Disusun oleh :
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Akhir-akhir ini, kasus kekerasan (termasuk pembunuhan) dalam rumah tangga di Indonesia
cenderung meningkat. Di dalam rumah tangga, ketegangan maupun konflik merupakan hal yang
biasa. Namun, apabila ketegangan itu berbuah kekerasan, seperti: menampar, menendang,
memaki, menganiaya dan lain sebagainya, ini adalah hal yang tidak biasa. Hal itulah yang sering
disebut dengan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT) dlm UU N0. 23/2004 pasal 1 adalah perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,
yang berakibat timbulnya penderitaan fisik, seksual, psikologis, penelantaran rumah tangga,
ancaman, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam rumah
tangga.
Pada tanggal 14 September 2004 telah disahkan Undang-Undang No. 23 tahun 2004 mengenai
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang terdiri dari 10 bab dan 56 pasal,
yang diharapkan dapat menjadi payung perlindungan hukum bagi anggota dalam rumah tangga,
khususnya perempuan, dari segala tindak kekerasan. Dengan menimbang :
1. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk
kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
2. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan
pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta
bentuk diskriminasi yang harus di hapus.
3. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan adalah perempuan,
harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan
terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau per lakuan yang meren
dahkan derajat dan mar tabat kemanusiaan.
4. Bahwa dalam kenyataannya kasus ke keras an dalam rumah tangga banyak terjadi,
sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlin dungan terhadap korban
kekerasan dalam rumah tangga.
5. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf
c, dan huruf d, perlu dibentuk Undang-Undang tentang Peng ha pus an Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
1. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Agar mampu memahami secara menyeluruh tentang tindakan kekerasan pada istri dalam
rumah tangga.
2. Agar mahasiswa dapat mengidentifikasi bentuk serta factor-faktor yang menyebabkan
terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
3. Dapat mengimplikasikan dan mengetahui bagaimana proses asuhan keperawatan dalam
masalah kekerasan rumah tangga.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Kekerasan Ekonomi
Kekerasan ekonomi termasuk pasal 9 yang meliputi berbagai tindakan yang dilakukan untuk
mempertahankan kekuasaan dan kendali atas keuangan, seperti: melarang pasangan mereka
untuk mendapatkan atau tetap mempertahankan pekerjaan, membuat pasangan mereka harus
meminta uang untuk setiap pengeluaran, membatasi akses pasangan mereka terhadap keuangan
dan informasi akan keadaan keuangan keluarga, dan mengendalikan keuangan pasangan.
1) Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat
sarana ekonomi berupa :
a) Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran.
b) Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
c) Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau
memanipulasi harta benda korban.
2) Kekerasan Ekonomi Ringan, Kekerasan ini berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang
menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan
dasarnya.
1. Gabungan dari berbagai kekerasan sebagaimana disebutkan di atas baik fisik, psikologis,
maupun ekonomis.
1. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Ada faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya yang
dilakukan oleh suami terhadap istri, yaitu :
1. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri.
Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruk sedemikian rupa dalam
keluarga dan kultur serta struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh karena harus
melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini menyebabkan suami menjadi
merasa berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya.
1. Ketergantungan ekonomi.
Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk menuruti
semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras
dilakukan kepadnya ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan
demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh
suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada istrinya.
1. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik.
Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya
kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena
tidak dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan dengan tujuan istri dapat
memenuhi keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa
jika perempuan rewel maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan
di atas membuktikan bahwa suami sering menggunakan kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan
problem rumah tangganya.
1. Persaingan.
Di sisi lain, perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan, pergaulan,
penguasaan ekonomi baik yang mereka alami sejak masih kuliah, di lingkungan kerja, dan
lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan selanjutnya
dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di satu sisi suami tidak
mau kalah, sementara di sisi lain istri juga tidak mau terbelakang dan dikekang.
1. Frustasi.
Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa frustasi tidak bisa
melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada
pasangan-pasangan seperti dibawah ini :
1. Belum siap kawin.
2. Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan
rumah tangga.
3. Serba terbatas dalam kebebasan karena masih menumpang pada orang tua atau mertua.
4. Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hokum.
Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak terlepas
dari pembicaraan hak dan kewajiban suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi laporan korban
kepada aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya kesalahpahaman
dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya KUHAP membicarakan mengenai hak dan
kewajiban istri sebagai korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban.
Dalam proses sidang pengadilan, sangat minim kesempatan istri untuk mengungkapkan
kekerasan yang ia alami.
1. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dalam hal ini banyak dampak yang ditimbulkan oleh kekerasan itu sendiri. Dampak kekerasan
dalam rumah tangga akan terjadi pada istri, anak, bahkan suami.
1. Dampak pada istri :
1. Perasaan rendah diri, malu dan pasif
2. Gangguan kesehatan mental seperti kecemasan yang berlebihan, susah makan dan
susah tidur
3. Mengalami sakit serius, luka parah dan cacat permanen
4. Gangguan kesehatan seksual
5. Menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan kekerasan
6. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya gairah seks,
karena istri menjadi ketakutan dan tidak bisa merespon secara normal ajakan
berhubungan seks
2. Dampak pada anak :
1. Mengembangkan prilaku agresif dan pendendam
2. Mimpi buruk, ketakutan, dan gangguan kesehatan
3. Kekerasan menimbulkan luka, cacat mental dan cacat fisik
3. Dampak pada suami :
1. Merasa rendah diri, pemalu, dan pesimis
2. Pendiam, cepat tersinggung, dan suka menyendiri
Selain itu menurut Suryasukma efek psikologis penganiyaan bagi banyak perempuan lebih parah
disbanding efek fisiknya. Rasa takut, cemas, letih, kelainan stress post traumatic, serta gangguan
makan dan tidur merupakan reaksi panjang dari tindak kekerasan terhadap istri juga
mengakibatkan kesehatan reproduksi terganggu secara bilologis yang pada akhirnya terganggu
secara sosiologis. Istri yang teraniaya sering mengisolasi diri dan menarik diri karena berusaha
menyembunyikan bukti penganiyaan mereka.
Perempuan terganggu kesehatan reproduksinya bila pada saat tidak hamil mengalami gangguan
menstruasi seperti menorhagia, hipomenohagia atau metrohagia bahkan wanita dapat mengalami
menopause lebih awal, dapat mengalami penurunan libido, ketidakmampuan mendapatkan
orgasme.
Diseluruh dunia satu diantara empat perempuan hamil yang mengalami kekerasan fisik dan
kekerasan seksual oleh pasangannya. Pada saat hamil, dapat terjadi keguguran/abortus,
persalinan immature, dan bayi meninggal dalam rahim. Pada saat bersalin, perempuan akan
mengalami penyulit persalinan seperti hilangnya kontraksi uterus, persalinan lama, persalinan
dengan alat bahkan pembedahan. Hasil dari kehamilan dapat melahirkan bayi dengan BBLR.
Terbelakang mental, bayi lahir cacat fisik atau bayi lahir mati.
Dampak lain yang juga mempengaruhi kesehatan organ reproduksi istri dalam rumah tangga
diantaranya perubahan pola pikir, emosi dan ekonomi keluarga. Dampak terhadap pola pikir istri
misalnya tidak mampu berpikir secara jernih karena selalu merasa takut, cenderung curiga
(paranoid), sulit mengambil keputusan, tidak bias percaya dengan apa yang terjadi. Istri yang
menjadi korban kekerasan memiliki masalah kesehatan fisik dan mental dua kali lebih besar
dibandingkan yang tidak menjadi korban termasuk tekanan mental, gangguan fisik, pusing, nyeri
haid, terinfeksi penyakit menular (www.depkes.go.id).
Dampak terhadap ekonomi keluarga adalah persoalan ekonomi, hal ini terjadi tidak saja pada
wanita yang tidak bekerja tetapi juga pada wanita yang bekerja atau mencari nafkah. Seperti
terputusnya akses mendadak , kehilangan kendali ekonomi rumah tangga, biaya tak terduga
untuk tempat tinggal, kepindahan, pengobatan, terapi serta ongkos untuk kebutuhan yang lain.
1. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
2. Pengkajian
Kecemasan
o Perilaku : Gelisah, ketegangan fisik, tremor, gugup, bicara cepat, menarik diri dari
hubungan personal, mengahalangi, menarik diri dari hubungan interpersonal,
melarikan diri dari hubungan intrapersonal.
o Stresor Pecetus : Stesor penscetus mungkin berasal dari sumber internal dan
sumber eksternal. Stressor pencetus dibagi menjadi dua kategori. Kategori
pertama yaitu ancaman terhadap integritas seseorang meliputi ketidakmampuan
fisiologis yang akan datang atau menurunnya kkapasitas untuk melakukan
aktivitas hidup sehari-hari. Katagori kedua yaitu ancaman terhadap system diri
seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri, dan fungsi social yang
terintegrasi seseorang.
