Anda di halaman 1dari 14

Nama : Hasunah

NPM : 2208010689

Kelas :1D

Tugas : Artikel Hukum Pidana

KORBAN AKIBAT TINDAK KEKERASAN FISIK DALAM RUMAH TANGGA

I. Pendahuluan

Tindak kekerasan dapat terjadi di ruang publik (alam terbuka) maupun di lingkup rumah
tangga yang merupakan lingkungan terkecil terdiri dari Ayah, ibu, anak dan orang yang
mempunyai hubungan keluarga karena hubungan darah, perkawinan, persusuan dan perwalian
yang menetap dalam rumah tangga serta orang yang bekerja membantu rumah tangga dan
menetap di rumah tangga yang bersangkutan. Maraknya kekerasan erat kaitannya dengan sifat
agresif makhluk hidup termasuk manusia untuk mempertahankan diri. Baik media elektronik
maupun media cetak sering kali memberi informasi kekerasan yang telah dilakukan oleh suami
kepada isteri dengan cara memukul anggota tubuhnya dan mengancam agar isteri melakukan
yang dikehendaki suami.

Tujuan perkawinan menurut hukum positif ialah membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian permasalahan yang terjadi
dalam rumah tangga adalah masalah privat dan inpersonal karena hubungan antara individu
dengan individu yang lain sebagai anggota keluarga. Pada masa sekarang permasalahan yang
terjadi di lingkungan rumah tangga bukanlah hal yang tabu untuk diketahui oleh orang lain
(umum).

Arti kekerasan dalam rumah tangga secara umum adalah Penganiayaan yang dilakukan oleh
seseorang yang berada dalam lingkup keluarga untuk melukai anggota keluarga yang lain.
Adapun bentuknya dapat berupa penganiayaan fisik, psiko, ekonomi maupun seksual. Objek
kekerasan rumah tangga adalah setiap anggota keluarga seperti Ayah, ibu, anak, saudara dan
lain-lain yang menetap di rumah yang bersangkutan. Realitasnya kekerasan rumah tangga pada
umumnya dilakukan oleh suami terhadap isteri. Antara laki-laki dan perempuan ada isitilah
jender yang berasal dari bahasa Inggris. Gender artinya perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Perbedaan laki-laki dan perempuan dalam perspektif gender adalah hasil konstruksi
budaya manusia misalnya pandangan bahwa laki-laki berkuasa, kuat, tegar, berani dan rasionil
sedangkan perempuan lemah, lembut, rapuh, penakut dan emosional. Perbedaan gender dalam
rumah tangga tidak boleh disalahgunakan dan harus diperhatikan oleh suami maupun isteri
sehingga akan melahirkan keadilan diantara keduanya. Kalau perbedaan gender disalahgunakan
dan tidak diperhatikan oleh suami maupun isteri akan menimbulkan kekerasan baik oleh isteri
terhadap suami atau sebaliknya suami terhadap isteri.

II. Pembahasan

Tindak kekerasan fisik oleh suami terhadap isteri, sering terjadi di dalam rumah tangga yang
seharusnya tidak terjadi merupakan masalah yang komplek. Yang menjadi korban dalam rumah
tangga kebanyakan isteri. Dengan adanya kekerasan oleh suami terhadap isteri dalam rumah
tangga menimbulkan masalah sosial tetapi kurang mendapat perhatian karena :

1. KDRT memiliki ruang lingkup yang relatif tertutup / pribadi dan terjaga privasinya
karena persoalan ini terjadi dalam keluarga.
2. KDRT dianggap wajar karena diyakini bahwa mempermalukan isteri sekehendak
suami merupakan hak suami sebagai pemimpin dan kepala keluarga.
3. KDRT tidak dalam lembaga legal.

Yang dimaksud dengan kekerasan adalah Tindakan / serangan terhadap seseorang yang
memungkinkan dapat melukai fisik, psikis, dan mentalnya serta menyebabkan penderitaan dan
kesengsaraan. Kekerasan rumah tangga dijelaskan di dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 : Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang
berakibat timbulnya kesengsaraan / penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan /atau
pemeleratan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan,
perampasan kehendak secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Latar belakang kekerasan dalam rumah tangga :

1. Adanya kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan isteri.

Kekuasaan suami dalam perkawinan terjadi karena unsur-unsur kultural dimana terdapat
norma-norma dalam kebudayaan tertentu yang memberi pengaruh menguntungkan suami,
gagasan bahwa suami lebih berkuasa dari pada isteri terbangun melalui pengabdian dan
sosialisasi yang terjadi dalam masyarakat khususnya keluarga isteri adalah pelayan suami, obyek
seks suami, apapun yang diinginkan harus dilaksanakan.

