NPM : 2208010689
Kelas :1D
I. Pendahuluan
Tindak kekerasan dapat terjadi di ruang publik (alam terbuka) maupun di lingkup rumah
tangga yang merupakan lingkungan terkecil terdiri dari Ayah, ibu, anak dan orang yang
mempunyai hubungan keluarga karena hubungan darah, perkawinan, persusuan dan perwalian
yang menetap dalam rumah tangga serta orang yang bekerja membantu rumah tangga dan
menetap di rumah tangga yang bersangkutan. Maraknya kekerasan erat kaitannya dengan sifat
agresif makhluk hidup termasuk manusia untuk mempertahankan diri. Baik media elektronik
maupun media cetak sering kali memberi informasi kekerasan yang telah dilakukan oleh suami
kepada isteri dengan cara memukul anggota tubuhnya dan mengancam agar isteri melakukan
yang dikehendaki suami.
Tujuan perkawinan menurut hukum positif ialah membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian permasalahan yang terjadi
dalam rumah tangga adalah masalah privat dan inpersonal karena hubungan antara individu
dengan individu yang lain sebagai anggota keluarga. Pada masa sekarang permasalahan yang
terjadi di lingkungan rumah tangga bukanlah hal yang tabu untuk diketahui oleh orang lain
(umum).
Arti kekerasan dalam rumah tangga secara umum adalah Penganiayaan yang dilakukan oleh
seseorang yang berada dalam lingkup keluarga untuk melukai anggota keluarga yang lain.
Adapun bentuknya dapat berupa penganiayaan fisik, psiko, ekonomi maupun seksual. Objek
kekerasan rumah tangga adalah setiap anggota keluarga seperti Ayah, ibu, anak, saudara dan
lain-lain yang menetap di rumah yang bersangkutan. Realitasnya kekerasan rumah tangga pada
umumnya dilakukan oleh suami terhadap isteri. Antara laki-laki dan perempuan ada isitilah
jender yang berasal dari bahasa Inggris. Gender artinya perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Perbedaan laki-laki dan perempuan dalam perspektif gender adalah hasil konstruksi
budaya manusia misalnya pandangan bahwa laki-laki berkuasa, kuat, tegar, berani dan rasionil
sedangkan perempuan lemah, lembut, rapuh, penakut dan emosional. Perbedaan gender dalam
rumah tangga tidak boleh disalahgunakan dan harus diperhatikan oleh suami maupun isteri
sehingga akan melahirkan keadilan diantara keduanya. Kalau perbedaan gender disalahgunakan
dan tidak diperhatikan oleh suami maupun isteri akan menimbulkan kekerasan baik oleh isteri
terhadap suami atau sebaliknya suami terhadap isteri.
II. Pembahasan
Tindak kekerasan fisik oleh suami terhadap isteri, sering terjadi di dalam rumah tangga yang
seharusnya tidak terjadi merupakan masalah yang komplek. Yang menjadi korban dalam rumah
tangga kebanyakan isteri. Dengan adanya kekerasan oleh suami terhadap isteri dalam rumah
tangga menimbulkan masalah sosial tetapi kurang mendapat perhatian karena :
1. KDRT memiliki ruang lingkup yang relatif tertutup / pribadi dan terjaga privasinya
karena persoalan ini terjadi dalam keluarga.
2. KDRT dianggap wajar karena diyakini bahwa mempermalukan isteri sekehendak
suami merupakan hak suami sebagai pemimpin dan kepala keluarga.
3. KDRT tidak dalam lembaga legal.
Yang dimaksud dengan kekerasan adalah Tindakan / serangan terhadap seseorang yang
memungkinkan dapat melukai fisik, psikis, dan mentalnya serta menyebabkan penderitaan dan
kesengsaraan. Kekerasan rumah tangga dijelaskan di dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 : Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang
berakibat timbulnya kesengsaraan / penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan /atau
pemeleratan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan,
perampasan kehendak secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Kekuasaan suami dalam perkawinan terjadi karena unsur-unsur kultural dimana terdapat
norma-norma dalam kebudayaan tertentu yang memberi pengaruh menguntungkan suami,
gagasan bahwa suami lebih berkuasa dari pada isteri terbangun melalui pengabdian dan
sosialisasi yang terjadi dalam masyarakat khususnya keluarga isteri adalah pelayan suami, obyek
seks suami, apapun yang diinginkan harus dilaksanakan.
Seorang isteri yang ekonominya bergantung pada suami karena status isteri yang tidak
bekerja salah satu faktor yang mendorong suami bertindak semaunya, bahkan melakukan
kekerasan terhadap isteri. Dalam tataran fraksinya terkadang kemandirian ekonomi seseorang
isteri justru dapat menyebabkan kekerasan terhadap isteri karena adanya sikap cemburu dan
rasa curiga dari suami terhadap isteri, akan adanya perselingkuhan ketika ia bekerja atau merasa
tersaingi yang dapat berakibat hilangnya anggapan bahwa suami adalah tulang punggung
keluarga.
4. Frustasi, keluarga yang suaminya frustasi tidak dapat melakukan kewajiban, belum siap
menikah, tidak ada penghasilan tetap dan kebutuhan hidup masih bergantung kepada orang
tua.
Apabila di dalam rumah tangga yang bekerja suami dan isteri tidak bekerja maka isteri
ada ketergantungan ekonomi pada suami sehingga kedudukan isteri lemah. Ketergantungan dan
kemandirian ekonomi isteri dapat menjadi salah satu faktor penyebab kekerasan suami terhadap
isteri apabila suami tidak memahami tentang kedudukan, hak dan kewajibannya. Apabila suami
memahami tentang kedudukan, hak dan kewajibannya tidak akan menjadi salah satu faktor
penyebab kekerasan oleh suami terhadap isteri dalam rumah tangga. Budaya-budaya yang
bertentangan dengan hukum positif tidak dapat berlaku apabila bertentangan dengan hukum
positif.
Menurut Mansoer Fakih selama ini terjadi ketidak adilan gender, antara lain :
Kekerasan psikis ialah salah satu bentuk kekerasan domestik yang dapat
mengakibatkan menurunnya harga diri seseorang misalnya menampakkan rasa takut
melalui intimidasi, mengancam akan menyakiti, menculik, menyekap, menghina,
berbicara keras dengan ancaman.
Apabila si korban mengalami tindak kekerasan rumah tangga yang mengakibatkan cidera
berat maupun ringan, luka, memar dan lain-lain berhak mendapat pelayanan medis dari tenaga
kesehatan yaitu tenaga yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan dan memiliki ilmu
pengetahuan, keterampilan di bidang kesehatan. Apabila si korban mengalami kesulitan untuk
mengemukakan apa yang telah terjadi karena merupakan masalah impersonal dan merupakan
masalah aib apabila diketahui oleh orang lain maka harus ada pelayanan khusus terhadap
korban.
Pekerja sosial yang mendampingi korban ialah seorang yang mempunyai kompetensi
dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan formal atau pengalam praktik dibidang
pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial yang dialami secara resmi oleh pemerintah dalam
melaksanakan tugas profesional pekerjaan sosial
III. Penutup
Tindak kekerasan fisik dalam rumah tangga yang pada umumnya dilakukan oleh suami
terhadap isteri realitasnya masih banyak terjadi sebelum dibentuknya Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 Tentang PKDRT bahwa Peraturan perundang-undangan yang ada belum menjamin
perlindungan terhadap kekerasan dalam rumah tangga.
NPM : 2208010689
Kelas :1D
PENDAHULUAN
Terlepas dari pendapat MK tentang tidak terpenuhinya syarat kedudukan hukum (legal
standing) para pemohon untuk mengajukan permohonan, sebenarnya MK telah menyatakan
pendiriannya dengan tegas bahwa Perpu tunduk pada pengujian konstitusional (constitutional
review) Mahkamah Konstitusi.
1. Pada alinea ke-4, mahfud MD menyatakan bahwa akhir-akhir ini ada perkembangan
penting ketatanegaraan kita sehingga saya ikut menyetujui agar perpu dapat diuji
konstitusionalitasnya oleh MK terutama melalui titik tekan pada penafsiran konstitusi.
Dalam kaitan ini, saya melihat perlunya penafsiran atas isi UUD 1945 tidak hanya
bertumpu pada original intent, tafsir historik, dan tafsir gramatikal melainkan harus
menekankan pada penafsiran sosiologis dan teleologis.
2. Pada alinea terakhir sebelum penutup, mahfud MD kembali menegaskan bahwa saya
menyetujui perpu dapat diuji oleh MK melalui penekanan pada tafsir sosiologis dan
teleologis, dimana pandangan ini semata-mata didasarkan pada prinsip dalam menjaga
tegaknya konstitusi yakni “tidak boleh satu detikpun ada peraturan perundang-undangan
yang berpotensi melanggar konstitusi tanpa bisa diluruskan atau diuji melalui pengujian
yudisial.”
