Anda di halaman 1dari 13

PENDIDIKAN DAN PARADIGMA SOSIOLOGIS

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Sosio-Antropologi Pendidikan

Dosen Pengampu : Achmad Abdul Aziz, M.Pd.

Oleh :

1. Ahmad Najih Musoffa Fuadi (2220151143)

2. (2220151)

KELAS A2 EKSTENSI/SEMESTER III

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN


INSTITUT AGAMA ISLAM KHOZINATUL ULUM BLORA

TAHUN AKADEMIK 2023


KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh.
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi
kita limpahan rahmat, taufiq, hidayah, serta inayahnya penyusun dapat
menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa ada halangan yang berarti dan sesuai
dengan harapan.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Bapak Achmad Abdul Aziz,
M.Pd. sebagai dosen pengampu mata kuliah Sosio-Antropologi Pendidikan yang
telah membantu memberikan arahan dan pemahaman dalam penyusunan makalah
ini, Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Serta kepada
teman teman yang telah memberikan semangat bagi kami.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak


kekurangan karena keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat
mengharapkan kitik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa
yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Blora, 12 September 2023

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah salah satu hal yang penting dalam kehidupan manusia,
tanpa pendidikan manusia tidak akan maju, pada dasarnya segala hal yang kita
alami ini adalah berassal dari ilmu, ilmu dan ilmu. Sedangkan ilmu itu sendiri
berdasarkan dari pendidikan. Berdasarkan perkembangan jaman pendidikanpun
berkembang dan sudut pandang manusiapun maju terhadap ilmu pendidikan.
Timbal balik dari semuanya itu diantaranya adalah munculnya sudut pandang dan
pola pola pemikiran yang berbeda-beda. Salah satu ciri pola pemikiran masyarakat
modern sekarang adalah selalu ingin terjadi adanya perubahan yang lebih baik
(improvement oriented). Hal ini tentu saja menyangkut berbagai bidang, tidak
terkecuali bidang pendidikan. Pendidikan tidak dapat terlepas dari masyarakat dan
hanya dapat terlaksana dalam circle masyarakat. Tidak ada suatu proses pendidikan
tanpa kebudayaan dan tanpa masyarakat, demikian pula sebaliknya. Pendidikan
hanya dapat berlangsung dan terlaksana dalam hubungan antarmanusia di dalam
suatu masyarakat tertentu.
Berbicara tentang manusia pasti tidak luput dari kata sosial. Tak bisa
dipungkiri lagi jika manusia adalah makhluk sosial yang bermakna makhluk yang
tidak bisa hidup sendiri. Sosiologi sendiri dalam pandangan pertama bagi kita
berarti sesuatu yang behubungan dengan aspek-aspek manusia dan
lingkungan/lebih familiar dengan hubungan masyarakat. Dari adanya perkumpulan
manusia dan perbedaan kultur, budaya, atau perbedaan hubungan antar sesama
menjadikan adanya perbedaan pandangan pola pikir bagi mereka. Dalam
menganalisis berbagai fenomena pendidikan di Indonesia diperlukan instrumen
lengkap dimulai dari level paradigma, perspektif, teori, konsep, dan pilihan
metodologi. Dengan kata lain, upaya penelitian dalam mencari penjelasan dan
perubahan signifikan dalam dunia sosial, khususnya fenomena pendidikan,
menuntut logika berpikir konsisten sejak dari pola pikir yang dipilih hingga pilihan
metode yang tepat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari paradigma?
2. Bagaimana pembagian dan penjelasan paradigma sosiologis?
3. Bagaimana pandangan paradigma kritis dalam pendidikan?
4. Bagaimana relevansi pendidikan kritis?
5. Apa saja perspektif dalam sosiologi?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari paradigma.
2. Untuk mengetahui pembagian dan penjelasan paradigma sosiologis.
3. Untuk mengetahui pandangan paradigma kritis dalam pendidikan.
4. Untuk mengetahui relevansi pendidikan kritis.
5. Untuk mengetahui perspektif dalam sosiologi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Paradigma
Paradigma secara umum diartikan sebuah gambaran dasar dari pokok
masalah ilmu. Secara terperinci paradigma itu sendiri mengandung beberapa
pengertian:
Model-model pembelajaran memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Cara memandang sesuatu.
2. Model, Pola dari fenomena masalah yang dipandang/dijelaskan.
3. Totalitas premis (ide) secara teoretis maupun metodologis yang
menentukan atau mendefinisikan suatu studi ilmiah secara konkret.
4. Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan
problem-problem riset.
Paradigma adalah gambaran dasar dari pokok perhatian dalam sebuah
ilmu. Ia berfungsi untuk mendefinisikan apa yang harus dikaji, pertanyaan apa
yang ditanyakan, bagaimana untuk menanyakannya, dan kaidah-kaidah apa
yang harus diikuti dalam menginterpretasikan jawaban yang didapatkan.
Paradigma adalah unit konsensus yang terluas di dalam sebuah ilmu dan
berfungsi untuk membedakan sebuah komunitas ilmiah (atau subkomunitas)
dari yang lain1.
B. Paradigma Sosiologis
Menurut George Ritzer dalam buku Sociological Theory, Edisi kedelapan.
Ia mengkategorikan paradigma dalam ilmu sosial dalam 4 kategori:
1. Paradigma fakta sosial
Paradigma sosial berasumsi bahwa individu akan senantiasa tunduk
total terhadap struktur dan atau fakta sosial non material. Individu tidak
akan berdaya terhadap fakta sosial yang terus mengatur dalam aktivitas
sosialnya sehari-hari karena itu individu tidak akan mampu menjadi agen
atau mengonstruksi ulang terhadap struktur yang mengekangnya. Semua
aktivitas politik, ekonomi, dan sosial, dan budaya akan menuruti struktur
atau fakta sosialnya2.

