sungguh membuat anak-anak menjadi trauma dsalam hidupnya, sehingga mereka tidak
merasa nyaman dan aman.
Kedua, kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7). Adapun tindakan
kekerasan psikis dapat ditunjukkan dengan perilaku yang mengintimidasi dan
menyiksa, memberikan ancaman kekerasan, mengurung di rumah, penjagaan yang
berlebihan, ancaman untuk melepaskan penjagaan anaknya, pemisahan, mencaci maki,
dan penghinaan secara terus menerus.
Ketiga, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan
hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau
tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual meliputi (pasal 8): (a) Pemaksaan
hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah
tangga tersebut; (b) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam
lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan
tertentu.
Keempat, penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan
orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya
atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan,
atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi
setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga
korban berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9). Penelantaran rumah tangga
dapat dikatakan dengan kekerasan ekonomik yang dapat diindikasikan dengan perilaku
di antaranya seperti : penolakan untuk memperoleh keuangan, penolakan untuk
memberikan bantuan yang bersifat finansial, penolakan terhadap pemberian makan dan
kebutuhan dasar, dan mengontrol pemerolehan layanan kesehatan, pekerjaan, dan
sebagainya.
2.2 Akar Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga
Zastrow & Browker (1984) menyatakan bahwa ada tiga teori utama yang mampu
menjelaskan terjadinya kekerasan, yaitu teori biologis, teori frustasi-agresi, dan teori
kontrol.
Pertama, teori biologis menjelaskan bahwa manusia, seperti juga hewan,
memiliki suatu instink agressif yang sudah dibawa sejak lahir. Sigmund Freud
menteorikan bahwa manusia mempunyai suatu keinginan akan kematian yang
mengarahkan manusia-manusia itu untuk menikmati tindakan melukai dan membunuh
orang lain dan dirinya sendiri. Robert Ardery yang menyarankan bahwa manusia
memiliki instink untuk menaklukkan dan mengontrol wilayah, yang sering
mengarahkan pada perilaku konflik antar pribadi yang penuh kekerasan.
Konrad Lorenz menegaskan bahwa agresi dan kekerasan adalah sangat berguna
untuk survive. Manusia dan hewan yang agresif lebih cocok untuk membuat keturunan
dan survive, sementara itu manusia atau hewan yang kurang sagresif memungkinkan
untuk mati satu demi satu. Agresi pada hakekatnya membantu untuk menegakkan
suatu sistem dominan, dengan demikian memberikan struktur dan stabilitas untuk
kelompok.
Beberapa ahli teori biologis berhipotesis bahwa hormon sek pria menyebabkan
perilaku yang lebih agresif. Di sisi lain, ahli teori belajar verteori bahwa perbedaann
perilaku agresif terutama disebabkan oleh perbedaan sosialisasi terhadap pria dan
wanita.
Kedua, teori frustasi-agresi menyatakan bahwa kekerasan sebagai suatu cara
untuk mengurangi ketegangan yang dihasilkan situasi frustasi. Teori ini berasal dari
suatu pendapat yang masuk akal bahwa sesorang yang frustasi sering menjadi terlibat
dalam tindakan agresif. Orang frustasi sering menyerang sumber frustasinya atau
memindahkan frustasinya ke orang lain. Misalnya. Seorang remaja (teenager) yang
diejek oleh orang lain mungkin membalas dendam, sama halnya seekor binatang
kesayangan yang digoda. Seorang pengangguran yang tidak dapat mendapatkan
pekerjaan mungkin memukul istri dan anak-anaknya.
Suatu persoalan penting dengan teori ini, bahwa teori ini tidak menjelaskan
mengapa frustasi mengarahkan terjadinya tindakan kekerasan pada sejumlah orang,
tidak pada orang lain. Diakui bahwa sebagian besar tindakan agresif dan kekerasan
nampak tidka berkaitan dengan frustasi. Misalnya, seorang pembunuh yang pofesional
tidak harus menjadi frustasi untuk melakukan penyerangan.
Walaupun teori frustasi-agresi sebagian besar dikembangkan oleh para spikolog,
beberapa sosiolog telah menarpkan teori untuk suatu kelompok besar.
Mereka memperhatikan perkampungan miskin dan kotor di pusat kota dan
dihuni oleh kaum minoritas telah menunjukkan angka kekerasan yang tinggi. Mereka
berpendapat bahwa kemiskinan, kekurangan kesmepatan, dan ketidakadilan lainnya di
wilayah ini sangat membuat frustasi penduduknya. Penduduk semua menginginkan
semua banda yang mereka lihat dan dimiliki oleh orang lain, serta tak ada hak yang sah
sedikitpun untuk menggunakannya. Akibatnya, mereka frustasi dan berusaha untuk
menyerangnya. Teori ini memberikan penjelasan yang masuk akal terhadap angka
kekarasan yang tinggi bagi penduduk minoritas.
Ketiga, teori ini menjelaskan bahwa orang-orang yang hubungannya dengan
orang lain tidak memuaskan dan tidak tepat adalah mudah untuk terpaksa berbuat
kekerasan ketika usaha-usahnya untuk berhubungan dengan orang lain menghadapi
situasi frusstasi. Teori ini berpegang bahwa orang-orang yang memiliki hubungan erat
dengan orang lain yang sangat berarti cenderung lebih mampu dengan baik mengontrol
dan mengendalikan perilakunya yang impulsif.
Travis Hirschi memberikan dukungan kepada teori ini melalu temuannya bahwa
remaja putera yang memiliki sejarah prilaku agresif secara fisik cenderung tidak
memiliki hubungan yang dekat dengan orang lain. Selain itu juga dinyatakan bahwa
kekerasan mengalami jumlah yang lebih tinggi di antara para eks narapidana dan
orang-orang lain yang terasingkan dari teman-teman dan keluarganya daripada orangorang Amerika pada umumnya.
Setelah memperhatikan ketiga teori tersebut, kiranya variasi kekerasan di
masyarakat untuk sementara ini disebabkan oleh tiga faktor tersebut. Bagaimana
dengan penyebab munculnya KDRT, lebih khususnya di Indonesia. Menurut hemat
saya, KDRT di Indonesia ternyata bukan sekedar masalah ketimpangan gender. Hal
tersebut acapkali terjadi karena: kurang komunikasi, ketidakharmonisan, alasan
ekonomi, ketidakmampuan mengendalikan emosi, ketidakmampuan mencari solusi
masalah rumah tangga apapun, dan juga kondisi mabuk karena minuman keras dan
narkoba.
2.3 Siklus Kekerasan dalam Rumah Tangga
Teori siklus kekerasan yang dikemukakan oleh Walker (1979) yang dikutip
oleh LKP2 (2003), dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.
Tension-building phase atau fase ketegangan yaitu suatu masa dimana terjadi
ketegangan-ketegangan kecil terjadi, terus mulai bertambah dan semakin tidak
tertahan. Perempuan mencoba menenangkan/menyabarkan pasangan dengan
cara apapun. Perempuan merasa tidak berdaya. Pelaku merasa cemburu dan
curiga berlebihan pada istri.
b. Explosion or baterring phase adalah fase kedua atau fase penganiayaan pada fase
ini ketegangan yang meningkat dilepaskan dengan penganiayaan. Pelaku mulai
mengeluarkan ancaman pembunuhan secara verbal maupun fisik, perkosaan.
Pada fase ini sebagian besar korban mengalami cedera yang mengharuskan
korban segera dibawa ke fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat.
c.
pelaku
mengatakan
bahwa
dia
tidak
bermaksud
menyakiti
suatu
siklus.
Setelah
ke fase
penganiayaan dan selanjutnya masuk pada fase ketiga adalah fase bulan madu, pada
KDRT siklus ini akan berubah dimana fase bulan madu akan semakin sedikit
bahkan hilang dan fase ketegangan dan penganiayaan yang terus berlanjut.
Siklus KDRT ini seperti lingkaran setan yang sulit diputuskan, seringkali
perempuan korban KDRT terjebak dalam siklus kekerasan ini dan sulit keluar dari
siklus KDRT ini.
2.4 Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga
Bentuk-bentuk
kekerasan
terhadap
perempuan
menurut
undang-undang
PKDRT untuk lebih jelasnya seperti yang tercantum dalam pasal demi pasal yang
Hukum
(LBH)
APIK
(2006)
bentuk-bentuk
perbuatan
yang
Kekerasan Psikis
Dalam Pasal 7,
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b adalah
perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya
kemampuan
untuk
bertindak,
rasa tidak
berdaya,
dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang(Himpunan Peraturan Perundangundangan tentang Pelanggaran HAM , 2007, hal.36).
Karakteristik kekerasan psikis menurut analisis LBH APIK (2006) meliputi
makian, umpatan, hinaan, diludahi, suami menikah tanpa sepengetahuan istri, suami
mempunyai wanita idaman lain, meninggalkan istri tanpa ijin, otoriter, berjudi dan
mabuk-mabukan, ancaman dengan benda atau senjata api, anak diambil keluarga
Kekerasan Seksual
Dalam Pasal 8,
Kekerasan
seksual
sebagaimana
dimaksud
dalam
pasal
huruf
tidak
wajar,
memaksa istri berhubungan dengan orang lain hingga menelanjangi istri dengan
paksa.
2.4.4
Kekerasan Ekonomi
Dalam Pasal 9,
(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau
pemeliharaan kepada orang tersebut. (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud
ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan
ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak
di dalam atau luar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang
tersebut ( Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Pelanggaran
HAM , 2007, hal.37).
LBH APIK (2006) menambahkan karakteristik kekerasan ekonomi antara
lain : tidak diberi nafkah, diberi nafkah tetapi terbatas/kurang, tidak boleh bekerja,
harta bersama tidak dibagi, eksploitasi kerja, sampai istri tidak dipercaya
tetapi
korban,
atau
ditelantarkan,
korban
kekayaan
dieksploitasi
korban dimanfaatkan
tanpa
seijin
dalam
bentuk
kerugian
membatasi atau melarang bekerja di dalam atau di luar rumah, terjadinya eksploitasi
di dalam atau di luar rumah dan/atau terlantarnya anggota keluarga karena tidak diberi
nafkah.
2.5 Faktor Risiko Terjadinya KDRT
2.5.1 Faktor Individual.
Penelitian WHO (2005) menunjukkan bahwa laki-laki yang melakukan
penyerangan kepada istrinya menunjukkan ketergantungan emosional, harga diri
rendah,
dan
ketidakmampuan
mengendalikan
emosional.
Mereka
juga
diantaranya usia
penghasilan,
memiliki riwayat kekerasan dalam keluarga (Krug, et al. 2002). Menurut WHO
(2005) faktor individu dapat disebabkan oleh kebanggaan sebagai laki-laki
dimana laki-laki dianggap mempunyai kemampuan lebih dari perempuan,
tidak
adanya figur ayah atau penolakan figur ayah, mengalami riwayat kekerasan pada
masa kecil.
2.5.2 Faktor Hubungan
Pada faktor hubungan penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga
adalah konflik perkawinan atau perselisihan hubungan. Penelitian di berbagai negara
seperti Thailand dilaporkan bahwa perselisihan verbal secara signifikan diikuti oleh
kekerasan secara fisik pada istri, yang seringkali disebabkan karena laki-laki lebih
dalam
perkawinan
seperti
perselingkuhan
aspek
yang
(WHO, 2002).
