Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan fenomena yang terjadi dalam
sebuah komunitas sosial. Seringkali tindakan kekerasan ini disebut hidden crime
(kejahatan yang tersembunyi). disebut demikian, karena baik pelaku maupun korban
berusahan untuk merahasiakan perbuatan tersebut dari pendangan publik.
Kekerasan rumah tangga dapat menimpa siapa saja, ibu, bapak, suami, istri,
anak, bahkan pembantu rumah tangga, akan tetapi korban kekerasan dalam rumah
tangga sebagian besar adalah kekerasan terhadap perempuan dan anak, hal ini terjadi
karena hubungan antara korban dan pelaku tidak setara. Pelaku kekerasan biasanya
memiliki status kekuasaan yang lebih besar, baik dari segi ekonomi, kekuasaan fisik,
maupun status sosial dalam keluarga.
Oleh karena itu masalah kekerasan dalam rumah tangga sangat penting diatasi,
dan maka dari itu penting untuk kita sebagai perawat menggali tentang makna dari
kekerasan rumah tangga yang banyak terjadi di masyarakat, hal ini bertujuan agar
kekerasan dalam rumah tangga tidak berkembang menjadi momok yang menakutkan.

1.2 Rumusan Masalah


a. Seperti apakah pengertian KDRT
b. Seperti apa dimensi kekerasan dan kekerasan pada anak
c. Apa saja karakteristik kekerasan dalam keluarga
d. Apa saja efek penganiayaan dan kekerasan dalam keluarga terhadap kesehatan
e. Apa saja efek menyaksikan kekerasan pada masa anak-anak dan indikator
aktual dan potensial yang menyebabkan terjadinya penganiayaan
f. Apa saja pencegahan kekerasan primer, sekunder, dan tersier
g. Asuhan keperawatan pada klien KDRT

1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian KDRT
b. Untuk mengetahui seperti apa dimensi kekerasan dan kekerasan pada anak
c. Untuk mengetahui karakteristik kekerasan dalam keluarga

1
d. Untuk mengetahui efek penganiayaan dan kekerasan dalam keluarga terhadap
kesehatan
e. Untuk mengetahui efek menyaksikan kekerasan pada masa anak-anak dan
mengetahui indikator aktual dan potensial yang menyebabkan terjadinya
penganiayaan
f. Untuk mengetahui pencegahan kekerasan primer, sekunder, dan tersier
g. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien KDRT

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian KDRT
Kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-Undang PKDRT No. 23 Tahun
2004 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbul- nya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melaku-kan perbuatan
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan permasalahan yang telah
mengakar sangat dalam dan terjadi di seluruh negara di dunia. KDRT di Amerika
merupakan bahaya terbesar bagi perempuan dibandingkan bahaya perampokan dan
pencurian. Data statistik di Amerika menunjukkan setiap 9 menit perempuan menjadi
korban kekerasan fisik, dan 25% perempuan yang terbunuh oleh pasangan laki-laki
(Ramadhani. 2015).
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat diartikan sebagai tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh seorang pengasuh, orangtua, atau pasangan. KDRT
dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, di antaranya: Kekerasan fisik, penggunaan
kekuatan fisik; kekerasan seksual, setiap aktivitas seksual yang dipaksakan;
kekerasan emosional, tindakan yang mencakup ancaman, kritik dan menjatuhkan
yang terjadi terus menerus; dan mengendalikan untuk memperoleh uang dan
menggunakannya(Wahab. 2006).
Demikian juga pada pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa lingkup rumah tangga
dalam Undang-Undang ini meliputi (a) Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat
dan anak tiri); (b) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan,
pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu,
ipar dan besan); dan/atau (c) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan
menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga)( Wahab. 2006).
Lau dan Kosberg, (1984) melalui studinya menegaskan bahwa ada empat tipe
kekerasan, di antaranya: physical abuse, psychological abuse, material abuse or theft
of money or personal property, dan violation of right. Berdasarkan studinya anak-
anak yang menjadi korban KDRT cenderung memiliki ketidakberuntungan secara
umum. Mereka cenderung menunjukkan tubuh yang lebih kecil, memiliki kekuatan

3
yang lebih lemah, dan merasa tak berdaya terhadap tindakan agresif. Lebih jauh lagi
bentuk-bentuk KDRT dapat dijelaskan secara detil(Wahab. 2006).
Pertama, kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit atau luka berat (Pasal 6). Adapun kekerasan fisik dapat diwujudkan dengan
perilaku di antaranya: menampar, menggigit, memutar , menikam, mencekek,
membakar, menendang, mengancam dengan suatu benda atau senjata, dan
membunuh. Perilaku ini sungguh membuat anak-anak menjadi trauma dsalam
hidupnya, sehingga mereka tidak merasa nyaman dan aman(Wahab. 2006).
Kedua, kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7). Adapun tindakan
kekerasan psikis dapat ditunjukkan dengan perilaku yang mengintimidasi dan
menyiksa, memberikan ancaman kekerasan, mengurung di rumah, penjagaan yang
berlebihan, ancaman untuk. melepaskan penjagaan anaknya, pemisahan, mencaci
maki, dan penghinaan secara terus menerus(Wahab. 2006).
Ketiga, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan
hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau
tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual meliputi (pasal 8): (a) Pemaksaan
hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah
tangga tersebut; (b) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam
lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan
tertentu(Wahab. 2006).
Keempat, penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan
orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan,
perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga
berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara
membatasi dan/atau melarang untuk(2) bekerja yang layak di dalam atau di luar
rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9).
Penelantaran rumah tangga dapat dikatakan dengan kekerasan ekonomik yang dapat
diindikasikan dengan perilaku di antaranya seperti : penolakan untuk memperoleh
keuangan, penolakan untuk memberikan bantuan yang bersifat finansial, penolakan

4
terhadap pemberian makan dan kebutuhan dasar, dan mengontrol pemerolehan
layanan kesehatan, pekerjaan, dan sebagainya(Wahab. 2006).

2.2 Dimensi kekerasan dan kekerasan pada anak


Dimensi Kekerasan (Wahab, Rochmat. 2006)

1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah suatu tindakan kekerasan yang mengakibatkan luka, rasa
sakit, atau cacat pada istri hingga menyebabkan kematian. Selanjutnya yang
termasuk dalam bentuk kekerasan fisik adalah:
a) Menampar
b) Memukul
c) Menarik rambut
d) Menyulut dengan rokok
e) Melukai dengan senjata
f) Mengabaikan kesehatan istri
2. Kekerasan psikologis
Kekerasan psikologis/emosional adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal
(seperti menghina, berkata kasar dan kotor) yang mengakibatkan menurunnya rasa
percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertidak dan
tidak berdaya.
3. Kekerasan seksual
Kekerasan seksual adalah setiap penyerangan yang bersifat seksual terhadap
perempuan, baik terjadi persetubuan atau tidak, dan tanpa memperdulikan
hubungan antara pelaku dan korban. kekerasan seksual meliputi :
a) Pengisolasian istri dari kebutuhan batinnya
b) Pemaksaan hubungan seksual dengan pola yang tidak dikehendaki atau tidak
disetujui istri
c) Pemaksaan hubunganketika istri sedang tidak menghendaki, istri sedang sakit,
atau menstruasi; dan
d) Memaksa istri berhubugn seks dengan orang lain, memaksa istri menjadi
pelacur.
4. Kekerasan ekonomi/penelantaran rumah tangga;

5
Kekerasan ekonomi/penelantaran rumah tangga dapat diindikasikan sebagai
kekerasan ekonomi yaitu tidak memberi nakfah kepada istri, memanfaatkan
ketergantungan istri secara ekonomi untuk mengontrol kehidupan istri, atau
membiarkan istri bekerja kemudian penghasilannya dikuasai oleh suami.
5. Ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Kekerasan Pada Anak (Sururin. 2004)

