Anda di halaman 1dari 27

Asuhan Keperawatan Pada Klien KDRT

1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemukulan,
pemerkosaan, dan lain-lain) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan
penderitaan atau menyakiti orang lain, dan hingga batas tertentu tindakan menyakiti binatang
dapat dianggap sebagai kekerasan, tergantung pada situasi dan nilai-nilai sosial yang terkait
dengan kekejaman terhadap binatang (Gunawan Wibisono, 2009).
Undang-Undang PKDRT ini menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1).
Lebih jauh lagi Maggi Humm menjelaskan bahwa beberapa hal di bawah ini dapat
dikategorikan sebagai unsur atau indikasi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga
yaitu:
1. Setiap tindakan kekerasan baik secara verbal maupun fisik, baik berupa tindakan atau
perbuatan, atau ancaman pada nyawa.
2. Tindakan tersebut diarahkan kepada korban karena ia perempuan. Di sini terlihat
pengabaian dan sikap merendahkan perempuan sehingga pelaku menganggap wajar
melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan.
3. Tindakan kekerasan itu dapat berbentuk hinaan, perampasan kebebasan, dll.
4. Tindakan kekerasan tersebut dapat merugikan fisik maupun psikologis perempuan.
5. Tindakan kekerasan tersebut terjadi dalam lingkungan keluarga atau rumah tangga
(Gunawan Wibisono, 2009).
Kekerasan dalam rumah tangga adalah pola perilaku yang penuh penyerangan dan
pemaksaan, termasuk penyerangan secara fisik, seksual, dan psikologis, demikian pula

pemaksaan secara ekonomi yang digunakan oleh orang dewasa atau remaja terhadap
pasangan intim mereka dengan tujuan untuk mendapatkan kekuasaan dan kendali atas diri
mereka (Ichamor, 2009).
Tindakan kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga merupakan salah satu
bentuk kekerasan yang seringkali terjadi pada perempuan dan terjadi di balik
pintu tertutup.

Tindakan ini seringkali dikaitkan dengan penyiksaan baik fisik

maupun psikis yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan yang
dekat.

Tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga terjadi dikarenakan telah
diyakini bahwa masyarakat atau budaya yang mendominasi saat ini adalah
patriarkhi, dimana laki-laki adalah superior dan perempuan inferior sehingga lakilaki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan. Hal ini menjadikan
perempuan tersubordinasi. Di samping itu, terdapat interpretasi yang keliru
terhadap stereotipi jender yang tersosialisasi amat lama dimana perempuan
dianggap lemah, sedangkan laki-laki, umumnya lebih kuat. Sesuai dengan yang
dinyatakan oleh Sciortino dan Smyth, 1997; Suara APIK,1997, bahwa menguasai
atau memukul istri sebenarnya merupakan manifestasi dari sifat superior lakilaki terhadap perempuan.

Kecenderungan tindak kekerasan dalam rumah tangga terjadinya karena faktor


dukungan sosial dan kultur (budaya) dimana istri di persepsikan orang nomor
dua dan bisa diperlakukan dengan cara apa saja. Hal ini muncul karena
transformasi pengetahuan yang diperoleh dari masa lalu, istri harus nurut kata
suami, bila istri mendebat suami, dipukul. Kultur di masyarakat suami lebih

dominan pada istri, ada tindak kekerasan dalam rumah tangga dianggap
masalah privasi, masyarakat tidak boleh ikut campur (http://kompas.com).

2. Ruang Lingkup dan Macam-macam Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi (Pasal 2 ayat 1):
1. Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri).
2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
dimaksud karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan
perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan);
dan/atau
3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut (Pekerja Rumah Tangga).
Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tindak kekerasan istri dalam rumah
tangga dibedakan kedalam empat (4) macam yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikologis,
kekerasan seksual, kekerasan emosional (Kompas.com ,2007).
Selain itu macam-macam bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) juga
tercantum dalam Undang-Undang KDRT Pasal 5.
a. Kekerasan Fisik
Menurut Pasal 6 kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit atau luka berat.
Menurut Magetan,2010. Kekerasan Fisik adalah kekerasan yang pelakunya
melakukan penyerangan secara fisik atau menunjukkan perilaku agresif yang dapat
menyebabkan terjadinya memar hingga terjadinya pembunuhan. Tindakan ini
seringkali bermula dari kontak fisik yang dianggap sepele dan dapat dimaafkan yang
kemudian meningkat menjadi tindakan penyerangan yang lebih sering dan lebih
serius. Kekerasan fisik meliputi perilaku seperti mendorong, menolak, menampar,

merusak barang atau benda-benda berharga, meninggalkan pasangan di tempat yang


berbahaya, menolak untuk memberikan bantuan saat pasangan sakit atau terluka,
menyerang dengan senjata, dan sebagainya.

Berikut ini ada beberapa pembagian dari kekerasan fisik itu sendiri :
1)

Kekerasan Fisik Berat. Kekerasan ini berupa penganiayaan berat seperti

menendang, memukul, melakukan percobaan pembunuhan atau pembunuhan dan


semua perbuatan lain yang dapat mengakibatkan :
a)

Cedera berat

b)

Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari

c)

Pingsan

d)

Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau

yang menimbulkan bahaya mati

2)

e)

Kehilangan salah satu panca indera.

f)

Mendapat cacat.

g)

Menderita sakit lumpuh.

h)

Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih

i)

Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan

j)

Kematian korban.

Kekerasan Fisik Ringan. Kekerasan ini berupa menampar, menjambak,

mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan :


a)

Cedera ringan

b)

Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat .

b. Kekerasan psikologis atau emosional (Psikis)


Menurut pasal 7 kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Kekerasan psikologis atau emosional meliputi semua tindakan yang berdampak
pada kesehatan mental dan kesejahteraan pasangan, seperti: menghina, kritik yang terus
menerus, pelecehan, menyalahkan korban atas segala sesuatunya, terlalu cemburu atau
posesif, mengucilkan dari keluarga dan teman-teman, intimidasi dan penghinaan.
1)

Kekerasan Psikis Berat. Kekerasan ini berupa tindakan pengendalian, manipulasi,

eksploitasi, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi
social, tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina, ancaman kekerasan
fisik, seksual dan ekonomis, yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan
psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut :
a)

Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi

seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun.
b)

Gangguan stress pasca trauma.

c)

Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi

medis)
d)

Depresi berat atau destruksi diri

e)

Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti

skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya


f)

Bunuh diri (www.lbh-apik.or.id).

2)

Kekerasan Psikis Ringan. Kekerasan ini berupa tindakan pengendalian,

manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk


pelarangan, pemaksaan, dan isolasi social, tindakan dan atau ucapan yang
merendahkan atau menghina, ancaman kekerasan fisik yang masing-masingnya bisa
mengakibatkan penderitaan psikis ringan, berupa salah satu atau beberapa hal di
bawah ini :
a)

Ketakutan dan perasaan terteror

b)

Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk

bertindak
c)

Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual

d)

Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan pencernaan

tanpa indikasi medis)


e)

Fobia atau depresi temporer.

c. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual yaitu kekerasan yang penyerangannya secara fisik oleh
pelaku seringkali diikuti, atau diakhiri dengan kekerasan seksual dimana korban
dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan pelaku atau berpartisipasi dalam
suatu kegiatan seksual yang tidak diinginkannya, termasuk hubungan seks tanpa
pelindung.
1)
a)

Kekerasan Seksual Berat, berupa :


Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ

seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan
rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
b)

Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban

tidak menghendaki.

c)

Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan

atau menyakitkan.
d)

Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan

atau tujuan tertentu.


e)

Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi

ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.


f)

Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang

menimbulkan sakit, luka,atau cedera.


2)

Kekerasan Seksual Ringan. Kekerasan ini berupa pelecehan seksual secara

verbal seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau
secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya
yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan
dan atau menghina korban.
Kekerasan seksual menurut pasal 8 meliputi :

Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam

lingkup rumah tangga tersebut.

Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya

dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

d. Kekerasan Ekonomi
ekerasan ekonomi termasuk pasal 9 yang meliputi berbagai tindakan yang
dilakukan untuk mempertahankan kekuasaan dan kendali atas keuangan, seperti:
melarang pasangan mereka untuk mendapatkan atau tetap mempertahankan
pekerjaan, membuat pasangan mereka harus meminta uang untuk setiap pengeluaran,
membatasi akses pasangan mereka terhadap keuangan dan informasi akan keadaan
keuangan keluarga, dan mengendalikan keuangan pasangan.

1)

Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan

pengendalian lewat sarana ekonomi berupa :


a)

Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran.

b)

Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.

c)

Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban,

merampas dan atau memanipulasi harta benda korban.


2)

Kekerasan Ekonomi Ringan, Kekerasan ini berupa melakukan upaya-upaya

sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau
tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.

3.

Faktor-faktor yang mendorong terjadinya tindak Kekerasan Dalam Rumah


Tangga

Ada faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya
yang dilakukan oleh suami terhadap istri, yaitu :
a. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri.
Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruk sedemikian rupa
dalam keluarga dan kultur serta struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh
karena harus melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini menyebabkan
suami menjadi merasa berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya.
b. Ketergantungan ekonomi.
Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk menuruti
semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras
dilakukan kepadnya ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan
demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh
suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada istrinya.

c. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik.


Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun
kekecewaan karena tidak dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan
dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini
didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan rewel maka harus diperlakukan secara keras
agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering menggunakan
kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan problem rumah tangganya.
d. Persaingan.
Di sisi lain, perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan, pergaulan,
penguasaan ekonomi baik yang mereka alami sejak masih kuliah, di lingkungan kerja, dan
lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan
selanjutnya dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di satu sisi
suami tidak mau kalah, sementara di sisi lain istri juga tidak mau terbelakang dan dikekang.
e. Frustasi.
Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa frustasi tidak
bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi
pada pasangan-pasangan seperti dibawah ini :
1. Belum siap kawin.
2. Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan
rumah tangga.
3. Serba terbatas dalam kebebasan karena masih menumpang pada orang tua atau
mertua.
4. Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hokum.
Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak
terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi
laporan korban kepada aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya

kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya KUHAP membicarakan
mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi
pelapor atau saksi korban. Dalam proses sidang pengadilan, sangat minim kesempatan istri
untuk mengungkapkan kekerasan yang ia alami.

4. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Dalam hal ini banyak dampak yang ditimbulkan oleh kekerasan itu sendiri. Dampak
kekerasan dalam rumah tangga akan terjadi pada istri, anak, bahkan suami.
1. Dampak pada istri :
1. Perasaan rendah diri, malu dan pasif
2. Gangguan kesehatan mental seperti kecemasan yang berlebihan, susah makan
dan susah tidur
3. Mengalami sakit serius, luka parah dan cacat permanen
4. Gangguan kesehatan seksual
5. Menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan kekerasan
6. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya gairah
seks, karena istri menjadi ketakutan dan tidak bisa merespon secara normal
ajakan berhubungan seks
2. Dampak pada anak :
1. Mengembangkan prilaku agresif dan pendendam
2. Mimpi buruk, ketakutan, dan gangguan kesehatan
3. Kekerasan menimbulkan luka, cacat mental dan cacat fisik
3. Dampak pada suami :

1. Merasa rendah diri, pemalu, dan pesimis


2. Pendiam, cepat tersinggung, dan suka menyendiri
4. Dampak pada Organ Reproduksi Wanita
Perempuan terganggu kesehatan reproduksinya bila pada saat tidak hamil
mengalami gangguan menstruasi seperti menorhagia, hipomenohagia atau metrohagia
bahkan wanita dapat mengalami menopause lebih awal, dapat mengalami penurunan
libido, ketidakmampuan mendapatkan orgasme.
Diseluruh dunia satu diantara empat perempuan hamil yang mengalami
kekerasan fisik dan kekerasan seksual oleh pasangannya. Pada saat hamil, dapat
terjadi keguguran/abortus, persalinan immature, dan bayi meninggal dalam rahim.
Pada saat bersalin, perempuan akan mengalami penyulit persalinan seperti hilangnya
kontraksi uterus, persalinan lama, persalinan dengan alat bahkan pembedahan. Hasil
dari kehamilan dapat melahirkan bayi dengan BBLR. Terbelakang mental, bayi lahir
cacat fisik atau bayi lahir mati.
Dampak lain yang juga mempengaruhi kesehatan organ reproduksi istri dalam
rumah tangga diantaranya perubahan pola pikir, emosi dan ekonomi keluarga.
Dampak terhadap pola pikir istri misalnya tidak mampu berpikir secara jernih karena
selalu merasa takut, cenderung curiga (paranoid), sulit mengambil keputusan, tidak
bias percaya dengan apa yang terjadi. Istri yang menjadi korban kekerasan memiliki
masalah kesehatan fisik dan mental dua kali lebih besar dibandingkan yang tidak
menjadi korban termasuk tekanan mental, gangguan fisik, pusing, nyeri haid,
terinfeksi penyakit menular (www.depkes.go.id).
5. Dampak terhadap ekonomi keluarga adalah persoalan ekonomi, hal ini terjadi tidak
saja pada wanita yang tidak bekerja tetapi juga pada wanita yang bekerja atau mencari
nafkah. Seperti terputusnya akses mendadak , kehilangan kendali ekonomi rumah
tangga, biaya tak terduga untuk tempat tinggal, kepindahan, pengobatan, terapi serta
ongkos untuk kebutuhan yang lain.

BAB III
Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

1. Pengkajian

Kecemasan
o Perilaku : Gelisah, ketegangan fisik, tremor, gugup, bicara cepat, menarik diri
dari hubungan personal, mengahalangi, menarik diri dari hubungan
interpersonal, melarikan diri dari hubungan intrapersonal.
o Stresor Pecetus : Stesor penscetus mungkin berasal dari sumber internal dan
sumber eksternal. Stressor pencetus dibagi menjadi dua kategori. Kategori
pertama yaitu ancaman terhadap integritas seseorang meliputi
ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya kkapasitas
untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Katagori kedua yaitu ancaman
terhadap system diri seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri, dan
fungsi social yang terintegrasi seseorang.

o Mekanisme koping : Tingkat kecemasan seseorang dapat menimbulkan dua


mekanisme koping. Mekanisme yang pertama adalah mekanisme yang
berorientasi pada tugas yaitu upaya yang disadari, dan berorientasi pada
tindakan untuk memenuhi secara realistic tuntutan situasi stress(Perilaku
menyerang untuk mengatasi hambatan pemenuhan, perilaku menarik diri
secara fisik maupun psikologik untuk memindahkan sumber stress, perilaku
kompromi untuk mengubah tujuan). Mekanisme yang kedua adalah
mekanisme pertahan ego yang membantu mengatasi ansietas.
o Gangguan Tidur

Perilaku

Sumber koping : dukungan social dari keluarga, teman, dan pemberi


pelayanan juga merupakan sumber yang penting.

Mekanisme koping : represi perasaan, konflik, menyangkal masalah


psikologis.

Gangguan Seksual

Perilaku

Factor predisposisi

Faktoer pencetus

Mekanisme koping

2. Diagnosa Keperawatan

Kecemasan

Ansietas

Inefektif koping

Ketakutan

Gangguan Tidur
o Gangguan cerita tubuh
o Proses perubahan keluarga
o Gangguan pola tidur
o Kerusakan interaksi sosial
o Gangguan Seksual
o Gangguan citra tubuh
o Ketakutan
o Ketidakberdayaan
o Nyeri
o Gangguan harga diri
o Perubahan peforma peran
o Resiko terhadap kesepian
o Distress spiritual
o Kerusakan interaksi sosial

3. Identifikasi Hasil

Kecemasan

Pasien akan menunjukkan cara adaptif dalam mengatasi stress

Gangguan tidur
o Pasien akan mengekspresikan perasaannya secara verbal daripada melalui
perkembangan gejala-gejala fisik.
o Gangguan seksual

Pasien akan mencapai tingkat maksimal respons seksual yang adaptif


untuk meningkatkan atau mempertahankan kesehatan.

4. Perencanaan

Kecemasan
o Pasien harus mengembangkan kapasitasnya untuk mentoleransi ansietas.
o Gangguan tidur

Penyuluhan untuk pasien tentang strategi koping yang adaptif.

Gangguan seksual

Lakukan penyuluhan.

5. Implementasi

Kecemasan

Memecahkan masalah yang membuat pasien cemas

Gangguan tidur
o Memenuhi kebutuhan fisiologis pasien.

o Memenuhi kebutuhan dasar akan rasa aman dan keselamatan.


o Gangguan Seksual

Sebelum melakukan penyuluhan perawat harus memeriksa nilai dan


keyakinannya sendiri tentang pasien yang berperilaku seksual yang
mungkin berebda.

6. Evaluasi

Kecemasan
o Sudahkah ancaman terhadap integritas fisik atau system diri pasien berkurang
dalam sifat, jumlah, asal, atau waktunya?
o Apakah perilaku pasien menunjukkan ansietas?
o Sudahkah sumber koping pasien dikaji dan dikerahkan dengan adekuat?
o Apakah pasien menggunakan respon koping adaptif?
o Gangguan tidur

Sudahkah pola tidurnya telah normal kemabali?

Apakan kecemasan masih mengganggu tidur pasien?

Gangguan seksual

Apakah pengakajian keperawatan tentang seksualitas telah


lengkap, akurat, dan dilakukan secara professional?

Apakah pasien merasakan perbaikan selama perbaikan?

Apakah hubungan interpersonal pasien telah meningkat?

Apakah penyuluhan kesehatan tentang ekspresi seksual


telah dilakukan dengan benar?

Apakah perasaan perawat sendiri tentang seksual telah


digali semua pada pasien?

BAB IV
1. Undang-Undang KDRT
a. Undang-Undang PKDRT ini menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga
adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga (Pasal 1 ayat 1).

b. Menurut Pasal 6 kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit,
jatuh sakit atau luka berat.
c. Menurut pasal 7 kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
d. Menurut Suryasukma efek psikologis penganiyaan bagi banyak perempuan lebih
parah disbanding efek fisiknya. Rasa takut, cemas, letih, kelainan stress post
traumatic, serta gangguan makan dan tidur merupakan reaksi panjang dari tindak
kekerasan terhadap istri juga mengakibatkan kesehatan reproduksi terganggu secara
bilologis yang pada akhirnya terganggu secara sosiologis.

2. Issu tentang kekerasan dalam rumah tangga.


Isu penindasan terhadap wanita terus menerus menjadi perbincangan hangat. Salah satunya
adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perjuangan penghapusan KDRT nyaring
disuarakan organisasi, kelompok atau bahkan negara yang meratifikasi konvensi mengenai
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination
of All Form of Discrimination/CEDAW) melalui Undang-undang No 7 tahun 1984. Juga
berdasar Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dilahirkan PBB
tanggal 20 Desember 1993 dan telah di artifikasi oleh pemerintah Indonesia. Bahkan di
Indonesia telah disahkan Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Perjuangan penghapusan KDRT berangkat dari fakta banyaknya kasus KDRT yang terjadi
dengan korban mayoritas perempuan dan anak-anak. Hal ini berdasarkan sejumlah temuan
Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dari berbagai
organisasi penyedia layanan korban kekerasan.

Tanggal 22 September 2004 merupakan tanggal bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada
tanggal tersebut, perjuangan perempuan Indonesia, terutama yang tergabung dalam Jaringan
Advokasi Kebijakan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Jangka-PKTP), yang
merupakan gabungan LSM perempuan se-Indonesia, membuahkan hasil disahkannya RUU
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjadi UU.
Kelompok mencoba mengidentifikasikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga yaitu pertama faktor pembelaan atas kekuasaan laki-laki
dimana laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita,
sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita. Kedua, faktor Diskriminasi dan
pembatasan dibidang ekonomi, dimana diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi
perempuan untuk bekerja mengakibatkan perempuan (istri) ketergantungan terhadap suami,
dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan. Ketiga,
faktor beban pengasuhan anak dimana istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung
beban sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka
suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga. Keempat yaitu
faktor wanita sebagai anak-anak, dimana konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki
menurut hukum, mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan
segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan
sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib, Kelima
faktor orientasi peradilan pidana pada laki-laki, dimana posisi wanita sebagai istri di dalam
rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran
hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim
dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan
kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.

Penerapan sistem itu telah meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan asasi manusia. Dari sisi
ekonomi misalnya, sistem kapitalisme mengabaikan kesejahteraan seluruh umat manusia.
Sistem ekonomi kapitalistik menitikberatkan pertumbuhan dan bukan pemerataan.
Pembangunan negara yang diongkosi utang luar negeri, dan merajalelanya perilaku kolusi
dan korupsi pada semua lini pemerintahan, telah meremukkan sendi-sendi perekonomian
bangsa. Tak kurang 70% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Mereka
tidak mampu menghidupi diri secara layak karena negara mengabaikan pemenuhan
kebutuhan pokok mereka. Himpitan ekonomi inilah yang menjadi salah satu pemicu orang
berbuat nekat melakukan kejahatan, termasuk munculnya KDRT. Banyak kasus KDRT
menimpa keluarga miskin, dipicu ketidakpuasan dalam hal ekonomi.
Dari sisi hukum, ketiadaan sanksi yang tegas dan membuat jera pelaku telah melanggengkan
kekerasan atau kejahatan di masyarakat. Seperti pelaku pemerkosaan yang dihukum ringan,
pelaku perzinaan yang malah dibiarkan, dan lain lain. Dari sisi sosial-budaya, gaya hidup
hedonistik yang melahirkan perilaku permisif, kebebasan berperilaku dan seks bebas, telah
menumbuh-suburkan perilaku penyimpangan seksual seperti homoseksual, lesbianisme dan
hubungan seks disertai kekerasan.
Dari sisi pendidikan, menggejalanya kebodohan telah memicu ketidak-pahaman sebagian
masyarakat mengenai dampak-dampak kekerasan dan bagaimana seharusnya mereka
berperilaku santun. Ini akibat rendahnya kesadaran pemerintah dalam penanganan
pendidikan, sehingga kapitalisasi pendidikan hanya berpihak pada orang-orang berduit saja.
Lahirlah kebodohan secara sistematis pada masyarakat. dan kemerosotan pemikiran
masyarakat, sehingga perilakupun berada pada derajat sangat rendah.
Untuk persoalan

ini, dibutuhkan penerapan hukum yang menyeluruh oleh negara. Kalau

tidak akan terjadi ketimpangan. Sebagai contoh sulit untuk menghilangkan pelacuran, kalau

faktor ekonomi tidak diperbaiki. Sebab, tidak sedikit orang melacur karena persoalan
ekonomi. Kekerasaan dalam rumah tangga, kalau hanya dilihat dari istri harus mengabdi
kepada suami, pastilah timpang. Padahal dalam Islam, suami diwajibkan berbuat baik kepada
istri. Kekerasaan yang dilakukan oleh suami seperti menyakiti fisiknya bisa diberikan sanksi
diyat. Disinilah letak penting tegaknya hukum yang tegas dan menyeluruh.
Menurut pasal 11 UU PKDRT, pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan
kekerasan dalam rumah tangga dan menurut pasal 12 ayat (1) menyelenggarakan advokasi
dan sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi tanggung jawab
pemerintah. Namun, nyatanya, sosialisasi dan advokasi kekerasan dalam rumah tangga masih
minim. Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui apalagi memahami UU PKDRT,
bahkan di kalangan aparat penegak hukum masih timbul berbagai persepsi.
Sehubungan dengan banyaknya hal baru dalam UU PKDRT yang tidak ditemukan dalam UU
lain, seperti perlindungan sementara dan perintah perlindungan, juga adanya tindak pidana
berupa jenis kekerasan lain di luar kekerasan fisik, diperlukan pendidikan dan pelatihan yang
memadai bagi aparat penegak hukum dan pekerja sosial untuk menyamakan persepsi.
Di samping itu, diperlukan sosialisasi yang memadai bagi masyarakat luas, terutama bagi
para pihak yang berpotensi melakukan KDRT, sebagai upaya pencegahan. Bagi pihak yang
mungkin menjadi korban KDRT, sosialisasi perlu, agar bila terjadi KDRT, ia dapat
memperbaiki nasibnya karena telah mengetahui hak-haknya.
UU PKDRT perlu direvisi pada bagian-bagian yang rancu dan perlu penambahan jenis
kekerasan, seperti kekerasan ekonomi dan kekerasan sosial. Selain itu, diperlukan
harmonisasi peraturan perundang-undangan yang tidak sejalan dengan napas kesetaraan
gender, antara lain dengan merevisi UU Perkawinan, agar peraturan perundang-undangan

