Anda di halaman 1dari 17

KELOMPOK 2

LANDASAN PRAGMATISME DAN SCHOLATISME

KELAS 1 E

1. Dede Fitri (22.22.1.0058)


2. Ghiska Sheva R. (22.22.1.0069)
3. Lutvi Nurhadiansyah (22.22.1.0147)
4. Neng Tuti A. (22.22.1.0141)
5. Nur Komalasari (22.22.1.0064)
6. Wantika (22.22.1.0131)
LANDASAN FILSAFAT PRAGMATISME

1. Pengertian Filsafat Pragmatisme

Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang lahir di Amerika yang terkenal dalam
kurun satu abad terakhir. Pragmatisme adalah aliran filsafat yang sangat mencerminkan
karakteristik kehidupan di Amerika. Pragmatisme banyak hubungannya dengan nama seperti
Charles S. Peirce , Willam James , John Dewey ,dll. Secara bahasa, pragmatisme berasal dari
bahasa Yunani “pragma” yang berarti tindakan atau aksi. Jadi Pragmatisme secara
kebahasaan berarti pemikiran atau aliran filsafat tentang tindakan/aksi. Aliran filsafat ini
menyatakan bahwa benar atau tidaknya suatu teori bergantung pada bermanfaat/berfaedah
atau tidaknya teori itu untuk kehidupan manusia. Dengan demikian, ukuran kebenaran untuk
segala perbuatan adalah manfaatnya dalam praktek dan hasilnya dalam memajukan hidup.

Salah satu kemungkinan yang mendasari lahirnya filsafat pragmatisme adalah


perdebatan tanpa ujung antara idealisme dan realisme. Sedangkan realisme berkeyakinan
bahwa substansi itu bisa didapat dari alam nyata/real, yang dari situ kemudian menciptakan
ide dalam diri manusia. Pragmatisme melihat perdebatan ini kemudian tidak memberikan
jawaban atau implikasi yang memuaskan dalam kehidupan manusia.

Teori diatas bukanlah satu-satunya teori yang melatarbelakangi lahirnya filsafat


pragmatisme. Dalam dunia intelektual, perkembangan pengetahuan yang sedemikian pesat
seperti mendunianya teori evolusi Darwin, ikut memberikan dorongan rasionalisasi atas
segala aspek kehidupan manusia.

William James merumuskan pragmatisme sebagai sikap memalingkan muka dari


segala sesuatu,  prinsip-prinsip, kategori-kategori, keniscayaan-keniscayaan awal, untuk
kemudian beralih pada segala sesuatu, hasil-hasil, konsekuensi-konsekuensi, serta fakta-fakta
baru. Pragmatisme bersifat kritis terhadap sistem-sistem filsafat lama, yang menurut penganut
pragmatisme, telah membuat kesalahan mencari sesuatu yang puncak , mutlak, dan esensi-
esensi abadi.

2. Ciri – Ciri Filsafat Pragmatisme

Pragmatisme mempunyai tiga ciri, yaitu: 1) memusatkan perhatian pada hal-hal yang


masih dalam jangkauan indera manusia/pengalaman; 2) sesuatu yang dipandang benar adalah
yang berguna/berfungsi, dan 3) manusia bertanggung jawab atas nilai-nilai dalam
masyarakat.
Penjelasannya yang pertama, dalam perspektif penganut pragmatisme, manusia hidup
dalam sebuah dunia inderawi/pengalaman. Sehingga dengan demikian, penganut
pragmatismemenolak pemikiran metafisis. Menurut mereka, tidak ada hal yang absolut
mutlak, tidak ada prinsip apriori atau hukum alam yang tidak berubah. Manusia hidup dalam
dunia yang dinamis, yang selalu berubah dan ada hukum-hukum ilmiah yang didasarkan pada
pengalaman manusia yang terbatas, yang harus dipandang sebagai
probabilitas/kemungkinan, bukan yang absolut.

Kedua, pragmatisme pada dasarnya memusatkan pemikirannya pada ranah


epistemologis. Pengetahuan, dalam pandangan kaum pragmatis, berakar/bersumber dari
pengalaman. Manusia memiliki pemikiran yang aktif dan eksploratif, bukan pasif dan
reseptif. Manusia berbuat terhadap lingkungannya, kemudian ia mengalami konsekuensi-
konsekuensi tertentu. Ia belajar dari pengalaman transaksional nya dengan dunia di
sekelilingnya. Selain itu, pengetahuan dari perspektif pragmatis perlu dibedakan dari
keyakinan atau kepercayaan. Dari sudut pandang pragmatis, sebuah pernyataan dikatakan
benar adalah jika dapat diuji dengan pengalaman empiris yang bersifat publik. Selain
itu, posisi epistemologi kalangan pragmatis tidak memberikan tempat pada konsep-konsep
apriori dan kebenaran-kebenaran absolut.

Ketiga, manusia bertanggung jawab atas nilai-nilai dalam masyarakat. Sama halnya
dengan pengetahuan, nilai-nilai bersifat relatif tidak absolut. Ini tidak berarti bahwa moralitas
tidak mengalami pasang surut dari hari ke hari, akan tetapi ini berarti bahwa tidak ada aturan
aksiologis yang dapat dianggap sebagai hal yang mengikat secara universal. Dengan
demikian, seperti halnya pengujian epistemologis itu bersifat publik, maka pengujian nilai
etis itu juga didasarkan pada hal yang baik menurut kriteria sosial kemasyarakatan dan bukan
semata-mata didasarkan pada landasan personal yang bersifat pribadi.

3. Tokoh – Tokoh Filsafat Pragmatisme dan Pemikirannya


a. Charles S. Pierce (1839 – 1914)

Filsuf pertama yang memperkenalkan dan mengembangkan pemikiran pragmatisme


adalah Charles S. Peirce yang menekankan tentang aktifitas dan tujuan manusia dalam
memperoleh pengertian dan pengetahuan. Pragmatisme Peirce ini kemudian dikenal dengan
eksperimentalisme. Salah satu sumbangsih penting pemikiran Peirce terhadap filsafat adalah
teori tentang arti. Teori arti menurut pendapat Peirce, berkaitan dengan teknik untuk
menjelaskan pikiran, dengan cara menempatkan pikiran dalam ujian eksperimental dan
mengamati hasilnya.

b. William James (1842 – 1910)

Menurut William pragmatisme adalah realitas sebagai mana yang kita ketahui, dan
menurut pendapatnya pragmatisme adalah filsafat praktis, karena ia memberikan kontrol
untuk bertindak  bagi kebutuhan, harapan dan keyakinan manusia untuk sebagian dari masa
depannya.

c. Jhon Dewey (1859 – 1952)

filsafat pragmatisme John Dewey dikenal juga dengan filsafat instrumentalisme.


Instrumentalisme dalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari
konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan penyimpulanpenyimpulan dalam bentuknya
yang bermacam-macam itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran
berfungsi dalam penemuan-penemuan yang berdasarkan pengalaman-penglaman yang
berdasarkan pengalaman yang mengenai konsekuensikonsekuensi di masa depan. Dalam
konteks ini berpikir merupakan instrumen utama dalam memecahkan masalah.

4. Landasan Filosofis Pragmatisme Berdasarkan Tinjauan Ontologi, Epistemologi,


dan Aksologi
a. Landasan Ontologi Pragmatisme

Bagi pragmatisme tidak dikenal istilah metafisika, karena mereka tidak pernah
memikirkan hakikat di balik realitas yang dialami dan diamati oleh panca indera manusia.
Realitas adalah apa yang dapat dialami dan diamati secara inderawi.

Watak pragmatisme adalah humanistis dan menyetujui suatu dalil bahwa manusia
adalah ukuran segala – galanya. Tujuan dan alat pendidikan harus fleksibel dan terbuka untuk
perbaikan secara terus menerus. Tujuan dan cara untuk mencapai tujuan pendidikan harus
rasional dan ilmiah.

b. Landasan Epistemologi Pragmatisme

Pengetahuan sebagai transaksi antara manusia dengan lingkungannya, dan kebenaran


merupakan bagian dari pengetahuan. Pe'galaman senantiasa berubah, maka akal tidak
memerlukan pengetahuan yang tetap dan abadi. Apa yang dikatakan nyata adalah apa yang
dapat dialami dalam pengalaman. Inti dari pengalaman adalah masalah – masalah yang
dihadapi oleh individu atau kelompok.

Manusia dalam kehidupannya, baik individu maupun sosial, memerlukan alat untuk
memecahkan masalah tersebut adalah pengetahuan – pengetahuan tentatif atau hipotesis –
hipotesis. Hal itulah, pragmatisme Dewey disebut Instrumentalisme.

c. Landasan Aksiologi Pragmatisme

Pragmatisme mengemukakan pandangannya tentang nilai, bahwa nilai itu relatif.


Kaidah – kaidah moral dan etik tidak tetap, melainkan selalu berubah, seperti perubahan
kebudayaan, masyarakat dan lingkungannya.

Pragmatisme menyarankan untuk menguji kualitas nilai dengan cara yang sama
seperti kita menguji kebenaran pengetahuan dengan metode empiris.

Suatu perilaku, pengetahuan, atau ide dikatakan benar apabila mengandung kebaikan,
berguna, dan bermanfaat bagi manusia untuk penyesuaian diri dalam kehidupan pada suatu
lingkungan tertentu.

5. Implikasi Filsafat Pragmatisme Terhadap Praksis Pendidikan

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Power (Sadulloh, 2003: 133) bahwa, Implikasi
dari filsafat pendidikan Pragmatisme terhadap pelaksanaan Pendidikan mencakup lima hal
pokok. Kelima hal pokok tersebut, yaitu:

1) Tujuan Pendidikan.

Tujuan pendidikan Pragmatisme adalah memberikan Pengalaman untuk penemuan


hal-hal baru Dalam hidup sosial dan pribadi;

2) Kedudukan siswa.

Kedudukan siswa dalam pendidikan pragmatisme merupakan suatu organisasi yang


memiliki kemampuan yang luar biasa dan kompleks untuk tumbuh;

3) Kurikulum.

