak-dampak itu dapat berupa efek yang secara langsung dirasakan oleh anak, sehubungan
dengan kekerasan yang ia lihat terjadi pada ibunya, maupun secara tidak langsung. Bahkan, sebagian dari
anak yang hidup di tengah keluarga seperti ini juga diperlakukan secara keras dan kasar karena kehadiran
anak terkadang bukan meredam sikap suami tetapi malah sebaliknya. Menurut hasil penelitian tim
Kalyanamitra, menyaksikan kekerasan adalah pengalaman yang amat traumatis bagi anak-anak.
Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami anak-anak membuat anak tersebut memiliki kecenderungan
seperti gugup, gampang cemas ketika menghadapi masalah, sering ngompol, gelisah dan tidak tenang,
jelek prestasinya di sekolah, mudah terserang penyait seperti sakit kepala, perut, dan asma, kejam kepada
binatang, Ketika bermaian sering meniru bahasa yang kasar, berperilaku agresif dan kejam, suka minggat,
dan suka melakukan pemukulan terhadap orang lain yang tidak ia sukai.

Kekerasan dalam rumah tangga yang ia lihat adalah sebagai pelajaran dan proses sosialisasi bagi dia
sehingga tumbuh pemahaman dalam dirinya bahwa kekerasan dan penganiayaan adalah hal yang wajar
dalam sebuah kehidupan berkeluarga. Pemahan seperti ini mengakibatkan anak berpendirian bahwa:
1. Satu-satunya jalan menghadapi stres dari berbagai masalah adalah dengan melakukan kekerasan.
2. Tidak perlu menghormati perempuan.
3. Menggunakan kekerasan dalam menyelesaiakan berbagai persoalan adalah baik dan wajar.
4. Menggunakan paksaan fisik untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan adalah wajar dan baik-
baik saja

Di samping dampak secara langsung terhadap fisik dan psikologis sebagaimana disebutkan di atas, masih
ada lagi akibat lain berupa hubungan negatif dengan lingkungan yang harus ditanggung anak seperti:

1. Harus pindah rumah dan sekolah jika ibunya harus pindah rumah karena menghindari kekerasan.
2. Tidak bisa berteman atau mempertahankan teman karena sikap ayah yang membuat anak terkucil.
3. Merasa disia-siakan oleh orang tua.

Kebanyakan anak yang tumbuh dalam rumah tangga yang penuh kekerasan akan tumbuh menjadi anak
yang kejam. Penelitian membuktikan bahwa 50% – 80% laki-laki yang memukuli istrinya atau anak-
anaknya, dulunya dibesarkan dalam rumah tangga yang bapaknya sering melakukan kekerasan terhadap
istri dan anaknya. Mereka tumbuh dewasa dengan mental yang rusak dan hilangnya rasa iba serta
anggapan bahwa melakukan kekerasan terhadap istri adalah bisa diterima.
Peraturan Perundang-Undangan dan Hukum Islam Tentang Kekerasan (Fisik) Terhadap
Istri Dalam Rumah Tangga

Menurut Hukum Pidana

Pada dasarnya, proses penetapan bahwa perbuatan seseorang dapat dipidanakan adalah karena
perbuatan itu tidak dikehendaki atau tidak disukai oleh masyarakat. Salah satu ukurannya adalah bahwa
perbuatan tersebut dapat merugikan atau mendatangkan korban.

Oleh karena itu, dalam hukum pidana dikenal sebuah asas yang fundamental berkaitan dengan
pemidanaan yaitu “tiada pidana tanpa kesalahan” atau dengan kata lain, terjadinya kesalahan mensahkan
diterapkannya pidana.

Dalam kaitannya dengan kekerasan fisik terhadap istri dalam rumah tangga adalah bahwa kekerasan fisik
yang dilakukan oleh suami termasuk dalam perbuatan yang tidak dikehendaki dan tidak disukai oleh
masyarakat, terlebih lagi perbuatan itu dapat merugikan istri dan anaknya yang menjadi korban
tindakannya. Permasalahannya adalah bahwa sebagaimana diketahui, kekerasan fisik terjadi lebih karena
faktor emosi yang sudah tidak terkendali setelah didahului oleh terjadinya pertengkaran antara suami dan
istri, sehingga agak diragukan apakah suami sengaja melakukan kekerasan fisik tersebut atau tidak
sengaja (alpa).

Dari penelusuran berbagai pasal dalam KUHP, diperoleh data bahwa ancaman pidana dapat dikenakan
kepada pelaku, baik tindak pidana tersebut dilakukan dengan sengaja ataupun karena kealpaan. Perbedaan
ancaman pidana antara kesengajaan dan kealpaan hanya terdapat pada berat ringannya pidana yang
diancamkan. Untuk lebih jelasnya, penulis kutibkan pasal dalam KUHP yang memuat tindak pidana yang
dilakukan dengan sengaja atau alpa dengan berat atau ringannya ancaman pidananya.

Sebagaimana tersebut dalam pasal 354 KUHP tentang penganiayaan, disebutkan: “Barang siapa sengaja
melukai berat orang lain diancam, karena melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling
lama delapan tahun”. Sedangkan dalam pasal 360 KUHP disebutkan: “Barang siapa karena kealpaannya
menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau kurungan paling lama satu tahun.

Kealpaan baru mungkin tidak dapat dipidanakan hanya jika terjadi dalam perbuatan peserta yang
melakukan bantuan/ikut serta berbuat karena kealpaannya dalam perbuatan penyertaan (culpose
deelneming) sebagaimana keterangan dalam pasal 56 KUHP yang berbunyi: “Dipidana sebagai pembantu
sesuatu kejahatan: mereka yang sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan, dan
mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Dengan demikian kekerasan fisik terhadap istri yang dilakukan oleh suami meskipun dilakukan
dengan kealpaan tetap dapat dipidanakan. Ditambah lagi, kekerasan fisik terhadap istri ini bukanlah delik
penyertaan di mana suami berperan sebagai pembantu atau penyerta perbuatan yang dilakukan dengan
kealpaan.
Selanjutnya, pasal 351 s.d. 355 KUHP menerangkan bahwa penganiayaan diancam dengan pidana penjara
paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Jika
perbuatan mengakibatkan luka berat, yang berbuat dapat diancam dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun. Dan pada pasal 356 menyebutkan bahwa pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354,
dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya
yang sah, istri, dan anaknya.16
Walaupun demikian banyak masyarakat menganggap bahwa persoalan rumah tangga adalah aib untuk
diceritakan kepada orang lain. Hal ini mengakibatkan pasal-pasal yang menjerat tindak kekerasan dalam
rumah tangga itu sulit untuk diterapkan.

Jika disimak lebih lanjut mengenai pasal-pasal di atas terlihat bahwa negara hanya mengatur tindak
penganiayaan sebagai kejahatan yang sifatnya umum. Negara belum mengakomodir kekerasan yang
dialami istri dalam keluarga. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa KUHP tidak mengenal konsep
kekerasan yang berbasis jender di mana sesungguhnya ada tindakan kejahatan yang dilakukan justru
karena jenis kelamin.

2. Menurut UU No. 23 Tahun 2004

UU No. 23 Tahun 2004 ini terdiri dari sepuluh bab dan lima puluh enam pasal. Secara garis besar dapat
penulis uraikan sebagai berikut:

1. Bab I berisi ketentuan umum yang menerangkan tentang definisi kekerasan dalam rumah tangga
dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana tercantum dalam pasal 1, serta
menerangkan tentang lingkup rumah tangga yang meliputi suami, istri, dan anak (pasal 2).
2. Bab II berisi asas dan tujuan. Bahwa asas yang mendasari dilaksanakannya penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagaimana tersebut dalam pasal 3 yaitu meliputi:

1. Penghormatan hak asasi manusia


2. Keadilan dan kesetaraan jender
3. Anti diskriminasi, dan
4. Perlindungan korban

Adapun tujuannya adalah sebagaimana terdapat dalam pasal 4 yaitu:

1. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga


2. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
3. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
4. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera

5. Bab III berisi larangan kekerasan dalam rumah tangga, bahwa setiap orang dilarang melakukan
kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang lain dalam lingkup rumah tangganya, baik dengan
cara kekerasan fisik, psikis, seksual, dan menerlantarkan rumah tangganya, sebagaimana
tercantum dalam pasal 5.
6. Bab IV berisi hak-hak korban sebagaimana tercantum dalam pasal 10 yang meliputi:
o Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga
sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan.
o Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.
o Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban.
o Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses
pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan. Pelayanan
bimbingan rohani.
7. Bab V berisi kewajiban pemerintah dan masyarakat dalam penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga, (pasal 11). Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, maka ada beberapa hal yang harus
dilakukan oleh pemerintah sebagaimana tercantum dalam pasal 12 yang meliputi:

1. Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.


2. Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah
tangga

 Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga

Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif jender dan isu kekerasan dalam rumah
tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif jender.

Adapun yang dimaksud dengan kewajiban masyarakat adalah sebagaimana tercantum dalam pasal 15,
yaitu bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga, wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:

1. Mencegah berlangsungnya tindak pidana


2. Memberikan perlindungan kepada korban
3. Memberikan pertolongan darurat, dan
4. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan kepada lembaga terkait

25. Bab VI berisi perlindungan yang harus diberikan oleh kepolisian sebagaimana tercantum dalam
pasal 16 sampai 20, perlindungan dan pelayanan kesehatan yang terdapat dalam pasal 21, dan
perlindungan dari pekerja sosial dan relawan pendamping sebagaimana tercantum dalam pasal 22
dan 23, perlindungan oleh rohaniwan sebagaimana terdapat dalam pasal 24, dan perlindungan
oleh advokat sebagaimana terdapat dalam pasal 25.
26. Bab VII berisi upaya pemulihan korban, bahwa untuk kepentingan pemulihan, korban dapat
memperoleh pelayanan dari:
1. Tenaga kesehatan yang wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya (pasal
40)
2. Pekerja sosial dan relawan pendamping, dan rohaniwan yang wajib memberikan
konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban (pasal 41)
27. Bab VIII berisi ketentuan pidana yang tercantum dalam pasal 44 sampai 53. Khusus untuk
kekerasan fisik, penulis uraikan rinciannya sebagai berikut:
1. Kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,-
2. Jika kekerasan fisik tersebut mengakibatkan sakit dan luka berat, maka pelakunya
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp.
30.000.000,-
3. Jika kekerasan tersebut mengakibatkan matinya korban, maka pelaku dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,-
4. Jika kekerasan tersebut tidak mengakibatkan penyakit atau halangan apa pun untuk
menjalankan pekerjaan dan kegiatan lainnya, maka pelaku dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,-
5. Bab IX berisi Ketentuan lain-lain yang menerangkan tentang penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pembuktian (pasal 54 dan 55). UU di tutup
dengan bab X tentang ketentuan penutup (pasal 56).

Menurut Pandangan Islam

Pemahaman atau penafsiran atas ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis tentang hubungan antara laki-laki
dan perempuan yang keliru dapat berkontribusi pada pembenaran perlakuan kekerasan terhadap istri.
Pandangan yang keliru itu tampaknya mengacu kepada beberapa ayat yang secara tekstual maknanya
memang mengarah kepada justifikasi terhadap tindak kekerasan atas perempuan, khususnya dalam rumah
tangga. Ayat-ayat tersebut, di antaranya an-Nisa, 4: 34 yang artinya :

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat (kepada
Allah) lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di
tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.”.
Ketika ayat tersebut dimaknai secara tekstual, maka tidak terapat nilai-nilai egalitarian, equality, anti-
oppressive dalam Islam terkait hubungan suami dan istri. Penekanan pada kata qawwamuuna yang sering
diartikan sebagai pemimpin yang berkuasa mutlak, dan wa dribuuhuna yang selalu diartikan: pukullah
mereka (isteri) seolah menjadi justifikasi diperbolehkannya kekerasan dalam rumah tangga.

Kata qawwamuuna; oleh sejumlah penafsir, seperti Jalaluddin al-Sayuti, penulis Tafsir Jalalain, diartikan
“memimpin” atau “menguasai” sehingga maknanya laki-laki adalah pemimpin atau penguasa atas
perempuan, baik dalam kehidupan di rumah tangga lebih-lebih lagi dalam kehidupan luas di masyarakat.
Bahkan beberapa mufassir mengemukakan berbagai penjelasan yang sangat “bias laki-laki”. An-Nawawi,
misalnya menyebutkan bahwa makna qawwam atau superioritas laki-laki dimungkinkan karena beberapa
alasan, di antaranya laki-laki memiliki kesempurnaan akal (kamal al-aql), matang dalam perencanaan
(husun at-ta’bir), memiliki penilaian yang tepat, serta memiliki kelebihan dalam amal dan kesalehan.
Oleh sebab itu, laki-laki diberi tugas istimewa sebagai Nabi, sebagai imam atau wali, menjadi saksi dalam
berbagai masalah, wajib melaksanakan jihad, sholat Jum’at dan seterusnya. Dengan penafsiran seperti itu,
terlihat kecenderungan mufassir untuk mendukung superioritas laki-laki terhadap perempuan.

Kata kedua, wadribuuhunna, umumnya kata ini diartikan secara tekstual “memukul secara fisik” sehingga
tidak heran kalau ayat ini dipahami sebagai pembenaran terhadap bolehnya melakukan penganiayaan
terhadap isteri. Akan tetapi, tidak kurang banyaknya penafsir yang menolak interpretasi demikian, di
antaranya adalah Muhammad Abduh, Sayyid Qutub, dan Wahbah al-Zuhaili. Menurutnya, kata
qawwamuuna lebih cenderung berarti “melindungi” dan “mengarahkan”. Demikian pula sejumlah
pemikir Muslim kontemporer, di antaranya Asqhar Ali, Rif’at Hassan melakukan reinterpretasi terhadap
makna qawwamun. Menurut mereka, ayat itu merupakan pengakuan bahwa realitas sejarah kaum
perempuan pada masa itu sangat rendah dan pekerjaan domestik dianggap sebagai kewajiban perempuan.
Amina Wadud Muhsin menjelaskan bahwa pernyataan “laki-laki qawwamun atas perempuan” tidaklah
dimaksudkan bahwa superioritas itu melekat secara otomatis pada setiap laki-laki, melainkan hanya
terjadi secara fungsional, yaitu selama yang bersangkutan memenuhi kriteria Al-Qur’an, yakni memiliki
kelebihan dalam kualitas dan memberikan nafkah. Menurut Abduh, bukanlah pukulan dalam makna
harfiyah yang berkonotasi penganiayaan, melainkan dalam makna metaforis, yaitu “mendidik” atau
“memberi pelajaran.” Lebih lanjut, para ulama, seperti Imam Syafi’i menandaskan bahwa kalaupun
seorang suami terpaksa memukul isterinya, ada beberapa ketentuan yang digariskan dan harus
diperhatikan oleh suami, di antaranya: 1) terlarang memukul dengan menggunakan alat, seperti tongkat
dan sejenisnya, 2) dilarang memukul pada bagian wajah, 3) dilarang memukul hanya pada bagian
tertentu, dan 4) dilarang memukul yang dapat menimbulkan cedera, apalagi sampai cacat. Sebaliknya
para suami dituntut untuk senantiasa berlaku lemah lembut, kasih sayang, dan sopan santun terhadap
isteri dalam segala situasi.

