Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH KONFLIK SOSIAL

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

DI SUSUN OLEH :
BOBI PUJIANTO
( 181010201478 )

PRODI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS PAMULANG
2021

KATA PENGANTAR

i
Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas taufik dan
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam
senantiasa kita sanjungkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW,
keluarga, sahabat, serta semua umatnya hingga kini. Dan Semoga kita termasuk
dari golongan yang kelak mendapatkan syafaatnya.
Dalam kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah berkenan membantu pada tahap penyusunan hingga
selesainya makalah ini. Harapan kami semoga makalah yang telah tersusun ini
dapat bermanfaat sebagai salah satu rujukan maupun pedoman bagi para pembaca,
menambah wawasan serta pengalaman, sehingga nantinya saya dapat
memperbaiki bentuk ataupun isi makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Kami sadar bahwa kami ini tentunya tidak lepas dari banyaknya
kekurangan, baik dari aspek kualitas maupun kuantitas dari bahan penelitian yang
dipaparkan. Semua ini murni didasari oleh keterbatasan yang dimiliki kami. Oleh
sebab itu, kami membutuhkan kritik dan saran kepada segenap pembaca yang
bersifat membangun untuk lebih meningkatkan kualitas di kemudian hari.

Bogor, 03 Desember 2021


Penyusun

Bobi Pujianto

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga........................................ 3
B. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga................................. 4
C. Faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga................... 6
D. Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga...................... 7
E. Perlindungan bagi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga............... 7
F. Contoh Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga................................... 12
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................ 14
B. Saran...................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan
dan berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan
perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga memerlukan
organisasi tersendiri dan perlu kepala rumah tangga sebagai tokoh penting
yang memimpin keluarga di samping beberapa anggota keluarga lainnya.
Anggota keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak merupakan sebuah satu
kesatuan yang memiliki hubungan yang sangat baik. Hubungan baik ini
ditandai dengan adanya keserasian dalam hubungan timbal balik antar semua
anggota/individu dalam keluarga. Sebuah keluarga disebut harmonis apabila
seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai dengan tidak adanya
konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap keadaan (fisik,
mental, emosi, dan sosial) seluruh anggota keluarga. Keluarga disebut
disharmonis apabila terjadi sebaliknya.
Ketegangan maupun konflik antara suami dan istri maupun orang tua
dengan anak merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah
tangga. Tidak ada rumah tangga yang berjalan tanpa konflik namun konflik
dalam rumah tangga bukanlah sesuatu yang menakutkan. Hampir semua
keluarga pernah mengalaminya. Yang menjadi berbeda adalah bagaimana cara
mengatasi dan menyelesaikan hal tersebut.
Setiap keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya
masing-masing. Apabila masalah diselesaikan secara baik dan sehat maka
setiap anggota keluarga akan mendapatkan pelajaran yang berharga yaitu
menyadari dan mengerti perasaan, kepribadian dan pengendalian emosi tiap
anggota keluarga sehingga terwujudlah kebahagiaan dalam keluarga.
Penyelesaian konflik secara sehat terjadi bila masing-masing anggota keluarga
tidak mengedepankan kepentingan pribadi, mencari akar permasalahan dan
membuat solusi yang sama-sama menguntungkan anggota keluarga melalui

1
komunikasi yang baik dan lancar. Disisi lain, apabila konflik diselesaikan
secara tidak sehat maka konflik akan semakin sering terjadi dalam keluarga.
Penyelesaian masalah dilakukan dengan marah yang berlebih-lebihan,
hentakan-hentakan fisik sebagai pelampiasan kemarahan, teriakan dan makian
maupun ekspresi wajah menyeramkan. Terkadang muncul perilaku seperti
menyerang, memaksa, mengancam atau melakukan kekerasan fisik. Perilaku
seperti ini dapat dikatakan pada tindakan kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) yang diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga?
2. Apa saja bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga?
3. Apakah faktor-faktor penyebab kekerasan dalam rumah tangga?
4. Bagaimana cara penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga?
5. Apakah perlindungan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga?
6. Apa contoh kasus kekerasan dalam rumah tangga?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga


Kekerasan dalam rumah tangga seperti yang tertuang dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan
perlindungan hukum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang
antara lain menegaskan bahwa:
1. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari
segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-
Undang Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga
merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap
martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus.
3. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah
perempuan, hal itu harus mendapatkan perlindungan dari negara dan/atau
masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman
kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan
martabat kemanusiaan.
4. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf
b, huruf c, dan huruf d perlu dibentuk undang-undang tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri sebenarnya
merupakan unsur yang berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah
KUHP (kitab undang-undang hukum pidana) pasal 356 yang secara garis

3
besar isi pasal yang berbunyi: “barang siapa yang melakukan penganiayaan
terhadap ayah, ibu, istri atau anak diancam hukuman pidana”.

B. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga


Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tindak kekerasan
terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan ke dalam 4 (empat) macam:
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit,
jatuh sakit atau luka berat. Perilaku kekerasan yang termasuk dalam
golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik
rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok,
memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini
akan tampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka
lainnya.
2. Kekerasan psikologis/emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan/atau penderitaan
psikis berat pada seseorang. Perilaku kekerasan yang termasuk
penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-komentar
yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia
luar, mengancam atau, menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan
kehendak.
3. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari
kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa
selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.
Kekerasan seksual berat, berupa:
a. Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh
organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain
yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa
dikendalikan.

4
b. Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat
korban tidak menghendaki.
c. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan
dan atau menyakitkan.
d. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan
pelacuran dan atau tujuan tertentu.
e. Terjadinya hubungan seksual di mana pelaku memanfaatkan posisi
ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.
f. Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan
alat yang menimbulkan sakit, luka, atau cedera.
g. Kekerasan seksual ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal
seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan
atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun
perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak
dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban.
Melakukan repetisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke
dalam jenis kekerasan seksual berat.
4. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan
atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini
adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.
Kekerasan ekonomi berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi
dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:
a. Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitasi termasuk pelacuran.
b. Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
c. Mengambi l tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban,
merampas dan atau memanipulasi harta benda korban.
d. Kekerasan ekonomi ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja
yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi
atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.

5
C. Faktor-faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga
Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks
struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga (marital violence) sebagai berikut:
1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan
dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
2. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk
bekerja mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan
ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan
kekerasan.
3. Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban
sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap
anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga terjadi kekerasan
dalam rumah tangga.
4. Wanita sebagai anak-anak
Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum,
mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan
segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk
melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan
terhadap anaknya agar menjadi tertib.
5. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami
kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga
penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim
dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi
suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni
keluarga.

6
D. Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Untuk menghindari terjadinya kekerasan dalam rumah tangga,
diperlukan cara-cara penanggulangan kekerasan dalam rumah tangga, antara
lain:
1. Perlunya keimanan yang kuat dan akhlak yang baik dan berpegang teguh
pada agamanya sehingga kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan
dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.
2. Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena
di dalam agama itu mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak,
saudara, dan orang lain. Sehingga antara anggota keluarga dapat saling
menghargai setiap pendapat yang ada.
3. Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta
sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah
rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan di antara kedua
belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam
rumah tangga.
4. Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya
antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa
saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita
untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang
timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang
kadang juga berlebih-lebihan.
5. Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapa pun keuangan yang ada
dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi
pendapatan yang minim, sehingga kekurangan ekonomi dalam keluarga
dapat diatasi dengan baik.

E. Perlindungan bagi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga


Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dulu dianggap mitos
dan persoalan pribadi (private), kini menjadi fakta dan realitas dalam
kehidupan rumah tangga. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU

7
PKDRT) maka persoalan KDRT ini menjadi domain publik. Sebagian besar
korban KDRT adalah kaum perempuan dan pelakunya adalah suami,
walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang
tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban KDRT adalah
orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan,
perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di
rumah ini. Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena
terpaut dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum
dipahami. Padahal perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk
memberi rasa aman terhadap korban serta menindak pelakunya.
Undang-undang PKDRT secara substantif memperluas institusi dan
lembaga pemberi perlindungan agar mudah diakses oleh korban KDRT, yaitu
pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan
atau pihak lainnya, baik perlindungan sementara maupun berdasarkan
penetapan pengadilan. Di sini terlihat, bahwa institusi dan lembaga pemberi
perlindungan itu tidak terbatas hanya lembaga penegak hukum, tetapi
termasuk juga lembaga sosial bahkan disebutkan pihak lainnya.
Peran pihak lainnya lebih bersifat individual. Peran itu diperlukan
karena luasnya ruang dan gerak tindak KDRT, sementara institusi dan
lembaga resmi yang menangani perlindungan korban KDRT sangatlah
terbatas. Pihak lainnya itu adalah setiap orang yang mendengar, melihat, atau
mengetahui terjadinya tindak KDRT. Mereka diwajibkan mengupayakan
pencegahan, perlindungan, pertolongan darurat serta membantu pengajuan
permohonan penetapan perlindungan baik langsung maupun melalui institusi
dan lembaga resmi yang ada. Dilihat dari hukum pidana, tindak KDRT ini
adalah tindak kekerasan sebagaimana diatur dalam kitab undang-undang
hukum pidana (KUHP) yakni tindak pidana penganiayaan, kesusilaan, serta
penelantaran orang yang perlu diberi nafkah dan kehidupan.
Memang, tindak kekerasan yang diatur dalam PKDRT ini mempunyai
sifat khas/spesifik, misalnya peristiwa itu terjadi di dalam rumah tangga,
korban dan pelakunya terikat hubungan kekerasan atau hubungan hukum
tertentu lainnya, serta berpotensi dilakukan secara berulang (pengulangan)

8
dengan penyebab (causa) yang lebih kompleks dari tindak kekerasan pada
umumnya. Itu sebabnya, tindak kekerasan ini lebih merupakan persoalan
sosial yang tidak hanya dilihat
Dari perspektif hukum. Penyelesaiannya harus dilakukan secara
komprehensif, melalui proses sosial, hukum, psikologi, kesehatan, dan agama,
dengan melibatkan berbagai disiplin, lintas institusi dan lembaga. Yang lebih
penting lagi adalah bagaimana persoalan itu dipahami oleh masyarakat luas
sehingga cita-cita yang hendak dicapai oleh legislator yang terkandung dalam
undang-undang PKDRT dapat terwujud sesuai harapan.
Bentuk perlindungan korban KDRT atau bahkan lembaga pemberi
perlindungan itu sendiri belum tentu memahami bagaimana perlindungan itu
didapatkan dan bagaimana diberikan. Bagi korban yang status soseknya lebih
tinggi atau institusi dan lembaga yang tugas dan fungsinya selaku penegak
hukum, tentu persoalan mendapatkan dan atau memberikan perlindungan itu
bukanlah masalah. Tetapi bagi institusi dan lembaga di luar itu, perlu
mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang cukup serta akreditasi
selaku institusi dan lembaga pemberi perlindungan terhadap korban KDRT.
Undang-undang PKDRT secara selektif membedakan fungsi
perlindungan dengan fungsi pelayanan. Artinya tidak semua institusi dan
lembaga itu dapat memberikan perlindungan apalagi melakukan tindakan
hukum dalam rangka pemberian sanksi kepada pelaku. Perlindungan oleh
institusi dan lembaga non-penegak hukum lebih bersifat pemberian pelayanan
konsultasi, mediasi, pendampingan dan rehabilitasi. Artinya tidak sampai
kepada ligitasi. Tetapi walaupun demikian, peran masing-masing institusi dan
lembaga itu sangatlah penting dalam upaya mencegah dan menghapus tindak
KDRT.
Selain itu, undang-undang PKDRT juga membagi perlindungan itu
menjadi perlindungan yang bersifat sementara dan perlindungan dengan
penetapan pengadilan serta pelayanan. Perlindungan dan pelayanan diberikan
oleh institusi dan lembaga sesuai tugas dan fungsinya masing-masing:
1. Perlindungan oleh kepolisian berupa perlindungan sementara yang
diberikan paling lama 7 (tujuh) hari, dan dalam waktu 1 x 24 jam sejak

9
memberikan perlindungan, kepolisian wajib meminta surat penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara oleh
kepolisian ini dapat dilakukan bekerja sama dengan tenaga kesehatan,
sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani untuk mendampingi
korban. Pelayanan terhadap korban KDRT ini harus menggunakan ruang
pelayanan khusus di kantor kepolisian dengan sistem dan mekanisme kerja
sama program pelayanan yang mudah diakses oleh korban. Pemerintah
dan masyarakat perlu segera membangun rumah aman (shelter) untuk
menampung, melayani dan mengisolasi korban dari pelaku KDRT. Sejalan
dengan itu, kepolisian sesuai tugas dan kewenangannya dapat melakukan
penyelidikan, penangkapan dan penahanan dengan bukti permulaan yang
cukup dan disertai dengan perintah penahanan terhadap pelaku KDRT.
Bahkan kepolisian dapat melakukan penangkapan dan penahanan tanpa
surat perintah terhadap pelanggaran perintah perlindungan, artinya surat
penangkapan dan penahanan itu dapat diberikan setelah 1 x 24 jam.
2. Perlindungan oleh advokat diberikan dalam bentuk konsultasi hukum,
melakukan mediasi dan negosiasi di antara pihak termasuk keluarga
korban dan keluarga pelaku (mediasi), dan mendampingi korban di tingkat
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan
(ligitasi), melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan
pendamping, dan pekerja sosial(kerja sama dan kemitraan).
3. Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk
perintah perlindungan yang diberikan selama 1 (satu) tahun dan dapat
diperpanjang. Pengadilan dapat melakukan penahanan dengan surat
perintah penahanan terhadap pelaku KDRT selama 30 (tiga puluh) hari
apabila pelaku tersebut melakukan pelanggaran atas pernyataan yang
ditandatanganinya mengenai kesanggupan untuk memenuhi perintah
perlindungan dari pengadilan. Pengadilan juga dapat memberikan
perlindungan tambahan atas pertimbangan bahaya yang mungkin timbul
terhadap korban.
4. Pelayanan tenaga kesehatan penting sekali artinya terutama dalam upaya
pemberian sanksi terhadap pelaku KDRT. Tenaga kesehatan sesuai

10
profesinya wajib memberikan laporan tertulis hasil pemeriksaan medis dan
membuat visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau
membuat surat keterangan medis lainnya yang mempunyai kekuatan
hukum sebagai alat bukti.
5. Pelayanan pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling untuk
menguatkan dan memberi rasa aman bagi korban, memberikan informasi
mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan, serta
mengantarkan koordinasi dengan institusi dan lembaga terkait.
6. Pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban mengenai hak-
hak korban untuk mendapatkan seorang atau beberapa relawan
pendamping, mendampingi korban memaparkan secara objektif tindak
KDRT yang dialaminya pada tingkat penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan pengadilan, mendengarkan dan memberikan penguatan
secara psikologis dan fisik kepada korban.
7. Pelayanan oleh pembimbing rohani diberikan untuk memberikan
penjelasan mengenai hak, kewajiban dan memberikan penguatan iman dan
takwa kepada korban.
Bentuk perlindungan dan pelayanan ini masih bersifat normatif, belum
implementasi dan teknis operasional yang mudah dipahami, mampu
dijalankan dan diakses oleh korban KDRT. Adalah tugas pemerintah untuk
merumuskan kembali pola dan strategi pelaksanaan perlindungan dan
pelayanan dan mensosialisasikan kebijakan itu di lapangan. Tanpa upaya
sungguh-sungguh dari pemerintah dan semua pihak, maka akan sangat sulit
dan mustahil dapat mencegah apalagi menghapus tindak KDRT di muka bumi
Indonesia ini, karena berbagai faktor pemicu terjadinya KDRT di negeri ini
amatlah subur.
Bahwa anggapan orang terjadinya KDRT merupakan akibat dari suatu
sebab konvensional seperti diharmonisasi dari tekanan sosial ekonomi yang
rendah, perangai dan tabiat pelaku yang kasar, serta gagal dalam karier dan
pekerjaan ternyata tidaklah sepenuhnya benar, karena KDRT justru acapkali
dilakukan oleh mereka yang kondisi sosial ekonominya baik, sukses karier
dan pekerjaannya, bahkan berpendidikan tinggi.

