pemaksaan secara ekonomi yang digunakan oleh orang dewasa atau remaja terhadap
pasangan intim mereka dengan tujuan untuk mendapatkan kekuasaan dan kendali atas diri
mereka (Ichamor, 2009).
Tindakan kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga merupakan salah satu
bentuk kekerasan yang seringkali terjadi pada perempuan dan terjadi di balik
pintu tertutup.
maupun psikis yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan yang
dekat.
Tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga terjadi dikarenakan telah
diyakini bahwa masyarakat atau budaya yang mendominasi saat ini adalah
patriarkhi, dimana laki-laki adalah superior dan perempuan inferior sehingga lakilaki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan. Hal ini menjadikan
perempuan tersubordinasi. Di samping itu, terdapat interpretasi yang keliru
terhadap stereotipi jender yang tersosialisasi amat lama dimana perempuan
dianggap lemah, sedangkan laki-laki, umumnya lebih kuat. Sesuai dengan yang
dinyatakan oleh Sciortino dan Smyth, 1997; Suara APIK,1997, bahwa menguasai
atau memukul istri sebenarnya merupakan manifestasi dari sifat superior lakilaki terhadap perempuan.
dominan pada istri, ada tindak kekerasan dalam rumah tangga dianggap
masalah privasi, masyarakat tidak boleh ikut campur (http://kompas.com).
Berikut ini ada beberapa pembagian dari kekerasan fisik itu sendiri :
1)
Cedera berat
b)
c)
Pingsan
d)
Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau
2)
e)
f)
Mendapat cacat.
g)
h)
i)
j)
Kematian korban.
Cedera ringan
b)
Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat .
eksploitasi, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi
social, tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina, ancaman kekerasan
fisik, seksual dan ekonomis, yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan
psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut :
a)
Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi
seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun.
b)
c)
Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi
medis)
d)
e)
2)
b)
Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak
c)
d)
c. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual yaitu kekerasan yang penyerangannya secara fisik oleh
pelaku seringkali diikuti, atau diakhiri dengan kekerasan seksual dimana korban
dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan pelaku atau berpartisipasi dalam
suatu kegiatan seksual yang tidak diinginkannya, termasuk hubungan seks tanpa
pelindung.
1)
a)
seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan
rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
b)
Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban
tidak menghendaki.
c)
atau menyakitkan.
d)
Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan
Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang
verbal seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau
secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya
yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan
dan atau menghina korban.
Kekerasan seksual menurut pasal 8 meliputi :
Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam
Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya
d. Kekerasan Ekonomi
ekerasan ekonomi termasuk pasal 9 yang meliputi berbagai tindakan yang
dilakukan untuk mempertahankan kekuasaan dan kendali atas keuangan, seperti:
melarang pasangan mereka untuk mendapatkan atau tetap mempertahankan
pekerjaan, membuat pasangan mereka harus meminta uang untuk setiap pengeluaran,
membatasi akses pasangan mereka terhadap keuangan dan informasi akan keadaan
keuangan keluarga, dan mengendalikan keuangan pasangan.
1)
b)
c)
sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau
tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
3.
Ada faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya
yang dilakukan oleh suami terhadap istri, yaitu :
a. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri.
Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruk sedemikian rupa
dalam keluarga dan kultur serta struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh
karena harus melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini menyebabkan
suami menjadi merasa berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya.
b. Ketergantungan ekonomi.
Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk menuruti
semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras
dilakukan kepadnya ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan
demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh
suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada istrinya.
kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya KUHAP membicarakan
mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi
pelapor atau saksi korban. Dalam proses sidang pengadilan, sangat minim kesempatan istri
untuk mengungkapkan kekerasan yang ia alami.
BAB III
Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
1. Pengkajian
Kecemasan
o Perilaku : Gelisah, ketegangan fisik, tremor, gugup, bicara cepat, menarik diri
dari hubungan personal, mengahalangi, menarik diri dari hubungan
interpersonal, melarikan diri dari hubungan intrapersonal.
o Stresor Pecetus : Stesor penscetus mungkin berasal dari sumber internal dan
sumber eksternal. Stressor pencetus dibagi menjadi dua kategori. Kategori
pertama yaitu ancaman terhadap integritas seseorang meliputi
ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya kkapasitas
untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Katagori kedua yaitu ancaman
terhadap system diri seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri, dan
fungsi social yang terintegrasi seseorang.
Perilaku
Gangguan Seksual
Perilaku
Factor predisposisi
Faktoer pencetus
Mekanisme koping
2. Diagnosa Keperawatan
Kecemasan
Ansietas
Inefektif koping
Ketakutan
Gangguan Tidur
o Gangguan cerita tubuh
o Proses perubahan keluarga
o Gangguan pola tidur
o Kerusakan interaksi sosial
o Gangguan Seksual
o Gangguan citra tubuh
o Ketakutan
o Ketidakberdayaan
o Nyeri
o Gangguan harga diri
o Perubahan peforma peran
o Resiko terhadap kesepian
o Distress spiritual
o Kerusakan interaksi sosial
3. Identifikasi Hasil
Kecemasan
Gangguan tidur
o Pasien akan mengekspresikan perasaannya secara verbal daripada melalui
perkembangan gejala-gejala fisik.
o Gangguan seksual
4. Perencanaan
Kecemasan
o Pasien harus mengembangkan kapasitasnya untuk mentoleransi ansietas.
o Gangguan tidur
Gangguan seksual
Lakukan penyuluhan.
5. Implementasi
Kecemasan
Gangguan tidur
o Memenuhi kebutuhan fisiologis pasien.
6. Evaluasi
Kecemasan
o Sudahkah ancaman terhadap integritas fisik atau system diri pasien berkurang
dalam sifat, jumlah, asal, atau waktunya?
o Apakah perilaku pasien menunjukkan ansietas?
o Sudahkah sumber koping pasien dikaji dan dikerahkan dengan adekuat?
o Apakah pasien menggunakan respon koping adaptif?
o Gangguan tidur
Gangguan seksual
BAB IV
1. Undang-Undang KDRT
a. Undang-Undang PKDRT ini menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga
adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga (Pasal 1 ayat 1).
b. Menurut Pasal 6 kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit,
jatuh sakit atau luka berat.
c. Menurut pasal 7 kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
d. Menurut Suryasukma efek psikologis penganiyaan bagi banyak perempuan lebih
parah disbanding efek fisiknya. Rasa takut, cemas, letih, kelainan stress post
traumatic, serta gangguan makan dan tidur merupakan reaksi panjang dari tindak
kekerasan terhadap istri juga mengakibatkan kesehatan reproduksi terganggu secara
bilologis yang pada akhirnya terganggu secara sosiologis.
Tanggal 22 September 2004 merupakan tanggal bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada
tanggal tersebut, perjuangan perempuan Indonesia, terutama yang tergabung dalam Jaringan
Advokasi Kebijakan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Jangka-PKTP), yang
merupakan gabungan LSM perempuan se-Indonesia, membuahkan hasil disahkannya RUU
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjadi UU.
Kelompok mencoba mengidentifikasikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga yaitu pertama faktor pembelaan atas kekuasaan laki-laki
dimana laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita,
sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita. Kedua, faktor Diskriminasi dan
pembatasan dibidang ekonomi, dimana diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi
perempuan untuk bekerja mengakibatkan perempuan (istri) ketergantungan terhadap suami,
dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan. Ketiga,
faktor beban pengasuhan anak dimana istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung
beban sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka
suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga. Keempat yaitu
faktor wanita sebagai anak-anak, dimana konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki
menurut hukum, mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan
segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan
sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib, Kelima
faktor orientasi peradilan pidana pada laki-laki, dimana posisi wanita sebagai istri di dalam
rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran
hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim
dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan
kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.
Penerapan sistem itu telah meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan asasi manusia. Dari sisi
ekonomi misalnya, sistem kapitalisme mengabaikan kesejahteraan seluruh umat manusia.
