Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MAKALAH KAJIAN KORBAN KEKERASAN

PENANGANAN DAN PENCEGAHAN KASUS KEKERASAN DALAM


RUMAH TANGGA

“Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kajian Korban Kekerasan”

Dosen Pengampu:
Moch. Zaenal Hakim, Ph.D

Disusun Oleh:
1. Salma Alyashiffa Dzattira (20.02.004)
2. DaivaJaya Gahyaka Accyuta (20.02.007)
3. Sabrina Widyasari (20.02.033)
4. Tasya Arsita Rismayanti (20.02.089)
5. Nabil Firmansyah A (20.02.094)
6. Eki Dien El Danira (20.02.105)
7. Deo Rizal Miftakhul Illian (20.02.124)

POLITEKNIK KESEJAHTERAAN SOSIAL BANDUNG


PROGRAM STUDI REHABILITASI SOSIAL
TAHUN 2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam Undang-undang RI No.23 Tahun 2004 mengenai Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT) yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat
perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan
atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan
martabat kemanusian. Pada umumnya masalah kekerasan dalam rumah tangga sangat erat
kaitannya dengan ketiadaan akses perempuan kepada sumber daya ekonomi (financial
modal dan benda-benda tidak bergerak seperti tanah, dan sumber- sumber kesejahteraan
lain), usia, pendidikan, agama dan suku bangsa. Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT) yang dialami perempuan juga berlapis-lapis artinya bentuk kekerasan yang
dialami perempuan bisa lebih dari satu bentuk kekerasan baik secara fisik, psikologis,
seksual dan ekonomi. Maka Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasaan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Kekerasan terhadap perempuan menurut perserikatan bangsa-bangsa dalam
deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap perempuan
adalah segala bentuk tindakan kekerasan yang berbasis gender yang mengakibatkan atau
akan mengakibatkan rasa sakit atau penderitaan terhadap perempuan baik secara fisik,
seksual, psikologis, termasuk ancaman, pembatasan kebebasan, paksaan, baik yang terjadi
di area publik atau domestik. Kekerasan terhadap perempuan adalah tindakan atau sikap
yang dilakukan dengan tujuan tertentu sehingga dapat merugikan perempuan baik secara
fisik maupun secara psikis. Hal penting lainnya ialah bahwa suatu kejadian yang bersifat
kebetulan (eccidental) tidak dikategorikan sebagai kekerasan walaupun menimbulkan
kerugian pada perempuan.
Pengertian di atas tidak menunjukkan bahwa pelaku kekerasan terhadap
perempuan hanya kaum pria saja, namun dalam kehidupan keluarga sering terjadi
pertentangan dan perbedaan pendapat yang saling berujung pada tindak kekerasan fisik
yang dilakukan oleh suami terhadap istri. Sehingga suami yang semestinya berfungsi
sebagai pengayom justru berbuat yang jauh dari harapan anggota keluarganya. Dalam
KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) mendapat tanggapan yang serius dari
berbagai organisasi perempuan baik yang berhubungan dengan pemerintah maupun
nonpemerintah hingga lahirnya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga. Kekerasan Dalam Rumah Tangga khususnya penganiayaan
terhadap istri,merupakan salah satu penyebab kekacauan dalam masyarakat. Berbagai
penemuan penelitian masyarakat bahwa penganiayaan istri tidak berhenti pada penderitaan
seorang istri atau anaknya saja, rentetan penderitaan itu akan menular ke luar lingkup
rumah tangga dan selanjutnya mewarnai kehidupan masyarakat kita.
Menurut Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologi, atau penelantaran rumah
tangga termasuk juga hal-hal yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuanuntuk bertindak, rasa tidak percaya, atau penderitaan psikis berat
pada seseorang.Undang-undang ini juga tidak bertujuan untuk mendorong perceraian,
sebagaimana sering dituduhkan orang. Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga ini justru bertujuan untuk memelihara keutuhan rumah tangga yang (benar-
benar) harmonis dan sejahtera dengan mencegah segala bentuk kekerasan sekaligus
melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga bukanlah persoalan domestik (privat) yang
tidak boleh diketahui orang lain. KDRT merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan
kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus
dihapuskan. Undang-Undang ini merupakan jaminan yang diberikan negara untuk
mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT), dan melindungi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT). Menurut Herkutanto, bentuk-bentuk kekerasan dapat berupa kekerasan psikis,
bentuk tindakan ini sulit untuk dibatasi pengertiannya karena sensitifitas emosi seseorang
sangat bervariasi. Dalam suatu rumah tangga hal ini dapat berupa tidak diberikannya
suasana kasih sayang pada istri agar terpenuhi kebutuhan emosionalnya. Hal ini penting
untuk perkembangan jiwa seseorang identifikasi yang timbul pada kekerasan psikis lebih
sulit diukur dari pada kekerasan fisik.
Penderitaan akibat penganiayaan dalam rumah tangga tidak terbatas pada istri
saja, tetapi menimpa pada anak-anak juga. Anak-anak bisa mengalami penganiayaan
secara langsung atau merasakan penderitaan akibat menyaksikan penganiayaan yang
dialami ibunya, paling tidak setengah dari anak-anak yang hidup di dalam rumah tangga
yang didalamnya terjadi kekerasan juga mengalami perlakuan kejam. Sebagian besar
diperlakukan kejam secara fisik, sebagian lagi secara emosional maupun
seksual.Menyaksikan kekerasan merupakan pengalaman yang sangat traumatis bagi anak-
anak, mereka sering kali diam terpaku, ketakutan, dan tidak mampu berbuat sesuatu ketika
sang ayah menyiksa ibunya sebagian berusaha menghetikan tindakan sang ayah atau
meminta bantuan orang lain. Menurut data yang terkumpul dari seluruh dunia anak-anak
yang sudah besar akhirnya membunuh ayahnya setelah bertahun-tahun tidak bisa
membantu ibunya yang diperlakan kejam.
Berdasarkan fungsi hukum, baik sebagai sarana rekayasa sosial mampu sebagai
sarana kontrol sosial, maka setiap peraturan yang mengatur retribusi diciptakan untuk
dijalankan sesuai dengan tujuan dan makna yang dikandungnya. Warga masyarakat
(individu) sebagai pihak yang dituju oleh peraturan wajibdengan lapang hati dan penuh
pengertian penuh kepada hukum tersebut. Adanya peraturan-peraturan hukum dan
lembaga-lembaga serta aparat penegak hukum yang dilengkapi dengan sarana dan fasilitas
yang diperlukan tanpa didukung oleh kesadaran warga masyarakat sebagai individu
anggota masyarakat, maka kemungkinan hukum itu mengalami banyak hambatan dalam
penerapannya karena perilaku individu bermacam-macam. Hukum tumbuh hidup dan
berkembang dalam masyarakat. Hukum merupakan sarana menciptakan suatu ketertiban
dan ketentraman bagi k edamaian dalam hidup sesama warga masyarakat. Hukum tumbuh
dan berkembang bila warga masyarakat itu sendiri menyadari makna kehidupan hukum
dalam kehidupannya. Sedangkan tujuan dari hukum itu sendiri adalah untuk mencapai
suatu kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu hukum melindungi kepentingan
manusia, misalnya kemerdekaan, transaksi manusia satu dengan yang lain dalam
masyarakat pasar dan sebagainya. Di samping itu juga untuk mencegah selanjutya
menyelesaikan pertentangan yang dapat menumbuhkan perpecahan antara manusia
dengan manusia, antara manusia dengan lembaga.
BAB II
ISI

A. Engaging the Client


Sebelum memasuki tahap asesmen, pekerja sosial melakukan engaging terlebih dahulu
dengan klien. Engaging merupakan tahapan kontak awal antara klien dengan pekerja sosial
untuk mengembangkan hubungan profesional dengan klien, mendiskusikan ekspektasi,
menawarkan layanan, dan menjelaskan prosesnya. Melibatkan klien termasuk memberi
tahu mereka tentang tanggung jawab hukum terapis (seperti pelaporan yang diamanatkan
atas dugaan pelecehan anak jika hal itu terjadi) serta hak-hak mereka sebagai klien. Hak-
hak tersebut termasuk mengetahui apa yang akan terjadi, lama intervensi yang diantisipasi,
dan bagaimana catatan akan disimpan. Mereka juga memiliki hak untuk terlibat dalam
memilih tujuan dan sasaran, menentukan penghentian, dan mengambil kendali atas hidup
mereka. Hak-hak ini dijelaskan dalam Kode Etik Asosiasi Nasional Pekerja Sosial (2008).

B. Proses Asesmen
Assesment Proses membantu pekerja sosial memahami masalah klien, penyebab
terjadinya masalah, dan solusi yang memungkinkan dilakukan. Asesmen proses merupakan
waktu yang tepat untuk membuat safety plan/ rencana intervensi bersama dengan klien.
Kekuatan klien (misalnya, kasih sayang, empati, wawasan, atau agama; Black, 2003) harus
dipertimbangkan, bersama dengan sistem sumber di luar (misalnya, pusat penitipan anak
dan peluang kerja) yang dapat dimanfaatkan atas nama klien. Asesmen dibantu melalui
penggunaan alat psikometri (pengukuran), yang tertanam dalam langkah-langkah menuju
pemberdayaan korban, dan diperlukan untuk memungkinkan diagnosis dan strategi
intervensi yang tepat (Kirst-Ashman&Hull, 2009).