11
KDRT merupakan multi-persoalan, termasuk persoalan sosial,
ekonomi, budaya, hukum, agama dan hak asasi manusia. Upaya menghapus
KDRT di muka bumi Indonesia adalah perjuangan panjang bangsa ini,
khususnya kaum perempuan yang rentan menjadi korban KDRT. Upaya
sungguh-sungguh itu diharapkan dapat mempengaruhi struktur dan
karakteristik multi persoalan tadi menjadi nilai yang diyakini benar dan dapat
memberi rasa aman, tenteram, adil dan bermartabat bagi keluarga dan bangsa
Indonesia.

F. Contoh Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga


Kasus Ibu Umi Retnowati ini tercatat dilaporkan pada posko bantuan
hukum masyarakat Desa Marga Agung Kecamatan Jati Mulyo Lampung
Selatan pada bulan Oktober 2009, dokumentasi kasus (melalui form p.2
dilakukan oleh Ibu Sumiyati selaku paralegal Desa Marga Agung).
1. Kronologis kasus
Berdasarkan buku nikah, diketahui bahwa Ibu Umi dan suaminya
(Bapak Imam Wardiyono) menikah pada tanggal 24 Juli 1988. Dari
pernikahan ini, lahirlah 5 orang anak yang semuanya berjenis kelamin
laki-laki dengan usia masing-masing (20 tahun, 18 tahun, 14 tahun, 11
tahun, dan 4 tahun) selain anak-anak tersebut, Ibu Umi dan suaminya
memiliki seorang anak perempuan yang bernama Siti Munawaroh (usia
tidak diketahui).
Pada tahun 2005, suami Ibu Umi menikah lagi dengan anak
angkatnya (Siti Munawaroh) secara diam-diam. Sejak suaminya menikah
lagi, Ibu Umi sering mengalami kekerasan fisik dari suaminya (sering
dipukul, dijambak rambutnya bahkan ditendang). Namun Ibu Umi
membiarkan saja perbuatan suaminya dan lebih memilih untuk memaafkan
suaminya tersebut.
Puncak kejadiannya terjadi pada tanggal 27 September 2009. Saat
itu Ibu Umi dan anaknya mendatangi rumah istri muda suaminya dengan
maksud untuk menangkap basah suaminya bersama istri barunya,
sesampainya di sana suami Ibu Umi marah-marah dan mengusir Ibu Umi

