Anda di halaman 1dari 8

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Asuhan Kebidanan Pada Perempuan Rentan

Oleh Kelompok 5 :
1. Silvera Alfatia NIM. 238140114
2. Sindi Ayu Eka Putri NIM. 238140115
3. Yunanik NIM. 238140128
4. Suprapti NIM. 238140117
5. Tri Hidayati NIM. 238140118
6. Tri Wahyuningsih NIM. 238140119
7. Trise Lutfi Fatmawati NIM. 238140120
8. Tutik Hidayati NIM. 238140121
9. Wahyu Dewi Nasikhah NIM. 238140122
10. Widia Lestari NIM. 238140123
11. Windi Lamaga NIM. 238140124
12. Yudita Olyfia Chairun Nisa NIM. 238140125
13. Yuli Maulitasari NIM. 238140126
14. Yuli Prihatini NIM. 238140127

PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN STRADA INDONESIA
KEDIRI
TAHUN 2024
BAB. I
TINJAUAN TEORI

1. PENGERTIAN KDRT
Pengertian KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) adalah tindakan yang
dilakukan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang menyebabkan penderitaan
dan kesengsaraan secara fisik, seksual, psikologis, atau penelantaran rumah tangga.

Tindakan ini meliputi ancaman, paksaan, atau pembatasan kebebasan yang tidak
sesuai dengan hukum, yang terjadi dalam konteks kehidupan keluarga.
Penyebab KDRT
2. Penyebab KDRT adalah:

Laki-laki dan perempuan tidak dalam posisi yang setara


Masyarakat menganggap laki-laki dengan menanamkan anggapan bahwa laki-laki
harus kuat, berani serta tanpa ampun
KDRT dianggap bukan sebagai permasalahan sosial, tetapi persoalan pribadi terhadap
relasi suami istri
Pemahaman keliru terhadap ajaran agama, sehingga timbul anggapan bahwa laki-laki
boleh menguasai perempuan

A. KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA


Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan khususnya terhadap
perempuan oleh pasangannya maupun anggota keluarga dekatnya, terkadang juga
menjadi permasalahan yang tidak pernah diangkat ke permukaan. Meskipun
kesadaran terhadap pengalaman kekerasan terhadap wanita berlangsung setiap saat,
fenomena KDRT terhadap perempuan diidentikkan dengan sifat permasalahan ruang
privat. Dari perspektif tersebut, kekerasan seperti terlihat sebagai suatu tanggung
jawab pribadi dan perempuan diartikan sebagai orang yang bertanggung jawab baik
itu untuk memperbaiki situasi yang sebenarnya didikte oleh norma-norma sosial atau
mengembangkan metode yang dapat diterima dari penderitaan yang tak terlihat.
Pemahaman dasar terhadap KDRT sebagai isu pribadi telah membatasi
luasnya Solusi hukum untuk secara aktif mengatasi masalah tersebut. Di sebagian
besar masyarakat, KDRT belum diterima sebagai suatu bentuk kejahatan.
Bagaimanapun juga, sebagai suatu hasil advokasi kaum feminis dalam lingkup HAM
internasional, tanggung jawab sosial terhadap KDRT secara bertahap telah diakui
sebagian besar negara di dunia.
Kekerasan dalam rumah tangga seringkali menggunakan paksaan yang kasar
untuk menciptakan hubungan kekuasaan di dalam keluarga, di mana perempuan
diajarkan dan dikondisikan untuk menerima status yang rendah terhadap dirinya
sendiri. KDRT seakanakan menunjukkan bahwa perempuan lebih baik hidup di bawah
belas kasih pria. Hal ini juga membuat pria, dengan harga diri yang rendah,
menghancurkan perasaan perempuan dan martabatnya karena mereka merasa tidak
mampu untuk mengatasi seorang perempuan yang dapat berpikir dan bertindak
sebagai manusia yang bebas dengan pemikiran dirinya sendiri. Sebagaimana
pemerkosaan, pemukulan terhadap istri menjadi hal umum dan menjadi suatu keadaan
yang serba sulit bagi perempuan di setiap bangsa, kasta, kelas, agama maupun
wilayah.
Pada tingkat internasional, kekerasan terhadap perempuan telah dilihat sebagai
suatu bingkai kejahatan terhadap hak dan kebebasan dasar perempuan serta
perusakan dan pencabutan kebebasan mereka terhadap hak-hak yang melekat pada
dirinya. Hal ini menjadi sebuah tantangan dalam pencapaian persamaan hak,
pengembangan dan kedamaian yang diakui dalam Nairobi Forward-looking Strategis
for the Advancement of Women, yang merekomendasikan satu perangkat tindakan
untuk memerangi kekerasan terhadap perempuan. Rekomendasi tersebut dibebankan
kepada Pemerintah sebagai kewajiban hukum dan moral untuk menghilangkan KDRT
melalui kombinasi berbagai langkah serius.
Kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-undang RI no. 23 tahun
2004 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau pe-rampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga.
Tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga terjadi dikarenakan telah
diyakini bahwa masyarakat atau budaya yang mendominasi saat ini adalah patriarkhi,
dimana laki-laki adalah superior dan perempuan inferior sehingga laki-laki
dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan. Hal ini menjadikan
perempuan tersubordinasi. Di samping itu, terdapat interpretasi yang keliru terhadap
stereotipi jender yang tersosialisasi amat lama dimana perempuan dianggap lemah,
sedangkan laki-laki, umumnya lebih kuat.
Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Sciortino dan Smyth, 1997; Suara APIK,1997,
bahwa menguasai atau memukul istri sebenarnya merupakan manifestasi dari sifat
superior laki-laki terhadap perempuan.
Kecenderungan tindak kekerasan dalam rumah tangga terjadinya karena faktor
dukungan sosial dan kultur (budaya) dimana istri di persepsikan orang nomor dua dan
bisa diperlakukan dengan cara apa saja. Hal ini muncul karena transformasi
pengetahuan yang diperoleh dari masa lalu, istri harus nurut kata suami, bila istri
mendebat suami, dipukul.
Kultur di masyarakat suami lebih dominan pada istri, ada tindak kekerasan dalam
rumah tangga dianggap masalah privasi, masyarakat tidak boleh ikut campur.

A. Teori Dasar Terjadinya Kekerasan


Zastrow & Browker 1984 (dalam Wahab, 2010) menyatakan bahwa ada tiga teori
utama yang mampu menjelaskan terjadinya kekerasan, yaitu teori biologis, teori
frustasi-agresi, dan teori kontrol.
1. Teori Biologis
Menjelaskan bahwa manusia, seperti juga hewan, memiliki suatu instink agressif
yang sudah dibawa sejak lahir. Sigmund Freud menteorikan bahwa manusia
mempunyai suatu keinginan akan kematian yang mengarahkan manusia-manusia
itu untuk menikmati tindakan melukai dan membunuh orang lain dan dirinya
sendiri. Robert Ardery yang menyarankan bahwa manusia memiliki instink untuk
menaklukkan dan mengontrol wilayah, yang sering mengarahkan pada perilaku
konflik antar pribadi yang penuh kekerasan. Maksut teori biologis ini bahwa
manusia memiliki instink agressif sejak lahir, sehingga perilaku konflik dianggap
wajar sebagai bentuk untuk mempertahankan diri dari berbagai tekanan. Perilaku
ini dapat terwujud sebagai bentuk kekerasan akibat adanya berbagai tekanan yang
berkepanjangan (permasalahan keluarga, ekonomi, dll).
2. Teori Frustasi-Agresi
Menyatakan bahwa kekerasan sebagai suatu cara untuk mengurangi ketegangan
yang dihasilkan situasi frustasi. Teori ini berasal dari suatu pendapat yang masuk
akal bahwa sesorang yang frustasi sering menjadi terlibat dalam tindakan agresif.
Contoh kasus seseorang suami yang sudah bertahun-tahun menganggur dan tidak
mempunyai penghasilan tetap untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, maka
kecenderungan besar suami tersebut melakukan kekerasan terhadap isteri dan
anaknya akibat gejala frustasi yang dialaminya (bahkan ada yang dibunuh).
Meskipun semuanya tidak seperti itu, tetapi dari banyak kasus yang terjadi, efek
frustasi dapat mempengaruhi sesorang untuk melakukan tindak kekerasan.
3. Teori Kontrol
Menjelaskan bahwa orang-orang yang tidak terpuaskan dalam berelasi dengan
orang lain akan mudah untuk melakukan kekerasan. Dengan kata lain, orang yang
memiliki relasi yang baik dengan orang lain cenderung lebih mampu mengontrol
dan mengendalikan perilaku yang agresif. Travis Hirschi memberikan dukungan
kepada teori ini. Disebutkan bahwa remaja laki-laki yang berperilaku agresif
cenderung tidak mempunyai relasi yang baik dengan orang lain. Hal sama juga
terjadi pada eks narapidana di Amerika yang ternyata juga terasingkan dengan
teman-teman dan keluarganya