C. Asesmen untuk IPV


Menurut Tjaden & Thoennes banyak dokter yang gagal untuk melakukan screening dan
mengetahui keberadaan korban dari IPV ini. McCloskey dan Grigsby merekomendasikan
agar dokter di rumah sakit jiwa memberikan asesmen IPV rutin untuk semua klien
perempuan dalam populasi secara umum. Asesmen ini diperlukan karena perempuan
merupakan mayoritas klien yang datang ke pelayanan kesehatan mental akibat menjadi
korban IPV sehingga mengakibatkan gangguan gejala psikologis.
Didalam asesmen IPV skrining berupa pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan
tidak hanya kepada korban namun dapat diajukan kepada pasangan dari korban.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut membahas masalah-masalah yang terjadi antara klien dan
pasangannya (McCloskey & Grigsby, 2005). Untuk keselamatan, ketika akan menasesmen
perempuan korban IPV lebih baik, pasangannya tidak turut hadir. Dalam melakukan
asesmen bersama perempuan korban IPV kusioner secara tertulis lebih baik dihindari
karena klien perempuan cenderung mengungkapkan sendiri tentang masalah yang terjadi.
Perilaku dan keyakinan pelaku kekerasan berisiko sangat tinggi menyebabkan kematian
jika pelaku kekerasan:
1) merasa bahwa hubungan mereka terancam;
2) telah mengancam untuk membunuh dirinya sendiri atau pasangannya atau mengatakan
bahwa ia tidak dapat hidup tanpa pasangannya;
3) tidak memiliki pekerjaan dan merasa tidak akan rugi;
4) pernah melakukan kekerasan;
5) menguntit atau mengawasi perilaku korban; dan
6) menggunakan obat-obatan terlarang. Penilaian tingkat kematian harus diperbarui dan
rencana keselamatan ditinjau secara berkala.
Pengetahuan terapis tentang hambatan dalam lingkungan diperlukan untuk memberikan
layanan kepada klien. Diperlukan pengetahuan tentang respons sistem peradilan pidana
terhadap IPV (misalnya, kriteria untuk intervensi polisi dan opsi hukum untuk korban;
McCloskey & Grigsby, 2005, hal. 268). Diperlukan pengetahuan tentang ekspektasi
masyarakat berbasis budaya dan gender (misalnya, beberapa orang di lingkungan klien
mungkin memiliki pandangan negatif terhadap penegakan hukum yang akan menghambat
perlindungan korban).

D. Menilai Kondisi yang Terjadi Bersamaan (Assesing for Co-Occuring Coditions)


Dengan mengingat bahwa keselamatan klien adalah masalah yang paling penting,
asesmen yang lengkap mengharuskan klinisi untuk mempertimbangkan masalah lain yang
berpotensi merusak yang dialami klien. Di antara masalah umum yang dialami oleh korban
IPV adalah masalah gangguan stres pascatrauma (PTSD), penyalahgunaan zat, dan
penyakit menular seksual (terutama HIV/AIDS). Kondisi-kondisi yang terkait dengan IPV
ini menempatkan tanggung jawab pada dokter untuk mempelajari tentang sistem
neurologis, fisiologis, dan biologis tubuh; untuk mendapatkan informasi tentang zat-zat
yang legal dan ilegal serta efeknya; untuk mengetahui tentang obat-obatan dan efeknya;
dan untuk mengikuti perkembangan penelitian terkait.

E. Instrumen Asesmen
Instrumen asesmen dapat memberikan ukuran yang valid dan dapat diandalkan untuk
berbagai aspek dari suatu hubungan, seperti gaya komunikasi, area konflik, hubungan
kekuasaan, dan stabilitas perkawinan. Instrumen yang biasa digunakan dalam IPV
termasuk penilaian untuk membantu menentukan tingkat kematian (bahaya) pelaku.
Berbagai macam instrumen penilaian tersedia untuk menentukan kekerasan dan masalah
terkait, termasuk yang diterbitkan oleh Ammerman dan Hersen (1999); Campbell (1995);
Daley (1999); McCubbin, Thompson, dan McCubbin (1996); dan Roberts (2007).
Beberapa alat penilaian khusus adalah sebagai berikut:
• Skala Taktik Konflik-Direvisi: Berisi 78 item untuk mengukur kekerasan psikologis,
fisik, dan seksual terhadap agresi pasangan (Straus, Hamby, Boney-McCoy, &
Sugarman, 1996)
• Skala Penganiayaan Psikologis terhadap Perempuan: Mengukur bentuk-bentuk ekstrim
dari kontrol oleh pasangan (Tolman, 1989)
• Beck Depression Inventory (BDI): Instrumen laporan diri yang terdiri dari 21 item
untuk mengukur gejala depresi (Beck, Steer, & Garbin, 1988)
• Kuesioner Riwayat Trauma (THQ; Green, 1996): Mengevaluasi "kekerasan fisik
pasangan, pelecehan seksual, ancaman, dan jumlah paparan seumur hidup terhadap
jenis-jenis peristiwa traumatis lainnya termasuk pelecehan anak, kejahatan, perang, dan
kehilangan orang yang dicintai" (Bargai dkk., 2007, h. 270)
• Laporan Skala-Diri PTSD yang Dimodifikasi (Modified PTSD Scale-Self Report;
MSSR-SR; Falsetti, Resnick, Resick, & Kilpatrick, 1993): Mengukur frekuensi dan
tingkat keparahan dari 17 gejala PTSD
• Jadwal Ketegasan Rathus (RAS): Sebuah ukuran yang terdiri dari 30 item mengenai
kemampuan seseorang untuk berbicara atas nama mereka sendiri (Hull & Hull, 1978)
• Tes Alkoholisme (Denzin, 1987): Sebuah alat ukur yang terdiri dari 16 item untuk
menentukan adanya masalah penyalahgunaan zat.