Kurikulum pendidikan pragmatis berisi pengalaman yang teruji yang dapat diubah.
Demikian pula minat dan kebutuhan siswa yang dibawa ke sekolah dapat menentukan
kurikulum. Guru menyesuaikan bahan ajar sesuai dengan minat dan kebutuhan anak tersebut,
dan kurikulum pendidikan pragmatisme serta-merta menghilangkan perbedaan antara
pendidikan liberal dengan pendidikan praktis atau pendidikan jabatan;

4) Metode.

Metode yang digunakan dalam pendidikan pragmatisme adalah metode aktif, yaitu
learning by doing (belajar sambil bekerja);

5) Peran guru.

Peran guru dalam pendidikan pragmatisme adalah mengawasi dan membimbing


pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu minat dan kebutuhannya.

Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa tujuan pendidikan pragmatisme adalah


menumbuhkan jiwa yang aktif dan kreatif; membentuk jiwa yang bertanggung jawab; sosial;
dan mengembangkan pola pikir eksploratif yang mandiri kepada anak. Dengan tujuan
tersebut pola perkembangan anak akan berjalan sesuai dengan pilihan hidup yang telah
direncanakan.

6. Implikasi Pandangan Pragmatisme Richard Rorty tentang


Epistemologi dalam Bidang Pendidikan
Menurut Ornstein and Levine (1985: 186), epistemologi adalah
bidang filsafat yang berbicara tentang pengetahuan, dan dalam bidang pendidikan lazim
dikaitkan dengan metode belajar-mengajar.
Menurut Barnadib (1994:7), "Cabang-cabang suatu sistem filsafat
dapat mendasari berbagai pemikiran mengenai pendidikan." Pada
bagian lain, Barnadib mengemukakan bahwa "Epistemologi diperlukan antara lain dalam
hubungan dengan penyusunan kurikulum yang lazimnya diartikan sebagai sarana untuk
mencapai tujuan pendidikan, dapat diumpamakan sebagai jalan raya yang perlu
dilewati oleh siswa atau murid dalam usahanya untuk mengenal dan
memahami pengetahuan. Agar mereka berhasil dalam mencapai tujuan ini perlu mengenal
hakikat pengetahuan, sedikit demi sedikit. (Barnadib, 1994: 21).
Bertolak dari dua sumber tersebut, maka pandangan pragmatisme
Rorty tentang epistemologi yakni yang menyangkut pengetahuan dan kebenaran akan dicari
implikasinya dalam bidang pendidikanpendidikan yakni dalam kaitannya dengan metode
belajar-mengajar dan kurikulum atau isi pendidikan. Implikasi ini diperoleh melalui metode
komparatif analogis, yakni dengan membandingkan dengan pandangan dari filsuf atau aliran
lain. Dalam buku An Introduction to the Foundations of Education, Ornstein dan Levine
(1985: 196) antara lain menampilkan metode belajar-mengajar menurut formula idealisme.
Dalam pandangan ini yang disebut tindakan mengetahui adalah mengingat kembali ideide m
yang tersembunyi dalam kesadaran atau pikiran seseorang. Oleh karena itu, metode dialogis
Sokrates merupakan metode yang paling cocok bagi paham ini. Dalam metode dialogis
Sokrates, seorang pendidik merangsang kesadaran peserta didiknya dengan cara mengajukan
pertanyaan-pertanyaan terbimbing yang mampu melahirkan atau mengeluarkan gagasan-
gagasan yang tersembunyi dalam kesadaran atau pikiran peserta didik. Dalam hal kurikulum,
idealisme menyusun kurikulum yang berisi mata ajaran yang lebih umum dan memiliki
kandungan isi yang sifatnya abstrak seperti nilai-nilai kebaikan dan keindahan. Secara
hirarkis kurikulum disusun dari disiplin yang paling umum seperti filsafat dan teologi.
Matematika bagi mereka juga sangat bernilai, karena dapat menumbuhkan kemampuan untuk
mengadakan abstraksi. Sejarah dan sastra juga memiliki level yang tinggi pula karena
merupakan sumber moral dan model budaya (Ornstein dan
Levine, 1994: 190).