Dalam salah satu hadis, Nabi pernak bersabda “Tidak akan sukses suatu kaum (masyarakat) yang
menyerahkan (untuk memimpin) urusan kepada wanita. (HR. Bkhori, al-Turmudzi, dan al-Nasa’i). Hadis
tersebut menjadi mainstrem kebanyakan masyarakat muslim yang menanggap posisi perempuan
ditempatkan pata wilayah subordinat. Ketika merujuk pada sebab terjadinya hadis (asbab al-wurud) serta
latar belakangnya, maka hadis diatas sangat terkait dengan kondisi yang terjadi pada masa tersebut,
dimana derajat kaum wanita dalam masyarakat berada di bawah derajat laki-laki, terutama di Persia.
Namun dalam keadaan wanita telah memiliki kewibawaan dan kemampuan untuk memimpin, serta
masyarakat bersedia menerimanya sebagai pemimpin, maka tidak ada salahnya wanita dipilih dan
diangkat sebagai pemimpin.

Menurut Quraish Shihab perempuan adalah syaqa’iq al-rijal (saudara-saudara sekandung lelaki)
sehingga kedudukannya serta hak-haknya hampir dapat dikatakan sama. Kalaupun ada yang
membedakan, maka itu hanyalah akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan Tuhan kepada
masing-masing jenis kelamin itu, sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa
memiliki kelebihan atas yang lain.

Lebih lanjut ia mengutip pendapat dari Mahmud Syaltut yang menerangkan

Tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan hampir dapat dikatakan sama. Allah telah
menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki. Kepada mereka
berdua dianugerahkan Tuhan potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan
yang memjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum
maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum syari’at pun meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang
ini (lelaki) menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan
menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan
kawin, melanggar dan dihukum serta menuntut dan menyaksikan.

Membentuk rumah tangga dalam Islam adalah dalam rangka menegakkan syariat Islam, menuju ridho
Allah Swt. Suami dan istri harus saling melengkapi dan bekerja sama dalam membangun rumah tangga
yang harmonis menuju derajat takwa. Allah SWT berfirman:

“Dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong
sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi
rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. at-Taubah [9]: 71).

Diperlukan relasi yang jelas antara suami dan istri, dan tidak menyamaratakan tugas dan wewenangnya.
Suami berhak menuntut hak-haknya, seperti dilayani istri dengan baik. Sebaliknya, suami memiliki
kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya, memberikan nafkah yang layak dan memperlakukan
mereka dengan cara yang ma’ruf. Allah SWT berfirman dalam Qs. an-Nisâ’ [4]: 19:

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan
janganlah kamu menghalangi mereka kawin dan menyusahkan mereka karena hendak mengambil
kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak
menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 19).

Ayat tersebut merupakan seruan kepada para suami agar mereka mempergauli isteri mereka secara
ma’ruf. Menurut ath-Thabari, ma’ruf adalah menunaikan hak-hak mereka. Ayat ini juga memerintahkan
menjaga keutuhan keluarga. Jika ada sesuatu yang tidak disukai pada diri isterinya, selain zina dan
nusyuz, suami diminta bersabar dan tidak terburu-buru menceraikannya. Sebab, bisa jadi pada perkara
yang tidak disukai, terdapat sisi-sisi kebaikan.

Jika masing-masing, baik suami maupun istri menyadari perannya dan melaksanakan hak dan kewajiban
sesuai syariat Islam, niscaya tidak dibutuhkan kekerasan dalam menyelaraskan perjalanan biduk rumah
tangga. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat terhindarkan karena biduk rumah tangga dibangun
dengan pondasi ajaran Islam, dikemudikan dengan kasih sayang dan diarahkan oleh peta iman.

Seandainya terjadi juga kasus KDRT dalam rumah tangga, maka dalam beberapa kondisi istri berhak
mengajukan cerai meskipun Rasulullah SAW mengancam para wanita yang gemar minta cerai kepada
suami dengan alasan yang tidak jelas dengan ancaman yang cukup keras.