F. Perencanaan/Kontrak dengan Klien


Rencana keselamatan melibatkan tindakan yang dapat dilakukan korban IPV untuk
perlindungan selama berada dalam hubungan tersebut dan/atau ketika berencana untuk
meninggalkan hubungan tersebut. Rencana tersebut harus ditulis (dan disimpan di tempat
yang tidak dapat ditemukan oleh pelaku) sehingga korban dapat memeriksanya sesuai
kebutuhan (McCloskey & Grigsby, 2005). Salinan asesmen tersebut harus diberikan
kepada teman baik, anggota keluarga, atau orang yang dipercaya (Berlinger, 1998;
McCloskey & Grigsby, 2005). Beberapa poin penting yang biasanya tercakup dalam
rencana keselamatan adalah sebagai berikut (Berlinger, 1998):
• Memilih tempat yang aman di dalam rumah dimana korban dapat melarikan diri (jika
korban tinggal bersama pelaku) jika terjadi situasi kekerasan
• Mengatur dokumen-dokumen penting (tanda pengenal, akta kelahiran anak, kartu
jaminan sosial, kartu kredit, buku tabungan, uang, kunci, telepon genggam, SIM,
STNK, surat-surat asuransi, tanda pengenal bantuan sosial, barang-barang sentimentil,
dan mainan kesayangan anak) di satu tempat agar bisa segera dibawa pergi.
• Menitipkan pakaian ekstra dan barang lainnya kepada orang yang dipercaya
• Memasang sistem keamanan dan menambahkan kunci (jika korban tidak lagi tinggal
bersama pelaku)
• Memberitahukan pemilik rumah dan tetangga tentang pelaku (dengan menunjukkan
foto) dengan permintaan untuk menghubungi polisi jika dia mengancam korban
• Memberitahukan atasan dan petugas keamanan di tempat kerja dan meminta staf untuk
menyaring panggilan telepon
• Perencanaan untuk perlindungan anak-anak (Jika anak-anak berada di sekolah, perintah
perlindungan dapat diperoleh untuk menentukan siapa yang boleh menjemput mereka.
Anak-anak, guru, dan personil sekolah lainnya harus mengetahui hal ini. Anak-anak
juga dapat diajari siapa yang harus dihubungi jika mereka merasa tidak aman).
• Menggunakan komputer yang aman (di luar rumah) agar tidak terlacak melalui
penggunaan komputer mereka
• Mencetak dan/atau menyimpan pesan ancaman dari pelaku, karena dapat berguna bagi
penegak hukum
Rencana keselamatan memberdayakan korban dengan membantu mereka mengambil
alih kehidupan mereka sendiri. Berbagai rencana keselamatan yang terperinci tersedia
secara online atau di tempat penampungan kekerasan dalam rumah tangga setempat. Jika
rencana keselamatan ingin realistis, rencana tersebut harus dikembangkan dengan
memahami dan mempertimbangkan hambatan yang ada di lingkungan sekitar. Dokter
harus memahami bahwa rencana tersebut tidak akan menjamin keselamatan korban
(McCloskey & Grigsby, 2005). Dokter harus bertemu dengan pelaku untuk membangun
kepatuhan dan, jika perlu untuk mencegah bunuh diri atau pembunuhan, membawa pihak
berwenang dari luar.

G. Rencana Intervensi Lainnya


Dengan adanya rencana keselamatan dan keselamatan korban yang terjamin hingga ke
titik yang memungkinkan, dokter dan klien mungkin ingin mengembangkan rencana lain
yang menentukan tujuan dan sasaran klien untuk memenuhi kebutuhan mereka (Kirst-
Ashman & Hull, 2009). Klien mungkin ingin merencanakan untuk mencari tempat tinggal,
pindah ke tempat penampungan sementara, atau terus tinggal dengan pasangannya yang
kasar. Masalah dinyatakan kembali sebagai kebutuhan dan tujuan yang ditulis dalam istilah
perilaku. Tujuan diprioritaskan, dan langkah-langkah tindakan dibahas untuk mencapainya.

H. Implementasi dan Intervensi


Implementasi & Intervensi didasarkan pada hasil asesmen yang dirancang agar dapat
memberikan pelayanan yang efektif yang mampu mengarahkan klien menjadi mampu
memperbaiki kehidupannya. Pelayanan yang efektif dapat memberikan sudut pandang serta
pilihan yang realistis untuk mencapai tujuan hidup klien
1. Crisis Intervention
Intervensi yang dilakukan dala masa krisis klien yang bertujuan untuk mengurangi
resiko bunuh diri dan pikiran buruk lainnya yang dilakukan dari tahap pra sampai pasca
krisis hal ini penting dilakukan dikarenakan krusial demi kehdupan klien tahapan ini
terdiri dari 7 tahap yaitu :
• Stage 1: Assessing lethality: Pekerja social menentukan tingkat bahaya pelaku
serta keamanan klien . data yang digunakan berasal dari (a) seberapa parah
kasus terjadi, (b) kondisi emosional klien, (c) Kebutuhan rasa aman (d)
tingkatan coping skill (Roberts, 2005, p. 88).
• Stage 2: Membuat rapor dan komunikasi : menentukan tingkat perasaan dan
kemauan berkomunikasi klien melalui active listening dan empati , klien juga
tidak diburu buru dan dibiarkan untuk mencurahkan hati sesuai dengan tempo
mereka
• Stage 3: Mengidentifikasi masalah utama : klien dipersilahkan untuk
memprioritaskan masalah mereka dan didorong untuk berani mengeluarkan
kekerasan yang dialami pada masa lalu .
• Stage 4: Menangani perasaan dan memberikan support menagani perasaan tidak
mengenakan yang dialami melalui berbagai macam cara dan metode agar dapat
lepas dari perasaan tersebut serta diberikannya dukungan moral agar menjadi
berani dan mampu meneruskan hal tersebut
• Stage 5: Mengeksplor kemungkinan alternative melakukan eksplorasi terhadap
bentuk solusi lain yang mana digunakan untuk melatih dan menentukan bentuk
coping skill apa saja yang bisa digunakan dan diimplementasikan oleh klien .
• Stage 6: Memformulasikan rencana aksi melakukan perumusan terhadap
rancangan yang akan dilakukan dan diterapkan dari berbagai pilihan yang sudah
didapatkan .
• Stage 7: Tindakan Follow-Upuntuk menentukan bahwa klien sudah bergerak
maju dala kehidupannya maka dalam rentang waktu 2-6 minggu pekerja social
menentukan tingkatan keamanan fisik klien dan kemampuan kognitif kemudian
memberikan dukungan dukungan moral .
2. Trauma Therapy
Menggunakan cognitive trauma therapy for battered women (CTT-BW). Yang
terdiri dari stress management ,penanganan ptsd , self monitor dan lain sebagainya yang
mana akan mengkoreksi irrational belief klien dengan terapi terapi yang menenangkan
serta mendukung klien seperti advokasi mandiri dan manajemen mantan pasangan
3. Survivor Therapy Empowerment Program (STEP)
Adalah which is an evidence-based, psychoeducational group treatment untuk
korban IPV untuk membantu mereka memahami bagaimana kekerasan mempengaruhi
kehidupan mereka dan dampak yang terjadi yang dibagi menjadi beberapa tahap dari
sesi edukasi,diskusi dan skill building
4. Feminist Therapy
Terapi yang disusun melalui sudut pandang klien terhadap realita yang mana
membantu klien untuk menjadi berani serta lebih mandiri Teknik yang digunakan
dalam hal ini kerap tidak biasa yang mana kerap kali pekerja social lebih banyak
menggali dan mendorong klien untuk menunjukkan kemauan sebenarnya yang mereka
inginkan
5. Strengths-Based Approaches
Melakukan pendekatan terhadap solusi yang bisa diberika kepada klien melalui
apa kekuatan klien itu sendiri sehingga dapat menemukan asumsi bahwa klien dapat
meneruskan hidup tanpa pasangan tersebut dan menjadi kuat dengan kemampuannya
sendiri
6. Eye-Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR)
EMDR memiliki 8 tahap (1) Pengambilang sejarah, (2) Mendirikan hubungan
therapeutic; (3) mengumpulkan informasi hasil asesmen; (4) Menggunakan pergerakan