7. Konsep Utilitas Persfektif PragmatismeDalam Pendidikan


Utilitas adalah manusia mampu merealisasikan kemanfaatan (utilitas) dirinya
dalam masyarakat melalui ilmu pengetahuan yang dimilikinya.Bagi pragmatisme,
ukuran baik dan buruk, benar dan salah didasarkan pada kemanfaatan tingkah laku
manusia dalam masyarakat.Bilamana masyarakat memandang baik atau benar, maka
perilaku tersebut adalah bermoral dan berbudaya tinggi.13
Pragmatisme menjelaskan bahwa sesuatu di atas pengetahuan itu sendiri. Maka
dari itu utilitas (kegunaan) beserta kemampuan perwujudan nyata adalah hal-hal yang
mempunyai kedudukan utama di sekitar pengetahuan mengenai sesuatu itu. Pragmatisme
memandang realita sebagai suatu progres dalam waktu, yang berarti orang yang
mengetahui mempunyai peranan untuk menciptakan atau mengembangkan ha-hal yang
diketahui. Ini berarti bahwa tindakan yang dilakukan oleh orang yang memiliki
pengetahuan tersebut dapat menjadi unsur penentu untuk mengembangkan pengetahuan
itu pula. Paham ini memandang bahwa realita merupakan interaksi antara manusia dan
lingkungannya. Manusia sebagai makhluk pisikis hasil evolusi biologis, sosial dan psikologis.
Manusia hakikatnya plastis dan dapat berubah. Sedang pengetahuan sebagai
transaksi manusia dengan lingkungannya, dan kebenaran merupakan bagian dari
pengetahuan. Tujuan pendidikan adalah suatu kehidupan yang baik. Oleh karena pelajaran
yang diberikan harus didasarkan fakta-fakta yang sudah diobservasi, dipahami dan
dibicarakan. Dan kurikulumnya, setiap pelajaran merupakan suatu kesatuan, perpaduan
antara pengalaman di sekolah dan luar sekolah.Pendidik di sini hanya sebagai fasilitator
dan memberi dorongan pada peserta didik hingga dapat berpikir ilmiah dan logis.

Landasan Filsafat Scholastisme

Filsafat itu terlahir sesuai dengan corak zamannya, dan setiap zamannya memiliki
karakater tersendiri. Menurut konstruksi pemikiran Thales dasar permulaan alam ini adalah
air, yang dalam sifatnya yang bergerak merupakan azas kehidupan segala sesuatu. Bila
Thales dengan model pemikiran induksinya melahirkan konsep bahwa air adalah sumber
kehidupan di semesta, hal ini sesuai dengan eranya filosof yang hidup saat itu memiliki
konstruksi berpikir masih seputar kosmosentris. Itu sesungguhnya sangat lumrah,
dikarenakan di era tersebut belum ada lompatanlompatan pemikiran yang melebihi konsep
tersebut. Sehingga yang tampak adalah pemikiran yang alami dan sebatas pengamatan
empiris di sekitar manusia berada.

Pengandaian itu juga berlaku pada filsafat Barat era skolastik, dimana dengan latar
belakang teolog-filosof melahirkan konsep pemikiran yang banyak filsafat digunakan dalam
kajian teologi, dalam hal ini teologi Kristen. Bahkan teologi sangat memungkinkan
memberikan penilaian terhadap filsafat sesuai sudut pandangnya. Konsep pemikiran di era
skolastik ini juga dapat dicatat sebagai era yang sangat spesifik dan memberi warna tersendiri
dalam perkembangan sejarah filsafat.

Bila melihat dari istilahnya, skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school,
yang berarti sekolah, kata dalam bahasa Inggris yang sering digunakan untuk menyebut
tempat menuntut ilmu. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kata skolastik diambil
dari kata schuler yang berarti ajaran atau sekolahan. Sehingga kata skolastik dalam hal ini
adalah yang berkaitan dengan lembaga sekolah. Selain itu juga, terdapatpendapat lain yang
mengatakan bahwa skolastik bermula dari perkataan “colastikus” yang dimaksudkan untuk
guru yang mengajar disekolah-sekolah atau “keluaran sakolah”. Dengan demikian istilah
skolastik berarti sesuatu yang berkaitan dengan sekolah. Skolastik menjadi istilah yang
digunakan dan populer untuk filsafat pada abad 9-15 yang mempunyai corak khusus yaitu
filsafat yang dipengaruhi agama, khsususnya dalam gereja Kristen. Sebutan skolastik
mengungkapkan, bahwa ilmu pengetahuan abad pertengahandiusahakan oleh sekolah-
sekolah, dan bahwa ilmu itu terikat pada tuntutan pengajaran di sekolah-sekolah itu. Pada
permulaannya skolastik timbul di biara-biara tertua di Galia Selatan. Dari biara-biara yang
ada di Galia selatan tersebut pengaruh skolastik keluar sampai ke beberapa negara di Eropa
seperti Irlandia, Belanda, dan Jerman. Kemudian skolastik timbul di sekolah-sekolah kapittel,
yaitu sekolah-sekolah yang dikaitkan dengan gereja Kristen. Dari sekolah-sekolah yang
didominasi pada banyak gereja Kristen tersebut melahirkan pendidikan yang menitikberatkan
kajian agama dan filsafat secara mendalam dan tersistematis, dan menjadi ciri khas
keberadaan gereja pada masa abad pertengahan. Karena menggabungkan kajian teologis dan
filsafat secara bersamaan, maka tidak mengherankan muncul karakter tersendiri dalam era
yang disebut skolastik ini, yaitu munculnya imam gereja yang ahli filsafat (teolog-filosof).

Oleh karena itu untuk mengetahui corak pemikiran filsafat yang muncul dan
berkembang pada abad pertengahan ini , maka perlu dipahami karakteristik dan ciri khas
pemikiran filsafat di abad tersebut. Paling tidak ada beberapa karateristik yang perlu
dimengerti , di di antaranya:

a). Cara berfilsafatnya dipimpin oleh gereja.

b). Berfilsafat di dalam lingkungan ajaran Aristoteles.

c). Berfilsafat dengan peranan Agustinus.

Fakta dalam sejarah perkembangan filsafat bahwa pada abad pertengahan, filsafat
dikuasai oleh pemikiran teologi dan kentalnya suasana keagamaan Kristen yang menghiasi
saat itu.

Filsafat skolastik dikembangkan dalam sekolah-sekolah biara dan keuskupan. Para


pastor dan biarawan merangkap jadi filosof, hingga filsafat dan teologi Kristen menjadi tidak
terpisahkan. Bahkan menurut de Wulf (Scholastic Philosophy), pada periode ini filsafat
menjadi bagian integral dari teologi, karena keduanya saling melengkapi dan berjalan
berbarengan. Meskipun begitu, Aquinas menunjukkan penghargaan yangtinggi terhadap
filsafat yang dikatakannya puncak kemampuan akal-budi manusia. Menurutnya dalam filsafat
itu argumen yang paling lemah ialah argumen kewibawaan (yang merupakan ciri berpikir
keagamaan)

Di samping itu filsafat pada abad pertengahan (skolastik) terbagi ke dalam tiga
periode, yaitu: skolastik awal, keemasan skolastik dan akhir skolastik.
a). Periode skolastik awal (abad ke-8 – 12).

Ditandai oleh pembentukan metode yang lahir karena hubungan yang harmonis antara
agama dan filsafat. Hal yang menonjol pada periode awal skolastik adalah mengenai
universal. Paham dan pandangan Agustinus dan neo-Platonisme mempunyai pengaruh yang
signifikan dalam berbagai aliran pemikiran yang berkembang. Pada masa ini juga hangat
dibicarakan mengenai pembuktian adanya Tuhan berdasarkan rasio murni, jadi tanpa
berdasarkan Kitab Suci (Anselmus dan Canterbury). Problem yang hangat didiskusikan pada
masa ini adalah masalah universalia dengan konfrontasi antara “realisme” dan
“nominalisme” sebagai latar belakang problematisnya. Selain itu, dalam abad ke-12, ada
pemikiran teoretis mengenai filsafat alam, sejarah dan bahasa, pengalaman mistik atas
kebenaran religius pun mendapat tempat.

b). Periode keemasan skolastik (abad ke-13).

Periode dapat dikatakaan sebagai masakejayaan perkembangan skolastik, yang


banyak dipengaruhi oleh pemikiran filosof besar Aristoteles, juga akibat adanya pengaruh
filsafat Islam dan Yahudi.Pada periode ini sangat dominan pengaruh pemikiran filsafat
Aristoteles yang memberikan coraktersendiri dalam alam pemikiran abad pertengahan.
Aristoteles diakui sebagai filosof dengan gaya pemikiran Yunani yang khas, semakin
diterima padauniversitas-universitas pertama didirikan pada periode tersebut, seperti di
Bologna (Italia), Paris (Perancis), Oxford (Inggris), dan masih banyak lagi universitas yang
mengikutinya. Hal yang menarik pada periode ini adalah dihasilkannya suatu sintesis besar
dari khazanah pemikiran Kristen dan filsafat Yunani secara harmonis dan saling melengkapi.

c) Periode akhir (abad ke-14-15).

Periode skolastik akhir ini ditandai dengan pemikiran Islam yang berkembang kearah
nominalisme, yaitu aliran yang berpendapat bahwa universalisme tidak memberi petunjuk
tentang aspek yang sama dan yang umum mengenai adanya sesuatu hal. Kepercayaan yang
berlebihan akan kemampuan rasio memberi jawaban yang berkaitan dengan iman mulai
berkurang. Bahkan ada anggapan bahwa iman dan pengetahuan tidak dapat disatukan secara
permanen. Rasio dianggap tidak dapat mempertanggungjawabkan ajaran gereja yang bersifat
dogmatis, hanya iman yang dapat menerimanya dalam hal ini.

Pemikiran Filsafat Thomas Aquinas


Sosok Thomas Aquinas atau dikenal juga dengan Thomas dari Aquino (12241274 M)
lahir di Lombardy, Rocca Sicca, dekat Napels, Italia. Lahir dari sebuah keluarga bangsawan.
Semula ia belajar di Napels, kemudian di Paris, menjadi murid Albertus Agung, lalu di Koln,
dan kemudian di Paris lagi. Sejak tahun 1252 ia mengajar di Paris dan Italia. Aquinas
seorang ahli teologi Kristen sekaligus ahli filsafat yang sangat mumpuni. Meraih gelar
Doktor dalam teologi dari Universitas Paris dan mengajar di sana sampai tahun 1259.
Kemudian selama 10 tahun Aquinas mengajar di biara-biara Dominikan di sekitar kota Roma
kemudian kembali lagi ke Paris, mengajar dan menulis. Aquinas mempelajari karya-karya
besar Aristoteles secara mendalam dan ikut serta dalam berbagai perdebatan yang berkaitan
dengan isu-isu dalam teologi dan kefilsafatan yang menjadi bahan kajian, peredebatan, yang
berkembang pada saat itu.

Aquinas merupakan filosof terbesar yang dimiliki tradisi gereja yang yang
dipengaruhi oleh pemikiran filosof Islam al-Ghazali, ia juga melakukan penelitian terhadap
para filosof Islam dan mengakui utang-utangnya kepada mereka. Aquinas belajar di
University of Naples dimana pengaruh sastra dan budaya Arab dominan pada saat itu. Pada
tahun 1274 Thomas diundang oleh Paus Gregorius X untuk mengikuti konsili di Lyon. Dalam
perjalanan ke konsili tersebut, kepalanya terantuk sebuah ranting pohon dan segera
sesudahnya ia tersebut dianggap salah satu sebab ia meninggal. Peristiwa tersebut terjadi
tepatnya pada tanggal 7 Maret 1274 di Fossanuova yang tidak jauh dari kota kelahirannya.

Ketika Aquinas meninggal dunia pada usia 49 tahun (tanggal 7 Maret 1274), ia
meninggalkan banyak karya tulisan dari buah pikirannya. Semasa hidupnya Aquinas
merupakan tokoh puncak skolastik sehingga banyak melahirkan pemikiran, seorang
Dominikan yang dianggap gereja Kristen salah satu dari ilmuan terkemuka dalam lingkungan
gereja. Summa contra gentiles (sebuah rangkuman melawan orang kafir) merupakan karya
filsafatnya yang penting dan berpengaruh dalam tradisi keilmuan Kritiani. Di samping itu ada
karyanya yang dianggap tidak lengkap, yaitu summa theological (rangkuman teologi) berisi
penyajian teologi secara sistematis yang ditulisnya untuk calon biarawan. Dua karyanya
tersebut menjadi rujukan utama dalam kajian teologi bagi imam Kristen dari dulu hingga saat
ini karena dianggap memiliki kualitas yang mampu memberikan jawaban atas persoalan
keumatan dan keimanan Kristiani.

Tidak dipungkiri bahwa Aquinas adalah merupakan tokoh terpenting pada era
skolastik. Ia berjasa dalam mempersatukan secara orisinil unsur-unsur pemikiran Agustinus,
yang dipengaruhi kuat oleh filsafat neo-Platonisme, dengan filsafat Aristoteles. Karya-karya
Aquinas, terutama Summa Teologiae I-III, termasuk karangan-karangan terpenting dari
seluruh kesusastraan Kristen. Pada tahun 1879, lewat sebuah ensiklik atau surat edaran resmi
dari kepausan, ajaran Thomas (Thomisme) dinyatakan sebagai dasar bagi filsafat Kristen dan
karenanya, wajib diajarkan kepada semua sekolah filsafat dan teologi Kristen. Namun
demikian, bukan berarti bahwa pemikiran-pemikiran Aquinas hanya memberi impuls-impuls
kepada para pemikir ajaran Kristen saja. Pengaruhnya luas dan menjebol batas-batas dinding
intelektual gereja, khususnya pemikirannya yang cemerlang, yaitu mendamaikan nalar
dengan iman Kristen yang ia jelaskan dalam karya-karyanya yang populer.

Walaupun Aquinas sangat populer di eranya bukan berarti ia tidak mengalami


berbagai sanggahan dan tentangan terhadap argumen-argumen yang dikemukannya. Di
antaranya permasalahan teologis dimana sebelumnya teologi Kristen yang dipengaruhi oleh
filsafat Platonisme yang kental dengan ide-ide surgawi yang bersifat eskatologis, yaitu
pandangan kuat yang menegaskan bahwa kebenaran hanya dapat diperoleh dari wahyu
Tuhan, bukan nalar manusia. Saat itu terdapat jurang pemisah antara bidang akal dengan
bidang wahyu, dan sulit untuk didamaikan.

Namun kemudian mulai masuk pemikiran filsafat Aristoteles melalui filsuf Islam.
Sehingga terjadi kontroversi teologis antara teolog penganut Agustinus konservatif dengan
para teolog Kristen di Paris yang dipengaruhi oleh filsafat Averroes (Ibn Rusyd) seorang
pemikir Islam abad ke-12 oleh karena itu menurut Jostein Gaarder dalam novel filsafatnya
yang berjudul Dunia Sophie, menyatakan bahwa “Thomas Aquinas adalah filosof terbesar
dan paling penting di abad pertengahan atau era skolastik karena ia telah berhasil
„mengkristenkan‟ Aristoteles seperti halnya Agustinus „mengkristenkan‟ Plato di awal abad
pertengahan. Dengan kata lain Aquinas telah mampu mensintesakan teologi Kristen dengan
pemikiran rasional filsafat Aristoteles yang pada saat itu mampu memberikan warna lain dan
bersifat konstruktif.