1
S.W. Septiarti, DKK. Sosio Antropologi Pendidikan. (Yogyakarta: UNY Press, 2017) hal. 8
2
S.W. Septiarti, DKK. Sosio Antropologi Pendidikan. (Yogyakarta: UNY Press, 2017) hal. 10
Sebagai ilustrasi misalnya seorang santri bangun tidur dari sebelum shubuh
hingga mengikuti kegiatan sekolah formal di kampus akan tampak terlihat
ketidakberdayaannya terhadap fakta sosialnya. Ketika ia masih di pondok
sudah banyak aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang harus
ditaatinya mulai di mana kamarnya, tempat mandi, tempat menjemur
pakaian, hingga aturan adab. Begitupun disemua tempat yang lainnya, Jadi
sebagai individu, orang tersebut secara praktis tidak ada ruang gerak untuk
bertindak bebas sesuka hatinya, semuanya harus mengikuti kehendak fakta
sosial yang memaksanya, tidak diatur oleh struktur secara ketat, sehingga
aktivitas berjalan rutin, reguler, formal, dan lama-lama menjadi terpola.
Fakta sosial lebih mungkin menggunakan metode kuesioner-
wawancara. Pilihan atas asumsi struktural seperti ini pilihan metodologinya
lebih menggunakan penelitian kuantitatif. Oleh karena itu, penelitian
kuantitatif ini bersifat verifikatif, dengan artian menguji berlaku atau
tidaknya asumsi teori yang dibangun kemudian diuji di lapangan. Secara
prosedural, penelitian kuantitatif (penelitian survei) dimulai dari
menetapkan fenomena yang akan menjadi fokus penelitian, identifikasi
teori relevan, merumuskan hipotesis, mengidentifikasi variabel, membuat
kerangka konseptual yang berisi hubungan antarvariabel, mengidentifikasi
indikator variabel, membuat kisi-kisi instrumen, dan akhirnya membuat
kuesioner yang item-item pertanyaannya sesuai dengan indikator
variabelnya. Kemudian kuesioner disebar ke lapangan untuk memperoleh
data yang dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah melalui prosedur
analisis verikatif, untuk membuktikan apakah hipotesis ini diterima atau
ditolak. Jika diterima berarti teori masih berlaku, jika ditolak berarti asumsi
teorinya rontok3.
Paradigma fakta sosial mencakup sejumlah perspektif teoretik, seperti
struktural fungsional, teori konflik, dan teori sistem. logika ilmu
pengetahuan atau sain digunakan dalam mencari kebenaran dalam ilmu
sosial, meskipun fenomenanya tidak bersifat konstan dan tetap. Peristiwa
sosial dianggap memiliki gejala yang tetap seperti halnya gejala alam yang
menjadi objek utama penyelidikan ilmu alam. Ini mau tidak mau harus

3
S.W. Septiarti, DKK. Sosio Antropologi Pendidikan. (Yogyakarta: UNY Press, 2017) hal. 14
menempatkan orang sebagai objek yang tunduk pada struktur sosial atau
sistem aturan dan nilai yang telah disepakati bersama.
2. Paradigma definisi sosial
Tokoh utamanya yang yang menjadi rujukan dalam paradigma ini
adalah Max Weber dan pengikut-pengikutnya. Paradigma ini menjadi
berkebalikan dengan paradigma fakta sosial. Dalam pandangan ini,
Individu adalah makhluk kreatif yang mampu atau setidaknya berpotensi
menawar dan bernegosiasi dengan struktur sosial pengekangnya 4. Pada
prinsipnya manusia baik sebagai individu maupun kelompok, memiliki
kemampuan untuk mendefinisikan dunia sekitarnya melalui aktivitas
interpretasi, pemaknaan, dan pemahaman.
Sebagai subjek aktif, menurut pola pikir definisi sosial manusia tidak
tunduk total terhadap struktur, tetapi akan selalu melakukan penawaran,
negosiasi, dan bahkan resistensi (pertentangan) terhadap kekuatan kontrol
dari struktur-struktur sosial. Melalui metode verstehen, mengandaikan
bahwa setiap individu memiliki kemampuan untuk memahami,
menginterpretasi (memberikan pandangannya), dan memaknai dunia
sekitarnya sebagaimana tercermin pada tindakan sosialnya.
Penggunaan pola pikir ini berkebalikan dengan fakta sosial, jika dalam
pendidikan siswa berarti subjek pasif dalam paradigma ini seorang siswa
akan menjadi subjek yang aktif. Kemampuan pemahaman orang
mendapatkan peluang untuk mengonstruksi terhadap realitas sosial, dengan
demikian orang juga mampu mendefinisikan dunia sosialnya. Penempatan
manusia sebagai subjek aktif seperti inilah yang kemudian memberikan
konstribusi signifikan terhadap perspektif dan teori dalam ilmu pendidikan.
Setiap teori dalam ilmu pendidikan yang menempatkan siswa sebagai
subjek aktif dapat dikatakan bahwa rujukan asumsi-asumsi teoretiknya
sedikit banyak terpengaruh oleh paradigma definisi sosial yang
eksemplarnya adalah karya Weber. Contoh semisal dalam teori ini adalah
pembelajaran yang dikenal sebagai student center, yang menempatkan
peserta didik sebagai subjek aktif yang berpotensi memaknai,
mengonstruksi, dan bahkan menolak pada setiap informasi pembelajaran.
Di sini peserta didik bukanlah objek sebagaimana prinsip pembelajaran
4
S.W. Septiarti, DKK. Sosio Antropologi Pendidikan. (Yogyakarta: UNY Press, 2017) hal. 20
teacher center, yang menempatkan guru serba tahu dan satu-satunya
sumber pengetahuan5. Dalam kemampuan mengonstruksi realitas itulah,
kemudian murid terlibat secara aktif dalam proses produksi pengetahuan.
Ruang kelas adalah arena bebas dan merdeka bagi siswa untuk
mengembangkan imajinasinya, dan karena itu siswa terus terlibat dalam
adu argumen, curah pendapat, dan terus terlibat berdebatan.
3. Paradigma perilaku sosial
Paradigma ketiga perilaku sosial memiliki asumsi-asumsinya yang
berbeda dengan paradigma definisi sosial. Akan tetapi ada kesamaan
dengan paradigma fakta sosial, terutama asumsinya terhadap posisi
individu yang tunduk pada struktur sosial. Individu bukan lagi menjadi
subjek aktif, tetapi pasif yang bisa dikontrol oleh struktur sosial yang
bermuatan nilai, sistem aturan, dan institusional 6. Karya yang menjadi
rujukan paradigma perilaku sosial ini adalah B.F. Skiner, seorang psikolog.
Para penganut paradigma ini sering disebut sebagai kalangan behavioris
yang percaya bahwa perilaku individu dapat dikontrol oleh kehendak si
pengontrol secara paradigmatik (pola pikir) tetap berasumsi bahwa perilaku
sosial bisa dikendalikan dan sekaligus dikehendaki oleh si pengendali.
Berbagai teori pembelajaran kebanyakan bersifat positivistik (cenderung
berdasar pada ilmu alam) yang berhimpit dengan paradigma perilaku sosial.
Siswa adalah dipandang sebagai subjek pasif yang diposisikan sebagai
penerima pesan pembelajaran yang telah dirancang secara ketat oleh
perancang (pendidik, maupun media pembelajaran) agar dapat mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Proses pendidikan harus di set-up atau
disetting secara sistematis mengikuti garis linier, prosedural, tahapan ketat,
dan mencapai tujuan. Implikasinya, proses belajar adalah sebuah
pemindahan pengetahuan.
Sementara itu pilihan metodologinya lebih memilih penelitian kuantitatif,
khususnya metode eksperimen. Prinsipnya ingin mengetahui efektivitas,
pengaruh, dan peran diterministik dari sebuah metode, model, dan desain
pembelajaran terhadap perilaku siswa sebagaimana yang dikehendaki

5
S.W. Septiarti, DKK. Sosio Antropologi Pendidikan. (Yogyakarta: UNY Press, 2017) hal. 21
6
S.W. Septiarti, DKK. Sosio Antropologi Pendidikan. (Yogyakarta: UNY Press, 2017) hal. 26
dalam perancangan. Pada media pembelajaran pun juga demikian, perilaku
belajar siswa mengikuti logika media, di mana media adalah berposisi
diterminan atau yang memengaruhi.
4. Multiparadigma
George Ritzer sendiri tidak mengikuti secara ketat terhadap ketiga
paradigma yang telah disebutkan diatas, sebagaimana dalam sosiologi yang
selama ini banyak diikuti oleh banyak sosiologi dalam upaya memberikan
landasan fundamental bagi teori-teori yang berupaya menjelaskan
fenomena sosial, termasuk pendidikan. Ritzert lebih memilih menggunakan
apa yang ia sebut sebagai multiparadigma. Alasan utama paradigma ini
karena pada kenyataannya realitas sosial bukanlah bersifat tunggal, tetapi
beragama dan kontekstual, serta relasional (saling berhubungan atau
berkaitan)7.
Kunci bagi sebuah paradigma yang terintegrasi adalah gagasan
berbagai tingkatan analisis sosial. sebagaimana diketahui, dunia sosial tidak
benar-benar dibagi menjadi beberapa tingkatan. Pada kenyataannya, realitas
sosial paling tepat dipandang sebagai sebuah keragaman fenomena sosial
yang sangat besar yang dilibatkan dalam integrasi dan perubahan yang
berkelanjutan. Individu, kelompok, keluarga, birokrat, pemerintah, dan
berbagai fenomena sosial lain yang sangat beragam mencerminkan
serangkaian fenomena yang sangat membingungkan yang menyusun dunia
sosial. Sangat tidak mudah untuk mendapatkan suatu pemahaman tentang
sejumlah besar fenomena sosial beraneka rupa dan saling mempenetrasi
satu sama lain. Kompleksitas dunia sosial selalu hadir di depan mata,
karena itu perlu skema yang lebih integratif (utuh) dan rasional untuk
memahaminya.

5. Paradigma kategori versi lain

7
S.W. Septiarti, DKK. Sosio Antropologi Pendidikan. (Yogyakarta: UNY Press, 2017) hal. 28
Selain 4 pembagian paradigma diatas, terdapat pendapat lain dalam
pembagian-pembagian kategori paradigma, yaitu paradigma positivistik,
paradigma konstruktivistik, dan paradigma kritis8.
C. Paradigma Kritis Dalam Pendidikan
D. Relevansi Pendidikan Kritis
E. Perspektif Dalam Sosiologi

1.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan
untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang),
merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di
kelas atau yang lain. Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan,
artinya para guru boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan
efisien untuk mencapai tujuan pendidikannya.
2. Ciri-Ciri Model Pembelajaran
a. Berdasarkan teori pendidikann dan teori belajar dari para ahli tertentu
b. Mempunyai misi atau tujuan pendidikan tertentu
c. Dapat dijadikann pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar
di kelas
d. Memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran
e. Membuat persiapan mengajar (desain instruksional) dengan pedoman
model pembelajaran yang dipilihnya
3. Jenis Jenis Model Pembelajaran
a. Model pembelajaran pemrosesan informasi (information processing
Models
b. Model pembelajaran personal (personal famly)
c. Model pembelajaran sosial (Sosial Famly)
d. Model pembelajaran sistem prilaku dalam pembelajaran (Behavior
Model of Teaching)
B. Kritik Dan Saran

8
S.W. Septiarti, DKK. Sosio Antropologi Pendidikan. (Yogyakarta: UNY Press, 2017) hal. 29
Kami menyadari bahwa makalah kami sangat jauh dari kata sempurna,
maka dari itu kritik dan saran sangat kami butuhkan untuk memperbaiki
makalah kami agar menjadi lebih baik lagi kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai