Anda di halaman 1dari 218

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/362732888

Pekerjaan SoSial: Teori dan Metodologi

Book · August 2022

CITATIONS READS

0 2,023

2 authors, including:

Taufiqurokhman Taufiqurokhman
Universitas Prof.Dr.Moestopo (Beragama)
77 PUBLICATIONS   73 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Pengabdian Masyarakat: pembangunan sosial masyarakat perbatasan di Kecamatan Jagoi Babang Kabupaten Bengkayang Provinsi Kalimantan Barat View project

Islamic Education Policy Strategy in Indonesia's Digital Era View project

All content following this page was uploaded by Taufiqurokhman Taufiqurokhman on 17 August 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Dr. Taufiqurokhman, A.Ks., S.Sos., M.Si.
Hendrianto, SST., MPSSP.

Pekerjaan
Sosial:
Teori dan
Metodologi
Daftar Isi

BAB I
PENGETAHUAN UMUM BAGI PEKERJAAN SOSIAL 17
halaman
1. Perkembangan Manusia
2. Proses-proses Sosial dan Kelembagaan
3. Dinamika Interpersonal, Kelompok dan Organisasi
4. Proses Pekerjaan Sosial
5. Paradigma Teoritis
6. Metode-metode Intervensi
7. Etika dan Nilai

BAB II
TEORI DAN PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL 16 Halaman
1. Teori Sistem
2. Kajian Teori dari Persfektif Ekologis
3. Praktek Pekerjaan Sosial Life Model
4. Sistem Klasifikasi dan Asessment Person In-Enviromental
5. Persfektif Kekuatan
6. Empowerment-Based Practice Model
7. Perspektif Generalis

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi I
BAB III
METODE PRAKTEK PEKERJAAN SOSIAL 34 halaman
1. Case Work
2. Social Group Work
3. Community Development
4. Administrasi Pekerjaan Sosial
5. Manejemen Organisasi Pelayanan Sosial
6. Penelitian Pekerjaan Sosial
7. Perencanaan Sosial

BAB IV
ISU-ISU KONTEMPORER DALAM BIDANG PRAKTEK 30
Halaman
1. Isu-Isu Kontemporer Pekerjaan Sosial
2. Pekerjaan Sosial di Ranah Publik
a. Pekerjaan Sosial dan Kemiskinan
1) Amerika Serikat yang lain
2) Siapakah orang miskin itu?
3) Kemiskinan relatif dan absolut
4) Mengapa manusia miskin?
5) Respons pelayanan kepada kemiskinan
b. Pekerjaan Sosial dan Ketunawismaan
1) Salah pengertian tentang ketunawismaan
2) Terjadinya ketunawismaan
c. Pekerjaan Sosial dan Pengangguran.

II Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
1) Ekonomi dan pengangguran
2) Akibat-akibat dari pengangguran
3) Jaminan sosial pengangguran
4) Pelayanan-pelayanan bagi para penganggur
d. Pekerjaan Sosial di dalam Peradilan Kriminal
1) Kejahatan dan kenakalan
2) Kejahatan dan hukuman
3) Sistem peradilan criminal
4) Peran pekerjaan sosial di dalam peradilan criminal
a) Pekerja sosial kepolisian
b) Kesaksian pengadilan dan pekerjaan sosial forensic
c) Pelayanan-pelayanan peradilan remaja
d) Probasi dan parol. Probation (probasi)
e) Pekerjaan sosial di bidang koreksi

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi III
BAB PENGETAHUAN UMUM
I BAGI PEKERJAAN SOSIAL

Sebuah pertanyaan besar yang tidak mudah untuk dijawab


secara singkat, adalah pengetahuan-pengetahuan apa saja yang
dibutuhkan bagi para pekerja sosial. Dalam upaya menjawab
pertanyaan tersebut, maka basis pengetahuan pekerjaan sosial
dapat dibagi menjadi beberapa bagian kecil. Namun demikian
perlu ditekankan bahwa tidak ada cara yang paling definitif
(clear) untuk mengkategorisasi pengetahuan tersebut.

Setiap penulis bisa saja menggunakan kategori yang


berbeda, ini bukan pula berbicara tentang kategori mana
yang paling benar atau mana yang salah. Lebih dari sekedar
itu, ini adalah soal bagaimana sebuah sistem kategori dapat
membagi sesuatu yang sangat kompleks agar menjadi lebih
mudah dipahami pada masing-masing bagiannya. Ibarat puzzle,
maka setiap potongan kertas adalah bagian dari gambaran
keseluruhan yang tidak terpisahkan, yang seringkali juga saling
tumpang tindih dan saling silang di. Kategorisasi ini tentunya
ditujukan untuk membantu memudahkan memahami beragam
pengatahuan pekerjaan sosial yag ada.

Sheafor, Horejsi & Horejsi (1994) mengemukakan bahwa


dalam upaya melalukan perubahan ke arah yang lebih baik,
maka menurutnya para pekerja sosial memerlukan sejumlah

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 1
pengetahuan yang berkaitan dengan kondisi dan permasalahan
sosial, kebijakan sosial dan program sosial, fenomena sosial,
profesi pekerjaan sosial, dan berbagai teori praktek. Permasalahan
kenakalan dan tindak kriminal/ kenakalan remaja, pemenuhan
kebutuhan pendidikan bagi anak-anak, remaja putus sekolah,
kemiskinan, pengangguran, penyalahgunaan obat-obatan,
kekerasan dalam rumah tangga, dan seterusnya; merupakan
beberapa contoh dari permasalahan dan kondisi sosial yang ada
di masyarakat saat ini.

Para pekerja sosial harus mengetahui mana yang


merupakan kebijakan, program dan proyek kegiatan. Bagaimana
suatu kebijakan dapat diterjemahkan menjadi sejumlah program,
dan bagaimana suatu program dapat diurai menjadi beberapa
proyek kegiatan. Demikian pula bagaimana program-program
dan kegiatan-kegiatan tersebut dapat mencapai sasaran yang
telah ditentukan secara jelas. Dalam bagian berikut ini akan
dikemukakan sejumlah pengetahuan dalam profesi pekerjaan
sosial dan kesejahteraan sosial yang perlu diketahui.

1. Perkembangan Manusia

Pemahaman (perspektif, teori, model dst) mengenai


perkembangan mengenai perkembangan manusia nampaknya
merupakan bagian yang sulit terpisahkan profesi pekerjaan sosial
dan kesejahteraan sosial. Bagaimana mengintervensi sebuah
situasi kasus tertentu, tentunya tergantung pada sejumlah faktor,
tetapi satu seperangkat isu selalu mengedepankan tentang
perkembangan manusia---yaitu persoalan-persoalan yang

2 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
berkaitan dengan kehidupan manusia. Sebagai contoh, respon
terhadap seorang anak akan berbeda dari yang anak beranjak
remaja atau yang menjelang remaja akhir. Sama halnya ketika
kita akan merespon secara berbeda ketika berhadapan dengan
anak usia lima tahun dibandingkan dengan anak usia lima belas
tahun. Kondisi ini terjadi karena kita memahami signifikansi
lingkaran kehidupan yang mempengaruhi kehidupan seseorang
dan mengakui bahwa manusia akan menghadapi berbagai
tantangan dan isu yang berbeda-beda pula, bergantung pada
dimana lingkaran (daur) kehidupannya sedang dijalani.
Lingkaran hidup memiliki sejumlah implikasi bagi kita
seiring dengan pertumbuhan dan perkembangannya, setiap
tahap kehidupan yang dicapai akan cenderung merupakan faktor
kontekstual penting sehingga dapat dimengerti pula apabila
akan timbul permasalahan-permasalahan dan tantangan-
tantangan yang harus dihadapi serta terdapat rentang solusi
potensial yang juga mungkin dapat diperoleh dari setiap tahap
perkembangan manusia tesebut. Tahap-tahap dari lingkaran
(daur) hidup tersebut ditampilkan atau muncul secara berbeda-
beda oleh para ahli, namun demikian seiring tujuan sebelumnya
akan dikemukakan kategori secara umum saja. Berikut ini adalah
tahap-tahap kehidupan dari lingkaran kehidupan :
a. Infancy. Tahap kehidupan yang paling awal yang hidupnya
masih sangat bergantung pada perlindungan dan perawatan
orang lain. Tahap ini juga merupakan tahap perkembangan
yang paling signifikan dalam perkembangan psikologis
seiring pengalaman yang diperoleh pada tahap ini yang
dapat mempengaruhi pandangan kita terhadap dunia dan
bagaimana kita meresponnya di tahun-tahun berikutnya.

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 3
b. Chilhood. Seiring pertumbuhan dari masa bayi, kita
memulai proses menjadi lebih mampu mengurus diri
sendiri, meskipun kita masih membutuhkan perlindungan
dan pengasuhan yang baik. Sekali lagi pada tahap ini dapat
menjadi sangat signifikan dalam mempertajam respon-
respon dan sikap-sikap psikologis kita.
c. Adolescence. Sebagaimana diketahui bergeraknya masa
kanak-kanak ke masa dewasa harus melalui periode
transisi yang dikenal dengan masa remaja, meski pada
kenyataannya mayoritas anak muda dapat melewati masa
remaja tanpa kesulitan atau drama tertentu (Lipsitz, 1980).
Masa ini setidaknya merupakan masa yang penting dalam
kehidupan, di masa ini biasanya seseorang mengembangkan
rencana karirnya atau ideidenya tentang apa yang mereka
inginkan dalam kehidupan ini dan di masa depan.
d. Early adulthood. Secara umum di masa ini dipandang
sebagai tahap memastikan kemandirian diri mereka sendiri
dalam dunia orang dewasa, melalui pekerjaan, kehidupan
keluarga, merawat tempat tinggal, memiliki anak dan
seterusnya.
e. Middle age. Suatu tahap kehidupan yang dipandang sebagai
pola yang lebih mantap-mandiri dan dicirikan dengan
kematangan dan pengalaman. Di masa ini seringkali
dipahami sebagai masa konsolidasi.
f. Old age. Pada masa ini seringkali distereotipkan dengan
istilah-istilah negatif sebagai masa tergantung, lemah,
dan tidakberdaya. Pada kenyataannya pada masa ini akan
sangat berbeda bagi sebagian besar orang-orang lanjut
usia.

4 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
g. Death. Kematian biasanya tidak dikenal sebagai sebuah
tahap dalam daur kehidupan. Namun demikian, setidaknya
kematian merupakan bagian signifikan atau memiliki arti
penting dalam mempengaruhi daur kehidupan manusia.

Memahami daur kehidupan merupakan sebuah prasyarat


bagi para pekerja sosial, karena alasan-alasan berikut:
a. Dalam membentuk suatu pemahaman akan seseorang
atau orang yang akan dibantu, adalah hal penting untuk
mengapresiasi tahap kehidupan apa dalam daur kehidupan
yang mereka lalui dan apa artinya bagi mereka.
b. Permasalahan yang dihadapi oleh para pekerja sosial
umumnya adalah berkaitan dengan tahap kehidupan,
sebagai contoh, kasus kekerasan anak seringkali berkaitan
dengan penelantaran bayi (bayi dibuang misalnya) yang
seharusnya masih bergantung pada pengasuhan orang tua
untuk bertahan hidup.
c. Permasalahan seringkali muncul dimana orang mengalami
kesulitan untuk melakukan penyesuaian dari tahap
kehidupan satu ke tahap kehidupan selanjutnya, kehidupan
remaja merupakan contoh yang umum. Pendekatan
intervensi krisis dapat dimanfaatkan, atau berkaitan erat
dengan fenomena ini.
d. Setiap orang berbeda akan mengalami daur kehidupan
yang berbeda pula, mungkin pula orang akan mengalami
daur hidup yang berbeda sebagai hasil dari kecatatan fisik
(disability) atau faktor-faktor sosial lainnya.

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 5
Poin terakhir yang benar-benar penting adalah akan
berbahaya jika menggunakan kerangka daur hidup secara
kaku dengan berfikir bahwa seseorang diharapkan mampu
menyesuaikan diri seiring dengan tahap perkembangan (dan
akan disebut menyimpang ‘deviant’ jika tidak mampu). Daur
hidup menggambarkan apa yang ‘normal’ dalam pemikiran
umum, dan secara statistik.

Hal itu bukan berarti bahwa kelompok lain atau individu-


inidividu lain yang berperilaku tidak‘fit’ dengan pola tersebut akan
dianggap ‘abnormal’ dalam arti memiliki masalah atau sedang
bermasalah. Tentunya, kita harus mengerti bahwa pendekatan
tradisional seperti itu terhadap daur hidup manusia adalah
berpotensi oppressive, yaitu yang memiliki kecenderungan
untuk mendiskriminasi terhadap orang-orang yang tidak fit
(cocok, sesuai) dengan pola yang umumnya manusia (orang
dengan disabilitas, gay dan lesbian dan seterusnya), dan juga
seringkali gagal mempertimbangkan pentingnya perbedaan
gender dan budaya.

Dengan demikian hal yang seharusnya diingat adalah bahwa


daur hidup merupakan cara awal untuk memahami secara umum
tahaptahap perkembangan manusia dan bukan sebuah kerangka
kaku (statis) untuk membuat penilaian ‘abnormal’ terhadap
seseorang. Poin pentingnya adalah bagaimana memanfaatkan
pengetahuan umum dan pengetahuan yang lebih khusus lagi
untuk memahami secara lebih mendalam fenomena tersebut.

6 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
Poin penting lainnya bahwa untuk memahami bahwa daur
hidup tidak sesederhana persoalan biologi (pertumbuhan fisik dan
kebutuhannya). Memang benar bahwa, di sana terdapat sebuah
dimensi biologi, sebagai contoh dalam kaitan ketergantungan
bayi. Namun demikian kita sebaiknya tetap bersikap hati-hati
untuk memanfaatkan dimensi peran biologi secara utuh dalam
daur hidup seseorang. Masih terdapat dimensi-dimensi lainnya
yang perlu dipertimbangkan, yaitu psikologi, sosial, politik, dan
keberadaan (existential) manusia.

Memang dimensi eksistensial dapat dipandang sebagai


dimensi yang paling penting, untuk setiap tahap dari daur
kehidupan karena membawa serta tantangan keberadaannya
---yaitu permasalahan baru untuk diatasi sebagaimana realitas
yang kita hadapi sehari-hari dari keberadaan kita. Sebuah tema
yang paling penting dan menyatu berkaitan erat dengan daur
hidup yaitu identitas, pemikiran mengenai pengembangan
diri dan pemeliharaannya melalui kehidupan sehari-hari kita.
Identitas bukan sesuatu yang bersifat tetap, demikian pula tidak
ada persoalan yang bersifat abadi di luar kendali kita.

Identitas merepresentasikan berjalannya suatu interaksi


antara individu dan dirinya serta dengan kondisi sosialnya ---
ini adalah ‘biografi’ yang kita tulis, perbincangan metaphorcally
(tergambarkan secara simbolik), seiring berjalannya kehidupan,
yang membuat kita mengerti apa sedang kita dihadapi,
lalu mengintegrasikan pengaruhpengaruhnya terhadap kita
dan memikirkan secara rasional dan seterusnya demikian.
Permasalahan-permasalahan sosial seringkali juga berkaitan

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 7
dengan identitas (misalkan rendah diri, harga diri) seringkali
dihadapi dalam praktek pekerjaan sosial.

2. Proses-proses Sosial dan Kelembagaan


Bukan sebuah kebetulan bahwa istilah ‘pekerja sosial’
terdapat kata sosial yang sebetulnya memiliki makna yang
sangat mendalam. Konteks sosial adalah merupakan satu bagian
yang sangat-sangat penting dari situasi yang dihadapi pekerja
sosial serta diharapkan untuk dapat meresponnya secara tepat.

Di sinilah keahlian (expertise) profesi pekerjaan sosial


dalam memahami berbagai persoalan sosial, dengan memahami
proses-proses sosial manusia, baik dalam level mikro, meso
maupun makro. Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan,
dalam rangka melihat dan merespon kehidupan sosial:
a. Banyak permasalahan yang dihadapi awalahnya adalah dari
(kondisi) sosial, sebagai contoh sebagai akibat kemiskinan
dan kekurangan atau kekerasan ras, dan seterusnya.
b. Masalah sosial adalah socially constructed. Artinya, mereka
didefinisikan oleh masyarakat. Sebagai contoh, sejumlah
isu didefinisikan sebagai sesuatu yang melanggar hukum
(ilegal) di beberapa negara, tetapi belum tentu bagi negara
lainnya (legalitas prostitusi misalnya).
c. Solusi potensial adalah biasanya ada pada level sosial atau
masyarakat, daripada individual (sekali lagi kemiskinan
sebagai contohnya) dan mungkin melibatkan para pekerja
sosial untuk memberi tekanan kepada pihak lainnya untuk
menghadapi masalah tersebut (melalui aksi komunitas,
contohnya), daripada menghadapinya secara langsung,

8 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
case by case.
d. Respon pekerjaan sosial terhadap permasalahan seringkali
melibatkan seluas mungkin sumber-sumber sosial
(pelayanan-pelayanan pemerintah, atau badanbadan sosial
swasta, lembaga sosial berbasis komunitas misalnya)
sebagai potensi-potensi pemenuhan kebutuhan sosial.
e. Faktor-faktor pribadi atau psikologis tidak berada secara
terpisah---tetapi sangat dipengaruhi dan dibatasi oleh
oleh isu-isu sosial. Bahkan banyak persoalan pribadi
dan psikologis muncul sebagai akibat dari situasi sosial
(masalah sosial psikologis).
f. Terdapat konsekuensi-konsekuensi sosial sebagai hasil
keterlibatan dengan seorang pekerja sosial (misalnya
stigma). Misalkan, orang yang diurus oleh pekerja sosial
adalah orang yang punya ‘masalah’ sosial atau orang yang
tidak mampu.
g. Intervensi pekerjaan sosial dapat saja memperburuk
ketidakadilan sosial, misalkan memperkuat stereotip
gender.
h. Kebijakan sosial yang mengatur intervensi pekerjaan sosial
berakar pada kondisi sosial, politik dan ekonomi keseharian
dari masyarakatnya. Dengan demikian adalah penting bagi
para pekerja sosial untuk memahami konteks sosial dari
pekerjaannya.

Mengabaikan dimensi sosial berarti mengabaikan


persoalan utama pekerjaan sosial dan realitas dari kondisi-
situasi sekitar klien. Ini bukan berarti bahwa para pekerja sosial
harus ahli dalam bidang sosiologi tetapi mereka setidaknya

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 9
perlu memahami secara mendasar bagaimana masyarakat
bergerak dalam proses-proses sosial dan kelembagaan.
Di sinilah kemiripan atau kesamaan pengetahuan antara
sosiologi dengan pekerjaan sosial. Namun pembedanya, profesi
pekerjaan sosial tidak berhenti hanya mamahami proses-proses
(interkasi) sosial, tetapi bagaimana mempengaruh---melalui
berbagai perdekatan, metode dan teknik serta keterampilan---
prosesproses sosial tersebut agar bermanfaat bagi kesejahteraan
sosial.

Para pekerja sosial harus memahami proses-proses interaksi


sosial yang terjadi pada setiap level atau cakupan kehidupan
manusia. Hal ini meliputi pemahaman mengenai:
a. Social division. Kelas, ras, etnis, gender, usia, disabilitas,
identitas seks, agama dan seterusnya yang merupakan
cara-cara penting dimana seseorang dipengaruhi dan
ditentukan oleh faktor-faktor sosial berkaitan dengan
distribusi peluang dan kesempatan hidupnya. Bukan
sebuah kebetulan pula bahwa mayoritas klien pekerjaan
sosial adalah kelompokkelompok masyarakat dengan
penghasilan menengah ke bawah. Demikian pula bukan
hal yang mengejutkan bila mayoritas kliennya adalah
wanita, dengan fakta bahwa wanita diharapkan mampu
memainkan peran penting dalam mengelola keluarga dan
rumah tangga.
b. Power. Kekuatan atau keberdayaan merupakan isu yang
paling kompleks dan bergerak pada sejumlah tingkatan
(lapisan) masyarakat yang berbeda-beda. Namun demikian,
dalam sudut pandang pekerjaan sosial, hal tersebut

10 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
sangatlah penting. Karena terkait dengan bahwa sejauh
ini klien pekerjaan sosial umumnya berada pada posisi
kekuatan yang relatif lemah atau tidak berdaya, sebagai
akibat juga dari lokasi (posisi) sosial mereka (dalam
kaitan dengan ‘divisi sosial’ di atas) atau permasalahan
tertentu yang mendorong mereka untuk bertemu dengan
seorang pekerja sosial (masalah kecanduan minuman
keras, misalnya), atau mungkin kombinasi dari kedua hal
di atas. Kemudian, intervensi pekerjaan sosial itu sendiri
merupakan praktek kekuatan (strengths perspective), dan
ini dapat digunakan secara positif untuk memberdayakan
klien atau secara negatif memperkuat mereka yang
mengalami ketidak-beruntungan.
c. Ideology. Ideologi merujuk pada kekuatan gagasan untuk
mempertahankan keberadaan struktur dan relasi sosial.
Sebagai contoh, ideologi patrilineal (patrilineal/ patriarchy
berarti ‘the law of the father’---yaitu dominasi laki-laki)
memberi ruang terdapatnya pemeliharaan relasi kekuatan
antara laki-laki dan perempuan dengan menampilkan
peran gender secara alami dan yang diharapkan. Ideologi
sangat berkaitan erat dengan power karena secara luas
melalui peran ideologilah kekuatan tersebut dilakukan.
Artinya, bekerja dengan ideologi dapat lebih efektif dalam
mempertahankan struktur kekuatan daripada secara
terbuka dan terlihat jelas penggunaan kekuatannya, seperti
melalui kekuasaan dan pemaksaan.
d. Law and order. Hukum merupakan bagian dari produk dari
pabrik sosial,suatu aspek penting bagaimana stabilitas sosial
dipelihara. Hukum dan tatanan merupakan karakteristik

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 11
penting dari kehidupan sosial, 22 sebagaimana terlihat
dalam praktik-praktik hukum, baik di dalam maupun di
luar sistem pengadilan, yang banyak mengatur kehidupan
sosial. Pada posisi inilah signifikansi pekerja sosial, sebagai
bagian dari mesin hukum dan tatanan untuk menciptakan
stabilitas sosial, tetapi juga melakukan restrukturisasi sosial
dengan bekerja pada sebagian besar kelompok-kelompok
di masyarakat yang rentan dan tidak beruntung.
e. Social institutions. Tema ini merujuk pada suatu karakteristik
sifat dari masyarakat yang relatif berjangka waktu panjang
dan stabil, bangunan benteng kehidupan masyarakat yang
terdiri dari simbol-simbol tatanan sosial. Di dalamnya
termasuk pernikahan, keluarga, agama, pendidikan, dan
identitas nasional. Semua hal tersebut berkait erat dengan
ideologi dan memainkan peran penting dalam memahami
masyarakat kita. Faktor-faktor signifikan yang membantu
kita mengenali bagaimana masyarakat bergerak di sekitar
kita. Hal tersebut bukanlah sifat alamiah yang sama
dari suatu masyarakat dan seringkali berbeda dari satu
masyarakat ke masyarakat lainnya.

Semakin selas, bahwa konteks sosial pekerjaan sosial sangat


banyak dan ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pekerja
sosial untuk tetap berjalan seiring dengan semua yang mereka
perlu ketahui, khususnya dengan perubahan-perubahan sosial
yang dapat terjadi begitu cepat. Sehingga sudah merupakan hal
yang wajar dan maklum apabila pekerjaan sosial, seharusnya
adalah profesi yang paling paham, paling mengerti, paling ahli
dan kompeten dalam bidang sosial.

12 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
Sebuah profesi yang seharusnya mampu mengelola
aspek sosial, sumber sosial dan potensi sosial lainnya, bagi
kesejahteraan masyarakat. Sebuah profesi yang mampu
mengelola relasi dan interaksi antar manusia, antar individu,
kelompok, keluarga, komunitas, dan istitusi sosial lainnya,
sehinga berfungsi sosial dalam rangka mencapai kemakmuran
hidup manusia.
Oleh karena itu, pertanyaan-pertanyaan berikut ini
setidaknya dapat membantu pekerja sosial atau para praktisi
pertolongan untuk menyadari relevansi proses-proses dan
kelembagaan sosial:
a. Lokasi sosial seseorang (orang-orang) yang anda hadapi?
Artinya, bagaimana faktor-faktor seperti kelas, ras, gender,
usia atau disabilitas mempengaruhi situasi? Apa konteks
budayanya? Apakah ada (potensi) pertentangan antara
lokasi sosial mereka dan anda? Sebagai contoh, apakah
anda berbicara menggunakan bahasa yang sama atau atau
anda membutuhkan seorang penerjemah?
b. Faktor-faktor sosial apa yang berkontribusi terhadap situasi
permasalahan? Apa peran kemiskinan, perumahan kaum
miskin, stigma sosial, diskriminasi dan seterusnya?
c. Di dalam berhadapan dengan sebuah keluarga, apakah
terdapat perbedaan-perbedaan sosial yang mungkin
signifikan dalam keluarga? Apakah terdapat isu tertentu
yang dapat dilakukan berkaitan dengan peran-peran gender
atau harapan-harapannya? Apakah terdapat anggota
keluarga lansia atau disabilitas yang termarginalisasi atau
tereksploitasi dengan cara-cara tertentu?

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 13
d. Dalam merespon sebuah permasalahan dengan situasi
khusus, mungkin saja anda akan memperburuk kondisi
ketidakadilan dan ketidakberuntungan sosial? Anda
mungkin akan memperkuat rasisme dengan melakukan
pemenuhan bantuan kebutuhan-kebutuhan tertentu dan
perbedaan-perbedaan budaya? Apakah anda merasa
bersalah dengan kegagalan-kegagalan ketika mengatasi
lansia bermasalah berkaitan dengan harga diri dan rasa
hormat?
e. Jika akar permasalahan berada dalam dunia sosial dan
politik, apakah ada yang dapat pekerja sosial lakukan untuk
mempengaruhi dunia global tersebut? Sebagai contoh,
dapatkah pekerja sosial membawa persoalanpersoalan
sehingga menuntut perhatian pihak berwenang atau
kelompok-kelompok penekan/ pemerhati (pressure groups)
agar tertarik dengan isu-isu tersebut? Semua hal tersebut
tidak perlu pekerja sosial ketahui semua, tetapi setidaknya
memberi titik awal, untuk memasuki kompleksitas konteks
sosial. Para pekerja sosial nampaknya sudah semestinya
memahami (dalam konteks sosial) bahwa sebagian besar
masalah sosial tidak pernah muncul sebagai sesuatu yang
tunggal dengan akibat yang tunggal pula.

Para pekerja sosial juga harus memahami bahwa masalah


sosial seringkali muncul sebagai akibat ketidakmampuan
manusia menyesuaikan diri dengan perkembangan lingkungan,
atau ketidakmampuan lingkungan menyediakan sumber-
sumber yang dibutuhkan oleh manusia, atau juga (sering terjadi)
merupakan perpaduan antara ketidakmampuan manusia dan

14 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
ketidakmampuan lingkungan (Wibhawa, dkk, 2010).

3. Dinamika Interpersonal, Kelompok dan


Organisasi
Sebagian besar permasalahan yang dihadapi oleh para
pekerja sosial adalah berkenaan dengan interaksi antar manusia,
apakah pada level interpersonal, kelompok dan organisasi. Oleh
karena itu penting bagi para pekerja sosial untuk memahami
keterlibatannya dalam interaksi tersebut. Sekali lagi, kita
menemui diri berada dalam wilayah yang sangat kompleks,
dengan basis literatur dan penelitian yang sangat banyak, belum
lagi termasuk banyak pertimbangan kebijakan praktik (wisdom)
yang telah terbangun sejak lama.

Pada level interpersonal, kita dapat melihat bahwa interaksi


diantara orang dengan pekerjaan sosial, dan tentunya demikian
pula pada pelayanan manusia yang lebih luas lagi. Dengan
demikian, faktor-faktor penting apa yang perlu disadari dalam
rangka memahami interaksi interpersonal? Berikut beberapa isu
utamanya:
a. Komunikasi. Pola dan gaya berkomunikasi dapat menjadi
penting. Tentunya, kita harus juga mempertimbangkan
tidak hanya komunikasi verbalnya (apa yang dikatakan)
tetapi juga komunikasi non verbal (bahasa/ gerak tubuh
yang seiring ucapannya). Katakata yang digunakan, tekanan
suara, kecepatan berbicara, gesture yang pekerja sosial
gunakan, penundaan dan hening serta sesuatu yang tidak
harus kita katakan, semuanya hal tersebut akan menjadi
sangat signifikan dalam menentukan bagaimana orang

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 15
melihat kita dan bagaimana orang merespon kita. Sama
pentingnya dengan bagaimana kita menjadi terampil dalam
‘reading’ komunikasi orang lain, pendengar yang efektif
adalah yang mampu menempatkan orang pada posisi
yang nyaman dan bekerja secara efektif bersama mereka.
Seringkali ketidakmampuan atau lemahnya keterampilan
berkomunikasi pekerja sosial menjadi hambatan utama
dalam kegiatan pelayananpelayanan sosial.
b. Kekuatan (kekuasaan). Sekali lagi karakteristik kekuatan
sebagai aspek penting dari bagian pekerjaan sosial. Kekuatan
relasi biasanya terlihat dalam interaksi interpersonal dan
dapat diperkuat atau didukung melalui interaksi tersebut.
Sebagai contoh, seseorang yang berada dalam posisi yang
kuat mungkin akan berbicara rendah hati kepada seseorang
yang relatif tidak memiliki kekuatan (kekuasaan). Siapa
yang berbicara pertama, siapa yang menentukan agenda,
siapa yang banyak bicara, siapa yang mengakhiri interaksi,
siapa yang seringkali menjadi tumpuan (diandalkan) oleh
semua; semua hal tersebut ditentukan merujuk pada
kekuatan. Kekuatan bukanlah sekedar konsep yang abstrak
tetapi juga hadir secara praktis, pada tingkat konkrit dalam
interaksi keseharian. Sehingga penting untuk diingat
bahwa para pekerja sosial perlu menyadari, bersikap
sensitif, akan keterlibatan isu mengenai kekuatan dalam
interaksi interpersonal sehingga mendukung kontribusi
pada pemberdayaan, daripada memperkuat pemikiran
ketidakberdayaan. Kekuatan juga erat kaitannya dengan
kepemimpinan, yaitu bagaimana memanfaatkan potensi 29
kekuatan tersebut diarahkan dan dialirkan dalam rangka

16 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
membantu orang lain, meningkatkan keberdayaan orang
lain, dan mensejahterakan masyarakat umumnya.
c. Konteks. Konteks dimana interaksi itu dilakukan juga sangat
penting, sebagai setting yang dapat mempengaruhi secara
signifikan pada proses dan hasil dari interaksi. Sebagai
contoh, sebuah perbincangan yang dilakukan pada seting
formal (sebuah konferensi kasus, misalnya) nampaknya
akan banyak dipengaruhi oleh konteks. Kita tidak dapat
memperkirakan apakah klien berada dalam kondisi yang
nyaman dalam sebuah seting pertemuan formal kecuali jika
kita dapat melakukan langkah-langkah yang diperlukan
untuk mempersiapkan apa hasilnya, memahami prosesnya
dan peran-perannya dan seterusnya.

Tiga aspek yang sama juga dapat diterapkan pada interaksi


kelompok:
a. Komunikasi. Saluran-saluran komunikasi dalam kelompok
dapat menjadi sangat signifikan. Beberapa anggota
kelompok dapat berbicara secara terbuka dan bebas,
sementara lainnya sedikit atau tidak berkata sepatah kata
apapun. Hal ini mungkin terjadi karena beberapa anggota
merasa melalui kelompoknyalah upaya mereka untuk
berkontribusi menjadi lebih mudah, sementara yang lain
merasa terhambat oleh aspek keberfungsian kelompok
tersebut atau suasana atmosfir yang tercipta. Oleh karena
itu perlu untuk memahami dinamika kelompok yang terjadi,
mengapresiasi pola-pola yang seringkali muncul dalam
suatu kelompok.

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 17
b. Kekuatan (kekuasaan). Bekerjanya kekuatan biasanya
terlihat dalam kelompok, satu orang atau lebih berupaya
untuk dominan, sementara lainnya terpinggirkan atau
mungkin semuanya keluar, sehingga merefleksikan posisi
kekuatan respektifnya dalam sebuah kelompok.
c. Konteks. Seting juga hal penting bagi interaksi kelompok.
Sebagai contoh, jika terdapat hambatanhambatan (posisi
furnitur, jarak bicara, tata ruang, tata letak, sirkulasi
udara, dan seterusnya) dalam ruangan, maka hal itu akan
mengganggu efektifitas kelompok mencapai tujuannya.

Interaksi kelompok juga memiliki dimensi tambahan


dengan fakta bahwa sebuah kelompok dapat melakukan
kehidupannya sendiri---keseluruhan (whole) akan menjadi lebih
besar dari pada penjumlahan bagian per bagiannya. Memahami
interaksi kelompok dengan demikian kurang lebih sama
dengan memahami interaksi interpersonal. Terdapat beberapa
pertimbangan penting dari interaksi antara kelompok dengan
factions. Tentunya perlu diingat bahwa persoalan interaksi
kelompok penerapannya tidak hanya untuk bimbingan sosial
kelompok (dalam arti proses-proses terorganisasi terapi berbasis
kelompok) tetapi juga untuk semua jenis aktifitas kelompok,
termasuk dinamika keluarga, tim kerja, pertemuan atau
kelompok pelatihan. Dinamika keorganisasian jelas memiliki
banyak dinamika interpersonal dan dinamika kelompok dalam
organisasi.

18 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
Namun demikian, terdapat pula faktor-faktor yang bergerak
dalam konteks keorganisasian yang membatasi interaksi
tersebut. Faktor-faktor yang mungkin memberi batasan atas
interaksi yang terjadi antara lain:

a. Budaya organisasi (the organizational culture) --- sesuatu


yang menggerakkan, pola-pola yang telah ada dalam waktu
yang lama, karena memang budaya organisasi terbentuk
melalui kebiasaan-kebiasaan telah berlangsung lama;
b. Relasi kekuasaan resmi dan tidak resmi (formal and
informal power relations) – hirarki pejabat resmi, seperti
halnya pula pola-pola kekuatan dan pengaruh nonpejabat
yang mempengaruhi organisasi. Belum tentu kekuasaan
resmi memiliki pengaruh yang kuat daripada dari relasi
kekuatan informal;
c. Kebijakan dan prosedur (policies and procedures) –
harapan-harapan formal tentang bagaimana seharusnya
seseorang bertindak, namun belum tentu juga prosedur
dan kebijakan tersebut menjadi faktor yang memperlancar
atau mempermudah jalannya organisasi;
d. Gaya manajemen (management styles) -gaya kepemimpinan
(dari otoriter hingga demokratis) dapat mempengaruhi
interaksi secara signifikan. Oleh karena praktek pekerjaan
sosial banyak dilakukan dalam konteks organisasi (dalam
arti bekerja dengan organisasi dan badan sosial lainnya
yang relevan), kompleksitas kehidupan organisasi ini pun
mempengaruhi praktik pertolongan keseharian, sehingga
membuatnya menjadi salah satu aspek penting dari basis
pengetahuan pekerjaan sosial.

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 19
Salah satu kesulitan dalam memahami interaksi adalah
bahwa kita biasanya merupakan bagian dari dinamika yang coba
kita pahami sendiri. Artinya, adalah sulit untuk memperoleh
gambaran objektif saat kita menjadi bagian dari situasi yang
coba kita pahami. Dengan demikian adalah penting apabila
pada satu saat kita bekerja bersama dalam suatu persoalan
tertentu sehingga akan memperoleh peluang yang lebih baik
dalam mengatasi masalah. Supervisi dari manajer atau atasan
langsung para pekerja sosial juga merupakan aspek yang bernilai,
baik sebagai proses kendali memastikan metode, teknik dan
proses yang digunakan sesuai dengan konteks permasalahan
dan kebutuhan klien. Supervisi juga merupakan proses transfer
pengetahuan dan pembelajaran bagi supervisor dan supervisee

4. Proses Pekerjaan Sosial


Selanjutnya, yang harus diketahui dan dikuasai adalah
mengenai cara-cara profesi pekerjaan sosial dalam mengatasi
permasalahan sosial. Proses pekerjaan sosial merupakan bagian
penting dalam praktek pekerjaan sosial, yang juga merupakan ciri
khas pendekatan dari pekerjaan sosial. Hal yang umum terjadi,
walau tidak selamanya benar, yaitu kritik-kritik kepada profesi
pekerjaan sosial yang seringkali tidak jelas dan mengambang.

Berdasarkan pandangan ini, berarti profesi pekerjaan


sosial dicirikan dengan kurang presisinya akan apa yang dapat
dicapai atau bagaimana seharusnya hal tersebut diperoleh.
Objektifitas nampaknya merupakan hal vague atau non-existent
dan kemajuan ke arah tersebut nampaknya cenderung sangat
lambat dan kurang baik, membingungkan, tidak jelas, dan tanpa

20 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
arah. Kritikan tersebut mungkin ada benarnya, sebagai bahan
introspeksi diri bagi praktek pekerjaan sosial.

Agar para pekerja sosial terhindar dari ketidakjelasan dan


terbawa arus kebingungan, maka dibutuhkan sebuah ‘systematic
practice’. Hal ini meliputi kejelasan objektif (tujuan) sebagai
dari bagian pekerjaan tertentu (apa yang akan dicapai), strategi
apa untuk mencapainya (bagaimana hal tersebut dicapai) dan
bagaimana penghentian hubungan pertolongan ditentukan
(Apa keberhasilan yang akan dicapai? Bagaimana menentukan
berhasil atau tidaknya?).

Sistematika praktik tersebut, menurut Thompson, 2002a,


dapat dicapai dalam lima tahap proses, sebagai berikut:
a. Assessment. Tahap ini meliputi pengumpulan informasi
dan menghasilkan sebuah gambaran tentang apa
permasalahannya, kekuatan apa yang dapat digunakan,
apa kebutuhan yang telah disediakan, dan seterusnya. Ini
merupakan tahap awal, karena berdasarkan basis asesmen
inilah kegiatan selanjutnya akan dilakukan. Penting untuk
dicatat bahwa asesmen tidak sama dengan pengumpulan
informasi semata, atau tidak sama pula dengan identifikasi
kebutuhan atau pelayanan apa yang seharusnya disediakan
saja. Assessment merupakan proses yang holistik yang
meliputi upayaupaya melihat situasi menyeluruh---yang
terkadang dirujuk sebagai ‘helicopter vision’. Asesmen
yang terbatas atau seadanya saja dapat menyulitkan di
kemudian hari ketika berpraktek yang mungkin akan benar-
benar terlalu jauh dari yang diperlukan sebagai akibat dari

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 21
pengabaian asesmen. Asesmen yang dilakukan dengan
baik dan benar merupakan keberhasilan 50% dari proses
pertolongan keseluruhan.
b. Intervention. Sekali permasalahan dan faktor-faktor lainnya
telah teridentifikasi, tahap berikutnya adalah menentukan
pengaturan atau pengelolaan yang diperlukan untuk
mengatasi permasalahan tersebut, upaya memenuhi
kebutuhan dan seterusnya. Terdapat sejumlah cara
intervensi tertentu yang dapat dilakukan, tetapi kesemua
proses tersebut ditujukan untuk merespon permasalahan
yang telah teridentifikasi secara positif dan konstruktif.
Tidak terdapat batasan ‘right answer’ (jawaban yang pasti
benar) tentang bagaimana prosesnya, meski demikian
terdapat beberapa cara yang mungkin lebih mendekati
tepat dan sesuai membantu daripada lainnya. Artinya,
penting bahwa praktek seharusnya berbasiskan pada
partnership (kemitraan) antara pekerja sosial dengan klien.
Dalam proses intervensi selalu berupaya melibatkan klien
dan penyedia layanan sosial lainnya sebanyak mungkin,
sehingga pekerjaan sosial merupakan sebuah proses yang
bekerja bersama orang, daripada bekerja bagi mereka.
Dengan demikian pendekatan intervensi seharusnya
berupaya membangun kemitraan daripada mencari sebuah
‘cure’ (mengobati si sakit) terhadap situasi seperti halnya
pekerja sosial sebagai seorang ‘social doctor’. Pendekatan
kemitraan dalam proses pertolongan pekerjaan sosial,
juga dapat dipahami sebagai upaya untuk memberdayakan
klien.

22 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
c. Review. Perubahan situasi sepanjang waktu, dan sehingga
asesmen pekerjaan sosial memerlukan perubahan juga.
Mungkin saja di awal asesmen terjadi kesalahan dan
ketidaktepatan kajian, karena berbagai alasan, sehingga
informasi yang diperoleh terbatas. Sehingga penting bahwa
kajian secara periodik menuntut penyesuaian yang dapat
dilakukan untuk perencanaan pekerjaan sosial. Dalam
banyak kasus, mungkin saja banyak mengesampingkan
semua perencanaan. Namun demikian, jika tidak dilakukan
kajian secara hati-hati dan cermat, maka akan banyak
waktu, usaha dan energi yang terbuang percuma karena
upaya-upayanya tidak terarah dan terukur. Pekerja sosial
jangan ragu dan merasa malu untuk mengevaluasi diri
sendiri (reflective) dan proses intervensinya, agar tidak
mencelakakan klien lebih jauh lagi.
d. Ending.Dengan segala hormat dan penghargaan,sebenarnya
tujuan pekerjaan sosial adalah memungkinkan seseorang
untuk mengatasi permasalahannya sendiri (mandiri) dan
mengatasi isuisunya sendiri tanpa membutuhkan dukungan
pekerjaan sosial. Dengan demikian, secara umum pekerja
sosial seharusnya melakukan intervensinya sebaik-setepat
mungkin di setiap saat. Dengan demikian adalah penting
juga untuk bersikap serius dalam penguasaan keterampilan-
keterampilan saat intervensi, sebagai aspek praktik agar
memudahkan penanganan dan berhasil baik. Sejak awal
proses pertolongan, baik caracara interaksi dengan klien
maupun kegiatan pertolongan yang dilakukan adalah untuk
memberdayakan klien, agar mandiri menentukan hidupnya

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 23
sendiri, dan lebih jauh lagi klien yang mandiri akan mampu
membantu orang-orang lain yang membutuhkannya.
e. Evaluation. Ketika intervensi pekerjaan telah selesai
dilakukan, kemudian pekerja sosial memiliki peluang
untuk belajar dari apa yang telah berjalan dengan baik
(bagaimana kita dapat membangun kekuatan kita?), apa
yang telah berjalan dengan lebih baik (bagaimana kita
belajar dari kesalahan kita?) dan secara umum pelajaran apa
yang diperoleh dari pengalaman. Jadi evaluasi merupakan
sebuah bagian fundamental dari praktik yang baik, yang
menyediakan sebuah platform mana yang akan terus
diperbaiki. Bukan persoalan keterampilan, pengalaman
atau efektifitasnya pekerja sosial, tentunya selalu terdapat
pelajaran yang dapat diperoleh, perbaikan yang dilakukan
dan manfaat yang diperoleh dari evaluasi praktik pekerjaan
sosial. Lakukan refleksi diri akan praktek yang telah
dilakukan, baik sikap, cara, dan metode atau keterampilan
yang digunakan; untuk bahan perbaikan di masa mendatang.
Patut dicatat bahwa tujuan dari proses pekerjaan sosial dan
sistematika praktik tidak seharusnya membuat para pekerja
sosial bergerak bagaikan robot yang hanya bergerak kalau
ada perintah, kaku pada per tahap bagiannya, daripada
sekedar berfikir sebagai praktisi yang memiliki kerangka
acuan kerja yang melandasi pekerjaannya dan kepercayaan
diri, insight dan sensitivitas untuk mengadaptasi kerangka
acuan kerja dan kapan diperlukannya. Artinya, sebuah
praktek sistematik ditunjukkan atau dilakukan hanya
sebagai basis untuk praktik profesional yang fleksibel dan
reflektif, daripada hanya sebagai alternatif satu-satunya

24 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
5. Paradigma Teoritis
Dalam perkembangan praktek pekerjaan sosial, basis
pengetahuan pekerjaan sosial cukup banyak dan terus
berkembang secara konstan. Khususnya di negara-negara maju
dan sebagian belahan bumi lainnya yang mengakui keberadaan
kewenangan pekerja sosial dan praktek pekerjaan sosialnya.
Seperti negara-negara ‘Barat’ (Amerika, Canada, Eropa, Astralia)
dan sebagian negara-negara di Asia (India, bangladesh, Pakistan,
Thailand, Filipina, Malaysia, Korea, dan banyak lagi).