12
dan anaknya. Dalam perjalanan pulang, di tengah jalan suami Ibu Umi
menyerempet motor yang dikendarai Ibu Umi bersama anaknya.
Akibatnya, kaki kanan terluka dan siku tangan kanan Ibu Umi terkilir.
Sedangkan anaknya (Rauf Hanafi) mengalami luka di bagian kaki kanan
dan pinggang sebelah kanan. Setelah kejadian, Ibu Umi mendatangi Bapak
Muhtarom (kepala desa) untuk berkonsultasi mengenai penyelesaian kasus
tersebut. Saat itu kepala desa menyarankan agar Ibu Umi ke Pengadilan
Agama untuk menggugat cerai suaminya.
2. Penyelesaian
Pada tanggal 28 September 2009, Ibu Umi mendatangi Pengadilan
Agama Kalianda untuk mendaftarkan gugatan cerai. Namun dari pihak
Pengadilan Agama Kalianda disarankan untuk ke Polres Lampung Selatan
untuk melaporkan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi.
Pada jam 10 pada hari yang sama (tanggal 28 September 2009), Ibu Umi
melapor ke Polres Lampung Selatan. Dari polres disarankan untuk
melakukan visum.
Setelah hampir sebulan, kasus KDRT yang dialami oleh Ibu Umi
terkesan tidak ditindak lanjuti dengan serius oleh pihak polres. Hal ini
dapat terlihat dari tidak ditahannya suami Ibu Umi oleh pihak polres tanpa
alasan yang jelas. Sehingga menimbulkan sangkaan kepada pihak polres
bahwa kemungkinan besar suami Ibu Umi tidak ditahan karena terkait
posisi suami Ibu Umi yang merupakan tokoh masyarakat dan memiliki
keluarga yang memiliki posisi berpengaruh di masyarakat. Kondisi ini
membuat Ibu Umi melaporkan kasusnya dan meminta.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Seharusnya seorang suami dan istri harus banyak bertanya dan belajar,
seperti membaca buku yang memang isi bukunya itu bercerita tentang
bagaimana cara menerapkan sebuah keluarga yang sakinah, mawadah, dan
warahmah. Di dalam sebuah rumah tangga butuh komunikasi yang baik antara
suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis.
Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan dan kerukunan di
antara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan
dalam rumah tangga. Seharusnya seorang suami dan istri bisa mengimbangi
kebutuhan psikis, di mana kebutuhan itu sangat mempengaruhi keinginan
kedua belah pihak yang bertentangan. Seorang suami atau istri harus bisa
saling menghargai pendapat pasangannya masing-masing.
Seperti halnya dalam berpacaran. Untuk mempertahankan sebuah
hubungan, butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan
sebagainya. Begitu juga halnya dalam rumah tangga harus dilandasi dengan
rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita
untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul
adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga
berlebih-lebihan. Tidak sedikit seorang suami yang sifat seperti itu, terkadang
suami juga melarang istrinya untuk beraktivitas di luar rumah. Karena
mungkin takut istrinya diambil orang atau yang lainnya. Jika sudah begitu
kegiatan seorang istri jadi terbatas. Kurang bergaul dan berbaur dengan orang
lain. Ini adalah dampak dari sikap seorang suami yang memiliki sifat cemburu
yang terlalu tinggi. Banyak contoh yang kita lihat dilingkungan kita, kejadian
seperti itu. Sifat rasa cemburu bisa menimbulkan kekerasan dalam rumah
tangga.
Maka dari itu, di dalam sebuah rumah tangga kedua belah pihak harus
sama-sama menjaga agar tidak terjadi konflik yang bisa menimbulkan
kekerasan. Tidak hanya satu pihak yang bisa memicu konflik di dalam rumah

14
tangga, bisa suami maupun istri. Sebelum kita melihat kesalahan orang lain,
marilah kita berkaca pada diri kita sendiri. Sebenarnya apa yang terjadi pada
diri kita, sehingga menimbulkan perubahan sifat yang terjadi pada pasangan
kita masing-masing.

B. Saran
Demikian yang dapat kami jelaskan semoga bermanfaat bagi pembaca
dan dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan-kekurangan, oleh
karena itu kami senantiasa menerima saran dan kritik yang sifatnya
membangun.

15
DAFTAR PUSTAKA

Warassih, Esmi. 2010. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang:


Suryandaru Utama.

Fakih, Mansour. 1998. Diskriminasi dan Beban Kerja Perempuan: Perspektif


Gender. Yogyakarta: CIDESINDO.

Hartono, C.F.G. Sunaryati. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional. Bandung: Alumni.

Otje, Salman. Anton F. Susanto. 2013. Beberapa Aspek Sosiologi Hukum.


Bandung: Alumni.

Anda mungkin juga menyukai