Karya Aquinas telah menandai taraf yang tinggi dari aliran skolastisisme pada abad
pertengahan. Ia adalah seorang pendeta Dominikan Gereja Kristen. Aquinas telah berusaha
untuk membuktikan secara rasional sesuai dengan nalar, bahwa iman Kristen secara penuh
dapat dibenarkan dengan pemikiran logis dalam hal ini dunia filsafat. Aquinas juga mencoba
menafsirkan bahwa Tuhan tidak pernah berubah dan yang tidak berhubungan atau tidak
mempunyai pengetahuan tentang kejahatankejahatan di dunia. Tuhan tidak pernah mencipta
dunia, tetapi zat dan pemikirannya tetap

Kebesaran seorang Aquinas tidak hanya terletak dalam orisinalitas pemikirannya,


melainkan dalam kemampuannya untuk mempersatukan unsur-unsur utama para filosof yang
mendahuluinya dalam satu sistem harmonis yang sebagai sistem itu, lantas merupakan
sesuatu yang baru dan universal serta lebih mendalam dan matang daripada paham-paham
asli itu sendiri. Aquinas terlihat mengalami keberhasilan gemilang saat ia mampu
mengintegrasikan unsur-unsur pemikiran Yunani ke dalam pemikiran Kristen Barat.
Tindakan yang dilakukan Aquinas menunjukkan bahwa ia sadar sepenuhnya menggunakan
teori filsafat dalam menjelaskan persoalan teologi merupakan cara yang tepat untuk
memecahkan persoalan-persolan keagamaan, khususnya yang berkaitan dengan penggunaan
nalar keagamaan.

Ada beberapa hal menyebabkan Aquinas layak untuk dikaji dan dicermati, di antaranya:

a. Thomisme.

Thomisme merupakan sebutan untuk pemikiran filsafat yang dikemukakan oleh


Thomas Aquinas, yaitu diambil dari nama depannya. Sebagaimana umumnya ajaran
skolastik, Aquinas berusaha menyelaraskan dengan filsafat Yunani dengan agama Nasrani
yang dianutnya. Oleh Aquinas dibedakan dua tingkat pengetahuan manusia. Pengetahuan
tentang alam yang dikenal melalui akal dan pengetahuan tentang rahasia Tuhan yang diterima
oleh manusia lewat wahyu atau kitab suci.

b. Essentia dan Exentia.

Pandangan Aquinas tentang konsep Tuhan adalah actus yang paling umum, actus
purus (aktus murni). Menurutnya Tuhan itu sempurna keberadaannya, tidak berkembang,
karena pada Tuhan tiada potensi. Di dalam Tuhan segala sesuatu telah sampai pada
perealisasiannya yang sempurna. Tuhan adalah aktualitas semata-mata, oleh karena itu pada
Tuhan hakikat (essentia) dan keberadaan (existentia) ada sama dan satu (identik). Hal ini
tidak berlaku bagi makhluk ciptaannya. Hal itu disebabkan keberadaan makhluk adalah
sesuatu yang ditambahkan pada hakikatnya

c. Kosmologi.
Menurut Aquinas, alam semesta ini dibagi ke dalam kelas, yaitu realitas anorganis,
realitas animal, realitas manusia, realitas malaikat, dan realitas Tuhan. Aquinas sebagai
seorang ahli teologi mengajukan lima argumen untuk membuktikan kalau Tuhan dapat
diketahui dengan akal. Lima argumen tersebut adalah:

1). Sifat alam yang selalu bergerak,

2). Sebab yang mencukupi

3). Argumen kemungkinan dan keharusan

4). Memperhatikan tingkatan yang terdapat pada alam ini

5). Adanya keteraturan alam.

Selain itu Aquinas menyampaikan empat bukti tentang adanya Tuhan:

1) Hakikat alam adalah gerak, adanya gerak pada alam mengharuskan kita menerima bahwa
ada penggerak pertama yaitu Allah. Menurut Aquinas apa yang bergerak tentu digerakkan
oleh sesuatu yang lain. Gerak menggerakkan ini tidak dapat berjalan tanpa batas. Oleh karena
itu menurut Aquinas maka harus ada penggerak pertama,penggerak pertama ini adalah Allah.
Pemikirannya ini tentu sejalan dengan pemikiran Aristoteles yang menyatakan alam ini ada
yang menggerakkan, yang disebutnya sebagai penggerak pertama atau causa prima.

2) Keteraturan merupakan sebuah kemestian, hal ini disebabkan karena dalam dunia yang
diamati terdapat suatu aturan tertib, sebab-sebab yang membawa hasil atau yang berdaya
guna. Tidak pernah ada sesuatu yang diamati yang menjadi sebab yang menghasilkan dirinya
sendiri. Oleh karena itu, maka harus ada sebab berdaya guna yang pertama, inilah yang
dimaksud oleh Aquinas dengan Allah.

3) Merupakan keniscayaan bahwa pada alam semesta terdapat hal-hal yang mungkin ada dan
tidak ada. Oleh karena semuanya itu tidak berada sendiri tetapi diadakan, dan oleh karena
semuanya itu dapat rusak, maka ada kemungkinan semua itu ada, atau semuanya itu tidak
ada. Jika segala sesuatu hanya mewujudkan kemunginan saja, tentu harus ada sesuatu yang
adanya mewujudkan suatu keharusan. Padahal sesuatu yang adanya adalah suatu keharusan,
adanya itu disebabkan oleh sesuatu yang lain, sebab-sebab itu tak mugkin ditarik hingga tiada
batasnya.

4) Di antara segala yang ada terdapat ha-hal yang lebih atau kurang baik, lebih atau kurang
benar dan lain sebagainya. Apa yang lebih baik adalah apa yang lebih mendekati apa yang
terbaik. Jadi jika ada yang kurang baik, yang baik dan yang lebih baik, semuanya
mengharuskan adanya yang terbaik. Dari semuanya dapat disimpulkan bahwa harus ada
sesuatu yang menjadi sebab daris segala yang baik, segala yang benar, segala yang mulia.
Adapun yang menyebabkan semuanya itu adalah Allah.

Manusia menyaksikan, bahwa segala sesuatu yang tidak berakal seperti umpamanya
tubuh alamiah, berbuat menuju pada akhirnya. Dari situ tampak jelas, bahwa tidak hanya
kebetulan saja semuanya itu mencapai akhirnya, tapi memang dibuat begitu. Maka apa yang
tidak berakal tidak mungkin bergerak menuju akhirnya, jikalau tidak diarahkan oleh suatu
tokoh yang berakal, berpengetahuan, inilah Allah.

Kesatuan manusia ini mengandaikan bahwa tubuh manusia hanya dijiwai oleh satu
bentuk saja, bentuk rohani, yang sekaligus juga membentuk hidup lahiriah dan batiniah. Jadi,
jiwa adalah bersatu dengan tubuh dan menjiwai tubuh. Jiwa memiliki daya, yaitu:

1. Daya jiwa vegetatif, yaitu yang bersangkutan dengan pergantian zat dan dengan
pembiakan.
2. Daya jiwa yang sensitif, daya jiwani yang berkaitan dengan keinginan
3. Daya jiwa yang menggerakkan
4. Daya jiwa untuk memikir
5. Daya jiwa untuk mengenal

Daya untuk memikirkan dan mengenal terdiri dari akal dan kehendak. Akal adalah
daya yang tertinggi dan termulia, yang lebih penting daripada kehendak,karena yang benar
adalah lebih tinggi daripada yang baik. Mengenal adalah suatuperbuatan yang lebih sempurna
daripada menghendaki.
DAFTAR PUSTAKA

Cholid, N. (2018). Kontribusi Filsafat Pragmatisme Terhadap Pendidikan. MAGISTRA:


Media Pengembangan Ilmu Pendidikan Dasar dan Keislaman, 4(1), 51-66.

Dardiri, A. (2007). Implikasi Pandangan Filsafat Pragmatisme Richard Rorty tentang


Epistemologi dalam Bidang Pendidikan. Jurnal Cakrawala Pendidikan, 2(2).

Falah, R. Z. (2017). Landasan Filosofis Pendidikan Perspektif Filsafat Pragmatisme Dan


Implikasinya Dalam Metode Pembelajaran. Jurnal Filsafat, 5(2), 374-92.

Gultom, A. F. (2016). Iman dengan akal dan etika menurut Thomas Aquinas. JPAK: Jurnal
Pendidikan Agama Katolik, 16(8), 44-54.

Priyanto, D. (2017). Implikasi Aliran Filsafat Pragmatisme Terhadap Praksis


Pendidikan. Jurnal Pendidikan Islam Indonesia, 1(2), 177-191.

Ramon, T. PERKEMBANGAN FILSAFAT ILMU PADA ABAD PERTENGAHAN.

Rosyid, R. (2010). Epistemologi Pragmatisme: Dalam Pendidikan Kita. Jurnal Pendidikan


Sosiologi dan Humaniora, 1(1).

Ruba, S. B. FILSAFAT SKOLASTIK.

Sarah, S. (2018). Pandangan Filsafat Pragmatis John Dewey dan Implikasinya dalam
Pendidikan Fisika. In PROSIDING Seminar Nasional Pedidikan Fisika FTK UNSIQ
(Vol. 1, No. 1).

Sunarto. (2016), “Pragmatisme John Dewey (1859-1952) dan Sumbangannya terhadap Dunia
Pendidikan“ Proceedings International Seminar FoE (Faculty of Education) – Vol. 1

Syarifuddin, S. (2011). Konstruksi Filsafat Barat Kontemporer. Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu


Ushuluddin, 13(2), 231-248.

Taufik, M. (2020). FILSAFAT BARAT ERA SKOLASTIK (Telaah Kritis Pemikiran


Thomas Aquinas). Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin, 19(2), 185-199.

Topan, M. (2021). PRAGMATISME DALAM PENDIDIKAN DI INDONESIA: KRITIK


DAN RELEVANSINYA. Al-Idrak: Jurnal Pendidikan Islam dan Budaya, 1(1), 16-26.

Wasitohadi, W. (2014). Hakekat Pendidikan Dalam Perspektif John Dewey Tinjauan


Teoritis. Satya Widya, 30(1), 49-61.
Wiranata, R. R. S., Maragustam, M., & Abrori, M. S. (2021). FILSAFAT PRAGMATISME:
MENINJAU ULANG INOVASI PENDIDIKAN ISLAM. Ta'allum: Jurnal
Pendidikan Islam, 9(1), 110-133.

Anda mungkin juga menyukai