mata untuk serta desentisasi memproses ulang ( klien berfokus kepada masa traumatic
hingga tidak merasa terganggu ); (5) Tahap Instalasi saat kognisi positif; (6)
Pemindaian gangguan oleh klien; (7) Penutupan; and (8) Evaluasi ulang progress
7. Exposure Therapy
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi pemaparan dapat efektif dalam
menghilangkan gejala PTSD wanita dianiyaya (Stapleton et al., 2007). Prosedur ini
melibatkan empat sesi paparan imajinal terhadap peristiwa traumatis. Ini diikuti oleh
empat sesi paparan vivo terhadap trauma terkait yang tidak berbahaya tetapi
menyusahkan peserta diminta untuk berbicara sebagai orang pertama, present tense,
tentang peristiwa traumatis dan apa artinya bagi mereka dan juga apa yang mereka lihat,
dengar, cium, rasakan, dan terasa."
8. Motivational Interviewing
Wawancara motivasi (MI) adalah teknik yang dapat membantu pekerja sosial
dan dokter lainnya mengubah perilaku korban dari berbahaya menjadi bermanfaat
(Wahab, 2005). Prinsip-prinsip MI adalah:
(a) empati, yang ditekan oleh dokter denganklien;
(b) perbedaan, yang ditunjukkan oleh dokter antara perilaku klien dan tujuan serta nilai
pribadi mereka;
(c) bergulir dengan resistensi, yang mencegah gangguan dalam komunikasi oleh dokter
dan memungkinkan peserta untuk mengeksplorasi pandangan mereka dan
menghindari berdebat untuk perubahan;
(d) mendukung self-efficacy, yang memungkinkan klien untuk menentukan nasib
sendiri dan merasakan penerimaan terlepas dari keputusan mereka. (Miller &;
Rollnick, 2002).
MI didasarkan pada model perubahan transtheoretical (TTM), yang
dikembangkan oleh Proschaska (1979). TTM mengkategorikan lima tahap kesediaan
untuk mengubah:
1. Prakontemplasi (orang tersebut tidak menyadari perilaku atau kebutuhan untuk
perubahan perilaku)
2. Kontemplasi (orang tersebut mulai mengeksplorasi opsi untuk perubahan)
3. Persiapan (orang tersebut mengumpulkan informasi dengan niat untuk berubah)
4. Komitmen (orang tersebut membuat perubahan)
5. Pemeliharaan (melanjutkan perilaku yang berubah)
Proses perubahan ini direvisi untuk mengatasi kemajuan korban menuju kehidupan
bebas kekerasan, Hanson, and Lunsford (2007) selama desain mereka dari Penilaian
Penyintas Kekerasan Dalam Rumah Tangga (DVSA), yang merupakan alat untuk
mengukur pergerakan penyintas selama proses dari korban ke kebebasan dari
viktimisasi. Kelima tahap tersebut adalah sebagai berikut:
1. Berkomitmen untuk melanjutkan hubungan
2. Berkomitmen tetapi mempertanyakan hubungan yang kasar
3. Mempertimbangkan perubahan: opsi yang tersedia untuk mengakhiri
penyalahgunaan
4. Melepaskan diri atau pasangan untuk membatasi kekerasan
5. Membangun kehidupan baru terpisah atau bersama-sama
Seorang pekerja sosial dapat menggunakan kategori-kategori ini untuk menilai di
mana klien tertentu dan untuk mendorong korban ketika mereka bergerak di sepanjang
ini. Untuk membantu dalam prosesnya, MI menyediakan berbagai alat untuk menilai
motivasi,kepercayaan, dan kesiapan klien untuk perubahan. Ada beberapa bukti awal
yang mendasar
9. Other Approach
Pendekatan lain tersedia untuk membantu korban IPV pulih dari PTSD,
kecemasan, dan perasaan negatif yang dihasilkan dari pengalaman kasar mereka,
seperti sebagai kelas bela diri, teknik terapi tubuh, dan relaksasi (Walker, 1984). Yang
lebih kontroversial adalah perawatan seperti terapi keluarga dan pasangan, yang
dianjurkan oleh beberapa dokter tetapi sangat ditentang oleh orang lain. Walker (2009).
"siloed," yang berarti bahwa masing-masing didekati secara individual, bukan holistik,
tergantung pada keahlian dokter (Humphreys et al., 2005, hlm. 1315). Lebih lanjut
berbagai kebutuhan klien dapat diperlakukan oleh berbagai lembaga atau penyedia