bisa saling mendukung dan tidak saling bertentangan, supaya UU PKDRT dapat dirasakan
efektivitasnya.
Penegakan hukum UU PKDRT tidak akan terlepas dari penegakan hukum pada umumnya.
Apabila negara tidak dapat menciptakan supremasi hukum, perlindungan yang diatur dalam
UU PKDRT hanya akan berupa law in book (teori) belaka, sedangkan dalam law in action
(praktik) akan sulit terwujud. Oleh karena itu, supremasi hukum harus ditegakkan.

3.

Implikasi keperawatan yang dapat diberikan untuk menolong kaum


perempuan dari tindak kekerasan dalam rumah tangga adalah :
a. Merekomendasikan tempat perlindungan seperti crisis center, shelter dan one stop
crisis center.

b. Memberikan pendampingan psikologis dan pelayanan pengobatan fisik korban. Disini


perawat dapat berperan dengan fokus meningkatkan harga diri korban, memfasilitasi
ekspresi perasaan korban, dan meningkatkan lingkungan sosial yang memungkinkan.
Perawat berperan penting dalam upaya membantu korban kekerasan diantaranya melalui
upaya pencegahan primer terdiri dari konseling keluarga, modifikasi lingkungan sosial
budaya dan pembinaan spiritual, upaya pencegahan sekunder dengan penerapan asuhan
keperawatan sesuai permasalah-an yang dihadapi klien, dan pencegaha tertier melalui
pelatihan/pendidikan, pem-bentukan dan proses kelompok serta pelayanan rehabilitasi.
c. Memberikan pendampingan hukum dalam acara peradilan.
d. Melatih kader-kader (LSM) untuk mampu menjadi pendampingan korban kekerasan.
e. Mengadakan pelatihan mengenai perlindungan pada korban tindak kekerasan dalam
rumah tangga sebagai bekal perawat untuk mendampingi korban.

A. KESIMPULAN
1. Tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan jenis kejahatan yang
kurang

mendapat

perhatian

dan

jangkauan

hukum

pidana.

Bentuk

kekerasannya dapat berupa kekerasan fisik, psikis, seksual, dan verbal serta
penelantaran rumah tangga.
2. Faktor yang mendorong terjadinya tindak kekerasan pada istri dalam rumah
tangga

yaitu

pembelaan

atas

kekuasaan

laki-laki,

diskriminasi

dan

pembatasan bidang ekonomi, beban pengasuhan anak, wanita sebagai anakanak, dan orientasi peradilan pidana pada laki-laki.
3. Dampak tindak kekerasan pada istri terhadap kesehatan reproduksi dapat
mempengaruhi psikologis ibu sehingga terjadi gangguan pada saat kehamilan
dan bersalin, serta setelah melahirkan dan bayi yang dilahirkan.
4. Implikasi keperawatan yang harus dilakukan adalah sesuai dengan peran
perawat

antara

lain

mesupport

secara

psikologis

korban,

melakukan

pendamping-an, melakukan perawatan fisik korban dan merekomendasikan


crisis women centre.
5. Fenomena gunung es KDRT mulai terungkap setelah undang-undang KDRT
tahun 2004 diberlakukan, dimana KDRT yang sebelumnya masalah privacy
manjadi masalah publik ditandai laporan kasus KDRT semakin meningkat
setiap tahunnya dan pelaku mendapat hukuman pidana walaupun saat ini
kultur Indonesia masih dominasi laki-laki.