Lain hal dengan di Indonesia, yang sudah mengakui secara


tertulis (yuridis formal) tentang profesi pekerjaan sosial, namun
masih ragu atau ‘tanggung’ untuk memberikan kewenangan
penuh bagi profesi pekerjaan sosial berpraktek secara
profesional, baik yang di organisasi dikelola oleh pemerintah,
apalagi yang dikelola oleh masyarakat atau swasta. Sebagian
besar orang (para akademisi dan praktisi pekerjaan sosial) telah
berupaya membuat praktek pekerjaan sosial merupakan sesuatu
yang logis melalui pengembangan pendekatan-pendekatan
teoritis, dan melalui upaya-upaya tertentu tanpa henti untuk
membentuk ciri khas dunia akademik pekerjaan sosial.

Namun demikian, tentunya akan menjadi sesuatu tidak


realistik jika pekerja sosial hanya bertumpu pada satu pendekatan
saja untuk menjawab menanggapi semua pertanyaan yang
mereka butuhkan. Dengan demikian pekerja sosial perlu
memperoleh sejumlah perspektif teoritis dan kemampuan
untuk menggunakannya sesuai kebutuhan. Mengembangkan
sebuah tipologi teori-teori pekerjaan sosial secara komprehensif

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 25
tentunya tidak dapat dicakup dalam tulisan ini. Meski demikian
secara realitas, dapat dikemukakan secara singkat trend teoritis
yang mempengaruhi pekerjaan sosial selama bertahun-tahun
dan terus menerus saling berhadapan untuk secara dominan
menjelaskan kompleksitas tugas-tugas pekerjaan sosial dan
menjelaskan konsekuensinya setepat mungkin.

Apa yang akan dikemukakan berikut ini, memang sangat


singkat, sebagai ulasan singkat tentang kerangka teoritis dan
konsep-konsep yang umumnya dipergunakan dalam pemikiran
pekerjaan sosial.

Di bawah ini akan dikemukakan secara singkat


perkembangan pendekatanpendekatan utama pada teori dan
praktek pekerjaan sosial, sebagai berikut:
a. Psikodinamika (psychodynamic). Teori psikodinamika secara
luas dipergunakan walau tidak secara khusus yang berasal
dari karya Sigmund Freud saja. Teori ini berkaitan dengan
konflik internal psikologis antara dorongan kesenangan
irasional id dan kesadaran sosial super ego, yang dimediasi
oleh ego atau ‘regulator’ psikologis. Artinya, pendekatan
ini bagi profesi pekerjaan sosial berupaya mencari
pemecahan masalah pekerjaan sosial sebagaimana sebuah
konflik antara keinginan dan kebutuhan dari individu dan
hambatanhambatan serta tuntutan masyarakat. Dalam
prakteknya, adalah bagaimana caranya memperkuat ego
dalam rangka mengendalikan keinginan dari id yang
mungkin akan membawa si individu ke dalam situasi
masalah dan atau konflik berikutnya. Meski pendekatan

26 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
ini tidak begitu lama mendominasi, hingga saat ini masih
dipergunakan dan pada tingkat tertentu masih berpengaruh.
b. Bimbingan sosial perseorangan Psikososial (psychosocial
casework). Pendekatan ini dalam berbagai caranya
merupakan pengembangan dari teori psikodinamika,
khususnya tulisan psikologi ego dari Erikson. Perbedaan
dan persamaan dari kesesuaian pendekatan ini dan
psikodinamika adalah terdapat penekanan yang lebih
besar pada dimensi sosial, banyak faktor-faktor sosial yang
mengambil bagian dalam situasi pekerjaan sosial. Artinya
pendekatan ini hadir tidak hanya sekedar diterapkan
sebagai upaya penyesuaian psikologis semata tetapi juga
mengatasi lingkungan sosial atau situasi kondisi individu
atau persoalan keluarga. Sebagaimana psikodinamika,
dominasi pendekatan ini tidak lama, meski masih
berpengaruh hingga saat ini.
c. Psikologi Humanis (Humanistic psychology). Fokus
psikologi humanis adalah potensi manusia serta
hambatan-hambatan sosial dan psikologis yang membatasi
kehidupannya. Asumsi yang dibangun dari teori ini adalah
bahwa manusia dipandang atau diasumsikan memiliki
dasar yang baik, dan akan cenderung berbuat jahat apabila
situasi kondisi berpotensi mengganggu atau menimbulkan
situasi frustasi. Implikasi teori ini dalam praktek pekerjaan
sosial, kemudian, seiring dengan perhatian dari psikologi
humanis, berupaya membebaskan manusia dari hambatan-
hambatan tersebut sehingga kebaikankebaikan alamiah
dapat muncul dan terus berkembang. Pendekatan ini
tidak pernah menjadi pendekatan yang dominan tetapi

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 27
pengaruhnya sedikit banyak terasa dalam berbagai teori
dan bidang praktek pekerjaan sosial.
d. Pekerjaan sosial perilaku (behavioral social work). Asumsi
dasar atau gagasan dasar yang dibangun adalah bahwa,
perilaku dapat dipelajari melalui sejumlah kecil proses-
proses psikologis (seperti melalui penguatanpenguatan),
permasalahan-permasalahan yang berkait 45 dengan
perilaku dapat diatasi melalui intervensi yang
memungkinkan proses-proses pembelajaran sehingga
perilaku bermasalah dapat dikurangi (atau dihilangkan),
sehingga perilaku positif dapat diperkuat. Implikasi teori
ini dalam praktek pekerjaan sosial antara lain untuk
membangun dan memperkuat kapasitas klien agar lebih
berdaya dan berguna, sehingga mampu secara mandiri
membuat putusan-putusan penting bagi hidupnya sendiri
saat ini dan di masa datang. Pendekatan ini begitu populer
dalam sejumlah aspek praktek, meski saat ini tidak begitu
populer.
e. Teori Sistem (systems theory). Pendekatan ini lebih eksplisit
dalam sosiologi dimana situasi praktek pekerjaan sosial
yang ditangani dipahami sebagai serangkaian keterkaitan
sistem sosial (sistem keluarga, sistem ketetanggaan, dan
seterusnya). Kemudian tugas pekerja sosial, adalah untuk
memahami interaksi sistem dan permasalahan yang muncul
dari interaksi tersebut, sehingga pola-pola sistem dapat
diatasi dan permasalahan ditangani. Tipe terapi keluarga
banyak mempergunakan pendekatan ini. Penekanannya
pada perubahan sistem keluarga secara keseluruhan,
daripada bekerja dengan faktor-faktor individual. Teori

28 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
sistem merupakan salah satu teori yang memiliki pengaruh
besar dalam praktek pekerjaan sosial. Hal ini ditunjukkan
dengan konsepsi 4 (empat) sistem dasar dalam pekerjaan
sosial, yaitu: sistem pelaksana perubahan, sistem klien,
sistem sasaran dan sistem kegiatan.
f. Pekerjaan sosial radikal (radical social work). Pendekatan
ini muncul dari ketidakpuasan dengan pendekatan
yang sedikit sekali atau yang tidak memperhitungkan
faktor-faktor sosial yang lebih luas, kelas-kelas khusus,
kemiskinan dan kekurangan. Fokus pekerjaan sosial radikal
adalah politisasi, membantu klien mengembangkan
kesadaran tentang bagaimana permasalahan mereka
dikaitkan dengan faktor-faktor sosial dan politik, sehingga,
mereka seharusnya memiliki hak-hak dan kewajiban agar
dapat berkontribusi pada proses perubahan sosial radikal.
Terdapat beberapa elemen pekerjaan sosial radikal yang
masih ditemukan dalam beberapa pendekatan modern ke
arah pemberdayaan dan emansipasi.
g. Praktek emansipasi (emancipatory practice). Pengembangan
pada penekanan pekerjaan sosial radikal sosial politik,
pendekatan emansipasi modern bagi pekerjaan sosial
berkenaan dengan penindasan, mengakui bahwa mayoritas
klien pekerjaan sosial mengalami penindasan dan bentuk-
bentuk diskriminasi lainnya. Fokus praktek pekerjaan sosial
adalah berkontribusi pada pemberdayaan klien untuk
membantu mereka yang mengalami ketidakberuntungan
sebagai hasil dari pembatasan-pembatasan sosial dan
sikap-sikap negatif mereka. Memang pekerja sosial tidak
harus menguasai semua perspektif teoritis tersebut.

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 29
Beberapa praktisi akan nyaman dengan satu atau lebih
teori tetapi memiliki sedikit pengetahuan, atau kepentingan
lainnya. Hal tersebut bukanlah masalah. Tujuannya adalah
mengembangkan suatu praktek yang dapat terlaksana
dengan baik dan benar, daripada hanya mengejar satu
perspektif teoritis saja atau lainnya. Dengan demikian
semakin luas pemahaman dan penguasaan pekerja sosial
akan beragam pula teori yang mendasari praktek 48
pekerjaan sosial akan menjadi jaminan praktek pertolongan
akan lebih terukur dengan baik dan benar, serta dapat
dipertanggungjawabkan secara teoritis dan manfaatnya.

6. Metode-metode Intervensi
Banyak dan beragam metode yang dapat digunakaan dalam
praktek pekerjaan sosial. Metode-metode intervensi yang dapat
dikemukakan berkenaan dengan pencapaian tujuan-tujuan
pekerjaan sosial berhubungan erat dengan kerangka perspektif
teoritis sebelumnya.

Namun demikian, terdapat pula cara-cara lain untuk melihat


metode intervensi, seperti contohnya ketika istilah intervensinya
disesuaikan dengan target sasaran perubahan pada individual,
keluarga, kelompok atau masyarakat:
• Individual case work (bimbingan sosial perseorangan).
Metode ini dapat digambarkan sebagai metode praktek
dan melibatkan upaya individu berbasis pertemuan lawan-
muka dengan klien dalam rangka mengatasi kesulitan yang
dihadapi mereka.

30 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
• Family work (bimbingan sosial keluarga). Mekanisme
kerjanya adalah bekerja dengan seluruh keluarga,
menciptakan perubahan pada keluarga, daripada perubahan
pada level individu. Sebab perubahan dalam diri individu
tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan anggota
keluarga lainnya.
• Groupwork.(bimbingan sosial kelompok). Metode ini sangat
efektif digunakan ketika bekerja dengan orangorang
yang memiliki permasalahan dan perhatian yang sama.
Contohnya, pekerja sosial bertindak sebagai fasilitator dalam
rangka mendorong kelompok untuk saling mendukung
satu sama lain dalam upaya mengatasi permasalahan
mereka. Metode ini dipergunakan dengan tujuan diarahkan
para perubahanperubahan positif individu melalui media
interaksi kelompok.
• Community work/ Community organization/ community
development (pengorganisasian dan pengembangan
masyarakat). Ini merupakan pendekatan yang agak populer
daripada metode-metode sebelumnya, masih tetap terus
berkembang dan banyak dipergunakan di sejumlah negara-
negara berkembang, terumasuk Indonesia.

Pekerja sosial banyak bertindak sebagai katalis dalam


membantu kelompok-kelompok masyarakat untuk mengatasi
permasalahan dan mengelola sumber-sumber mereka. Tentunya
masih terdapat perbedaan makna ‘tingkatan’ intervensi, namun
tidak terlalu mencolok, sehingga seringkali terjadi tumpang
tindih dalam prakteknya.

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 31
Sebagai contoh, bimbingan sosial kelompok (group work)
mungkin akan banyak digunakan sebagai bagian CO/CD, atau
bimbingan sosial perseorangan mungkin dilakukan bersamaan
dengan family work. Ini lah yang kemudian memperkuat
pendekatan generalis dalam praktek pekerjaan sosial.

Selain penggunaan metode berdasarkan sasaran atau


ranah level praktek, terdapat pula sejumlah metode yang umum
digunakan, sebagaimana dalam ilustrasi berikut:
• Task-centered pactice. Merupakan kerja bersama untuk:
(1) menjelaskan situasi terkini (dimana kamu saat ini--- poin
A) dan mengidentifikasi situasi alternatif yang lebih baik
(kemana yang kamu suka---poin B);
(2) plot rute dari A ke B dalam arti langkah-langkah apa
yang akan diambil (tugas-tugas yang akan dicapai), mulai
dari yang paling mudah dalam rangka membangkitkan
kepercayaan dan hingga memantapkan basis keberhasilan;
dan
(3) bersepakat untuk berbagi alokasi tugas-tugas.
• Contract work. Metode ini sejenis dengan task-centred
practice tetapi menggunakan negosiasi kesepakatan
tertulis sebagai fokus intervensinya.
• Counselling. Meski konseling secara lebih mendalam
terderung dilakukan hanya dalam lembaga-lembaga
khusus, praktek pekerjaan sosial seringkali terlibat dalam
elemen-elemen konseling dalam rangka membantu orang
memahami situasinya, perasaanperasaannya dan pilihan-
pilihannya.

32 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
• Care management. Pendekatan ini melihat penyediaan
‘paket’ layanan perawatan yang dilakukan dalam rangka
memelihara seseorang dalam masyarakat yang benar-
benar membutuhkan pelayanan kelembagaan.
• Advocacy. Menjadi seorang advocate berarti mewakili
kepentingan-kepentingan orang yang tidak mampu
melakukan untuk dirinya sendiri (sebagai contoh, orang-
orang yang mengalami kesulitan belajar atau masalah
kesehatan mental).
• Mediation. Metode ini menunjuk pada upaya membantu
menengahi kedua belah pihak berkonflik, untuk melakukan
rekonsiliasi atas perbedaan-perbedaan, dengan tetap
bersikap netral untuk menjaga keseimbangan diantara
mereka. Sebenarnya masih banyak lagi metode yang umum
dipergunakan dalam praktek pekerjaan sosial, dan terdapat
pula bentuk-bentuk praktek yang mungkin tidak masuk
dalam satu kategori teoritis.
Demikian pula, mungkin saja terdapat beberapa metode
dan perspektif teoritis dikombinasikan (misalkan, memanfaatkan
metode behavioral dalam konteks task-centred practice,
atau menggunakan pendekatan psikodinamika sebagai basis
konseling). Metode-metode tersebut juga dapat digunakan
secara lintas level intervensi, inilah yang kemudian memunculkan
pendekatan praktek generalis (generalist practice). Dengan
pendekatan ini berbagai metode akan dapat dimanfaatkan untuk
setiap level, seiring dengan tujuan perbaikan dan keberfungsian
sosial klien—baik individu, kelompok, keluarga, organisasi, dan
masyarakat.

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 33
Terdapat pula pendekatan-pendekatan yang lebih bersifat
indirect service , yang berbeda dengan metode-metode
sebelumnya, namun keberadaannya begitu determinan dalam
praktek pekerjaan sosial. Beberapa metode atau pendekatan ini
adalah:
• Administrasi pekerjaan sosial. Banyak kebijakan sosial dari
pemerintah arti makro maupun mikro (dalam organisasi)
harus diterjemahkan menjadi programprogram, dan
kemudian proyek-proyek atau kegiatan yang lebih detil dan
jelas, sehingga tepat sasaran.
• Human/Social service organization (HSSO). Hampir seluruh
aktifitas praktek pekerjaan sosial yang berupa pelayanan-
pelayanan sosial, baik yang dikelola pemerintah atau
swasta, berada dalam sebuah organisasi pelayanan sosial.
Sehingga pemahaman dan penguasaan pengelolaan
organisasi sosial menjadi begitu penting dalam rangka
efektifitas dan efisiensi pelayanan sosial.
• Social work research. Penelitian pekerjaan sosial akan
berhubungan dengan pengumpulan data, pengolahan data,
dan analisis data mengenai praktek-praktek pekerjaan
sosial, atau mengenai ketepatan sasaransararan program
atau kebijakan, atau berkaitan dengan pengembangan
suatu metode atau keterampilan yang efektif, atau juga
dapat digunakan untuk mengevaluasi manfaat suatu
program; dan sebagainya.

34 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
• Social policy dan social planning. Pengembangan dan
perencanaan suatu kegiatan sosial merupakan tantangan
tersendiri. Perencanaan yang ideal adalah yang partisipatif,
yaitu terdapatnya ruang sebanyak mungkin keikutsertaan
dari kelompok-kelompok sasaran.

Sejumlah praktisi menyatakan bahwa mereka tidak


menggunakan teknik dan metode secara khusus atau hanya
satu metode saja, tetapi mereka lebih suka memadukannya
secara ‘eclectic’. Terkadang, penggabungan tersebut memiliki
kualitas praktek yang lebih baik dimana pekerja sosial berhasil
menggabungkan elemen-elemen pengetahuan secara tepat
dan efektif. Dengan eklektisisme merujuk pada sesuatu yang
konsisten dan terintegrasi menyeluruh, daripada sebelumnya
yang parsial dan terpisah-pisah.

Inilah yang menjadi ciri khas dari landasan keilmuan


pekerjaan sosial, yang memadukan berbagai pendekatan, teori,
perspektif dan model-model dalam praktek pertolongan atau
intervensinya. Isu lain berkaitan dengan metode intervensi
adalah bahwa mereka cenderung selalu menggunakan namanya
saja.

Sebagai contoh, “Saya menggunakan pendekatan task-


centred” yang dapat diartikan sebagai secara sederhana “Saya
cenderung untuk tetap menggunakan practical task”, sementara
“Kita melakukan banyak intervensi krisis dalam tim ini” dapat
diterjemahkan sebagai “Kita sedang menangani kedaruratan
dan terkadang kita repot kesana-kemari ‘mondar-mandir’ seperti

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 35
ayam kehilangan kepala”. Ini bukan berarti bahwa praktek tidak
mungkin terwujud tanpa menggunakan metode dalam buku-
buku teks, tetapi terdapat bahayanya jika label teoritis digunakan
untuk mencakup fakta, yang secara fakta banyak pelaksanaan
prakteknya dilakukan berdasarkan rutinitas (terus-menerus)
dan tanpa kritik, dan dengan demikian resiko bahayanya akan
berjalan menyertainya.

Oleh karena itu, kiranya diperlukan kategorisasi intervensi


untuk perkerjaan sosial. Heron (2001) memberi jalan keluar
upaya memahami intervensi yang dapat dibagi ke dalam enam
kategori, sebagai berikut:
• Prescriptive Intervensi ini merupakan upaya untuk
mengarahkan langsung perilaku dari seseorang. Hal
tersebut mungkin paling dekat berkaitan dengan intervensi
kewenangan, seperti halnya putusan pengadilan.
• Informative. Basis intervensi informatif adalah menyediakan
informasi dan / atau membantu orang untuk memahami
situasinya atau beberapa aspeknya.
• Confronting. Terkadang perlu untuk memperoleh perhatian
klien akan aspek-aspek dari situasi yang tidak ingin
dihadapinya. Konfrontasi dengan demikian meliputi
upaya menentang penyangkalan dan responrespon yang
menghalangi jalannya proses..
• Cathartic. Katarsis adalah proses melepaskan emosi,
seperti membantu seseorang mengekspresikan tekanan
kedukaannya yang mendalam, atau dengan berkontribusi
membuat rasa nyaman, ‘teduh’ dan aman dalam lingkungan

36 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
emosional sehingga perasaannya tidak menjadi
hambatannya .
• Catalytic. Intervensi ini diarahkan untuk pada membantu
orang agar lebih mampu mengelola diri sendiri, mampu
mengendalikan kehidupannya sendiri, mampu menemukan
sumber-sumber pemecahan sendiri, dan seterusnya;
singkatnya, suatu bentuk pemberdayaan.
• Supportive. Ini merujuk pada penegasan akan nilai dan
penghargaan terhadap klien, sifat bagi orang yang peduli
dan yang terlibat dalam situasi tersebut. Kategori tersebut
bukanlah merupakan batasan yang tegas dan kaku, tetapi
dapat dimanfaatkan sebagai ulasan singkat atas beragam
intervensi dan sebagai titik awal untuk bahan pertimbangan
lebih jauh lagi.

7. Etika dan Nilai


Dalam bekerja dengan orang lain, kita masuk pada
kompleksitas dunia interaksi dan struktur. Kondisi tersebut akan
mengarah pada hasil positif bagi semua hal atau sebaliknya
mengarah pada kacau balaunya situasi (situasi kontra produktif).
Konsekuensinya, kita harus mengenali potensi pekerjaan sosial
sebaik mungkin agar tidak melukai pihak lain. Inilah yang
menghantarkan akan perlunya 58 pendekatan ethical, suatu
persoalan moralitas dan nilai-nilai yang perlu dipertimbangkan.
Hal tersebut bukan berarti bahwa pekerja sosial harus ahli
dalam filosofi moral, tetapi artinya kita harus benar-benar jelas
mengenai nilai-nilai yang berkenaan dengan hal-hal sebagai
berikut:

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 37
• Nilai-nilai kita sendiri dan cara-cara nilai-nilai tersebut
mempengaruhi praktek pekerjaan sosial;
• Nilai-nilai profesional pekerjaan sosial dan bagaimana hal
tersebut dapat atau tidak memperkuat praktek;
• Bahaya-bahaya yang akan timbul jika tidak mengindahkan
dimensi nilai-nilai dan etik praktek.

Persoalan nilai, etik dan etika merupakan wilayah yang


kompleks, dan oleh karenanya kita harus realistis dan menerima
bahwa dimensi etik pekerjaan sosial merupakan sesuatu yang
akan terus beriringan-berdampingan dalam praktek pekerjaan
sosial, lebih dari sekedar diatasi.

Pemahaman akan isu nilai menjadi komponen penting dari


basis pengetahuan pekerjaan sosial. Tujuan intervensi yang baik
dengan metode keterampilan pekerjaan sosial yang canggih,
belum tentu akan berhasil baik jika mengabaikan nilai-nilai dan
etika praktek pekerjaan sosial. Oleh karenanya, pengetahuan
(knowledge), metode dan keterampilan (skill), serta sikap-sikap
(attittude) sebagai wujud dari nilai-nilai etik; dalam praktek
pekerjaan sosial merupakan bagian yang tidak terpisahkan.

38 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
BAB TEORI DAN PRAKTEK
II PEKERJAAN SOSIAL

Para pekerja sosial telah dipersiapkan melalui pendidikan


sarjana (S-1) kesejahteraan sosial atau pekerjaan sosial sebagai
pekerja sosial generalis. Agar mereka mampu menjadi pekerja
sosial generalis yang efektif, maka para pekerja sosial harus
dapat menerapkan sebanyak mungkin teori praktek. Menjadi
pekerja sosial generalis berarti memiliki kemampuan untuk
memanfaatkan dan menggunakan beragam teori dan komponen-
komponen teorinya serta mengelola bersama keseluruhan
tersebut menjadi suatu pendekatan komprehensif untuk praktek
khusus dengan klien khusus pula. Persoalan-persoalan (isu)
klien, nilai-nilai, budaya dan sistem kepercayaan yang sedikit
banyak akan mempengaruhi, atau bahkan menentukan pilihan
kerangka teoritis terhadap apa yang akan dibangun dalam
intervensi praktek pertolongan.

Sejak awal, profesi pekerjaan sosial sudah peduli


dan memperhatikan ketersediaan pelayanan-pelayanan
dengan berdasarkan pada pengetahuan yang teruji. Di
awal perkembangannya, banyak teori-teori pekerjaan sosial
meminjam dari disiplin ilmu lainnya seperti psikologi, kesehatan,
antropologi, biologi dan sosiologi. Sementara itu masih banyak
dari teori-teori yang digunakan dalam profesi pekerjaan sosial

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 39
---yang terus berkembang menuju kedewasaannya--- pekerjaan
sosial telah mengembangkan secara empiris teori-teorinya
sendiri. Kini, lebih dari sekitar 50 teori yang umum dipergunakan
dalam praktek-praktek pekerjaan sosial, dan banyak dari teori
tersebut dikembangkan untuk praktek pekerjaan sosial oleh
para pekerja sosial. Cummins dkk., (2006) memetakan teori-teori
yang umum digunakan dalam praktek pekerjaan sosial.

Secara fundamental, teori praktek adalah suatu batang


tubuh pengetahuan yang secara empiris telah teruji dan terbukti
efektif. Selanjutnya, teori akan memandu tindakan praktek, dan
bukti-bukti efektifitasnya menjadi standar (acuan) akuntabilitas
(Turner, 1997). Tanpa aplikasi dari pengetahuan yang teruji,
pekerja sosial tidak dapat menyatakan prakteknya sebagai
tindakan profesional. Jika para pekerja sosial tidak menggunakan
teori untuk memandu mereka membuat putusan-putusan dalam
praktek, lalu apa bedanya dengan para relawan atau dermawan
yang membantu orang lain berdasarkan keinginan mereka
atau suka-suka mereka tanpa mempertimbangkan akibat dari
bantuan yang diberikannya tersebut. Seolah para relawan dan
demawan tersebut telah tuntas melakukan sesuatu dengan baik
dan benar.

Dengan demikian teori menjadi basis (dasar) dari asesmen


dan intervensi pekerja sosial dengan klien. Pekerja sosial
menggunakan teori-teori tersebut untuk memaknai situasi,
untuk mengkaji dan menilai kekuatan serta kelemahannya
(hambatan dan kekurangannya) dari situasi tersebut, serta untuk
memahami kehidupan dan lingkungan (environment)klien

40 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
dimana mereka hidup dan berfungsi. Biasanya ketika berpraktek
dengan klien (baik individual, keluarga, kelompok, organisasi
atau masyarakat), maka pekerja sosial akan menerapkan
berbagai teori pekerjaan sosial. Semisal, mungkin pekerja
sosial akan menggunakan perspektif person-in-environment
untuk memahami kompleksitas kehidupan dari klien, teori
psikodinamika untuk memahami rendahnya harga diri klien,
teori krisis untuk membimbing dia (akibat kekerasan), dan teori
grief (kesedihan) untuk membantu dia melewati proses recovery.

Perhatian awal para pekerja sosial dalam praktek adalah


memahami orang dalam konteks lingkungannya. Dimulai dengan
memahami orang dalam hubungan dengan lingkungannya yang
terbatas, termasuk pentingnya anggota keluarga klien dalam
memulai asesmen. Misalkan, sudah merupakan hal yang lumrah
apabila dalam pengumpulan informasi di dalamnya akan
termasuk anggota-anggota keluarga, pekerjaan, dan bahkan
tetangga terdekatnya; tetapi untuk memahami secara penuh
dampak lingkungan fisik, ekonomi, agama dan sosial budaya
pada kehidupan klien maka itu belumlah dilakukan. Pentingnya
peranan faktor-faktor tersebut dalam mempengaruhi kehidupan
klien mulai muncul di tahun 1970-an sebagai konsep baru
yang dipinjam dari teori sistem dan teori ekologi yang bahkan
mengarahkan profesi ini pada pengembangan teori sistem
ekologi atau teori ekosistem (Becket & johnson, 1997; Miller,
1978; Germain, 1973; and Germain & Gitterman, 1997).

Perspektif ekologis menyediakan suatu basis teori yang


luas akan praktek pekerjaan sosial dan dimanfaatkan sebagai

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 41
konteks atau latar untuk penerapan teori-teori praktek yang
lebih khusus, seperti halnya teori crisis intervention atau teori
cognitive-behavioral. Teori-teori lain yang umum digunakan
untuk praktek pekerjaan sosial saat ini termasuk, teori the
life model (diperoleh dari perspektif ekologis), the strenghts
perspective, dan teori praktek berbasis pemberdayaan. Berikut
ini beberapa teori pokok yang banyak dimanfaatkan dalam
praktek pekerjaan sosial.

1. Teori Sistem
Keberadaan lingkungan bagi manusia dimulai khususnya
dalam lingkungan terdekat seperti keluarga dan berikut
pengalaman-pengalaman hidup di dalamnya, termasuk interaksi
dengan keluarga besar, teman-teman, ketetanggaan, sekolah,
keagamaan, kebijakan umum, norma-norma budaya, dan sistem
ekonomi, dan seterusnya. Untuk memahami kompleksitas
interaksi diantara individu-individu dan semua komponen
lingkungannya, pekerjaan sosial memanfaatkan teori sistem
umum sebagai kerangka untuk memahami permasalahan
manusianya, dan upaya memperbaiki kehidupannya.

Teori sistem umum telah dikembangkan dalam ilmu eksakta


dan selanjutnya dikembangkan untuk aplikasi profesi pekerjaan
sosial sebagai sebuah kerangka konseptual di dalam beragam
pengelolaan teori. Hal tersebut juga dapat dilihat sebagai suatu
kerangka yang dapat menyuarakan istilah-istilah yang sama
bagi para praktisi, sehingga memudahkan dalam komunikasi
dan pelaksanaannya (Beckett & Johnson, 1997).

42 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
Sistem didefinisikan sebagai suatu keseluruhan (totalitas)
yang terbentuk dari berbagai bagian atau sub sistem yang saling
berinteraksi. Sebagai contoh, seseorang mewakili sub sistem
individual dalam sebuah sistem keluarga yang lebih besar;
sebuah keluarga dipandang sebagai sub sistem dari sistem
masyarakat yang lebih besar; dan sebuah masyarakat merupakan
sub sistem dari sistem kemasyarakatan yang lebih besar lagi.
Sistem dan sub sistem mempunyai suatu struktur hubungan
satu sama lain dan dipisahkan oleh boundaries (batas).

Boundaries dapat bersifat kedap (tertutup),yaitu menciptakan


sistem tertutup yang mandiri dan namun masih memungkinkan
beberapa pengaruh dari luar masuk; atau terbuka (permeabel),
yaitu menciptakan sistem terbuka yang secara aktif saling
bertukar dengan subsistem lainnya dan dengan demikian selalu
berubah. Interaksi atau pertukaran antar subsistem merupakan
proses dinamis yang memungkinkan pemeliharaan sistem
terbuka meningkat.Sepanjang sistem selalu siap beradaptasi
untuk berubah, sistem akan tetap seimbang (homoestatis) atau
memelihara keseimbangannya (equilibrium). Ketika terjadi
perubahan besar terhadap suatu sistem, proses adaptasi akan
terjadi sepanjang waktu tersebut, sistem mungkin berada pada
situasi disequilibrium hingga sistem dapat beradaptasi dan
melakukan perubahan atas dampak kerusakan sistem.

Dalam merespon terhadap upaya-upaya perusakan dan


gangguan terhadap sistem, bisa terhadap sebuah keluarga,
masyarakat atau negara, para pekerja sosial memusatkan
perhatiannya pada keseluruhan (totalitas) interaksi antar

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 43
individu dan jumlah semua kekuatan sosial atau system.
Sehingga mereka mungkin “promote or restore a mutually
beneficial interaction between individuals and society in order to
improve the quality of life for everyone” (Minahan, 1981, p.6).

Misalkan dalam kasus bencana alam dengan meletusnya


Gunung Merapi di Jawa Tengah-Yogyakarta, pekerja sosial
dapat berpraktek dengan melakukan berbagai upaya pada
semua level: misalkan membantu keluarga yang kehilangan
anggota keluarganya, membantu pemerintah daerah mengatasi
kerentanan wilayah, dan pemerintah pusat dalam memperbaiki
kondisi perekonomian yang rusak akibat bencana alam tersebut.

Optimalisasi keberfungsian seorang individu dalam


lingkungan menuntut subsistem yang berfungsi (fungsional)
secara optimal pada level tersebut, yang mendukung
pengembangan dan peningkatan aktualisasi diri individu.
Disfungsi sistem dipahami sebagai keberfungsian yang terbatas
atau terkekang untuk secara potensial berkembang. Disfungsi
dapat terjadi pada level individu, keluarga, komunitas, organisasi
atau kemasyarakatan. Terlepas darimana disfungsi dalam sebuah
sistem tersebut berasal, hal tersebut dapat menimbulkan
kekacauan atau kerusakan yang permanen pada subsistem-
subsistem lainnya.

Tujuan dari praktek langsung (direct practice) adalah untuk


mengkaji dan memperbaiki interaksi sub-sub sistem (individu,
keluarga, kelompok, komunitas, dan organisasi) dalam konteks
sistem kemasyarakatan yang lebih luas. Profesi pekerjaan sosial

44 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
telah mengenal dan memahami akan pentingnya penanganan 3
(tiga) level sistem, yaitu mikro, meso, dan makro. Sistem mikro
adalah individual, dan mencakup sejarah masa lalu individunya,
pengalaman-pengalamannya, keunikan pribadinya, dan daya
jangkau atas sumber-sumbernya. Sistem meso adalah kelompok
kecil, seperti halnya keluarga, dengan kompleksitas dan
dinamika yang dimilikinya.

Misalkan kelompok kecil sangat mempengaruhi dan


dipengaruhi oleh anggota-anggota individualnya. Community
organization dan badan-badan pelayanan sosial juga berada
pada klasifikasi level sistem meso. Sistem makro adalah
kelompok besar, seperti institusi kerja kemasyarakatan, sekolah,
dan komunitas keagamaan (Zastrow, 2010). Dalam kerangka
tersebut, Zastrow (2010) menetapkan 5 (lima) tujuan praktek
pekerjaan sosial yang ditangani semua level sistem intervensi:
a) Enhance peoples’s probems-solving, coping, and
developmental capacities of people;
b) Link people with systems that provide them with resources,
services, and opportunities;
c) Promote the effectiveness and humane operation of
systems that provide people with resources and services;
d) Develop and improve sosial policy;
e) Promote human and community well-being (p. 51-52)

Sistem mikro, meso dan makro saling berinteraksi dalam


sebuah kontinum keberfungsian dengan tujuan meningkatkan
keberfungsian sistem sehingga keberfungsiannya sehat dan
agar disfunction-nya terkurangi. Lingkungan atau ekologi dari

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 45
sistem memainkan bagian penting dalam pengembangan
sistem individu dan keluarga. Pekerjaan sosial yang baik
manakala terjadi transaksi sistem-sistem tersebut lalu dia
mendukung pertumbuhan dan pengembangan individu,
keluarga, dan masyarakat, serta dalam pertukaran tersebut
membuat/ membentuk lingkungan setuju (cocok, sesuai atau
fit) dengan pertumbuhan yang positif bagi semua sub sistem
(Ashford, Lecroy, & Lortie, 2006). Pendekatan ganda (dualistic
approach) dalam intervensi dilakukan baik kepada klien maupun
lingkungannya.

2. Kajian Teori dari Persfektif Ekologis


Perspektif the person-in-environment dalam praktek
pekerjaan sosial diperluas dan dimanfatkan sebagai
pengembangan lebih jauh lagi dari peralihan konsep-konsep
teori sistem umum dalam ilmu-ilmu eksakta,yang diaplikasikan
pada kehidupan sistem keluarga manusia. Perspektif ekologis
membantu para pekerja sosial untuk memahami lebih mendalam
kompleksitas kondisi manusia dalam konteks berbagai sub
sistem kehidupan ekologis mereka.

Meminjam sejumlah konsep dari ekologi (kajian tentang


organisme dan hubungannya dengan lingkungan), perspektif
ekologis menyediakan banyak konsep konkrit untuk memahami
orang dalam lingkungan lebih dari teori sistem yang dapat
lakukan. Sebagai contoh, gagasan ‘goodness of fit’ diantara
seseorang dan lingkungan adalah muncul dari kerangka ekologis
dan menyediakan yang sebuah lensa untuk menilai keberadaan
perilaku adaptif seseorang yang mendukung pertumbuhan

46 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
dan kesehatan (a good fit) atau mendukung suatu penurunan
keberfungsian (bad fit) fisik, sosial atau psikologis.

Konsep penting lainnya adalah bahwa bagian dari


memahami seseorang dalam lingkungannya yang diperkenalkan
melalui kerangka ekologis adalah peranan stress and coping
measure yang individu bawa ke dalam lingkungannya, dan
kemampuan mereka berelasi, atau membangun kedekatan,
persahabatan dan hubungan keluarga yang positif, serta
semua hal yang menjadi sumber ketika menemui tantangan
kehidupan (Germain & Gitterman, 1997). Perspektif ekologis
juga menantang para pekerja sosial untuk berfikir pada pola-
pola lebih kompleks yang menggambarkan pola timbal-balik
dan saling interaksi antara individu-individu,

kelompok-kelompok, organisasi-organisasi, dan lembaga-


lembaga (Germain & Gitterman, 1997). Pemikiran logis biasanya
cenderung lurus (linear), dimana kita berfikir hubungan
antara suatu penyebab dan dampak (effect) dari dua kejadian,
sementara itu pemikiran ekologis (ecological thingking)
menuntut bahwa pekerja sosial untuk memahami timbal-balik
interaksi dari seseorang dalam lingkungannya. Dalam pemikiran
logis, A menyebabkan B, dan selesai. Dalam pemikiran ekologis, A
berdampak pada B, yang merubah B, perubahan tersebut berbalik
berdampak pada A, yang merubah A, yang perubahan tersebut
berbalik pada B dan begitu seterusnya. Sebagai contoh, seorang
ibu yang memandang tantangan toilet training bagi anaknya
yang berusia 2 tahun sebagai tahap perkembangan yang normal
dan tugasnya dapat dipenuhi oleh anaknya menjadi relatif lebih

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 47
mudah dan menyenangkan, daripada bagi seorang ibu yang
melihat anaknya yang seringkali tidak konsisten dalam toilet
training sebagai perilaku menyimpang. Ibu ini melihat anaknya
bermasalah, sementara ibu yang pertama tidak. Jelas-jelas,
bahwa toilet training merupakan bagian dari pertumbuhan dan
perkembangan anak yang normal akan mampu menciptakan
lingkungan yang lebih mendukung bagi anak (good fit) untuk
memenuhi tugas kritis tersebut daripada ibu kedua yang melihat
anaknya yang berumur dua tahun kurang baik dalam ber-toilet
sebagai sebuah masalah kedisiplinan (bad fit). Setiap respon
ibunya akan membentuk perasaan anak akan dirinya sendiri dan
perasaan akan kompetensinya. Pengalaman keberhasilan dalam
membentuk lingkungan kita akan menumbuhkan harga diri dan
rasa kompetensi.

Dari perspektif pekerjaan sosial, kedua ibu tersebut


merupakan bagian dari lingkungan yang juga dapat meningkatkan
atau menghambat potensi perkembangan anak mereka. Timbal
balik hubungan antara individu dan lingkungannya yang berarti
bahwa sebagai individu, kita bergerak dan membentuk sekitar
kita, dan bahwa lingkungan sekitar kita juga memberi dampak
atau berpengaruh kepada kita.

Sebagai contoh, seorang ibu yang yang menghargai dan


mengenali kemampuan anak-anak mereka dalam saat toilet
training berdampak pada pikiran kompetensi dan harga diri
si anak. Sebagaimana juga seorang anak merespon dengan
bangga kemampuan menyelesaikan tugasnya, si ibu merasakan
pula kompetensi peranan dirinya sebagai seorang ibu. Baik

48 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
si ibu maupun si anak saling membentuk rasa nyaman atau
menyenangkan.

Sebaliknya, bagi si ibu yang melihat toilet training sebagai


masalah kedisiplinan dan meresponnya dengan hukuman dan
kemarahan, hal yang sama mempengaruhi perasaan harga diri
anaknya. Si anak mungkin akan meresponnya dengan ketakutan,
bingung, dan merasa tidak nyaman ketika berupaya memenuhi
tuntutan ibunya. Kesalahan atau kegagalan anak dalam toilet
training patut diduga merupakan bukti ketidaksesuaian peran
yang dilakukan si ibu. Dalam kedua kasus tersebut, anak dan ibu
saling berkontribusi pada tingkat ketegangan atau kebahagiaan
mereka yang mereka alami saat melakukan tugas toilet training
dan berperan sebagai seorang ibu.

Dalam kotak berikut, akan dikemukakan secara singkat


pusat dari konsep-konsep penting untuk memahami perspektif
ekologis dalam mengkaji goodness of fit antara seseorang dan
lingkungannya.

Tabel 2:Konsep-Konsep Perspektif Ekologis


Person: Environment Fit: Hubungan antara seorang
individu atau kelompok dan lingkungan fisik serta sosial dalam
konteks historis dan budaya. Ketika lingkungan mendukung
pertumbuhan dan kesehatan, dengan demikian ‘good fit’ antara
orang dan lingkungan adalah ada.
Adaptation: perubahan internal atau eksternal dari diri
atau sesuatu lingkungan yang memelihara atau meningkatkan
goodness of fit antara seorang individu dan lingkungan.