Menurut WHO Kekerasan terhadap anak adalah suatu tindakan penganiayaan


atau perlakuan salah pada anak dalam bentuk menyakiti fisik, emosional, seksual,
melalaikan pengasuhan dan eksploitasi untuk kepentingan komersial yang secara
nyata atau pun tidak dapat membahayakan kesehatan, kelangsungan hidup, martabat
atau perkembangannya .Kekerasan pada anak disebut juga dengan Child Abuse, yaitu
semua bentuk kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya
bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak
tersebut, yang seharusnya dapat di percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, dan
guru. Bentuk kekerasan pada anak dapat diklasifikasikan dalam 4 macam, yaitu:
1. Kekerasan fisik
Seperti ditampar,ditendang, dianiaya, dipukul/ditinju, diinjak, dicubit, dijambak,
dicekik, didorong, digigit,dibenturkan, dicakar, dijewer, disetrika, disiram air panas,
diancam dengan benda tajam
2. Kekerasan psikis/emosi
Bentuk kekerasan psikis pada anak berupa dihina, dicaci maki, diejek, dipaksa
melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki, dibentak, dimarahi, dihardik, diancam,
dipaksa bekerja menjadi pemulung, dipaksa mengamen, dipaksa menjadi pembantu
rumah tangga, dipaksa mengemis
3. Kekerasan seksual
Bentuk kekerasan seksual pada anak berupa diperkosa, disodomi, diraba-raba alat
kelaminnya, diremas-remas payudaranya, dicolek pantatnya, diraba-raba pahanya,
dipaksa melakukan oral sex, pelecehan seksual lainnya, dijual pada mucikari,
dipaksa menjadi pelacur, dipaksa bekerja diwarung remang-remang
4. Kekerasan sosial (penelantaran)
Bentuk kekerasan sosial pada anak yaitu penelantaran dan eksploitasi anak yang
berupa kurang memberikan perhatian dan kasih sayang yang dibutuhkan anak,

6
tidak memperhatikan kebutuhan makan, bermain, rasa aman, kesehatan,
perlindungan (rumah) dan pendidikan, mengacuhkan anak, tidak mengajak bicara

2.3 Karakteristik kekerasan dalam keluarga


Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dapat terjadi dalam berbagai
bentuk sebagaimana diringkaskan di bawah ini yaitu :
1. Kekerasan fisik, langsung dalam bentuk pemukulan, pencakaran sampai
pengrusakan vagina (kekerasan seksual) dan kekerasan fisik secara tidak langsung
yang biasanya berupa memukul meja, membanting pintu, memecahkan piring,
gelas, tempat bunga dan lain-lain, serta berlaku kasar.
2. Kekerasan psikologis, Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
3. Kekerasan Seksual, Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa
pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak
wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain
untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu, tidak memenuhi kebutuhan
seksual istri.
4. Kekerasan ekonomi, berupa tidak diberikannya nafkah selama perkawinan atau
membatasi nafkah secara sewenang-wenang, membiarkan atau bahkan memaksa
istri bekerja keras, juga tidak memberi nafkah setelah terjadi perceraian meskipun
pengadilan memutuskan.
5. Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam
lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau
karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan,
atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi
setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga
korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Gabungan dari berbagai kekerasan tersebut baik fisik, psikologis, maupun
ekonomis. Dari keterangan tentang berbagai macam bentuk kekerasan dalam rumah
tangga tersebut dapat diketahui bahwa kekerasan tersebut adalah suatu tindakan yang
out of control yang dapat menjadi kebiasaan jahat yang dapat merugikan pasangan.

7
2.4 Efek penganiayaan dan kekerasan dalam keluarga terhadap kesehatan
Karena kekerasan terjadi dalam rumah tangga, maka penderitaan akibat kekerasan ini
tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi juga anak-anaknya. Adapun dampak
kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa istri adalah:
1. Kekerasan fisik langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan istri menderita
rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan kekerasan tersebut.
2. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya gairah seks,
karena istri menjadi ketakutan dan tidak bisa merespon secara normal ajakan
berhubungan seks.
3. Kekerasan psikologis dapat berdampak istri merasa tertekan, shock, trauma, rasa
takut, marah, emosi tinggi dan meledak-ledak, kuper, serta depresi yang mendalam.
4. Kekerasan ekonomi mengakibatkan terbatasinya pemenuhan kebutuhan sehari-hari
yang diperlukan istri dan anak-anaknya.
Kekerasan tersebut juga dapat berdampak pada anak-anak. Adapun dampak-
dampak itu dapat berupa efek yang secara langsung dirasakan oleh anak,
sehubungan dengan kekerasan yang ia lihat terjadi pada ibunya, maupun secara
tidak langsung. Bahkan, sebagian dari anak yang hidup di tengah keluarga seperti
ini juga diperlakukan secara keras dan kasar karena kehadiran anak terkadang
bukan meredam sikap suami tetapi malah sebaliknya.
Menurut hasil penelitian tim Kalyanamitra, menyaksikan kekerasan adalah
pengalaman yang amat traumatis bagi anak-anak. Kekerasan dalam rumah tangga
yang dialami anak-anak membuat anak tersebut memiliki kecenderungan seperti
gugup, gampang cemas ketika menghadapi masalah, sering ngompol, gelisah dan
tidak tenang, jelek prestasinya di sekolah, mudah terserang penyait seperti sakit
kepala, perut, dan asma, kejam kepada binatang, Ketika bermaian sering meniru
bahasa yang kasar, berperilaku agresif dan kejam, suka minggat, dan suka
melakukan pemukulan terhadap orang lain yang tidak ia sukai.
Kekerasan dalam rumah tangga yang ia lihat adalah sebagai pelajaran dan
proses sosialisasi bagi dia sehingga tumbuh pemahaman dalam dirinya bahwa
kekerasan dan penganiayaan adalah hal yang wajar dalam sebuah kehidupan
berkeluarga. Pemahan seperti ini mengakibatkan anak berpendirian bahwa:
1. Satu-satunya jalan menghadapi stres dari berbagai masalah adalah dengan
melakukan kekerasan.
2. Tidak perlu menghormati perempuan.

8
3. Menggunakan kekerasan dalam menyelesaiakan berbagai persoalan adalah baik
dan wajar.
4. Menggunakan paksaan fisik untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan adalah
wajar dan baik-baik saja
Di samping dampak secara langsung terhadap fisik dan psikologis, masih ada lagi
akibat lain berupa hubungan negatif dengan lingkungan yang harus ditanggung
anak seperti:
1. Harus pindah rumah dan sekolah jika ibunya harus pindah rumah karena
menghindari kekerasan.
2. Tidak bisa berteman atau mempertahankan teman karena sikap ayah yang
membuat anak terkucil.
3. Merasa disia-siakan oleh orang tua.
4. Kebanyakan anak yang tumbuh dalam rumah tangga yang penuh kekerasan
akan tumbuh menjadi anak yang kejam.
Penelitian membuktikan bahwa 50% – 80% laki-laki yang memukuli istrinya atau
anak-anaknya, dulunya dibesarkan dalam rumah tangga yang bapaknya sering
melakukan kekerasan terhadap istri dan anaknya. Mereka tumbuh dewasa dengan
mental yang rusak dan hilangnya rasa iba serta anggapan bahwa melakukan
kekerasan terhadap istri adalah bisa diterima.

2.5 Efek menyaksikan kekerasan pada masa anak-anak dan indikator aktual dan
potensial yang menyebabkan terjadinya penganiayaan
Penggunaan internet dan media massa pada anak-anak ternyata telah
menjadikan mereka lebih terekspos pada kekerasan. Dimanapun kekerasan tersebut
terjadi, anak-anak bisa dengan mudah membaca beritanya atau bahkan melihat
videonya di internet. Bukan hanya dari media massa, anak-anak pun bisa melihat
kekerasan di lingkungan sekitarnya. Survei menunjukkan, sebanyak 13 sampai 45
persen siswa SMA pernah mengalami kekerasan di sekolah. Dan 23 hingga 82 persen
di antaranya pernah menyaksikan orang lain dipukuli di sekolah. Anak-anak yang
terekspos pada kekerasan, baik itu sebagai saksi maupun menjadi korban, cenderung
lebih mudah mengalami depresi, kemarahan, dan kepanikan. Studi terhadap anak-anak
kelas tiga sampai delapan yang pernah melihat seseorang dipukul, ditampar, hingga
ditonjok akan bertambah kemungkinan mengalami kepanikan 12 persen lebih tinggi
dibandingkan anak lain. Selain itu, melihat kekerasan juga memiliki dampak jangka

9
panjang. Studi lain menunjukkan anak yang sering melihat kekerasan akan menjadi
kurang sensitif pada kekerasan, sehingga mereka menganggap kekerasan adalah
sesuatu yang wajar untuk menyelesaikan masalah. Mereka juga cenderung
menganggap kekerasan bisa terjadi kapanpun, pada siapapun, dan dimanapun. Anak
yang menjadi korban atau saksi kekerasan akan menjadi lebih agresif dan mengalami
stres pasca trauma. Sementara remaja yang sering melihat kekerasan dilaporkan akan
lebih mudah marah dan depresi. Mereka juga memiliki keinginan untuk membunuh
atau menyakiti diri sendiri lebih tinggi. Bukan hanya menjadi saksi dari kejadian yang
terjadi di depan mata, menyaksikan kekerasan dari televisi pada anak-anak dan remaja
juga meningkatkan perilaku agresif dan kekerasan, serta berhubungan dengan perilaku
bermasalah.Dampak negatifnya memang banyak, salah satunya anak-anak bisa
memiliki tingkat empati dan kasih sayang yang lebih rendah kepada orang lain.
Mereka pun cenderung menganggap kalau dunia adalah tempat yang menyeramkan
dan penuh kejahatan.
Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait
memaparkan ada empat penyebab utama terjadinya kekerasan terhadap anak. Pertama,
penyebabnya ia katakan ada anak yang berpotensi menjadi korban. Ada anak nakal,
bandel, tidak bisa diam, tidak menurut, cengeng, pemalas, penakut. Anak-anak seperti
inilah yang sangat rentan oleh kekerasan fisik dan psikis. Karena ada faktor bawaan
seperti anak tersebut memang hiperaktif, selain itu ada faktor dari ketidaktahuan
orangtua, maupun guru sebagai pendidik anak-anak.
Penyebab kedua, Arist katakan ada anak atau orang dewasa yang berpotensi
menjadi pelaku kekerasan. Ia menjelaskan untuk anak yang berpotensi menjadi pelaku
kekerasan disebabkan oleh beberapa hal yakni meniru atau mengimitasi dari orangtua,
teman, siaran televisi, video game, film. Selain itu, pernah mengalami sebagai korban
bullying dari sesama anak, korban kekerasan dari anak dewasa, dan adanya tekanan
dari kelompok.
Yang ketiga, adanya peluang kekerasan tanpa pengawasan atau perlindungan.
Biasanya, hal tersebut sering dialami oleh anak-anak yang tinggal dengan pembantu,
ayah atau ibu diri, maupun paman atau saudaranya. Peluang terjadinya kekerasan fisik,
psikis maupun seksual ada banyak sekali penyebabnya, karena memang tidak ada
pengajaran potensi bahaya, anak dibiarkan bermain dengan orang dewasa tanpa
diawasi sehingga mereka dengan bebas bisa dipeluk, dipangku oleh siapa saja dan
lain-lain," jelasnya.

10
Penyebab keempat karena adanya pencetus dari korban dan pelaku. Contohnya,
adanya pencetus dari korban, biasanya anak-anak rewel, aktifitas mereka berlebihan,
tidak menurut perintah, merusak barang-barang. Perilaku tersebut umunya
mencetuskan kekerasan fisik dan psikis. Kalau ciri-ciri anak ke toilet sendiri,
berpakaian seksi, sering dipeluk dan dipangku, dapat mencetuskan kekerasan seksual.

2.6 Pencegahan kekerasan primer, sekunder, dan tersier


Bagi masyarakat, keluarga, atau orang tua diperlukan kebijakan, layanan,
sumberdaya, dan pelatihan pencegahan kekerasan pada anak yang konsisten dan
terus menerus. Dalam hal strategi pencegahan kekerasan terhadap anak meliputi(3) :
1. Pencegahan primer untuk semua orang tua dalam upaya meningkatkan
kemampuan pengasuhan dan menjaga agar perlakuan salah atau abuse tidak
terjadi, meliputi perawatan anak dan layanan yang memadai, kebijakan tempat
bekerja yang medukung, serta pelatihan life skill bagi anak. Yang dimaksud
dengan pelatihan life skill meliputi penyelesaian konflik tanpa kekerasan,
ketrampilan menangani stress, manajemen sumber daya, membuat keputusan
efektif, komunikasi interpersonal secara efektif, tuntunan atau guidance dan
perkembangan anak, termasuk penyalahgunaan narkoba;
2. Pencegahan sekunder ditujukan bagi kelompok masyarakat dengan risiko tinggi
dalam upaya meningkatkan ketrampilan pengasuhan, termasuk pelatihan dan
layanan korban untuk menjaga agar perlakuan salah tidak terjadi pada generasi
berikut. Kegiatan yang dilakukan di sini di antaranya dengan melalukan
kunjungan rumah bagi orang tua yang baru mempunyai anak untuk melakukan
self assessment apakah mereka berisiko melakukan kekerasan pada anak di
kemudian hari
3. Pencegahan tersier dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan pengasuhan
yang menjaga agar perlakuan salah tidak terulang lagi, di sini yang dilakukan
adalah layanan terpadu untuk anak yang mengalami korban kekerasan,
konseling, pelatihan tatalaksana stres. Pada saat kasus kekerasan pada anak
ditemukan, sebenarnya ada masalah dalam pengasuhan anak (parenting disorder).
Maka dari itu, strategi pencegahan kekerasan pada anak yang mendasar adalah
dengan memberikan informasi pengasuhan bagi para orang tua khususnya. Di
sisi lain, para orang tua harus diyakinkan bahwa mereka adalah orang yang
paling bertanggung jawab atas semua pemenuhan hak anak. Maka semua usaha

11
yang dilakukan dalam rangka mengubah perilaku orang tua agar melek informasi
pengasuhan dan hak anak membutuhkan upaya edukasi yang terus menerus.
Dengan demikian, pendidikan pengasuhan bagi orangtua sebagai bagian dari
strategi pencegahan kekerasan pada anak menjadi sangat penting.

2.7 Asuhan keperawatan pada klien KDRT


Pengkajian
1. Perilaku
Kaji Perilaku korban seperti korban terlihat gelisah, ketegangan fisik, tremor,
gugup, bicara cepat, menarik diri, dan lain-lain.
2. Faktor Predisposisi
Kaji faktor predisposisi atau faktor yang melatarbelakangi terjadinya KDRT pada
korban.
 Faktor Psikologis
1) Kerusakan otak organik, retardasi mental, sehingga tidak mampu
menyelesaikan secara efektif.
2) Severe Emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan pada masa kanak-
kanak, atau seduction parental, yang mungkin telah merusak hubungan saling
percaya (trust) dan harga diri.
3) Terpapar kekerasan selama masa perkembangan, termasuk child abuse atau
mengobservasi kekerasan dalam keluarga, sehingga membentuk pola pertahanan
atau koping.
 Faktor Sosial Budaya
Bisa diakibatkan karena pengalaman yang di dapatkan dari lingkungan
sekitarnya, sehingga pelaku mempelajari dan meniru hal-hal yang yang seharusnya
tidak dia tiru. Contoh seorang anak menunjukan perilaku agresif setelah melihat
seseorang dewasa mengekspresikan berbagai bentuk perilaku agresif terhadap
sebuah boneka.
Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat
membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang dapat diterima atau tidak
dapat diterima. Sehingga dapat membantu individu untuk mengekspresikan marah
dengan cara asertif.
 Faktor Biologis

12
Neurotransmitter yang sering dikaitkan dengan perilaku agresif adalah
serotonin, dopamin, norepinephrine, acetilkolin, dan asam amino GABA.
Faktor-faktor yang mendukung :
1) Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan.
2) Sering mengalami kegagalan.
3) Kehidupan yang penuh tindakan agresif.
4) Lingkungan yang tidak kondusif (bising, padat).
3. Stressor Pencetus/Presipitasi
Kaji Stressor pencetus terjadinya KDRT pada korban, apakah stresor berasal
dari faktor external atau internal.
 Faktor internal korban: disebabkan oleh korban itu sendiri.
a. Sikap provokatif korban
Sikap korban yang dengan sengaja maupun tidak membuat pelaku marah.
Contoh: pecemburu, suka ngomel, pengabaian pengurusan rumah tangga,
penuntut, suka bertengkar, kurang menghargai suami, ketergantungan dan
berpegang pada tradisi atau adat.
b. Faktor eksternal korban
1) Sifat pribadi pelaku.
Contohnya: jiwa terganggu, perasaan tertekan, kurang percaya diri,
skizofrenia, pencemburu, sensitive.
2) Tekanan hidup.
Contohnya: akibat adanya konflik, beratnya penderitaan perkawinan, tidak
mempunyai pekerjaan, merassa lebih lemah dari istri.
3) Ketimpangan gender dan social.
Laki –laki merasa lebih istimewa dibanding perempuan, merasa lebih
berharga, lebih tinggi peran dan kedudukannya. Wanita sering dipandang
fungsinya hanya mengurus rumah tangga dan merawat anak.
4) Masalah keuangan.
Sering kali wanita menuntut lebih banyak kepada suaminya, sedangkan
suaminya tidak mampu memenuhinya.
5) Budaya paternalistic yang kuat dan pemahaman budaya yang salah.
Budaya paternalistic menganggap kaum laki-laki sebagai pemegang
kekuasaaan sehingga terjadi diskriminasi pada wanita, pemahaman budaya

13
yang salah bahwa wanita adalah milik suami, harus memenuhi semua
keinginan suami, bahwa laki –laki lebih berkuasa.

4. Dimensi Kekerasan dalam keluarga


Kaji dimensi kekerasan dalam keluarga apakah termasuk dalam
dimensi kekerasan fisik seperti menampar, memukul, menarik rambut,
menyulut dengan rokok, melukai dengan senjata, mengabaikan kesehatan
istri, dan lain-lain; kekerasan psikologis seperti menghina, berkata kasar
dan kotor; Kekerasan seksual seperti pemaksaan hubungan seksual dengan
pola yang tidak dikehendaki atau tidak disetujui istri, dan lain-lain;
Kekerasan ekonomi / penelantaran rumah tangga seperti tidak memberikan
nafkah; atau ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga.

5. Karakteristik kekerasan dalam keluarga


Kaji bagaimana karakteristik kekerasan dalam keluarga,
1) Apakah isolasi sosial, seperti merahasiakan kekerasan dan sering kali
tidak mengundang orang lain datang kerumah mereka atau tidak
mengatakan kepada orang lain apa yang terjadi karena sudah di ancam oleh
pelaku.
2) Kekuasaan dan kontrol, seperti pelaku sering kali adalah satu-satunya
anggota keluarga yang membuat keputusan, mengeluarkan uang, atau
diijinkan untuk meluangkan waktu diluar rumah dengan orang lain. Pelaku
melakukan penganiayaan emosional dengan meremehkan atau
menyalahkan korban dan sering mengancam korban.
3) Penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan yang lain
4) Proses transmisi antargenerasi, seperti pola prilaku kekerasan
diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Misalnya, anak-anak
yang menyaksikan kekerasan dalam keluarga akan belajar dari melihat
orang tua mereka bahwa kekerasan ialah cara menyelesaikan konflik dan
bagian integral dalam suatu hubungan dekat.

14
No. Diagnosa NOC NIC Implementasi
1. Risiko cedera 1. kontrol risiko 1. Identifikasi risiko
berhubungan 1902 6574
dengan trauma - Mengiden - Implementasika - Mengimplem
fisik tifikasi n aktivitas - entasikan
faktor aktivitas aktivitas
risiko pengurangan aktivitas
risiko pengurangan
resiko
- Diskusikan dan - Mendiskusika
rencanakan n dan
aktivitas- merencanakan
- Mengenali aktivitas
aktivitas
faktor aktivitas
pengurangan
risiko pengurangan
risiko
individu resiko
berkolabirasi
dengan i dividu
atau kelompok
- Instruksikan - Mengintruksi
faktor risiko kan faktor
dan rencana resiko dan
untuk rencana untuk
- Mencari mengurangi mengurangi
informasi faktor risiko faktor resiko
tentang
risiko
kesehatan
2. Ketakutan 1. Kontrol diri 1. Pengurangan
berhubungan terhadap kecemasan 5820
dengan ketakutan - Gunakan - Menggunakan
lingkungan yang 1404 pendekatan pendekatan
tidak dikenal - Menghila yang tenang yang tenang
ngkan dan dan
penyebab meyakinkan meyakinkan
ketakutan - Membantu
- Bantu klien klien
mengidentifika mengidentifik
- Mencari si situasi yang asikan situasi
informasi memicu yang memicu
untuk kecemasan kecemasan
menguran - Mendukung
gi rasa - Dukung penggunaan
takut penggunaan mekanisme
mekanisme koping yang

15
- Mengguna koping yang sesuai
kan sesuai
strategi
koping yg
efektif
3. Stress berlebihan 1. Kontrol 1. Peningkatan
berhubungan kecemasan koping 5230
dengan stressor diri 1402 - Dukung - Mendukung
berulang - Memantau kemampuan kemampuan
intensitas mengatasi mengatasi
kecemasa situasi secara situasi secara
n berangsur- berangsur-
angsur angsur
- Dukung pasien - Mendukung
untuk pasien untuk
- Menguran mengidentifika mengidentifik
gi si kekuatan dan asi kekuatan
penyebab kemampuan dan
kecemasa diri kemampuan
n diri
- Menginstruksi
- Instruksikan kan pasien
pasien untuk untuk
menggunakan menggunakan
- Mengguna
tehnik relaksasi tehnik
kan
relaksasi
strategi
koping yg
efektif

4. Harga diri rendah 1. pemulihan 1. Peningkatan harga


situasionalberhub terhadap diri 5400
ungan dengan pengabaian - Monitor - Memonitor
kurang kasih 2512 pernyataan pernyataan
sayang - Menunjuk pasien pasien
kan hal mengenai harga mengenai
menarik diri harga diri
dalam - Menentukan
hidup - Tentukan kepercayaan
kepercayaan diri pasien
diri pasien dalam hal
- Ekspresi dalam hal penilaian diri
dari penilaian diri - Mendukung
kebanggaa pasien untuk
n diri - Dukung pasien menerima

16
untuk tantangan
menerima baru
tantangan baru
- Ekspresi
dari
harapan

17
BAB III
PENUTUP
3. 1 Kesimpulan
KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) merupakan permasalahan yang
sering terjadi didalam rumah tangga. Oleh karena itu harus dilakukan pencegahan
secara dini. Pendidikan agama dan pengamalan ajaran agama di rumah tangga
merupakan kunci sukses untuk mencegah terjadinya KDRT.Untuk mencegah KDRT
di rumah tangga, harus dikembangkan cinta kasih dan kasih sayang Sejak dini.
Diagnosa keperawatan yang dapat diangkat pada kasus KDRT ialah: resiko cidera
berhubungan dengan trauma fisik, ketakutan berhubungan dengan lingkungan yang
tidak dikenal, stress berlebihan berhubungan dengan stressor berulang dan harga diri
rendah situasional berhubungan dengan kurang kasih sayang.

3. 2 Saran
Untuk menurunkan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga maka
masyarakat perlu digalakkan pendidikan mengenai HAM dan pemberdayaan
perempuan, menyebarkan informasi dan mempromosikan prinsip hidup sehat, anti
kekerasan terhadap perempuan dan anak serta menolak kekerasan sebagai cara untuk
memecahkan masalah, mengadakan penyuluhan untuk mencegah kekerasan,
mempromosikan kesetaraan jender, mempromosikan sikap tidak menyalahkan korban
melalui media.

18
DAFTAR PUSTAKA

Ramadani, Mery., Yuliani, Fitri. Kekerasa Dalam Rumah Tangga (KDRT) Sebagai Salah
Satu Isu Kesehatan Masyarakat Global. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas. 2015.
No. 2 Vol. 9 hlm. 80-87
Wahab Rochmat. 2006. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Perspektif Psikologis dan
Edukatif. Bandung: UIN
Sururin. (2004). Kekerasan Pada Anak Prespektif Psikologi.Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Komnas Perempuan (2002). Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia. Jakarta:
Ameepro.
Abrar Ana Nadhya, Tamtari Wini (Ed) (2001). Konstruksi Seksualitas Antara Hak dan
Kekuasaan. Yogyakarta: UGM.
Hasanah, Hasanah., Raharjo, Santoso Tri. Penangan Kekerasan Aanak Berbasis
Masyarakat. Jurnal social work. No. 1 Vol. 6 hlm.1-153

19

Anda mungkin juga menyukai