Kekerasan terhadap perempuan apapun alasanya adalah bentuk kriminalitas. Islam secara tegas
mengkategorikan KDRT sebagai tindakan jarimah (kriminalitas) yang merupakan perbuatan tercela (al-
Qabih) yang melanggar hukum syara’. Artinya, apa yang dianggap sebagai tindakan kejahatan terhadap
perempuan harus disandarkan pada hukum syara’.
Berdasarkan syariat Islam ada beberapa bentuk kekerasan atau kejahatan yang menimpa wanita
dimana pelakunya harus diberikan sanksi yang tegas. Namun sekali lagi perlu ditegaskan kejahatan ini
bisa saja menimpa laki-laki, pelakunya juga bisa laki-laki atau perempuan. Berikut ini beberapa perilaku
jarimah dan sanksinya menurut Islam terhadap pelaku:

Pertama, Qadzaf, yakni melempar tuduhan. Misalnya menuduh wanita baik-baik berzina tanpa bisa
memberikan bukti yang bisa diterima oleh syariat Islam. Sanksi hukumnya adalah 80 kali cambukan. Hal
ini berdasarkan firman Alah SWT: “Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik
(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat saksi, maka deralah 80 kali.” (Qs. an-Nûr [24]: 4-
5).

Kedua, Membunuh, yakni ‘menghilangkan’ nyawa seseorang. Dalam hal ini sanksi bagi pelakunya
adalah qishas (hukuman mati). Firman Allah SWT: “Diwajibkan atas kamu qishos berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh.” (Qs. al-Baqarah [2]: 179).

Ketiga, Mensodomi, yakni menggauli wanita pada duburnya. Haram hukumnya sehingga pelaku wajib
dikenai sanksi. Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Allah tidak akan melihat seorang
laki-laki yang mendatangi laki-laki (homoseksual) dan mendatangi istrinya pada duburnya.” Sanksi
hukumnya adalah ta’zir, berupa hukuman yang diserahkan bentuknya kepada pengadilan yang berfungsi
untuk mencegah hal yang sama terjadi.

Keempat, Penyerangan terhadap anggota tubuh. Sanksi hukumnya adalah kewajiban membayar diyat
(100 ekor unta), tergantung organ tubuh yang disakiti. Penyerang terhadap lidah dikenakan sanksi 100
ekor unta, 1 biji mata 1/2 diyat (50 ekor unta), satu kaki 1/2 diyat, luka yang sampai selaput batok kepala
1/3 diyat, luka dalam 1/3 diyat, luka sampai ke tulang dan mematahkannya 15 ekor unta, setiap jari kaki
dan tangan 10 ekor unta, pada gigi 5 ekor unta, luka sampai ke tulang hingga kelihatan 5 ekor unta.

Kelima, Perbuatan-perbuatan cabul seperti berusaha melakukan zina dengan perempuan (namun
belum sampai melakukannya) dikenakan sanksi penjara 3 tahun, ditambah jilid dan pengusiran. Kalau
wanita itu adalah orang yang berada dalam kendalinya, seperti pembantu rumah tangga, maka diberikan
sanksi yang maksimal

Keenam, Penghinaan. Jika ada dua orang saling menghina sementara keduanya tidak memiliki bukti
tentang faktanya, maka keduanya akan dikenakan sanksi penjara sampai 4 tahun.

Dengan merujuk pada hukum syara’ diatas sangat jelas Islam sangat melawan segala bentuk kekerasan
baik fisik maupun psikis. Dalam konteks berumahtangga Islam menggarisbawahi dalam kerangka menuju
ridha Allah swt., nuansa ibadah inilah yang dapat menghindari KDRT. Karena itu dibutuhkan relasi yang
harmonis, termasuk pembagian funsi dan peran masing-masing secara seimbang dan penuh rasa keadilan.