layanan (fasilitas perawatan penyalahgunaan zat, agen kesehatan mental, dan / atau
perawatan medis penyedia). Paling tidak, pekerja sosial perlu menyadari kemungkinan
itu dari beberapa kondisi yang terjadi bersamaan dalam kasus IPV dan penilaian yang
bervariasi dan pilihan perawatan untuk yang lain.
10. Intervention With Couple
Menurut Holtzworth-Munroe dan rekan dan O'Leary, Vivian, dan Malone
(seperti dikutip dalam Schacht et al., 2009, hlm. 47), "Kekerasan [domestik] khususnya
Umum di antara pasangan yang mencari terapi pasangan, dengan perkiraan setengah
hingga duapertiga pasangan yang mencari pengobatan melaporkan beberapa insiden
agresi di tahun sebelumnya". Ketika kekerasan dalam rumah tangga dicurigai, dokter
harus mengatur untuk melihat dua orang secara terpisah. Ini harus dicapai secara
diplomatis, karena Memisahkan pasangan dapat menimbulkan kecurigaan di pihak
pelaku, menempatkan ketakutan ke dalam korban, dan menolak terapis kesempatan
untuk mengamati tindakan inter pasangan. Biasanya, satu atau dua kunjungan dapat
diatur tanpa menimbulkan kecemasan dengan baik individu.
Selama sesi individu, pekerja sosial harus mencoba untuk mendapatkan rincian
akun dari setiap argumen verbal atau fisik, termasuk deskripsi episode yang bekerja
secara kronologis dari awal waktu ketegangan hingga titik ledakan. Informasi berguna
lainnya akan mencakup keterlibatan pihak ketiga, dampak pada anak-anak,
konsekuensi dari kekerasan, frekuensi dan keparahan penyalahgunaan, keberadaan
senjata di rumah, keberadaan zat pelecehan, riwayat cedera fisik, dan kecemburuan
pelaku, ketergantungan, posesif, dan kekerasan dari luar. Penjelasan ini membantu
dalam mengidentifikasi tema berulang dari kekuatan emosional masing-masing
pasangan, kebutuhan timbal balik, dan pertahanan.
Dalam mendekati korban dalam diskusi pribadi, dokter harus selektif dalam
kata-kata dan pertanyaan mereka. Kata-kata kekerasan dan kekerasan dalam rumah
tangga harus dihindari, karena mereka mengancam dan tidak jelas. Diskusi ini harus
terjadi di Tempat di mana korban merasa aman dan dapat mempercayai terapis. Seperti
disebutkan sebelumnya, ada kontroversi tentang penggunaan terapi pasangan ketika
IPV terlibat karena ada kemungkinan bahwa itu bisa berbahaya (Bograd & Mederos,
1999). Bograd &; Mederos menyarankan bahwa terapi pasangan mungkin sesuai dalam
kasus pelecehan fisik dan/atau psikologis ringan. Bagaimanapun, mereka menyarankan
bahwa itu hanya mungkin jika pelaku menerima partisipasi secara sukarela dan jika
masalah kerahasiaan khusus dipertimbangkan. Korban harus merasa mampu untuk
membahas tindakan penyalahgunaan. Ketentuan lebih lanjut adalah bahwa pelaku harus
mengakui perannya, tidak ada faktor risiko untuk mematikan yang jelas, dan komitmen
dibuat untuk menghentikan tindakan kekerasan apa pun.
11. Group Counseling
Korban IPV mungkin menemukan berbagi pengalaman mereka dengan korban
lain dalam kelompok pengaturan bermanfaat. Dengan mendengarkan, didengar, dan
menerima dukungan, mereka dapat menemukan perasaan diri mereka terpisah dari
pelaku mereka. Pada waktunya, mereka dapat membangun kepercayaan diri,
meningkatkan komunikasi, keluar dari isolasi, mempertimbangkan tindakanal-
ternative, percaya pada kemampuan mereka untuk memiliki kehidupan yang lebih baik,
dan akhirnya mengambil tindakan untuk meningkatkan kehidupan mereka.
12. Case Management
Akhirnya, layanan manajemen kasus memberikan informasi kepada korban
tentang layanan yang tersedia (misalnya, tempat penampungan lokal, program bantuan
korban) dan membantu mereka dalam mengakses layanan ini untuk diri mereka sendiri
dan anak-anak mereka. Layanan termasuk perumahan darurat, informasi hukum,
konseling kerja, dan penitipan anak.