2. Ketergantungan dan kemandirian ekonomiisteri.

Seorang isteri yang ekonominya bergantung pada suami karena status isteri yang tidak
bekerja salah satu faktor yang mendorong suami bertindak semaunya, bahkan melakukan
kekerasan terhadap isteri. Dalam tataran fraksinya terkadang kemandirian ekonomi seseorang
isteri justru dapat menyebabkan kekerasan terhadap isteri karena adanya sikap cemburu dan
rasa curiga dari suami terhadap isteri, akan adanya perselingkuhan ketika ia bekerja atau merasa
tersaingi yang dapat berakibat hilangnya anggapan bahwa suami adalah tulang punggung
keluarga.

3. Masih adanya kebudayaan patriarkhi yang mengakomodasikan perempuan atas isteri


tergantung laki-laki.
Dengan adanya budaya patriarkhi berarti kedudukan laki-laki superior (lebih tinggi) dan
kedudukan perempuan inferior (lebih rendah) sehingga menjadi pembenar suami menguasai
isteri.

4. Frustasi, keluarga yang suaminya frustasi tidak dapat melakukan kewajiban, belum siap
menikah, tidak ada penghasilan tetap dan kebutuhan hidup masih bergantung kepada orang
tua.

Menurut penulis unsur-unsur kultural dimana terdapat norma-norma dalam kebudayaan


tertentu yang memberi pengaruh menguntungkan suami bertentangan dengan hukum
perkawinan yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Menurut hukum positif kedudukan suami
dan isteri seimbang baik di dalam kehidupan rumah tangga maupun di dalam kehidupan
masyarakat.

Apabila di dalam rumah tangga yang bekerja suami dan isteri tidak bekerja maka isteri
ada ketergantungan ekonomi pada suami sehingga kedudukan isteri lemah. Ketergantungan dan
kemandirian ekonomi isteri dapat menjadi salah satu faktor penyebab kekerasan suami terhadap
isteri apabila suami tidak memahami tentang kedudukan, hak dan kewajibannya. Apabila suami
memahami tentang kedudukan, hak dan kewajibannya tidak akan menjadi salah satu faktor
penyebab kekerasan oleh suami terhadap isteri dalam rumah tangga. Budaya-budaya yang
bertentangan dengan hukum positif tidak dapat berlaku apabila bertentangan dengan hukum
positif.

Menurut Mansoer Fakih selama ini terjadi ketidak adilan gender, antara lain :

1. Terjadinya marjinalisasi atau pemisahan ekonomi terhadap kaum perempuan.


Walaupun tidak semua marjinalisasi perempuan disebabkan oleh ketidak adilan
gender, tetapi yang dipersoalkan dalam analisis gender adalah marjinalisasi yang
disebabkan oleh perbedaan gender.
2. Terjadinya subordinasi pada salah satu jenis kelamin yang umumnya pada kaum
perempuan. Kebijakan rumah tangga tidak menganggap penting perempuan.
3. Pelabelan negatif terhadap jenis kelamin tertentu, dalam hal ini perempuan.
Akibatnya membatasi, menyulitkan, memiskinkan dan merugikan kaum perempuan.
4. Kekerasan (Violance) terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan yang
disebabkan perbedaan gender.
5. Karena peran gender, maka perempuan mengelola rumah tangga lebih banyak dan
lebih lama.

Bentuk-bentuk kekerasan terhadap isteri dalam rumah tangga dapat bermacam-macam


bentuknya :

1. Kekerasan fisik (Pyshysteal abous)


Setiap perbuatan yang mengakibatkan sakit, misalnya memukul, melempar,
menggigit, menendang, mebenturkan kepala ke tembok dan lain-lain.
2. Kekerasan Psikis dan emosi (psicological mobionale abous)

Kekerasan psikis ialah salah satu bentuk kekerasan domestik yang dapat
mengakibatkan menurunnya harga diri seseorang misalnya menampakkan rasa takut
melalui intimidasi, mengancam akan menyakiti, menculik, menyekap, menghina,
berbicara keras dengan ancaman.