DAFTAR PUSTAKA
Stuart, Gail Wiscarz. 1998. Buku Saku Kperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
http://nersjiwa.blogspot.com/2008_04_20_archive.html
http://kdrt.webs.com/pendahuluandefinisibent.htm
http://magetanonline.com/bentuk-bentuk-kdrt-kekerasan-dalam-rumah-tangga/
Abrar Ana Nadhya, Tamtari Wini (Ed) (2001). Konstruksi Seksualitas Antara Hak
dan Kekuasaan. Yogyakarta: UGM.

Dep. Kes. RI. (2003). Profil Kesehatan Reproduksi Indonesia 2003. Jakarta: Dep.
Kes. RI

__________. (2006). Sekilas Tentang Undang-undang Penghapusan Kekerasan


Dalam Rumah Tangga. Diambil pada tanggal 26 Oktober 2006 dari
http://www.depkes.co.id.

Hasbianto, Elli N.
Kehidupan

(1996).

Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Potret Muram

Perempuan Dalam Perkawinan, Makalah Disajikan pada Seminar Nasional


Perlindungan Perempuan dari pelecehan dan Kekerasan seksual. UGM
Yogyakarta, 6 November.

Komnas Perempuan (2002). Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia.


Jakarta: Ameepro.

Kompas. (2006). Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dipengaruhi Faktor Idiologi.


Diambil pada tanggal 26 oktober 2006 dari http://kompas.com.

Kompas. (2007). Kekerasan Rumah Tangga Bukan Lagi Urusan Suami Istri.
Diambil
pada tanggal 25 Maret 2007 dari http://kompas.com.

Monemi Kajsa Asling et.al. (2003). Violence Againts Women Increases The Risk
Of
Infant and Child Mortality: a case-referent Study in Niceragua. The
International Journal of Public Health, 81, (1), 10-18.

Rahman, Anita. (2006). Pemberdayaan PerempuanDikaitkan Dengan 12 Area of


Concerns (Issue Beijing, 1995). Tidak diterbitkan, Universitas Indonesia,
Jakarta, Indonesia.

Sciortino, Rosalia dan Ine Smyth. (1997). Harmoni: Pengingkaran Kekerasan


Domestik di Jawa. Jurnal Perempuan, Edisi: 3, Mei-Juni.

WHO. (2006). Menggunakan Hak Asasi Manusia Untuk Kesehatan Maternal dan
Neunatal: Alat untuk Memantapkan Hukum, Kebijakan, dan Standar
Pelayanan. Jakarta: Dep. Kes. RI.

____ . (2007). Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Bagi Wanita. Diambil
pada
tanggal 25 Maret 2007 dari www.depkes.go.id.

http://ichamor.blogspot.com/2009/11/apa-yang-dimaksud-dengan-kekerasan.htmlfikirjernih

DAFTAR PUSTAKA

__________. (2006). Sekilas Tentang Undang-undang Penghapusan Kekerasan


Dalam Rumah Tangga. Diambil pada tanggal 26 Oktober 2006 dari
http://www.depkes.co.id.

Komnas Perempuan (2002). Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia.


Jakarta: Ameepro. http://www.detik.com/

Kompas. (2006). Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dipengaruhi Faktor Idiologi.


Diambil pada tanggal 26 oktober 2006 dari http://kompas.com.

Kompas. (2007). Kekerasan Rumah Tangga Bukan Lagi Urusan Suami Istri.
Diambil
pada tanggal 25 Maret 2007 dari http://kompas.com.

Wikipedia. (2010). Kekerasan Dalam Rumah Tangga.


http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan

WHO. (2006). Menggunakan Hak Asasi Manusia Untuk Kesehatan Maternal dan
Neunatal: Alat untuk Memantapkan Hukum, Kebijakan, dan Standar
Pelayanan. Jakarta: Dep. Kes. RI. Dari www.depkes.go.id.

____ . (2007). Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Bagi Wanita. Diambil
pada
tanggal 25 Maret 2007 dari www.depkes.go.id.

Anda mungkin juga menyukai