2.5.3 Faktor komunitas/lingkungan
Faktor komunitas yang dapat berperan terjadinya KDRT adalah kurangnya
kepedulian
masyarakat
umumnya
masih
terhadap
menganggap
masalah
KDRT
KDRT,
adalah
karena
masyarakat
pada
masalah
keluarga.
Sikap
kehormatan rumah tangga dengan tetap bertahan dalam perkawinan yang penuh
dengan kekejaman ( WHO, 2005). Norma budaya lain yang dihubungkan
dengan kekerasan adalah toleransi terhadap hukuman fisik bagi perempuan dan anakanak, diterimanya kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan perselisihan antar
personal,
dan
persepsi
bahwa
laki-laki
adalah
individu
yang
berefek
pada
kesejahteraan
perempuan
dalam
Segala
bentuk
tindak
kekerasan
dalam
rumah
tangga
yang
dilakukan oleh suami baik secara fisik maupun psikis dapat berdampak serius bagi
kesehatan seorang perempuan. Penelitian dari Departemen Kehakiman Amerika
melaporkan 37% perempuan yang dirawat di Ruang Emergensi adalah korban KDRT
(UNICEF, 2000).
2.6.2 Dampak pada Kesehatan Reproduksi Wanita.
Dampak KDRT pada kesehatan reproduksi perempuan menurut WHO (2005)
tidak dapat dilepaskan dari diskriminasi terhadap perempuan. Diskriminasi
terhadap perempuan dilandasi oleh sejumlah keyakinan (stereotip gender) dan sikap
tentang perempuan dan reproduksi perempuan. Pandangan masyarakat yang
mempunyai pandangan stereotip diantaranya : tugas utama perempuan adalah
merawat dan memenuhi kebutuhan suami, anak, mertua dan orang tua. Perempuan
yang baik adalah perempuan yang tidak mendahulukan kebutuhan diri sendiri.
Stereotip
tentang
perempuan
sebagai
perawat
utama
berdampak terhadap
kebutuhan diri sendiri dinomorduakan. Keadaan ini oleh perempuan dan keluarga
serta orang lain dianggap biasa dan seharusnya. Dampak diskriminasi berbasis
dalam
kasus
KDRT
sangat
kesehatan
merugikan
perempuan, hal ini adalah merupakan pelanggaran hak dasar perempuan (Sadli,
Rahman, & Habsjah, 2006).
Dampak pada kesehatan reproduksi pada perempuan yang mengalami KDRT
menurut Emenike, Lawoko & Dalal, (2008) adalah mengalami kesulitan dalam
melindungi diri sendiri terhadap kehamilan yang tidak diinginkan atau penyakit
menular seksual. Kekerasan seksual dapat secara langsung penularan penyakit
seksual, infeksi, HIV dan kehamilan tidak diinginkan. Menurut Krug, et al.
(2002) KDRT banyak terjadi pada perempuan yang banyak anak. Penelitian
menunjukkan
bahwa
stress
mempunyai
banyak anak
meningkatkan
resiko
terjadinya KDRT, hal ini dapat dijelaskan dengan banyak anak akan banyak pula
tuntutan seperti beban biaya yang harus ditanggung, beban pengasuhan, konflik
peran. Penelitian yang dilakukan oleh UNICEF (2000) di berbagai negara
menunjukkan
tingginya
tingkat
kekerasan
pada
masa
kehamilan
yang
trauma,
ketidakmampuan
permanen
sampai
kematian.
Berdasarkan
penelitian Krug, et al. (2002) yang dilakukan di beberapa negara menunjukkan 4072% perempuan korban KDRT mengalami trauma fisik pada beberapa masa dalam
kehidupannya. Mereka juga melaporkan mengalami berkurangnya kemampuan
fisik
sampai
gejala
somatik
seperti
gangguan
2.6.4.2 Depresi
Menurut WHO (2005) depresi adalah gangguan mental yang ditandai
dengan
gangguan
perasaan,
kehilangan
minat
atau
kesenangan, perasaan
tidak berguna, harga diri rendah, gangguan tidur dan nafsu makan,
energi,
tidak
sehari-hari.
dapat
Depresi
konsentrasi.
Depresi
merupakan
problem kejiwaan
rendah
dapat mempengaruhi
yang
aktifitas
paling
sering
ditemukan pada korban KDRT. Gejala yang khas adalah perasaan sedih atau
murung, kehilangan minat, gairah hidup, dan kesenangan, merasa putus asa,
perasaan bersalah dan berdosa, pikiran ingin bunuh diri. Gejala depresi lainnya
diantaranya gangguan
tidur
(sulit
memulai
tidur/tidak
merasa
ngantuk,
terbangun dini hari dan tidak merasa segar), perlambatan gerak dan bicara atau
sebaliknya, gangguan nafsu makan, konsentrasi dan perhatian buruk. Gejala
depresi tidak selalu tampak dan sering terselubung dalam wujud keluhan fisik
yang
tidak
dapat
dijelaskan
seperti
kelelahan
atau
ada
kehidupan
sebagai
seseorang
kesulitan
atau
atau
kelompok sosialnya.
kesusahan
dan merupakan
baru,
akan
tersinggung.
menemukan
Berbeda
dalam
dengan
keadaan cemas,
takut,
dan
mudah
yang lama dengan keadaan yang sangat menonjol, yang akan mengganggu aktifitas
korban sehari-hari.
Dampak psikologis lainnya akibat kekerasan yang berulang dan dilakukan
oleh orang yang memiliki hubungan intim dengan korban adalah jatuhnya harga
diri dan konsep diri korban ( korban akan melihat dirinya negatif banyak
menyalahkan diri) maupun depresi dan bentuk-bentuk gangguan lain sebagai
akibat dan tertumpuknya tekanan, kekecewaan dan kemarahan yang tidak dapat
KDRT
mengalami
stress
dan
emosional
mengganggu
yang
dapat
pertumbuhan
merusak
koqnitif
dan
dengan
toileting
training,
dan
masalah
dalam
daya
konsentrasi
lemah
dengan
UU
tentang
pemulihan korban
segala
upaya
yang
KDRT (2006)
dilakukan
untuk
bahwa
membantu
memberikan penguatan kepada korban agar lebih berdaya secara fisik dan psikis.
Sedangkan upaya penyelenggaraan pemulihan adalah segala tindakan yang
dilakukan yang meliputi memberikan pelayanan kepada korban, pendampingan
kepada
korban.
Sedangkan
orang
yang
melakukan
mengubah
seseorang
tetapi
memungkinkan
individu
mampu
mengambil
langkah-langkah
yang
konstruktif
atas
belakang
sama
seperti
orang-orang
yang
didampinginya
dapat dibenarkan.
b.
sungguh
perempuan
d.
menghormati
Group
intervention.
Suatu
kelompok
yang
terdiri
dari
pelaku-pelaku
nyaman
dan
terbuka
dengan
sesama
laki-laki
yang
memiliki
Bentuk
intervensi
yang
dilakukan
pada
pelaku
dengan
nilai-nilai
kesetaraan
antara
pria
dan
wanita,
yang
kendala.
Kendala-kendala
yang
ada
diantaranya
adalah
belum
pemulihan
belum
berjalan
dengan
baik.
Selain
itu kesadaran
masyarakat masih rendah, Indonesia berbeda dari negara maju dimana orang akan
dengan mudahnya datang ke pekerja sosial, konselor, psikolog, dan psikiater
seperti datang ke dokter. Oleh karena itu diperlukan suatu paket pendampingan yang
mudah diaplikasikan.
Pendampingan bagi korban perlu melibatkan pihak yang mampu berperan
sebagai pendamping sesungguhnya. Menjadi pendamping berarti berperan sebagai
teman. Kita tidak mengedepankan konseling, terapi psikologis, atau bimbingan
rohani, melainkan pertama-tama kepedulian, kesediaan mendengar, penghormatan,
keinginan memfasilitasi penyelesaian masalah. Konseling profesional dan terapi
tentu dapat saja dilakukan bila diperlukan. Menjadi tantangan, dapatkah pekerja
profesional sungguh-sungguh berperan sebagai teman. Mendengar, memahami, baru
kemudian membantu membukakan alternatif penyelesaian masalah. Membiarkan
korban merenung, dan akhirnya mampu memilih yang terbaik bagi dirinya. Bila
demikian,
sebaiknya
pendampingan
didefinisikan
sebagai
segala tindakan
tugas
seperti
juga
efektifitas
program
pada
korban
tidak
dapat
pendekatan
yang
diambil
dengan
karakteristik
pelaku
serta
DAFTAR PUSTAKA
1. At-Thahirah, Almira, (2006), Kekerasan Rumah Tangga Produk Kapitalisme (Kritik Atas
Persoalan KDRT), Bandung: UIN
2. Carlson, B.E. (1984), 'Children's observations of inter-parental violence' in: Battered
Women and Their Families, ed. A.R. Roberts, Springer, New York.
3. Christopoulos, C., Cohn, D., Shaw, D., Joyce, S., Sullivan-Hanson, J., Kraft, S. and
Emery, R. (1987), 'Children of abused women: adjustmenet at time of shelter residence',
Journal of the Marriage and the Family, vol. 49, pp. 611-19.
4. Cummings, E.M., Zahn-Waxler, C. and Radke-Yarrow, M. 1981, 'Young children's
responses to expressions of anger and affection by others in the family', Child
Development, vol.52, pp.1274-82.
5. Davis, L. and Carlson, B. (1987), 'Observation of spouse abuse: what happens to the
children?', Journal of Interpersonal Violence vol.2, no.3, pp.278- 91.
6. Deaux, Kay & Wrightsman, L.S. (1984), Social Psychology in the 80s, Fourth Edition,
California: Brooks Cole Publishing Company.
7. deLange, C. (1986), 'The family place children's therapeutic program', Children's Today,
pp.12-15.
8. Departemen Hukum dan Ham, (2004), Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), Jakarta:
9. Eshlemen, Ross, J. (1988), The Family: An Introduction, Fifth Edition, Boston: Allen and
Bacon
10. Hughes, H. (1986), Research with children in shelters: implications for clinical services,
Children Today, vol.15, no.2, pp.21-5.
11. -----------, 'Psychological and behavioural correlates of family violence in child witnesses
and victims', American Journal of Orthopsychiatry, vol.58, no.1, pp.77-90.
12. Hughes, H. and Barad, S. (1983), 'Psychological functioning of children in a battered
women's shelter: a preliminary investigation', American Journal of Orthopsychiatry,
vol.53, no.3, pp.525-31.
13. Jaffe, P., Wolfe, D., and Wilson, S.K. (1990), Children of Battered Women, Sage
Publications, California.
14. Jaffe, P., Wolfe, D., Wilson, S. and Zak, L. (1986), 'Family violence and child adjustment:
a comparative analysis of girls' and boys' behavioural symptoms', American Journal of
Psychiatry, vol.143, no.1, pp.74-7.
15. Lembaga Bantuan Hukum untuk Peremouan dan Keadilan (LBH APIK) Jakarta, (2002),
Angka Kekerasan di Jakarta tahun 1998-2002, Jakarta: LBH APIK
16. Mathias, J., Mertin, P. and Murray, B. (1995), 'The psychological functioning of children
from backgrounds of domestic violence', Australian Psychologist, vol.30, no.1 (March).
17. Zastrow, Charles & Bowker, Lee (1984), Social Problems: Issues and Solutions, Chicago:
Nelson-Hall