o Mekanisme koping : Tingkat kecemasan seseorang dapat menimbulkan dua
mekanisme koping. Mekanisme yang pertama adalah mekanisme yang
berorientasi pada tugas yaitu upaya yang disadari, dan berorientasi pada tindakan
untuk memenuhi secara realistic tuntutan situasi stress(Perilaku menyerang untuk
mengatasi hambatan pemenuhan, perilaku menarik diri secara fisik maupun
psikologik untuk memindahkan sumber stress, perilaku kompromi untuk
mengubah tujuan). Mekanisme yang kedua adalah mekanisme pertahan ego yang
membantu mengatasi ansietas.
o Gangguan Tidur
Perilaku
Sumber koping : dukungan social dari keluarga, teman, dan pemberi
pelayanan juga merupakan sumber yang penting.
Mekanisme koping : represi perasaan, konflik, menyangkal masalah
psikologis.
Gangguan Seksual
Perilaku
Factor predisposisi
Faktoer pencetus
Mekanisme koping
1. Diagnosa Keperawatan
Kecemasan
Ansietas
Inefektif koping
Ketakutan
Gangguan Tidur
o Gangguan cerita tubuh
o Proses perubahan keluarga
o Gangguan pola tidur
o Kerusakan interaksi sosial
o Gangguan Seksual
o Gangguan citra tubuh
o Ketakutan
o Ketidakberdayaan
o Nyeri
o Gangguan harga diri
o Perubahan peforma peran
o Resiko terhadap kesepian
o Distress spiritual
o Kerusakan interaksi sosial
1. Identifikasi Hasil
Kecemasan
Pasien akan menunjukkan cara adaptif dalam mengatasi stress
Gangguan tidur
o Pasien akan mengekspresikan perasaannya secara verbal daripada melalui
perkembangan gejala-gejala fisik.
o Gangguan seksual
Pasien akan mencapai tingkat maksimal respons seksual yang adaptif
untuk meningkatkan atau mempertahankan kesehatan.
1. Perencanaan
Kecemasan
o Pasien harus mengembangkan kapasitasnya untuk mentoleransi ansietas.
o Gangguan tidur
Penyuluhan untuk pasien tentang strategi koping yang adaptif.
Gangguan seksual
Lakukan penyuluhan.
1. Implementasi
Kecemasan
Memecahkan masalah yang membuat pasien cemas
Gangguan tidur
o Memenuhi kebutuhan fisiologis pasien.
o Memenuhi kebutuhan dasar akan rasa aman dan keselamatan.
o Gangguan Seksual
Sebelum melakukan penyuluhan perawat harus memeriksa nilai dan
keyakinannya sendiri tentang pasien yang berperilaku seksual yang
mungkin berebda.
1. Evaluasi
Kecemasan
o Sudahkah ancaman terhadap integritas fisik atau system diri pasien berkurang
dalam sifat, jumlah, asal, atau waktunya?
o Apakah perilaku pasien menunjukkan ansietas?
o Sudahkah sumber koping pasien dikaji dan dikerahkan dengan adekuat?
o Apakah pasien menggunakan respon koping adaptif?
o Gangguan tidur
Sudahkah pola tidurnya telah normal kemabali?
Apakan kecemasan masih mengganggu tidur pasien?
Gangguan seksual
Apakah pengakajian keperawatan tentang seksualitas telah
lengkap, akurat, dan dilakukan secara professional?
Apakah pasien merasakan perbaikan selama perbaikan?
Apakah hubungan interpersonal pasien telah meningkat?
Apakah penyuluhan kesehatan tentang ekspresi seksual
telah dilakukan dengan benar?
Apakah perasaan perawat sendiri tentang seksual telah
digali semua pada pasien?
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
2. Undang-Undang PKDRT ini menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga
adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga (Pasal 1 ayat 1).
3. Menurut Pasal 6 kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit atau luka berat.
4. Menurut pasal 7 kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,
dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
5. Menurut Suryasukma efek psikologis penganiyaan bagi banyak perempuan lebih parah
disbanding efek fisiknya. Rasa takut, cemas, letih, kelainan stress post traumatic, serta
gangguan makan dan tidur merupakan reaksi panjang dari tindak kekerasan terhadap istri
juga mengakibatkan kesehatan reproduksi terganggu secara bilologis yang pada akhirnya
terganggu secara sosiologis.
DAFTAR PUSTAKA