Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

2.1.1. Definisi

Berdasarkan Undang Undang no. 23 tahun 2004 tentang PDKRT

pasal 1 butir 1, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap

perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat

timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,

dan / atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan

perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan

hukum dalam lingkup rumah tangga (Farouk, 2009).

2.1.2. Lingkup

Yang termasuk cakupan rumah tangga menurut Pasal 2 UU - PKDRT

adalah :

Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri).

Orang - orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang

sebagaimana disebutkan di atas karena hubungan darah, perkawinan

(misalnya mertua, menantu, ipar, dan besan), persusuan, pengasuhan,

dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga.

Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah

tangga tersebut, dalam jangka waktu selama berada dalam rumah

tangga yang bersangkutan (Farouk, 2009; At-Thahirah, 2006).


2.1.3. Bentuk

Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit,

jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6). Adapun kekerasan fisik dapat

diwujudkan dengan perilaku di antaranya: menampar, menggigit,

memutar tangan, menikam, mencekek, membakar, menendang,

mengancam dengan suatu benda atau senjata, dan membunuh. Perilaku

ini membuat korban menjadi trauma dalam hidupnya, sehingga mereka

tidak merasa nyaman dan aman (At-Thahirah, 2006; Wahab, 2010).

Kekerasan Psikis

Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,

hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak,

rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang

(pasal 7). Adapun tindakan kekerasan psikis dapat ditunjukkan dengan

perilaku yang mengintimidasi dan menyiksa, memberikan ancaman

kekerasan, mengurung di rumah, penjagaan yang berlebihan, ancaman

untuk melepaskan penjagaan anaknya, pemisahan, mencaci maki, dan

penghinaan secara terus menerus (At-Thahirah, 2006; Wahab, 2010).

Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan

hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak

wajar dan / atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan

orang lain untuk tujuan komersial dan / atau tujuan tertentu. Kekerasan

seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap


orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, dan

pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup

rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan / atau

tujuan tertentu (pasal 8) (At-Thahirah, 2006; Wahab, 2010).

Penelantaran Rumah Tangga

Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan

orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang

berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib

memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang

tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang

mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan /

atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah

sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9) (At-

Thahirah, 2006; Wahab, 2010).

Penelantaran rumah tangga dapat dikatakan dengan kekerasan

ekonomik yang dapat diindikasikan dengan perilaku di antaranya

seperti penolakan untuk memperoleh keuangan, penolakan untuk

memberikan bantuan yang bersifat finansial, penolakan terhadap

pemberian makan atau kebutuhan dasar, dan mengontrol pemerolehan

layanan kesehatan, pekerjaan, dan sebagainya (At-Thahirah, 2006;

Wahab, 2010).

2.1.4. Faktor Penyebab

Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan suami

terhadap istri, antara lain :


Masyarakat membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan

keyakinan bahwa anak laki-laki harus kuat, berani dan tidak toleran.

Laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat.

Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus

ditutup karena merupakan masalah keluarga dan bukan masalah sosial.

Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan

mendidik istri, kepatuhan istri pada suami, penghormatan posisi suami

sehingga terjadi persepsi bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.

Budaya bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi.

Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.

Pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak.

Budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.

Melakukan imitasi, terutama anak laki-laki yang hidup dengan orang

tua yang sering melakukan kekerasan pada ibunya atau dirinya.

Masih rendahnya kesadaran untuk berani melapor dikarenakan dari

masyarakat sendiri yang enggan untuk melaporkan permasalahan

dalam rumah tangganya, maupun dari pihak - pihak yang terkait yang

kurang mensosialisasikan tentang kekerasan dalam rumah tangga.

Banyak sekali kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT) yang tidak

tertangani secara langsung dari pihak yang berwajib, bahkan kasus

kasus KDRT yang kecil pun lebih banyak dipandang sebelah mata

daripada kasus kasus lainnya.


Adanya anggapan bahwa aib keluarga jangan sampai diketahui oleh

orang lain. Hal ini menyebabkan munculnya perasaan malu karena akan

dianggap oleh lingkungan tidak mampu mengurus rumah tangga.

Kurang tanggapnya lingkungan atau keluarga terdekat untuk merespon

apa yang terjadi, hal ini dapat menjadi tekanan tersendiri bagi korban,

karena bisa saja korban beranggapan bahwa apa yang dialaminya

bukanlah hal yang penting karena tidak direspon lingkungan (Farouk

2009; At-Thahirah, 2006).

2.1.5. Dampak

Dampak Terhadap Istri

Mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya

diri dan harga diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami

ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa dirinya, mengalami

stress pasca trauma, mengalami depresi, dan keinginan untuk bunuh diri

(Wahab, 2010).

Dampak Terhadap Anak

Kemungkinan kehidupan anak akan dibimbing dengan kekerasan,

peluang terjadinya perilaku yang kejam pada anak-anak akan lebih

tinggi, anak dapat mengalami depresi, dan anak berpotensi untuk

melakukan kekerasan pada pasangannya apabila telah menikah karena

anak mengimitasi perilaku dan cara memperlakukan orang lain

sebagaimana yang dilakukan oleh orang tuanya (Wahab, 2010).


Dampak Terhadap Pekerjaan

Kinerja menjadi buruk, lebih banyak waktu dihabiskan untuk

mencari bantuan pada Psikolog ataupun Psikiater, dan merasa takut

kehilangan pekerjaan (Wahab, 2010).

2.1.6. Hak Hak Korban KDRT

Korban KDRT bisa mendapatkan beberapa upaya perlindungan atau

pelayanan dari beberapa bidang.

Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,

advokat, lembaga sosial , atau pihak lainnya baik sementara maupun

berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.

Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.

Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban.

Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap

tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Pelayanan bimbingan rohani (Farouk, 2009).

2.1.7. Bentuk Perlindungan / Pelayanan Korban KDRT Dari Sisi Medis

Pelayanan kesehatan dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah,

pemerintah daerah, atau masyarakat. Tenaga kesehatan wajib memeriksa

korban sesuai dengan standar profesi, dan dalam hal korban memerlukan

perawatan, tenaga kesehatan wajib memulihkan dan merehabilitasi

kesehatan korban (Farouk, 2009).

Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesi.


Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan Visum

et Repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan

medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.

2.1.8. Upaya Penanganan

Pada hakekatnya secara psikologis dan pedagogis ada dua pendekatan

yang dapat dilakukan untuk menangani KDRT, yaitu pendekatan kuratif dan

preventif (Departemen Hukum dan HAM, 2004; Wahab, 2010).

a. Pendekatan Kuratif

Menyelenggarakan pendidikan orangtua untuk dapat menerapkan

cara mendidik dan memperlakukan anak-anaknya secara humanis.

Memberikan keterampilan tertentu kepada anggota keluarga untuk

secepatnya melaporkan ke pihak lain yang diyakini sanggup

memberikan pertolongan, jika sewaktu-waktu terjadi KDRT.

Mendidik anggota keluarga untuk menjaga diri dari perbuatan yang

mengundang terjadinya KDRT.

Membangun kesadaran kepada semua anggota keluarga untuk takut

kepada akibat yang ditimbulkan dari KDRT.

Membekali calon suami istri atau orangtua baru untuk menjamin

kehidupan yang harmoni, damai, dan saling pengertian, sehingga

dapat terhindar dari perilaku KDRT.

Melakukan filter terhadap media massa, baik cetak maupun

elektronik, yang menampilkan informasi kekerasan.

Mendidik, mengasuh, dan memperlakukan anak sesuai dengan jenis

kelamin, kondisi, dan potensinya.


Menunjukkan rasa empati dan rasa peduli terhadap siapapun yang

terkena KDRT, tanpa sedikitpun melemparkan kesalahan terhadap

korban KDRT.

Mendorong dan menfasilitasi pengembangan masyarakat untuk

lebih peduli dan responsif terhadap kasus-kasus KDRT yang ada di

lingkungannya.

b. Pendekatan Preventif

Memberikan sanksi secara edukatif kepada pelaku KDRT sesuai

dengan jenis dan tingkat berat atau ringannya pelanggaran yang

dilakukan, sehingga tidak hanya berarti bagi pelaku KDRT saja,

tetapi juga bagi korban dan anggota masyarakat lainnya.

Memberikan incentive bagi setiap orang yang berjasa dalam

mengurangi, mengeliminir, dan menghilangkan salah satu bentuk

KDRT secara berarti, sehingga terjadi proses kehidupan yang tenang

dan membahagiakan.

Menentukan pilihan model penanganan KDRT sesuai dengan

kondisi korban KDRT dan nilai-nilai yang ditetapkan dalam

keluarga, sehingga penyelesaiannya memiliki efektivitas yang

tinggi.

Membawa korban KDRT ke dokter atau konselor untuk segera

mendapatkan penanganan sejak dini, sehingga tidak terjadi luka dan

trauma psikis sampai serius.


Menyelesaikan kasus-kasus KDRT yang dilandasi dengan kasih

sayang dan keselamatan korban untuk masa depannya, sehingga

tidak menimbulkan rasa dendam bagi pelakunya.

Mendorong pelaku KDRT untuk sesegera mungkin melakukan

pertaubatan diri kepada Allah swt, akan kekeliruan dan kesalahan

dalam berbuat kekerasan dalam rumah tangga, sehingga dapat

menjamin rasa aman bagi semua anggota keluarga.

Pemerintah perlu terus bertindak cepat dan tegas terhadap setiap

praktek KDRT dengan mengacu pada UU tentang PKDRT, sehingga

tidak berdampak jelek bagi kehidupan masyarakat.

2.2. Visum et Repertum

2.2.1. Definisi

Visum et Repertum (VeR) atau biasa disingkat visum adalah keterangan

tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang

pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik hidup maupun mati

ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di

bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan (Ranoemihardja, 1981).

2.2.2. Dasar Hukum

Dasar hukum VeR adalah pasal 133 KUHAP yang menyebutkan :

1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang

korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa

yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan


keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau

ahli lainnya (Soeparmono, 2002).

2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas

untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan

bedah mayat (Soeparmono, 2002).

2.2.3. Prosedur

Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan

penyidik pembantu. Penyidik yang dimaksud adalah yang berjabat Polisi

Negara RI. Dokter yang menolak permintaan penyidik dapat dikenakan

sanksi hukum pidana sesuai dengan KUHP pasal 216, yang berbunyi :

Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang

dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi

sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi

kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula

barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau

menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan

pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling

banyak sembilan ribu rupiah.

Prosedur pemeriksaan pada visum tidak diatur secara khusus sehingga

dokter berhak menentukan jenis pemeriksaan apa saja yang akan dilakukan

sesuai dengan tanggung jawab profesi kedokteran. Apabila ditemukan

barang bukti berupa perlukaan atau akibat-akibat lain pada tubuh korban,

hal tersebut harus disalinkan ke dalam bentuk VeR. Meskipun dokter


memiliki kewajiban membuat VeR, korban hidup selaku pasien juga

memiliki hak untuk menolak pemeriksaan. Bila suatu pemeriksaan tidak

dapat dilakukan akibat penolakan atau tidak mungkin dilakukan, maka hal

ini seharusnya dituliskan dalam catatan medis, beserta pernyataan tertulis

dair pihak yang bersangkutan (Soeparmono, 2002).

Prosedur permintaan VeR tidak diatur secara rinci dalam KUHAP.

Dalam praktik sehari-hari, korban perlukaan akan langsung ke dokter baru

kemudian dilaporkan ke penyidik. Hal tersebut membawa kemungkinan

bahwa surat permintaan Visum et Repertum korban luka akan datang

terlambat dibandingkan dengan pemeriksaan korbannya. Sepanjang

keterlambatan tersebut masih cukup beralasan dan dapat diterima maka

keterlambatan itu tidak boleh dianggap sebagai hambatan pembuatan VeR

(Soeparmono, 2002).

2.2.4. Jenis Visum et Repertum

A. Orang hidup

VeR biasa (perlukaan)

VeR lanjutan

VeR sementara

B. Orang mati

VeR jenazah

2.2.5. Bagian VeR

Ada lima bagian dalam laporan VeR, yaitu :


Pro Justicia

Kata ini diletakkan di bagian atas untuk menjelaskan bahwa Visum et

Repertum dibuat untuk tujuan peradilan. VeR tidak memerlukan materai

untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti di depan sidang pengadilan

yang mempunyai kekuatan hukum (Afandi, 2010).

Pendahuluan

Kata pendahuluan sendiri tidak ditulis dalam VeR, melainkan langsung

dituliskan berupa kalimat - kalimat di bawah judul. Bagian ini

menerangkan penyidik berikut nomor dan tanggal, surat

permintaannya, tempat dan waktu pemeriksaan, serta identitas korban

yang diperiksa (Afandi, 2010).

Isi

Bagian ini berisi semua keterangan pemeriksaan. Temuan hasil

pemeriksaan medik bersifat rahasia dan yang tidak berhubungan

dengan perkaranya tidak dituangkan dalam bagian pemberitaan dan

dianggap tetap sebagai rahasia kedokteran (Afandi, 2010).

Kesimpulan

Bagian ini berisi kesimpulan dari pendapat dokter terhadap hasil

pemeriksaan (Afandi, 2010).

Penutup

Bagian ini berisikan kalimat baku "Demikianlah visum et repertum ini

saya buat dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan saya dan dengan

mengingat sumpah sesuai dengan kitab undang-undang hukum acara

pidana / KUHAP" (Afandi, 2010).


2.2.6. Aspek Medikolegal

Visum et Repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana

tertulis dalam pasal 184 KUHP. VeR turut berperan dalam proses

pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. VeR

menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang

di dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai

pengganti barang bukti (Afandi, 2010).

Visum et Repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter

mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian

kesimpulan. Dengan demikian Visum et Repertum secara utuh telah

menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan

membaca Visum et Repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah

terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-

norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa

manusia (Afandi, 2010).

Apabila VeR belum dapat menjernihkan duduk persoalan di sidang

pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya

bahan baru, seperti yang tercantum dalam KUHAP, yang memungkinkan

dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila

timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya

terhadap suatu hasil pemeriksaan. Hal itu sesuai dengan pasal 180 KUHAP

(Afandi, 2010).

Bagi penyidik (polisi / polisi militer) VeR berguna untuk

mengungkapkan perkara. Bagi Penuntut Umum (Jaksa) keterangan itu


berguna untuk menentukan pasal yang akan didakwakan, sedangkan bagi

hakim sebagai alat bukti formal untuk menjatuhkan pidana atau

membebaskan seseorang dari tuntutan hukum (Afandi, 2010).

Mengingat pentingnya peranan VeR dalam kaitannya dengan hukum,

perlu dibuat suatu Standar Prosedur Operasional (SPO) di suatu Rumah

Sakit tentang tatalaksana pengadaan VeR (Afandi, 2010).

2.2.7. Penentuan Derajat Luka

Derajat luka dalam Visum et Repertum dikategorikan sesuai dengan

deskripsi dalam pasal-pasal KUHP. Rumusan hukum tentang penganiayaan

ringan sebagaimana diatur dalam pasal 352 (1) KUHP menyatakan bahwa

penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk

menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian, dianggap sebagai

penganiayaan ringan. Jadi bila luka pada seorang korban diharapkan dapat

sembuh sempurna dan tidak menimbulkan penyakit atau komplikasinya,

maka luka tersebut dimasukkan ke dalam kategori tersebut (Afandi, 2010).

Selanjutnya rumusan hukum tentang penganiayaan (sedang)

sebagaimana diatur dalam pasal 351 (1) KUHP tidak menyatakan apapun

tentang penyakit. Sehingga bila dokter memeriksa seorang korban dan

didapati penyakit akibat kekerasan, maka korban dimasukkan ke dalam

kategori tersebut (Afandi, 2010).

Rumusan hukum tentang penganiayaan yang menimbulkan luka berat

diatur dalam pasal 351 (2) KUHP yang menyatakan: Jika perbuatan

mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana

penjara paling lama lima tahun (Afandi, 2010).


Sesuai dengan pasal 90 KUHP, yang dimaksud luka berat adalah :

Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan

sembuh sama sekali atau yang menimbulkan bahaya maut

Tidak mampu terus - menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau

pekerjaan pencarian

Kehilangan salah satu panca indera

Cacat berat

Sakit lumpuh

Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih

Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan

Anda mungkin juga menyukai