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 49
Life Stressors: peristiwa atau isu-isu kehidupan kritis
yang mengganggu goodness of fit antara seorang individu
dan ingkungan. Isu-isu umum tersebut termasuk kejadian-
kejadian traumatik, seperti kehilangan seseorang, pekerjaan,
atau kesehatan; transisi kehidupan penting seperti pernikahan,
perceraian, atau pensiun; isu-isu besar yang merusak goodness
of fit dan selalu terbawa pada kehidupan lain sepertihalnya
kemiskinan dan penindasan
Stress: Suatu respon internal terhadap stressors kehidupan
yang menimbulkan emosi negatif seperti rasa salah, cemas,
depresi, kehilangan, atau takut, dan hasil dari diri perasaan
seseorang yang kurang kompeten, menghasilkan suatu
rendahnya level kedekatan, harga diri, dan arah diri.
Coping Measures: Perilaku individu yang berinisiasi untuk
merespon stressors kehidupan dengan cara memperbaiki atau
memperkuat hal-hal baik antara individu dan lingkungan.
Relatedness: Suatu kemampuan untuk membentuk
kedekatan/ keeratan dengan teman, keluarga, mitra kerja, dan
tetangga dan memelihara rasa kepemilikan atas dunia.
Competence: Manakala individu diseediakan peluang-
peluang untuk membentuk lingkungannya dari sejak bayi,
mereka akan memiliki peluang untuk membangun keberhasilan.
Pengalaman-pengalaman keberhasilan yang diperoleh akan
menyediakan suatu perasaan kompetensi (kemampuan) pada
pembentukan dan mengelola lingkungannya.
Self-Esteem: Mewakili suatuasesmendiri sebagai
penghormatan akan cinta dan penghargaan. Orang dengan
harga diri tinggi merasa lebih mampu, bernilai, dan dihargai.
Pada orang yang harga dirinya rendah memahami dirinya secara

50 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
tidak sesuai, tidak dapat dicintai, rendah diri dan tak dihormati,
serta seringkali mengalami depresi. Bagaimana kita merasakan
diri kita sendiri secara mendalam sangat dipengaruhi oleh
pemikiran dan perilaku.
Self-Direction: Kapasitas untuk membuat putusan,
mengendalikan kehidupan diri dan menyalurkan hasrat di
jalurnya, ketika diberi tanggung jawab untuk membuat keputusan
dan mengatur kehidupan dengan tetap menghormati hak-hak
dan kebutuhan orang lain. Kemampuan untuk mengarahkan
diri sangat berkaitan erat dengan perasaan berdaya (power)
dan tidak berdaya (powerless). Jika seorang individu tidak
diberi peluang untuk membuat keputusan dan mengarahkan
hidup mereka sendiri, mereka akan merasa tidak berdaya dan
pengelolaan dirinya lemah. Hidup dalam kondisi tertekan/
tertindas membuat orang lain merebut keberdayaan mereka
dan dapat mempengaruhi kemampuan mereka mengelola diri.
Habitat: Merujuk pada sifat dan lokasi dari wilayah ‘home’
seseorang atau tempat yang membuat mereka paling home.
Beberapa istilah yang seringkali diterapkan berkaitan dengan
habitat yaitu nesting place, home range, atau territory.Untuk
kebutuhan manusia termasuk pemukiman, sekolah, tempat
kerja, atau tempat main, dan perilaku-perilaku orang dengan
spacenya.
Niche: Posisi atau rangkin sosial dalam suatu masyarakat,
atau status yang dipegang dalam keluarga, dengan para pekerja
atau dalam masyarakat. Sebagai contoh, seorang lelaki mungkin
menjadi pemimpin keluarga, boss di tempat kerja, dan seorang
penjaga keamanan lokasi hiburan, semuanya mengindikasikan
level tinggi dari status lintas habitat. Sebaliknya, seorang lelaki

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 51
mungkin tidak berkeluarga, tidak bekerja, dan gelandangan
di masyarakat, semuanya menunjukkan status rendah lintas
habitat.
Sumber: German & Gitterman, 1997

Pusat perhatian dari model ekologis adalah


mengartikulasikan transisi permasalahan-permasalahan dan
kebutuhan-kebutuhan individu, keluarga, dan kelompok kecil.
Sekali permasalahan dan kebutuhan tersebut terindentifikasi,
pendekatan intervensi akan dipilih dan diterapkan untuk
membantu individu, kelompok, dan keluarga tersebut mengatasi
permasalahan transisi dan pemenuhan kebutuhannya. Dalam
contoh-contoh sebelumnya model ekologis juga fokus pada
permasalahan maladaptive dan kebutuhaninterpersonal. Juga
berupaya mengartikulasi proses-proses komunikasi maladaptive
dan pola-pola relasi keluarga dan kelompok yang disfungsional.

3. Praktek Pekerjaan Sosial Life Model


Sebagai respon terhadap kebutuhan perubahan praktek di
tahun 1970-an, Germain dan Gitterman (1997) mengembangkan
sebuah metode praktek yang menerapkan konsep-konsep
perspektif ekologis dalam suatu pendekatan praktek. Berbeda
dengan pendekatan populer lainnya yang lebih menitikberatkan
pada kelemahan seseorang, pendekatan ini lebih menekankan
pada pemodelan interaksi dalam hubungan praktek seputar
proses kehidupan dan fokus pada kekuatan klien. Tujuan dari life
model tidak menyediakan tindakan remedial, tetapi lebih pada:
a. Mendukung potensi-potensi kesehatan, pertumbuhan dan
ekspresi seseorang;

52 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
b. Melakukan perubahan terhadap lingkungan yang akan
lebih mendukung dan memelihara pertumbuhan dan
kesejahteraan; dan
c. Meningkatkan the person:environment fit (Germain &
Gitterman, 1997)

Penerapan the life model membimbing praktek para praktisi


dalam melakukan asesmen life stressors, stress dan coping
mechanisms dalan diri klien, dan mengupayakan pemanfaatan
intervensi yang memperbaiki atau meningkatkan keeratan,
self-esteem, dan self-direction. Sasaran-sasaran khusus dalam
rangka mencapai mencapai tujuan yang lebih besar tersebut
disebutkan dan dibangun bersama dengan klien. The life model
mendasarkan prinsip-prinsip pemberdayaan serta secara khusus
juga sensitif terhadap kan konteks budaya, fisik, dan sosial.
Aspek-aspek pemberdayaan merupakan pusatdari life model ini,
yang di dalamnya terdiri dari:
a. Klien dan pekerja sosial sebagai mitra perubahan;
b. Mengakui klien sebagai ahli akan kehidupannya; dan
c. Sensitif pada perbedaan kekuatan dalam hubungan klien/
pekerja sosial (Germain & Gitterman, 1997)

Terbangunnya hubungan kerja antara klien dan pekerja


sosial dengan prinsip-prinsip praktek pemberdayaan akan
mendorong peningkatan akses klien kepada kekuatan personal
dan selanjutnya akan meningkatkan harga dirinya. Ketika
klien telah mampu mengalami efektivitas hubungan dengan
lingkungannya, maka akan tumbuh perasaan kompetensi,
mendukung kemampuan decision-making yang memberi arah

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 53
pada kehidupan klien (Germain & Gitterman, 1996).

4. Sistem Klasifikasi dan Asessment Person In-


Enviromental
Tahap terdepan dan lebih maju yang lebih terstruktur
dan seragam adalah penerapan dari perspektif the person-
in-environment (PIE) yang mewakili perspektif ekologis dan
teori sistem adalah pengembangan PIE assessment dan sistem
klasifikasi (classification system) di tahun 1980-an. Sistem
tersebut dikembangkan oleh satuan tugas NASW dalam
merespon dua hal.

Pertama, sistem klasifikasi model medis the Diagnostic


Statistial Manual (DSM) yang telah banyak digunakan dalam
pelayanan kemanusiaan, namun dalam sistem tersebut faktor-
faktor lingkungannya masih terbatas dalam memahami
perilaku manusia, sehingga membatasi para praktisi pekerja
sosial dalam analisisnya tentang faktor-faktor lingkungan yang
berkontribusi terhadap permasalahan klien. Kedua, evolusi teori
sistem, perspektif ekologis, dan the Life ModelPractice yang
memunculkan kebutuhan akan practice tool untuk implementasi
kontruksi kerangka teoritis dari the person-in-environemnt
(Karls & Wandrei, 1997).

Sistem PIE digunakan oleh para praktisi untuk mengases


keberfungsian klien dalam lingkungannya, dan menyebutkan
kesulitan-kesulitannya, demikian pula dengan kekuatan-
kekuatannya. Fokusnya pada keberfungsian (function)
dan ketidakberfungsian (dysfunction) atau keseimbangan

54 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
(balance) dan ketidakseimbangan (imbalance) antara orang
dan lingkungannya. Keberfungsian sosial diidentifikasi dan
diilustrasikan dalam istilah-istilah social role performance
(memenuhi/ memerankan peran-sosial).

Social role performance dipahami sebagai suatu


kemampuan untuk memenuhi harapan-harapan peran lintas
multi peran dari kehidupan klien. Sistem PIE menyediakan
suatu cara untuk menganalisa kompleksitas kehidupan
klien termasuk aspek biologis, psikologis, fisik dan sosial. Ini
merupakan gambaran terbaik sebagai metode untuk memahami
keseluruhan permasalahan yang kompleks. Sistem klasifikasi
deskriptif ini terdiri dari empat faktor dimana praktisi pekerja
sosial melakukan asesmen. Dalam melakukan asesmen, pekerja
sosial mengidentifikasi dan menggambarkan fungsi sosial klien
atas empat faktor tersebut.

Tabel 3 PIE System Factors:


Factors I: Permasalahan klien dalam keberfungsian sosial,
dan juga kapasitas klien dalam mengatasi permasalahan
Factors II: Permasalahan yang muncul dari lingkungan
klien yang berdampak pada keberfungsia sosial klien
Factors III : Beberapa masalah kesehatan yang mengganggu
keberfungsian klien; dan
Factors IV: Beberapa masalah fisik
Sumber: Karls & Wandrei, 1994

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 55
Sistem PIE akan menghasilkan suatu pernyataan deskriptif
dan pengkodean permasalahan keberfungsian sosial dan
lingkungan klien. Intervensi pekerjaan sosial tepat manakala
asesmen PIE membuka upaya perbaikan keberfungsian peran
dalam klien dan lingkungan yang berdampak negatif pada
keberfungsian sosial klien. Kesulitan-kesulitan yang dialami
dan lama waktu dari ketidakberfungsian klien juga patut dicatat
merupakan keterampilan-keterampilan coping klien. Kode-kode
penugasan yang menunjukkan kondisi lintas 4 (empat) faktor,
memunculkan bahasa praktek yang sama tentang komunikasi
lintas setting lembaga dan para praktisi (Karls & Wandrei, 1994).

Masing-masing faktor mengkaji dimensi yang berbeda


dari kehidupan klien, dan setiap dimensi merujuk pada sebuah
‘axis’. Sebagai contoh, sebuah asesmen terhadap faktor I akan
menghasilkan kode axis I dan gambaran dari kemampuan
klien untuk berfungsi dalam peran-peran kehidupan mereka,
asesmen faktor II memunculkan sebuah kode dan gambaran
tentang orang atau kejadian dalam suatu lingkungan klien yang
mengganggu keberfungsian klien, dan ini dikenal sebagai axis II;
faktor II mengases status kesehatan mental klien sepanjang axis
III menggunakan DSM IV, dan faktor IV atau kode dan gambaran
axis IV merefleksikan tantangan-tantangan fisik dari klien.

Signifikansi dari sistem klasifikasi PIE yaitu bahwa kondisi


tersebut berhubungan dengan pengembangan konsep, teori dan
model-model pekerjaan sosial dengan praktek pekerjaan sosial
melalui penyediaan sebuah tool praktek asesmen. Harapannya,
dengan semakin mengenali dan akrab dengan model ini akan

56 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
semakin mengarahkan pemanfaatan asesmen kontekstual
yang makin sering dalam praktek, serta setidaknya mengurangi
asesmen yang terlalu fokus pada kekurangan individual.

5. Persfektif Kekuatan
Perspektif kekuatan dari praktek pekerjaan sosial muncul
mengalir dari nilai-nilai keprofesian yang di dalamnya terdapat
nilai-nilai penghormatan, harga diri manusia, dan penentuan hak
diri sendiri (self-determination). Penempatan nilai-nilai tersebut
ke dalam aksi menuntut bahwa kita menyakini terdapatnya sisi
kekuatan di setiap kehidupan manusia dan kemungkinan untuk
selalu berubah.

Kekuatan-kekuatan klien menjadi sumber perubah


sehingga akan bergerak untuk tumbuh, ahli, dan mampu
beraktualisasi diri (self-actualization) (Miley, et. al., 2001). Satu
aspek penting dari perspektif kekuatan adalah bahwa perspektif
ini memberi praktisi pekerjaan sosial suatu kerangka alternatif
untuk berpraktek sebagai model yang melawan model deficit
(kekurangan) yang telah mendominasi perspektif pelayanan
manusia (Saleebey, 1992).

Seringkali kita jumpai para pekerja sosial yang menemukan


dirinya sendiri berpraktek dengan model medikal yang lebih
fokus pada penyembuhan dan perbaikan kerusakan, sifatnya
lebih pasif. Jika para pekerja sosial tidak dipersenjatai dengan
karangka teoritis yang menekankan pada kekuatan pada diri
individu, keluarga, dan komunitas, maka akan mudah bagi
pekerja sosial tergelincir ke dalam model praktek kelemahan

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 57
(a deficit). Berikut ini perbandingan antara model pathology
(terdapat dalam model medikal) dengan model kekuatan.

Tabel 4: Asumsi Perspektif Kekuatan


1. Setiap orang memiliki kemampuan, kapasitas, bakat dan
kompetensi khusus;
2. Manusia memiliki kapasitas untuk tumbuh dan berubah;
3. Trauma dalam kehidupan mungkin membawa dampak
negative pada kehidupan manusia, tetapi juga memberikan
sumber-sumber untuk tumbuh;
4. Batas teratas dari kemampuan orang untuk tumbuh dan
mengalami kesulitan adalah tidak diketahui dan tidak
dapat diketahui;
5. Permasalahan tidak berada dalam diri seseorang, tetapi
terjadi dalam transaksi di dalamnya dan lintas sistem;
6. Orang-orang adalah ahli dalam kehidupannya sendiri;
7. Teman-teman, keluarga, dan masyarakat adalah sumber-
sumber kolam kehidupan bagi seseorang, sehingga hal
tersebut dapat disediakan;
8. Fokus pada pertumbuhan di masa depan;
9. Keahlian dan kompetensi akan tumbuh secara baik melalui
sebuah proses dukungan yang baik; dan
10. Orang umumnya mengetahui mengenai apa yang akan
membantu dan yang tidak membantu pada kehidupan yang
dihadapinya.
Sumber: Miley, O’Melia, DuBois, 2001; Sheafor & Horejsi,
2003

58 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
Ketika menggunakan perspektif kekuatan dalam praktek,
para pekerja sosial juga memanfaatkan seluas mungkin prinsip-
prinsip, gagasan, keterampilan dan teknik-teknik praktek untuk
mendukung dan memperoleh sumber-sumber klien dan dalam
lingkungan mereka menginisiasi perubahan, menggerakkan
proses perubahan, dan memelihara perubahan tersebut
berlangsung (Miley et al., 2001).

Agar mampu mengintervensi dari perspektif kekuatan secara


efektif, pertama-tama para praktisi harus mengujinya sendiri
perspektif yang mendasarinya dan mampu mengemukakannya
dengan membahasakan permasalahan-permasalahan (dalam
perspektif kekuatan) yang ada di masyarakat. Apakah Anda
(pekerja sosial) benar-benar mempercayai bahwa orang
memiliki kekuatan dan kemampuan untuk mengelola hidupnya
secara positif, atau Anda yakin mereka tidak berdaya dan perlu
diperbaiki? Perspektif Anda akan terkomunikasi melalui bahasa
Anda.

Apakah melihat seseorang yang bermasalahan punya


masalah atau tantangan ketika sedang mengalami kesulitan?
Masalah memiliki sifat demoralisasi, membuat kita merasa
bersalah, dan umumnya membuat mental kita runtuh. Tantangan
dapat dilihat sebagai peluang-peluang untuk tumbuh dan
menginspirasi untuk mendorong sumber-sumber kita secara
internal dan eksternal untuk memenuhi tantangan dan mencapai
tujuan-tujuan kita.

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 59
Ketika anda melihat perilaku yang tidak biasa, apakah anda
melihatnya sebagai penyakit (pathology) atau kekuatan? Ketika
pekerja sosial fokus pada patologi sebagai pusat perhatiannya
dalam bekerja dengan klien, hal ini akan membatasi
kemampuannya untuk melihat kekuatan yang melekat pada
diri kien atau penggunaan teknik dalam proses pertolongannya
akan menutupi kekuatan kliennya.

Saat mendisain intervensi, apakah fokus pada apa yang


tidak dilakukan di masa lalu atau menciptakan sesuatu di masa
depan? Perspektif akan masa ‘lalu’ dalam asumsi penanganan
tentang kejadian masa lalu yang menyebabkan klien tidak ‘OK’
saat ini. Bergeser penekanan dari pandangan masa ‘lalu’ ke
pemanfaatan kekinian dalam mengeskplorasi sumber-sumber,
opsi-opsi dan perencanaan untuk harapan di masa mendatang.
Bergesernya fokus pekerjaan sosial dari kini dan masa depan
akan memiliki kekuatan melepaskan masa lalu dan melepaskan
asumsi-asumsi negatif mengenai diri sendiri yang membuat
kita terjebak di dalamnya. Dennis Saleebey (2001), menangkap
peluang tantangan dalam transisi menuju suatu visi kekuatan
dalam prakteknya, dengan menyatakan sebagai berikut: We
are not asking you to forget the problems and pains that people
may bring to your doorstep. Rather, we are asking that you honor
and understand those dilemmas, and that you also revise, fill out,
expand, illuminate your understanding with the realization that the
work to be done, in the end, depends on the resources, reserves, and
assets in and aorund the individual, family or community (p.221).

60 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
Penerapan perspektif kekuatan menuntut para praktisi
pekerjaan sosial untuk melakukan reorientasi kerangka berfikir
atau perspektif kekurangan/kelemahan atau patologi menuju
perspektif kekuatan atau peluang kemungkinan. Tentunya
sebagai pekerja sosial, tidak begitu saja mengabaikan masalah,
tetapi fokusnya pada kekuatan klien (Sheafor & Horejsi, 2007).
Dalam berinteraksi dengan klien, pekerja sosial harus bertanya
kepada diri sendiri, apakah yang dilakukan oleh mereka benar?
Apa keterampilan hidup dia dalam menghadapi tantangan
hidupnya? Sumber-sumber apa dalam dirinya yang dapat
dimanfaatkan baginya? Sumber-sumber lain apa di dalam
keluarganya, teman-temannya dan komunitas yang dapat
memenuhi tantangan hidupnya dan menciptakan peluang bagi
masa depannya?

6. Empowerment-Based Practice Model


Pekerjaan sosial memiliki tradisi yang panjang dalam
praktek pemberdayaan. Dalam tahun-tahun belakangan ini,
praktek-praktek berbasis-pemberdayaan muncul dari kegiatan
bersama kelompok-kelompok masyarakat terpinggirkan,
yang tidak berdaya, yang minim akses terhadap sumber, serta
peluang-peluang untuk berkembang. Konsep kekuatan (power)
dalam konteks praktek pemberdayaan telah dijelaskan Gutierrez
et el. (1995) melalui 3 (tiga) cara:
a) The ability to get what one wants;
b) The ability to imfluence how others think, feel, act or
believe;

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 61
c) The ability to imfluence the distribution of resources in
sosial systems such as family, organization, community and
society. (p.535)

Kekuatan yang digambarkan dengan cara tersebut


mengisyaratkan bahwa praktek intervensi akan membutuhkan
pelaksanaan kegiatan pada berbagai level praktek (multiple
level of practice) yaitu individu, keluarga, organisasi, komunitas
dan nasional; dan bahwa dimensi kekuatan menekankan pada
level personal, interpersonal, dan politis.

Untuk memperoleh kekuatan adalah dengan menjalaninya


sebagai pemikiran pengendalian atas kehidupan dan perasaan
kompetensi. Individu yang mengalami perasaan kompetensi
kekuatan internal dalam kemampuannya maka akan mampu
mengelola hidupnya sendiri, mengakses sumber-sumber sesuai
sistem kebutuhannya dan berkontribusi bagi masyarakat dan
sumber-sumber sistem.

Ketika seseorang memiliki kekuatan interpersonal, akan


mampu mempengaruhi orang lain dan mengetahui bahwa
dirinya sendiri efektif dalam berinteraksi dengan lainnya
serta dihormati oleh lainnya (Miley et al., 2001). Ketika
orang mengalami kekuatan politis, interaksinya dengan
lingkungan lainnya menghasilkan akses terhadap sumber dan
mengendalikan sumber tersebut.

Mengaktivasi kekuatan internal klien menuntut para


pekerja sosial yang mampu memahami konteks kehidupan klien

62 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
(person-in-environment) dan menerima klien sebagai sumber
kekuatan latent yang harus dibangunkan dan dibangkitkan
(strengths perspetive). Membantu klien untuk mencapai kekuatan
personal, interpersonal, dan politis sehingga menuntut praktisi
pekerjaan sosial yang mampu berkolaborasi dengan klien dan
membantunya dalam membangun intervensi pada level individu,
keluarga, dan komunitas.

Kegiatan para praktisi pekerja sosial adalah mengakui,


memudahkan, dan mendukung klien berhubungan dengan
kekuatan internalnya (resource) dan menggerakkan kekuatan
tersebut secara lintas sistem dengan cara meningkatkan
keahliannya melalui pembentukkan lingkungan yang sesuai
dengan apa yang dia harapkan. Pekerja sosial berupaya
mencari cara untuk meningkatkan ‘rasa’ kompetensi mereka
dan kemampuan mereka agar berupaya membangunrelasi
secara efektif. Pada akhirnya, membangun klien dengan
mengidentifikasi cara-cara untuk memperoleh dan berkontribusi
terhadap sumber-sumber masyarakat. Untuk melakukan hal
tersebut, fokus prakteknya harus menekankan pada potensi-
potensi dan daya lentur (resiliencies) klien, dan meminimalisasi
kerentanan klien (Miley et al., 2001).

7. Perspektif Generalis
Tujuan dari perspektif ini adalah untuk memastikan bahwa
pekerja sosial akan melakukan pendekatan kepada setiap klien
dan situasi dengan menggunakan berbagai model, teori,dan
teknik, serta akan mempertimbangkan intervensi pada beberapa
level (ranah), dari mikro hingga makro.

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 63
Perspektif generalis merupakan suatu cara berfikir
mengenai praktek yang paling relevan dan paling dibutuhkan
mulai sejak fase awal dari proses pertolongan, saat masalah
tersebut telah jelas batasannya dan ditelaah serta keputusan
telah dibuat tentang perubahan apa yang dibutuhkan dan
pendekatan apa yang diperlukan. Perspektif ini memandu
langsung pekerja sosial untuk mengidentifikasi beberapa
poin kemungkinan dan level intervensi dan untuk selanjutnya
memilih satu atau sesuatu yang paling tepat dan yang paling
memungkinkan (feasible) pelaksanaannya. Praktek pekerjaan
sosial telah digambarkan sebagai inherentlygeneralist (Landon
and Feit 1999).

Menurut American Heritage Dictionary, seorang generalis


adalah “a person with broad general knowledge and skiils in
several disciplines, fields, or areas”. Jadi istilah praktek generalis
dan pekerja sosial generalis merujuk pada seorang praktisi
pekerja sosial yang memiliki keluasan pengetahuan dan
keterampilan, yang diperoleh dari berbagai perspektif, teori,
dan model, serta yang mampu bergerak dari kesulitan-kesulitan
minimal dari satu bidang praktek ke bidang praktek berikutnya.
Lawannya dari praktek generalis adalah sesuatu yang dicirikan
oleh spesialisasi, juga dicirikan dengan jenis klien yang
dilayaninya, dengan metode yang digunakannya, dengan level
intervensinya, atau dicirikan oleh asumsi utama pekerja sosial.

Para pekerja sosial menggunakan perspektif generalis agar


mampu mengidentifikasi dan fokus pada berbagai faktor yang
berkontribusi terhadap masalah keberfungsian sosial. Termasuk

64 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
di dalamnya konflik-konflik nilai dan kepercayaan; keretakan
hubungan, pemikiran terdistorsi; kurangnya pengetahuan dan
informasi; pola-pola individual dan keluarga yang destruktif;
keterasingan dan kesepian; penindasan, ketidakadilan, dan
rasisme; kemiskinan dan minimnya pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan dasar; penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan;
salah urus atau tidak berjalannya program dan kebijakan; dan
seterusnya.

Pekerja sosial generalis dipersiapkan untuk terlibat dan


bekerja dengan berbagai sistem klien—seperti individual,
kelompok yang dibentuk untuk tujuan khusus seperti terapi
atau dukungan sosial; kepanitian atau kelompok satuan tugas;
organisasi formal seperti badan pelayanan atau sebuah jaringan
badan pelayanan; dan para legislator dan pembuat kebijakan.
Selanjutnya para pekerja sosial dipersiapkan untuk melakukan
berbagai peran pekerja sosial---sebagai contoh, advocate, case
manager, counselor atau therapist, group facilitator, broker dari
pelayanan, fund raiser, program planner, policy analyst, dan
researcher.

Pekerja sosial generalis diharapkan mampu membingkai


dan menyesuaikan pendekatannya yang akan diterapkan
dengan keunikan situasi dan permasalahan klien serta
karakteristik masyarakat lokal, daripada mengharapkan klien
agar menyesuaikan dengan profesional dan badan pelayanan
sebagai cara meresponnya. Schatz, Jenkins, and Sheafor (1990,
223) mengidentifikasi ada 4 (empat) karakteristik paling jelas
yang mencirikan perspektif generalis, yaitu:

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 65
a) A multidimensional orientation that emphasizes an
interrelatedness of human problems, life situation,social
condition.
b) An approach to assessment and intervention that ideas
from many different practice frameworks and considers all
possible action that might be relevant and helpful to client.
c) Selection of intervention strategies and worker roles are
made primarily on the basis of client’s problem, goal,
situation, and size of the systems that are targeted for
change.
d) A knowledge, value and skill base that is transferable

Dengan melihat 4 (empat) karakteristik tersebut,


nampaknya sebagian besar insititusi pendidikan pekerjaan
sosial di Indonesia telah mempersiapkan mahasiswa untuk level
sarjana, sebagai pekerja sosial generalis.

Sangatlah jelas bahwa basis pengetahuan pekerjaan sosial


hasruslah banyak dan luas, yang setiap saat terus berkembang
dan berubah. Namun hal terpenting yang perlu ditekankan
bagi para pekerja sosial adalah, bahwa pada kenyataanya tidak
semua pengetahuan itu harus dikuasai, sesuaikan saja dengan
bidang garapan masing-masing pekerja sosial. Oleh karena itu,
basis pengetahuan apa kiranya yang secara realistis seharusnya
dikuasai oleh para pekerja, kiranya dapat dipandu dengan poin-
poin berikut:
a) Sebuah pemahaman dasar. Para pekerja sosial tidak harus
menjadi ahli di semua bidang pengetahuan, tetapi secara

66 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
realistis diharapkan menguasai setidaknya pengetahuan
dasar.
b) Sebuah kesadaran untuk mengatakan, saya tidak tahu.Jika
kita tidak mengetahui segala hal, jangan berpura-pura
untuk bertindak seolah kita tahu. Kita mungkin merasa
malu atau tidak siap untuk mengatakan tidak tahu. Tetapi
ini bukan pertanda kelemahan atau kesalahan, tetapi lebih
dari itu, sebaliknya akan lebih membantu dan merupakan
pengakuan konstruktif untuk mengakui keterbatasan kita.
c) Akses untuk pengetahuan selanjutnya. Jika mengalami
keterbatasan akan suatu isu atau persoalan yang tidak tahu
bagaimana alternatif solusinya, maka banyak sumber di
sekitar kita yang dapat dijadikan sumber informasi untuk
membantu memberi pengetahuan kepada kita. Oleh karena
itu kenali sumber-sumber potensial yang ada di sekitar
kita, bisa atasan, manajer, kolega, perpustakaan, internet
dan seterusnya.
d) Selalu bersikap terbuka untuk belajar. Jangan pernah puas
dengan situasi yang rutin, monoton, mekanistis, dan tanpa
pembaruan; sebab akan berbahaya di kemudian hari.
Lakukan pembaruan dengan menambah pengetahuan,
cara-cara baru yang mungkin lebih efektif dan banyak
manfaatnya.
e) Mampu selektif. Tidak mungkin semua pengetahuan dan
keterampilan dipergunakan setiap saat, oleh karena itu
pekerja sosial perlu mengembangkan keterampilan untuk
menentukan elemen pengetahuan mana yang reevan
dengan aspek praktek.

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 67
f) Praktek reflektif. pengetahuan cenderung dilupakan jika kita
tidak menggunakannya; atau bahkan lupa sama sekali. Oleh
karena itu, penting bagi para pekerja sosial merefleksikan
pengetahuan pada praktek sehingga pengetahuan tersebut
akan terus berkembang dan hidup serta bernilai.

Pengalaman-pengalaman praktek dan komitmen untuk


terus mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang
diperlukan, tidak saja memberikan kontribusi penting bagi
praktek pekerjaan sosial, tetapi juga akan memberikan dan
menjadi sumber kesenangan, kebahagiaan, dan kepuasan
kerja. Perkembangan permasalahan sosial di Indonesia sudah
sedemikan kompleks, mengingat hal ini berkait dengan
kemerosotan nilai-nilai moral dan mental pada hampir lapisan
masyarakat. Sebagian masyarakat cenderung ‘apatis’ dengan
program-program yang berasal dari ‘pusat’, walaupun itu
merupakan program pemberdayaan atau bantuan bagi mereka.

Namun masyarakat, dengan kecerdasannya yang telah


meningkat, memahami bantuan atau program pemberdayaan
tersebut hanya untuk kepentingan menaikan citra sekelompok
etit pemerintahan. Sementara itu keberhasilan, terobosan-
terobosan yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengatasi
permasalahan sosialnya secara mandiri, kurang dihargai oleh
pemerintah. Kalau terdapat pengakuan oleh pemerintah, ujung-
ujungnya untuk menaikan sekelompok atau sektor tertentu,
bahkan dengan tidak malu mengakui keberhasilan masyarakat
tersebut sebagai keberhasilan pemerintah. Masyarakat harus
tetap didorong untuk terus mengembangkan terobosan-

68 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
terobosan baru, yang kreatif, inovatif, dan berani dalam
mengatasi berbagai permasalahan sosial di Indonesia.

Demikian pulan Profesi Pekerjaan sosial perlu


mengembangkan cara-cara yang kreatif dan inovatif untuk
mengatasi berbagai permasalahan sosial, dengan tetap
membangun jejaring seluas mungkin. Jiwa kewirausahaan
sosial (social entrepreneurship) kiranya dapat menjadi semangat
baru, pendekatan baru dan terobosan baru, di tengah situasi
keterbatasan pemerintah dalam meningkatan kesejahteraan
sosial bangsanya. Para pekerja sosial di seluruh pelosok
Indonesia harus menyakini bahwa profesi ini merupakan profesi
pertolongan yang mulia dan terhormat, karena memang profesi
terlahir untuk membantu masyarakat dengan cara-cara yang
profesional berbasiskan ilmu, pengetahuan, dan nilai-nilai.
Sehingga sudah merupakan amanah dan prinsip bagi para
pekerja sosial untuk terus mengembangkan pengetahuan,
keterampilan dan pendekatan-pendekatan sesuai dengan
perkembangan sosial masyarakatnya.

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 69
BAB METODE PRAKTEK
III PEKERJAAN SOSIAL

Pekerjaan sosial lahir sebagai suatu profesi pada awal


abad keduapuluh dan dewasa ini profesi ini dituntut untuk
memenuhi mandat kesejahteraan sosial dalam mempromosikan
kesejahteraan dan kualitas kehidupan manusia. Dengan
demikian, pekerjaan sosial meliputi kegiatan-kegiatan yang
diarahkan untuk memperbaiki kondisi-kondisi manusia dan
sosial serta mengurangi kesulitan-kesulitan manusia dan
masalah-masalah sosial yang dihadapinya. Para pekerja sosial,
sebagai kaum profesional yang peduli, bekerja dengan orang-
orang untuk meningkatkan kompetensi dan keberfungsian
mereka, untuk mengakses dukungan-dukungan dan sumber-
sumber sosial, untuk menciptakan pelayanan-pelayanan sosial
yang manusiawi dan tanggap, serta untuk memperluas struktur
masyarakat yang menyediakan kesempatan-kesempatan bagi
semua anggota masyarakat.
Dalam melaksanakan profesinya sebagai pekerja sosial
memiliki metode Pekerjaan Sosial adalah suatu prosedur kerja
yang teratur dan dilaksanakan secara sistematis digunakan oleh
pekerja sosial dalam memberikan pelayanan sosial. Di dalam
pekerjaan sosial ada beberapa metode yang digunakan untuk
membantu klien dalam mengatasi permasalahannya, Adapun
jenis-jenis Metode Pekerjaan Sosial, adalah sebagai berikut:

70 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
1. Metode Pekerjaan Sosial Case Work
(Perseorangan)
Indonesia sebagai bangsa yang sedang dalam proses
pembangunan, maka pembangunan di bidang sumber daya
manusia (SDM) adalah salah satu fokus yang tidak kalah
pentingnya dibanding dengan berbagai bidang pembangunan
lainnya.

Sebagai konsekuensi logis dari proses pembangunan


Sumber Daya Manusia (SDM) yang dilakukan, selain pencapaian
dari tujuan pembangunan itu sendiri, hal yang tidak dapat
dikesampingkan adalah permasalahan yang muncul akibat dari
proses pembangunan SDM yang sedang dilakukan. Menanggapi
berbagai permasalahan dan fenomena sosial yang terjadi,
Pekerjaan Sosial sebagai sebuah ilmu yang memiliki berbagai
metode pemecahan masalah dan dalam praktiknya berfokus
pada hubungan antarindividu, kelompok, atau masyarakat;
dengan lingkungan sosial mereka, serta mengingat Pekerjaan
Sosial pun merupakan suatu profesi pemberian bantuan yang
berusaha membantu individu-individu yang mengalami masalah
pribadi serta masalah dalam hubungannya dengan individu-
individu lainnya; maka Pekerjaan Sosial memiliki kompetensi
yang diperlukan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang
terjadi melalui metode-metode praktiknya.

Berkaitan dengan bidang pembangunan sumber daya


manusia, kajian keilmuan Pekerjaan Sosial dalam praktiknya
mencakup bidang kajian mikro, mezzo, dan makro. Yang
termasuk dalam bidang kajian mikro (social case work); fokus

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 71
pada kebiasaan individu dan dampak yang dapat menimpa
individu yang bersangkutan, bidang kajian mezzo (social
group work) melihat pada interaksi individu dengan kelompok
atau lingkungannya, dan dengan orang-orang terdekatnya,
dan bidang kajian makro (community organization/community
development) lebih melihat pada kebijakan negara, lingkungan
masyarakat di mana saja individu menghadapi masalahnya,
mengkaji ada tidaknya peraturan perundang-undangan yang
melindungi atau berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi,
dan bidang-bidang yang berkaitan dengan pembangunan
masyarakat atau yang lebih dikenal dengan bidang community
development (ComDev).

Bimbingan sosial individu/perseorangan adalah suatu


rangkaian pendekatan teknik pekerjaan sosial yang ditujukan
untuk membantu individu yang mengalami masalah berdasarkan
relasi antara pekerja sosial dengan seorang penerima pelayanan
secara tatap muka

Metode social case work atau yang dikenal juga dengan


Bimbingan Sosial Perseorangan merupakan suatu metode
pemberian bantuan kepada orang yang didasarkan atas
pengetahuan, pemahaman, serta penggunaan teknik-teknik
secara terampil yang diterapkan untuk membantu orang-orang
guna memecahkan masalahnya, dan mengembangkan dirinya.

Metode social case work bersifat individual –karenanya


dikatakan pendekatan mikro-, yaitu membantu individu-individu
yang memiliki masalah, baik yang bersifat eksternal, artinya

72 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
memiliki masalah yang bersumber dari lingkungan sosialnya
maupun individu-individu yang mengalami masalah yang
bersumber dari dalam dirinya sendiri. Dalam praktiknya, metode
social case work mengkombinasikan elemen-elemen psikologis
dan sosial; dan karenanya metode social case work mempunyai
sifat-sifat psikososial.

Berbicara mengenai pendekatan mikro (metode social case


work) dalam profesi Pekerjaan Sosial, maka kajiannya dapat
dibagi menjadi dua bagian, yang pertama adalah bidang-bidang
yang bersifat penyembuhan (problem solving) dan konseling
(therapy) yaitu bagi orang-orang yang memiliki masalah dan yang
kedua adalah kajian yang bersifat pengembangan diri (personal
development) yaitu bagi orang-orang yang tidak memiliki
masalah, namun menginginkan adanya upaya pengembangan
diri, baik dalam meningkatkan aspek pengetahuan, sikap maupun
dalam bidang keterampilan.

Berbicara mengenai kajian praktik mikro dari Profesi


Pekerjaan Sosial (atau yang biasa disebut dengan social case
work), berikut akan dipaparkan berbagai hal yang terkait di
dalamnya, yaitu:

1. Memulai hubungan dengan klien. Salah satu keahlian


yang perlu dimiliki oleh seorang Caseworker (Pekerja
Sosial dalam praktik mikro) adalah berkomunikasi. Dalam
hal lingkup mikro, komunikasi yang dibutuhkan adalah
ketika memulai hubungan dengan klien dan kemudian
untuk bekerja pada tingkat individu.

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 73
Beberapa tingkah laku yang juga mempengaruhi proses
komunikasi adalah tingkah laku nonverbal. Beberapa tingkah
laku non verbal yang perlu mendapat perhatian adalah
a. Kontak mata
b. Ekspresi wajah
c. Posisi tubuh
2. Kehangatan, Empati dan Keaslian. Kehangatan; adalah
bersikap sebaik mungkin dengan orang lain, memberikan
kenyamana dan perhatian yang tulus. Berikut beberapa
contoh komunikasi verbal yang menyiratkan kehangatan:
“Halo, senang bertemu dengan Anda”
“Saya, senang sekali dapat berbicara kepada Anda tentang
hal ini”
“Senang sekali ngobrol dengan kamu” “Senang bertemu
Anda kembali”
“Silakan duduk, boleh saya ambilkan segelas kopi?”

Empati, mengacu kepada bagaimana kita dapat memahami


perasaan orang lain. Berikut adalah contohnya, seorang klien
bercerita kepada Anda tentang bagaimana ia diperlakukan
sangat buruk oleh suaminya, Anda dapat mengatakan:

“Satu tahun kebelakang Anda pasti merasa sangat berat”


“Satu tahun adalah waktu yang sangat lama untuk hidup
bersama dengan suami Anda yang seperti itu”
Empati dapat juga menunjukkan bahwa kita berada dipihak
mereka, berikut beberapa contoh lainnya
“Kesan saya..................”
“Apakah yang kamu katakan..........”

74 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
“”Yang kamu maksudkan............”
“Kamu kelihatannya................”
“Apakah kamu merasa..............”
“Kamu terlihat..................Apa yang sebenarnya terjadi?”
”Kedengarannya kamu.........................Maukah kamu
menceritakannya?”

Keaslian, Berbagi cerita dengan keaslian kita, dengan


spontanitas yang tidak dibuat-buat serta alamiah. Ketika
berhubungan dengan klien, kita tidak menjadi orang lain,
melainkan total menjadi diri sendiri.

3. Menjalankan wawancara.
Komunikasi adalah suatu bidang yang sangat luas. Berbagai
jenis dan tehnik komunikasi telah banyak dikembangkan oleh
para ahli. Salah satu tehnik komunikasi yang perlu dikuasai oleh
seorang Caseworker adalah menjalankan/memimpin wawancara,
yaitu dalam tahap pengumpulan data dan juga dalam proses
pertolongannya;

Respon Verbal Pada Klien


1. Penguatan sederhana, menjaga kontak mata dengan klien
adalah sebuah penguatan sederhana yang dapat membuat
klien terus melanjutkan ceritanya kepada Caseworker.
2. Rephrasing, secara sederhana rephrasing adalah
mengucapkan kembali apa yang telah diutarakan oleh
klien dengan bahasa yang berbeda.
3. Respon reflektif, ini adalah kegiatan menterjemahkan
apa yang kita pikir dirasakan oleh klien dengan kata-kata.

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 75
Respon reflektif dapat digunakan pada klien yang bercerita
panjang lebar mengenai masalahnya, tetapi ia tidak
merasakan masalah tersebut.
4. Klarifikasi, Inti dari klarifikasi adalah membuat pernyataan
tertentu untuk menunjukkan bahwa kita sudah menangkap
apa yang dikemukakan klien.
5. Interpretasi, ini adalah sebuah aktivitas mencari makna
dibalik yang terkandung dalam klarifikasi.
6. Memberikan Informasi, terkadang perlu bagi kita untuk
memberikan informasi, karena sering kali masalah klien
bermula dari kurangnya informasi yang dia miliki mengenai
berbagai hal.
7. Menekankan pada kekuatan klien, pekerja Sosial
berhadapan dengan masalah manusia yang paling sulit.
Terkadang mereka tidak bisa berpikir hal-hal yang lain
kecuali masalah mereka sendiri.
8. Penyingkapan diri, satu hal yang perlu diperhatikan oleh
seorang Caseworker adalah bahwa mereka perlu mengetahui
sejauh mana mereka dapat membuka diri kepada klien.
9. Mendapatkan informasi, secara sederhana ada dua cara
dalam mendapatkan informasi, yaitu pertanyaan terbuka
dan pertanyaan tertutup. Pertanyaan tertutup contohnya
adalah;

“Apakah Anda akan datang besok?”


“Anda bekerja di restroan atau di hotel?”

76 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
Sedangkan pertanyaan terbuka, adalah pertanyaan
yang memungkinkan penjawab menjawab pertanyaan dengan
panjang lebar, seperti:

“Apa alasan kamu sehingga meninggalkan rumah begitu


lama?”
“Bagaimana perasaan kamu tentang situasi ini?”

10. Penggunaan “mengapa?”, Berhati-hatilah jika menggunakan


kata tanya mengapa, karena seakan-akan hal tersebut
sudah ‘menyudutkan’ atau menempatkan klien di tempat
yang salah, sehingga ia dapat merasa terancam.

Menekankan pada kekuatan klien:


Tingkah laku klien ‘Kamu telah melakukan aktivitas tersebut
dengan sangat baik, sesuai dengan yang disarankan.
Lihatlah, apa yang telah kamu berhasil capai...’
Kualitas personal: ‘Saya pikir kamu sangat termotivasi di
pekerjaan ini’
‘Kamu sangat ceria kalo sedang gembira, membuat seluruh
orang lain ikut senang’
Sumber-sumber klien: ‘Sangat baik sekali kamu mempunyai
teman untuk diajak bicara, itu sangat membantu

11. Menangani Sikap Bermusuhan. Kadang kala klien tidak


selalu menjadi anak manis ketika berhadapan dengan
kita. Mereka mungkin berteriak-teriak atau melakukan
tingkah laku yang agresif. Johnson 1986, menyatakan
bahwa walaupun konflik adalah sebuah situasi yang tidak

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 77
enak dan perlu dihindari, namun terdapat beberapa aspek
positif dari konflik. Misalnya, daripada rasa permusuhan
tersebut dipendam, terkadang akan lebih baik jika klien
mengungkapkannya. Namun Caseworker pun dapat meraih
beberapa informasi tersembunyi dibalik sikapnya tersebut.
Berikut beberapa tips untuk berhubungan dengan rasa
permusuhan dari klien:
a. Jangan marah atau defensive. Kenali reaksi pribadi kita, ingat
bahwa ini adalaha wacana profesional bukan personal

b. Fokus pada tingkah laku permusuhan klien bukan mencap


bahwa klien adalah orang yang selalu bermusuhan
c. Biarkan klien melepaskan kemarahannya. Berempatilah
d. Tekankan pada kekuatan pribadi dari klien, jangan serang
balik
e. Pahami faktanya berdasarkan situasi yang dialami oleh
klien
f. Fokus pada saat ini dan masa depan, jadi tidak terus
menerus tenggelam di masa lalu
g. Lihat berbagai kemungkina alternatif dan konsekuensinya
h. Jangan sok bermoral
i. Ringkaskan apa yang telah terjadi selama wawancara
berlangsung
j. Segera buat tujuan-tujuan jangka pendek dengan klien,
misalnya membuat persetujuan-persetujuan kecil, atau
perjanjian selanjutnya

78 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
Assessment
Assesment adalah tahap pertama dari proses penyelesaian
masalah.Termasuk di dalamnya adalah,mendapatkan pemahaman
tentang masalah tersebut, apa yang menyebabkannya dan apa
yang bisa diubah untuk meminimalisasi atau menyelesaikannya
(Barker, 1987). Para Caseworker mengevaluasi masalah dalam
sebuah perspektif lingkungan. Sebuah masalah tidak hanya
menyangkut individu dan keluarga tetapi juga tingkat masyarakat
yang lebih besar dan sistem di sekitar orang tersebut tinggal.

