Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KORBAN


KDRT

KELOMPOK III:

1. TONI ABDUL HAKIM


2. NOVIANTRI
3. DESSY PERSITTA SARI
4. NOR HALIMAH

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


MUHAMMADIYAH KUDUS
2018
BAB I
PENDAHULUAN
 

A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini, kasus kekerasan (termasuk pembunuhan) dalam
rumah tangga di Indonesia cenderung meningkat. Di dalam rumah
tangga, ketegangan maupun konflik merupakan hal yang biasa. Namun,
apabila ketegangan itu berbuah kekerasan, seperti: menampar,
menendang, memaki, menganiaya dan lain sebagainya, ini adalah hal
yang tidak biasa. Hal itulah yang sering disebut dengan  KDRT
(Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT) dlm UU N0. 23/2004 pasal 1 adalah perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya penderitaan
fisik, seksual, psikologis, penelantaran rumah tangga, ancaman,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam rumah tangga.
Pada tanggal 14 September 2004 telah disahkan Undang-Undang
No. 23 tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (PKDRT) yang terdiri dari 10 bab dan 56 pasal, yang diharapkan
dapat menjadi payung perlindungan hukum bagi anggota dalam rumah
tangga, khususnya perempuan, dari segala tindak kekerasan.

B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Agar mampu memahami secara menyeluruh tentang tindakan
kekerasan pada istri dalam rumah tangga.
2. Agar mahasiswa dapat mengidentifikasi bentuk serta factor-faktor
yang menyebabkan terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT).
3. Dapat mengimplikasikan dan mengetahui bagaimana proses
asuhan keperawatan dalam masalah kekerasan rumah tangga.
 
 
 
 
 
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan,
pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang menyebabkan atau
dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain,
dan hingga batas tertentu tindakan menyakiti binatang dapat dianggap
sebagai kekerasan, tergantung pada situasi dan nilai-nilai sosial yang terkait
dengan kekejaman terhadap binatang (Gunawan Wibisono, 2009).
Undang-Undang PKDRT ini menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah
Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1).
Menurut WHO (WHO, 1999), kekerasan adalah penggunaan kekuatan
fisik dan kekuasaan,  ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri,
perorangan  atau sekelompok orang  atau masyarakat yang mengakibatkan
atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian
psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan kekerasan verbal
maupun fisik, pemaksaan atau ancaman pada nyawa yang dirasakan pada
seorang perempuan, apakah masih anak-anak atau sudah dewasa, yang
menyebabkan kerugian fisik atau psikologis, penghinaan atau perampasan
kebebasan dan yang melanggengkan subordinasi perempuan (Citra Dewi
Saputra, 2009).
Adapun pengertian kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana
tertuang dalam rumusan pasal 1 Deklarasi Penghapusan Tindakan
Kekerasan terhadap Perempuan (istri) PBB dapat disarikan sebagai setiap
tindakan berdasarkan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau
penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk
ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan secara sewenang-
wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi
(Citra Dewi Saputra, 2009).
Lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa kekerasan terhadap
perempuan dalam rumah tangga terutama digunakan untuk mengontrol
seksualitas perempuan dan peran reproduksi mereka. Hal ini sebagaimana
biasa terjadi dalam hubungan seksual antara suami dan istri di mana suami
adalah pihak yang membutuhkan dan harus dipenuhi kebutuhannya, dan hal
ini tidak terjadi sebaliknya. Lebih jauh lagi Maggi Humm menjelaskan bahwa
beberapa hal di bawah ini dapat dikategorikan sebagai unsur atau indikasi
kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yaitu:
1. Setiap tindakan kekerasan baik secara verbal maupun fisik, baik
berupa tindakan atau perbuatan, atau ancaman pada nyawa.
2. Tindakan tersebut diarahkan kepada korban karena ia perempuan.
Di sini terlihat pengabaian dan sikap merendahkan perempuan
sehingga pelaku menganggap wajar melakukan tindakan kekerasan
terhadap perempuan.
3. Tindakan kekerasan itu dapat berbentuk hinaan, perampasan
kebebasan, dll.
4. Tindakan kekerasan tersebut dapat merugikan fisik maupun
psikologis perempuan.
5. Tindakan kekerasan tersebut terjadi dalam lingkungan keluarga atau
rumah tangga (Gunawan Wibisono, 2009).
Kekerasan dalam rumah tangga adalah pola perilaku yang penuh
penyerangan dan pemaksaan, termasuk penyerangan secara fisik, seksual,
dan psikologis, demikian pula pemaksaan secara ekonomi yang digunakan
oleh orang dewasa atau remaja terhadap pasangan intim mereka dengan
tujuan untuk mendapatkan kekuasaan dan kendali atas diri mereka (Ichamor,
2009).
B. Ruang Lingkup dan Macam-macam Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi ( Pasal 2
ayat1):
1. Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri).
2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud karena hubungan darah, perkawinan,
persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah
tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau
3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga).
Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tindak kekerasan istri dalam
rumah tangga dibedakan kedalam empat (4) macam yaitu kekerasan fisik,
kekerasan psikologis, kekerasan seksual, kekerasan
emosional (Kompas.com ,2007).