Solusi Untuk Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Untuk menurunkan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga maka masyarakat perlu
digalakkan pendidikan mengenai HAM dan pemberdayaan perempuan, menyebarkan informasi dan
mempromosikan prinsip hidup sehat, anti kekerasan terhadap perempuan dan anak serta menolak
kekerasan sebagai cara untuk memecahkan masalah, mengadakan penyuluhan untuk mencegah kekerasan,
mempromosikan kesetaraan jender, mempromosikan sikap tidak menyalahkan korban melalui media.

Sedangkan untuk pelaku dan korban kekerasan sendiri, sebaiknya mencari bantuan pada Psikolog
untuk memulihkan kondisi psikologisnya. Bagi suami sebagai pelaku, bantuan oleh Psikolog diperlukan
agar akar permasalahan yang menyebabkannya melakukan kekerasan dapat terkuak dan belajar untuk
berempati dengan menjalani terapi kognitif. Karena tanpa adanya perubahan dalam pola pikir suami
dalam menerima dirinya sendiri dan istrinya maka kekerasan akan kembali terjadi.

Sedangkan bagi istri yang mengalami kekerasan perlu menjalani terapi kognitif dan belajar untuk
berperilaku asertif. Selain itu, istri juga dapat meminta bantuan pada LSM yang menangani kasus-kasus
kekerasan pada perempuan agar mendapat perlidungan. Suami dan istri juga perlu untuk terlibat dalam
terapi kelompok dimana masingmasing dapat melakukan sharing sehingga menumbuhkan keyakinan
bahwa hubungan perkawinan yang sehat bukan dilandasi oleh kekerasan namun dilandasi oleh rasa saling
empati. Selain itu, suami dan istri perlu belajar bagaimana bersikap asertif dan memanage emosi sehingga
jika ada perbedaan pendapat tidak perlu menggunakan kekerasan karena berpotensi anak akan
mengimitasi perilaku kekerasan tersebut.

Oleh karena itu, anak perlu diajarkan bagaimana bersikap empati dan memanage emosi sedini
mungkin namun semua itu harus diawali dari orangtua. Mengalami KDRT membawa akibat – akibat
negatif yang berkemungkinan mempengaruhi perkembangan korban di masa mendatang dengan banyak
cara. Dengan demikian, perhatian utama harus diarahkan pada pengembangan.

Menurut penulis solusi alternatif kasus kekerasaan dalam rumah tangga yaitu dengan cara, berikut
adalah kiat-kiat yang dapat dilakukan dalam upaya mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga:

1. Membangun kesadaran bahwa persoalan KDRT adalah persoalan sosial bukan individual dan
merupakan pelanggaran hukum yang terkait dengan HAM.
2. Sosialiasasi pada masyarakat tentang KDRT adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan
dapat diberikan sangsi hukum. Dengan cara mengubah pondasi KDRT di tingkat masyarakat
pertama – tama dan terutama membutuhkan.
3. Adanya konsensus bahwa kekerasan adalah tindakan yang tidak dapat diterima.
4. Mengkampanyekan penentangan terhadap penayangan kekerasan di media yang mengesankan
kekerasan sebagai perbuatan biasa, menghibur dan patut menerima penghargaan.
5. Peranan Media massa. Media cetak, televisi, bioskop, radio dan internet adalah macrosystem
yang sangat berpengaruh untuk dapat mencegah dan mengurangi kekerasan dalam rumah tangga (
KDRT). Peran media massa sangat berpengaruhbesar dalam mencegah KDRT bagaimana media
massa dapat memberikan suatu berita yang bisa merubah suatu pola budaya KDRT adalah suatu
tindakan yang dapat melanggar hukum dan dapat dikenakan hukuman penjara sekecil apapun
bentuk dari penganiayaan.
6. Mendampingi korban dalam menyelesaikan persoalan (konseling) serta kemungkinan
menempatkan dalam shelter (tempat penampungan) sehingga para korban akan lebih terpantau
dan terlindungi serta konselor dapat dengan cepat membantu pemulihan secara psikis.
7. Memberi perlindungan hukum yang dirancang khusus untuk merespon kebutuhan korban
kejahatan KDRT dan anggota keluarganya yang ditetapkan oleh Pengadilan sebagaimana diatur
dalam pasal 28-38 UU No. 23 tahun 2004.
8. Membentuk pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak (tidak hanya
pendampingan hukum, namun diberi pelatihan sesuai kemampuan individu didalam masyarakat).
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Penegakan hukum di Indonesia dirasa
masih lemah karena masih banyak kasus yang melibatkan aparatur Negara untuk melakukan tindak
pidana salah satunya kasus kekerasan dalam rumah tangga. Berdasarkan UU NO 23 Tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga belum efektif, terjadi peningkataan tindak kekerasaan dalam
rumah tangga.

KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) merupakan permasalahan yang sering terjadi didalam rumah
tangga. Oleh karena itu harus dilakukan pencegahan secara dini. Pendidikan agama dan pengamalan
ajaran agama di rumah tangga merupakan kunci sukses untuk mencegah terjadinya KDRT.
Untuk mencegah KDRT di rumah tangga, harus dikembangkan cinta kasih dan kasih sayang Sejak dini.
Ibu bisa berperan besar dalam hal mengajarkan kepada anak-anak dirumah untuk saling mencintai dan
saling menyayangi. Demikian juga PKK sebagai organisasi dapat memberi terus-menerus pencerahan dan
penyadaran kepada kaum perempuan.
Oleh karena pelaku utama KDRT pada umumnya adalah suami, maka peranan para pemuka agama,
pendidik, sosiolog dan cendekiawan, harus berada digarda terdepan untuk terus menyuarakan pentingnya
rumah tangga sebagai unit terkecil dalam masyarakat untuk dibangun secara baik dan jauh dari KDRT.
Supaya terkomunikasikan hal tersebut kepada masyarakat luas, maka peranan dan partisipasi media
sangat penting dan menentukan.

Untuk mengakhiri, pertama, Islam adalah agama yang penuh dengan kedamaian (salam) yang
anti terhadap kekerasan dan sangat membenci segala bentuk penganiayaan terhadap perempuan. Kedua,
Islam memandang relasi antara lelaki dan perempuan dalam satu tingkatan kesetaraan, peran dan fungsi
serta tanggung jawab dalam sistem masyarakat yang membuatnya hampir berbeda, namun tetap setara di
hadapan Allah swt. Ketiga, dalam perkawinan, Al-Qur`an menyebut ikatan perkawinan itu sebagai
mitsaqan ghalizan (perjanjian yang sangat kokoh) yang seharusnya dibangun di atas landasan prinsip
muasyarah bi al-ma’ruf (pergaulan yang santun) yang membawa kedua suami-isteri dan bahkan seluruh
anggota keluarga kepada kehidupan yang damai, tenteram dan bahagia, sunyi dari berbagai kekerasan apa
pun bentuknya. Keempat, Islam memandang KDRT merupakan bentuk kriminalitas (jarimah) yang
berdampak pada punisment kepada pelakunya dan telah melanggar nilai-nilai serta prinsip yang ada
didalam ajaran Islam.
Saran

3. Pemerintah Harus bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah
tangga dengan cara mempertegas proses hukum dengan dikenai sanksi pidana berlapis.
4. Pemerintah harus menyediakan penyelenggaraan pelayanan terhadap korban kekerasan
dalam rumah tangga, misalnya dengan:
a. Penyediaan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di kantor kepolisian.
b. Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani.
c. Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan
yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban.
d. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.djppdepkumham.go.id/hukum-pidana/649-kekerasan-dalam rumah-tangga-dalam-
perspektif-sosiologi.html.

http://www.djpp.depkumham.go.id/hukum-pidana/677-penegakan-hukum- kejahatan-kekerasan-
dalam-rumah-tangga.html.

http://www.djpp.depkumham.go.id/hukum-pidana/511-putusan-badan-peradilan-tentang-tindak-
pidana-kdrt.html.

http://www.google.co.id/pandangan+islam+mengenai+masalah+kdrt.html

Anda mungkin juga menyukai