Sistem ekonomi kapitalistik menitikberatkan pertumbuhan dan bukan pemerataan.
Pembangunan negara yang diongkosi utang luar negeri, dan merajalelanya perilaku kolusi
dan korupsi pada semua lini pemerintahan, telah meremukkan sendi-sendi perekonomian
bangsa. Tak kurang 70% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Mereka
tidak mampu menghidupi diri secara layak karena negara mengabaikan pemenuhan
kebutuhan pokok mereka. Himpitan ekonomi inilah yang menjadi salah satu pemicu orang
berbuat nekat melakukan kejahatan, termasuk munculnya KDRT. Banyak kasus KDRT
menimpa keluarga miskin, dipicu ketidakpuasan dalam hal ekonomi.
Dari sisi hukum, ketiadaan sanksi yang tegas dan membuat jera pelaku telah melanggengkan
kekerasan atau kejahatan di masyarakat. Seperti pelaku pemerkosaan yang dihukum ringan,
pelaku perzinaan yang malah dibiarkan, dan lain lain. Dari sisi sosial-budaya, gaya hidup
hedonistik yang melahirkan perilaku permisif, kebebasan berperilaku dan seks bebas, telah
menumbuh-suburkan perilaku penyimpangan seksual seperti homoseksual, lesbianisme dan
hubungan seks disertai kekerasan.
Dari sisi pendidikan, menggejalanya kebodohan telah memicu ketidak-pahaman sebagian
masyarakat mengenai dampak-dampak kekerasan dan bagaimana seharusnya mereka
berperilaku santun. Ini akibat rendahnya kesadaran pemerintah dalam penanganan
pendidikan, sehingga kapitalisasi pendidikan hanya berpihak pada orang-orang berduit saja.
Lahirlah kebodohan secara sistematis pada masyarakat. dan kemerosotan pemikiran
masyarakat, sehingga perilakupun berada pada derajat sangat rendah.
Untuk persoalan
tidak akan terjadi ketimpangan. Sebagai contoh sulit untuk menghilangkan pelacuran, kalau
faktor ekonomi tidak diperbaiki. Sebab, tidak sedikit orang melacur karena persoalan
ekonomi. Kekerasaan dalam rumah tangga, kalau hanya dilihat dari istri harus mengabdi
kepada suami, pastilah timpang. Padahal dalam Islam, suami diwajibkan berbuat baik kepada
istri. Kekerasaan yang dilakukan oleh suami seperti menyakiti fisiknya bisa diberikan sanksi
diyat. Disinilah letak penting tegaknya hukum yang tegas dan menyeluruh.
Menurut pasal 11 UU PKDRT, pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan
kekerasan dalam rumah tangga dan menurut pasal 12 ayat (1) menyelenggarakan advokasi
dan sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi tanggung jawab
pemerintah. Namun, nyatanya, sosialisasi dan advokasi kekerasan dalam rumah tangga masih
minim. Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui apalagi memahami UU PKDRT,
bahkan di kalangan aparat penegak hukum masih timbul berbagai persepsi.
Sehubungan dengan banyaknya hal baru dalam UU PKDRT yang tidak ditemukan dalam UU
lain, seperti perlindungan sementara dan perintah perlindungan, juga adanya tindak pidana
berupa jenis kekerasan lain di luar kekerasan fisik, diperlukan pendidikan dan pelatihan yang
memadai bagi aparat penegak hukum dan pekerja sosial untuk menyamakan persepsi.
Di samping itu, diperlukan sosialisasi yang memadai bagi masyarakat luas, terutama bagi
para pihak yang berpotensi melakukan KDRT, sebagai upaya pencegahan. Bagi pihak yang
mungkin menjadi korban KDRT, sosialisasi perlu, agar bila terjadi KDRT, ia dapat
memperbaiki nasibnya karena telah mengetahui hak-haknya.
UU PKDRT perlu direvisi pada bagian-bagian yang rancu dan perlu penambahan jenis
kekerasan, seperti kekerasan ekonomi dan kekerasan sosial. Selain itu, diperlukan
harmonisasi peraturan perundang-undangan yang tidak sejalan dengan napas kesetaraan
gender, antara lain dengan merevisi UU Perkawinan, agar peraturan perundang-undangan
bisa saling mendukung dan tidak saling bertentangan, supaya UU PKDRT dapat dirasakan
efektivitasnya.
Penegakan hukum UU PKDRT tidak akan terlepas dari penegakan hukum pada umumnya.
Apabila negara tidak dapat menciptakan supremasi hukum, perlindungan yang diatur dalam
UU PKDRT hanya akan berupa law in book (teori) belaka, sedangkan dalam law in action
(praktik) akan sulit terwujud. Oleh karena itu, supremasi hukum harus ditegakkan.
3.
A. KESIMPULAN
1. Tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan jenis kejahatan yang
kurang
mendapat
perhatian
dan
jangkauan
hukum
pidana.
Bentuk
kekerasannya dapat berupa kekerasan fisik, psikis, seksual, dan verbal serta
penelantaran rumah tangga.
2. Faktor yang mendorong terjadinya tindak kekerasan pada istri dalam rumah
tangga
yaitu
pembelaan
atas
kekuasaan
laki-laki,
diskriminasi
dan
pembatasan bidang ekonomi, beban pengasuhan anak, wanita sebagai anakanak, dan orientasi peradilan pidana pada laki-laki.
3. Dampak tindak kekerasan pada istri terhadap kesehatan reproduksi dapat
mempengaruhi psikologis ibu sehingga terjadi gangguan pada saat kehamilan
dan bersalin, serta setelah melahirkan dan bayi yang dilahirkan.
4. Implikasi keperawatan yang harus dilakukan adalah sesuai dengan peran
perawat
antara
lain
mesupport
secara
psikologis
korban,
melakukan
DAFTAR PUSTAKA
Stuart, Gail Wiscarz. 1998. Buku Saku Kperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.
http://nersjiwa.blogspot.com/2008_04_20_archive.html
http://kdrt.webs.com/pendahuluandefinisibent.htm
http://magetanonline.com/bentuk-bentuk-kdrt-kekerasan-dalam-rumah-tangga/
Abrar Ana Nadhya, Tamtari Wini (Ed) (2001). Konstruksi Seksualitas Antara Hak
dan Kekuasaan. Yogyakarta: UGM.
Dep. Kes. RI. (2003). Profil Kesehatan Reproduksi Indonesia 2003. Jakarta: Dep.
Kes. RI
Hasbianto, Elli N.
Kehidupan
(1996).
Potret Muram
Kompas. (2007). Kekerasan Rumah Tangga Bukan Lagi Urusan Suami Istri.
Diambil
pada tanggal 25 Maret 2007 dari http://kompas.com.
Monemi Kajsa Asling et.al. (2003). Violence Againts Women Increases The Risk
Of
Infant and Child Mortality: a case-referent Study in Niceragua. The
International Journal of Public Health, 81, (1), 10-18.
WHO. (2006). Menggunakan Hak Asasi Manusia Untuk Kesehatan Maternal dan
Neunatal: Alat untuk Memantapkan Hukum, Kebijakan, dan Standar
Pelayanan. Jakarta: Dep. Kes. RI.
____ . (2007). Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Bagi Wanita. Diambil
pada
tanggal 25 Maret 2007 dari www.depkes.go.id.
http://ichamor.blogspot.com/2009/11/apa-yang-dimaksud-dengan-kekerasan.htmlfikirjernih
DAFTAR PUSTAKA
Kompas. (2007). Kekerasan Rumah Tangga Bukan Lagi Urusan Suami Istri.
Diambil
pada tanggal 25 Maret 2007 dari http://kompas.com.
WHO. (2006). Menggunakan Hak Asasi Manusia Untuk Kesehatan Maternal dan
Neunatal: Alat untuk Memantapkan Hukum, Kebijakan, dan Standar
Pelayanan. Jakarta: Dep. Kes. RI. Dari www.depkes.go.id.
____ . (2007). Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Bagi Wanita. Diambil
pada
tanggal 25 Maret 2007 dari www.depkes.go.id.