I. Tindak Pencegahan atau Preventif Terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga


Terdapat dampak yang besar akibat kekerasan dalam rumah tangga tentu dapat
diminimalisir dengan berbagai upaya pencegahan terjadinya kekerasan itu sendiri, karena
tentu mencegah lebih baik daripada mengobati. Berikut adalah kiat mencegah terjadinya
KDRT :
a) Upaya oleh Individu dan Keluarga
1. Mengamalkan ajaran agama
Semua agama memiliki tujuan yang baik, tidak ada satupun agama yang
mengajarkan untuk melakukan kekerasan, sehingga ketika agama menjadi pondasi
dalam sebuah keluarga maka akan terhindar dari KDRT.
2. Komunikasi
Komunikasi dalam keluarga harus dibangun dengan baik setiap harinya, yang dapat
dimulai dari hal yang sepele seperti berpamitan. Dalam komunikasi yang baik
terdapat keterbukaan satu sama lain yang menyebabkan munculnya rasa saling
memahami dan saling percaya yang dapat menjadi pondasi dalam penyelesaian
masalah.
3. Pendidikan sejak dini
Anak diajarkan untuk tidak memukul, tidak berkata kasar, hingga bagaimana
mengatasi rasa marah. Pendidikan sejak dini diharapkan dapat membentuk karakter
anak yang akan dibawa dan diaplikasikan hingga dewasa.
4. Mediasi
Jika terdapat permasalahan yang serius hingga tidak dapat ditangani, sebaiknya
meminta mediasi kepada pihak ketiga yang dipercaya oleh kedua belah pihak.
5. Mencegah adanya Pernikahan dini di keluarga
Pernikahan dini adalah salah satu faktor utama terjadinya KDRT, Karena ketidak
matangan pasangan sebagai orang dewasa dan sifat labil dari remaja membuat
pasangan yang menikah menjadi pasangan yang belum paham dan matang untuk
meredakan emosi masing masing dan masih meninggikan egonya sendiri sehingga
sering terjadi kesalahpahaman dan keberbedaan pendapat yang menyebabkan
konflik dan berujung KDRT.
6. Saling Percaya
Kepercayaan harus ada pada setiap pasangan yang menjalin hubungan. Selain itu,
masing-masing juga harus menjaga kepercayaan yang sudah diberikan oleh
pasangannya. Saling percaya dan menjaga kepercayaan akan membuah hubungan
selalu berjalan baik dan selalu melihat pasangan dengan baik sehingga tidak ada
niat untuk melakukan kekerasan.
7. Hindari Prasangka Buruk
Dengan adanya kepercayaan, maka kita bisa menghindari munculnya prasangka
buruk atau suudzan. Suudzan dapat membuat kita memandang pasangan memiliki
kesalahan dan hal-hal buruk di belakang kita. Hal ini bisa memicu niat melakukan
kekerasan. Oleh sebab itu kita harus selalu menghindari segala bentuk prasangka
buruk.
8. Saling Berlapang Dada
Tidak ada orang yang sempurna, begitu juga pasangan kita pasti memiliki
kekurangan. Wajar juga jika pasangan kita melakukan kesalahan. Hal ini harus kita
maklumi dan terima dengan lapang dada. Jika masing-masing bisa berlapang dada
atas kekurangan maupun kesalahan yang dilakukan oleh pasangan, maka tidak akan
ada masalah yang sampai menimbulkan kekerasan.
9. Jauhi Perselingkuhan
Perselingkuhan menjadi salah satu penyebab yang paling sering menimbulkan
KDRT. Selingkuh bisa membuat kita tidak menghargai pasangan sendiri sehingga
tidak segan melakukan kekerasan. Hal ini harus kita jauhi.
10. Ikut konseling pernikahan
Mengikuti sesi konseling sebelum pernikahan bersama pasangan dapat menjadi
cara yang tepat untuk menghindari KDRT nantinya. Konseling pernikahan akan
membantu pasangan memahami pelanggaran hak perempuan dan hak laki-laki,
serta bagaimana seluk-beluk kehidupan berumah tangga. Dengan begitu, konseling
akan menimbulkan perasaan saling menghargai antar pasangan sebagai sesama
manusia.
b) Upaya oleh Lingkungan atau Masyarakat
1. Selesaikan Masalah Dengan Cerdas
Persoalan yang muncul dalam masyarakat harus disikapi dengan cara yang benar
agar tidak terjadi kekerasan. Itu dapat menemukan solusi yang tepat untuk masalah
tersebut dengan mendamaikan kedua pihak yang berkonflik.
2. Mencegah Hal Buruk Berikutnya
Setelah timbulnya Konflik, Masyarakat harus siap sedia untuk memberikan
perlindungan dengan salah satunya memisahkan antara korban dan pelaku dari
tempat yang sama untuk menghindari konflik dan kekerasan berikutnya
3. Bersedia Menjadi Pihak Ketiga
Ketika ada konflik, Masyarakat harus bisa mencegah terjadinya tindak kekerasan
dengan cara bersedia menjadi pihak ketiga sebagai mediator untuk menengahi dan
menangani masalah dan mencegah timbulnya konflik yang menyebabkan kekerasan
c) Upaya oleh Pemerintahan
1. Penyuluhan tentang KDRT.
Pemerintah mempunyai produk hukum positif berupa Undang-undang
penghapusan KDRT yang dapat disosialisasikan kepada masyarakat luas sehingga
masyarakat dapat lebih memahami dampak dan kiat terhindar dari KDRT.
2. Menyelenggarakan Advokasi Anti Kekerasan
Di era modern ini, masih banyak masyarakat yang belum begitu memahami
berbagai tindak kekerasan yang terjadi di masyarakat. Masih banyak masyarakat
yang meyakini bahwa tindakan yang mereka lakukan tidak melanggar kekerasan.
Bahaya dari kekerasan semacam itu sudah dipahami dengan baik.
Daftar Pustaka

1. https://m.kumparan.com/lifqui3/upaya-mengatasi-tindakan-kekerasan-sosial-di-
masyarakat-1zJ2Mxq9FjF/full
2. https://www.google.com/amp/s/m.kumparan.com/amp/kumparanmom/bagaimana-cara-
menghindari-kdrt-1yxFjW00Lby
3. https://www.google.com/amp/s/yoursay.suara.com/amp/lifestyle/2022/10/01/083218/5-
tips-mencegah-kekerasan-dalam-rumah-tangga-bikin-lebih-bahagia

Anda mungkin juga menyukai