C. Macam-macam bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) juga


tercantum dalam Undang-Undang KDRT Pasal 5.
1. Kekerasan Fisik
Menurut Pasal 6 kekerasan fisik adalah perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.
Menurut Magetan,2010. Kekerasan Fisik adalah kekerasan yang
pelakunya melakukan penyerangan secara fisik atau menunjukkan
perilaku agresif yang dapat menyebabkan terjadinya memar hingga
terjadinya pembunuhan. Tindakan ini seringkali bermula dari kontak fisik
yang dianggap sepele dan dapat dimaafkan yang kemudian meningkat
menjadi tindakan penyerangan yang lebih sering dan lebih serius.
Kekerasan fisik meliputi perilaku seperti mendorong, menolak,
menampar, merusak barang atau benda-benda berharga, meninggalkan
pasangan di tempat yang berbahaya, menolak untuk memberikan
bantuan saat pasangan sakit atau terluka, menyerang dengan senjata,
dan sebagainya. Berikut ini ada beberapa pembagian dari kekerasan fisik
itu sendiri :
a. Kekerasan Fisik Berat.
Kekerasan ini berupa penganiayaan berat  seperti menendang,
memukul, melakukan percobaan pembunuhan atau pembunuhan dan
semua perbuatan lain yang dapat mengakibatkan :
Cedera berat
1) Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari
2) Pingsan
3) Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit
disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati
4) Kehilangan salah satu panca indera.
5) Mendapat cacat.
6) Menderita sakit lumpuh.
7) Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih
8) Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan
9) Kematian korban.
b. Kekerasan Fisik Ringan. Kekerasan ini berupa menampar,
menjambak, mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan:
1) Cedera ringan
2) Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat .

2. Kekerasan psikologis atau emosional (Psikis)


Menurut pasal 7 kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada
seseorang.
Kekerasan psikologis atau emosional meliputi semua tindakan yang
berdampak pada kesehatan mental dan kesejahteraan pasangan, seperti:
menghina, kritik yang terus menerus, pelecehan, menyalahkan korban atas
segala sesuatunya, terlalu cemburu atau posesif, mengucilkan dari keluarga
dan teman-teman, intimidasi dan penghinaan.
a. Kekerasan Psikis Berat. Kekerasan ini berupa tindakan pengendalian,
manipulasi, eksploitasi, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk
pelarangan, pemaksaan dan isolasi social, tindakan dan atau ucapan yang
merendahkan atau menghina, ancaman kekerasan fisik, seksual dan
ekonomis, yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan
psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut :
1) Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau
disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau
menahun.
2) Gangguan stress pasca trauma.
3) Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa
indikasi medis)
4) Depresi berat atau destruksi diri
5) Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti
skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya
6) Bunuh diri (www.lbh-apik.or.id).
b. Kekerasan Psikis Ringan. Kekerasan ini berupa tindakan pengendalian,
manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan,
dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan isolasi social, tindakan dan
atau ucapan yang merendahkan atau menghina, ancaman kekerasan
fisik yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis
ringan, berupa salah satu atau beberapa hal di bawah ini :
1) Ketakutan dan perasaan terteror
2) Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak
3) Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual
4) Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan
pencernaan tanpa indikasi medis)
5) Fobia atau depresi temporer.
 
3. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual yaitu kekerasan yang penyerangannya secara fisik oleh
pelaku seringkali diikuti, atau diakhiri dengan kekerasan seksual dimana
korban dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan pelaku atau
berpartisipasi dalam suatu kegiatan seksual yang tidak diinginkannya,
termasuk hubungan seks tanpa pelindung.
a. Kekerasan Seksual Berat, berupa :
1) Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh
organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan
lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa
dikendalikan.
2) Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada
saat korban tidak menghendaki.
3) Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai,
merendahkan dan  atau menyakitkan.
4) Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan
pelacuran dan atau tujuan tertentu.
5) Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi
ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.
6) Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan
alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.
b. Kekerasan Seksual Ringan. Kekerasan ini berupa pelecehan seksual
secara verbal seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan
julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan
tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang
tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban.
      Kekerasan seksual menurut pasal 8 meliputi :
1) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
2) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam
lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu.
 
 
4. Kekerasan Ekonomi
Kekerasan ekonomi termasuk pasal 9  yang meliputi berbagai tindakan
yang dilakukan untuk mempertahankan kekuasaan dan kendali atas
keuangan, seperti: melarang pasangan mereka untuk mendapatkan atau
tetap mempertahankan pekerjaan, membuat pasangan mereka harus
meminta uang untuk setiap pengeluaran, membatasi akses pasangan
mereka terhadap keuangan dan informasi akan keadaan keuangan
keluarga, dan mengendalikan keuangan pasangan.
a. Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan
pengendalian lewat sarana ekonomi berupa :
1. Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk
pelacuran.
2. Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
3. Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban,
merampas dan atau memanipulasi harta benda korban.
b. Kekerasan Ekonomi Ringan, Kekerasan ini berupa melakukan upaya-
upaya sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya
secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
 
D. Faktor-faktor yang mendorong terjadinya tindak Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
Ada faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah
tangga khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri, yaitu :
1. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan
istri.
Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah
terkonstruk sedemikian rupa dalam keluarga dan kultur serta struktur
masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh karena harus
melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini
menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan akhirnya bersikap
sewenang-wenang terhadap istrinya.
2. Ketergantungan ekonomi.
Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami
memaksa istri untuk menuruti semua keinginan suami meskipun ia
merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan
kepadnya ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan
pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-
anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-
wenang kepada istrinya.
3. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaiakan konflik.
Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan
dalam rumah tangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai
pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena tidak
dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan
dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak
melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika
perempuan rewel maka harus diperlakukan secara keras agar ia
menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering
menggunakan kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan problem
rumah tangganya.
4. Persaingan.
Di sisi lain, perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal
pendidikan, pergaulan, penguasaan ekonomi baik yang mereka alami
sejak masih kuliah, di lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat di
mana mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan selanjutnya
dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Bahwa di satu sisi suami tidak mau kalah, sementara di sisi lain istri
juga tidak mau terbelakang dan dikekang.
5. Frustasi.
Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya
karena merasa frustasi tidak bisa melakukan sesuatu yang
semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada
pasangan-pasangan seperti dibawah ini :
A. Belum siap kawin.
B. Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang
mencukupi kebutuhan rumah tangga.
C. Serba terbatas dalam kebebasan karena masih menumpang pada
orang tua atau mertua.
D. Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hokum.
Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam
rumah tangga tidak terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban suami
istri. Hal ini penting karena bisa jadi laporan korban kepada aparat hukum
dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya kesalahpahaman
dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya KUHAP membicarakan
mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban, karena posisi dia
hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Dalam proses sidang
pengadilan, sangat minim kesempatan istri untuk mengungkapkan
kekerasan yang ia alami.
 
E. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Dalam hal ini banyak dampak yang ditimbulkan oleh kekerasan itu sendiri.
Dampak kekerasan dalam rumah tangga akan terjadi pada istri, anak,
bahkan suami.
1. Dampak  pada istri :
a. Perasaan rendah diri, malu dan pasif
b. Gangguan kesehatan mental seperti kecemasan yang
berlebihan, susah makan dan susah tidur
c. Mengalami sakit serius, luka parah dan cacat permanen
d. Gangguan kesehatan seksual
e. Menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat
tindakan kekerasan
f. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan
hilangnya gairah seks, karena istri menjadi ketakutan dan tidak bisa
merespon secara normal ajakan berhubungan seks
2. Dampak pada anak :
a. Mengembangkan prilaku agresif dan pendendam
b. Mimpi buruk, ketakutan, dan gangguan kesehatan
c. Kekerasan menimbulkan luka, cacat mental dan cacat fisik
3. Dampak pada suami :
a. Merasa rendah diri, pemalu, dan pesimis
b. Pendiam, cepat tersinggung, dan suka menyendiri
Selain itu menurut Suryasukma efek psikologis penganiyaan bagi
banyak perempuan lebih parah disbanding efek fisiknya. Rasa takut,
cemas, letih, kelainan stress post traumatic, serta gangguan makan dan
tidur merupakan reaksi panjang dari tindak kekerasan terhadap istri juga
mengakibatkan kesehatan reproduksi terganggu secara bilologis yang
pada akhirnya terganggu secara sosiologis. Istri yang teraniaya sering
mengisolasi diri dan menarik diri karena berusaha menyembunyikan bukti
penganiyaan mereka.
Perempuan terganggu kesehatan reproduksinya bila pada saat tidak
hamil mengalami gangguan menstruasi seperti menorhagia,
hipomenohagia atau metrohagia bahkan wanita dapat mengalami
menopause lebih awal, dapat mengalami penurunan libido,
ketidakmampuan mendapatkan orgasme.
Diseluruh dunia satu diantara empat perempuan hamil yang
mengalami kekerasan fisik dan kekerasan seksual oleh pasangannya.
Pada saat hamil, dapat terjadi keguguran/abortus, persalinan immature,
dan bayi meninggal dalam rahim. Pada saat bersalin, perempuan akan
mengalami penyulit persalinan seperti hilangnya kontraksi uterus,
persalinan lama, persalinan dengan alat bahkan pembedahan. Hasil dari
kehamilan dapat melahirkan bayi dengan BBLR. Terbelakang mental,
bayi lahir cacat fisik atau bayi lahir mati.
Dampak lain yang juga mempengaruhi kesehatan organ reproduksi
istri dalam rumah tangga diantaranya perubahan pola pikir, emosi dan
ekonomi keluarga. Dampak terhadap pola pikir istri misalnya tidak mampu
berpikir secara jernih karena selalu merasa takut, cenderung curiga
(paranoid), sulit mengambil keputusan, tidak bias percaya dengan apa
yang terjadi. Istri yang menjadi korban kekerasan memiliki masalah
kesehatan fisik dan mental dua kali lebih besar dibandingkan yang tidak
menjadi korban termasuk tekanan mental, gangguan fisik, pusing, nyeri
haid, terinfeksi penyakit menular (www.depkes.go.id).
Dampak terhadap ekonomi keluarga adalah persoalan ekonomi, hal
ini terjadi tidak saja pada wanita yang tidak bekerja tetapi juga pada
wanita yang bekerja atau mencari nafkah. Seperti terputusnya akses
mendadak , kehilangan kendali ekonomi rumah tangga, biaya tak terduga
untuk tempat tinggal, kepindahan, pengobatan, terapi serta ongkos untuk
kebutuhan yang lain.
A. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga
1. Pengkajian
 Kecemasan
o Perilaku : Gelisah, ketegangan fisik, tremor, gugup, bicara
cepat, menarik diri dari hubungan personal, mengahalangi,  menarik
diri dari  hubungan interpersonal, melarikan diri dari hubungan
intrapersonal.
o Stresor Pecetus : Stesor penscetus mungkin berasal dari
sumber internal dan sumber eksternal. Stressor pencetus dibagi
menjadi dua  kategori. Kategori pertama yaitu ancaman terhadap
integritas seseorang meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan
datang atau menurunnya kkapasitas untuk melakukan aktivitas
hidup sehari-hari. Katagori kedua yaitu ancaman terhadap system
diri seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri, dan
fungsi social yang terintegrasi seseorang.
o Mekanisme koping : Tingkat kecemasan seseorang dapat
menimbulkan dua mekanisme koping. Mekanisme yang pertama
adalah mekanisme yang berorientasi pada tugas yaitu upaya yang
disadari, dan berorientasi pada tindakan untuk memenuhi secara
realistic tuntutan situasi stress(Perilaku menyerang untuk mengatasi
hambatan pemenuhan, perilaku menarik diri secara fisik maupun
psikologik untuk memindahkan sumber stress, perilaku kompromi
untuk mengubah tujuan). Mekanisme yang kedua adalah
mekanisme pertahan ego yang membantu mengatasi ansietas.
o Gangguan Tidur
 Perilaku
 Sumber koping : dukungan social dari keluarga, teman,
dan pemberi pelayanan juga merupakan sumber yang penting.
 Mekanisme koping : represi perasaan, konflik,
menyangkal masalah psikologis.
 Gangguan Seksual
 Perilaku
 Factor predisposisi
 Faktoer pencetus
 Mekanisme koping
 