B. BENTUK BENTUK KDRT


Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam
rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam :
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau
luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah
menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang,
menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya.
Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah
atau bekas luka lainnya.
2. Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak,
rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah
penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri,
mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana
memaksakan kehendak.
3. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan
batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri,
tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.
4. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri,
bahkan menghabiskan uang istri

C. Faktor-faktor yang mendorong terjadi tindak kekerasan dalam rumah tangga


Sedikitnya ada dua faktor penyebab kekerasan KDRT adalah
1. Faktor Internal
Akibat melemahnya kemampuan adaptasi setiap anggota keluarga diantara
sesamanya, sehingga cenderung bertindak diskriminatif dan eksploitatif terhadap
anggota keluarga yang lemah.
2. Faktor Eksternal
Akibat dari intervensi lingkungan di luar keluarga yang secara langsung atau tidak
langsung mempengaruhi sikap anggota keluarga, yang terwujud dalam sikap
eksploitatif terhadap anggota keluarga lain, khususnya terjadi terhadap perempuan
dan anak.

Selain itu faktor-faktor yang menyebakan terjadinya KDRT selam kehamilan meliputi
kehamilan yang tidak di harapkan, stress akibat kehamilan, jumlah anak yang banyak
(multipara), penganguran, penggunaan alcohol dan obat-obatan (substance abuse).

Kehamilan yang tidak direncanaka berisko membuat Wanita mengalami KDRT empat
kali lebih besar dari Wanita dengan kehamilan yang direncanakan(Gazmararian dalam
O’Relly, 2007). Kekerasan juga terjadi jika pasangan atau suami merasa kehamilan
lebih cepat dari waktu yang diharapkan (Jasinski dalam O’Reilly,2007).
Peningkatan stress yang dialami oleh paasangan dapat memicu kekerasan selama
kehamilan. Stres tersebut disebabkan karena pasangan merasa tangung jawab materi
yang harus dipenuhi semakin banyak. Hal ini mengakibatkan pasangan harus berkerja
lebih keras untuk mencukupi kebutuhan keluarga.Stres juga terjadi akibat pasangan
belum siap menjadi seorang ayah dan pria lebih engan mencari bantuan untuk
mengatasi stress atau kebutuhan emosional sehinga menimbulkan stress yang
berkepanjangan(Condon dalam O’Reilly2007).

Selain stres, Segala (2010) mengatakan bahwa pada saat hamil, pasangan (pria) lebih
cenderung menggunakan alkohol sehinga ia lebih mudah marah, depresi dan
mempunyai sikap yang negative.penyalahgunaan alkohol pada pria ini dapat
meningkatkan risiko terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

Masalah sosial ekonomi seperti pendapatan yang rendah, Pendidikan yang rendah,
pengangguran juga dapat meningkatkan risiko terjadi nya kekerasan dalam rumah
tangga (O’Reilly, 2007).

D. DAMPAK KDRT
Menurut Suryakusuma (1995), efek fifiologis dari Tindakan penganiayaan terhadap
Perempuan lebih parah dibandingkan dengan efek fisiknya. Rasa takut, cemas, letih,
stress post traumatic, serta gangguan pola makan dan tdur merupakan reaksi Panjang dari
tindak kekerasan tersebut. Tidak jarang bahwa akibat dari Tindakan kekerasan terhadap
istri juga mengakibatkan Kesehatan reproduksi terganggu secara biologis yang pada
akhirnya mengakibtakan gangguan secara sosiologis. Istri yang mengalami kekerasan
sering mengisolasi diri dan menarik diri karena berusaha menyembunyikan bukti
penganiayaan terhadap mereka.
Efek fisik yang ditimbulkan dari kekerasan selama kehamilan yaitu memar, lebam,
patah tulang, trauma abdomen, penurunan berat badan, infeksi pada serviks, vagina,
ginjal, perdarahan vagina, peningkatan penyakit kronis, perawatan pra lahir yang
tertunda.
Di seluruh dunia satu diantara empat perempuan hamil mengalami kekerasan fisik dan
seksual oleh pasangannya. Pada saat hamil, dapat terjadi keguguran / abortus, persalinan
imatur dan bayi meninggal dalam rahim. Pada saat bersalin, perempuan akan mengalami
penyulit persalinan seperti hilangnya kontraksi uterus, persalinan lama, persalinan dengan
alat bahkan pembedahan.
Perawatan kehamilan yang tertunda merupakan factor resiko terjadinya komplikasi
kehamilan seperti persalinan prematur dan BBLR. Hal ini dibuktikan dalam penelitian
bahwa saat itu mengalami kekerasan maka perawatan kehamilan kedua kali lebih
mungkin dilakukan pada trimester ketiga. Padahal perawatan kehamilan seharusnya mulai
dilakukan pada timester pertama kehamilan. (Dietz, dkk; Gazmarin, dkk; Goodwin, dkk;
McFarlane, dkk; Parker, dkk;. Soeken, Torres & Campbell Jasinski,2004).

Upaya pemenuhan hak-hak korban KDRT


Upaya dalam memenuhi hak-hak Korban kekerasan dalam rumah tangga harus Diakui
keberadaannya. Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga membuka jalan bagi
pengungkapan kekerasan dalam rumah tangga dan melindungi hak-hak Korban. Di mana,
pada awalnya kekerasan dalam rumah tangga dianggap sebagai area pribadi yang tidak
bisa dimasuki siapa pun di luar lingkungan rumah. Kira-kira empat tahun sejak
diratifikasi pada 2004,dalam perjalanannya undang-undang ini masih beberapa pasal tidak
menguntungkan bagi perempuan Korban kekerasan. PP 4 tahun 2006 tentang Pemulihan
adalah peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini, yang diharapkan dapat memfasilitasi
proses pelaksanaan Undang-Undang sebagaimana diatur dalam mandat UU ini.

Selain itu, walaupun undang-undang ini dimaksudkan memberikan efek jera bagi
pelaku KDRT, ancaman hukuman yang tidak mencantumkan hukuman minimal dan
hanya hukuman maksimal sehingga berupa ancaman hukuman alternatif kurungan atau
denda terasa terlalu ringan bila dibandingkan dengan dampak yang diterima korban,
bahkan lebih menguntungkan bila menggunakan ketentuan hukum sebagaimana yang
diatur dalam KUHP. Apalagi jika korban mengalami cacat fisik, psikis, atau bahkan
korban meninggal. Sebagai UU yang memfokuskan pada proses penanganan hukum
pidana dan penghukuman dari korban, untuk itu, perlu upaya strategis di luar diri korban
guna mendukung dan memberikan perlindungan bagi korban dalam rangka
mengungkapkan kasus KDRT yang menimpa.

Anda mungkin juga menyukai