3. Kekerasan ekonomi (ekonomik abous)

Setiap perbuatan misalnya berupa tindak memberikan nafkah selama


perkawinan/membatasi nafkah sekehendak suami, membiarkan isteri siang malam
bekerja, membuat isteri tergantung beban ekonominya.

4. Kekerasan seksual (sexual abous)


Yakni setiap yang ditujukan kepada tubuh / seksualitas seseorang bertujuan
merendahkan martabat dan integritas misal memaksa melakukan hubungan seksual,
mendesak hubungan seksual setelah melakukan penganiayaan, menganiaya saat
berhubungan sex, memaksa menjadi pelacur, menggunakan binatang untuk
melakukan hubungan sex, memaksa hubungan sex dengan orang lain dan lain-lain.
5. Gabungan kekerasan fisik dan psikologi, ekonomi dan sexual.

Tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga berdasarkan Undang-Undang


Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT bukan merupakan delik biasa dan bukan delik aduan
artinya walaupun telah terjadi tindak kekerasan rumah tangga kalau pihak korban tidak
mengadukan ke aparat penegak hukum, maka aparat penegak hukum baik polisi, jaksa dan hakim
tidak dapat memroses tindak kekerasan rumah tangga tersebut. Biasanya pihak korban enggan
untuk mengadukannya kepada aparat penegak hukum. Kalau terjadi tindak kekerasan dalam
rumah tangga oleh suami terhadap isteri berdasarkan pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2004 : Korban berhak melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga
kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara. Selanjutnya
di dalam pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dijelaskan : Korban dapat
memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah
tangga kepada pihak Kepolisian baik di tempat korban maupun di tempat kejadian perkara.
Menurut penulis perlu disediakan polisi wanita untuk mengimplementasikan pasal dan ayat
tersebut.

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 mengatur hak korban :

1. Perlindangan dari pihak keluarga, kepolisisan, kajaksaan, pengadilan, advokat,


lembaga sosial atau pihak lainya baik sementara maupun berdasarkan penetapan
pemerintah perlindungan dari pengadilan.
2. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.
3. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban.
4. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantusn hukum pada setiap proses
pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Pelayanan bimbingan rohani.

Apabila si korban mengalami tindak kekerasan rumah tangga yang mengakibatkan cidera
berat maupun ringan, luka, memar dan lain-lain berhak mendapat pelayanan medis dari tenaga
kesehatan yaitu tenaga yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan dan memiliki ilmu
pengetahuan, keterampilan di bidang kesehatan. Apabila si korban mengalami kesulitan untuk
mengemukakan apa yang telah terjadi karena merupakan masalah impersonal dan merupakan
masalah aib apabila diketahui oleh orang lain maka harus ada pelayanan khusus terhadap
korban.

Pekerja sosial yang mendampingi korban ialah seorang yang mempunyai kompetensi
dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan formal atau pengalam praktik dibidang
pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial yang dialami secara resmi oleh pemerintah dalam
melaksanakan tugas profesional pekerjaan sosial

Dengan dibentuknya Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT yang


disahkan oleh lembaga yang berwenang dan diundangkan dalam lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 pada tanggal 22 September 2004 merupakan langkah awal dalam
pembaharuan hukum. Menurut penulis langkah pembaharuan hukum tersebut harus diikuti
dengan pembenahan aparat penegak hukum baik polisi, jaksa, hakim dan advokat yang
berwenang menangani tindak kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan dilakukan oleh
suami terhadap isteri. Selain itu harus dilanjutkan dengan langkah yaitu dibangun budaya hukum
masyarakat. Dengan adanya pembaharuan hukum diharapkan korban tindak kekerasan dalam
rumah tangga mendapat perlindungan dari Negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan
terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan
derajat dan martabat kemanusiaan. Kalau hal ini tidak dapat tercapai paling tidak dengan adanya
undang-undang tersebut dapat meminimalisir korban tindak kekerasan rumah tangga yang
kebanyakan dilakukan oleh suami terhadap istri.

III. Penutup

Tindak kekerasan fisik dalam rumah tangga yang pada umumnya dilakukan oleh suami
terhadap isteri realitasnya masih banyak terjadi sebelum dibentuknya Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 Tentang PKDRT bahwa Peraturan perundang-undangan yang ada belum menjamin
perlindungan terhadap kekerasan dalam rumah tangga.

