Anda di halaman 1dari 8

Nama : Diajeng Ayu Berliana

NIM : 21502241009
Prodi : Pendidikan Teknik Elektronika
Kelas : A1

PARADIGMA SOSIOLOGI
Pengertian umum paradigma adalah sebuah gambaran dasar dari pokok masalah ilmu.
Paradigma adalah gambaran dasar dari pokok perhatian dalam sebuah ilmu yang berfungsi
untuk mendefinisikan apa yang harus dikaji, pertanyaan apa yang ditanyakan, bagaimana
untuk menanyakannya, dan kaidah-kaidah apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan
jawaban yang didapatkan. Paradigma adalah unit konsensus yang terluas di dalam sebuah
ilmu dan berfungsi untuk membedakan sebuah komunitas ilmiah dari yang lain. Ia mencakup,
mendefinisikan, dan saling menghubungkan berbagai eksemplar, teori, metode, instrumen
yang ada di dalamnya (Ritzer, 1975).

Ritzer mengategorikan 3 paradigma dalam ilmu sosial, yaitu :

Paradigma Fakta Sosial


Individu tidak akan berdaya terhadap fakta sosial yang terus mengatur dalam aktifitas
sosialnya sehari-hari karena itu individu tidak akan mampu menjadi agen atau
mengkonstruksi ulang terhadap struktur yang mengekangnya. Tidak sedikitpun peluang
terbuka bagi individu untuk melakukan aktivitas yang berusaha menolak terhadap fakta
sosialnya.
Durkheim adalah alat-alat moral, yang dibutuhkan agar dapat berfungsi di dalam masyarakat.
Dia percaya bahwa sekolah-sekolah hampir merupakan satusatunya lembaga yang ada yang
dapat memberi suatu fondasi sosial bagi moralitas modern. Bagi Durkheim, ruang kelas
adalah masyarakat kecil dan dia menyimpulkan bahwa semangat tinggi kolektifnya dapat
memberikan lingkungan pergaulan kolektif yang diperlukan untuk menghasilkan kembali
representasi kolektif. Pertama, pendidikan akan memberi para individu disiplin yang mereka
butuhkan untuk mengendalikan nafsu-nafsu yang mengancam menelan mereka.
Yang paling penting adalah peran pendidikan didalam pengembangan otonomi, yang memuat
disiplin “yang diinginkan secara bebas”, dan kelekatan terhadap masyarakat berdasarkan
“persetujuan yang tercerahkan”. Memang mereka adalah sasaran yang harus diberi penjelasan
ketika seorang guru atau tutor membahas tema moralitas. Jadi ketika peserta didik mentaati
disiplin dalam proses-proses interaksi sosial misalnya, maka itu semua tumbuh dari kesadaran
diri siswa yang telah memiliki moralitas-tercerahkan.

Paradigma Definisi Sosial


Sebagai respons ketidakpuasan terhadap asumsi yang dibangun dalam paradigma fakta sosial,
dalam sosiologi dikenal apa yang disebut sebagai paradigma definisi sosial. Tokoh utamanya
yang sering dirujuk dalam paradigma ini adalah karya-karya Max Weber dan pengikut-
pengikutnya. Terdapat argument yang berbeda secara diametral yang dirumuskan oleh
paradigma definisi sosial. Jika dalam paradigma fakta sosial individu tunduk total terhadap
struktur, argumen paradigma definisi sosial justru sebaliknya. Individu adalah makhluk
kreatif yang mampu atau setidaknya berpotensi menawar dan bernegosiasi dengan struktur
sosial pengekangnya. Pada prinsipnya manusia baik sebagai individu maupun kelompok,
memiliki kemampuan untuk mendefinisikan dunia sekitarnya melalui aktivitas interpretasi,
pemaknaan, dan pemahaman. Sebagai subjek aktif, manusia tidak tunduk total terhadap
struktur, tetapi senantiasa melakukan penawaran, negosiasi, dan bahkan resistensi terhadap
daya kontrol struktur-struktur sosial.
Melalui metode verstehen, mengandaikan bahwa setiap individu memiliki kemampuan untuk
memahami, menginterpretasi, dan memaknai dunia sekitarnya sebagaimana tercermin pada
tindakan sosialnya. Penggunaan metode ini jelas mengandaikan bahwa manusia dipandang
sebagai subjek aktif yang berpotensi untuk menginterpretasi terhadap berbagai hal yang
diterimanya. Kemampuan pemahaman orang mendapatkan peluang untuk mengkonstruksi
terhadap realitas sosial, dengan demikian orang juga mampu mendefinisikan dunia sosialnya.
Asumsi inilah yang kemudian menjadi karakter utama yang sekaligus membedakan dengan
asumsi paradigma fakta sosial. Penempatan manusia sebagai subjek aktif inilah yang
kemudian memberikan konstribusi signifikan terhadap perspektif dan teori dalam ilmu
pendidikan. James Carey yang berasumsi bahwa komunikasi adalah sebuah ritual. Jadi
berbeda dengan kubu transmisional-administratif yang asumsi teoretiknya bersandar bahwa
komunikasi adalah persoalan bagaimana mentransmisikan pesan, maka kubu produksi makna
berasumsi bahwa komunikasi adalah persoalan bagaimana setiap informasi itu diolah oleh
siapapun yang terlibat, dan pada saat yang sama juga terjadi proses produksi makna atas apa
yang menjadi tema atau topik yang diangkat.
Sementara itu jika berkaitan dengan teori media pembelajaran, paradigma definisi sosial
terderivasi pada argumen yang dibangun dalam studi khalayak. Jika dalam pandangan teori
efek media menempatkan khalayak adalah pasif, sedangkan media adalah kuat, maka dalam
studi khalayak justru sebaliknya. Studi khalayak berasumsi bahwa penonton merupakan
pihak yang aktif dalam meresepsi informasi yang disampaikan oleh media. Dengan kata lain,
proses resepsi atau penerimaan khalayak terhadap pesan pembelajaran yang disampaikan
melalui media akan diterima secara polisemik bergantung pada daya tafsir siswa. Jadi di sini
siswa akan selalu aktif menginterpretasi dan terus melakukan seleksi terhadap isi pesan yang
disampaikan oleh media. Tidak setiap media akan diterima seperti apa adanya oleh khalayak
sebagaimana asumsi teori-teori efek media. Jika ketat mengikuti asumsi-asumsi paradigma
definisi sosial maka juga akan berimplikasi terhadap pilihan metode penelitiannya. Pada satu
sisi ia ingin menempatkan subjek aktif dalam memproduksi makna, yang berarti ini
merupakan argumen konstruktivistik, tetapi pada sisi lain ia mesetirilkan fakta dari nilai, yang
berarti ini mengikuti paradigma fakta sosial yang ia negasikan. Jadi, dalam konteks ini, ia
termasuk yang lantang berseru bahwa ilmu pengetahuan sosial harus bebas nilai, terutama
jika itu menjadi bagian dari proses produksi pengetahuan dalam ruang-ruang kelas
sekolah/kuliah.
Ia menyerukan agar para guru ketika mengajar dalam kelas, harus mampu mengendalikan
nilai-nilai pribadinya. Meskipun para akademisi mempunyai hak penuh untuk
mengungkapkan nilai-nilai pribadi secara bebas dalam forum-forum seperti diskusi, pidato,
orasi dan menulis dimedia massa; akan tetapi dalam ruang kelas atau ruang kuliah akademik
harus terikat pada prinsip bahwa antara nilai dan fakta adalah terpisah. Weber menentang
para guru yang mengkhotbahkan penilaian-penilaian mereka untuk pertanyaan-pertanyaan
fundamental atas nama ilmu di dalam ruang kuliah yang memberinya hak istimewa tempat
mereka tidak dikendalikan, atau diawasi lewat diskusi, juga tidak tunduk pada kontradiksi.
Ruang kuliah harus dipisahkan dari arena diskusi publik. Diruang kelas, sang akademisi
mengungkapkan fakta-fakta, bukan nilai-nilai pribadi. Meskipun para guru mungkin tergoda
menyisipkan nilai-nilai karena hal itu membuat kuliah menjadi lebih menarik, para guru
harus berhati-hati dalam memakai nilai-nilai, karena nilai demikian akan melemahkan
semangat mahasiswa untuk melakukan analisis empiris yang tenang.
Paradigma definisi sosial Weber dalam konteks membahas nilai, berbeda dengan paradigma
kritis yang marxis. Bagi Marx dan marxis sosiologi harus tidak netral atau tidak bebas nilai,
karena menurutnya tidak ada yang netral dalam dunia sosial.
Paradigma Perilaku Sosial
Paradigma ketiga apa yang disebut sebagai paradigma perilaku sosial, yang asumsi-
asumsinya berbeda dengan paradigma definisi sosial. Akan tetapi ada kesamaan dengan
paradigma fakta sosial, terutama asumsinya terhadap posisi individu yang tunduk pada
struktur sosial. Individu bukan sebagai subyek aktif, tetapi pasif yang bisa dikontrol oleh
struktur sosial yang bermuatan nilai, sistem aturan, dan institusional. Secara lebih khusus,
kaum behavioris sosial pokok perhatiannya adalah penghargaan yang menghasilkan perilaku
yang diinginkan dan hukuman yang mencegah perilaku tanpa pikir. Teori-teori sosial yang
mengikuti kubu ini antara lain teori pertukaran, teori jaringan, teori pertukaran jaringan, dan
teori pilihan rasional. Meski di antara itu di sana-sini tidak ketat dalam asumsi positivistiknya,
tetapi secara paradigmatik tetap berasumsi bahwa perilaku sosial bisa dikendalikan dan
sekaligus dikehendaki oleh si pengendali. Implikasinya, proses belajar adalah sebuah
pemindahan pengetahuan.
Paradigma ini juga berpengaruh terhadap teori-teori media pembelajaran, yang menempatkan
bahwa khalayak adalah pasif yang bisa di kontrol oleh media. Ini disebut sebagai teori-teori
efek media yang berpotensi besar mempengaruhi khalayak, termasuk peserta didik. Logika
media adalah kuat dan diterministik terhadap perilaku belajar siswa, sehingga bisa secara
efektif pesan berpindah ke struktur mental siswa. Sementara itu pilihan metodologinya lebih
memilih penelitian kuantitatif, khususnya metode eksperimen.

Multi Paradigma
George Ritzer sendiri tidak mengikuti secara ketat terhadap ketiga paradigma dalam sosiologi
yang selama ini banyak diikuti oleh banyak sosiologi dalam upaya memberikan landasan
fundamental bagi teori-teori yang berupaya menjelaskan fenomen sosial, termasuk
pendidikan. Ritzert lebih memilih menggunakan apa yang ia sebut sebagai
multiparadigma. Alasan utama paradigma ini karena pada kenyataannya realitas sosial
bukanlah bersifat tunggal, tetapi beragama dan kontekstual, serta relasional. Semuanya tidak
berlangsung secara diterministik, tetapi relasional, cair, dan kontinum. Ritzer menyebut
pendekatan ini dengan istilah menuju paradigma yang lebih integratif. Kunci bagi sebuah
paradigma yang terintegrasi adalah gagasan berbagai tingkatan analisis sosial. sebagaimana
diketahui, dunia sosial tidak benar-benar dibagi menjadi beberapa tingkatan. Pada
kenyataannya, realitas sosial paling tepat dipandang sebagai sebuah keragaman fenomena
sosial yang sangat besar yang dilibatkan dalam integrasi dan perubahan yang
berkelanjutan. Kompleksitas dunia sosial selalu hadir di depan mata, karena itu perlu skema
yang lebih integratif untuk memhaminya . Beberapa teoritisi yang mirip dengan posisi Ritzer
itu misalnya Pierre Bourdieu yang mengklaim pendekatannya dengan konstruktivisme-
strukturalis dan strukturalisme-konstruktivis. Demikian pula dengan Anthony Giddens
dengan teori strukturasi sosial, yang menjelaskan bahwa interaksi sosial tidak mengikuti
prinsip dekotomik dan dualisme, tetapi mengikuti prinsip dualitas.

Paradigma: Kategori Versi Lain


Ada juga yang mencoba membedakan paradigma menjadi empat kategori
yaitu, paradigma, positivistik, paradigma konstruktivistik, paradigma kritis. Keempat
paradigma tersebut kemudian diuji dengan pandangan ontologi , epistimologi , dan
metodologi .

Paradigma positivistik
Paradigma positivistik berakar pada filsafat positivistik, terutama dari Rene Descartes yang
kemudian mendapat banyak pengikut sehingga melahirkan pemikiran cartesian. Namun
paradigma positivistik ini juga tidak lepas dari sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang bermula dari era pencerahan. Era ini ditandai oleh kuatnya institusi
agama, terutama gereja, yang berkelindan dengan kekuatan politik kenegaraan yangberpusat
di Roma. Kebenaran selalu dicari dari rujukan kitab agama, sehingga apa pun yang tidak
sesuai dengan apa yang ada dalam teks kitab dianggap tidak benar.
Produksi pengetahuan pada era ini tidak netral karena semuanya digunakan untuk kemapanan
struktur sosial politik yang berpusat pada negara dan agama. Dalam era ini praktis tidak ada
suara-suara, pemikiran, gagasan, apalagi teori yang berbeda dengan apa yang tertuang secara
tekstual dalam kitab agama. Barulah pada abad keempatbelas terdapat ide, gagasan, konsep
yang sedikit berbeda dengan apa yang ada dalam kitab agama. Scotlandia, atau kaum
Scottlist, yang sering ngrumpi di warung-warung tentang ketidaknalaran pengetahuan yang
bersumber dari kitab agama.
Mulai ada keberanian itu berpendapat berbeda dengan tradisi pemikiran metafisik dan
teologis yang berpusat pada negara dan agama. Verseiles misalnya, setelah melakukan
pengamatan secara langsung terhadap berbagai objek empirik berusaha mencari kebenaran
yang berangkat dari hasil penyelidikan empirik. Pernah ada perdebatan tentang jumlah gigi
keledai misalnya, yang menurut Gereja berjumlah 44, sementara menurut hasil penyelidikan
Versailes hanya 36 biji. Pada saat itu Gereja tentu bersikeras dengan kebenaran yang
bersumber dari kitab agama, dan berusaha menolak hasil-hasil penyelidikan secara empirik.
Leonardo da Vinci misalnya, juga mulai melakukan langkah berani dengan melukis wajah
manusia yang berangkat dari realitas empirik. Pada masa itu orang tidak boleh melukis wajah
secara lebih apa adanya, tetapi manusia dilukis dengan memakai sayap seperti «malaikat»
yang diyakininya. Vinci melukis yang menurut cerita merupakan wajah seorang aristokrat
Italia, dan kemudian lukisan itu menjadi terkenal hingga sekarang. Selanjutnya Gallio Gallei
meneruskan tradisi pemikiran Copernicus mencoba melakukan penyelidikan bahwa bumi
berputar pada porosnya, dan bukan seperti anggapan Gereja yang berputaradalah matahari
mengelilingi bumi.
Justru gagasan Gallileo terus menginspirasi temuan-temuan selanjutnya seperti
Newton, James Watt, Graham Bell, Marconi, dan lain-lain yang menjadi pionir dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Serentetan peristiwa sejarah ilmu
pengetahuan itu kemudian bermuara pada upaya pembuatan dokumen pengetetahuan sendiri
yang berimplikasi melahirkan paradigma positivistik, yang dalam perkembangan selanjutnya
melalui dua fase, yaitu paradigma positivistik klasik dan kemudian berkembang menjadi
positivistik logis. Carnap, Otto Neurath, Kurt Godel, Herbert Freigl, Karl Menger, Philipp
Frank, Friedrich Waisman, mengembangkan orientasi filsafat yang berbeda.

Setelah Schlick terbunuh, beberapa pemikir Sekolah Wina seperti Rudolf


Dengan focus pada analis logis, positivisme logis, membedakan dirinya dengan positivisme
klasik yang hanya memberikan perhatian pada data sebagai sumber ilmu
pengetahuan . Francis Bacon adalah salah seorang penganjur paling awal dalam hal
perndayagunaan metode induksi tatkala harus melawan dominasi para pemikir yang
mendaulukan cara deduktif untuk menemukan simpulan kebenaran metafisik. «Tidakah
sebaiknya membuka saja kandang keledai, lalu membuka mulut keledai dan kemudian
membuka mata untuk menghitung jumlah gigi keledai yang dilihatnya itu?» . Ia mengkritik
tradisi baconian yang dipelopori Sekolah Wina yang terlalu mengagungkan metode induksi.
Dengan menukik ke jantung epistimologinya, Popper menghidupkan kembali tradisi deduktif
yang diserang oleh Sekolah Wina. Dalam tradisi Baconian yang dibesarkan oleh Sekolah
Wina itu, berasumsi bahwa ilmu alam adalah ilmu induktif dan bahwa induksi merupakan
suatu proses peneguhan atau membenarkan teori-teori dengan pengamatan atau eksperimen
atau berulang-ulang. Kemajuan terdiri dari gerakan ke arah teori-teori yang memberikan
informasi yang bertambah besar. Jadi, suatu teori dengan isi lebih besar adalah sutau teori
yang dapat diuji secara lebih keras.
Pertimbangan ini membawa kepada suatu teori di mana kemajuan ilmiah ternyata tidak terdiri
dari kumpulan pengamatan, melainkan penjatuhan teori-teori yang kurang baik dan
menggantikannya dengan teori-teori yang lebih baik, terutama dengan teori-teori dengan isi
lebih besar. Sekolah Wina, yang positivistik . Popper selalu beranggapan bahwa setiap
kebenaran harus bersifat objektif yang merupakan teori, jadi kebenaran bukan suatu
pengalaman atau kepercayaan atau sesuatu yang bersifat subjektif. Popperian ini juga
memberikan kontribusi terhadap analisis sosiologi pendidikan, terutama dalam teori-teori
pembelajaran yang berorientasi pemecahan masalah.
Tawaran metode belajar pemercahan masalah yang sangat populer dalam teknologi
pembelajaran misalnya, sedikit-banyak dipengaruhi oleh tradisi berpikir popperian ini.

Paradigma Konstruktivistik
Kemunculan paradigma konstruktivistik tentu bukan secara tiba-tiba, melainkan merupakan
proses dari perdebatan teoretik dalam sejarah perkembangan sosiologi itu sendiri. Setelah
sekian waktu teori-teori sosial bersifat umum, dan kemudian muncul teori-teori
tengahan, teori dari yang bersifat makro menuju mikro, serta perdebatan antara kubu
objektivis dan subjektivis; juga tidak kalah penting perdebatan ilmiah dan sekadar
pengamatan peristiwa sosial mikro seperti tradisi interaksionisme simbolik, maka munculah
tradisi pemikiran baru yang merujuk pada paradigma konstruktivistik.
Dalam sosiologi pun kemudian muncul teori-teori konstruksi sosial, dan istilah ini langsung
mengundang perdebatan dalam perkembangan sosiologi.
Construction of Reality. Dalam buku ini memberikan kontribusi terhadap sosiologi
pengetahuan mengikuti argumen-argumen Alfred Schutz tentang produksi pengetahuan
dalam masyarakat. Akan tetapi dalam konteks ini, Berger dan
Luckmann yang mereka analisis bukan pengetahuan ilmiah yang mendapatkan validitas
sebagaimana dalam tradisi positivistik, melainkan pengetahuan umum yang dimiliki dan
diproduksi oleh warga masyarakat.
Namun demikian perlu kehati-hatian untuk menggunakan istilah konstruksi sosial ini karena
dalam banyak kasus sering muncul istilah yang sama, tetapi bukan dalam koteks paradigma
ini. Sekarang ini menggunakan istilah "konstruksi sosial" biasanya dimaksud untuk
menyampaikan bahwa sesuatu yang secara luas sudah dianggap berada di luar lingkup
pengaruh sosialsesungguhnya adalah hasil dari proses-proses sosio-historis atau interaksi
sosial tertentu. Jadi, konstruktivisme sosial berkembang sangat pesat khususnya di kalangan
ilmuwan sosial yang berminat pada kajian tentang hal-hal seperti
kecantikan, gender, moralitas, patologi, ras, ilmu pengetahuan, dan seksualitas. Meskipun
dulu pernah secara luas diyakini bahwa fenomena–fenomena tersebut ditentukan oleh hukum-
hukum alam dan/atau metafisika yang tidak bisa berubah dan karenanya tidak mungkin
berubah secara sosio-historis, tetapi para penganut konstruktivisme sosial sudah berulang kali
memperlihatkan bahwa fenomena-fenomena tersebut lebih menunjukkan karakter sosio-
kultural dan historis .
Agak berbeda dengan teori-teori sosial lain sebelumnya, teori konstruksi sosial sejak awal
sudah berusaha menghindari perdebatan dekotomik seperti objektivis-subjektivis, ilmiah dan
tidak ilmiah, induksi-deduksi, dan naturalistiksosial. Sejak awal teori ini sudah dengan tegas
membedakan fokus kajiannya, yaitu fenomena sosial yang dibedakan secara diametral dengan
fenomena alam. Bagi kaum konstruktivis adalah membuang energi untuk berdebat di seputar
pembedaan dekotomik tersebut, karena itu lebih produktif jika memfokuskan perhatian pada
aspek sosial fenomena yang dikaji. Siapa pun akan menyadari bahwa fenomena sosial akan
jauh lebih dinamis dan bersifat ambigu ketika menyodorkan momen-momen peristiwa yang
menarik untuk diteliti; dan karena sifatnya yang dinamis itu maka jelas berbeda dengan
fenomena alam yang dianggapnya bersifat tetap, teratur, dan memiliki gejala konstan.
Sebagai ilustrasi, ketika teori konstruksi sosial akan mengkaji fenomena isu gender
misalnya, ia akan menghindari perdebatan pembedaan jenis kelamin yang bersifat biologis
dengan konsep gender yang berasumsi bahwa jenis kelamin tidak lebih sekadar konstruksi
sosial. Bagi teori konstruksi sosial jenis kelamin biologis adalah fenomena alam yang tidak
perlu diberdebatkan, karena itu ia akan lebih memfokuskan peristiwa-peristiwa hubungan
sosial ketika isu gender menjadi kajian utama. Teori konstruksi sosial tidak akan
mempertanyakan atau bahkan menhindari pertanyaan tradisi teori sosial kritis, misalnya
bagaimana beroperasinya ideologi gender itu yang menaturalkan hubungan laki-laki dan
perempuan bersifat eksploitatif, yang sebenarnya itu adalah konstruksi sosial belaka.
Selain itu, kebanyakan konstruksionis bersikap cuci tangan kalau sudah menyangkut
pertanyaan yang sulit dalam membedakan antara kebenaran dan keaplsuan, atau, untuk
masalah itu, membangun suatu teknik apa pun yang dapat digunakan untuk mengukur nilai
intelktual dari klaim-klaim yang saling bersaing, begitu praanggapan unutk memiliki kriteria
epistemologis yang sifatnya universal telah ditinggalkan. Mereka justru secara implisit
mengandalkan pada pada standarstandar epistemologis dari disiplin-disiplin, atau sub-
disiplin, mereka masing-masing untuk menegaskan otoritas yang sah dari ide-ide mereka dan
penjelasan-penjelasan yang secara sosiologis, reduktif tentang ide-ide mengenai hal-hal yang
mereka kaji.
Akibatnya adalah bahwa kenyatakan konstruksionis sosial terpaksa memilih antara suatu
relativisme sempit yang tidak mendukung validitas dan apa yang Bloor sebut sebagai
sosiologi kesalahan . Lebih tepatnya, mereka terpaksa menganjurkan untuk selamanya
menghindari pertanyaan tentang nilai yang sifatnya membandingkan antara ide-ide mereka
sendiri dan ide-ide atau hal-hal yang mereka kaji, atau secara dogmatik menegaskan bahwa
ide-ide mereka sendiri baik secara epistemologis dan hal-hal yang mereka kaji itu sama
dengan sekumpulan mitos dan ilusi-ilusi semata. Dalam beberapa hal kebanyakan
konstruksionis sosial masih tetap bungkam terhadap pertanyaan tentang baimana kita akan
bisa dengan cara yang lebih masuk akal, lebih adil, lebih, simpatik, atau lebih sistematis
menentukan nilai intelektual dari berbagai klaim yang saling bersaing. Kebungkaman inilah
yang selalu membuat geram para kritikus .
Paradigma konstruktivisme sosial ini sedikit banyak memberikan kontribusi terhadap
berbagai teori pendidikan termasuk pula pada teori pembelajaran.
Vygotsky adalah salah satu penganjur teori-teori belajar yang menempatkan siswa sebagai
subjek aktif. "jangan melihat orang dari balik otaknya semata, tapi lihat pula apa yang di
belakangnya", begitu salah satu frase yang sering menjadi prinsip dalam
pembelajaran. Prinsip belajar seperti itu mengindikasikan bahwa terdapat kesamaan dengan
argumen konstruktivis. Siswa bukanlah sekadar dibentuk oleh pengetahuan yang ditransfer
dari proses pembelajaran yang baku dan transfer of knowledge, tetapi terbentuk melalui
pergulatan kognitifnya dengan lingkuangan sosialnya. Siswa akan selalu belajar secara aktif
dengan lingkungannya dan mendapatkan pengetahuan secara diskursif dengan lingkungan
sosialnya.
Praksis pendidikan konstruktivistik telah cukup lama diitrodusir dalam proses pembelajaran
di Indonesia, misalnya penerapan metode Cara Belajar Siswa Aktif , metode kooperatif
learning dalam pembelajaran tematik, dan kurikulum 13 adalah beberapa contoh yang
menerapkan paradigma konstruktivistik. Namun demikian dalam banyak kasus prinsip
pembelajaran konstruktivistik semacam itu sering dipahami secara parsial, sehingga tidak
jarang guru dalam menerapkannya justru bertolak belakang dengan konstruktivisme. Sebagai
ilustrasi, katanya menggunakan konstruktivistik tetapi pada kenyatannya banyak guru yang
menerapkan prinsip benar-salah dalam mengevaluasi belajar. Bukan bagaimana membentuk
pembelajaran yang mengajari siswa mampu berargumen, tetapi bagaimana mengukur
seberapa jauh pesan pembelajaran mampu dipindah ke otak siswa.

Paradigma Kritis
Bagi Marx, ide bahwa pengetahuan selalu bisa "berjarak" atau "netral ", paling banter adalah
suatu kesalahan, dan paling tidak adalah suatu tipuan yang dirancang untuk
menyembunuyikan keberpihakan otoritas intelektual dengan kekuatan politik dan ekonomi
tertentu .
Sebelum mendiskusikan pendidikan kritis, perlu lebih dahulu untuk memahami teori kritis
yang merupakan rujukan penting ketika akan membongkar struktur dominatif. Sebegitu jauh
selama ini memang telah sering terlontar istilah kritis dalam wacana pendidikan. Akan tetapi
istilah kritis di sini sering kali disalahpahami, atau setidaknya hanya diidentikkan dengan
sikap kritis terhadap lontaran pendapat, pemikiran, atau wacana orang lain. Kesalahpahaman
inilah yang sering menyebabkan sejumlah buku pendidikan mengklaim sebagai pendidikan
kritis, padahal jika dicermati isinya sama sekali tidak merujuk pada segenap teori-teori kritis.
Teori kritis seringkali dikaitkan dengan apa yang disebut "Mazhab Frankfurt", suatu istilah
yang mengacu pada karya anggota Intitut fur Sozialforschung . Institut ini didirikan di
Frankfurt, Jerman. Sejak tahun 1923 sebagai pusat penelitian berorientasi Marxis. Tokoh-
tokoh utamanya antara lain Horkheimer, Herbert Marcuse, Theodore Adorno, Leo
Lowenthal, dan Erich Fromm.
Istilah teori kritis pertama kali dilontarkan pada tahun 1937 setelah sebagian besar anggota
Institut beremigrasi ke Amerika Serikat, sebagai dampak kemenangan Hitler.

Selama bertahun-tahun, teori kritis memiliki makna sebagai kata sandi untuk Marxisme yang
dianut oleh Institut dan upayanya menemukan teori sosial supradisipliner radikal yang
berakar dalam dialektika Hegelian-Marxian, materialisme historis dan kritik Marxian atas
ekonomi politik atas teori revolusi. Sebagaimana dikatakan oleh Horkheimer aliran
positivistik yang mendasari perkembangan teori-teori mereka dalam fakta-fakta yang terpisah
juga dikritik karena dugaan-dugaan metafisik yang tidak dapat didukung dan keterbatasan-
keterbatasan metodologi mereka .
Positivisme dikritik karena cenderung mereifikasi dunia sosial dan melihatnya sebaai suatu
proses alamiah. Para teoritisi kritis lebih suka berfokus pada kegiatan manusia dan juga pada
cara-cara kegiatan demikian memengaruhi struktur-struktur sosial yang lebih
besar. Singkatnya, positivisme mengabaikan para aktor , mereduksi mereka menjadi entitas-
entitas pasif yang ditentukan oleh "kekuatan-kekuatan alamiah" . Oleh karena itu konsekuensi
atas pandangan tersebut, pilihan metodologi teori kritis lebih pada pendekatan kualitatif yang
berakar pada fenomenologi. Penelitian survei misalnya, tidak lazim digunakan dalam teori
kritis karena memposisikan responden sebagai aktor yang pasif.
Teori kritis pada saat kelahirannya menyerang sosiologi yang dianggap tidak mampu
mendorong perubahan sosial. Sosiologi dianggap tidak mampu menyumbangkan sesuatu
yang bermakna bagi perubahan politik yang dapat melahirkan masyarakat yang adil dan
manusiawi. Singkanya sosiologi pada waktu itu dianggap mendukung status quo, sehingga
kurang membantu warga tertindas. Di samping itu sosiologi dianggap terlalu
saintisme, menjadikan metode ilmiah sebagai tujuan itu sendiri. Sosiologi evolusioner yang
dipelopori oleh Comte mendapat serangan dari teori kritis karena terlalu saintifik, mengikuti
logika positivistik.
Dalam pada itu, sosiologi dianggap oleh para teoritisi kritis mengabaikan peran
individu, karena sosiologi hanya fokus pada masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Sosiologi
dianggap mengabaikan interaksi individu dengan masyarakat. Oleh karena mengabaikan
individu para sosiolog pada waktu itu tidak mampu mengatakan apa un yang bermakna
tentang perubahan-perubahan politis yang dapat menghasilkan suatu masyarakat yang adil
dan manusiawi . Seperti dikatakan oleh Zoltan Tar, sosiologi menjadi "bagian integral dari
masyarakat yang ada daripada sebagai alat kritik dan ragi bagi pembaruan .
Meskipun dalam hal tertentu teori kritis mewarisi semangat radikal dari para pemikir abad
pencerahan yang dipelopori oleh antara lain Leonardo Da Vinci, tetapi kemudian teori kritis
mengkritik hasil dari era pencerahan tersebut yaitu modernitas.
Dalam sosiologi sendiri kemudian muncul aliran pencerahan pada abad berikutnya yang
dipelopori oleh filsuf Prancis Charles Montesquieu, dan Jasques Rousseau.
Pencerahan dalam konteks ini adalah suatu peride perkembangan intelektual dan perubahan
di dalam pemikiran filosofis yang luar biasa. Sejumlah ide dan kepercayaan yang telah lama
bertahan -banyak di antaranya terkait dengan kehidupan sosial- ditumbangkan dan digantikan
selama periode Pencerahan. Spirit radikal inilah yang kemudian juga ditiru oleh teoritisi kritis.
Kehidupan modernisme mendapat kritik tajam dari teoritisi kritis karena beberapa alasan
antara lain: dominasi kapitalisme terhadap kebebasan individu terutama secara kultural;
rasionalitas membawa masalah, irasionalitas, maka muncul irasionalitas-rasionalitas ;
modernisme menyuburkan teknokrasi yang tujuan utamanya adalah mendominasi, bukan
emansipasi; teknokrasi mengabaikan rasio, yaitu suatu cara yang melibatkan nilai-nilai
keadilan, perdamaian dan kebahagian ; dan teknologi di bawah rasionalitas modern mengarah
pada bentuk totalitarianisme, mengontrol pada tindakan individu tetapi terasa menyenangkan .
Salah satu pemikir teori kritis yang paling gencar mengkriti modernisme adalah Herbert
Marcuse. Ia adalah kritikus yang keras terhadap teknologi modern, setidaknya yang
digunakan di dalam kapitalisme. Dia melihat teknologi di dalam masyarakat kapitalis
menyebabkan totalitarianisme. Marcuse menolak ide bahwa di dunia modern teknologi
adalah bersifat netral, ia malah melihatnya sebagai alat untuk mendominasi
manusia. Teknologi efektif karena dibuat tampak netral, sementara dalam kenyataannya
memperbudak. Teknologi membantu menindas individualitas.
Kebebasan batin aktor telah "diserang dan dikurangi" oleh teknologi modern.
hasilnya ialah apa yang disebut Marcuse sebagai "masyarakat berdimensi satu", yaitu para
individu kehilangan kemampuan untuk berpikir secara kritis dan negatif tentang masyarakat .
Perhatian Marcuse terhadap teknologi kemudian berfokus pada apa yang ia sebut sebagai
rasionalitas teknologis. Nalar kehilangan fungsinya sebagai pegangan kritis yang menentang
segala hal yang ingin membuat ukuran bagi organisasi masyarakat yang ada; nalar pada
gilirannya hanya menjadi basis ideologis ligitimasi dan instrumen bagi
kesempurnaannya. Oleh Marcuse kemudian dikatakan bahwa yang masih perlu dikatakan
adalah bahwa masyarakat "deprogram secara paspasan". Kesimpulan Marcuse seperti
kesimpulan Horkheimer dan Adorno, adalah bahwa emansipasi memerlukan keterputusan
yang radikal dengan pemikiran yang "berdimensi tunggal". Sementara bagi Horkheimer dan
Adorno, emansipasi manusia hanya dapat dikonsepsikan sebagai suatu keterputusan radikal
dengan rasionalitas "formal" dan pemikiran "instrumental" semata.
Kritik yang dilontarkan teoritisi kritis terhadap kebudayaan adalah mengarah khususnya pada
industri kebudayaan. Mereka mengkritik bahwa industri kebudayaan, struktur rasional, dan
birokrasi yang mengendalikan kebudayaan modern. Industri kebudayaan melahirkan budaya
massa yang diatur, tidak spontan, dan palsu, bukan sesuatu yang riil. Mengkonseptualisasikan
budaya massa semata-mata sebagai instrumen ideologi kapitalis televisi justru menjadi
ancaman bagi demokrasi, individualitas dan kebebasan.

Anda mungkin juga menyukai