Manusia pada umumnya sangat dipengaruhi oleh orang,


kelompok dan organisasi di sekitarnya. Banyak sedikitnya
dukungan sosial dari rekan sekerja bisa membuat seseorang
membenci atau menyukai pekerjaannya. Bahkan terpilihnya
presiden baru di suatu negara dapat menentukan seberapa
besar tingkat kebebasan bertingkah laku rakyatnya.

Sebelum menyelami assesment lebih lanjut ada empat hal


yang perlu dipahami terlebih dahulu tentang assesment, yaitu:
1. Pelibatan klien adalah sesuatu yang sangat esensial. Hal ini
untuk menghindari pernyataan masalah yang terlalu dini,
sehingga tidak akurat. Pelibatan klien akan meminimalisir
hal tersebut.
2. Assesment selalu melibatkan pengambilan keputusan, tidak
satu kamus yang memuat jawaban dari setiap masalah
yang ditemui, anda harus membuat keputusan untuk tiap
masalah

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 79
3. Assesment selalu mempertimbkan kekuatan/potensi klien
Pengetahuan akan kekuatan atau potensi klien akan
mempermudah untuk pencarian solusi
4. Dalam assesment, tidak selalu ditemukan sebuah definisi
masalah yang jelas dan tunggal. Jadi, buatlah identifikasi
dan prioritas yang terbaik dari masalah.
5. Assesment perlu merupakan suatu proses yang
berkelanjutan. Karena segala situasi, potensi dan kekuatan
klien bukanlah sesuatu yang statis melainkan selalu
berubah secara dinamis.

Tujuan Assesment:
Ketika seorang Caseworker melakukan proses assesment,
maka hal ini ditujukan untuk :
1. Para Caseworker perlu membuat pernyataan masalah secara
jelas
2. Para Caseworker perlu memformulasikan deskripsi yang
jelas dari sistem yang melingkupi klien tersebut
3. Para Caseworker perlu mengilustrasikan bagaiaman sistem
klien berinteraksi dengan sistem lainnya, apakah sistem
keluarga klien misalnya terisolasi dari keluarga-keluarga
yang lain?
4. Para Caseworker perlu mengumpulkan seluruh informasi
ini disatu tempat, agar segera dapat dianalisis dan diambil
langkah-langkah yang diperlukan.

80 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
Sedangkan prinsip dasar pada bimbingan sosial
perseorangan adalah:
a. Penerimaan, seorang pekerja sosial harus mau menerima
dan menghormati penerima pelayanan (klien) dalam setiap
kondisi yang dialaminya.
b. Komunikasi, antara pekerja sosial dan klien harus saling
memberi dan menerima informasi.
c. Individualisasi, pekerja sosial harus memahami, menerima
bahwa klien sebagai pribadi yang unik, dalam arti berbeda
antara individu yang satu dengan individu lainnya.
d. Pertisipasi, pekerja sosial harus ikut serta secara langsung
dalam membantu mengatasi permasalahan klien.
e. Kerahasiaan, pekerja sosial harus mampu merahasiakan
informasi yang diberikan oleh klien.
f. Kesadaran diri, sebagai manusia pekerja sosial menyadari
akan respon klien serta motivasi dan relasi bantuan
profesional.
g. Pekerja sosial profesional yang telah memiliki pengetahuan
dan pengalaman menggunakan metode bimbingan sosial
perorangan ini akan menghindari sejauh mungkin bias-bias
subyektifitas dan interest pribadi.

Beberapa peranan pekerja sosial profesional yang


menerapkan bimbingan perorangan adalah:
1. Broker, membantu memberikan pelayanan sosial kepada
klien.
2. Mediator, menghubungkan klien kepada sumber-sumber
pelayanan sosial.
3. Public educator, memberikan dan menyebarluaskan

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 81
informasi mengenai masalah dan pelayanan sosial.
4. Advocate, membela klien memperjuangkan haknya
memperoleh pelayanan atau menjadi penyambung lidah
klien agar lembaga respon memenuhi kebutuhan klien.
5. Outreach, pekerja sosial mendatangi atau menjangkau
pelayanan.
6. Behavioral specialist, sebagai ahli yang dapat melakukan
berbagai strategi atau teknis mengubah perilaku seseorang.
7. Konsultan, memberikan nasehat kepada klien untuk
memenuhi kebutuhan atau pemecahan masalah.
8. Konselor, mencarikan alternatif yang dapat membantu
klien dalam upaya mengatasi masalahnya.

3. Metode Pekerjaan Sosial Social Group Work


(Bimbingan Sosial Kelompok)
Manusia adalah makhluk yang hidup berkelompok, dan
semakin jauh ia mengenal dirinya, maka akan semakin jauh pula
ia mengenal masyarakat. Manusia tidak dapat hidup sendiri,
ia bukanlah sebuah pulau di tengah lautan. Kesejahteraan
dan kebahagiaan hidupnya, dalam kenyataannya, sangat erat
berkaitan dengan keberhasilan dan ketidakberhasilan manusia
yang lain.

Ilmu pengetahuan telah menemukan bahwa bayi yang


diisolasikan dari manusia lainnya walaupun diberi makanan yang
baik, tetapi akan mati. Karena ia kurang perhatian. Anak-anak
merasakan bahwa rasa kesedihan tersebut tidak tertahankan,
dan para ahli psikologi telah mengobservasi bahwa proses

82 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
belajar dapat ditingkatkan dengan pergaulan bersama orang
lain.

Kenyataan lain, menyebutkan bahwa setiap individu tidak


dapat dipisahkan dari kelompok, bahwa individu-individu hanya
akan dapat mencapai pengembangan potensi mereka yang
setinggi-tingginya serta perasaan harga diri yang kuat, melalui
partisipasi mereka dalam kehidupan kelompok; juga bahwa
mereka dapat memperoleh rasa aman dan tentram dengan
adanya perasaan keterlibatan dan rasa memiliki suatu kelompok
yang mempunyai arti bagi mereka, serta bahwa mereka memikul
tanggung jawab terhadap orang lain di dalam dan melalui
antarhubungan tersebut.

Dengan dasar kenyataan-kenyataan seperti telah


dikemukakan di atas, maka dalam perkembangannya, Pekerjaan
Sosial mengembangkan metode Bimbingan Sosial Kelompok
(Social Group Work)

Social group work adalah suatu metode untuk bekerja


dengan, dan menghadapi orang-orang di dalam suatu kelompok,
guna peningkatan kemampuan untuk melaksanakan fungsi
sosial; serta guna pencapaian tujuan-tujuan yang secara sosial
dianggap baik (Soetarso, Pengantar Kesejahteraan Sosial, 1976,
hlm.72).

Bimbingan Sosial Kelompok didasarkan atas pengetahuan


mengenai kebutuhan-kebutuhan manusia untuk berhubungan

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 83
satu sama lain, dan adanya saling ketergantungan di antara
mereka. Bimbingan Sosial Kelompok merupakan suatu metode
untuk memperkecil atau menghilangkan hambatan-hambatan
dalam berinteraksi sosial, dan untuk mencapai tujuan-tujuan
yang diterima secara sosial (dianggap baik oleh masyarakat).

Kelompok dalam perspektif Pekerjaan Sosial dipandang


sebagai sekumpulan orang yang saling berinteraksi antar
sesame dan membentuk suatu kesatuan yang terpisah dan
berbeda dari kesatuan-kesatuan lainnya. Group Worker (Pekerja
Sosial dengan perhatian pada kelompok) bekerja terutama
dengan kelompok-kelompok, yang didalamnya terdapat
interaksi dan memungkinkan adanya individualisasi (perbedaan
satu kelompok dengan kelompok yang lainnya).

Dalam kajian Bimbingan Sosial Kelompok, sejumlah orang


yang berkumpul dan dapat dikatakan sebagai suatu kelompok
adalah apabila memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Adanya sekumpulan orang
2. Adanya interaksi psikis di antara anggota-anggotanya
3. Adanya saling ketergantungan di antara para anggota
kelompok
4. Merupakan suatu kesatuan yang berbeda dan terpisah dari
kelompok-kelompok lainnya
5. Individu tidak melebur di dalam kesatuan kelompok,
melainkan tetap mempunyai keunikan masing-masing
yang dapat disumbangkan untuk kepentingan bersama
6. Adanya tujuan, nilai-nilai, norma-norma, dan struktur
kelompok itu sendiri

84 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
Tipe-tipe kelompok:
1) Kelompok-kelompok tugas (task groups). Kelompok yang
berorientasi pada pencapaian seperangkat tujuan atau
penyelesaian tugas-tugas. Tujuan yang ditentukan dalam
kelompok ini menjadi alat untuk menentukan bagaimana
kelompok bekerja dan peran-peran apa yang dimainkan
oleh anggota kelompoknya. Kelompok tugas ini juga
mempunyai beberapa tipe yang lebih spesifik yang masing-
masingnya menggambarkan peran-peran yang mungkin
dimainkan oleh para Pekerja Sosial, antara lain:
a) Dewan direksi (Boards of directors). Merupakan kelompok
administratif yang bertanggungjawab untuk menyusun
kebijakan dalam mengatur program-program agen.
Dewan ini menggaji dan mengawasi pemimpin agen dan
menentukan kebijakan yang harus dijalankan oleh agen,
dan kebijakan tersebut mempengaruhi secara langsung
apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para praktisi
agen dalam menghadapi klien-kliennya. Dewan direksi ini
tidak saja orang-orang yang ahli dalam mengelola agen
tetapi juga orang-orang yang dipilih berdasarkan kontribusi
yang telah diberikan. Karena dewan direksi ini berperan
menyediakan hubungan yang kuat dengan komunitasnya
dan seringkali menjadi penolong dalam pengumpulan
dana, maka anggota dewan direksi ini merupakan aset yang
tidak dapat tergantikan bagi agen.
b) Tenaga tugas (task forces). Merupakan kelompok yang
dibentuk untuk tujuan tertentu dan biasanya tidak terikat
lagi dengan agen setelah mereka menyelesaikan tugasnya.
Tenaga tugas ini diangkat karena keahlian khusus yang

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 85
mereka miliki atau karena ketertarikan mereka terhadap
topik yang sedang menjadi perhatian. Tenaga tugas
ini diharapkan untuk mempelajari ide atau masalah,
mempertimbangkan berbagai alternatif pemecahan
masalah, dan menyiapkan laporan pertanggungjawaban.
c) Komite dan komisi (Committees and commissions). Komite
merupakan kelompok yang dibentuk oleh dewan direksi
suatu agen yang bertugas menyelesaikan tugas atau
masalah-masalah spesifik. Anggota komite ini bisa diseleksi
atau dipilih tergantung pada jenis komite itu sendiri. Komite
biasa bekerja pada area atau bidang yang khusus dan
bisa juga berupa panitia kerja (standing commitee) atau
panitia khusus (ad hoc committee). Panitia kerja biasanya
bekerja secara terus-menerus pada satu bidang tertentu
misalnya komite pelaksana, komite keuangan. Atau bisa
juga didirikan oleh suatu agen, misalnya komite pembicara
(speakers committee). Sedangkan panitia khusus, sama
halnya dengan tenaga tugas, diatur sedemikian rupa untuk
tujuan tertentu dan berhenti bekerja setelah menyelasaikan
tugasnya. Anggota panitia khusus bisa dipilih karena
ketertarikan pada tugas komite atau karena keahlian
mereka. Komisi mempunyai kesamaan dengan komite
dalam hal tanggungjawabnya terhadap tugas khusus. Suatu
komunitas atau negara atau juga kota, biasanya memiliki
komisi yang membantu pekerjaan rutin kota dalam tugas-
tugas khusus, misalnya komisi perencanaan kota, komisi
anti diskriminasi, dan lain sebagainya. Anggota komisi bisa
dipilih, tapi biasanya diangkat oleh administrator negara
dengan persetujan dewan yang memiliki kewenangan.

86 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
Misalnya Komisi Akreditasi dari The Council on Social Work
Education (CWSE) diangkat oleh Presiden CWSE setelah
melakukan konsultasi dengan dewan direksinya.
d) Badan legislative. Badan legislatif ini terdiri dari paa
representatif yang dipilih, dimana badan ini memunyai
tanggung jawab menetapkan hukum dan mencukupi
dana untuk program-program berdasarkan hukum yang
berlaku. Interaksi para Pekerja Sosial dengan badan ini bisa
dilakukan dengan berbagai macam cara. Pekerja Sosial bisa
menjadi anggota yang dari badan legislatif. Pekerja Sosial
juga bisa sewaktu-waktu dipanggil utnuk memberikan
kesaksiannya sebelum badan legislatif menetapkan hukum
yang akan mempengaruhi para klien dari Pekerja Sosial.
Misalnya dalam hal pendanaan untuk program Women,
Infant, Children (WIC), kebijakna keamanan sosial, dan lain
sebagainya. Pekerja Sosial kadang membantu para staff dari
badan legislatif untuk mengurus penjadwalan, menetapkan
lokasi meeting, dan juga memastikan bahwa tugas-tugas
yang dijalankan terselenggara dengan baik. Karena
badan legislatif ini menetapkan hukum atau kebijakan
yang mempengaruhi penyelenggaraan dan pendanaan
program-program sosial, maka sangat penting bagi para
Pekerja Sosial untuk mengetahui lebih dalam mengenai
bagaimana badan legislatif ini bekerja. Para Pekerja Sosial
juga harus bersiap-siap jika diminta memberikan kesaksian
atau pendapatnya mengenai program-progaram sosial, dan
juga dalam bekerja sama dengan anggota badan legislatif
untuk mencapai tujuan-tujuan Pekerjaan Sosial.

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 87
e) Pertemuan para staff. Pertemuan para staff ini terdiri dari
anggota staff agen yang berkumpul secara periodik untuk
mengidentifikasi tujuan yang akan dicapai. Beberapa
agen melaksanakan pertemuan ini dengan hanya terdiri
dari beberapa orang supervisor saja. Pertemuan para
staff ini bertujuan untuk menjelaskan kebijakan baru,
mendiskusikan kebijakan yang akan ditetapkan dan para
staff memiliki kesempatan untuk mnegemukakan ide dan
pendapatnya, menjaga agar para staff terus mengetahui
perubahan-perubahan yang terjadi dalam agen, atau juga
untuk memperkenalkan staff baru. Kadang pertemuan
ini memiliki faktor sosial atau emosional dalam rangka
membangun kebersamaan antar sesama staff.
f) Tim multidisiplin. Biasa disebut dengan istilah “M
teams”, terdiri atas beberapa profesionalis dari berbagai
disiplin. Mereka sering mengadakan pertemuan untuk
mendiskusikan klien-klien atau pasien-pasien tertentu
yang mereka tangani. Dalam lembaga kenegaraan yang
menangani pasien dengan keterbelakangan mental yang
berat, tim ini bisa terdiri dari Pekerja Sosial, perawat, dokter,
psikolog, dan pembantu. Pada program kesehatan rumah
sakit, tim multidisiplin ini bisa terdiri dari perawat yang
terdaftar, Pekerja Sosial, ahli diet, dan psikolog. Salah satu
anggota dari tim tersebut berperan sebagai pemimpin, tapi
semua anggota bertanggung jawab terhadap area yang
sesuai dengan keahliannya. Tim ini biasanya mengadakan
pertemuan dalam jadwal yang teratur.

88 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
g) Case conference. Case conferense yang juga disebut dengan
staffings, memiliki kesamaan dengan tim multidisiplin. Yang
membedakannya adalah, tidak seperti tim multidisiplin, para
anggota dari yang membentuk case conference ini tidak
bisa dianggap atau menganggap dirinya sebagai bagian
dari tim. Berdasarkan dari jenis tipe agen, para anggota
yang berpartisipasi dalam case conference atau staffings ini
tidak mewaili berbagai disiplin yang berbeda. Kadang kala
klien akan ditempatkan oleh departemen Pekerjaan Sosial.
Semua anggota bisa memberikan kontribusinya dalam
pengambilan keputusan. Contoh, salah satu departemen
yang mengurus orang terhukum yang sedang mengalami
masa percobaan menempatkan semua kasus atau perkara
dan petugas pengawas orang-orang yang sedang dalam
masa percobaan membuat rekomendasi untuk penahanan.
h) Kelompok aksi sosial. Tujuan dari kelompok aksi sosial
adalah untuk mengubah lingkungan fisik atau sosial
(Toseland & Rivas, 1984). Pencapaian tujuan tersebut dapat
menguntungkan baik bagi anggota maupun bagi yang bukan
anggota dari kelompok aksi sosial tersebut. Salah satu contoh
tujuan dari gerakan kelompok ini adalah meningkatkan
kesehatan masyarakat, memodifikasi kebijakan atau hukum
yang menunjukkan adanya diskriminasi terhadap kelas
sosial, dan lain sebagainya. Dalam kelompok ini seorang
Pekerja Sosial bisa menjadi anggota maupun menjadi
pemimpin dari kelompok tersebut. Peran lainnya yang
memungkinkan adalah menyalurkan tenaga kerja untuk
kelompok aksi sosial tersebut. Dalam peran ini Pekerja
Sosial bisa membantu mempertemukan antara calon

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 89
tenaga kerja dengan pihak agen, menyediakan nama-nama
contact person dari berbagai macam agen atau organisasi
yang ada, atau membantu kelompok aksi sosial dalam hal
apapun pada saat dibutuhkan. Sangat penting bagi para
Pekerja Sosial untuk mempunyai keterampilan dalam
membantu kelompok aksi sosial mencapai tujuannya dan
memastikan stabilitas yang cukup dari kelompok aksi sosial
sampai pada penyelesaian tugas (Toseland & Rivas, 1984).
Contohnya, Pekerja Sosial dapat membantu kelompok aksi
sosial untuk bangkit kembali setelah mengalami kegagalan
dengan mendukung setiap usaha mereka. Pekerja Sosial
dapat menindaklanjuti keputusan yang diambil oleh
kelompok aksi sosial agar dapat dipastikan bahwa harapan-
harapan kelompok telah memasuki proses pencapaian.

2) Treatment group. Istilah treatment group memiliki arti


yang luas dan mencakup beberapa kelompok yang satu
sama lain memiliki kemiripan tujuan. Toseland & Rivas
mengemukakan 5 tipe treatment group, antara lain:
a) Growth groups. Growth groups didesain untuk mendorong
dan mendukung perkembangan individual anggota
kelompok. Anggapannya adalah bahwa individu dapat
berkembang dengan cara membantu mereka mencapai
pemahaman akan dirinya yang lebih mendalam. Pengalaman
yang terjadi dalam growth groups ini terdiri dari berbagai
macam aktivitas yang didesain untuk membantu para
partisipan meraih tujuannya. Misalnya, growth group
yang mefokuskan kegiatannya untuk membantu para
pasangan agar bisa berkomunikasi lebih baik satu sama

90 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
lainnya. Pendekatan latihan yang dilakukan bisa berupa
mendengarkan keterampilan masing-masing, klasrifikasi
nilai yang ada di antara pasangan, dan saling mengirimkan
pesan yang jelas. Growth groups berfokus pada membantu
individu meraih potensinya dan tanpa anggapan bahwa
partisipan orang yang ikut serta didalamnya adalah mereka
yang selalu mempunyai masalah.
b) Remedial groups. Remedial group kadang dianggap sebagai
kelompok terapi, yaitu kelompok yang berupaya membantu
klien dan bertujuan mengubah beberapa aspek dari perilaku
klien. Istilah dari remedial group ini diartikan sebagai
kelompok yang memiliki tujuan untuk menyembuhkan
klien dari problematika pengalaman hidupnya. Fokus dari
jenis kelompok ini adalah memperbaiki masalah yang
dirasakan secara intrapersonal maupun interpersonal atau
pada pembelajaran terhadap pemecahan masalah yang
lebih baik dan terhadap gaya mengatasi masalah. Peran
Pekerja Sosial memiliki visibilitas yang sangat tinggi di
kelompok jenis ini. Pekerja Sosial bisa memulai perannya
dengan menjadi direktur, menjadi tenaga ahli, tergantung
pada kebutuhan dari kelompok itu sendiri, dan mungkin
saja Pekerja Sosial bisa menjadi fasilitator kemajuan dari
kelompok ini.
c) Educational groups. Merupakan sejumlah kelompok
yang didesain untuk menyediakan informasi bagi para
anggotanya tentang diri mereka sendiri ataupun tentang
orang lain. Tujuannya adalah untuk mendidik atau mengajari
anggota kelompok tentang beberapa isu atau topik. Hal
tersebut bisa dilakukan melalui bermain peran, presentasi

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 91
yang mendidik, aktivitas-aktivitas, dan diskusi. Contohnya
kelompok orangtua pengadopsi yang prospektif, kelompok
wanita dengan minat melahirkan dengan cara normal,
kelompok praktik parenting. Sama dengan growth groups,
educational groups ini bekerja dengan tanpa anggapan
bahwa mereka yang menjadi anggota adalah mereka yang
mempunyai masalah. Para Pekerja Sosial, sama seperti
pada remedial group, bisa menjadi pemimpin kelompok
ini. Pekerja Sosial bisa melakukan banyak presentasi yang
menyajikan informasi-informasi baru dan menjadai tenaga
ahli dari kelompok tersebut.
d) Socialization group. Kelompok ini membantu partisipan
dalam menjadikan kebutuhan akan keterampilan menjadi
hal yang tersosialisasi di masyarakat. Anggapannya adalah
bahwa anggota kelompok adalah orang-orang yang
memiliki sedikit jenis keterampilan sosial. Contohnya,
kelompok yang dikembangkan untuk remaja yang pernah
mengalami perilaku menyimpang. Program konseling yang
berbasis petualangan adalah salah satu contoh kegiatan
yang dilakukan kelompok ini. Program ini menitikberatkan
pada keterampilan fisik, uji keberanian, membangun
kerjasama tim dan kepercayaan diri yang diharapkan
dapat meningkatkan keterampilan sosial mereka dan
menyalurkan energi mereka kepada aktivitas sosial yang
diakui masyarakat. Visibilitas peran Pekerja Sosial dalam
kelompok ini termasuk dalam kategori tinggi. Pekerja
Sosial bisa menjadi seorang direktur atau tim ahli yang
mendesain program dan memimpin anggota kelompok
melewati setiap proses dan latihan.

92 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
e) Mutual aid groups. Mutual aid groups merupakan
sekelompok orang yang terdiri dari berbagi karakteristik
tertentu untuk mendukung satu sama lain dengan saran,
dukungan emosional, informasi, dan bantuan lainnya
(Barker, 1991). Kelompok ini memiliki pemimpin yang
profesional dan terorganisasi secara formal amupun
informal.

Istilah mutual aid group ini sering ditukarbalikan dengan


istilah “self-help group” karena keduanya bertujuan menjadikan
anggota-anggotanya saling mendukung satu sama lain. Tapi yang
paling penting adalah istilah mutual aid group ini digunakan
dalam Pekerjaan Sosial untuk menerangkan kelompok dengan
pendekatan saling mendukung yang kuat.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan


bahwa peran Pekerja Sosial dalam setiap jenis dari treatment
group ini memiliki kesamaan dan perbedaan satu sama lainnya.
Singkatnya, peran sebagai pemimpin memiliki visibilitas yang
tinggi dalam educational groups, remedial groups, maupun
socialization groups. Dalam setiap kasus, Pekerja Sosial bisa
menjadi direktur, tenaga ahli, atau tokoh pemimpin.

Dalam Growth groups dan beberapa remedial groups Pekerja


Sosial yang menjadi pemimpin dalam kelompok tersebut bisa
menjadi fasilitator, yang secara sederhana membantu anggota
kelompok mencapai tujuannya. Biasanya Pekerja Sosial akan
bekerja lebih aktif pada tahap pertama perkembangan setiap
jenis kelompok. Untuk tahap perkembangan yang lebih lanjut,

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 93
peran Pekerja Sosial mengarah pada konsultan, tenaga ahli, dan
peran panutan. Kebutuhan setiap jenis kelompok menentukan
peran yang akan dimainkan oleh Pekerja Sosial.

Jadi, Pekerja Sosial harus bisa “melueskan” atau membuat


fleksibel dan memodifikasi tipe dan tingkat keterlibatan
mereka dalam kelompok sesuai dengan kebutuhan. Para Pekerja
Sosial juga perlu menggunakan keterampilan yang bervariasi
tergantung pada tahap perkembangan kelompok, keterampilan
para anggotanya, dan jenis dari kelompok itu sendiri.
Peran Pekerja Sosial dalam Kelompok diantaranya adalah
sebagai:
1. Broker, yaitu semacam penghubung antara klien dengan
pihak-pihak yang dapat membantunya
2. Mediator, yaitu Pekerja Sosial yang membantu
menyelesaikan konflik, pertikaian ataupun perselisihan
anggota kelompok
3. Educator, yaitu sebagai guru, Pekerja Sosial memberikan
informasi baru, model-model untuk membantu partisipan
mempelajari keterampilan baru
4. Fasilitator, yaitu sebagai orang yang akan mempermudah
dan meringankan jalan partisipan

Dasar Dinamika Kelompok


Setiap kelompok mengalami tahapan perkembangan,
adapun tahapan perkembangan sebuah kelompok adalah
sebagai berikut:
1. Tahap pertama, dalam tahapan ini semua anggota sangat
bergantung dan mengharapkan arahan dari pimpinan

94 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
2. Tahap kedua, anggota mulai fokus pada dirinya sendiri, dan
mulai mengambil tanggung jawab yang lebih besar
3. Tahap ketiga adalah tahap bekerja, dalam tahapan ini,
anggota mulai menyukai berada dalam kelompok, dan
memiliki gairah yang tinggi untuk bekerja
4. Tahap keempat adalah tahapan yang menunjukkan bahwa
kelompok sudah mencapai tujuannya dan para anggota
kelompok mulai terpisah secara emosi

Budaya Kelompok, Norma dan Kekuasaan


Setiap kelompok akan mengembangkan budayanya sendiri,
termasuk didalamnya tradisi, kebiasaan dan nilai/kepercayaan
yang dianut bersama oleh para anggotanya. Budaya ini akan
menentukan bagaimana para anggota bereaksi dan berinteraksi
satu dengan yang lainnya dan juga dengan pimpinannya.

Ukuran Kelompok, Komposisi dan Durasi. Beberapa hal


ini perlu dipahami oleh Pekerja Sosial karena ada beberapa
kelompok yang tidak bisa diganggu gugat (seperti keluarga; kita
tidak bisa mengubah ukuran ataupun komposisinya), dan ada
juga yang bisa diubah serta bersifat fleksibel.

Pengambilan Keputusan dalam Kelompok


Proses pengambilan keputusan dalam sebuah kelompok
dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah:
1. Pengambilan keputusan dengan konsesus, Yaitu sebuah
proses dengan jalan individu dan kelompok mencapai
persetujuan umum tentang tujuan bersama dan cara untuk
mencapainya

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 95
2. Pengambilan keputusan dengan kompromi, Kelompok
mencari satu solusi yang hampir/sebagian besar
anggota dapat mendukungnya, atau suatu keadaan yang
mengharuskan seseorang berkata “dalam situasi ini, inilah
yang bisa kita sepakati”
3. Pengambilan keputusan dengan Mayoritas, Keputusan
diambil bila lebih dari setengah anggota setuju.
4. Diputuskan/keputusan tergantung oleh individu, Hal ini
terjadi bila ada satu orang yang sangat dihargai (ditakuti),
sehingga seluruh anggota menyerahkan pengambilan
keputusan ke satu orang tersebut.
5. Persuasi/keputusan mempertimbangkan pendapat ahli, Jika
anggota tim terdiri dari multi disiplin, maka masing-masing
disiplin akan mendapat kehormatan untuk pengambilan
keputusan di bidang yang dikuasainya.
6. Rata-rata pendapat anggota, Keputusan dibuat berdasarkan
rata-rata pendapat anggota; hal ini lebih mudah jika
keputusan yang ingin dibuat sifatnya rangking angka.
7. Ditentukan oleh minoritas, Ini terjadi ketika sekelompok
minoritas memiliki perasaan yang sangat kuat terhadap
putusan tertentu. Keputusan ini dapat terjadi ketika
kelompok minoritas tersebut memiliki sikap yang kuat atau
konsentrasi terhadap isu tertentu.
8. Teknik Nominal kelompok, Tujuan dari teknik ini adalah
untuk meng-assess masalah, kebutuhan, minat dan tujuan
yang ada (Barker 1987). Diawali dengan setiap anggota
menuliskan ide-idenya tentang permasalahan. Kemudian
pimpinan mempersilakan satu demi satu diungkapkan dan
ditulis di papan yang besar. Setiap anggota juga bebas

96 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
untuk menambahkan idenya ketika ia mendengarkan ide
orang lain, begitu selanjutnya.
9. Brainstorming, Seluruh peserta mengemukakan idenya
dalam waktu singkat tanpa boleh ada sanggahan, dan
pemimpin menuliskannya di papan yang besar

3. Community Development
Berbicara mengenai Profesi Pekerjaan Sosial, dari awal
pertumbuhannya telah melewati perjalanan yang panjang. Para
almoner yang berkerja di rumah sakit-rumah sakit di Inggris,
telah memberikan aspirasi pada seorang wanita pamikir pada
zaman itu (Mary Richmond) untuk membidani lahirnya sebuah
profesi baru yang dikenal dengan sebutan “Case Work”. Kelahiran
profesi ini didesak oleh kesadaran akan perlunya peningkatan
mutu pelayanan-pelayanan sosial untuk menangani masalah-
masalah anak dan keluarga, kemiskinan, kecacatan, dan jompo,
yang semula ditangani secara “trial and error” melalui kegiatan-
kegiatan amal saja.

Pada perkembangan selanjutnya, kemudian disadari


bahwa penggunaan metode perorangan (Case Work) saja dirasa
terlalu berat, jika harus diarahkan pada penanganan masalah-
masalah sosial yang kuantitas maupun kualitasnya terus
meningkat. Metode Pekerjaan Sosial dengan Kelompok (Group
Work), Pengorganisasian Masyarakat (Community Organization),
Pengembangan Masyarakat (Community Development), disusul
dengan pendekatan-pendekatan lainnya, termasuk Administrasi
Pekerjaan Sosial dan Penelitian Pekerjaan Sosial, kemudian

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 97
bermunculan dan memperkaya khasanah pendekatan profesi
baru yang selanjutnya dikenal dengan Profesi Pekerjaan Sosial.

Perkembangan profesi baru ini tidak hanya berhenti


sampai di situ saja, seiring dengan perkembangan masyarakat
dan berbagai penemuan teknologi baru dalam bidang-bidang
lain, profesi Pekerjaan Sosial pun terus sibuk memoles dan
memperbaiki diri. Pada tahap perkembangan selanjutnya,
Perencanaan Sosial mulai diakui sebagian orang sebagai metode
Pekerjaan Sosial tersendiri. Selain itu, aliran generalist, kemudian
lahir dan mendeklarasikan bahwa “intervensi multi level”
merupakan pendekatan yang perlu ditempuh agar penanganan
masalah dapat lebih komprehensif dan tuntas. Aliran generalist
kemudian merebak tanpa dapat dibendung, kemudian disusul
dengan bermunculannya berbagai pendekatan baru, walau tidak
selalu berasal dari penemuan teori baru. Pendekatan-pendekatan
tersebut diantaranya, pendekatan ekologi, pendekatan sistem,
pendekatan pengubahan perilaku, pendekatan ekitensialis dan
banyak lagi.

Dalam perkembangan terakhir, seperti dikemukakan David


Cox (1993), pendekatan “Social Development” cenderung menjadi
idola para Pekerja Sosial yang bekerja dengan masyarakat, yang
banyak bergelut dengan pengentasan kemiskinan, peningkatan
partisipasi masyarakat, dan upaya pemerataan keadilan di
dalam suatu masyarakat. Hal ini seiring dengan munculnya
aliran terbaru dalam Pekerjaan Sosial yang dikenal dengan
aliran radikal, yang memandang bahwa setiap permasalahan
sosial yang timbul berkaitan erat dengan distribusi kekuasaan

98 Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi
(power). Pada era sekarang ini, teknik “empowerment” kemudian
menjadi suatu teknik idaman para Pekerja Sosial.

Asal konsep Pengembangan Masyarakat (terjemahan dari


Community Development) sebenarnya adalah Pengorganisasian
Masyarakat (Community Organization); yang bermakna
mengorganisasikan masyarakat sebagai sebuah sistem untuk
melayani warganya dalam setting kondisi yang terus berubah.
Dengan demikian inti pengertiannya adalah mendorong warga
masyarakat untuk mengorganisasikan diri untuk melaksanakan
kegiatan guna mencapai kesejahteraannya sendiri. Di tingkat
nasional, aktor-aktor institusinya adalah pemerintah, kalangan
cendekiawan, kalangan bisnis, LSM, dan masyarakat biasa.
Semuanya harus terorganisasi dalam sebuah kesatuan sistem
untuk membangun masyarakat secara sinergis.

Pengertian Community Organization itu sendiri dapat


dibagi ke dalam dua, yaitu:
1. Dalam arti sempit dan operasional, berarti pengorganisasian
kegiatan masyarakat. Pertanyaannya adalah bagaimana
warga masyarakat akan melakukan kegiatan bersama ?
2. Dalam arti luas, berarti penataan masyarakat itu sendiri
sebagai sebuah sistem sosial. Pertanyaannya adalah
masyarakat yang bagaimana yang ingin dicapai ?

Pada level mikro dan langsung, setiap institusi dan kegiatan


industri harus menjalankan fungsi sosialnya melalui program-
program kerjasama dengan masyarakat setempat, sehingga
terjalin keserasian sosial. Masalahnya terletak pada pemahaman

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 99
dan penerapan konsep partisipasi itu sendiri. Setelah puluhan
tahun partisipasi diartikan sekedar melibatkan masyarakat dalam
program atau kegiatan yang telah ditetapkan dan dibawakan
fihak luar, masyarakat kehilangan kemandiriannya, melainkan
bersikap menunggu bantuan (charity/philanthrophy). Bahkan
setelah era reformasi bergulir mengubah paradigma program
top-down menjadi bottom-up, people centered development,
pemberdayaan; prosesnya masih membutuhkan curahan waktu,
tenaga, dan upaya yang panjang.

Sebagai sebuah proses, pengembangan masyarakat berarti


sebuah proses tindakan sosial yang mendorong warga suatu
masyarakat, untuk:
a) Mengorganisasikan diri mereka sendiri untuk menyusun
rencana dan melaksanakan tindakan bersama.
b) Merumuskan kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalah
bersama.
c) Menyusun rencana kelompok dan individu untuk memenuhi
kebutuhan dan memecahkan masalah mereka sendiri.
d) Melaksanakan rencana tersebut dengan sebanyak mungkin
mengandalkan sumber-sumber yang ada.
e) Menjangkau akses ke sumber-sumber di luar masyarakat
baik dari badan-badan pemerintah maupun swasta guna
mendukung sumber-sumber yang ada.

Untuk keperluan praktis, dapat dikemukakan bahwa dalam


ilmu sosial banyak terdapat istilah-istilah yang berbeda dengan
pengertian yang sama. Istilah pengembangan masyarakat
sesungguhnya bersumber pada istilah community development,

100 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
yang kemudian oleh Jack Rothman (1979), disamakan seperti
locality development. Dengan demikian, jika dalam tulisan ini
disebutkan ke tiga istilah tersebut, sesungguhnya pengertiannya
sama.

Pengembangan masyarakat didefinisikan sebagai:”sebuah


model pengembangan masyarakat yang menekankan pada
partisipasi penuh seluruh warga masyarakat”. PBB (1955)
mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai berikut:
”Pengembangan masyarakat didefinisikan sebagai suatu proses
yang dirancang untuk menciptakan kemajuan kondisi ekonomi
dan sosial bagi seluruh warga masyarakat dengan partisipasi
aktif dan sejauh mungkin menumbuhkan prakarsa masyarakat
itu sendiri”.

Tropman, dkk (1993) mengemukakan, bahwa: ” …locality


development merupakan suatu cara untuk memperkuat warga
masyarakat dan untuk mendidik mereka melalui pengalaman
yang terarah agar mampu melakukan kegiatan berdasarkan
kemampuan sendiri untuk meningkatkan kualitas kehidupan
mereka sendiri pula”.

Dari ke dua definisi tersebut dapat difahami dua hal :


a) Masalah utama dalam CD/LD adalah sosial ekonomi.
b) Mensyaratkan partisipasi penuh warga masyarakat di
dalam seluruh proses kegiatan(mulai dari gagasan sampai
kepada pemanfaatan).

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 101
Konsep ini diterapkan pada sebuah lingkungan
masyarakat setempat (locality/community), yang biasanya masih
memiliki norma-norma sosial, tentang konsensus, homogenitas,
dan harmoni (identik dengan masyarakat perdesaan).
1) Tujuan :
a) Tujuan antara: membangkitkan partisipasi penuh warga
masyarakat.
b) Tujuan akhir: perwujudan kemampuan dan integrase
masyarakat untuk dapat membangun dirinya sendiri.
3) Pendekatan : Dengan bertumpu pada inisiatif dan
partisipasi penuh warga masyarakat, maka penerapan CD/
LD lebih ditekankan kepada upaya untuk mengembangkan
kapasitas warga masyarakat (client-centered) daripada
pemecahan masalah demi masalah (problem-centered).
Bagi para perancang program pengembangan masyarakat,
locality development berarti program pendidikan bagi
masyarakat untuk mampu mengaktualisasikan dirinya
sendiri dalam program-program pembangunan.
4) Kandungan operasional dalam Community Development.
Kepemimpinan lokal
a) Dengan system kemasyarakatan local yang relative
masih bersifat organis dengan pola interaksi harmonis,
maka dalam perencanaan dan implementasi program
pengembangan masyarakat perlu dipertimbangkan, bahwa
pemimpin-pemimpin masyarakat masih menempati posisi
kunci baik dalam pembuatan keputusan maupun sebagai
representasi masyarakat lokal itu sendiri.
b) Jaringan Hubungan antar Kelompok (Intergroup
relations) Masyarakat merupakan suatu system sosial

102 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
yang besar, yang di dalamnya berisikan unit-unit sosial
yang lebih kecil yang disebut kelompok. Dalam praktik
pengembangan masyarakat, sesungguhnya yang dihadapi
dan dikembangkan adalah kelompok-kelompok warga
masyarakat sehingga menjadi sebuah jaringan kerja yang
sinergis. Demikianlah mengapa pengorganisasian dan
pengembangan masyarakat (community organization and
community development), sering pula disebut sebagai
‘intergroup relations’.

Sesuai dengan prinsip dasar yang digunakan dan menjadi


gagasan inti locality development yaitu partisipasi klien, maka
setiap langkah dalam proses locality development haruslah
dilakukan oleh warga masyarakat itu sendiri dengan bantuan
keahlian dan teknis dari system pelaksana dan system kegiatan.
1) Assessment. Assessment merupakan langkah terpenting
dari seluruh proses locality development, karena hasil
assessment ini akan menentukan ketepatan serta efektivitas
program locality development itu sendiri. Assessment
mencakup needs assessment, identifikasi masalah,
analisis masalah, dan resources assessment. Asesmen
mencakup tidak hanya masalah klien, melainkan juga
sumber-sumber, kekuatan-kekuatan, motivasi, komponen-
komponen fungsional, dan faktor-faktor yang positif
lainnya yang dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan-
kesulitan klien, dalam meningkatkan keberfungsian, dan
dalam mendukung pertumbuhan.
2) Plan of Treatment. Planning, menurut Meryl Ruoss (1970)
adalah organized foresight. Plan of Treatment merupakan

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 103
sebuah proses insight dalam mengidentifikasi, memilah,
menghubungkan masalah atau kebutuhan dengan sumber-
sumber yang dapat didayagunakan untuk memecahkan
masalah dan atau memenuhi kebutuhan melalui
serangkaian kegiatan (program dan proyek).
3) Treatment. Tahap ini merupakan implementasi dari strategi
locality development, monitoring, dan evaluasi. Dalam tahap
implementasi, maka perlu diperhitungkan situasi actual
yang akan menentukan tindakan yang perlu dilakukan.
Monitoring memberikan dua manfaat utama, yaitu:
a) Memberikan informasi untuk pegangan sementara program
masih sedang berlangsung.
b) Memberikan informasi bagi evaluasi berkala.Evaluasi
ditujukan baik kepada pelaksanaan program (proses dan
hasil), maupun kepada kerjasama di antara semua pelaku.
4) Terminasi. Terminasi merupakan langkah penghentian
sementara (sekuensi) kegiatan locality development; yang
mungkin kelak ditindaklanjuti dengan rangkaian kegiatan
berikutnya. Sejalan dengan perkembangan masyarakat
yang semakin kompleks, sasaran, bidang garapan dan
intervensi profesi Pekerjaan Sosial juga semakin luas.

Globalisasi dan industrialisasi membuka kesempatan


bagi Pekerjaan Sosial untuk terlibat dalam bidang yang relatif
baru, yakni dunia industri. Seperti halnya Pekerja Sosial medik
(medical social worker) yang bekerja di rumah sakit, para
Pekerja Sosial industri (industrial social worker) ini bekerja di
perusahaan-perusahaan, baik negeri maupun swasta, untuk
menangani kesejahteraan, kesehatan dan keselamatan kerja,

104 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
relasi buruh dan majikan, atau perekrutan dan pengembangan
pegawai (lihat Friedlander dan Thackeray, 1982; Payne, 1991;
Johnson, 1984; DuBois dan Miley, 1992; Suharto, 1997).

Di Indonesia sendiri, dunia bisnis dan industri merupakan


sektor yang masih jarang melibatkan Pekerjaan Sosial.
Namun demikian, di negara-negara maju seperti AS, Inggris,
Australia dan New Zealand, pemberian pelayanan sosial dalam
perusahaan telah meningkat secara dramatis selama tiga dekade
belakangan ini. Pekerjaan Sosial industri atau Pekerjaan Sosial di
perusahaan (occupational social work) merupakan profesi yang
sangat penting dalam pemberian pelayanan sosial, baik yang
bersifat pencegahan, penyembuhan maupun pengembangan.
Pekerjaan Sosial industri muncul di Amerika Serikat satu abad
lalu. Di Eropa, bidang ini muncul pada tahun 1920an. Pekerjaan
Sosial memang terlahir dalam konteks pertumbuhan masyarakat
industri.