Dengan adanya pembentukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dan diadakan


pembaharuan hukum di Negara Republik Indonesia diharapkan dapat menjamin perlindungan
terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga yang pada umumnya dilakukan oleh suami
terhadap isteri.
Nama : Hasunah

NPM : 2208010689

Kelas :1D

Tugas : Artikel Hukum Tata Negara

MENGUKUR KONSEPTUALITAS PENGUJIAN PERPPU

PENDAHULUAN

Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 4 Tahun 2009


tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, ditambahkan 2 (dua) pasal diantara pasal 33 dan pasal 34 yang mengatur
bahwa dalam hal terjadi kekosongan keanggotaan Pimpinan KPK sehingga jumlahnya kurang dari
3 orang, Presiden mengangkat anggota sementara Pimpinan KPK sejumlah yang kosong dengan
tugas, wewenang, kewajiban dan hak yang sama dengan pimpinan KPK. Apabila Anggota
Pimpinan KPK yang digantikan karena diberhentikan sementara, diaktifkan kembali karena
pemberhentian sementara tidak berlanjut menjadi pemberhentian tetap, maka masa jabatan
anggota sementara Pimpinan KPK sementara berakhir.
Sejumlah pihak telah mengajukan permohonan kepada MK untuk diuji
konstitusionalitasnya terhadap UUD 1945 dengan alasan Perpu tersebut menimbulkan
komplikasi hukum, ketidakpastian hukum, kediktatoran konstitusional, padahal Presiden
menurut UUD 1945 harus memgang teguh UUD 1945 dan menjalankannya dengan selurus-
lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa, sehingga Perpu tersebut dapat menjadi
preseden buruk dan dapat membahayakan Negara karena mudahnya mengeluarkan Perpu yang
dapat dikategorikan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Kemudian, pada tanggal 8 Februari 2010 Mahkamah Konstitusi dalam sidang pleno yang
terbuka untuk umum telah menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dimana isi amar
putusan Mahkamah menyebutkan bahwa permohonan para pemohon tidak dapat diterima
dengan konklusi berdasarkan pertimbangan hukum dan fakta sebagai berikut:

1. mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan.


2. para pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan.
3. pokok permohonan tidak dipertimbangan.

Terlepas dari pendapat MK tentang tidak terpenuhinya syarat kedudukan hukum (legal
standing) para pemohon untuk mengajukan permohonan, sebenarnya MK telah menyatakan
pendiriannya dengan tegas bahwa Perpu tunduk pada pengujian konstitusional (constitutional
review) Mahkamah Konstitusi.

Namun demikian, terhadap putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 tersebut hakim konstitusi


Moh.Mahfud MD mempunyai alasan yang berbeda (concurring opinion) dan hakim konstitusi
Muhammad Alim mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion). Dari alasan hukum yang
dikemukan oleh Mahfud MD tersebut, ada 2 (dua) hal penting yang perlu diperhatikan yakni:

1. Pada alinea ke-4, mahfud MD menyatakan bahwa akhir-akhir ini ada perkembangan
penting ketatanegaraan kita sehingga saya ikut menyetujui agar perpu dapat diuji
konstitusionalitasnya oleh MK terutama melalui titik tekan pada penafsiran konstitusi.
Dalam kaitan ini, saya melihat perlunya penafsiran atas isi UUD 1945 tidak hanya
bertumpu pada original intent, tafsir historik, dan tafsir gramatikal melainkan harus
menekankan pada penafsiran sosiologis dan teleologis.
2. Pada alinea terakhir sebelum penutup, mahfud MD kembali menegaskan bahwa saya
menyetujui perpu dapat diuji oleh MK melalui penekanan pada tafsir sosiologis dan
teleologis, dimana pandangan ini semata-mata didasarkan pada prinsip dalam menjaga
tegaknya konstitusi yakni “tidak boleh satu detikpun ada peraturan perundang-undangan
yang berpotensi melanggar konstitusi tanpa bisa diluruskan atau diuji melalui pengujian
yudisial.”

POKOK PERMASALAHAN

Dari dua alasan berbeda (concurring opinion) Mahfud MD sebagaimana disebutkan di


atas, penulis mencoba mengurai lebih lanjut dalam 2 (dua) tinjauan analisis yang bertitik tolak
pada pertanyaan mendasar sebagai berikut:.

1. Apakah penilaian DPR dalam menyetujui atau menolak Perpu dilakukan pada masa
sidang berikutnya (sebagaimana bunyi Pasal 22 ayat (2) UUD 1945) persis pada masa
sidang dimaksud?
2. Terkait dengan tidak disetujuinya (ditolak) Perpu oleh DPR, dalam jangka waktu berapa
lama Presiden harus mengajukan RUU tentang Pencabutan Perpu tersebut?

ANALISIS

Mengenai “masa persidangan yang berikut” yang menjadi salah satu titik persoalan
dalam konteks uji konstitutionalitas Perpu ini sesungguhnya dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Bahwa pada prakteknya, sering kali Perpu yang dikeluarkan Presiden baru dibahas oleh
DPR setelah melampaui masa sidang pertama sejak Perpu tersebut diajukan. Sebagai
contoh Perpu Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diundangkan
pada tanggal 22 September 2009, sedangkan masa sidang DPR berikutnya (DPR baru hasil
Pemilu 2009) adalah tanggal 1 Oktober samapai dengan tanggal 4 Desember 2009.
namun demikian, ternyata Perpu dimaksud tidak dibahas oleh DPR pada masa siding
pertama tersebut. Artinya DPR tidak sesegera mungkin atau bahkan terkesan mengulur-
ulur waktu pembahasan terhadap Perpu guna disetujui atau tidaknya dengan berbagai
alasan. Padahal sangat mungkin Perpu yang diajukan itu berpotensi mengandung
substansi pengaturan (materi) yang bertentangan atau melanggar konstitusi. Sementara
proses penilaian yang dilakukan DPR sebagai bentuk review terhadap Perpu tersebut
lebih merupakan persetujuan politis semata. Dan jika hal seperti ini berlangsung terus
menerus tentu akan berakibat buruk bagi kepastian hukum di negeri ini karena sterilitas
pemberlakauan Perpu tersebut sebagai akibat “kelambanan” DPR memberikan
persetujuan atau penolakannya. Oleh sebab itu maka menjadi sangat beralasan, demi
tegaknya konstitusi, Perpu harus dapat diuji konstitusionalitasnya oleh MK agar terwujud
kepastian hukum terhadap pemberlakuan sebuah Perpu.
2. Lebih jauh, jika dicermati secara normatif Pasal 22 UUD 1945 tidak menyebutkan secara
tegas apakah Perpu yang telah disetujui DPR maka otomatis berlaku atau wajib dilakukan
penetapannya menjadi UU. Hal demikian menjadi penting maknanya guna menghindari
polemik seputar keabsahan hukum Perpu yang tidak disetujui oleh DPR. Karena secara
politis ada fakta yang berkembang saat ini bahwa bahwa sebuah Perpu yang tidak ditolak
secara nyata oleh DPR masih terus diberlakukan sampai dengan dipersoalkan keabsahan
hukumnya karena dikaitkan dengan satu kasus. Fakta semacam ini tentu sangat
berpotensi melanggar bahkan bertentangan dengan konstitusi. Dalam konteks ini maka
menjadi hal yang beralasan jika MK diberi kewenangan untuk melakukan pengujian
terhadap Perpu.
3. Dalam hal Perpu yang diajukan oleh Presiden tidak disetujui atau ditolak oleh DPR, maka
perlu adanya kejelasan batas waktu bagi pengajuan RUU Pencabutan Perpu tersebut.
Batas waktu ini menjadi penting artinya mengingat potensi implikasi atau akibat hukum
yang ditimbulkan oleh penolakan Perpu tersebut. Sehingga perbuatan atau tindakan
hukum yang telah berlangsung sepanjang Perpu itu berlaku sampai dengan saat
penolakan Perpu tersebut menjadi tidak melanggar hukum dan konstitusi.

Ketentuan Pasal 22 ayat (3) UUD 1945 hanya menegaskan keharusan untuk mencabut Perpu jika
tidak mendapat persetujuan DPR, tetapi tidak mengatur mengenai batas waktunya. Kemudian,
UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga tidak
secara tegas mengatur mengenai batas waktu pengajuan RUU Pencabutan Perpu dalam hal
Perpu tidak disetujui oleh DPR. Melihat kekosongan pengaturan mengenai batas waktu ini, maka
sangat mungkin terjadi dalam prakteknya ada Perpu yang tidak mendapat persetujuan DPR tetapi
RUU Pencabutannya baru diajukan setelah timbul kasus yang berkaitan dengannya. Oleh karena
itu, menjadi sangat beralasan demi tegaknya konstitusi bahwa Perpu dapat diuji
konstitusionalitasnya oleh MK.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa secara konseptualitas


sesungguhnya Mahkamah Konstitusi melalui pertimbangan hukumnya dalam memutus perkara
permohonan pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 4
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sesungguhnya telah meletakkan landasan hukum yang
dapat dijadikan titik tolak merumuskan kewenangan MK menguji konstitusionalitas Perpu
terhadap UUD 1945.
Nama : Hasunah
NPM 2208010689
Jurusan : Hukum
Kelas :1D
Tugas : Arikel Hukum Pernikahan

Kawin Beda Agama Dinilai Langgar Konstitusi, Undang-Undang Hak Asasi Manusia,
Undang-Undang Perkawinan dan Komplikasi Hukum Islam Serta Agama Lainnya

Pernikahan di Indonesia saat ini mengalami pro dan kontra menurut UU, Konstitusi
dan keagamaan, dimana semua kita tahu bahwa pernikahan beda agama sangat tidak
dianjurkan bahkan dilarang sebab tidak hanya melanggar UU saja namun konstitusi dan agama
yang di anut di Indonesia, namun masih saja kerap dilanggar masyarakat di Indonesia seperti
hal yang sering terjadi pada akhir-akhir ini.

Hukum perkawinan itu sendiri menurut Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan yang


menyatakan bahwa: perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan menurut KUH Perdata
merupakan hubungan keperdataan saja, sedangkan perkawinan menurt UU Perkawinan
merupakan ikatan lahir batin berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sejalan dengan itu Pasal
2 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa : “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Oleh karena itu
perkawinan dapat dianggap sah apabila telah memenuhi aturan atau hukum perkawinan dari
masing-masing agama dan kepercayaannya.

Keabsahan perkawinan seperti yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan
membawa konsekuensi lanjutan bahwa perkawinan tersebut dicatatkan di negara (dalam hal
ini Kantor Urusan Agama/KUA bagi yang beragama Islam maupun Kantor Catatan Sipil bagi non
Islam), sesuai yang diatur dalam pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan. Didalam KUH Perdata tidak
ditemukan definisi seorang anak, tetapi didasarkan pada Pasal 330 bahwa yang belum dewasa
dianggap sebagai anak. Pasal 330 KUH Perdata menegaskan bahwa belum dewasa adalah
mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan belum menikah.
Untuk syarat regulatif, pernikahan di Indonesia harus memenuhi sejumlah
persyaratan yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan Undang-Undang Nomor 16 Tahim 2019 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.

Adapun syarat-syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Perkawinan hanya diizinkan apabila kedua calon pengantin sudah mencapai umur 19
tahun
2. Dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan
3. Pria hanya boleh menikah satu kali. Boleh lebih dari itu, apabila memiliki kondisi tertentu
(istri sakit/cacat yang tidak bisa sembuh, istri tidak dapat memenuhi kewajibannya, atau
istri tidak bisa memiliki keturunan) dan dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan
4. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
5. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat izin orangtua/wali; Baca juga: Kemenag Wajibkan Calon Pengantin Cek
Kesehatan Sebelum Menikah, Apa Alasannya
6. Tidak berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas
7. Tidak berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,
antara seorang dengan saudara orangtua dan antara seorang dengan saudara neneknya
8. Tidak berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri
9. Tidak berhubungan susuan, yaitu orangtua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan
bibi/paman susuan
10. Tidak berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang
11. Tidak mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,
dilarang kawin.

Sementara itu, untuk syarat administratif pernikahan di Indonesia, diatur dalam


Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 20 Tahun 2019, sebagaimana termuat dalam situs
Sistem Informasi Manajemen Nikah Kementerian Agama:

1. Nomor Induk Kependudukan (NIK) calon suami


2. NIK calon istri
3. NIK orangtua/wali
4. Dokumen N1: Surat Pengantar Nikah (didapat dari Kelurahan/Desa)
5. Dokumen N3: Surat Persetujuan Mempelai
6. Dokumen N5: Surat Izin Orangtua; (Jika calon pengantin umurnya di bawah 21 tahun);
7. Surat Akta Cerai (Jika calon pengantin sudah cerai)
8. Surat Izin Komandan (Jika calon pengantin TNI atau POLRI)
9. Surat Akta Kematian (Jika calon pengantin duda/janda ditinggal mati); Baca juga: Ramai
soal Nikah Beda Agama, Bagaimana Aturannya di Indonesia?
10. Izin/Dispensasi dari Pengadilan Agama Apabila : Calon suami kurang dari 19 tahun Calon
istri kurang dari 19 tahun Izin poligami
11. Izin dari Kedutaan Besar untuk Warga Negara Asing (WNA)
12. Fotocopi Kartu Tanda Penduduk (KTP)
13. Fotocopi Kartu Keluarga (KK)
14. Fotocopi Akta Lahir
15. Surat Rekomendasi Nikah dari KUA Kecamatan (Jika nikah dilangsungkan di luar
wilayah tempat tinggal calon pengantin)
16. Pasfoto ukuran 2x3 sebanyak 5 lembar; dan
17. Pasfoto ukuran 4x6 sebanyak 2 lembar. Peraturan-peraturan tersebut dibuat demi
kebaikan pihak- pihak mempelai juga keluarganya.
Sebagaimana bunyi Pasal Perkawinan, tiap-tiap perkawinan bahwa dapat
simpulkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mahkamah Agung pernah
menerbitkan fatwa yang pada pokoknya menyebutkan bahwa perkawinan beda agama tidak
dapat dicatatkan. Namun, terdapat pengecualian dalam fatwa Nomor
231/PAN/HK.05/1/2019 ini.
“Perkawinan beda agama tidak diakui oleh negara dan tidak dapat dicatatkan. Akan tetapi,
jika perkawinan tersebut dilaksanakan berdasarkan agama salah satu pasangan dan
pasangan yang lain menundukkan diri kepada agama pasangannya, maka perkawinan
tersebut dapat dicatatkan. Misalnya, jika perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama
Kristen maka dicatatkan di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, begitu pula jika
perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama Islam maka perkawinan pasangan tersebut
dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA)," demikian bunyi fatwa tersebut.
Nama : Hasunah
NPM 2208010689
Jurusan : Hukum
Kelas :1D
Tugas : Arikel Hukum Perikatan

Dalam bahasa Belanda perikatan disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan lebih umum
digunakan dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan pada hal ini bermaksud hal yang
mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut
kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa,
misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak
pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang
bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat,
maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat
hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu
disebut hubungan hukum.

Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan
harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan
pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan
suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang
menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam
bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga
(family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi
(pers onal law).

Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu


hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu
berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang
dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua
pihak yang isinya adalah hak an kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.

Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan
system terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada
perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang
atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan
berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam
Undang-undang. Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak
berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat
sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-
undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu
untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.
Nama : Hasunah
NPM 2208010689
Jurusan : Hukum
Kelas :1D
Tugas : Artikel Hukum Perorangan

Hukum perorangan adalah Hukum tentang orang mengatur tentang orang (nama orang, tempat
tinggal, kecakapan hukum) dan badan hukum sebagai subyek hukum. Berlakunya seorang
manusia sebagai pembawa hak (subyek hukum ialah mulai saat ia dilahirkan dan berakhir pada
saat ia meninggal dunia).

Orang yang menurut undang-undang dinyatakan tidak mampu bertindak menurut hukum atau
“tidak cakap hukum” (onrechtsbekwaamheid) ialah:
1. Orang yang belum dewasa, yaitu yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah
nikah/kawin (pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 1330 B.W.); untuk melakukan
perbuatan hukum orang ini harus diwakili oleh orang tua/walinya;
2. Orang yang berada dibawah pengawasan atau pengampuan (curatele), dia orang dewasa
tetapi dungu, sakit ingatan, suka gelap mata, sakit jiwa, pemboros atau tidak sehat
jiwanya (Pasal 1330 jo 433 B.W.); dalam melakukan perbuatan hukum dia harus diwakili
oleh pengampunya (curatornya);
3. Orang-orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum atau
perjanjian (Pasal 1330 B.W. jo. Undang-Undang tentang Kepailitan).
Orang yang “cakap hukum” atau “mampu berbuat atau bertindak” menurut hukum
(rechtsbekwaamheid/capable) adalah orang-orang yang dapat atau mampu melakukan perbuatan
hukum.

1. orang dewasa atau sudah pernah nikah/kawin;


2. orang dewasa yang sehat pikiran/jiwanya (tidak dungu, bukan pemabok, tidak
pemboros
3. orang-orang yang tidak dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan hukum.

Anda mungkin juga menyukai