1. Diagnosa Keperawatan
 Kecemasan
 Ansietas
 Inefektif koping
 Ketakutan
 Gangguan Tidur
o Gangguan cerita tubuh
o Proses perubahan keluarga
o Gangguan pola tidur
o Kerusakan interaksi sosial
o Gangguan Seksual
o Gangguan citra tubuh
o Ketakutan
o Ketidakberdayaan
o Nyeri
o Gangguan harga diri
o Perubahan peforma peran
o Resiko terhadap kesepian
o Distress spiritual
o Kerusakan interaksi sosial
1. Identifikasi Hasil
 Kecemasan
 Pasien akan menunjukkan cara adaptif dalam mengatasi stress
 Gangguan tidur
o Pasien akan mengekspresikan perasaannya secara verbal
daripada melalui perkembangan gejala-gejala fisik.
o Gangguan seksual
 Pasien akan mencapai tingkat maksimal respons
seksual yang adaptif untuk meningkatkan atau
mempertahankan kesehatan.
1. Perencanaan
 Kecemasan
o Pasien harus mengembangkan kapasitasnya untuk
mentoleransi ansietas.
o Gangguan tidur
 Penyuluhan untuk pasien tentang strategi koping yang
adaptif.
 Gangguan seksual
 Lakukan penyuluhan.
1. Implementasi
 Kecemasan
 Memecahkan masalah yang membuat pasien cemas
 Gangguan tidur
o Memenuhi kebutuhan fisiologis pasien.
o Memenuhi kebutuhan dasar akan rasa aman dan keselamatan.
o Gangguan Seksual
 Sebelum melakukan penyuluhan perawat harus
memeriksa nilai dan keyakinannya sendiri tentang pasien yang
berperilaku seksual yang mungkin berebda.
1. Evaluasi
 Kecemasan
o Sudahkah ancaman terhadap integritas fisik atau system diri
pasien berkurang dalam sifat, jumlah, asal, atau waktunya?
o Apakah perilaku pasien menunjukkan ansietas?
o Sudahkah sumber koping pasien dikaji dan dikerahkan dengan
adekuat?
o Apakah pasien menggunakan respon koping adaptif?
o Gangguan tidur
 Sudahkah pola tidurnya telah normal kemabali?
 Apakan kecemasan masih mengganggu tidur pasien?
 Gangguan seksual
 Apakah pengakajian keperawatan tentang
seksualitas telah lengkap, akurat, dan dilakukan secara
professional?
 Apakah pasien merasakan perbaikan selama
perbaikan?
 Apakah hubungan interpersonal pasien telah
meningkat?
 Apakah penyuluhan kesehatan tentang
ekspresi seksual telah dilakukan dengan benar?
 Apakah perasaan perawat sendiri tentang
seksual telah digali semua pada pasien?
BAB III
PENUTUP
 

A. Kesimpulan
1. Undang-Undang PKDRT ini menyebutkan bahwa Kekerasan dalam
Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1).
2. Menurut Pasal 6 kekerasan fisik adalah perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.
3. Menurut pasal 7 kekerasan psikis adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang.
4. Menurut Suryasukma efek psikologis penganiyaan bagi banyak
perempuan lebih parah disbanding efek fisiknya. Rasa takut,
cemas, letih, kelainan stress post traumatic, serta gangguan makan
dan tidur merupakan reaksi panjang dari tindak kekerasan terhadap
istri juga mengakibatkan kesehatan reproduksi terganggu secara
bilologis yang pada akhirnya terganggu secara sosiologis.
 

Anda mungkin juga menyukai