Pekerjaan Sosial Industri dapat didefinisikan sebagai


lapangan praktik Pekerjaan Sosial yang secara khusus
menangani kebutuhan-kebutuhan kemanusiaan dan sosial di
dunia kerja melalui berbagai intervensi dan penerapan metode
pertolongan yang bertujuan untuk memelihara adaptasi optimal
antara individu dengan lingkungannya, terutama lingkungan
kerja. Istilah Pekerjaan Sosial Industri sesungguhnya memiliki
beberapa nama lain, seperti Pekerjaan Sosial Kepegawaian
(Occupational Social Worker), Pekrjaan Sosial di tempat kerja
(Social Work in the Workplace), atau bantuan/pelayanan bagi
pegawai (Employee Assisstance). (Straussner, Shulamith Lala

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 105
Ashenberg, Occupational Social Work Today: An Overview, dalam
Shulamith Lala Ashenberg Straussner (editor), Occupational
Social Work, New York: The Hepworth Press, 1989)

Mekanisasi dan otomatisasi melahirkan rutinitas pekerjaan


dan membuat tenaga manusia tampak semakin tidak penting.
Para pekerja kerah biru maupun kerah putih merasa tidak
bermakna dan terancam karena kapan saja dapat digantikan
oleh saingannya, yakni mesin. Perubahan teknologi, pergantian
tenaga kerja (shift), dan pemutusan hubungan kerja yang
semakin menjadi fenomena sehari-hari, sering menimbulkan
kecemasan bagi para pekerja.

Proses otomatisasi di AS menggantikan sekitar 2 juta


pekerjaan setiap tahunnya. Para pekerja yang yang merasa
tidak berguna dan tidak berdaya dalam pekerjaannya seringkali
membawanya ke rumah dan masyarakat. (Johnson, The
Social Services: An introduction, New York: FE Peacock, 1984)
mengklasifikasikan akibat-akibat industrialisasi yang bersifat
negatif terhadap kesejahteraan manusia kedalam 5A, yaitu:
1) Alienation: perasaan keterasingan dari diri, keluarga dan
kelompok sosial yang dapat menimbulkan apatis, marah,
dan kecemasan.
2) Alcoholism atau Addiction: ketergantungan terhadap
alkohol, obat-obat terlarang atau rokok yang dapat
menurunkan produktifitas, merusak kesehatan pisik dan
psikis, dan kehidupan sosial seseorang.
3) Absenteeism: kemangkiran kerja atau perilaku membolos
kerja dikarenakan rendahnya motivasi pekerja, perasaan-

106 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
perasaan malas, tidak berguna, tidak merasa memiliki
perusahaan, atau sakit pisik dan psikis lainnya.
4) Accidents: kecelakaan kerja yang diakibatkan oleh
menurunnya konsentrasi pekerja atau oleh lemahnya
sistem keselamatan dan kesehatan lingkungan kerja.
5) Abuse: bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap anak-
anak atau pasangan dalam keluarga (istri/suami), seperti
memukul dan menghardik secara berlebihan yang
ditimbulkan oleh frustrasi, kebosanan dan kelelahan di
tempat pekerjaannya. Beberapa permasalahan sosial
lainnya yang terkait dengan industrialisasi adalah:
diskriminasi di tempat kerja atau tindakan-tindakan tidak
adil terhadap wanita, kaum minoritas, imigran, remaja,
pensiunan, dan para penyandang cacat. Beberapa industri
dan perusahaan juga kerap menimbulkan dampak negatif
terhadap masyarakat di sekitarnya, seperti polusi (udara, air,
suara) dan kerusakan-keusakan pisik dan psikis bagi para
pekerjanya. Para Pekerja Sosial industri dapat membantu
dunia industri untuk mengidentifikasi dan mengatasi
berbagai biaya sosial (social costs) yang ditimbulkan oleh
perusahaan.

Dalam situasi dan kondisi yang demikian, Pekerja Sosial


memiliki tugas dan peranan yang cukup penting, khususnya
bagi para Pekerja Sosial Industri. Berikut akan dipaparkan Tugas
dari para Pekerja Sosial Industri tersebut, antara lain seperti
yang dikemukakan oleh Johnson (1984), di mana ada tiga bidang
tugas Pekerja Sosial yang bekerja di perusahaan, yaitu:

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 107
1) Kebijakan, perencanaan dan administrasi. Bidang ini
umumnya tidak melibatkan pelayanan sosial secara
langsung. Sebagai contoh, perumusan kebijakan untuk
peningkatan karir, pengadministrasian program-program
tindakan afirmatif. pengkoordinasian program-program
jaminan sosial dan bantuan sosial bagi para pekerja, atau
perencanaan kegiatan-kegiatan sosial dalam departemen-
departemen perusahaan.
2) Praktik langsung dengan individu, keluarga dan populasi
khusus. Tugas Pekerja Sosial dalam bidang ini meliputi
intervensi krisis (crisis intervention), asesmen (penggalian)
masalah-masalah personal dan pelayanan rujukan,
pemberian konseling bagi pecandu alkohol dan obat-obatan
terlarang, pelayanan dan perawatan sosial bagi anak-anak
pekerja dalam perusahaan atau organisasi serikat kerja,
dan pemberian konseling bagi para pensiunan atau pekerja
yang menjelang pensiun.
3) Praktik yang mengkombinasikan pelayanan sosial langsung
dan perumusan kebijakan sosial bagi perusahaan. Para
Pekerja Sosial telah memberikan kontribusi penting dalam
memanusiawikan dunia kerja. Mereka umumnya terlibat
dalam pemberian konseling di dalam maupun di luar
perusahaan, pengorganisasian program-program personal,
konsultasi dengan manajemen dan serikat-serikat kerja
mengenai konsekuensi kebijakan-kebijakan perusahaan
terhadap pekerja, serta bekerja dengan bagian kesehatan
dan kepegawaian untuk meningkatkan kondisi lingkungan
kerja dan kualitas tenaga kerja (Johnson, 1994; Suharto,
1997).

108 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
Merujuk pada Saidi dan Abidin (2004), sedikitnya terdapat
empat model atau pola sebuah perusahaan melakukan kegiatan
CSR-nya, yang umumnya diterapkan oleh perusahaan di
Indonesia, yaitu :
1) Keterlibatan langsung. Perusahaan menjalankan program
CSR secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri
kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan pada
masyarakat tanpa perantara. Untuk menjalankan tugas
ini, sebuah perusahaan biasanya menugaskan salah satu
pejabat seniornya, seperti corporate secretary atau public
affair manager atau menjadi bagian dari tugas pejabat
public relation.
2) Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan.
Perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah
perusahaan atau groupnya. Model ini merupakan adopsi dari
model yang lazim diterapkan di perusahaan-perusahaan di
negara maju. Biasanya, perusahaan menyediakan dana awal,
dana rutin atau dana abadi yang dapat digunakan secara
teratur bagi kegiatan yayasan. Beberapa yayasan yang
didirikan perusahaan diantaranya adalah Yayasan Coca Cola
Company, Yayasan Rio Tinto (perusahaan pertambangan),
Yayasan Dharma Bhakti Astra, Yayasan Sahabat Aqua, GE
Fund.
3) Bermitra dengan pihak lain. Perusahaan menyelenggarakan
CSR melalui kerjasama dengan lembaga sosial/organisasi
non-pemerintah, instansi pemerintah, universitas atau
media massa, baik dalam mengelola dana maupun dalam
melaksanakan kegiatan sosialnya. Beberapa lembaga sosial
yang bekerjasama dengan perusahaan dalam menjalankan

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 109
CSR antara lain adalah Palang Merah Indonesia (PMI),
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), Dompet
Dhuafa; instansi pemerintah (Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia/LIPI, Depdiknas, Depkes, Depsos); universitas (UI,
ITB, IPB); media massa (DKK Kompas, Kita Peduli Indosiar).
4) Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium
Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau
mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk
tujuan sosial tertentu. Dibandingkan dengan model
lainnya, pola ini lebih berorientasi pada pemberian hibah
perusahaan yang bersifat “hibah pembangunan”. Pihak
konsorsium atau lembaga semacam itu yang dipercayai
oleh perusahaan-perusahaan yang mendukungnya secara
pro aktif mencari mitra kerjasama dari kalangan lembaga
operasional dan kemudian mengembangkan program yang
disepakati bersama.

Dalam pelaksanaannya, konsep CSR seringkali diidentikkan


dengan metode Pengembangan Masyarakat (Community
Development) yang akhir-akhir ini banyak diterapkan oleh
perusahaan dengan istilah ComDev. Bila ditelaah secara
sederhana, maka tujuan utama pendekatan ComDev adalah
bukan sekedar membantu atau memberi barang kepada
si penerima, melainkan lebih berusaha agar si penerima
memiliki kemampuan atau kapasitas untuk mampu menolong
dirinya sendiri. Dengan kata lain, semangat ComDev adalah
pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, kegiatan ComDev
biasanya diarahkan pada proses pemberikuasaan, peningkatan

110 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
kekuasaan, atau penguatan kemampuan para penerima
pelayanan.

Pemberdayaan masyarakat ini pada dasarnya merupakan


kegiatan terencana dan kolektif dalam memperbaiki
kehidupan masyarakat yang dilakukan melalui program
peningkatan kapasitas orang, terutama kelompok lemah
atau kurang beruntung (disadvantaged groups) agar mereka
memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya,
mengemukakan gagasan; melakukan pilihan-pilihan hidup;
melaksanakan kegiatan ekonomi; menjangkau dan memobilisasi
sumber; berpartisipasi dalam kegiatan sosial.

4. Administrasi Pekerjaan Sosial


Berbicara mengenai Profesi Pekerjaan Sosial, dari awal
pertumbuhannya telah melewati perjalanan yang panjang. Para
almoner yang berkerja di rumah sakit-rumah sakit di Inggris,
telah memberikan aspirasi pada seorang wanita pamikir pada
zaman itu (Mary Richmond) untuk membidani lahirnya sebuah
profesi baru yang dikenal dengan sebutan “Case Work”. Kelahiran
profesi ini didesak oleh kesadaran akan perlunya peningkatan
mutu pelayanan-pelayanan sosial untuk menangani masalah-
masalah anak dan keluarga, kemiskinan, kecacatan, dan jompo,
yang semula ditangani secara “trial and error” melalui kegiatan-
kegiatan amal saja.

Pada perkembangan selanjutnya, kemudian disadari


bahwa penggunaan metode perorangan (Case Work) saja dirasa

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 111
terlalu berat, jika harus diarahkan pada penanganan masalah-
masalah sosial yang kuantitas maupun kualitasnya terus
meningkat. Metode Pekerjaan Sosial dengan Kelompok (Group
Work), Pengorganisasian Masyarakat (Community Organization),
Pengembangan Masyarakat (Community Development), disusul
dengan pendekatan-pendekatan lainnya, termasuk Administrasi
Pekerjaan Sosial dan Penelitian Pekerjaan Sosial, kemudian
bermunculan dan memperkaya khasanah pendekatan profesi
baru yang selanjutnya dikenal dengan Profesi Pekerjaan Sosial.

Perkembangan profesi baru ini tidak hanya berhenti


sampai di situ saja, seiring dengan perkembangan masyarakat
dan berbagai penemuan teknologi baru dalam bidang-bidang
lain, profesi Pekerjaan Sosial pun terus sibuk memoles dan
memperbaiki diri. Pada tahap perkembangan selanjutnya,
Perencanaan Sosial mulai diakui sebagian orang sebagai metode
Pekerjaan Sosial tersendiri. Selain itu, aliran generalist, kemudian
lahir dan mendeklarasikan bahwa “intervensi multi level”
merupakan pendekatan yang perlu ditempuh agar penanganan
masalah dapat lebih komprehensif dan tuntas. Aliran generalist
kemudian merebak tanpa dapat dibendung, kemudian disusul
dengan bermunculannya berbagai pendekatan baru, walau tidak
selalu berasal dari penemuan teori baru. Pendekatan-pendekatan
tersebut diantaranya, pendekatan ekologi, pendekatan sistem,
pendekatan pengubahan perilaku, pendekatan ekitensialis dan
banyak lagi.

112 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
Dalam perkembangan terakhir, seperti dikemukakan David
Cox (1993), pendekatan “Social Development” cenderung menjadi
idola para Pekerja Sosial yang bekerja dengan masyarakat, yang
banyak bergelut dengan pengentasan kemiskinan, peningkatan
partisipasi masyarakat, dan upaya pemerataan keadilan di
dalam suatu masyarakat. Hal ini seiring dengan munculnya
aliran terbaru dalam Pekerjaan Sosial yang dikenal dengan
aliran radikal, yang memandang bahwa setiap permasalahan
sosial yang timbul berkaitan erat dengan distribusi kekuasaan
(power). Pada era sekarang ini, teknik “empowerment” kemudian
menjadi suatu teknik idaman para Pekerja Sosial. Asal konsep
Pengembangan Masyarakat (terjemahan dari Community
Development) sebenarnya adalah Pengorganisasian

Masyarakat (Community Organization); yang bermakna


mengorganisasikan masyarakat sebagai sebuah sistem untuk
melayani warganya dalam setting kondisi yang terus berubah.
Dengan demikian inti pengertiannya adalah mendorong warga
masyarakat untuk mengorganisasikan diri untuk melaksanakan
kegiatan guna mencapai kesejahteraannya sendiri. Di tingkat
nasional, aktor-aktor institusinya adalah pemerintah, kalangan
cendekiawan, kalangan bisnis, LSM, dan masyarakat biasa.
Semuanya harus terorganisasi dalam sebuah kesatuan sistem
untuk membangun masyarakat secara sinergis.

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 113
Pengertian Community Organization itu sendiri dapat
dibagi ke dalam dua, yaitu:
1) Dalam arti sempit dan operasional, berarti pengorganisasian
kegiatan masyarakat. Pertanyaannya adalah bagaimana
warga masyarakat akan melakukan kegiatan bersama ?
2) Dalam arti luas, berarti penataan masyarakat itu sendiri
sebagai sebuah sistem sosial. Pertanyaannya adalah
masyarakat yang bagaimana yang ingin dicapai ?

Pada level mikro dan langsung, setiap institusi dan kegiatan


industri harus menjalankan fungsi sosialnya melalui program-
program kerjasama dengan masyarakat setempat, sehingga
terjalin keserasian sosial. Masalahnya terletak pada pemahaman
dan penerapan konsep partisipasi itu sendiri. Setelah puluhan
tahun partisipasi diartikan sekedar melibatkan masyarakat dalam
program atau kegiatan yang telah ditetapkan dan dibawakan
fihak luar, masyarakat kehilangan kemandiriannya, melainkan
bersikap menunggu bantuan (charity/philanthrophy). Bahkan
setelah era reformasi bergulir mengubah paradigma program
top down menjadi bottom-up, people centered development,
pemberdayaan; prosesnya masih membutuhkan curahan waktu,
tenaga, dan upaya yang panjang.

Sebagai sebuah proses, pengembangan masyarakat berarti


sebuah proses tindakan sosial yang mendorong warga suatu
masyarakat, untuk:
1) Mengorganisasikan diri mereka sendiri untuk menyusun
rencana dan melaksanakan tindakan bersama.

114 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
2) Merumuskan kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalah
bersama
3) Menyusun rencana kelompok dan individu untuk memenuhi
kebutuhan dan memecahkan masalah mereka sendiri.
4) Melaksanakan rencana tersebut dengan sebanyak mungkin
mengandalkan sumber-sumber yang ada.
5) Menjangkau akses ke sumber-sumber di luar masyarakat
baik dari badan-badan pemerintah maupun swasta guna
mendukung sumber-sumber yang ada.

Untuk keperluan praktis, dapat dikemukakan bahwa dalam


ilmu sosial banyak terdapat istilah-istilah yang berbeda dengan
pengertian yang sama. Istilah pengembangan masyarakat
sesungguhnya bersumber pada istilah community development,
yang kemudian oleh Jack Rothman (1979), disamakan pula
dengan locality development. Dengan demikian jika dalam
buku ini disebutkan ke tiga istilah tersebut, sesungguhnya
pengertiannya sama.

Pengembangan masyarakat didefinisikan sebagai: ”sebuah


model pengembangan masyarakat yang menekankan pada
partisipasi penuh seluruh warga masyarakat”. P B B
(1955) mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai
berikut:”Pengembangan masyarakat didefinisikan sebagai suatu
proses yang dirancang untuk menciptakan kemajuan kondisi
ekonomi dan sosial bagi seluruh warga masyarakat dengan
partisipasi aktif dan sejauh mungkin menumbuhkan prakarsa
masyarakat itu sendiri”.

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 115
Tropman, dkk (1993) mengemukakan, bahwa: ” …locality
development merupakan suatu cara untuk memperkuat warga
masyarakat dan untuk mendidik mereka melalui pengalaman
yang terarah agar mampu melakukan
kegiatan berdasarkan kemampuan sendiri untuk
meningkatkan kualitas kehidupan mereka sendiri pula”.

Dari ke dua definisi tersebut dapat difahami dua hal :


1) Masalah utama dalam CD/LD adalah sosial ekonomi.
2) Mensyaratkan partisipasi penuh warga masyarakat di
dalam seluruh proses kegiatan(mulai dari gagasan sampai
kepada pemanfaatan). Konsep ini diterapkan pada sebuah
lingkungan masyarakat setempat (locality/community),
yang biasanya masih memiliki norma-norma sosial tentang
konsensus, homogenitas, dan harmoni (identic dengan
masyarakat perdesaan).

1) Tujuan :
a) Tujuan antara : membangkitkan partisipasi penuh warga
masyarakat.
b) Tujuan akhir: perwujudan kemampuan dan integrase
masyarakat untuk dapat membangun dirinya sendiri.
2) Pendekatan : Dengan bertumpu pada inisiatif dan
partisipasi penuh warga masyarakat, maka penerapan CD/
LD lebih ditekankan kepada upaya untuk mengembangkan
kapasitas warga masyarakat (client-centered) daripada
pemecahan masalah demi masalah (problem-centered).
Bagi para perancang program pengembangan masyarakat,
locality development berarti program pendidikan bagi

116 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
masyarakat untuk mampu mengaktualisasikan dirinya
sendiri dalam program-program pembangunan.
3) Kandungan operasional dalam Community Development.
a) Kepemimpinan local. Dengan system kemasyarakatan
local yang relative masih bersifat organis dengan pola
interaksi harmonis, maka dalam perencanaan dan
implementasi program pengembangan masyarakat perlu
dipertimbangkan, bahwa pemimpin-pemimpin masyarakat
masih menempati posisi kunci baik dalam pembuatan
keputusan maupun sebagai representasi masyarakat lokal
itu sendiri.
b) Jaringan Hubungan antar Kelompok (Intergroup
relations) Masyarakat merupakan suatu system sosial
yang besar, yang di dalamnya berisikan unit-unit sosial
yang lebih kecil yang disebut kelompok. Dalam praktik
pengembangan masyarakat, sesungguhnya yang dihadapi
dan dikembangkan adalah kelompok-kelompok warga
masyarakat sehingga menjadi sebuah jaringan kerja yang
sinergis. Demikianlah mengapa pengorganisasian dan
pengembangan masyarakat (community organization and
community development), sering pula disebut sebagai
‘intergroup relations’.

Sesuai dengan prinsip dasar yang digunakan dan menjadi


gagasan inti locality development yaitu partisipasi klien, maka
setiap langkah dalam proses locality development haruslah
dilakukan oleh warga masyarakat itu sendiri dengan bantuan
keahlian dan teknis dari system pelaksana dan system kegiatan.
1) Assessment, Assessment merupakan langkah terpenting

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 117
dari seluruh proses locality development, karena hasil
assessment ini akan menentukan ketepatan serta efektivitas
program locality development itu sendiri. Assessment
mencakup needs assessment, identifikasi masalah,
analisis masalah, dan resources assessment. Asesmen
mencakup tidak hanya masalah klien, melainkan juga
sumber-sumber, kekuatan-kekuatan, motivasi, komponen-
komponen fungsional, dan faktor-faktor yang positif
lainnya yang dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan-
kesulitan klien, dalam meningkatkan keberfungsian, dan
dalam mendukung pertumbuhan.
2) Plan of Treatment, Planning, menurut Meryl Ruoss (1970)
adalah organized foresight. Plan of Treatment merupakan
sebuah proses insight dalam mengidentifikasi, memilah,
menghubungkan masalah atau kebutuhan dengan sumber-
sumber yang dapat didayagunakan untuk memecahkan
masalah dan atau memenuhi kebutuhan melalui
serangkaian kegiatan (program dan proyek).
3) Treatment, tahap ini merupakan implementasi dari strategi
locality development, monitoring, dan evaluasi. Dalam tahap
implementasi, maka perlu diperhitungkan situasi actual
yang akan menentukan tindakan yang perlu dilakukan.
Monitoring memberikan dua manfaat utama, yaitu :
a) Memberikan informasi untuk pegangan sementara program
masih sedang berlangsung.
b) Memberikan informasi bagi evaluasi berkala Evaluasi
ditujukan baik kepada pelaksanaan program (proses dan
hasil), maupun kepada kerjasama di antara semua pelaku.

118 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
4) Terminasi. Terminasi merupakan langkah penghentian
sementara (sekuensi) kegiatan locality development; yang
mungkin kelak ditindaklanjuti dengan rangkaian kegiatan
berikutnya. Sejalan dengan perkembangan masyarakat yang
semakin kompleks, sasaran, bidang garapan dan intervensi
profesi Pekerjaan Sosial juga semakin luas. Globalisasi dan
industrialisasi membuka kesempatan bagi Pekerjaan Sosial
untuk terlibat dalam bidang yang relatif baru, yakni dunia
industri. Seperti halnya Pekerja Sosial medik (medical social
worker) yang bekerja di rumah sakit, para Pekerja Sosial
industri (industrial social worker) ini bekerja di perusahaan-
perusahaan, baik negeri maupun swasta, untuk menangani
kesejahteraan, kesehatan dan keselamatan kerja, relasi
buruh dan majikan, atau perekrutan dan pengembangan
pegawai (lihat Friedlander dan Thackeray, 1982; Payne,
1991; Johnson, 1984; DuBois dan Miley, 1992; Suharto,
1997).

Di Indonesia sendiri, dunia bisnis dan industri merupakan


sektor yang masih jarang melibatkan Pekerjaan Sosial.
Namun demikian, di negara-negara maju seperti AS, Inggris,
Australia dan New Zealand, pemberian pelayanan sosial dalam
perusahaan telah meningkat secara dramatis selama tiga dekade
belakangan ini. Pekerjaan Sosial industri atau Pekerjaan Sosial di
perusahaan (occupational social work) merupakan profesi yang
sangat penting dalam pemberian pelayanan sosial, baik yang
bersifat pencegahan, penyembuhan maupun pengembangan.
Pekerjaan Sosial industri muncul di Amerika Serikat satu abad

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 119
lalu. Di Eropa, bidang ini muncul pada tahun 1920an. Pekerjaan
Sosial memang terlahir dalam konteks pertumbuhan masyarakat
industri.

Pekerjaan Sosial Industri dapat didefinisikan sebagai


lapangan praktik Pekerjaan Sosial yang secara khusus
menangani kebutuhan-kebutuhan kemanusiaan dan sosial di
dunia kerja melalui berbagai intervensi dan penerapan metode
pertolongan yang bertujuan untuk memelihara adaptasi optimal
antara individu dengan lingkungannya, terutama lingkungan
kerja. Istilah Pekerjaan Sosial Industri sesungguhnya memiliki
beberapa nama lain, seperti Pekerjaan Sosial Kepegawaian
(Occupational Social Worker), Pekrjaan Sosial di tempat kerja
(Social Work in the Workplace), atau bantuan/pelayanan bagi
pegawai (Employee Assisstance). (Straussner, Shulamith Lala
Ashenberg, Occupational Social Work Today: An Overview, dalam
Shulamith Lala Ashenberg Straussner (editor), Occupational
Social Work, New York: The Hepworth Press, 1989)

Mekanisasi dan otomatisasi melahirkan rutinitas pekerjaan


dan membuat tenaga manusia tampak semakin tidak penting.
Para pekerja kerah biru maupun kerah putih merasa tidak
bermakna dan terancam karena kapan saja dapat digantikan
oleh saingannya, yakni mesin. Perubahan teknologi, pergantian
tenaga kerja (shift), dan pemutusan hubungan kerja yang
semakin menjadi fenomena sehari-hari, sering menimbulkan
kecemasan bagi para pekerja.

120 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
Proses otomatisasi di AS menggantikan sekitar 2 juta
pekerjaan setiap tahunnya. Para pekerja yang yang merasa
tidak berguna dan tidak berdaya dalam pekerjaannya seringkali
membawanya ke rumah dan masyarakat. (Johnson, The
Social Services: An introduction, New York: FE Peacock, 1984)
mengklasifikasikan akibat-akibat industrialisasi yang bersifat
negatif terhadap kesejahteraan manusia kedalam 5A, yaitu:
1) Alienation: perasaan keterasingan dari diri, keluarga dan
kelompok sosial yang dapat menimbulkan apatis, marah,
dan kecemasan.
2) Alcoholism atau Addiction: ketergantungan terhadap
alkohol, obat-obat terlarang atau rokok yang dapat
menurunkan produktifitas, merusak kesehatan pisik dan
psikis, dan kehidupan sosial seseorang.
3) Absenteeism: kemangkiran kerja atau perilaku membolos
kerja dikarenakan rendahnya motivasi pekerja, perasaan-
perasaan malas, tidak berguna, tidak merasa memiliki
perusahaan, atau sakit pisik dan psikis lainnya.
4) Accidents: kecelakaan kerja yang diakibatkan oleh
menurunnya konsentrasi pekerja atau oleh lemahnya
sistem keselamatan dan kesehatan lingkungan kerja.
5) Abuse: bentuk-bentuk perlakuan salah terhadap anak-
anak atau pasangan dalam keluarga (istri/suami), seperti
memukul dan menghardik secara berlebihan yang
ditimbulkan oleh frustrasi, kebosanan dan kelelahan di
tempat pekerjaannya.

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 121
Beberapa permasalahan sosial lainnya yang terkait dengan
industrialisasi adalah: diskriminasi di tempat kerja atau tindakan-
tindakan tidak adil terhadap wanita, kaum minoritas, imigran,
remaja, pensiunan, dan para penyandang cacat. Beberapa
industri dan perusahaan juga kerap menimbulkan dampak
negatif terhadap masyarakat di sekitarnya, seperti polusi (udara,
air, suara) dan kerusakan-keusakan pisik dan psikis bagi para
pekerjanya. Para Pekerja Sosial industri dapat membantu dunia
industri untuk mengidentifikasi dan mengatasi berbagai biaya
sosial (social costs) yang ditimbulkan oleh perusahaan.

Dalam situasi dan kondisi yang demikian, Pekerja Sosial


memiliki tugas dan peranan yang cukup penting, khususnya
bagi para Pekerja Sosial Industri. Berikut akan dipaparkan Tugas
dari para Pekerja Sosial Industri tersebut, antara lain seperti
yang dikemukakan oleh Johnson (1984), di mana ada tiga bidang
tugas Pekerja Sosial yang bekerja di perusahaan, yaitu:
1) Kebijakan, perencanaan dan administrasi. Bidang ini
umumnya tidak melibatkan pelayanan sosial secara
langsung. Sebagai contoh, perumusan kebijakan untuk
peningkatan karir, pengadministrasian program-program
tindakan afirmatif. pengkoordinasian program-program
jaminan sosial dan bantuan sosial bagi para pekerja, atau
perencanaan kegiatan-kegiatan sosial dalam departemen-
departemen perusahaan.
2) Praktik langsung dengan individu, keluarga dan populasi
khusus. Tugas Pekerja Sosial dalam bidang ini meliputi
intervensi krisis (crisis intervention), asesmen (penggalian)
masalah-masalah personal dan pelayanan rujukan,

122 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
pemberian konseling bagi pecandu alkohol dan obat-obatan
terlarang, pelayanan dan perawatan sosial bagi anak-anak
pekerja dalam perusahaan atau organisasi serikat kerja,
dan pemberian konseling bagi para pensiunan atau pekerja
yang menjelang pensiun.
3) Praktik yang mengkombinasikan pelayanan sosial langsung
dan perumusan kebijakan sosial bagi perusahaan. Para
Pekerja Sosial telah memberikan kontribusi penting dalam
memanusiawikan dunia kerja. Mereka umumnya terlibat
dalam pemberian konseling di dalam maupun di luar
perusahaan, pengorganisasian program-program personal,
konsultasi dengan manajemen dan serikat-serikat kerja
mengenai konsekuensi kebijakan-kebijakan perusahaan
terhadap pekerja, serta bekerja dengan bagian kesehatan
dan kepegawaian untuk meningkatkan kondisi lingkungan
kerja dan kualitas tenaga kerja (Johnson, 1994; Suharto,
1997).

Merujuk pada Saidi dan Abidin (2004), sedikitnya terdapat


empat model atau pola sebuah perusahaan melakukan kegiatan
CSR-nya, yang umumnya diterapkan oleh perusahaan di
Indonesia, yaitu :
1) Keterlibatan langsung. Perusahaan menjalankan program
CSR secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri
kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan pada
masyarakat tanpa perantara. Untuk menjalankan tugas
ini, sebuah perusahaan biasanya menugaskan salah satu
pejabat seniornya, seperti corporate secretary atau public

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 123
affair manager atau menjadi bagian dari tugas pejabat
public relation.
2) Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan.
Perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah
perusahaan atau groupnya. Model ini merupakan adopsi dari
model yang lazim diterapkan di perusahaan-perusahaan di
negara maju. Biasanya, perusahaan menyediakan dana awal,
dana rutin atau dana abadi yang dapat digunakan secara
teratur bagi kegiatan yayasan. Beberapa yayasan yang
didirikan perusahaan diantaranya adalah Yayasan Coca Cola
Company, Yayasan Rio Tinto (perusahaan pertambangan),
Yayasan Dharma Bhakti Astra, Yayasan Sahabat Aqua, GE
Fund.
3) Bermitra dengan pihak lain. Perusahaan menyelenggarakan
CSR melalui kerjasama dengan lembaga sosial/organisasi
non-pemerintah, instansi pemerintah, universitas atau
media massa, baik dalam mengelola dana maupun dalam
melaksanakan kegiatan sosialnya. Beberapa lembaga sosial
yang bekerjasama dengan perusahaan dalam menjalankan
CSR antara lain adalah Palang Merah Indonesia (PMI),
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), Dompet
Dhuafa; instansi pemerintah (Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia/LIPI, Depdiknas, Depkes, Depsos); universitas (UI,
ITB, IPB); media massa (DKK Kompas, Kita Peduli Indosiar)
4) Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium
Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau
mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk
tujuan sosial tertentu. Dibandingkan dengan model

124 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
lainnya, pola ini lebih berorientasi pada pemberian hibah
perusahaan yang bersifat “hibah pembangunan”. Pihak
konsorsium atau lembaga semacam itu yang dipercayai
oleh perusahaan-perusahaan yang mendukungnya secara
pro aktif mencari mitra kerjasama dari kalangan lembaga
operasional dan kemudian mengembangkan program yang
disepakati bersama.

Dalam pelaksanaannya, konsep CSR seringkali diidentikkan


dengan metode Pengembangan Masyarakat (Community
Development) yang akhir-akhir ini banyak diterapkan oleh
perusahaan dengan istilah ComDev. Bila ditelaah secara
sederhana, maka tujuan utama pendekatan ComDev adalah
bukan sekedar membantu atau memberi barang kepada
si penerima, melainkan lebih berusaha agar si penerima
memiliki kemampuan atau kapasitas untuk mampu menolong
dirinya sendiri. Dengan kata lain, semangat ComDev adalah
pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, kegiatan ComDev
biasanya diarahkan pada proses pemberikuasaan, peningkatan
kekuasaan, atau penguatan kemampuan para penerima
pelayanan.

Pemberdayaan masyarakat ini pada dasarnya merupakan


kegiatan terencana dan kolektif dalam memperbaiki
kehidupan masyarakat yang dilakukan melalui program
peningkatan kapasitas orang, terutama kelompok lemah
atau kurang beruntung (disadvantaged groups) agar mereka
memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya,

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 125
mengemukakan gagasan; melakukan pilihan-pilihan hidup;
melaksanakan kegiatan ekonomi; menjangkau dan memobilisasi
sumber; berpartisipasi dalam kegiatan sosial.

5. Manejemen Organisasi Pelayanan Sosial.


Manajemen organisasi pelayanan sosial merupakan suatu
proses kegiatan untuk mencapai tujuan-tujuan dalam bidang
sosial dengan menggunakan sumber daya yang terdapat
di lingkungan masyarkat secara efisien dan efektif. Berbicara
mengenai manajemen maka akan membawa serta fungsi
manajemen yang antara lain dikemukakan oleh Weinbach
(1994), yaitu :
1. Perumusan tujuan
2. Pengorganisasian usaha-usaha kesejahteraan sosial
3. Komunikasi baik vertikal maupun horizontal, formal atau
informal, internal maupun eksternal
4. Penyediaan fasilitas
5. Mencari, menggali memobilisasi dan memanfaatkan
sumber/potensi
6. Evaluasi kegiatan usaha kesejahteraan sosial

Manajemen seringkali diartikan secara berbeda dalam


berbagai level dan bidang kegiatan. Manajemen dapat diartikan
sebagai seperangkat fungsi khusus yang dijalankan oleh orang
dalam seting pekerjaan yang ditujukan untuk meningkatkan
produktivitas dan pencapaian tujuan organisasi (Weinbach,
1994:11). Dalam seting pekerjaan sosial berarti bahwa para
pekerja sosial yang berfungsi sebagai manajer berupaya untuk
membangun dan mencapai suatu lingkungan kerja optimal yang

126 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
kondusif bagi efisiensi penyediaan pelayanan yang efektif bagi
klien. Dengan demikian pemahaman akan manajemen dari suatu
organisasi pelayanan menjadi begitu penting, dalam rangka
mencapai efektifitas pelayanan sosial yag diberikan.

Dalam dekade terakhir ini, khususnya dalam dua puluh


lima tahun terakhir, banyak perkembangan secara administratif
dalam bidang bisnis dan pekerjaan sosial yang saling-silang.
Tantangan terkini dalam pekerjaan sosial adalah memadukan
prinsip-prinsip efisiensi manajemen bersama dengan hubungan
manusia dalam memberikan pelayanan manusia yang efektif.
Manajemen berorientasi bisnis menekankan proses perencanaan
(planning), pengorganisasian (organizing), dan pengarahan
(directing) dalam rangka meningkatkan dana memperbaiki
pelaksanaan dan hasil suatu organisasi. Dalam pekerjaan sosial,
proses yang sama tersebut dapat digunakan untuk memperkuat
pelaksanaan badan pelayanan dan untuk meningkatkan
pelayanan. (Skidmore, p.17).

Sedangkan proses manajemen dalam organisasi pelayanan


sosial tidak jauh berbeda dengan proses yang dilakukan oleh
organisasi lainnya. George Tery mengemukakan fungsi-fungsi
manajemen yang terkenal dengan sebutan POAC (Planing,
Organizing, Actuating and Controlling). Sedangkan para penulis
manajemen lainnya ada yang hanya menggunakan planning,
organizing dan controling saja. Namun begitu, sebagaimana
dikemukakan oleh Robert Weinbach (p. 17) bahwa “all the list
suggest the effort of a manager take a active role in shaping
various aspect of the work environment”. Artinya kesemua fungsi

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 127
managemen tersebut ditujukan agar manajer memiliki peran
aktif dalam mempengaruhi lingkungan kerjanya.

Selanjutnya menurut Thomas Wolf (1990:289-297)


organisasi non-profit atau organisasi pelayanan manusia
diatur dan dikelola dengan baik secara sungguh-sungguh pada
berbagai bidang. Sebagian dari keberhasilan yang diperoleh
dewan dan stafnya yaitu komitmennya terhadap suatu proses
untuk mengevaluasi permasalahan dan mengembangkan secara
sistematis untuk berbuat yang lebih baik lagi. Hal tersebut
dapat dilakukan dengan memperkirakan kekuatan (strengths),
kelemahan (Weaknesses), permasalahan (problemsI) dan
peluang (opportunities)

Diagnosis kekuatan, kelemahan, permasalahn dan peluang


suatu organisasi saat ini meliputi asesmen yang dilakukan pada
berbagai wilayah dan mengevaluasi organisasi dari berbagai
sudut pandang. Proses tersebut meliputi ajuan pertanyaan
mengenai bagaimana sebaiknya mengukur organisasi pada
taraf yang ideal. Cecklist berikut ini akan merupakan titik awal
yang baik bagi penelahaan (assessment) proses keorganisasian.
Menurut Thomas Wolf paling tidak terdapat lima aspek utama
dalam penelaahan sebuah organisasi pelayanan manusia
(human service organizations) yaitu :
a) Misi, Imej, dan Dukungan
b) Isu Sumberdaya Manusia : Dewan, Staf, dan Relawan
c) Keuangan
d) Aktifitas dan Program
e) Perencanaan dan Evaluasi

128 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
Secara rinci ia menguraikan masing-masing aspek utama
tersebut menjadi bagian-bagian yang perlu diperhatikan dalam
mengelola organisasi pelayanan manusia, yaitu sebagai berikut;

1) Misi, Imej, dan Dukungan Kasus (Mission, image,


and Case for Support).
a) Misi. Sebuah organisasi yang kuat salah satunya tujuannya
adalah relevansi kebutuhan masyarakat yang dilayani
sekarang ini serta keperluan (kebututuhan) dewan serta
konstituen yang diketahuinya dengan baik.
b) Imej. Organisasi sebaiknya terkenal dan dihargai dengan
dalam masyarakatnya dan diantara para konstituennya.
c) Dukungan Kasus. Organisasi sebaiknya menampilkan suatu
sodoran kasus yang mendukung baik bagi klien dan kepada
kontributornya.

2) Isu Sumberdaya Manusia: Dewan, Staf, dan


Relawan
(Manpower Issues: Board, Staff, and Volunteers)
a) Dewan. Anggota dewan sebaiknya aktif, memikirkan
keseluruhan urusan-urusan organisasi, bertanggung jawab
terhadap pengumpulan dana, dan mengikuti perkembangan
para stafnya dalam melakukan kegiatan sehari-hari
terhadap organisasi.
b) Staf. Organisasi sebaiknya memiliki staf yang berkualitas
dan terlatih baik yang mampu melakukan tugas kegiatan
yang cukup luas. Organisasi seharunya memaksimalkan
kekuatan kerta dan sebaiknya kebijakan personalia

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 129
didokumentasikan yang mencerminkan rasa kejujuran
terhadap moral yang baik.
c) Sukarelawan. Dalam organisasi yang sangat membutuhkan
sukarelawan, setiap individu harus sungguh-sungguh atau
dapat dipercaya (be committed), berikan tugas yang jelas,
dan perhargaan atas pekerjaan yang dilakukannya.

3) Keuangan (Finances)
a) Manajemen keuangan. Keuangan organisasi seharusnya
menunjukkan manajemen yang bijak (hati-hati),
penyesuaian kelalaian dan pengendalian, dan sistem yang
tepat untuk memprediksi dan jalur-jalur penhasilan dan
pembiayaan.
b) ii.Pendapatan dan pengeluaran. Terkecuali berada
pada lingkaran yang tidak biasa, organisasi sebaiknya
memperoleh dan menambah uang yang cukup setiap
tahunnya untuk membiayai operasi kegiatan.

4) Aktifitas dan Program (Activities and Programs)


a) Audit sumber daya. Program-program organisasi sebaiknya
memenuhi kebutuhan para konstituen dan masyarakat.
Mereka seharusnya teradministrasi dengan baik.
b) Posisi. Organisasi sebaiknya menunjukkan akan keuntungan
uniknya dengan memanfaat program dan pelayanan-
pelayanannya. Hal tersebut sebaiknya dihargai dengan baik
pada persaingan yang ada.

130 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
5) Perencanaan dan Evaluasi (planning and
Evaluation)
a) Perencanaan. Dewan dan staf organisasi sebaiknya terlibat
dalam perencanaan jangka pendek dan jangka panjang
setiap saat.
b) Evaluasi. Sistem evaluasi seharusnya mengukur penampilan
sasaran dan standar yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
Dari waktu-ke waktu, evaluasi sebaiknya menggunakan
objektifitas dan profesional ahli dari luar.

6. Penelitian Pekerjaan Sosial.


Salah satu kemampuan penting bagi dalam profesi
pekerjaan sosial adalah meneliti. Kemampuan meneliti dalam
bidang pekerjaan sosial dan kesejahteraan sosial akan sangat
menunjang efektifitas dan efisiensi dari proses pelayanan sosial.
Untuk memahami secara dasar mengenai penelitian pekerjaan
sosial dalam bagian berikut terdapat beberapa asumsi dasar
yang melandasi penelitian pekerjaan sosial, yaitu:
a) Penelitian pekerjaan sosial adalah salah satu metode
dalam praktek pekerjaan sosial.
b) Penelitian pekerjaan sosial berfungsi membantu
mengoptimalkan praktek pekerjaan sosial.
c) Penelitian pekerjaan sosial pada hakekatnya adalah
penerapan konsep-konsep pekerjaan sosial, metode
penelitian sosial, serta ilmu pengetahuan lain di dalam
mengkaji atau memahami suatu persoalan.
d) Penelitian Pekerjaan Sosial bukan saja dibutuhkan dalam
praktek pekerjaan sosial, akan tetapi juga merupakan
tuntutan bagi setiap pekerja sosial.

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 131
e) Penelitian pekerjaan sosial juga merupakan salah satu
tuntutan yang harus dipenuhi oleh setiap mahasiswa
dalam menyelesaikan studinya dalam bentuk skripsi, tesis
atau disertasi.

Berdasar pada asumsi-asumsi tersebut kemampuan


meneliti merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam profesi
pekerjaan sosial dengan bidang garapannya yaitu kesejahteraan
sosial. Sebab suatu proses pelayanan sosial tentunya akan
dan harus diawali dengan proses asesmen yang benar. Proses
asesmen yang benar akan menghasilkan olah data dan kajian
analisis yang benar dan sehingga dipertanggungjawabkan,
untuk selanjutnya hasil olah dan analisis data tersebut akan
dipergunakan dalam penyusunan rancangan pemecahan
masalah (plan of treatment).

Dengan demikian proses asesment tersebut juga akan


menentukan keberhasilan suatu rencana kegiatan atau plan of
treatment (rencana tindakan) yang akan disusun, serta treatment
atau pemecahan masalah yang akan dilakukan. Dalam proses
berikutnya juga sudah mulai dapat ditentukan jenis evaluasi
serta monitoring, yang juga melibatkan penelitian pekerjaan
sosial. Keseluruhan proses pekerjaan sososial tersebut, dari
mulai asesmen (pengumpulan data dan pengolahan data)
hingga evaluasi-monitoring dan terminasi-after care akan
banyak melibatkan penelitian pekerjaan sosial.