POKOK PERMASALAHAN
1. Apakah penilaian DPR dalam menyetujui atau menolak Perpu dilakukan pada masa
sidang berikutnya (sebagaimana bunyi Pasal 22 ayat (2) UUD 1945) persis pada masa
sidang dimaksud?
2. Terkait dengan tidak disetujuinya (ditolak) Perpu oleh DPR, dalam jangka waktu berapa
lama Presiden harus mengajukan RUU tentang Pencabutan Perpu tersebut?
ANALISIS
Mengenai “masa persidangan yang berikut” yang menjadi salah satu titik persoalan
dalam konteks uji konstitutionalitas Perpu ini sesungguhnya dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Bahwa pada prakteknya, sering kali Perpu yang dikeluarkan Presiden baru dibahas oleh
DPR setelah melampaui masa sidang pertama sejak Perpu tersebut diajukan. Sebagai
contoh Perpu Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diundangkan
pada tanggal 22 September 2009, sedangkan masa sidang DPR berikutnya (DPR baru hasil
Pemilu 2009) adalah tanggal 1 Oktober samapai dengan tanggal 4 Desember 2009.
namun demikian, ternyata Perpu dimaksud tidak dibahas oleh DPR pada masa siding
pertama tersebut. Artinya DPR tidak sesegera mungkin atau bahkan terkesan mengulur-
ulur waktu pembahasan terhadap Perpu guna disetujui atau tidaknya dengan berbagai
alasan. Padahal sangat mungkin Perpu yang diajukan itu berpotensi mengandung
substansi pengaturan (materi) yang bertentangan atau melanggar konstitusi. Sementara
proses penilaian yang dilakukan DPR sebagai bentuk review terhadap Perpu tersebut
lebih merupakan persetujuan politis semata. Dan jika hal seperti ini berlangsung terus
menerus tentu akan berakibat buruk bagi kepastian hukum di negeri ini karena sterilitas
pemberlakauan Perpu tersebut sebagai akibat “kelambanan” DPR memberikan
persetujuan atau penolakannya. Oleh sebab itu maka menjadi sangat beralasan, demi
tegaknya konstitusi, Perpu harus dapat diuji konstitusionalitasnya oleh MK agar terwujud
kepastian hukum terhadap pemberlakuan sebuah Perpu.
2. Lebih jauh, jika dicermati secara normatif Pasal 22 UUD 1945 tidak menyebutkan secara
tegas apakah Perpu yang telah disetujui DPR maka otomatis berlaku atau wajib dilakukan
penetapannya menjadi UU. Hal demikian menjadi penting maknanya guna menghindari
polemik seputar keabsahan hukum Perpu yang tidak disetujui oleh DPR. Karena secara
politis ada fakta yang berkembang saat ini bahwa bahwa sebuah Perpu yang tidak ditolak
secara nyata oleh DPR masih terus diberlakukan sampai dengan dipersoalkan keabsahan
hukumnya karena dikaitkan dengan satu kasus. Fakta semacam ini tentu sangat
berpotensi melanggar bahkan bertentangan dengan konstitusi. Dalam konteks ini maka
menjadi hal yang beralasan jika MK diberi kewenangan untuk melakukan pengujian
terhadap Perpu.
3. Dalam hal Perpu yang diajukan oleh Presiden tidak disetujui atau ditolak oleh DPR, maka
perlu adanya kejelasan batas waktu bagi pengajuan RUU Pencabutan Perpu tersebut.
Batas waktu ini menjadi penting artinya mengingat potensi implikasi atau akibat hukum
yang ditimbulkan oleh penolakan Perpu tersebut. Sehingga perbuatan atau tindakan
hukum yang telah berlangsung sepanjang Perpu itu berlaku sampai dengan saat
penolakan Perpu tersebut menjadi tidak melanggar hukum dan konstitusi.
Ketentuan Pasal 22 ayat (3) UUD 1945 hanya menegaskan keharusan untuk mencabut Perpu jika
tidak mendapat persetujuan DPR, tetapi tidak mengatur mengenai batas waktunya. Kemudian,
UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga tidak
secara tegas mengatur mengenai batas waktu pengajuan RUU Pencabutan Perpu dalam hal
Perpu tidak disetujui oleh DPR. Melihat kekosongan pengaturan mengenai batas waktu ini, maka
sangat mungkin terjadi dalam prakteknya ada Perpu yang tidak mendapat persetujuan DPR tetapi
RUU Pencabutannya baru diajukan setelah timbul kasus yang berkaitan dengannya. Oleh karena
itu, menjadi sangat beralasan demi tegaknya konstitusi bahwa Perpu dapat diuji
konstitusionalitasnya oleh MK.
KESIMPULAN
Kawin Beda Agama Dinilai Langgar Konstitusi, Undang-Undang Hak Asasi Manusia,
Undang-Undang Perkawinan dan Komplikasi Hukum Islam Serta Agama Lainnya
Pernikahan di Indonesia saat ini mengalami pro dan kontra menurut UU, Konstitusi
dan keagamaan, dimana semua kita tahu bahwa pernikahan beda agama sangat tidak
dianjurkan bahkan dilarang sebab tidak hanya melanggar UU saja namun konstitusi dan agama
yang di anut di Indonesia, namun masih saja kerap dilanggar masyarakat di Indonesia seperti
hal yang sering terjadi pada akhir-akhir ini.
Keabsahan perkawinan seperti yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan
membawa konsekuensi lanjutan bahwa perkawinan tersebut dicatatkan di negara (dalam hal
ini Kantor Urusan Agama/KUA bagi yang beragama Islam maupun Kantor Catatan Sipil bagi non
Islam), sesuai yang diatur dalam pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan. Didalam KUH Perdata tidak
ditemukan definisi seorang anak, tetapi didasarkan pada Pasal 330 bahwa yang belum dewasa
dianggap sebagai anak. Pasal 330 KUH Perdata menegaskan bahwa belum dewasa adalah
mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan belum menikah.
Untuk syarat regulatif, pernikahan di Indonesia harus memenuhi sejumlah
persyaratan yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan Undang-Undang Nomor 16 Tahim 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.
1. Perkawinan hanya diizinkan apabila kedua calon pengantin sudah mencapai umur 19
tahun
2. Dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan
3. Pria hanya boleh menikah satu kali. Boleh lebih dari itu, apabila memiliki kondisi tertentu
(istri sakit/cacat yang tidak bisa sembuh, istri tidak dapat memenuhi kewajibannya, atau
istri tidak bisa memiliki keturunan) dan dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan
4. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
5. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat izin orangtua/wali; Baca juga: Kemenag Wajibkan Calon Pengantin Cek
Kesehatan Sebelum Menikah, Apa Alasannya
6. Tidak berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas
7. Tidak berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,
antara seorang dengan saudara orangtua dan antara seorang dengan saudara neneknya
8. Tidak berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri
9. Tidak berhubungan susuan, yaitu orangtua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan
bibi/paman susuan
10. Tidak berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang
11. Tidak mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,
dilarang kawin.
Dalam bahasa Belanda perikatan disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan lebih umum
digunakan dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan pada hal ini bermaksud hal yang
mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut
kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa,
misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak
pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang
bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat,
maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat
hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu
disebut hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan
harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan
pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan
suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang
menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam
bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga
(family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi
(pers onal law).
Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan
system terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada
perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang
atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan
berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam
Undang-undang. Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak
berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat
sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-
undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu
untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.
Nama : Hasunah
NPM 2208010689
Jurusan : Hukum
Kelas :1D
Tugas : Artikel Hukum Perorangan
Hukum perorangan adalah Hukum tentang orang mengatur tentang orang (nama orang, tempat
tinggal, kecakapan hukum) dan badan hukum sebagai subyek hukum. Berlakunya seorang
manusia sebagai pembawa hak (subyek hukum ialah mulai saat ia dilahirkan dan berakhir pada
saat ia meninggal dunia).
Orang yang menurut undang-undang dinyatakan tidak mampu bertindak menurut hukum atau
“tidak cakap hukum” (onrechtsbekwaamheid) ialah:
1. Orang yang belum dewasa, yaitu yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah
nikah/kawin (pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 1330 B.W.); untuk melakukan
perbuatan hukum orang ini harus diwakili oleh orang tua/walinya;
2. Orang yang berada dibawah pengawasan atau pengampuan (curatele), dia orang dewasa
tetapi dungu, sakit ingatan, suka gelap mata, sakit jiwa, pemboros atau tidak sehat
jiwanya (Pasal 1330 jo 433 B.W.); dalam melakukan perbuatan hukum dia harus diwakili
oleh pengampunya (curatornya);
3. Orang-orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum atau
perjanjian (Pasal 1330 B.W. jo. Undang-Undang tentang Kepailitan).
Orang yang “cakap hukum” atau “mampu berbuat atau bertindak” menurut hukum
(rechtsbekwaamheid/capable) adalah orang-orang yang dapat atau mampu melakukan perbuatan
hukum.