Berdasarkan uraian tersebut, tiak dapat dipungkiri bahwa


penelitian pekerjaan sosial merupakan salah kompetensi yang

132 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
harus dikuasasi dalam profesi pekerjaan sosial. Seorang pekerja
sosial diharapkan memiliki kompetensi meneliti, sebagai upaya
mengatasi berbagai permasalahan sosial secara sistematis dan
terukur. Oleh karena itu penelitian pekerjaan sosial akan sangat
terkait erat dengan praktek pekerjaan sosial. Sebagaimana telah
dikemukakan sebelumnya bahwa proses pemecahan sosial
yang terdiri dari asesmen (diagnosis), rencana tindakan (plan of
treatment), monitoring dan evaluasi, hingga terminasi. Kesemua
proses tersebut, dalam konteks penelitian pekerjaan sosial
memerlukan akan menuntut keakuratan data, asumsi-asumsi,
metode dan teknik yang benar.

Setiap profesi pertolongan tentunya (pekerjaan sosial,


dokter, psikolog, perawat, psikiater, dll) akan mengembangkan
model penelitiannya masing-masing. Hal ini akan sangat terkait
dengan konteks dan fokus masing-masing profesi tersebut.
Demikian pula dengan profesi pekerjaan sosial, yang diharapkan
juga mampu mengembangkan model penelitian yang sesuai
dengan bidang garapannya. Hal ini penting agar penerapan
model penelitian tersebut dapat fungsional atau berguna dalam
proses pemecahan masalah.

Penelitian pekerjaan sosial merupakan bahasa universal,


yang tidak mengenal strata dan proses. Pembeda penelitian
adalah tujuan, kedalaman serta fokus atau bidang dari masing-
masing penelitian itu sendiri. Namun demikian penelitian tetap
saja merupakan keterampilan umum yang didasarkan pada
kaidah-kaidah tertentu. Demikian pula halnya dalam penelitian
pekerjaan sosial. Tujuan penelitian pekerjaan sosial itu sendiri

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 133
sangat khas, yang tentunya berkait serta dengan bidang praktek
pekerjaan sosial dan bidang garapan kesejahteraan sosial.

Orientasi penelitian pekerjaan sosial adalah penelitian


terapan. Artinya penelitian ini seyogyanya berorientasi pada
tindakan yang memiliki manfaat menyelesaikan suatu masalah
sosial tertentu, baik masalah kebijakan, program ataupun
kegiatan operasional. Hasil dari penelitian pekerjaan sosial
seharusnya memberikan sebuah rekomendasi (referensi praktis)
tentang bagaimana seharusnya mengimplementasikan hasil
penelitian dan kesimpulan dari penelitian tersebut. Oleh
karena itu seorang peneliti pekerjaan sosial, dalam benaknya,
perlu memikirkan sumbangan apa yang dapat diberikan
bagi pengembangan model-model praktek pekerjaan sosial,
pengembangan solusi pemecahan masalah, dan peningkatan
efektifitas-efisiensi pemecahaan masalah; baik mikro-makro,
baik kebijakan-program-proyek.

Obyek dari penelitian pekerjaan sosial adalah 1) praktek


pekerjaan sosial (baik dalam seting praktek primer maupun
sekunder); 2)masalah sosial, 3) fenomena atau isu-isu yang
menjadi kajian ilmu lain yang dapat dijadikan asumsi dalam
praktek pekerjaan sosial.

Oleh karena itu tujuan penelitian pekerjaan sosial


ditujukan untuk pengembangan praktek pekerjaan sosial, baik
konsep-konsep, asumsi-asumsi, strategi-strategi, metode-
metode, teknik-teknik, pendekatan-pendekatan, dan seterusnya
sebagaimana uraian berikut ini.

134 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
Tujuan Penelitian Pekerjaan Sosial. Secara umum maksud
dan tujuan dari penelitian pekerjaan sosial dapat dijabarkan di
bawah ini:
a) Untuk menjawab permasalahan dalam praktek pekerjaan
sosial
b) Memperluas atau menjeneralisasi pengetahuan dan
konsep-konsep pekerjaan sosial
c) Menentukan langkah-langkah untuk mengatasi masalah
sosial
d) Menguji asumsi-asumsi dalam praktek pekerjaan sosial
e) Menjelaskan efektifitas dan efisiensi suatu pendekatan,
metode, teknik atau keterampilan dalam praktek pekerjaan
sosial.

Sedangkan menurut Philip Klein, tujuan penelitian


pekerjaan sosial adalah:
a) Menetapkan, mengenal, mengukur kebutuhan pelayanan
b) Mengukur, mengkaji pelaksanaan pelayanan
c) Mengkaji, mengukur, menilai hasil-hasil praktek pekerjaan
sosial
d) Mengkaji ketepatan teknik atau metode pelayanan
e) Menguji, mengembangkan metode penelitian

Lebih lanjut, menurut Friedlander (dalam Concepts and


Methods of Social Work,p.226) menguraikan tujuan penelitian
pekerjaan sosial sebagai berikut:
a) Mengukur faktor-faktor penyebab masalah sosial dan
pelayanan sosial apa saja yang dibutuhkan untuk mengatasi
masalah sosial tersebut

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 135
b) Penelitian tentang lembaga-lembaga pelayanan sosial,
dewan-dewan kesejahteraan sosial dan konsep-konsep
pekerjaan sosial.
c) Meneliti tantang harapan, persepsi, serta evaluasi tentang
situasi-situasi bidang praktek pekerjaan sosial
d) Mengukur intensitas, tujuan, kinerja para pekerja sosial
e) Mengkaji hubungan antara harapan, intensitas dan tindakan
para pekerja sosial tersebut.
f) Meneliti tentang isi atau materi proses pekerjaan sosial
g) Menguji kegunaan pelayanan sosial, dalam kaitannya
dengan kebutuhan individu, keluarga, masyarakat dan
pemerintah.
h) Mengukur, mengevaluasi pengaruh pelaksanaan praktek
pekerjaan sosial serta kebutuhannya bagi praktek pekerjaan
sosial
i) Meneliti tentang harapan-harapan, persepsi, dan evaluasi
tentang situasi klien
j) Meneliti tetang tingkah laku klien sebagai respon terhadap
pelayanan yang diberikan oleh para pekerja sosial
k) Mencari batasan formal dan informal tentang peranan,
hubungan, pola kerja pekerja sosial dengan lembaga-
lembaga pelayanan social.
l) Meneliti tentang nilai-nilai dan kecenderungan utama suatu
kelompok sosial dalam suatu masyarakat tempat pelayanan
sosial berada, untuk mendorong dan mengembangkan
pemanfaatannya.
m) Meneliti tentang pola-pola interaksi antara unsur yang
beragam dalam setting lembaga sosial dan pengaruhnya
terhadap klien dan pengelola lembaga.

136 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
n) Studi tentang metodologi penelitian Pekerjaan Sosial itu
sendiri.

Dari beberapa pendapat mengenai tujuan penelitian


pekerjaan sosial tersebut, jelas terlihat adanya objek dari
penelitian pekerjaan sosial. Setidaknya obyek penelitian
pekerjaan sosial itu terbagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu 1)
masalah atau isyu-isyu kesejahteraan sosial, 2) praktek pekerjaan
sosial, dan 3) perspektif pekerjaan sosial.

Penelitian pekerjaan sosial secara sederhana dimulai dengan


memiliki topik penelitian yang manageable, menentukan obyek
penelitian, menentukan judul, dan membuat rumusan masalah
penelitian, menentukan manfaat penelitian (bagi masyarakat,
pemerintah, dan pemangku kepentingan), menentukan metode
penelitian, menganalisis dan menyimpulkan hasil penelitian,
selanjutnya saran atau rekomendasi atas kesimpulan yang
diperoleh.

Topik penelitian yang manageable berarti peneititian


tersebut dapat dilaksanakan dan penting untuk diteliti.
Beberapa pertimbangan dalam memilih topik penelitian,
baik pertimbangan obyektif dan pertimbangan subyektif.
Petimbangan obyektif menyangkut:
a) Ada referensi teoritisnya. Makin banyak referensi maka
makin mudah untuk pengelolaannya
b) Merupakan persoalan yang aktual. Makin aktual makin
manageable.

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 137
c) Merupakan permasalahan atau persoalan yang penting.
Penting artnya mempunyai nilai guna teoritis dan praktis.
Makin penting persoalannya maka makin manageable.
d) Dapat diperoleh datanya. Maka mudah data itu diperoleh,
maka makin muda pengelolaannya.

Selanjutnya terdapat pula pertimbangan subyektif yang


juga perlu dipertimbangkan dalam memulai penelitian, antara
lain:
a) Peneliti memiliki minat atas obyek penelitian, makin besar
minatnya maka makin memudahkan.
b) Peneliti mempunyai bekal teoritis tetang obyek yang
diteliti. Sebab makin besar pemahamannya maka makin
memudahkan pula.
c) Peneliti mampu mengelola persoalan waktu, tenaga,
dan biaya sebagai konsekuensi dari kegiatan penelitian
tersebut.

Selanjutnya mengenai topik-topik penelitian pekerjaan


sosial dan kesejahteraan sosial dapat didasarkan pada isu atau
topik sebagai berikut:

A. Berdasarkan isyu atau masalah


a) Anak jalanan
b) Kekerasan domestik atau publik
c) Bencana (alam, sosial)
d) Konflik sosial
e) Pengungsi dan migrant internasional
f) Lingkungan

138 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
g) Perilaku sosial, dan lain-lain

B. Berdasarkan program
a) Rumah sakit bersalin gratis
b) Pengembangan masyarakat
c) BPJS
d) Penanganan pengungsi
e) Penanganan traficking
f) CSR
g) Pengelolaan sampah, dan lainnya

C. Berdasarkan kelompok usia


a) Anak : anak jalanan, pekerja anak, anak korban kekerasan,
dst
b) Remaja: geng motor, peer educator, pergaulan bebes remaja,
perilaku asosial remaja
c) Dewasa: buruh, singel parent, kekerasan dalam rumah
tangga,
d) Lansia: panti jompo, lansia di keluarga, organisasi lansia,
dan lainnya

D. Berdasarkan unit analisis


a) Individu
b) Keluarga
c) Kelompok/organisasi/instansi/perusahaan
d) Masyarakat

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 139
E. Berdasarkan bidang
a) Kesehatan
b) Pendidikan
c) Industri
d) Keagamaan
e) Kependudukan
f) Politik
g) Budaya
h) Lingkungan

F. Berdasarkan pendekatan, metode, teknik, dan


keterampilan dalam pekerjaan sosial
a) Proses pengembangan masyarakat
b) Cognitive behavior therapy (CBT)
c) Assertiveness training
d) Reunifikasi anak
e) Person in environment (PIE)
f) Konseling
g) Penanganan berbasis institusi, dan seterusnya masih
banyak lagi

G. Berdasarkan setting
a) Keluarga
b) Sekolah
c) Industri
d) Rumah sakit
e) Organisasi sosial
f) Masyarakat

140 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
7. Perencanaan Sosial.
Perencanaan sosial, dibatasi dan diterapkan secara berbeda-
beda dalam berbagai konteks. Berdasarkan penerapannya di
berbagai negara, Alan Walker (1983) menempatkan perencanaan
pada dua kutub. Kutub yang pertama, bahwa perencanaan sosial
sebagai unsur yang menggerakkan perubahan sosial dan
pencapaian pembangunan sosial

(Migdley, 1978; PBB, 1970; Conyers, 1983). Sedangkan


kutub kedua, menempatkan perencanaan sosial sebagai bagian
dari sistem kesejahteraan sosial yang berlaku pada masyarakat
kapitalis (Abel-Smith, 1967; Mayer, 1972; Glennester, 1975).
Para ahli tersebut melihat hubungan dari tiga unsur dalam
masyarakat, yaitu pemerintah sebagai pengatur dan pengelola
lalu lintas sumber daya, swasta dan masyarakat luas pada
umumnya sebagai penyumbang pajak maupun pendonor, dan
para klien sebagai penerima bantuan sosial.

Sedangkan apabila melihat berdasarkan aktifitas dan


bidangnya, secara garis besar Piachaud dan Midgley (1984)
membagi perencanaan sosial ke dalam lima kategori sebagai
berikut:
a) Perencanaan sosia, perubahan sosial dan sosiologi terapan.
b) Perencanaan sosial, pekerjaan sosial dan pengembangan
masyarakat.
c) Perencanaan sosial dan pengembangan kota
d) Perencanaan sosial, kebijakan sosial dan pelayanan
kesejahteraan sosial.

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 141
e) Perencanaan sosial dan perencanaan pembangunan di
dunia ketiga.

Aspek ‘sosial’ dari suatu perencanaan menjadi begitu


sangat penting, khususnya berkaitan dengan perencanaan
pembangunan di era tahun 1970-an. Di Indonesia sendiri
perencanaan sosial mulai menjadi bagian penting dalam
pembangunan nasional pada era tersebut hingga kini. Bahkan di
berbagai lembaga pendidikan tinggi, perencanaan sosial menjadi
bagian dari mata kuliah menjadi tersendiri, dari suatu program
studi, seperti halnya dalam program studi kesejahteraan sosial,
atau pada program studi pembangunan sosial. Bahkan pada
beberapa perguruan tinggi terdapat program studi perencanaan
atau perencanaan sosial.

Conyers (1984) mencatat bahwa istilah perencanaan


sosial mulai muncul pertama kali di negara-negara maju Eropa
Barat dan Amerika Utara, yang pada dasarnya berhubungan
erat dengan perencanaan perundang-undangan tentang
pelayanan kesejahteraan sosial. Sedemikian erat hubungannya,
bahkan sebagian orang menganggap hubungannya adalah
mutlak. Berdasarkan hal tersebut sebagian besar orang Barat
menganggap bahwa perencanaan sosial mempunyai kaitan
yang erat dengan masalah perencanaan kesejahteraan sosial.

Selanjutnya Conyers (1984) mengemukakan tiga bidang


besar dalam perencanaan sosial yaitu:
a) Perencanaan pelayanan-pelayanan sosial
b) Memperhitungkanskalaprioritassosialdan

142 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
c) mempertimbangkannnya dalam perencanaan
pembangunan; dan
d) Jaminan terhadap adanya partisipasi yang luas dalam
perencamnaan

Perencanaan sosial pada tipe pertama, dalam arti sempit,


adalah jenis perencanaan yang ditujukan untuk pada penyediaan
pelayanan-pelayanan pokok di bidang sosial. Pelayanan ini
berkaitan dengan jenis pelayanan penyediaan dukungan
terhadap kesejahteraan sosial (social well being) penduduk.
Awalnya pengertian perencanaan sosial lebih sempit, hanya
mencakup pelayanan kesejahteraan sosial tanpa berkaitan
dengan sifat ekonominya. Namun dalam perkembangannya,
perencaan sosial juga mencakup bidang-bidang pendidikan
dan kesehatan, perumahan, pengadaan air bersih, penyediaan
sarana-sarana rekreasi.

Tipe kedua adalah suatu bentuk perencanaan sosial yang


tidak saja tertuju secara langsung pada faktor-faktor sosial
dan ekonomi yang sedemikian rumit hubungannya dalam
proses pembangunan, lebih khusus lagi perlunya perhatian
yang lebih mendalam kembali mengenai pertimbangan-
pertimbangan sosial dan pencapaian tujuan-tujuan sosial.
Perencanaan semacam ini telah menjadi suatu kebutuhan
penting, sebagai suatu refleksi atas realisasi faktor-faktor sosial
yang diperhitungkan dalam setiap program pembangunan, dan
bahwa pembangunan sosial mempunyai mempunyai tujuan
penting tersendiri.

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 143
Bidang ketiga dari perencanaan sosial adalah sebagai respon
atau menjawab kegagalan-kegagalan pembangunan yang tidak
memperhatikan partisipasi masyarakat. Ini merupakan bukti
dari kegagalan pembangunan yang tidak memperhatikan faktor
sosial. Sebab salah satu unsur penting dalam pembangunan
adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan dalam kegiatan pembangunan yang menyangkut
langsung kehidupan mereka. Umumnya para perencana sosial
menyadari bahwa masyarakat seharusnya berperan serta dalam
menentukan prioritas permasalahan, dan untuk selanjutnya
merumuskan bentuk-bentuk pemecahannya secara bersama
masyarakat pula. Self belonging terhadap suatu program
akan muncul, manakala masyarakat dilibatkan dalam suatu
proses pembangunan, sehingga pemeliharaan dari masyarakat
terhadap suatu program pembangunan akan berjalan.

144 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
BAB ISU-ISU KONTEMPORER
DAN PENGATURAN PRAKTEK
IV PEKERJAAN SOSIAL

1. Isu-Isu Kontemporer Pekerjaan Sosial

Pekerja sosial dipekerjakan di dalam bidang-bidang


praktek yang luas seperti kesejahteraan publik, koreksi, sistem
kesehatan, dan pelayanan-pelayanan keluarga. Bantuan-bantuan
pelayanan, yang pada umumnya dikelompokkan ke dalam
masing-masing bidang praktek, dirancang untuk merespons
terhadap kebutuhan-kebutuhan yang khas yang dirasakan oleh
bermacam-macam kelompok-kelompok populasi.

Di antara klien pekerjaan sosial, banyak— seperti orang-


orang yang dipengaruhi secara negatif oleh struktur ekonomi,
orang-orang yang melakukan tindak kejahatan, dan orang-orang
yang menyandang cacat fisik dan mental—mengalami penolakan
sosial dan penindasan sosial. Para konsumen lain meliputi
keluarga-keluarga yang mengalami konflik dan perubahan
serta secara individual terkena oleh gangguan-gangguan dalam
rangkaian siklus kehidupan yang normal.

Bagian empat ini menekankan isu-isu praktek yang muncul


di dalam pekerjaan sosial dengan populasi tertentu. Isu-isu
praktek yang diutamakan ialah pelayanan-pelayanan pekerjaan

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 145
sosial kepada orang-orang miskin, tuna wisma, pengangguran,
atau pelaku kejahatan; orang-orang yang menyandang cacat
fisik, perkembangan, dan mental; orang-orang yang terlibat
dalam penyalahgunaan napza (narkotika, alkohol, psikotropika,
dan zat adiktif); dan bemacam-macam keluarga, pemuda, dan
orang-orang lanjut usia.

2. Pekerjaan Sosial di Ranah Publik


Profesi pekerjaan sosial memiliki suatu sejarah kepedulian
yang panjang tentang kesejahteraan kelompok-kelompok
populasi yang dianggap sebagai kurang beruntung. Kelompok-
kelompok yang kurang beruntung ini di dalam masyarakat
Amerika Serikat tidak berubah selama beberapa dasawarsa.

Mereka terus menjadi miskin, tidak memiliki rumah,


menganggur—kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki
suatu sejarah ketergantungan pada dukungan privat dan publik
atas kesejahteraan mereka. Tentu saja kelompok-kelompok
masyarakat yang kurang beruntung inilah yang paling
membutuhkan pelayanan-pelayanan pekerjaan sosial. Kaum
minoritas, lanjut usia, perempuan, dan anak-anak terwakili di
dalam jumlah yang tidak seimbang di antara peringkat kelompok
-kelompok masyarakat yang terkena oleh kemiskinan.

Sebenarnya, ini adalah kelompok -kelompok kepada siapa


mandat keadilan sosial profesi pekerjaan sosial ditujukan. Dalam
Hal ini penulis akan menguji empat bidang kepedulian di dalam
ranah publik yaitu kemiskinan, ketunawismaan, pengangguran,
dan peradilan kriminal.

146 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
a) Pekerjaan Sosial dan Kemiskinan.
Walaupun ada suatu penurunan pada angka kemiskinan
keseluruhan di Amerika Serikat sebanyak 11,7 persen pada
tahun 2001, data Biro Pusat Statistik menunjukkan suatu
kecenderungan ketimpangan penghasilan yang semakin besar
(U.S. Census Bureau, 2000a, dalam DuBois & Miley, 2005: 284).
Lima terkaya dari seluruh keluarga menerima hampir setengah
dari penghasilan nasional sementara sepuluh termiskin
menerima kurang dari lima persen (DeNavas-Walt &Cleveland,
2002, dalam DuBois & Miley, 2005: 284).
Lagi pula, ketimpangan penghasilan ialah suatu masalah
kesejahteraan sosial yang berlangsung terus menerus di dalam
masyarakat dunia.

Pengahsian harian seperenam populasi dunia merupakan


80 persen dari total penghasilan harian dunia (World Bank, 2003,
dalam DuBois & Miley, 2005: 284). Laporan Bank Dunia (2003)
tentang kemiskinan menunjukkan bahwa di seluruh dunia,
sekitar 56 persen dari populasi, atau hampir 3 milyar populasi
memproleh penghasilan kurang dari setara 2 dollar per hari
. Dari populasi ini, sekitar 1,2 milyar populasi hidup di dalam
kemiskinan yang sangat parah yang penghasilannya kurang dari
1 dollar per hari.

Untuk mengklarifikasikan isu-isu yang terkait dengan


kemiskinan, subbab ini menyajikan konsep Harrington
tentang “Other America” (Amerika Serikat yang lain) untuk
mengalamatkan pertanyaan, “Siapakah orang miskin itu?”
dengan menguji beberapa stereotip yang dianut secara umum,

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 147
kontras dengan kemiskinan relatif dan absolut, dan menjelaskan
beberapa perspektif.
1) Amerika Serikat yang lain. Banyak kalangan memberikan
penghargaan kepada Michael Harrington (1962), penulis
buku The Other America: Poverty in the United States, yang
membunyikan genderang perang terhadap kemiskinan
selama pemerintahan Presiden Kennedy. Harrington
menegaskan, “Kemiskinan seharusnya didefinisikan dalam
pengertian orang-orang yang tidak memperoleh level
kesehatan, perumahan, makanan, dan pendidikan minimum
yang menurut tahap pengetahuan ilmiah kita pada saat
ini menspesifikasikannya sebagai mutlak bagi kehidupan
seperti yang sekarang kita alami di Amerika Serikat” (DuBois
& Miley, 2005: 284).

Harrington juga mengusulkan suatu definisi tentang


kemiskinan yang mengalamatkan isu-isu psikologis dan
dampak-dampak absolutnya: Suatu definisi terobosan tentang
kemiskinan menguji perasaan-perasaan pesimisme dan
mengalahkan orang-orang yang mengalami kemiskinan dan
kehilangan potensial bagi anggota-anggota masyarakat dan
masyarakat itu sendiri yang diakibatkan oleh kemiskinan. Lebih
dari 40 tahun setelah tantangan Harrington, kita masih saja
mencoba mendefinisikan kemiskinan.

Dewasa ini, orang-orang cenderung mendeskripsikan


kemiskinan dalam pengertian akibat-akibat sosial dan dampaknya
terhadap pengurangan pajak, tanpa memperhitungkan
biaya-biaya kemanusiaan dan penderitaan manusia yang

148 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
terkait dengan pemiskinan itu. Orang-orang dapat berurusan
dengan kemiskinan secara dingin sebagai suatu kondisi, yang
menciptakan suatu jarak emosional antara orang-orang miskin
dan orang-orang kaya.

Pekerja sosial harus menguji kembali kelompok-kelompok


populasi yang terimbas oleh kemiskinan, yang dinyatakan oleh
Harrington 40 tahun yang lalu sedang menetap di bumi “Amerika
Serikat yang lain.” Sekarang ini, sama seperti sebelumnya,
kemiskinan menciptakan suatu kelas orang-orang yang miskin.

Orang-orang yang miskin iu tidak memilih untuk menjadi


miskin, mereka hanya sekedar miskin. Anak-anak, kelompok yang
memiliki angka kemiskinan yang lebih tinggi—16,3 persen—
daripada kelompok usia lain, memberi contoh yang jelas tentang
fakta ini. Anak-anak memiliki resiko yang lebih besar di beberapa
wilayah.

Sebagai contoh, pada tahun 2000, angka tertinggi anak-


anak yang miskin ditemukan di District of Columbia (32 persen),
Mississippi (27 persen), Louisiana (27 persen), New Mexico (25
persen), dan West Virginia (24 persen) (Children’s Defense Fund,
2003, dalam DuBois & Miley, 2005: 285). Singkat kata, anak-anak
merupakan 35,7 persen dari orang-orang yang miskin, padahal
mereka hanya sekiar 25 persen dari populasi (Proctor & Dalaker,
2002, dalam DuBois & Miley, 2005: 285).

2) Siapakah orang miskin itu? Apabila anda mengajukan suatu


pertanyaan, Siapakah orang miskin itu? anda cenderung

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 149
mendapatkan jawaban yang banyak sekali. Beberapa
jawaban akurat, dan beberapa yang lain mencerminkan
salah penegrtian yang dianut secara umum tentang orang-
orang yang miskin.

Orang-orang sering mengidentifikasikan menjadi miskin itu


dengan kaum minoritas ras. Suatu pengujian data pendahuluan
tntang kemiskinan di Amerika Serikat tidak mendukung
pandangan ini, karena 47 persen orang-orang miskin adalah
kaum Kulit Putih bukan Hispanic (Proctor & Dalaker, 2002,
dalam DuBois & Miley, 2005: 286). Akan tetapi, kesimpulan ini
salah kaprah.

Dalam jumlah absolut, lebih banyak orang Kulit Putih


yang miskin daripada orang-orang Kulit Hitam atau orang-
orang Hispanic; akan tetapi, suatu perbandingan angka
kemiskinan menunjukkan terjadinya angka kemiskinan yang
tidak berimbang di kalangan kaum minoritas: 22,7 persen bagi
orang-orang Kulit Hitam, 21,4 persen bagi orang Hispanic dari
semua ras, dan 10,2 persen bagi orang-orang Asia dan orang
Kepulauan Pacific berbanding 7,8 persen bagi orang-orang Kulit
Putih bukan Hispanic.

Suatu stereotip yang dipertahankan secara umum ialah


bahwa keluarga-keluarga yang miskin adalah besar akan tetapi,
besaran keluarga dengan penghasilan di bawah garis kemiskinan
tidak berbeda secara cukup besar dari rata-rata besaran keluarga
secara keseluruhan di Amerika Serikat.

150 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
Akan tetapi adalah benar bahwa resiko jatuh ke bawah
garis kemiskinan lebih besar bagi keluarga-keluarga besar.
Beberapa jenis keluarga lebih beresiko daripada jenis keluarga
lain. Sebagai contoh, angka kemiskinan bagi suatu keluarga
yang suami-istri masih utuh ialah 4,9 persen. Angka kemiskinan
bagi rumahtangga yang kepala keluarganya laki-laki (tanpa
istri) ialah 13,1 persen.

Angka kemiskinan bagi rumahtangga yang kepala


keluarganya perempuan (tanpa suami) ialah 26,4 persen
(Proctor & Dalaker, 2002, dalam DuBois & Miley, 2005: 286).
Bahkan ungkapan feminisasi kemiskinan, yang berarti bahwa
kaum perempuan dewasa dewasa ini adalah suatu kelompok
yang lebih dominan di antara kelompok-kelompok yang miskin,
agaknya salah kaprah. Baru-baru ini, kaum perempuan dan
anak-anak merupakan bagian terbesar kelompok-kelompok
yang miskin, tetapi mereka juga merupakan bagian terbesar
kelompok-kelompok yang miskin pada awal tahun 1960-an.

Data statistik menunjukkan resiko kemiskinan bagi


rumahtangga-rumahtangga yang kepala keluarganya perempuan
bukan Kulit Putih: 35 persen bagi rumahtangga-rumahtangga
yang kepala keluarganya perempuan Kulit Hitam, 15 persen
bagi orang-orang Asia dan Pacific keturunan Amerika Serikat.
Dan 37 persen bagi rumahtangga-rumahtangga yang kepala
keluarganya perempuan asli orang Hispanic dibandingkan
dengan 19 persen rumah tangga-rumah tangga yang kepala
keluarganya perempuan Kulit Putib bukan Hispanic (McKinnon,

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 151
2003; Proctor & Dalaker, 2002; Reeves & Bennett, 2003, dalam
DuBois Miley, 2005: 286).

Menggarisbawahi kecenderungan ini ialah kesulitan yang


dialami oleh keluarga-keluarga dalam perekonomian dewasa ini
ketika keluarga-keluarga itu harus menyandarkan diri kepada
satu penghasilan tunggal untuk memperoleh penghidupan.
Komplikasi untuk mencapai kecukupan diri meliputi fakta-
fakta bahwa kaum perempuan pada dasarnya memperoleh
penghasilan lebih sedikit daripada kaum laki-laki, walaupun
dalam posisi-posisi jabatan yang sama, dan bahwa biaya-
biaya pengasuhan anak walaupun apabila disubsidi, menguras
sumber- sumber keuangan.

Data statistik menunjukkan tingginya resiko kemiskinan


ini bagi anak-anak. Sekitar seperempat dari semua anak-anak di
bawah usia 18 tahun tinggal di dalam rumahtangga yang kepala
keluarganya perempuan. Dari anak-anak ini, sekitar 40 persen
tinggal di dalamkemiskinan (Fields, 2003, dalam DuBois Miley,
2005: 286).

Walaupun jumlah anak-anak yang berada di dalam garis


kemiskinan di Amerika Serikat baru -baru ini menurun dari 20
persen menjadi 16,5 persen, studi-studi terbaru menunjukkan
angka kemiskinan yang mengkhawatirkan bagi seluruh anak-
anak di bawah usia 18 tahun (Mather &Rivers, 2003, dalam
DuBois Miley, 2005: 286). Suatu perbandingan angka-angka
kemiskinan di 22 negara menemukan bahwa dari negara-negara
yang dijadikan sampel studi, hanya Mexico yang memiliki angka

152 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
kemiskinan anak-anak yang lebih tinggi daripada Amerika
Serikat.

Suatu studi terbaru yang dilakukan oleh Perserikatan


Bangsa-Bangsa menyimpulkan bahwa, di antara negara-
negara industri, satu-satunya negara yang angka kemiskinan
anak-anak lebih tinggi daripada Amerika Serikat ialah Rusia.
Angka kemiskinan anak di Amerika Serikat pada dasarnya lebih
tinggi daripada di negara-negara Skandinavia seperti Swedia
dimana angka kemiskinan anak kurang dari 3 persen (Adamson,
Micklewright, & Wright, 2000, dalam DuBois Miley, 2005: 286).

Di Amerika Serikat pada khususnya, angka kemiskinan


anak-anak di bawah usia 18 tahun ialah 30 persen bagi anak-
anak kulit Hitam dan 28 persen bagi anak-anak Hispanic
(warganegara Amerika Serikat berkulit putih keturunan Spanyol)
dibandingkan dengan 10 persen bagi anak-anak Kulit Putih yang
bukan Hispanic (McKinnon, 2003; Ramirez & de la Cruz, 2003,
dalam DuBois Miley, 2005: 286).

Masyarakat umum sering mencirikan orang-orang yang


miskin sebagai orang-orang yang sebenarnya mampu bekerja;
akan tetapi, fakta-fakta mematahkan miskonsepsi ini. Sejumlah
orang-orang yang menerima bantuan kesejahteraan semata-
mata menambah upah mereka. Lagi pula, suatu persentasi
yang besar orang-orang yang penghasilannya di bawah garus
kemiskinan ialah pekerja purna waktu. Sebagai contoh, ada
seorang dewasa yang bekerja di dalam 74 persen keluarga

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 153
anak-anak yang miskin (Children’s Defense Fund, 2000a, dalam
DuBois Miley, 2005: 286).

Dalam kaitan dengan standard dewasa ini, suatu pekerjaan


purna waktu yang hanya dibayar dengan upah minimum
meningkatkan suatu level kemisminan di bawah garis kemiskinan
dewasa ini. Menurut laporan, orang-orang miskin yang bekerja
merupakan lapisan orang-orang yang miskin yang bertumbuh
sangat pesat. Segalman dan Basu (1981) mencirikan orang-orang
miskin sebagai suatu kontinuum yang meliputi orang-orang
miskin transisional, orang-orang miskin marjinal, dan orang-
orang miskin residual. Bagi orang-orang miskin transisional (the
transitional poor), kemiskinan ialah suatu fenomena sementara
dan berjangka pendek yang dialami karena kondisi-kondisi
perubahan.

Orang-orang yang menganggur untuk jangka waktu yang


pendek, para imigran, dan bahkan para mahasiswa perguruan
tinggi masuk ke dalam kategori ini. Sebagai akibat dari
pengangguran, orang-orang miskin marjinal (the marginal
poor) hanya mampu memenuhi kebutuhan -kebutuhan dasar
mereka saja. Bagi orang-orang ini, kemampuan untuk menjamin
pemenuhan diri sering bergantung kepada kecenderungan-
kecenderungan ekonomi dan ketenagakerjaan nasional.
Sementara banyak orang-orang miskin marjinal menikmati
mobilitas ke atas, beberapa di antaranya beresiko terperosok di
dalam kemiskinan.

154 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
Orang-orang miskin residual (the residual poor) tetap
berada di dalam garis kemiskinan untuk jangka waktu yang
panjang, bahkan dari satu generasi ke generasi berikutnya
(misalnya secara transgenerasional atau antargenerasi).
Bantuan-bantuan kesejahteraan sering mensubsidi orang-
orang yang mengalami kemiskinan residual selama periode
pertambahan waktu tertentu (DuBois Miley, 2005: 287). Banyak
orang yakin bahwa orang-orang yang miskin pada umumnya
masuk ke dalam kategori residual; akan tetapi, suatu analisis
tentang lama tinggal rata-rata di dalam bantuan kesejahteraan
mematahkan keyakinan ini.

Para penerima bantuan kesejahteraan berjangka panjang


“ternyata benar-benar ada, tetapi itu merupakan kekecualian,
bukan peraturan” (Pavetti, 1997, dalam DuBois Miley, 2005:
287). Pola-pola kesejahteraan yang digunakan berbeda bagi
orang-orang yang menggunakan kesejahteraan untuk jangka
waktu yang pendek dan tidak pernah kembali lagi, bagi orang-
orang yang sebentar-sebentar menggunakan kesejahteraan
di dalam krisis ekonomi atau keluarga yag sering berulang
kembali, dan bagi orang-orang yang menerima kesejahteraan
secara terus menerus selama periode waktu yang panjang. Atas
pertimbangan ini, sulit untuk menentukan suatu lama tinggal
rata-rata di dalam antrian bantuan kesejahteraan.

Catatan-catatan pada masa lalu menunjukkan bahwa,


di antara kaum perempuan yang pernah menerima bantuan
kesejahteraan, sekitar setengahnya meninggalkan bantuan
kesejahteraan dalam tempo setahun dan hampir tiga per

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 155
empatnya dalam tempo dua tahun (Pavetti, 1997, dalam
DuBois Miley, 2005: 287). Sayangnya, walaupun banyak kaum
perempuan mengakses bantuan kesejahteraan untuk periode
waktu yang relatif pendek, mereka juga cenderung kembali
meminta bantuan tambahan dalam selang waktu lima tahun.

Studi-studi terbaru tentang partisipasi dalam bantuan


kesejahteraan menunjukkan bahwa bantuan kesejahteraan
berjangka waktu panjang cenderung lebih banyak dialami
oleh keluarga-keluarga yang mengalami tantangan-tantangan
ekonomi yang lebih sulit untuk memenuhi kecukupan dirinya
sendiri seperti para pecandu napza, cacat mental, buta aksara,
dan keluarga-keluarga dengan anak-anak yang mengalami
kelainan-kelainan perkembangan.

3) Kemiskinan relatif dan absolut. Para pakar sosiologi


mengukur kemiskinan dalam istilah-istilah absolut dan
relatif. Ukuran-ukuran kemiskinan absolut menentukan
tingkat penghasilan yang disyaratkan bagi kebutuhan-
kebutuhan dasar; menurut definisi, kemiskinan terjadi
ketika penghasilan berada di bawah tingkat absolut ini.
Suatu indeks kemiskinan yang disusun oleh pemerintah,
garis kemiskinan ialah salah satu ukuran absolut semacam
ini. Garis kemiskinan didasarkan atas biaya makanan bergizi
pada saat ini dikalikan dengan suatu jumlah indeks.

Apabila menggunakan ukuran-ukuran absolut ini, maka


penghasilan sekitar 11,7 persen dari total penduduk Amerika
Serikat atau sekitar 32,9 juta penduduk, berada di bawah garis

156 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
kemiskinan (U. S. Census Bureau, 2002a, dalam DuBois & Miley,
2005: 288). Penghasilan aktual hanyalah satu bagian dari potret
ini: Suatu standard kehidupan keluarga dalam kaitan dengan
anggota -anggota keluarga pada komunitas lain mengukur
relative deprivation atau kemiskinan relatif keluarga (Williams,
1975, dalam DuBois & Miley, 2005: 288).

Dengan kata lain, kemiskinan relatif mengacu kepada


persepsi terhadap kemiskinan dalam kaitan dengan orang-
orang lain pada waktu dan tempat yang sama. Jadi, berbeda
dengan “kekayaan” orang-orang miskin di Amerika Serikat
dengan kemiskinan yang papa yang dialami oleh orang-
orang di negara-negara lain tidak membuat orang-orang yang
miskin di Amerika Serikat kurang miskin dalam kaitan dengan
warganegara Amerika Serikat lainnya.

4) Mengapa manusia miskin? Dua sikap yang saling berbeda


menunjukkan cara dimana orang-orang yang miskin
dipandang di dalam sejarah Amerika Serikat. Salah satu
sikap menempatkan kesalahan pada individu-individu,
sementara sikap-sikap lain menempatkan tanggung jawab
pada masyarakat yang memungkinkan kondisi-kondisi
yang menciptakan kemiskinan. Sikap yang memperlihatkan
tanggung jawab pada individu menunjukkan kekurangan-
kekurangan kararakter sebagai akar yang menyebabkan
kemiskinan.

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 157
Orang-orang yang menganut pandangan ini yakin bahwa
perubahan-perubhan pada individu akan mengurangi terjadinya
kemiskinan menyeluruh. Sikap yang menempatkan tanggung
jawab pada masyarakat mengakui peran masalah-masalah
struktural dalam kemiskinan. Orang-orang yang menganut
pandangan struktural melihat reformasi sosial sebagai kunci
untuk mengurangi kemiskinan.

Perubahan-perubahan sikap cenderung mencerminkan


kecenderungan-kecenderungan ekonomi, ideologi-ideologi
politik, kondisi-kondisi sosial, dan keyakinan-keyakinan agama
yang kuat. Pada masa-masa konservatisme politik, sosial, dan
keagamaan, bantuan-bantuan kesejahteraan sosial cenderung
lebih menghukum, membatasi pelayanan-pelayanan melalui
pedoman dan stigma penghasilan yang tegas. Selama masa-
masa pergolakan politik dan ekonomi, respons-respons
masyarakat terhadap kemiskinan meningkat untuk memperoleh
bantuan kemanusiaan.

Bantuan-bantuan kesejahteraan berusaha untuk memenuhi


kebutuhan-kebutuhan individu sambil tetap berusaha
mengurangi sebab- sebab sosial dan lingkungan dari kemiskinan,
seperti pendidikan yang kurang memadai, kesehatan yang buruk,
pengangguran, diskriminasi, dan erosi hak-hak sipil. Apa yang
dimaksud dengan persepsi orang-orang terhadap siapakah orang
miskin itu? Ketika orang-orang menempatkan sebab kemiskinan
pada individu-individu, individu -individu itu sering menyebut
ciri-ciri seperti kualitas yang terdapat di dalam diri sendiri, sifat-
sifat perilaku, dan pertimbangan-pertimbangan budaya sebagai

158 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
faktor-faktor yang menyumbang bagi kemiskinan (Popple &
Leighninger, 2002, dalam DuBois &Miley, 2005: 289).

Beberapa kalangan bahkan yakin bahwa inferioritas genetis,


termasuk kapasitas intelektual yang terbatas (atau IQ), sebagai
penyebab kemiskinan. Berbagai stereotip mengakibatkan
kelompok-kelompok etnis dan ras pada khususnya rentan
terhadap pelabelan inferior secara sosial dan keterbatasan
secara intelektual. Akan tetapi, penelitian terbaru menyanggah
teori-teori yang mengusulkan relasi antara warisan rasial dan
intelijensi (Myers, 2004, dalam DuBois & Miley, 2005: 289).
Banyak kalangan yakin bahwa kualitas-kualitas perilaku seperti
motivasi—atau yang lebih spesifik, kurangnya motivasi dan
tiadanya suatu etika kerja—mencirikan orang-orang yang miskin.

Akan tetapi, bukti faktual mematahkan miskonsepsi


yang dianut secara luas ini. Banyak orang yang miskin adalah
orang yang setengah menganggur (underemployed); mereka
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bergaji rendah yang
pada umumnya tanpa asuransi kesehatan atau pension. Ironis
sekali bahwa demikian banyak orang-orang miskin yang bekerja
bergantung pada pekerjaan-pekerjaan yang memberikan
penghasilan yang berada di bawah garis kemiskinan karena
etika kerja mereka yang kuat, stigma yang dikaitkan dengan
penerimaan bantuan-bantuan kesejahteraan, atau bahkan
kurangnya program-program bantuan yang relevan.

Pada sisi lain, untuk menyimpulkan bahwa keluarga-


keluarga yang menerima bantuan kesejahteraan tidak ingin

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 159
bekerja dengan upah yang memadai adalah suatu miskonsepsi.
Beberapa kalangan yakin bahwa perbedaan-perbedaan
budayalah yang menyebabkan orang-orang inferior secara
fungsional dan dengan demikian pada akhirnya menjadi miskin.

Sebagai contoh, kelemahan budaya dikaitkan dengan


rendahnya pencapaian pendidikan dan terbatasnya kesempatan-
kesempatan bagi orang-orang untuk mengubah keadaan-
keadaan mereka. Suatu budaya kemiskinan berkembang yang
menciptakan suatu subbudaya yang khas di kalangan orang-
orang miskin, yang dibedakan oleh nilai-nilai, sistem-sistem
keyakinan, dan pola-pola perilaku yang ditransmisikan secara
budaya (Cattell- Gordon, 1990; Lewis, 1969, dalam DuBois &
Miley, 2005: 289).

Menurut pandangan struktural, kelemahan-kelemahan


di dalam lembaga-lembaga masyarakat menciptakan kondisi-
kondisi yang menyebabkan kemiskinan. Beeghley (1983: 133,
dalam DuBois & Miley, 2005: 290)menawarkan suatu analisis
sosiologis tentang kelemahan-kelemahan semacam ini:
• Cara dimana mengkorelasikan kemiskinan menciptakan
suatu lingkaran setan yang sering membelenggu dan
membatasi kemampuan mereka dalam mengubah situasi
mereka
• Cara sistem kelas menghasilkan sistem kelas itu sendiri
sepanjang masa
• Pengorganisasian ekonomi
• Pengabadian diskriminasi yang melembaga terhadap kaum
Kulit Hitam dan perempuan

160 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
Kemiskinan yang parah menciptakan suatu siklus yang
menegangkan yang membatasi kesempatan-kesempatan bagi
kemajuan ketenagakerjaan dan pendidikan. Sekali seseorang
menjadi miskin dan kekurangan sumberdaya-sumberdaya,
banyak hambatan-hambatan tambahan muncul yang mencegah
orang itu melarikan diri atau keluar dari siklus kemiskinan itu.

Pelayanan-pelayanan kesejahteraan, yang dirancang


untuk memotong siklus, sering membelenggu lebih lanjut para
penerima pelayanan kesejahteraan itu di dalam kemiskinan.
Sebagai contoh, syarat-syarat elijibilitas menuntut agar orang-
orang menghabiskan secara harfiah seluruh sumberdaya-
sumberdaya pribadi mereka sebelum mereka dapat menerima
bahkan bantuan publik yang terbatas.

Ketentuan-ketentuan menghukum individu-individu lebih


lanjut dengan mempertimbangkan hibah-hibah pendidikan
sebagai penghasilan yang tersedia, menolak jaminan kesehatan
bagi orang-orang miskin yang bekerja, dan pada banyak negara
bagian, tidak memperbolehkan jaminan kesejahteraan kepada
keluarga yang masih memiliki dua orangtua. Kaum liberal dan
radikal mengecam sistem kesejahteraan sosial yang menindas
orang-orang yang sangat miskin yang seharusnya dibantu.

Beeghley (1983, dalam DuBois & Miley, 2005: 290)


berpendapat bahwa stratifikasi sosial dan sistem kelas
membuatnya sulit dipercaya bahwa anak-anak yang terlahir ke
dalam strata yang kurang beruntung secara sosial tidak akan
pernah dapat keluar dari belenggu kemiskinan melalui mobilitas

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 161
sosial. Lagi pula, beberapa kalangan bahkan berpendapat bahwa
kurangnya mobilitas sosial menciptakan suatu sistem kasta
yang diwariskan atau kemiskinan generasional.

Pengorganisasian lembaga-lembaga ekonomi masyarakat


juga menyumbang bagi kemiskinan. Sifat pekerjaan-pekerjaan
yang tersedia bagi orang-orang miskin, orang-orang yang tidak
terampil, dan orang-orang yang kurang berpendidikan membatasi
kesempatan-kesempatan mereka. Upah yang rendah, kurangnya
jaminan kesehatan dan pensiun, jaminan pekerjaan tetap yang
berkaitan dengan pekerjaan-pekerjaan marjinal, paruh-waktu,
dan musiman menyumbang terhadap siklus kemiskinan.

Terakhir, Beeghley menegaskan bahwa diskriminasi


terhadap kaum minoritas dan kaum perempuan menyebabkan
sebagian besar populasi ini di antara orang-orang miskin.
Praktek-praktek yang diskriminatif memberikan keuntungan
kepada kaum laki-laki Kulit Putih dalam hal ketenagakerjaan,
penyerahan pengasuhan anak-anak kepada kaum ibu tanpa
bantuan kepada anak yang memadai, dan menciptakan peran-
peran ketergantungan bagui kaum perempyuan melalui pola-
pola pengasuhan anak yang dipromosikan secara sosial.

Empat butir analisis Beeghley memperlihatkan bahwa


“orang-orang yang paling miskin tinggal di dalam kemiskinan
karena alasan-alasan struktural, sangat sedikit di antara
mereka menjadi miskin karena alasan-alasan kurang motivasi,
kurang keterampilan, atau kurangnya sifat-sifat pribadi lainnya”
(Beeghley (1983: 133, dalam DuBois & Miley, 2005: 290).

162 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
5) Respons pelayanan kepada kemiskinan. Banyak program-
program dikembangkan untuk mengalamatkan sebab-
sebab akar dari kemiskinan di bidang-bidang pendidikan,
stabilitas ekonomi, dan partisipasi kerja.

Tiga contoh dari pelayanan-pelayanan model ini meliputi


Proyek Head Start, program-program pinjaman berbunga
rendah, dan suatu program yang berorientasikan pemberdayaan
untuk mendukung kaum perempuan dalam membuat transisi
dari kesejahteraan kepada bekerja.
(a) Proyek Head Start. Proyek Head Start dikembangkan
pada tahun 1956 sebagai suatu bagian dari program-program
Great Society yang dirancang untuk mengalamatkan berbagai
aspek kemiskinan.

Secara khusus, Proyek Head Start dipandang sebagai


suatu cara untuk memacu kinerja akademik anak-anak yang
keluarganya memiliki penghasilan di bawah garis kemiskinan.
Dengan meningkatkan akses mereka kepada pendidikan masa
awal anak-anak yang berkualitas dan “untuk mendukung
keluarga dari anak-anak yang mengikuti berbagai program yang
disponsori oleh Head Start, termasuk suatu sistem manajemen
kasus” (Frankel, 1997: 172, dalam DuBois & Miley, 2005: 291).

Sepanjang eksistensinya, program-program Head Start


telah memberikan pelayanan-pelayanan bantuan pendidikan
dan keluarga kepada lebih dari 25 juta anak-anak; 912.345 anak-
anak mengikuti program ini. Pada tahun 2002 (Administration
for Children and Families, 2003, dalam DuBois & Miley, 2005:

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 163
291). Data Biro Head Start menunjukkan, bahwa 13 persen anak-
anak yang mengikuti program ini mengalami beberapa jenis
kecacatan.

Suatu program tambahan baru-baru ini, Early Head Start,


yaitu suatu program bagi keluarga-keluarga berpenghasilan
rendah yang memiliki bayi dan anak-anak yang baru dapat
berjalan yang memberikan informasi tentang pelayanan-
pelayanan perkembangan anak dan dukungan keluarga, melayani
lebih dari 62.000 anak-anak berusia di bawah tiga tahun setiap
tahun. Sejak dikembangkan pada tahun 1965, Proyek Head Start
telah melayani lebih dari 21 juta anak-anak.

Walaupun memiliki cacatan yang baik dan reputasi nama


yang tinggi, Head Start hanya menerima sekitar 60 persen dari
semua anak-anak prasekolah yang memenuhi persyaratan. Early
Head Start hanya mampu melayani sekitar 3 persen bayi dan
anak-anak yang baru dapat berjalan yang memenuhi persyaratan
(Children Defense’s Fund, 2003, dalam DuBois & Miley, 2005:
291).

Head Start sangat berhasil dalam arti pengaruh positifnya


yang berjangka panjang terhadap para partisipan, dan
keterlibatan keluarga telah didientifikasikan sebagai suatu
komponen kunci keebrhasilannya (Children Defense’s Fund,
2003; Frankel, 1997, dalam DuBois & Miley, 2005: 291).

Semua program-program Head Start mencakup komponen-


komponen pelayanan sosial dilayani oleh pekerja sosial

164 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
pelayanan keluarga, dan sering juga oleh paraprofesional
yang sedang mengikuti magang untuk mempersiapkan diri
memasuki dunia kerja. Para pekerja sosial pelayanan keluarga
melaksanakan tugas-tugas yang sangat mirip dengan tugas-
tugas manajer kasus (Frankel, 1997, dalam DuBois & Miley,
2005: 291).

Para pekerja sosial pelayanan keluarga memfokuskan diri


pada isu-isu seperti ketenagakerjaan, perumahan, pengasuhan,
akses kepada pelayanan-pelayanan kesehatan, pertanyaan-
pertanyaan tentang perkembangan anak, masalah-masalah
kesehatan mental, dan kecanduan obat-obatan dan alkohol.
Para pekerja sosial pelayanan keluarga juga memastikan
hubungan-hubungan di antara keluarga-keluarga, guru-guru
dan staf lain dari program-program Head Start, serta masyarakat.
Frankel mengamati bahwa salah satu tujuannya ialah untuk
menambahkan lebih banyak lagi pekerja sosial profesional
kepada jenjang staf program.

Ternyata, “Biro Head Start menunjukkan bahwa ia


menginginkan karyawan-karyawannya harus seperti pekerja
sosial dan bahwa Biro Head Start ingin menggabungkan nilai-
nilai dan peran-peran pekerjaan sosial” (Frankel, 1997: 181, dalam
DuBois & Miley, 2005: 291). Bidang praktek pelayanan keluarga
ini tentu saja mengandung suatu potensi yang luar biasa bagi
para pekerja sosial yang ingin bekerja secara kolaboratif dengan
keluarga-keluarga dari anak-anak kecil.

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 165
(b) Program-program pinjaman yang berbunga rendah
Jumlah orang-orang yang miskin yang bekerja purna
waktu bertambah tetapi mereka masih sangat rentan
terhadap bencana-bencana keuangan. Sebagai contoh,
karena penghasilan mereka tidak mencukupi, mereka tidak
memiliki uang tambahan untuk merawat dan memperbaiki
kendaraan pribadi mereka.

Suatu program pinjaman berbunga rendah, Dana Pinjaman


Pelayanan Sosial Lutheran (Lutheran Social Services Loan
Fund) di Duuth, Negara Bagian Minnesota, dikembangkan
untuk membantu warga kota “yang miskin tetapi bekerja” untuk
mencegah bencana-bencana keuangan

Hasil dari suatu studi tentang efektivitas program yang


mengevaluasi dampak dari program pinjaman terhadap suatu
sampel acak berjumlah 20 peserta program sebelumnya
menunjukkan bahwa salah satu keuntungan dari program ini ialah
“ para peminjam uang diperlakukan layaknya sebagai pelanggan
bank dan bukan sebagai klien pelayanan kemanusiaan”.

Komentar para responden menunjukkan kontribusi program


terhadap kemampuan mereka dalam memenuhi kebutuhan-
kebutuhan dasar mereka sendiri. Salah seorang responden
mengatakan, “Tanpa kendaraan pribadi, aku tidak dapat pergi
bekerja karena aku mulai bekerja jam 04:30 pagi dan bis tidak
ada yang beroperasi pada jam begitu dan aku tidak dapat
berjalan kaki karena jauhnya tiga hingga empat jam berjalan
kaki”.

166 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
Responden lain mengatakan, “dari uang pinjaman itu aku
membelikan kendaraan dan dapat pergi kuliah dan sekarang
aku sudah bekerja. Seandainya tidak ada kendaraan, aku tidak
akan dapat menyelesaikan kuliahku dan seandainya aku tidak
menyelesaikan kuliah maka aku tidak akan dapat memperoleh
suatu pekerjaan”.

Suatu manfaat dari kemitraan antara badan sosial dan


bank ialah bahwa kemitraan itu menciptakan suatu kesempatan
bagi “pemberdayaan para ahli waris pelayanan-pelayanan
pemerintah untuk menjadi konsumen sejati dengan pilihan-
pilihan pasar yang bermanfaat” (Raschick, 1997, dalam DuBois &
Miley, 2005: 291-292).

(c) Proyek-proyek lain yang berorientasikan pemberdayaan.


Proyek WISE, suatu prakarsa bagi kaum perempuan yang
berpenghasilan rendah di Denver, Negara Bagian Colorado,
Amerika Serikat, menggabungkan elemen-elemen
pemberdayaan privadi, interpersonal, dan politik, yang
mengarah kepada perubahan personal dan sososial (East,
19909a; 1999b, dalam DuBois & Miley, 2005: 291-292).

Misi dari program ini ialah untuk membantu kaum


perempuan mempertahankan keberdayaan ketika mereka
mengalami transisi dari kesejahteraan kepada kecukupan
ekonomis. Proram ini memberikan konseling individu yang dapat
diikuti oleh individu, pengalaman -pengalaman kelompok, dan
kesempatan-kesempatan advokai masyarakat untuk membantu
kaum perempuan mewujudkan tujuan-tujuan pribadi dan

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 167
tujuan-tujuan keluarga serta untuk berpartisipasi sepenuhnya
di dalam masyarakat.

(d) Program ini mengalamatkan isu-isu yang dihadapi oleh


kaum perempuan yang lebih dari sekedar magang dan
penempatan kerja untuk mencakup dampak-dampak
pemerdayaan atau pengebirian (disempowerment) dan
penindasan yang sering memfitnah kaum perempuan yang
merupakan kaum penerima kesejahteraan—isu-isu seperti
harga diri yang rendah, sejarah penganiayaan fisik atau
seksual, kekerasan dalam rumahtangga, dan penindasan
serta kesulitan-kesulitan kesehatan mental lainnya.
Konseling pribadi ditambah dengan bantuan, kelompok-
kelompok pendidikan, dan kesempatan-kesempatan
bagi keterlibatan masyarakat dan pengembangan
kepemimpinan.

b. Pekerjaan Sosial dan Ketunawismaan


Karena ketunawismaan ialah suatu masalah sosial
kontemporer yang menonjol, ini bukanlah suatu fenomena yang
baru (Hopper & Baumohl, 1996, dalam DuBois & Miley, 2005:
293). Secara historis, ketunawismaan—diwakili oleh “kaum
gelandangan” pertengahan abad ke-18, “kaum tuna wisma”
akhir abad ke-18, dan “kaum korban” depresi berkaitan dengan
kemerosotan ekonomi.

Krisis ketunawismaan yang terjadi baru-baru ini diperburuk


oleh resesi ekonomi pada awal tahun 1980-an dan diperparah

168 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
oleh kurangnya perumahan sewaan yang dapat dijangkau,
membengkaknya jumlah manusia yang miskin.

Dan mendekati garis penghasilan kemiskinan (termasuk


yang bekerja purna waktu), meningkatnya kekerasan dalam
rumahtangga, dan pengurangan program-program dibiayai
oleh pemerintah pusat (National Coalition for the Homeless,
2002a, dalam DuBois & Miley, 2005: 291-293). Pemotongan-
pemotongan ini mencakup level pembiayaan program- program
yang lebih rendah—seperti bantuan publik, bantuan perumahan,
kupon makanan, dan bantuan kesehatan. Dan persyaratan-
persyaraten elijibilitas yang lebih ketat untuk program-program
kategoris ini.

Para pakar meramalkan bahwa berkurangnya ketersediaan


bantuan publik bagi keluarga-keluarga dan pengurangan yang
tajam terhadap program-program jaring keselamatan (safety
net) seperti bantuan umum bahkan akan mengarah kepada level
ketunawismaan yag lebih buruk (NCH, 2002a, dalam DuBois &
Miley, 2005: 293).
1) Salah pengertian tentang ketunawismaan. Sejumlah salah
pengertian terdapat di dalam pemahaman publik umum
tentang ketunawismaan. Sebagai contoh, banyak kalangan
yakin bahwa mayoritas orang-orang yang tuna wisma itu
menyandang masalah-masalah pribadi seperti sakit jiwa
atau menyalahgunakan obat-obatan.

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 169
Suatu studi terbaru menemukan bahwa 90,8 persen kaum
tuna wisma yang disurvei dari 1500 wawancara telefon acak
meyakini bahwa penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol
merupakan suatu sebab yang menyumbang bagi ketunawismaan
(Link et., 1996, dalam DuBois & Miley, 2005: 293).

Di dalam kenyataan, ketunawismaan cenderung lebih


disebabkan oleh kekuatan- kekuatan ekonomi dan sosial
daripada masalah-masalah pribadi. Keluarga-keluarga yang
memiliki anak yang tertekan secara ekonomi mewakili sekitar
40 persen dari populasi yang akan menjadi tuna wisma (NCH,
2002b, dalam DuBois & Miley, 2005: 293). Hanya 5 persen dari
orang-orang yang menyandang sakit jiwa yang serius adalah
tuna wisma (NCH, 1999a, dalam DuBois & Miley, 2005: 293).

Karena ada suatu ketidakseimbangan jumlah orang-orang


yang mengalami kecanduan yang menjadi tuna wisma, sebagian
besar orang-orang yang mengalami kecanduan tidak pernah
menjadi tuna wisma (NCH, 1999b, dalam DuBois & Miley, 2005:
293). Peningkatan ketunawismaan berkaitan erat dengan faktor-
faktor sosial ekonomi seperti tidak tersedianya perumahan yang
cocok dan terjangkau; suatu perluasan kemiskinan di daerah-
daerah perkotaan dan pedesaan; dan menurunnya daya beli—
upah rendah dalam menghadapi harga-harga yang membubung
naik.

Salah pengertian kedua tentang ketunawismaan ialah


bahwa ruang perumahan diadakan untuk mengatasi masalah
ketunawismaan di seluruh negeri. Di dalam kenyataan, ada

170 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
suatu kesenjangan antara jumlah orang-orang yang tuna wisma
dan tersedianya tempat tidur di perumahan pada hampir setiap
daerah perkotaan utama. Hasil dari suatu studi baru-baru ini
di 27 kota di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 37 persen
permohonan perumahan darurat tidak dapat dikabulkan karena
terbatasnya sumberdaya-sumberdaya (NCH, 2002c, dalam
DuBois & Miley, 2005: 293).

Lagi pula, ruang perumahan barangkali kurang


dimanfaatkan karena kekuatiran-kekuatiran para pengguna
potensial akan keselamatan pribadi, bukan karena banyaknya
tempat tidur yang kosong yang menandakan melimpahnya
jumlah tempat tidur. Seperti di daerah-daerah pedesaan, sangat
sedikit perumahan yang tersedia. Salah pengertian ketiga
tentang ketunawismaan ialah bahwa orang-orang yang tuna
wisma adalah pengangguran.

Data menunjukkan bahwa sekitar 40 persen orang-orang


yang tuna wisma adalah bekerja; akan tetapi, tentu saja ada
suatu kaitan antara menjadi tuna wisma dan menjadi miskin.
Resesi ekonomi baru-baru ini telah meningkatkan instabilitas
pasar kerja, memperburuk keadaan orang-orang miskin yang
sudah buruk. Salah pengertian keempat tentang ketunawismaan
ialah bahwa prakarsa-prakarsa pemerintah dalam mengatasi
krisis dan kebutuhan-kebutuhan jangka panjang yang berkaitan
dengan orang-orang yang tuna wisma.

Sebaliknya, para pakar di bidang ketunawismaan


menggambarkan respons pemerintah pada semua tingkat

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 171
seperti enggan, bertahap, dan hanya memberi respons yang
parsial atau setengah-setengah terhadap berkembangnya krisis
ketunawismaan dan kurangnya perumahan. Di dalam kenyataan,
anggaran pemerintah untuk sektor perumahan berkurang secara
besar-besaran pada tahun 1980-an setelah Presiden Jimmy
Carter mengakhiri kepresidenannya: Anggaran untuk program-
program perumahan bersubsidi dipotong menjadi 81 persen
dan program-program perumahan sewaan menjadi 72 persen
(First, Rife, & Toomey, 1995, dalam DuBois &Miley, 2005: 294).

Beberapa perkiraan menunjukkan bahwa hanya sekitar


sepertiga dari orang-orang yang memenuhi persyaratan untuk
memperoleh bantuan perumahan benar-benar menerimanya
(NCH, 2002a, dalam DuBois & Miley, 2005: 294). Walaupun
baru-baru ini Kementerian Perumahan dan Pengembangan
Perkotaan Amerika Serikat telah membuat suatu komitmen
untuk mengatasi isu-isu perumahan, sangat sedikit program-
program yang benar-benar dibiayai dari anggaran pemerintah.

Para pemohon harus menunggu hampir tiga tahun


untuk memperoleh suatu apartemen di perumahan publik
dan lebih dari dua tahun untuk memperoleh kupon bantuan
sewa perumahan. Perkiraan Kementerian Perumahan dan
Pengembangan Perkotaan Amerika Serikat menunjukkan
bahwa sekitar 5 juta rumahtangga berpenghasilan rendah yang
memenuhi persyaratan belum menerima bantuan perumahan
dari semua jenis.

172 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
2) Terjadinya ketunawismaan. Sulit untuk menentukan
secara pasti berapa orang yang tuna wisma di Amerika
Serikat. Pertanyaan ini sulit dijawab sebagian karena
“ketunawismaan ialah suatu keadaan sementara—buka
suatu kondisi yang permanent” (NCH, 2002c, dalam DuBois &
Miley, 2005: 294); “oleh karena itu, perhitungan-perhitungan
sewaktu-waktu cenderung memperkirakan rendah jumlah
orang-orang yang mengalami ketunawismaan.

Juga sulit dijawab karena banyak orang-orang yang tuna


wisma tinggal di lokasi-lokasi yang tidak terjangkau oleh para
peneliti—di dalam mobil caravan yang bergerak, di dalam
perkemahan, atau dengan teman-teman dan para kerabat
mereka. Berdasarkan hambatan-hambatan ini, ada beberapa
perbedaan pendapat berapa banyak manusia di Amerika Serikat
yang tuna wisma.

Perhitungan pertama Biro Sensus Amerika Serikat pada


tahun 1990 menyimpulkan bahwa ada 178.828 orang tinggal
di perumahan-perumahan dan 49.791 orang tinggal di jalan
selama periode 24 jam (U. S. Department of Commerce, 1990,
dalam DuBois & Miley, 2005: 294). Kebanyakan pembela
hak-hak tuna wisma mengecam gambaran angka-angka di
atas yang dianggap memberi perkiraan kasar yang rendah
karena sejumlah besar orang terluputkan oleh para petugas
sensus dan karena kesalahan asumsi yang mendasarinya yaitu
perhitungan “sewaktu-waktu” akan memperlihatkan parahnya
ketunawismaan sebagai suatu masalah sosial.

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 173
Sebaliknya, pada tahun yang sama, para peneliti
menyelenggarakan beberapa survei telefon yang anonim
terhadap suatu sampel acak yang terdiri dari 1500 responden
pada 200 daerah metropolitan terbesar di Amerika Serikat (Link,
Phelan, & Bresnahan, 1995, dalam DuBois & Miley, 2005: 294).
Kepada para responden ditanyakan apakah mereka pernah
menganggap diri mereka sebagai tuna wisma, termasuk saat-
saat mereka barangkali tinggal di rumah teman-teman atau
para kerabat.

Hasil-hasil studi menunjukkan bahwa 14 persen orang-


orang yang disurvei itu telah menjadi tuna wisma pada suatu
waktu tertentu, dan 4 persen menunjukkan bahwa mereka telah
menjadi tuna wisma pada suatu waktu selama 5 tahun terakhir.
Suatu studi tindak lanjut pada tahun 1994 terhadap para
responden yang sama mendefinisikan ketunawismaan secara
lebih tepat.

Apabila tinggal bersama teman-teman atau para kerabat


dimasukkan, angka ketunawismaan sepanjang hidup ialah 15
persen, dan angka ketunawismaan selama 5 tahun terakhir ialah
3,5 persen. Secara lebih eksplisit, para peneliti memperkirakan
bahwa 6,5 persen telah menjadi tuna wisma secara harfiah pada
suatu waktu tertentu dalam kehidupan mereka.

Dari kalangan subkelompok ini, orang-orang menjadi


tuna wisma rata-rata selama 80 hari, selama mana 66 persen
menghabiskan malam di kendaraan-kendaraan pribadi dan
25 persen menghabiskan malam di tenda-tenda, kardus

174 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
-kardus, atau perumahan-perumahan sementara lainnya. Yang
menggegerkan, 41 persen dilaporkan mengalami kelaparan dan
42 persen dilaporkan diperkosa atau dirampok. Berdasarkan
studi-studi mereka, para peneliti ini memperkirakan bahwa
12 juta penduduk di Amerika Serikat pernah mengalami
ketunawismaan pada suatu waktu di dalam kehidupan mereka.
Perkiraan mereka yang 18 juta ialah sesuatu yang mengejutkan
apabila tinggal bersama teman-teman atau para kerabat
dimasukkan ke dalam perhitungan.

Tentu saja, ada kelemahan-kelemahan dari studi ini,


termasuk landasan penarikan sampelnya dan besaran sampel,
serta fakta bahwa penelitian ini tidak memasukkan daerah-
daerah perkotaan di dalam perhitungannya. Seseorang dapat
menyimpulkan secara seksama bahwa studi Biro Sensus pada
tahun 1990 memperkirakan rendah tingkat ketunawismaan dan
bahwa masalah sosial ketunawismaan lebih parah daripada
yang dilaporkan.

Bagaimana dengan ketunawismaan yang dialami oleh


keluarga-keluarga? Keluarga barangkali merupakan lapisan
masyarakat yang pertumbuhannya paling cepat menjadi tuna
wisma, mewakili sekitar 40 persen dari orang- orang yang
menjadi tuna wisma (NCH, 2001, dalam DuBois & Miley, 2005:
295) . “Bagi keluarga, ketunawismaan sering berarti suatu
pergerakan yang membosankan dari satu tempat ke tempat lain:
tinggal bersama para kerabat atau teman-teman untuk periode
waktu yang singkat, berpindah ke perumahan-perumahan

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 175
selama 30 hari, dan berpindah lagi” (First, Rife, & Toomey, 1995:
1333, dalam DuBois & Miley, 2005: 295).

Secara khusus, apakah menerima bantuan publik atau


bekerja purna waktu, keluarga-keluarga yang tuna wisma tidak
mampu memperoleh perumahan karena keadaan keuangan
mereka yang tidak memadai. Kekerasan dalam rumahtangga
juga menyumbang bagi ketunawismaan di kalangan perempuan
dan anak-anak. Beberapa studi menunjukkan bahwa sebanyak
25 hingga 50 persen kaum perempuan yang tinggal di rumah-
rumah penampungan sementara pernah mengalami situasi-
situasi yang penuh dengan penganiayaan (NCH, 1999c, dalam
DuBois & Miley, 2005: 295).

Terakhir, ketunawismaan itu sendiri menyumbang bagi


kehancuran keluarga. Sebagai contoh, beberapa rumah
penampungan sementara bagi keluarga-keluarga memiliki
kebijakan-kebijakan yang melarang kaum laki-laki dan
anak laki-laki yang sudah besar untuk tinggal di rumah-
rumah penampungan sementara, dan beberapa orangtua
dapat menempatkan anak-anak mereka di panti asuhan atau
menitipkan mereka tinggal bersama terman-teman atau para
kerabat untuk menghindarkan diri mereka dari ketidakamanan
karena hidup tanpa rumah (Shinn & Weitzman, 1996, dalam
DuBois & Miley, 2005: 295).

Ketunawismaan secara khusus mendisorganisasikan bagi


anak-anak. Suatu tinjauan penelitian memperlihatkan bahwa
anak-anak yang tuna wisma mengalami gizi buruk, kemunduran-

176 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
kemunduran perkembangan, kesehatan yang buruk, kecacatan
fisik, pencapaian pendidikan yang buruk, dan masalah-masalah
psikologis serta perilaku (Rafferty & Shinn, 1994, dalam DuBois
& Miley, 2005: 295).

Shinn dan Weitzman (1996: 118, dalam DuBois & Miley,


2005: 295) melaporkan bahwa “data dari The National Health
Interview Survey (Survei Wawancara Kesehatan Nasional)
memperlihatkan bahwa anak-anak yang berpindah tiga kali
atau lebih cenderung memiliki masalah-masalah emosional dan
perilaku, tinggal kelas, dan diskor atau dikeluarkan dari sekolah”.

Sering berpindah-pindah sekolah, lama absen dari sekolah,


kurangnya tempat yang tenang untuk mengerjakan pekerjaan
rumah, atau kekacauan kehidupan di jalan untuk selanjutnya
mengganggu pembelajaran. Bagaimana dengan ketunawismaan
di kalangan veteran? Sekitar 40 persen kaum laki-laki yang tuna
wisma adalah veteran (NCH, 1999d, dalam DuBois & Miley,
2005: 295).

Karena banyak veteran Perang Vietnam, kecenderungan-


kecenderungan terbaru memperlihatkan suatu peningkatan
ketunawismaan di kalangan para veteran yang tidak memiliki
pengalaman perang tetapi menghadapi adanya faktor-faktor
resiko yang meningkat seperti penyakit jiwa dan penyalahgunaan
obat-obat terlarang.

Hasil-hasil dari suatu studi eksploratoris tentang


masalah-masalah yang dihadapi oleh para veteran yang tuna

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 177
wisma menunjukkan tiga sumber-sumber kesulitan utama
yaitu masalah-masalah di bidang kesehatan dan kesehatan
mental; masalah-masalah yang berkaitan dengan sumberdaya-
sumberdaya seperti kurangnya kesempatan-kesempatan kerja,
perumahan, dan transportasi; dan masalah-masalah yang
berkaitan dengan sikap-sikap publik umum terhadap mereka
seperti penolakan, prasangka buruk, kurang menghargai, dan
ketakutan (Applewhite, 1997, dalam DuBois & Miley, 2005: 295).

Dinas Militer memiliki reputasi memberikan berbagai


jaminan yang meliputi pendidikan dan magang, memperjuangkan
penempatan kaum militer aktif untuk mengisi posisi-posisi
jabatan sipil, dan hak-hak seperti perawatan kesehatan,
pinjaman-pinjaman untuk uang muka perumahan yang berbunga
rendah, dan jaminan pensiun.

Di dalam kenyataan, tingginya angka pengangguran


dan terbatasnya pendidikan di kalangan para veteran
turut menyumbang bagi merebaknya masalah -masalah
ketunawismaan di kalangan para veteran. Bagaimana dengan
ketunawismaan di daerah-daerah pedesaan? Suatu survei
berskala luas pada tahun 1990 tentang ketunawismaan
pedesaan dan perkotaan menunjukkan bahwa orang-orang
yang tuna wisma di daerah-daerah pedesaan ialah “orang-orang
muda yaitu kaum perempuan lajang atau ibu-ibu yang sudah
memiliki anak, sedangkan orang-orang yang berpendidikan
lebih tinggi cenderung tidak menjadi orang- orang cacat” (First,
Rife, & Toomey, 1994: 104, dalam DuBois & Miley, 2005: 296).

178 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
Dari kelompok-kelompok yang diidentifikasikan di dalam
survei itu, 26,8 persen adalah keluarga-keluarga muda dan 31,2
persen orang-orang yang bekerja paruh waktu atau purna waktu.
Penelusuran lebih lanjut terhadap data-data ini menunjukkan
perbedaan-perbedaan antara ketunawismaan perkotaan dan
pedesaan. Kontras sekali dengan daerah-daerah perkotaan,
“banyaknya bantuan-bantuan sosial bagi kaum perempuan
perkotaan dan minimnya peran-peran yang dapat dimainkan
oleh para penyandang masalah sakit jiwa dan penyalahgunaan
obat-obat terlarang di dalam episode-episode kaum perempuan
pedesaan” (Cummins, First, & Toomey, 1998, dalam DuBois &
Miley, 2005: 297).

Akan tetapi, konflik dan keretakan keluarga cenderung


memperburuk ketunawismaan baik di daerah-daerah perkotaan
maupun di daerah-daerah pedesaan. Para peneliti menyimpulkan
bahwa suatu perekonomian pedesaan yang memburuk,
meningkatnya angka pengangguran, ketidaksetaraan jender
yang nampak jelas pada rendahnya upah bagi kaum perempuan,
dan meningkatnya tuntutan akan perumahan yang bersewa
rendah menyumbang bagi krisis ketunawismaan di daerah-
daerah perkotaan di Amerika Serikat.

3) Respons pemerintah pusat terhadap ketunawismaan.


Peraturan perundang-undangan utama yang diterbitkan oleh
pemerintah pusat yang mengalamatkan ketunawismaan ialah
Undang-undang Bantuan Tuna Wisma pada tahun 1987 yang
sekarang dikenal sebagai Undang-undang Bantuan Tuna
Wisma McKinney-Vento. Undang -undang ini memberikan

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 179
mekanisme bagi suatu respons pemerintah pusat terhadap krisis
ketunawismaan.

Undang-undang ini mengembangkan program-program


seperti:
• rehabilitasi perumahan berkamar satu yang ditempati
• perumahan transisional
• program-program perumahan bagi orang-orang cacat yang
tuna wisma
• bantuan perawatan kesehatan
• bantuan makanan
• tunjangan para veteran
• program-program makanan dan rumah penampungan
darurat
• program-program pendidikan, pelatihan, dan pelayanan-
pelayanan masyarakat.

Sayangnya, undang-undang ini hanya indah di atas kertas


tetapi buruk di dalam kenyataan, yang mengakibatkan kurangya
anggaran untuk membiayai implementasi program-program
tersebut di atas. Selain itu, program-program tersebut di atas
dipecah-pecah di kalangan lembaga-lembaga pemerintah
pusat seperti Kementerian Kesehatan dan Pelayanan Sosial,
Kementerian Pengemangan Perumahan dan Perkotaan,
Kementerian Pendidikan, Kementerian Pertanian, Kementerian
Urusan Veteran, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian
Transportasi, Dinas Pelayanan Umum, dan Badan Manajemen
Darurat Pemerintah Pusat.

180 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
Untuk mengorganisasikan pelayanan-pelayanan kepada
orang-orang yang tuna wisma di dalam masyarakat secara lebih
efektif, Undang-undang McKinney menyaratkan masyararat
untuk meminta anggaran untuk mengembangkan suatu strategi
yang mendeskripsikan kebutuhan-kebutuhan darurat dan
jangka panjang bagi orang-orang yang tuna wisma di dalam
masyarakat, dan strategi-strategi yang mereka sepakati untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan jangka pendek dan jangka
panjang yang telah diidentifikasikan itu. Strategi ini penting
karena inilah pertama kali pemerintah pusat mengakui secara
resmi hubungan antara kurangnya perumahan yang terbeli dan
krisis ketunawismaan yang melanda Amerika Serikat akhir-akhir
ini” (Johnson, 1995: 1343, dalam DuBois & Miley, 2005: 297).

4) Respons pekerjaan sosial terhadap ketunawismaan.


Pekerja sosial harus mengembangkan program-program
yang inovatif untuk mengalamatkan sebab-sebab akar
dan dampak-dampak pribadi dari ketunawismaan. First,
Rife dan Toomey (1995) mengusulkan strategi-strategi
pekerjaan sosial yang berwajah banyak (multifaceted
social work strategies) seperti pelayanan-pelayanan yang
menjaga kelangsungan kehidupan, pelayanan-pelayanan
rehabilitasi, dan pengadvokasian kebijakan serta program.
Program-program yang yang menjaga kelangsungan
kehidupan memenuhi kebutuhan-kebutuhan sehari-hari
orang-orang yang tuna wisma seperti akses kepada rumah
penampungan dan makanan darurat, perumahan transisional,
dan pelayanan-pelayanan sosial. Manajemen kasus memainkan

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 181
peran yang semakin menonjol di dalam program-program dan
pelayanan-pelayanan tersebut di atas.

Temuan-temuan penelitian menunjukkan bahwa pemberian


subsidi untuk sewa perumahan merupakan suatu komponen yang
sangat penting dari program-program transisional yang berhasil
(Shlay, 1994, dalam DuBois & Miley, 2005: 297). Pelayanan-
pelayanan rehabilitasi berfungsi melampaui pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan dasar. Pelayanan-pelayanan ini meliputi
program-program seperti pendidikan, magang, program-
program penyembuhan ketergantungan obat-obat terlarang,
dan pelayanan-pelayanan kekerasan dalam rumahtangga
“untuk membantu menyiapkan keluarga-keluarga agar dapat
memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri” (First, Rife, &
Toomey, 1995: 1335, dalam DuBois & Miley, 2005: 297).

Terakhir, pengadvokasian kebijakan dan program adalah


sangat penting untuk memperkuat respons pemerintah
kabupaten/kota, pemerintah provinsi, dan pemerintah pusat
terhadap ketunawismaan, dan memastikan bahwa kebijakan-
kebijakan sosial harus mempertimbangkan kenyataan-kenyataan
situasi yang dihadapi oleh orang-orang yang tuna wisma.

Solusi-solusi jangka panjang yang penting mencakup


prakarsa-prakarsa pengembangan sosial dan ekonomi serta
menanggulangi ketidaksetaraan dan diskriminasi yang
menciptakan hambatan-hambatan di jalan menuju pemenuhan
diri sendiri. Selanjutnya, orang-orang yang tuna wisma
mengalami pemberdayaan melalui keterlibatan langsung

182 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
mereka sendiri di dalam aksi sosial dan usaha-usaha advokasi
untuk menghadapi dampak-dampak penindasan, pengasingan,
dan keputusasaan.

c. Pekerjaan Sosial dan Pengangguran.


Naik turunnya perekonomian merupakan masalah-masalah
struktural yang secara langsung mepengaruhi dunia kerja. Para
pembuat kebijakan memandang pengangguran, setidak-tidaknya
pada level tertentu, sebagai sesuatu yang dapat diterima dan
normal. Akan tetapi, pekerja sosial memandang pengangguran
sebagai suatu isu kesejahteraan sosial yang mengandung
dampak yang dramatis. “Akses kepada kesempatan-kesempatan
kerja tetap merupakan bantu penjuru keamanan ekonomi
individu; kemiskinan dan ketidaksetaraan penghasilan pada
dasarnya merupakan suatu fungsi dari pasar kerja” (Root, 1993:
334, dalam DuBois & Miley, 2005: 299).

Tiadanya alokasi anggaran yang setara dalam kesempatan-


kesempatan kerja menyebabkan besarnya biaya-biaya
kemanusiaan.

1) Ekonomi dan pengangguran


Laporan-laporan memperlihatkan bahwa pada tahun 2003,
sekitar 9 juta orang atau sekitar 6 persen pekerja di Amerika
Serikat mengalami kehilangan pekerjaan dibandingkan dengan
pertengahan tahun 1990-an ketika angka pengangguran adalah
sekitar 5 persen (Bureau of Labor Statistics, 2003a, dalam DuBois
& Miley, 2005: 299).

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 183
Akan tetapi, gambaran-gambaran tersebut di atas
menyesatkan, karena beberapa kelompok-kelompok populasi
dan wilayah-wilayah di negara ini telah dihimpit secara keras
oleh pengangguran. Sebagai contoh, angka pengangguran yang
terendah adalah di Negara Bagian South Dakota (3,3 persen)
dan angka yang tertinggi di Negara Bagian Louisiana (7,4
persen), Negara Bagian Michigan (7,4 persen), Negara Bagian
Washington (7,5 persen), Negara Bagian Alaska (7,9 persen), dan
Negara Bagian Oregon (8,1 persen) (Bureau of Labor Statistics,
2003b, dalam DuBois & Miley, 2005: 299).

Daerah-daerah metropolitan menderita tingkat


pengangguran yang bahkan lebih tinggi. Data dari bulan Juni
2003 menunjukkan bahwa “empatbelas daerah metropolitan
mendaftarkan angka pengangguran sekurang- kurangnya 10,0
persen, tujuh di antaranya berada di Negara Bagian California
dan lima di Negara Bagian Texas” ) (Bureau of Labor Statistics,
2003c: 1, dalam DuBois & Miley, 2005: 299). Selanjutnya,
perhatikan perbedaan-perbedaan pada angka pengangguran
pada bulan Juli 2003 di kalangan angkatan kerja sipil kaum Kulit
Putih (5,5 persen), kaum Kulit Hitam (11,1 persen), dan kaum
Hispanic (8,2 persen) ) (Bureau of Labor Statistics, 2003a, dalam
DuBois & Miley, 2005: 299).

Selain pengangguran, sebab-sebab perubahan dalam


status ekonomi mencakup menurunnya jam kerja atau upah;
meningkatnya jumlah lapangan kerja di berbagai sektor
pelayanan seiring dengan menurunnya lapangan kerja yang
berupah tinggi di sektor manufaktur dan teknologi; pesatnya

184 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
perluasan pekerjaan-pekerjaan paruh waktu dan kasar yang
tidak memberikan paket jaminan kesehatan maupun pensiun;
dan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan keluarga seperti
perpisahan, perceraian, atau lari dari rumah.

Keluarga-keluarga orangtua tunggal sering kehilangan


jarring keselamatan dari suatu penghasilan kedua, yang
mengakibatkan meningkatnya kecenderungan ketidakstabilan
ekonomi. Di Amerika Serikat, para ekonom mendasarkan
gambaran-gambaran pengangguran pada survey-survei bulanan
dari suatu sampel acak rumahtangga.

Mereka menggambarkan angka pengangguran sebagai


rasio antara orang-orang yang menganggur dan angkatan kerja
total. Angka-angka ini kemungkinan besar memperkirakan
rendah angka pengangguran karena mereka tidak mamasukkan
orang-orang yang tidak aktif mencari pekerjaan. Lagi pula, angka
pengangguran yang statis merupakan potret dari suatu kondisi
yang dinamis:

Beberapa orang kembali bekerja, sementara yang lain


tetap menganggur. Root (1993, dalam DuBois & Miley, 2005:
299) mengidentifikasikan beberapa jenis pengangguran yang
berbeda:
• Pengangguran bersiklus (cyclical unemployment) yang
disebabkan oleh resesi atau naik turunnya perekonomian
sesuai dengan tuntutan pasar kerja.
• Pengangguran musiman (seasonal unemployment) yang
disebabkan oleh fluktuasi berkala di dalam industri yang

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 185
bergantung pada musim seperti perikanan, peternakan, dan
konstruksi.
• Pengangguran friksional (frictional unemployment) ialah
pengangguran yang dialami oleh orang-orang yang
sewaktu-waktu keluar dari pekerjaan karena mereka
berganti pekerjaan.
• Pengangguran struktural (structural unemployment) terjadi
ketika keterampilan-keterampilan orang berada jauh di
bawah ketentuan-ketentuan baru atau ketika diskriminasi
terjadi di dalam praktek-praktek ketenagakerjaan.

Faktor-faktor struktural menyumbang kepada


ketidakseimbangan angka-angka pengangguran di kalangan
minoritas etnis dan populasi tertindas lainnya. Dibedakan
karena ras, usia, kecacatan, kecenderungan seksual, dan kelas,
kelompok-kelompok yang tertindas “harus berhadapan dengan
diskriminasi, pemutusan hubungan kerja, dan akibat-akibat dari
pemutusan hubungan kerja serta masalah pasar kerja yang
menggerogoti kemampuan mereka untuk merawat diri sendiri.
Dan keluarga mereka serta memaksa beberapa di antara mereka
untuk jatuh ke dalam pengangguran kronis, semi pengangguran,
kemiskinan, dan dalam beberapa kasus, pelembagaan kemiskinan
dan pengangguran” (Briar, 1988: 6, dalam DuBois & Miley, 2005:
299).

2) Akibat-akibat dari pengangguran. Pengangguran


mengakibatkan sejumlah tantangan-tantangan bagi
individu, keluarga, dan masyarakat (Root, 1993, dalam

186 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
DuBois & Miley, 2005: 300). Bagi individu dan keluarga,
sumberdaya-sumberdaya psikologis, sosial, dan keuangan
sangat menegangkan.

Karena pekerjaan adalah fundamental bagi rasa kompetensi


seorang dewasa, harga diri khususnya tentu saja jatuh terpuruk
seiring dengan pemutusan hubungan kerja (Berk, 2004, dalam
DuBois & Miley, 2005: 300). Orang-orang yang menganggur
mengalami kehilangan ganda seperti kehilangan keluarga,
harga diri, identitas sosial, dan persahabatan serta dukungan
sosial yang berkaitan dengan pekerjaan (Root, 1993, dalam
DuBois & Miley, 2005: 300).

Akibat-akibat langsung dan tidak langsung dari


pengangguran antara lain ialah depresi, bunuh diri, sakit jiwa,
penganiayaan pasangan dan anak, konflik keluarga, perceraian,
penyalahgunaan obat-obat terlarang, angka kenakalan dan
kejahatan meningkat, gangguan-gangguan makan dan tidur,
dan keluhan-keluhan somatis seperti penyakit yang berkaitan
dengan stres. Pengangguran mempengaruhi harapan-harapan
kehidupan, perasaan sejahtera, dan bahkan usia harapan hidup.

Dampak-dampak pengangguran bahkan dapat bersifat


generasional yaitu menurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Status orangtua yang menganggur dapat
mempengaruhi perilaku anak-anak, pencapaian sekolah, dan
sikap terhadap pekerjaan. Faktor-faktor seperti meningkatnya
tenaga kerja marjinal, menurunnya standard kehidupan, lamanya
didera pengangguran semuanya memperburuk akibat-akibat

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 187
dari pengangguran (Hooper-Briar & Seck, 1995, dalam DuBois
& Miley, 2005: 300).

Masyarakat juga menanggung akibat-akibat dari


pengangguran kolektif. Gelombang-gelombang pengangguran
dapat berarti kebangkrutan, kegagalan bisnis, kehilangan
pajak, dan pemotongan anggaran dalam berbagai pelayanan-
pelayanan. Ironisnya, sementara menghadapi pemotongan
anggaran, pengangguran meningkatkan tuntutan-tuntutan akan
pelayanan-pelayanan sosial. Pada akhirnya, pengangguran harus
dipahami di dalam konteks masyarakat dunia.

Kesalingbergantungan globalisasi ekonomi mengajurkan


bahwa dampak-dampak dan solusi-solusi atas pengangguran
merupakan tantangan-tantangan global. Dimana pengangguran
merajalela dan penindasan meluas, penyesuaian-penyesuaian
terhadap krisis pengangguran dapat semakin berurat berakar
di dalam kebudayaan. Sifat-sifat kebudayaan seperti suatu rasa
pasrah yang berlangsung lama, depresi yang berurat berakar,
dan relasi-relasi yang tidak mantap, yang muncul sebagai suatu
akibat dati pengangguran kronis, merupakan “adanya suatu
sindrom stres traumatik yang memancar secara budaya yang
disebabkan oleh eksploitasi” (Cattell-Gordon, 1990: 41, dalam
DuBois & Miley, 2005: 300).

3) Jaminan sosial pengangguran. Santunan-santunan


yang diberikan oleh program-program jaminan sosial
merupakan sumber-sumber penghasilan bagi orang-
orang yang sewaktu-waktu tidak bekerja atau mengalami

188 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
kecacatan kerja. Kompensasi atau tunjangan pengangguran
bermula dari Undang-undang Jaminan Sosial pada tahun
1935. Suatu kombinasi dari program pemerintah negara
bagian dan pusat, kompensasi pengangguran memberikan
kompensasi temporer dalam bentuk pemberian upah
kepada orang-orang yang kehilangan pekerjaan.

Jaminan kompensasi pekerja mencakup orang-orang yang


tidak dapat bekerja karena penyakit atau cedera yang berkaitan
dengan pekerjaan. Dana negara-negara bagian mengarahkan
program ini. Jaminan dan kompensasi bagi pengangguran dan
kompensasi bagi pekerja sangat bervariasi dari satu negara
bagian ke negara bagian lain. Tidak satu pun program yang
menyaratkan pengujian. Karena pekerja sosial memainkan
suatu peran yang minimum di dalam program-program ini,
orang-orang yang berhak di dalam program-program ini dapat
memperoleh keuntungan dari penglibatan pekerjaan sosial
langsung, khususnya konseling untuk mengalamatkan isu-isu
pengangguran dan kesehatan yang berkaitan dengan pekerjaan
(Jones, 1995, dalam DuBois & Miley, 2005: 300).

Selama bertahun-tahun, para pembuat kebijakan berdebat


apakah orang-orang berhak untuk memperoleh pekerjaan.
Peraturan perundang-undangan—khususnya Undang-undang
Ketenagakerjaan tahun 1946 pasal 304—lebih menegaskan
kesempatan-kesempatan untuk memperoleh pekerjaan daripada
memberikan jaminan pekerjaan. Begitu pula, program-program
Penanggulangan Kemiskinan pada tahun 1960-an mengikuti
prinsip yang sama dalam menyediakan kesempatan-kesempatan

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 189
kerja, dan meningkatkan tanggung jawab pemerintah untuk
menyelenggarakan pelatihan kerja dan pendidikan. Undang-
undang Pengembangan dan Pelatihan Sumberdaya Manusia
(pasal 87-145), yang menyelenggarakan pelatihan bagi orang-
orang miskin dan para narapidana, menegaskan tanggung jawab
ini.

4) Pelayanan-pelayanan bagi para penganggur. Pekerja


sosial dapat melakukan suatu pendekatan yang holistik
terhadap masalah-masalah pengangguran (Briar, 1988,
dalam DuBois & Miley, 2005: 301). Ada suatu kebutuhan
yang sangat mendesak untuk menghadapi bias di dalam
keyakinan yang sudah dianggap umum bahwa orang-orang
yang menganggur itu tidak bekerja karena ada sesuatu
yang salah di dalam diri mereka.

Jumlah terbesar orang-orang yang menganggur ialah


para pekerja yang kehilangan pekerjaan karena terkena
pemutusan hubungan kerja dan penutupan usaha industri.
Para pekerja yang kehilangan pekerjaan ini bergabung dengan
jumlah orang-orang yang berusaha memperoleh posisi baru di
dalam suatu masyarakat teknologi yang menuntut pendidikan
dan keterampilan-keterampilan darisisi orang-orang yang
membutuhkan pekerjaan-pekerjaan bergaji besar. Kesempatan-
kesempatan pelayanan yang berupah lebih rendah menciptakan
suatu kelas orang-orang yang menganggur.
Cukup sering para praktisioner, yang peduli dengan
damak-dampak pengangguran, bekerja di dalam program-
program bantuan tenaga kerja. Penekanan-penekanan terhadap

190 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
pengangguran dapat juga ada sebagai suatu faktor yang
tersembunyi atau mendasari masalah-masalah yang dibawakan
ke dalam badan-badan sosial keluarga an pusat-pusat kesehatan
jiwa. Suatu kerangka bagi pemecahan masalah ketenagakerjaan
menempatkan pencarian pekerjaan di dalam konteks manusia-
dalam- situasi (Briar, 1988: 52, dalam DuBois & Miley, 2005: 301).
Proses pencarian pekerjaan memberikan suatu kesempatan
bagi pengujian diri dalam kaitan dengan pasar kerja. Suat
tinjauan tentang keterampilan-keterampilan yang dapat
dilimpahkan itu mengembangkan suatu rasa berkompeten akan
kemampuan-kemampuan seseorang yang, di dalam dirinya
sendiri, memberdayakan. Dua proses-proses yang setara yang
berurusan untuk menghadapi isu-isu kehilangan pekerjaan dan
pencarian pekerjaan.

Asesmen dan stabilisasi gejala-gejala


1. Mengases dan mengalamatkan gejala-gejala.
2. Menormalisasikan gejala-gejala dari masalah-masalah
pekerjaan.
3. Mengases dan emngalamatkan kehilangan pekerjaan.
4. Mengases kekuatan-kekuatan dan dukungan-dukungan
sisal.
5. Mengembangkan suatu rencana stabilisasi sementara.

Perolehan suatu pekerjaan


1. Mempromosikan asesmen diri sendiri bagi tujuan-tujuan
pekerjaan jangka pendek dan jangka panjang.
2. Mempromosikan suatua sesmen tentag pasar kerja.
3. Membangun kapasitas untuk mempromosikan diri sendiri.

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 191
Selain dalam pemecahan masalah, pekerja sosial
ketenagakerjaan dapat membantu klien secara langsung dalam
memastikan hak-hak mereka. Kegiatan-kegiatan pekerjaan
sosial di dalam fungsi manajemen sumberdaya ini antara lain,
pada level mikro, ialah memberikan bahan-bahan pendidikan
kepada para pekerja; pada level meso, membangun koalisi-
koalisi untuk mempromosikan keselamatan kerja di dunia kerja;
dan pada level makro, memberikan kesaksian dengar pendapat
publik tentang pengangguran (Shanker, 1983, dalam DuBois &
Miley, 2005: 301).

d. Pekerjaan Sosial di dalam Peradilan Kriminal


Sistem peradilan kriminal ialah suatu arena yang diperluas
bagi pekerjaan sosial. Secara historis, bidang peradilan kriminal
dibangun di atas suatu landasan penegakan hukum, yang
menekankan suatu penghukuman bagi perilaku kriminal.
Walaupun para pekerja sosial membutuhkan legitimasi di dalam
pelayanaan-pelayanan remaja pada awal abad ke-20, mereka
memainkan suatu peran terbatas di dalam pelayanan koreksi
orang dewasa.

Petugas peradilan kriminal sering memandang para pekerja


sosial, karena orientasi nilai mereka terhadap manusia, sebagai
kaum profesional yang kurang diterima, yang menganggap
mereka terlalu lembut untuk bekerja di bidang pelayanan
koreksi. Beberapa bias residual terhadap para pekerja sosial
di bidang penegakan hukum dan peradilan kriminal tetap ada
dewasa ini. Akan tetapi, baru-baru ini, para pekerja sosial telah

192 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
mengembangkan peran-peran baru mereka untuk memberikan
pelayanan-pelayanan sebagai berikut:

• Pelayanan-pelayanan rehabilitasi berbasis masyarakat


• Program-program yang bersifat mengalihkan perhatian
dari negatif kepada positif
• Dukungan-dukungan reintegrasi para narapidana ke dalam
masyarakatnya
• Konseling untuk penghuni penjara atau lembaga
pemasyarakatan
• Pelayaann-pelayanan sosial bagi keluarga-keluarga pelaku
kriminal
• Advokasi bagi para korban kejahatan

Untuk mencapai kredibilitas di dalam sistem peradilan


criminal public, para pekerja social harus dipersiapkan secara
pendidikan untuk emmahami kejahatan dan kenakalan,
perbedaan-perbedaan dalam bekerja dengan para klien
involuntir atau tidak sukarela, proses-proses penghukuman dan
prosedur-prosedur peradilan, serta peran-peran dari berbagai
kalangan _rofessional di dalam bidang lintas disiplin ini.
1) Kejahatan dan kenakalan. Secara sederhana dapat
dikatakan, kejahatan merupakan tindakan-tindakan atau
perilaku-perilaku yang bertentangan dengan hukum. Dengan
kata lain, kegiatan kriminal melanggar hukum-hukum dan kode-
kode moral. Para pelaku kriminal melakukan kejahatan terhadap
orang, harta benda, atau negara. Suatu rangkuman data statistik
kejahatan tahunan menentukan kecenderungan-kecenderungan

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 193
kejahatan yang didasarkan atas indeks kejahatan antara
lain pembunuhan dan pembantaian, pemerkosaan dengan
kekerasan, penyerangan yang menyakitkan, perampokan harta
benda, pencurian, dan pembakaran rumah dengan sengaja. Ini
juga mencakup indeks pelanggaran hukum yang ringan atau
penyerangan.

Data pendahuluan pada tahun 2002 memperlihatkan


suatu penurunan sebesar 0,2 persen dalam Indeks Kejahatan
Nasional dibandingkan dengan data pada tahun 2001 dan lebih
rendah secara signifikan daripada pada awal tahun 1990-an (U.
S. Department of Justice, 2003a, dalam DuBois & Miley, 2005:
303). Para remaja pelaku kejahatan diklasifikasikan sebagai
kenakalan atau sebagai orang-orang yang belum dewasa yang
membutuhkan bantuan. Perilaku nakal beragam mulai dari
pelanggaran, atau perilaku yang buruk khususnya para remaja
seperti lari dari rumah dan pelanggaran jam malam, hingga
pelanggaran hukum pidana. Kebanyakan rujukan kepada
peradilan remaja— 45 persen—adalah kejahatan harta benda.

Kejahatan terhadap manusia, hukuman yang paling serius,


mewakili 23 persen dari kasus-kasus kenakalan, pelanggaran
ketertiban umum mewakili 21 persen, pelanggaran obat-obatan
mewakili 11 persen (Sickmund, 2003, dalam & Miley, 2005: 304).
Beban kasus peradilan remaja adalah empat kali lebih banyak
sekarang daripada pada tahun 1960. Enam puluh empat persen
daris emua kasus kenakalan melibatkan para remaja berusia 15
tahun atau lebih muda dari itu.

194 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
Usia dimana yurisdiksi atau hak hukum dapat dilimpahkan
kepada peradilan-peradilan criminal dan keadaan-keadaan
yang memungkinkan pelepasan hak hukum ini berbeda dari
dari satu negara bagian ke negara bagian lain. Akan tetapi, ada
kecenderungan yang memudahkan para remaja diperlakukan
sebagai orang dewasa. Banyak cara yang digunakan untuk
mengenakan sanksi orang dewasa kepada para remaja
(Sickmund, 2003, dalam DuBois & Miley, 2005: 304).

Dua puluh tiga negara bagian dan District of Columbia


menggunakan setidak-tidaknya satu kondisi dimana tidak
ada usia minimum yang diperlakukan secara khusus untuk
melimpahkan remaja kepada peradilan kriminal (Sickmund,
2003, dalam DuBois & Miley, 2005: 304). Yang mengejutkan,
hampir 20.000 remaja dirumahkan di dalam penjara-penjara
orang dewasa, termasuk sekitar 3.500 remaja tinggal di dalam
ruang kehidupan yang sama dengan para narapidana dewasa
(Juvenile Court Centennial Initiative, n. d., dalam DuBois & Miley,
2005: 304).

Kegagalan untuk memisahkan para remaja dari para


narapidana dewasa menyebabkan mereka beresiko atas
penyerangan seksual, bunuh diri, dan residivisme. Suatu laporan
terbaru, And Justice for Some, mendeskripsikan keberagaman
rasial yang ada di dalam sistem peradilan remaja: Tiga dari
empat remaja yang dipenjarakan adalah kaum remaja minoritas;
para remaja yang hak hukumnya dilimpahkan kepada peradilan
kriminal pada umumnya ialah para remaja minoritas; dan
pemenjaraan adalah bentuk tindakan yang cenderung paling

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 195
banyak digunakan terhadap para remaja minoritas daripada
pelayanan-pelayanan berbasis masyarakat atau parole (Poe-
Yamagata & Jones, 2000, dalam DuBois & Miley, 2005: 304).

Sebanyak 20 persen para remaja yang berada di dalam


penjara mengalami gangguan-gangguan kejiwaan yang serius,
antara 20 hingga 50 persen mengalami gangguan hiperaktivitas
kekurangan perhatian, 12 persen mengalami keterbelakangan
mental, dan lebih dari 30 persen mengalami hambatan-
hambatan belajar (Aron & Mears, 2003, dalam DuBois & Miley,
2005: 304).

Di banyak negara bagian, para remaja dapat bertanggung


jawab atas perilaku buruk yang mereka lakukan yang tidak akan
dianggap sebagai perbuatan kriminal apabila mereka sudah
dewasa. Pelanggaran-pelanggaran status ini adalah perilaku-
perilaku bukan kriminal yang diklasifikaskan sebagai kenakalan.

Pelanggaran-pelanggaran status antara lain meliputi


lari dari rumah, membolos dari sekolah, perilaku yang tidak
dapat diperbaiki lagi, pelanggaran-pelanggaran jam malam,
dan pelanggaran-pelangaran terhadap ketentuan-ketentuan
konsumsi alkohol. Para petugas penegakan hukum merujuk
kurang sedikit dari setengah dari semua pelanggaran-
pelanggaran status kepada sistem peradilan (Sickmund, 2003,
dalam DuBois & Miley, 2005: 304).

Peradilan remaja mencakup kegiatan-kegiatan pada sistem


peradilan kriminal dan sistem kesejahteraan anak. Akibatnya,

196 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
pekerja sosial memiliki pengaruh dalam perkembangan peradilan
remaja. Dewasa ini, pekerja sosial cenderung terlibat di dalam
peradilan remaja daripada di dalam lembaga pemasyarakatan
orang dewasa.

2) Kejahatan dan hukuman. Sejumlah teori berusaha untuk


menjelaskan perilaku kriminal. Karya-karya sebelumnya,
seperti yang dihasilkan oleh Cesare Lombroso dan
William Sheldon, mendukung suatu hubungan antara
gambaran-gambaran fisik dengan kriminalitas.
Lombroso mengidentifikasikan gambaran-gambaran
fisik dan muka yang merupakan ciri dari bentuk-bentuk
awal perkembangan yang evolusioner. Ia mengaitkan
gambaran-gambaran fisik dan muka manusia ini dengan
kecenderungan-kecenderungan perbuatan kriminal.
Sheldon mengidentifikasikan jenis-jenis tubuh yang
khas yang meramalkan kepribadian dan temperamen
bahwa orang-orang tertentu memiliki kecenderungan-
kecenderungan untuk melakukan p e r i l a k u
kriminal. Teori-teori awal ini sudah ditolak dewasa ini.

Penjelasan-penjelasan fisik dan biologis pada awal


abad ke-20 tentang perilaku kriminal telah digantikan ketika
dukungan bagi penjelasan-penjelasan sosial dan psikologis
memperoleh penerimaan. Teori-teori psikologis dan teori-teori
pengendalian sosial menyajikan asal-mula perilaku kriminal
sebagai gangguan-gangguan kejiwaan atau tindakan-tindakan
antisosial.

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 197
Ada satu pertanyaan abadi yang menarik untuk
dijperdebatkan: Apakah suatu perbuatan kriminal harus
dihukum atau direhabilitasi? Walaupun tidak ada konsensus
tentang bagaimana berhadapan dengan kejahatan, posisi yang
kita ambil akan mempengaruhi bagaimana kita memandang
perilaku kriminal dan bagaimana kita memperlakukan para
pelaku kejahatan dan korban-korban mereka.

Posisi-posisi yang menonjol di dalam sejarah kepenjaraan


atau pemasyarakatan di Amerika Serikat antara lain meliputi
retribusi, deterrensi, rehabilitasi, reintegrasi, dan pengendalian
(Champion, 2001, dalam DuBois & Miley, 2005: 305). Retribusi
atau balas dendam (retribution) barangkali adalah tujuan tertua
dari sistem pemasyarakatan. Suatu motif balas dendam atau
doktrin “mata untuk satu mata” menggunakan hukuman untuk
memperoleh hasil seri. Retribusi ialah suatu faktor di dalam
model pengadilan akhir-akhir ini atau “ganjaran yang adil”.

Model ini memberikan hukuman atas kejahatan berat


untuk memberikan suatu ganjaran yang adil bagi para pelaku
kejahatan dan suatu perlindungan bagi masyarakat. Idealnya,
deterrensi (deterrence) ialah suatu strategi untuk mencegah
perilaku kriminal. Untuk mencapai tujuan ini, para pembuat
hukum menetapkan hukuman yang berat sesuai dengan
beratnya suatu kejahatan. Pelaksanaan hukuman menggunakan
prinsip keadilan yang distributif atau merata.

Filosofi ini mempromosikan pengembangan sanksi-sanksi


criminal bagi semua pelaku kejahatan, pedoman -pedoman

198 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
pemberian hukuman yang harus dipatuhi oleh lembaga-
lembaga pengadilan. Sebagai salah satu tujuan pemenjaraan
atau pemasyarakatan, rehabilitasi (rehabilitation) berasal
dari gerakan reformasi pada akhir abad ke-19. Zebulon Reed
Brockway, kepala lembaga pemasyarakatan pertama di Elmira
State Reformatory di Negara Bagian New York, adalah seorang
penggerak reformasi pemenjaraan atau pemasyarakatan
yang sangat yakin akan manfaat rehabilitasi yang lebih besar
daripada penghukuman. Brockway mengadvokasikan pelatihan
pendidikan dan kejuruan, pembatasan pemebrian hukuman, dan
parole (Champion, 2001; Quam, 1995, dalam DuBois & Miley,
2005: 305).

Para pelaku kejahatan diborgol atau ditahan di dalam


suatu lembaga penjara untuk membatasi kebebasan mereka
dan mereformasi perilaku mereka. Rehabilitasi menekankan
pendidikan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan
kejuruan. Program-program yang dirancang untuk mencapai
tujuan reintegration (reintegrasi) dari pemenjaraan membantu
para pelaku kejahatan itu, setelah mereka keluar dari penjara,
untuk menyesuaikan diri mereka sendiri dengan masyarakat.
Rumah-rumah singgah dan pusat-pusat pelayanan lainnya
membantu peralihan para pelaku kejahatan itu ke dalam
kehidupan masyarakat.

Terakhir, program-program yang berbasiskan masyarakat


yang menyelenggarakan supervisi dan pemantauan yang
intensif dimana kira-kira para pelaku kejahatan berada dan
control (control, pengendalian) perilaku para pelaku kejahatan

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 199
yang tetap tinggal di tengah-tengah masyarakat.

3) Sistem peradilan criminal. Ada tiga komponen utama sistem


peradilan kriminal yaitu penegakan hukum, pengadilan,
dan pemasyarakatan. Para petugas penegakan hukum
melayani berbagai wilayah kerja antara lain Kepolisian
Sektor (Polsek) Kepolisian Resort (Polres), Kepolisian
Wilayah (Polwil), Kepolisian Daerah Polda), dan petugas
penyelidikan lainnya.

Para petugas penegakan hukum menyelidiki laporan-


laporan tentang kejahatan dan menahan, memenjarakan, dan
melakukan sangkaan. Orang-orang yang diduga melanggar
hukum memasuki sistem peradilan untuk memperoleh dengar
pendapat tentang sangkaan awal, dakwaan, dan hukuman.
Para petugas di dalam sistem peradilan antara lain terdiri dari
jaksa penuntut dan jaksa pembela serta hakim pengadilan.
Hakim mengukum orang-orang yang ditemukan bersalah. Opsi-
opsi penghukuman antara lain meliputi pemenjaraan, denda,
pengawasan pengadilan, dan/atau pelayanan masyarakat (kerja
bakti masyarakat). Terakhir, lembaga-lembaga pemasyarakatan
meliputi rumah tahanan polisi, rumah tahanan jaksa, dan
lembaga pemasyarakatan.

4) Peran pekerjaan sosial di dalam peradilan kriminal. Pekerja


sosial dapat menelusuri akar-akar ilmu sosialnya pada abad
ke-19 ke dalam Konferensi Nasional Amal dan Koreksi dan
dengan demikian ke dalam kepedulian terhadap peradilan
criminal (Miller, 1995, dalam DuBois & Miley, 2005: 307).

200 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
Sementara penitikberatan terhadap profesi pada awal
abad ke-20 bergerak jauh dari bidang pemasyarakatan orang
dewasa, para pelopor awal pekerjaan sosial seperti Jane
Addams dan Sophonisba Breckenridge, memelopori gerakan
untuk memisahkan sistem peradilan para remaja dari sistem
peradilan orang dewasa Usaha-usaha mereka mengarah kepada
pengembangan sistem peradilan para remaja di Negara Bagian
Illinois, peradilan para remaja pertama di Amerika Serikat.

Perundang-undangan ini menegaskan tiga gambaran yang


khas gerakan peradilan para remaja:
(a) pengembangan suatu lembaga peradilan yang terpisah
dari anak-anak karena anak-anak adalah berbeda,
(b) pengakuan bahwa peradilan remaja bukanlah suatu
peradilan kriminal, tetapi suatu peradilan sipil, yang
menitikberatkan rehabilitasi dan penyembuhan anak-anak,
dan
(c) pengembangan suatu sistem pembebasan bersyarat.
(Lathrop, 1917 dalam Roush, 1996, dalam DuBois & Miley,
2005: 307).

Para pekerja sosial profesional mengambil bagian dalam


masing- masing bidang sistem peradilan kriminal. Pekerja
sosial kepolisian (police social worker) sering bekerja dengan
para petugas penegakan hukum di dalam situasi-situasi yang
melibatkan kekerasan dalam rumahtangga, penganiayaan anak,
dan jenis-jenis viktimisasi lainnya.

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 201
Sebagai pekerja sosial forensik atau spesialis di dalam
bidang-bidang praktek lainnya, pekerja sosial terpanggil untuk
memberikan ksaksian pengadilan. Sebagai petugas peradilan
remaja, pekerja sosial mensupervisi para pelaku kenakalan,
merancang penempatan di lembaga pemasyarakatan remaja,
dan bekerja di dalam berbagai program.

Di dalam peradilan orang dewasa, pekerja sosial yang


merupakan petugas probasi dan parole memantau kegiatan-
kegiatan para pelaku kejahatan dan menyiapkan laporan-
laporan untuk peradilan dalam rangka rehabilitasi para pelaku
kejahatan. Terakhir, pekerja sosial di lembaga-lembaga koreksi
atau pemasyarakatan menyelenggarakan kelompok-kelompok
penyembuhan dengan para narapidana dan memberikan
pelayanan-pelayanan dan rujukan-rujukan keluarga.

(a) Pekerja sosial kepolisian (police social worker) Polisi


seringkai dipanggil untuk merespons masalah-masalah
yang berwarna pelayanan social seperti perselisihan
keluarga, situasi-situasi kekerasan dalam rumahtangga
(penganiayaan anak, pasangan, orangtua), penyerangan
seksual, dan jenis-jenis viktimisasi lainnya.

Pekerja sosial yang dipekerjakan oleh dinas kepoliian


bekerja sama secara erat dengan para petugas penegakan hukum
di dalam situasi-situasi yang menuntut kerjasama lintas profesi.
Sebagai anggota dari suatu tim penegakan hukum, perkerja
sosial menerima rujukan-rujukan atas masalah-masalah yang

202 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
berkaitan dengan keluarga. Pertimbangan-pertimbangan khusus
bagi rujukan-rujukan para remaja antara lain ialah perilaku lari
dari rumah, vandalisme, membolos dari sekolah, kepemilikan
obat-obat terlarang, pencurian dan masalah di rumah.

Rujukan-rujukan juga mencakup antara lain permintaan


orangtua untuk memperoleh bantuan atas perilaku anak-anak
mereka, konflik dengan tetangga, pertengkaran, dan dugaan
penganiayaan anak dan penganiayaan orangtua (Treger, 1995,
dalam DuBois & Miley, 2005: 309).

Kewenangan badan penegakan hukum benar-benar dapat


membantu dalam melakukan rujukan-rujukan kepada badan-
badan penegakan hukum yang ada di dalam masyarakat.
Tanggung jawab khusus pekerja sosial kepolisian antara lain
ialah meliputi:
(1) mengembangkan relasi kerja yang erat dengan badan-
badan yang memberikan pelayanan-pelayanan medis
darurat, psikiatrik, dan pekerjaan sosial;
(2) memberikan asesmen diagnostik awal atas klien yang
dirujuk kepada pekerja sosial oleh petugas kepolisian,
melakukan rujukan-rujukan yang sesuai kepada badan-
badan setempat, dan menindaklanjutinya untuk memastikan
bahwa pelayanan-pelayanan telah diberikan;
(3) memberikan pelatihan dalam-jabatan kepada para petugas
kepolisian dalam teknik-teknik intervensi krisis; dan
(4) bekerja selama 24 jam sehari untuk berfungsi sebagai
penyangga sumberdaya bagi para petugas kepolisian laki-

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 203
laki dan para petugas kepolisian perempuan yang sedang
melakukan patroli. (Roberts, 1983: 101, dalam DuBois &
Miley, 2005: 309).

Kerjasama dengan petugas pelayanan sosial memudahkan


dinas kepolisian untuk memberikan pelayanan-pelayanan
intervensi awal yang berorientasikan krisis, untuk memberikan
para petugas dinas kepolisian alternatif-altenatif dalam
menghadapi masalah-masalah yang berorientasi sosial, untuk
menerima konsultasi dan asesmen pelayanan sosial yang
segera, untuk mengembangkan relasi yang efektif antara sistem
penegakan hukum dan sistem pelayanan sosial, dan untuk
memberikan rujukan-rujukan kepada pelayanan-pelayanan yang
berbasiskan masyarakat yang sesuai (Corcoran, Stephenson,
Perryman, & Allen, 2001; Dean et al, 2000; Treger, 1995, dalam
DuBois & Miley, 2005: 309).

(b) Kesaksian pengadilan dan pekerjaan sosial forensic.


Apakah bekerja di dalam peradilan kriminal atau di bidang-
bidang praktek lainnya, pekerja soaial dapat dipanggil untuk
memberikan kesaksian pengadilan. Untuk mempersiapkan diri
mereka dalam berinteraksi dengan sistem peradilan, pekerja
sosial harus “ mengetahui lebih banyak bagaimana hukum-
hukum dibuat, diubah, dan diperkuat” (Barker & Branson, 2000:
12, dalam DuBois & Miley, 2005: 309).

Mereka juga harus memahami landasan prosedur-prosedur


pengadilan,peran-peran berbagai petugas yang berkaitan dengan
pengadilan, peraturan-peraturan untuk memperoleh bukti, dan

204 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
persyaratan-persyaratan hukum yang berkaitan dengan relasi
dan kewajiban-kewajiban mereka kepada klien mereka. Sebagai
saksi pengadilan, pekerja sosial harus memberikan informasi
yang akurat yang didasarkan atas pengetahuan pribadi mereka.
Kesaksian yang efektif menyajikan fakta-fakta secara jelas dan
mengindari penggunaan jargon.

Catatan-catatan yang akurat adalah penting dan kadang-


kadang dapat diperiksa sebagai bukti. Sebagai contoh, kasus-
kasus perlindungan anak diperdengarkan melalui pengadilan
remaja dan pengadilan keluarga. Pekerja sosial kesejahteraan
anak memberikan kesaksian pada hal-hal yang berkaitan
dengan penganiayaan, penerlantaran, pengakhiran hak-hak
pengasuhan, dan perencanaan permanensi (dimana klien akan
tinggal menetap).

Untuk mempersiapkan diri tampil di muka pengadilan,


pekerja sosial harus mengumpulkan dokumen-dokumen dari
kegiatan-kegiatan kasusnya, catatan-catatan studi kasus,
bahan-bahan asesmen, dan, demi kredibilitasnya sebagai saksi
ahli, daftar riwayat hidup yang menjelaskan pengalaman-
pengalamannya.

Pekerja sosial forensik mengkhususkan diri d`lam bekerja


di dalam sistem hukum, Secara khusus, kegiatan-kegiatannya
antara lain meliputi “memberikan kesaksian ahli di dalam
pengadilan-pangadilan hukum, menyelidiki kasus-kasus tentang
kemungkinan tindakan kejahatan, memb`ntu sistem hukum
dalam isu-isu seperti perselisihan pengasuhan anak, perceraian,

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 205
tidak memberikan s`ntunan, kenakalan, penganiayaan pasangan
atau anak, komitmen rumah sakit jiwa, dan tangfung jawab para
kerabat” (Barker & Branson, 2000: 1, dalam DuBois & Miley,
2005: 309).

(c) Pelayanan-pelayanan peradilan remaja. Sejumlah isu


kebijakan utama nampak di muka pengadilan remaja,
khususnya yang berkaitan dengan pemrosesan penagdilan
formal. Isu-isu ini antara lain ialah program-program
pengalihan pengadilan untuk mencegah ketelibatan lebih
lanjut di dalam sistem pengadilan kriminal, implikasi
penahanan dan pemenjaraan para remaja, sifat bukan
kriminal dari pelanggaran-pelanggaran status, sanksi
hokum dari alternative-alternatif penyembuhan, dan
perlindungan sebagai akibat dari rposes pengadilan
(McNeece, 1983, dalam DuBois & Miley, 2005: 310).

Para pengkritisi sistem peradilan remaja mengajukan


pendapat dari dua sudut pandang yang berbeda. Beberapa
kalangan berpendapat bahwa pengadilan-pengadilan para
remaja memanjakan para pelaku kriminal remaja, sementara
para pengkritisi lainnya berpendapat bahwa wilayah kerja
pengadilan menstigmatisasikan para remaja dan mendorong
perilaku criminal. Para pendukung menyarankan bahwa bantuan
dapat dan harus menjadi ranah pengadilan remaja.

Para praktisioner pekerjaan social yang dipekerjakan di


seting-seting peradilan remaja membuat keputusan-keputusan
penyymbuhan, menangani pelangagarn-pelangagran status

206 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
yang bukan criminal dan maslahmasalah yang berkaitan
dengan keuarga, emngadvokasikan hak-hak hokum remaja, dan
menciptakan suatu sistem peradilan remaja yang manusiawi
dan setara (McNeece, 1983, dalam DuBois & Miley, 2005: 310).

Para remaja dapat memperoleh manfaat dari program-


program pengalihan untuk mereformasikan perilaku mereka
dan mencegah keterlibatan penagdilan formal. Pekerja social
memberikan supevisi kepada para remaja di dalam program-
program pengalihan dan penahanan, mengubungkand engan
sistem eksejahteraan anak, sekolah, keluarga, dan memberikan
kosneling kepada para remaja.

Pekerja sosial aktif di dalam pencegahan kenakalan


melalui berbagai usaha-usaha yang berbasiscan masyarakat.
PuSat Nasional Asesmen Perilaku Remaja dan Pencegahannya
eengidentifikasikan sejumlah pendekatan-pendekatan terhadap
pencegahan kenakalan.

Strategi-stratega ini antara lain meliputi pengoreksian


atau pengendalian kondisi-kondisi biologis dan keadaan-
keadaan psikologis yang sulit menyesuaikan diri, mengubah
kofdisi-kondisi lingkungan, mengembangkan jejaring sosial,
membatasi hubungan atau perjumpaan para remaja yang
nakal dengan para pelaku kriminal, memberdayakan para
remaja untuk melakukan pemecahan masalah yang lebih dapat
diterima secara sosial, meningkatkan peran-peran hukum,
memberikan kesemparan-kesempatan kegiatan rekreasi
yang positif, meningkatkan pendidikan dan pengembangakn

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 207
keterampilan, mengidentifikasikan harapan-harapan sosial
yang konsisten, memberikan sumberdaya-sumberdaya ekonomi
yang mencukupi, mencegah para remaja dari upaya melakukan
tindakan-tindakan kenakalan, dan menghilangkan label remaja
yang tidak semestinya sebagai orang nakal (Castelle, 1987,
dalam DuBois & Miley, 2005: 310).

(d) Probasi dan parol. Probation (probasi) ialah suatu opsi


atau pilihan penghukuman yang menunda pemenjaraan.
Ini menspesifikasikan suatu periode waktu selama mana
individu-individu yang sedang berada di bawah supervisi
atau pengawasan dapat memperlihatkan perilakunya
yang sesuai. Hakim menunda pemenjaraan berdasarkan
kondisi bahwa individu-individu memenuhi syarat-syarat
probasinya, yang meliputi kunjungan-kunjungan secara
berkala ke pengadilan yang ditunuk oleh petugas probasi
(Barker, 2003, dalam DuBois & Miley, 2005: 310).

Probasi bermula di Boston, Negara Bagian Massachusetts,


Amerika Serikat, pada pertengahan tahun 1800-an melalui
usaha-usaha kepeloporan John Augustus dan para reformator
sosial serta para filantropis lainnya. Sukarelawan program
probasi yang merehabilitasi para pencuri kecil-kecilan dan
pemabuk digantikan pada tahun 1878 dengan suatu ketentuan
yang memberi kewenangan kepada Walikota Boston untuk
mengembangkan suatu program dan menggaji petugas probasi
(Champion, 2001, dalam DuBois & Miley, 2005: 310).

208 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
Petugas pengadilan yang mensupervisi atau mengawasi
probationers and parolees (para pelaku kenakalan atau kejahatan
yang diberikan program probasi dan parol) seringkali adalah
pekerja sosial. Akhir-akhir ini, petugas probasi, apakah yang
bekerja dengan para remaja atau orang dewasa, mempersiapkan
informasi sejarah sosial atau studi kasus untuk memantu dalam
pembuatan keputusan resmi. Pekerja sosial juga memberikan
supervise dan pelayanan-pelayanan casework kepada para
pelaku kenakalan atau kejahatan yang sedang berada di bawah
pelayanan probasi.

Parole (parol) ialah suatu program yang memberikan


jaminan pembebasan awal dari penjara sebelum para pelaku
kenakalan atau kejahatan menyelesaikan hukumannya
sepenuhnya. Hakim mendasarkan keputusan-keputusannya
untuk memberikan parol atas bukti perilaku yang baik dan
rehabilitasi. Petugas pengadilan mensupervisi parolees (para
pelaku kenakalan atau kejahatan yang diberikan program parol)
untuk memastikan bahwa mereka menindaklanjuti pelaksanaan
kesepakatan-kesepakatan parolnya. Para petugas probasi dan
parol harus berhadapan dengan fungsi ganda mereka yaitu
menegakkan hukum dan memberikan pelayanan-pelayanan
casework.

Mereka bertindak sebagai pelaku pengendalian sosial


(agents of social control) untuk meresosialisasikan para pelaku
kenakalan atau kejahatan melalui pelayanan-pelayanan yang
mereka berikan. Di dalam kenyataan, banyak kalangan yang
memperdebatkan apakah pekerja sosial ini memiliki hak untuk

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 209
melakukan sesuatu yang berada di luar kendali atau pengawasan
karena hak-hak sipil para pelaku kenakalan atau kejahatan itu
(Cunningham, 1983, dalam DuBois & Miley, 2005: 311).

Pekerja sosial yang bekerja di bidang pelayanan probasi


dan parol—di Indonesia adalah Balai Pemasyarakatan (Bapas),
dahulu Bimbingan Sosial Pengentasan Anak (Bispa) di bawah
naungan Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia— dapat
memfasilitasi solusi-solusi masalah, menghubungkan klien
dengan sumberdaya-sumberdaya masyarakat yang sesuai, dan
mengajarkan mereka perilaku-perilaku yang dapat diterima
untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat yang taat hukum.

Bekerja sebagai seorang petugas pengadilan menyaratkan


untuk bekerja di dalam kerangka waktu yang ditentukan secara
tegas oleh pengadilan, mempersiapkan dokumen-dokumen
hukum, meningkatkan keterampilan-keterampilan kerjasama
tim, dan sering mengkoordinasikan berbagai komponen di
dalam sistem pelayanan pengadilan. Isu-isu etis muncul di
seputar kerahasiaan yang terbatas, sikap tidak menghakimi
(khususnya ketika perilaku klien menjijikkan atau kejahatan
yang dilakukannya sangat mengerikan), dan lokasi tanggung
jawab utama—klien dan/atau masyarakat (Scheurell, 1983,
dalam DuBois & Miley, 2005: 311).

(e) Pekerjaan sosial di bidang koreksi. Para pekerja sosial yang


bekerja di lembaga-lembaga pemasyarakatan memberikan
dua jenis pelayanan yaitu pelayanan-pelayanan pendukung
di dalam lembaga dan melakukan hubungan-hubungan

210 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
dengan sumberdaya-sumberdaya yang ada di dalam
masyarakat (Ivanoff, Smyth, & Finnegan, 1993, dalam
DuBois & Miley, 2005: 311).

Di dalam lembaga-lembaga pemasyarakatan, pelayanan-


pelayanan pekerjaan sosial dapat dimanfaatkan di bidang-
bidang kesehatan jiwa, penyalahgunaan obat-obat terlarang,
pendidikan, dan rehabilitasi kerja. Keterampilan-keterampilan
mengkoordinasikan kasus juga penting karena hakekat masalah-
masalah yang berwajah banyak yang menuntut berbagai
pelayanan-pelayanan.

Pekerja sosial dapat bekerja dengan klien secara individual


dan di dalam kelompok-kelompok kecil untuk membantu mereka
melakukan perubahan-perubahan perilaku dan menyesuaikan
diri dengan kehidupan penjara dengan menghadapi serangkaian
masalah-masalah penjara seperti kekerasan, penyerangan
seksual, viktimisasi psikologis, pemerasan untuk memperoleh
perlindungan, homoseksualitas, perselisihan antarras, dan
kecanduan bahan-bahan kimia.

Sebagai suatu sumber pemberdayaan, interaksi-interaksi


di kalangan perempuan di dalam kelompok-kelompok memiliki
potensi untuk mengubah hal-hal yang negatif, menemukan
kekuatan-kekuatan, dan mengidentifikasikan sumberdaya-
sumberdaya yang akan menguntungkan bagi kaum perempuan
di dalam dan di luar penjara (O’Brien, 2001: 48, dalam DuBois &
Miley, 2005: 311).

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 211
Selanjutnya, “setiap orang yang melakukan pekerjaan
di dalam penjara harus memahami konteks pemenjaraan
kaum perempuan dan tidak seimbangnya jumlah orang-orang
Afrika-Amerika Serikat dan, di beberapa negara bagian, kaum
perempuan Latin yang dipenjarakan”. Pekerja sosial juga
memberikan pelayanan-pelayanan di bidang-bidang “advokasi,
broker, dan linkage (perantaraan) antara individu-individu yang
dipenjarakan dengan ikatan-ikatan sosial masyarakat dimana
ia menjadi anggotanya” (Ivanoff, Smyth, & Finnegan, 1993: 140,
dalam DuBois & Miley, 2005: 311).

Pelayanan-pelayanan pembangunan jaringan ini dapat


menguntungkan bagi para penghuni penjara itu sendiri dan
keluarga mereka. Selain itu, “masukan pekerja sosial dapat
mempengaruhi keputusan-keputusan yang berkaitan dengan
gerakan penghuni penjara di dalam dan di antara lembaga-
lembaga pemasyarakatan serta keputusan-keputusan yang
dibuat oleh dewan parol dan di dalam dengar pendapat yang
berkompeten”. Lalu, bagaimana peran pekerjaan sosial dengan
keluarga para narapidana?

Pekerja sosial dapat dilibatkan dengan keluarga-keluarga


para narapidana sebagai anggota keluarga yang berhadapan
dengan akibat-akibat dari pemenjaraan. Pada tahun 1999,
sebanyak 1,5 juta anak-anak di Amerika Serikat memiliki satu
orangtua yang berada di penjara (Mumole, 2000, dalam DuBois
& Miley, 2005: 311). Keluarga-keluarga dapat mengalami krisis
pada saat penangkapan dan penahanan, dimana pemberitahuan
dapat ditunda, kunjungan dibatasi, prosedurnya tidak jelas.

212 Pekerjaan Sosial:


Teori dan Metodologi
Pada saat penghukuman, keluarga-keluarga harus
menghadapi kenyataan-kenyataan penahanan pada masa yang
akan datang dan kebutuhan untuk merencanakan ketidakadaan
satu orangtua atau anggota keluarga lainnya. Selama masa
pemenjaraan, keluarga harus meningatkan peran anggota-
anggotanya, dan pada saat yang bersamaan harus berjuang
dengan birokrasi penjara yang rumit.

Pembebasan anggota keluarga menghasilkan suatu krisis


keempat yaitu bagaimana menghadapi kepulangan anggota
keluarga yang mantan narapidana itu kembali ke dalam
kehidupan keluarga sehari-hari. Pekerja sosial dan petugas
pelayanan kemanusiaan lainnya dapat menjadi faktor yang
sangat menentukan dalam melakukan intervensi dengan
keluarga-keluarga pada saat krisis dengan menawarkan
dukungan yang positif, memberikan informasi yang konkret, dan
mengantisipasi peristiwa-peristiwa dengan penuh perencanaan
(Carlson & Cervera, 1991, dalam DuBois & Miley, 2005: 312).

Pekerjaan Sosial:
Teori dan Metodologi 213

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai